Anda di halaman 1dari 14

HUBUNGAN AKTIVIAS FISIK DENGAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA

PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2

DI UPT KESMAS GIANAR I

TAHUN 2018

Disusun Oleh:

Nurus Sobikhatul Lami’ah (18021373)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS SAINS DAN


KESEHATAN UNIVERSITAS AN NUUR PURWODADI

2021
A. Latar Belakang
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit kronis yang terjadi akibat
pankreas tidak menghasilkan cukup insulin atau saat tubuh tidak dapat menggunakan
insulin yang dihasilkan pankreas secara efektif (World Health
Organization, 2017).
Adapun jenis-jenis DM yang umum terjadi yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, dan
DM gestasional (WHO, 2017). Penyakit DM telah menjadi salah satu masalah
kesehatan yang menghinggapi hampir seluruh lapisan masyarakat dunia. Menurut
Internasional Diabetes Federation (IDF) (2017) dari 4,84 miliar populasi orang
dewasa berusia 20 – 79 tahun di dunia sekitar 425 juta atau 8,8% diperkirakan
memiliki DM dan 79% tinggal di negara yang berpendapatan rendah dan menengah,
serta tercatat 4 juta kematian terjadi akibat DM pada tahun 2017. Jika tren ini terus
berlanjut, pada tahun 2040 dari 6,37 miliar populasi orang dewasa di dunia dengan
usia 20 – 79 tahun, sekitar 629 juta orang akan menderita DM dengan peningkatan
terbesar terjadi di daerah dimana ekonomi bergerak dari berpenghasilan rendah ke
pendapatan menengah (IDF, 2017).
Pasien DM di Indonesia dalam Atlas IDF (2017) menduduki peringkat ke-6
dari 10 besar negara dengan jumlah pasien DM tertinggi dalam rentang umur 20 – 79
tahun. Pada tahun 2017 terdapat 10,3 juta orang dewasa umur 20-79 tahun yang
menderita DM di Indonesia dan pada tahun 2040 Indonesia diperkirakan masih masuk
ke dalam 10 besar negara dengan angka pasien DM tertinggi dan menduduki
peringkat ke-7 dari 10 negara dengan 16,7 juta orang dewasa yang menderita DM
(IDF, 2017). Prevalensi pasien DM di Bali menurut hasil Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) (2013) berdasarkan jumlah penduduk usia 15 tahun keatas
diperkirakan sebesar 1,3 % yang menderita DM (Kementrian Kesehatan RI, 2013).
Dinas Kesehatan Provinsi Bali menyatakan jumlah pasien DM di Bali terus
mengalami peningkatan setiap tahunnya. Data menunjukan pasien DM pada tahun
2013 tercatat sebanyak 2.852 orang, pada tahun 2014 tercatat 3.711 orang dan pada
tahun 2015 tercatat 4.545 orang yang menderita DM (Dinas Kesehatan Provinsi Bali,
2015).
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar (2018) tercatat
pada tahun 2017 jumlah pasien DM di Kabupaten Gianyar secara keseluruhan
sebanyak 8.990 jiwa yang menderita DM. Jumlah pasien DM terbanyak tercatat di
UPT Kesmas Gianyar I dengan jumlah pasien pada tahun 2016 sebanyak 789 jiwa
yang menderita DM dimana mengalami peningkatan pada tahun 2017 yaitu sebanyak
2.820 jiwa yang menderita DM (Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar, 2018).
Pasien DM pada dasarnya akan mengalami peningkatan konsentrasi glukosa dalam
darah dimana glukosa merupakan bahan energi utama untuk otak. Pada keadaan
normal insulin diperlukan untuk mengangkut glukosa dari aliran darah ke dalam sel
tubuh yang akan digunakan sebagai energi.
Kekurangan atau ketidakefektifan insulin akan menyebabkan glukosa tetap
beredar dalam darah.
Seiring berjalannya waktu, hasilnya kadar glukosa dalam darah menjadi tinggi
(dikenal sebagai hiperglikemia). Rekomendasi untuk kriteria hiperglikemia bila
glukosa plasma puasa (preprandial) ≥ 7.0 mmol/L (126 mg/dL) atau glukosa plasma
dua jam (pospradial) ≥ 11,1 mmol/L (200 mg/dL). Peningkatan glukosa yang tidak
terkontrol dari waktu ke waktu dapat menyebabkan kerusakan serius pada jantung,
pembuluh darah, mata, ginjal dan saraf bahkan sampai menyebabkan kematian (IDF,
2017). Adapun target pengendalian kadar glukosa darah pada pasien DM yaitu untuk
glukosa darah preprandial kapiler atau glukosa darah puasa adalah 80 – 130 mg/dL,
sedangkan gula darah 1-2 jam postprandial kapiler adalah < 180 mg/dL (PERKENI,
2015).

IDF (2017) mengatakan sebagian besar kasus DM yang terjadi adalah kasus
DM tipe 2. Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi perkembangan DM tipe 2,
terbukti yang paling berpengaruh adalah perilaku gaya hidup seperti konsumsi
makanan olahan dengan kandungan lemak tinggi, minuman yang manis dan tinggi
karbohidrat. Pada saat bersamaan diikuti dengan gaya hidup yang modern yang
dicirikan dengan ketidakaktifan fisik dalam waktu yang lama dan menetap. Perilaku
tersebut dikaitkan dengan peningkatan risiko kelebihan berat badan atau obesitas dan
perkembangan DM tipe 2. Sejumlah program pencegahannya menunjukkan bahwa
memodifikasi perilaku dengan makan makanan sehat dan meningkatkan aktivitas
fisik, sangat bisa mengurangi risiko berkembangnya DM tipe 2. Dalam beberapa
tahun terakhir, IDF telah mendukung sejumlah program untuk pencegahan primer
DM dengan mempromosikan program pencegahan DM ke dalam sistem kesehatan
nasional. Namun, untuk memenuhi target agar tidak terjadinya peningkatan DM pada
tahun 2025, seluruh populasi harus merubah perilaku gaya hidup mereka dengan
memodifikasi diet dan meningkatkan tingkat aktivitas fisik (IDF, 2015).

Aktivitas fisik dapat didefinisikan sebagai gerakan tubuh yang diproduksi oleh
otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi - termasuk aktivitas yang dilakukan
saat bekerja, bermain, melakukan pekerjaan rumah tangga, bepergian, dan terlibat
dalam kegiatan rekreasi. Olahraga termasuk kedalam subkategori aktivitas fisik yang
direncanakan, terstruktur, berulang, dan bertujuan memperbaiki atau mempertahankan
satu atau lebih komponen kebugaran fisik. Secara global, pada tahun 2010 sekitar
23% orang dewasa berusia 18 ke atas tidak cukup aktif (pria 20% dan wanita 27%)
(WHO, 2016). Penelitian yang dilakukan pada orang dewasa di Malaysia dengan
hasil, lebih dari 40% peserta yang melakukan aktivitas fisik dari 1 sampai 3 kali per
minggu, khusus untuk aktivitas fisik ringan (50,4%), aktivitas fisik sedang (42,9%),
dan aktifitas fisik yang kuat (44,9%) (Lian et al., 2016).
Aktivitas fisik lainnya yang dilakukan selama waktu senggang seperti
transportasi dari suatu tempat menuju ke suatu tempat memiliki manfaat kesehatan.
Aktivitas fisik reguler dengan intensitas sedang seperti berjalan kaki, bersepeda, atau
berolahraga memiliki manfaat yang signifikan bagi kesehatan. Melakukan beberapa
aktivitas fisik lebih baik daripada tidak melakukan apapun (WHO, 2016). Menurut
American Diabetes Association (ADA) (2017) aktifitas fisik dapat mempengaruhi
kadar glukosa darah. Ketika otot berkontraksi selama aktivitas selsel dapat mengambil
glukosa dalam darah dan menggunakannya untuk energi meskipun insulin tersedia
atau tidak tersedia. Efek aktivitas fisik terhadap glukosa darah akan bervariasi
tergantung pada berapa lama, aktif atau tidak dan banyak faktor lainnya. Aktivitas
fisik dapat menurunkan glukosa darah hingga 24 jam atau lebih setelah latihan dengan
membuat tubuh lebih peka terhadap insulin (ADA,
2017).
Penelitian yang dilakukan oleh Nurayati dan Adriani (2017) di Puskesmas
Mulyorejo Surabaya menunjukkan bahwa dari 62 orang yang dipilih secara acak
menggunakan teknik simple random sampling, dengan kriteria inklusi pasien DM
Tipe 2 dalam rentang usia 40-65 tahun dan tidak melakukan suntik insulin didapatkan
hasil sebanyak 62,9 % responden memiliki aktivitas fisik rendah dan sebanyak 58,0 %
responden memiliki kadar glukosa darah puasa dalam kategori tinggi. Berdasarkan uji
statistik Spearman’s Rho menunjukkan ada hubungan antara aktivitas fisik dengan
kadar glukosa darah puasa pasien DM tipe 2.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Dolongseda (2017) menunjukkan bahwa
dari 75 responden yang diteliti di Poli Penyakit Dalam Rumah Sakit Pancaran Kasih
Manado, sebanyak 93,3 % responden mempunyai aktivitas fisik rendah dengan kadar
glukosa darah tinggi dan berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa terdapat
hubungan bermakna antara aktivitas fisik dengan kadar glukosa darah (Dolongseda
dkk., 2017). Penelitian terkait yang telah dilakukan menyebutkan latihan fisik berupa
senam aerobik mempengaruhi penurunan kadar glukosa darah pada pasien DM tipe 2
(Indriani, 2007). Hasil penelitian lain yang dilakukan menyebutkan antara pola makan
dan aktivitas fisik memiliki berhubungan dengan kadar GDS pada pasien DM tipe 2
(Cholifah, Azizah dan Indanah, 2016)
Hasil dari studi pendahuluan yang dilakukan di UPT Kesmas Gianyar I
terhadap 10 orang yang telah terdiagnosis mengalami DM Tipe 2 pada tanggal 21
januari 2018 menunjukkan bahwa 3 orang pasien DM yang mempunyai aktivitas fisik
sedang memiliki kadar glukosa darah puasa tidak terlalu tinggi dan 7 orang pasien
DM yang cendrung mempunyai aktivitas fisik ringan memiliki kadar glukosa darah
puasa yang tinggi. Dilihat dari data jumlah pasien DM dari tahun 2016 dan 2017
justru mengalami peningkatan dari 789 jiwa menjadi 2.820 jiwa yang menderita DM.
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik melakukan penelitian
dengan judul “Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kadar Glukosa Darah Puasa pada
Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di UPT Kesmas Gianyar I Tahun 2018” dengan
perbedaan terhadap penelitian sebelumnya yaitu berdasarkan jumlah sampel yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah 87 orang yang dipilih menggunakan teknik
purposive sampling, dengan kriteria inklusi yaitu pasien DM Tipe 2 dalam rentang
usia 46-65 tahun, melaksanakan diet DM dan minum obat hipoglikemik atau
menggunakan insulin yang dianalisis menggunakan uji statistik Pearson. Berdasarkan
tempat penelitian belum ada penelitian mengenai aktivitas fisik dengan kadar gula
darah puasa pada pasien DM tipe 2 yang sebelumnya pernah dilakukan di UPT
Kesmas Gianyar I.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah penelitian ini


adalah “Apakah ada hubungan aktivitas fisik dengan kadar glukosa darah puasa pada
pasien DM tipe 2 di UPT Kesmas Gianyar I tahun 2018?”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
aktivitas fisik dengan kadar glukosa darah puasa pada pasien DM tipe 2 di UPT
Kesmas Gianyar I tahun 2018.
2. Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi tingkat aktivitas fisik yang dilakukan pasien DM tipe 2 di
UPT Kesmas Gianyar I tahun 2018.
b. Mengidentifikasi kadar glukosa darah puasa pada pasien DM tipe 2 di UPT
Kesmas Gianyar I tahun 2018.
c. Menganalisis hubungan antara aktivitas fisik dengan kadar glukosa darah
puasa pada pasien DM tipe 2 di UPT Kesmas Gianyar I tahun 2018.
D. Pembahasan
A. Aktivitas Fisik pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2
1. Konsep dasar diabetes melitus tipe 2
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit kelainan metabolik
yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) yang
dihasilkan dari gangguan sekresi insulin, aksi insulin, atau keduanya (Johnson,
2010). Pada DM tipe 2 tubuh mampu menghasilkan insulin tetapi menjadi
resisten sehingga insulin tidak bisa bekerja secara efektif (IDF, 2017).
Insulin merupakan hormon yang diproduksi di pankreas yang
diperlukan untuk mengangkut glukosa dari aliran darah ke dalam sel tubuh
untuk diolah menjadi energi. Kurangnya atau ketidakefektifan insulin pada
seseorang berarti glukosa tetap bersirkulasi dalam darah dan akan
mengakibatkan peningkatan kadar glukosa dalam darah atau dikenal sebagai
hyperglikemia yang seiring waktu akan menyebabkan kerusakan pada jaringan
tubuh dan komplikasi kesehatan yang dapat mengancam jiwa (IDF, 2017).
Terdapat beberapa faktor resiko penting yang menjadi penyebab
perkembangan DM tipe 2 yaitu kelebihan berat badan, gizi buruk dan
kurangnya aktifitas fisik. Faktor lain yang berperan adalah etnisitas, riwayat
keluarga diabetes, riwayat diabetes gestasional masa lalu dan usia lanjut (IDF,
2017). Aktivitas fisik yang semakin jarang dilakukan bisa menyebabkan
peningkatan resistensi insulin pada penderita diabetes melitus (Lemone et all.,
2015).
2. Definisi aktivitas fisik
Aktivitas fisik merupakan istilah umum yang mencakup semua
gerakan yang meningkatkan penggunaan energi (ADA, 2017). WHO (2016)
mendefinisikan aktivitas fisik sebagai gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot
rangka yang memerlukan pengeluaran energi termasuk aktivitas yang
dilakukan saat bekerja, bermain, melakukan pekerjaan rumah tangga,
bepergian, dan terlibat dalam kegiatan rekreasi.
3. Klasifikasi dan tingkatan aktivitas fisik
Aktifvitas fisik merupakan bagian penting dari rencana pengelolaan
DM. Olahraga merupakan salah satu bentuk spesifik aktivitas fisik yang
terstruktur dan dirancang untuk meningkatkan kebugaran fisik. Baik aktivitas
fisik maupun olahraga ditunjukkan untuk memperbaiki kontrol glukosa darah,
mengurangi faktor risiko kardiovaskular, menurunkan berat badan, dan
meningkatkan kesehatan (ADA, 2017). Aktivitas fisik yang semakin jarang
dilakukan bisa menyebabkan resistensi insulin pada pasien DM (Lemone et al,
2015).
Penelitian yang dilakukan dengan memberikan pertanyaan terbuka
tentang apa yang mereka anggap sebagai faktor terpenting untuk mencapai
kontrol glikemik yang optimal, 6% responden melaporkan dukungan keluarga,
25% melaporkan pola nutrisi yang lebih baik, 38% melaporkan peningkatan
aktivitas fisik dan 25% melaporkan bahwa aktivitas fisik dan pola nutrisi yang
meningkatkan kontrol glikemik. Selanjutnya, ketika ditanya apakah aktivitas
fisik atau nutrisi yang paling sulit untuk di rubah sejak terdiagnosis DM tipe 2,
19% melaporkan bahwa aktivitas fisik adalah perubahan perilaku yang paling
sulit untuk di rubah sementara 50% melaporkan nutrisi sebagai yang paling
sulit untuk di rubah (Wittmeier, 2010).
Berbagai bentuk aktivitas fisik bervariasi antar manusia. Intensitas dari
aktivitas fisik sangat bergantung pada pengalaman latihan seseorang
sebelumnya dan juga dipengaruhi oleh tingkat kebugaran seseorang. Intensitas
mengacu pada tingkat di mana aktivitas dibutuhkan atau melakukan besarnya
usaha yang diperlukan untuk melakukan aktivitas atau olah raga (WHO,
2018).
International Physical Activity Ouitioner (IPAQ) dirancang untuk
menilai aktivitas fisik yang dilakukan seseorang secara komprehensif.
Kelebihan metode pengukuran aktivitas fisik dengan menggunakan metode
IPAQ adalah memiliki ketelitian yang tinggi, mudah digunakan khususnya
pada orang dewasa, perhitungannya berdasarkan jumlah energi yang
dikeluarkan/dibutuhkan tubuh dari setiap bobot kegiatan fisik yang dilakukan
oleh tubuh/hari (IPAQ, 2005). Adapun jenis aktivitas yang masuk sebagai
penilaian IPAQ yaitu :
a. Aktivitas fisik di waktu luang
b. Kegiatan rumah tangga dan berkebun
c. Aktivitas fisik yang berhubungan dengan pekerjaan
d. Aktivitas fisik yang berhubungan dengan transportasi
Terdapat tiga tingkat aktivitas fisik untuk mengklasifikasikan populasi
yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Mengingat bawha tindakan dalam IPAQ
menilai total aktivitas fisik di semua jenis aktivitas yang masuk penilaian dan
berdasarkan rekomendasi kesehatan masyarakat yaitu 30 menit aktivitas fisik
yang dilakukan hampir setiap hari akan dicapai oleh kebanyakan orang
dewasa. Oleh karena itu dibutuhkan titik potong baru tingkat aktivitas fisik
yang lebih tinggi terkait dengan manfaat untuk kesehatan (IPAQ, 2005).
Adapun tingkat aktivitas fisik yang diusulkan IPAQ (2005) untuk
mengklasifikasikan berbagai bidang aktivitas fisik yaitu :
a. Aktivitas tinggi : kategori ini dikembangkan untuk menggambarkan
tingkat partisipasi yang lebih tinggi. IPAQ mengusulkan ukuran yang
setara dengan kira-kira sekurangnya satu jam per hari atau lebih dari
aktivitas intensitas sedang. Aktivitas tersebut dapat dianggap setara dengan
kira-kira 5000 langkah per hari, dan kategori "aktif tinggi" dianggap
sebagai orang yang bergerak setidaknya 12.500 langkah dalam sehari, atau
setara dalam aktivitas sedang dan penuh semangat.
b. Aktivitas sedang : kategori ini didefinisikan sebagai melakukan beberapa
kegiatan, lebih banyak dari pada kategori rendah aktif. Diusulkan bahwa
ini adalah tingkat aktivitas yang setara dengan paling tidak setengah jam
aktivitas fisik intensitas sedang setiap hari.
c. Aktivitas rendah : kategori ini hanya didefinisikan sebagai tidak memenuhi
salah satu kriteria untuk salah satu kategori sebelumnya.
B. Glukosa Darah Puasa pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2
1. Pengertian glukosa darah
Gula darah merupakan istilah yang mengacu pada tingkat glukosa di dalam
darah manusia. Gula di dalam darah yang disebut glukosa berasal dari dua sumber
yaitu glukosa dari makanan dan glukosa yang diproduksi oleh hati. Glukosa
merupakan salah satu molekul gula yang paling kecil dan sederhana. Setiap sel di
dalam tubuh memerlukan glukosa untuk dapat berfungsi secara normal. Glukosa
merupakan sumber energi utama bagi sel-sel tubuh di otot dan jaringan (Tandra,
2017).
Tubuh manusia akan secara alami dan secara ketat mengatur kadar gula
darah sebagai bagian dari metabolisme hemeostasis. Homeostasis itu sendiri
adalah keadaan tubuh suatu makhluk hidup yang mempertahankan konsentrasi zat
dalam tubuh khususnya darah agar tetap konstan. Glukosa merupakan hasil akhir
dari pencernaan dan diabsorbsi secara keseluruhan. Mekanisme gula darah masuk
melalui dinding usus halus ke dalam aliran darah, kemudian pankreas akan
memberi respon dengan mengeluarkan insulin ke dalam aliran darah kemudian
insulin akan membuka pintu sel agar gula masuk dan dengan demikian tidak
terjadi penumpukan kadar gula di dalam darah. Pada saat kadar insulin meningkat
seiring dengan makanan yang masuk ke dalam tubuh, hati akan menimbun
glukosa yang nantinya akan dialirkan ke sel-sel tubuh bilamana dibutuhkan. Hati
merupakan tempat penyimpanan segaligus pusat pengolahan gula (Tandra, 2017).
Ketika kita lapar atau tidak makan dan insulin dalam darah rendah maka
timbunan gula dalam hati (glikogen) akan diubah menjadi glukosa kembali dan
dikeluarkan ke aliran darah menuju sel sel tubuh. Dalam pankreas juga terdapat
sel alfa yang memproduksi hormon glukagon. Bila kadar gula darah rendah
glukagon akan bekerja merangsang sel hati untuk memecah glikogen menjadi
glukosa (Tandra, 2017).
2. Perubahan glukosa darah pada pasien diabetes melitus tipe 2
Pada pasien DM terjadi penurunan dalam kemampuan untuk berespons
terhadap insulin dan reseptor insulin tidak berfungsi dengan baik atau pankreas
sama sekali tidak memproduksi insulin (Smeltzer and Bare, 2015). Menurut
Suyono (dalam Penatalaksanaan DM Terpadu 2013) pada pasien DM dimana
didapatkan jumlah insulin yang kurang atau pada keadaan kualitas insulinya tidak
baik (retensi insulin), meskipun insulin ada dan reseptor juga ada tapi karena
adanya kelainan di dalam sel itu sendiri pintu sel tetap tidak dapat terbuka dan
tetap tertutup hingga glukosa tidak dapat masuk sel untuk dimetabolisme.
Akhirnya glukosa tetap berada di luar sel hingga kadar glukosa dalam darah
meningkat sehingga menyebabkan terjadinya Hiperglikemia (Suyono, 2013).
Hiperglikemia dapat ditegakkan apabila kadar gula darah puasa >126 mg/dl (IDF,
2015).
3. Glukosa darah puasa pada pasien diabetes melitus tipe 2
Kadar glukosa di dalam darah akan selalu berfluktuasi sepanjang hari dan
meningkat setelah makan dan biasanya berada pada level terendah pada pagi hari
sebelum sarapan atau sebelum makan pertama di hari itu (disebut masa puasa).
Dalam PERKENI (2015) pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dilakukan
dimana pasien sebelum pengambilan darah dipuasakan sedikitnya 8 jam (mulai
malam hari) sebelum pemeriksaan. Minum air putih tanpa glukosa tetap
diperbolehkan.
Pada orang normal yang sedang berpuasa yang dilakukan pengukuran
sebelum makan pagi biasanya konsentrasi glukosa darah dalam rentang antara 80
dan 90 mg / 100 ml. Konsentrasi ini meningkat menjadi 120 sampai 140
mg/100ml selama 1 jam pertama setelah makan, namun sistem umpan balik yang
mengatur kadar glukosa darah dengan cepat mengembaikan konsentrasi glukosa
ke nilai kontrolnya dalam waktu 2 jam sesudah absorpsi karbohidrat yang terakhir
(Guyton and Hall, 2012).
C. Kadar Glukosa Darah Puasa pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 yang
1. Melakukan Aktivitas Fisik
Pengelolaan DM meliputi empat pilar, aktivitas fisik merupakan salah satu
dari keempat pilar tersebut. Aktivitas fisik mencakup semua gerakan yang
meningkatkan penggunaan energi yang memiliki manfaat untuk meningkatkan
kebugaran fisik maupun memperbaiki kontrol glukosa darah, mengurangi faktor
risiko kardiovaskular, berkontribusi pada penurunan berat badan, dan
meningkatkan kesehatan. Aktivitas fisik juga memiliki manfaat yang spesifik
dalam pencegahan komplikasi dan pengelolaan glukosa pada penderita diabets
tipe 2 (Sudoyo dkk, 2010).
Aktivitas minimal otot skeletal lebih dari sekedar yang diperlukan untuk
ventilasi basal paru, dibutuhkan oleh semua orang termasuk diabetes sebagai
kegiatan sehari-hari, seperti misalnya : bangun tidur, memasak, berpakaian,
mencuci, makan bahkan tersenyum. Berangkat kerja, berfikir, bekerja, berbicara,
tertawa, merencanakan kegiatan esok, kemudian tidur. Semua kegiatan tadi tanpa
disadari oleh diabetesi, telah sekaligus menjalankan pengelolaan terhadap DM
sehari-hari. Aktifitas fisik akan mengurangi risiko kejadian kardiovaskular dan
meningkatkan harapan hidup. Aktivitas fisik akan meningkatkan rasa nyaman,
baik secara fisik, psikis maupun sosial dan tampak sehat. Aktivitas fisik harus
terencana dengan baik dan teratur bagi diabetesi (Sudoyo dkk, 2010).
Penelitian yang dilakukan pada 86 responden di Canada menunjukkan,
52% (n = 45) mempertahankan HbA1c ≤ 7,0% selama periode 12 bulan dengan
terapi gaya hidup saja. Kelompok pasien ini ditandai dengan HbA1c rata-rata
lebih rendah (p <0,001) dan kadar insulin puasa lebih tinggi saat diagnosis (p =
0,05). Tidak ada perbedaan usia, etnisitas, genotipe, skor BMI, skor tekanan darah
atau tindakan biokimia lainnya saat diagnosis antara responden yang berhasil atau
tidak berhasil dengan monoterapi gaya hidup (Wittmeier, 2010).
Aktivitas fisik bagi pasien DM akan menimbulkan perubahan metabolik,
yang dipengaruhi selain oleh lama aktivitas, berat aktivitas dan tingkat kebugaran,
juga oleh kadar insulin plasma, kadar glukosa darah, kadar benda keton dan
imbangan cairan tubuh. Pada pasien DM dengan gula darah tak terkontrol,
aktivitas fisik akan menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah dan benda
keton yang dapat berakibat fatal. Pada kadar glukosa darah sekitar 332 mg/dL,
bila tetap melakukan aktivitas fisik akan berbahaya bagi yang bersangkutan. Jadi
sebaiknya bila ingin melakukan aktivitas fisik, pasien DM harus memiliki kadar
glukosa darah tidak lebih dari 250 mg/dL (Sudoyo dkk, 2010).
Ambilan glukosa oleh jaringan otot pada keadaan istirahat membutuhkan
insulin, sehingga disebut sebagai jaringan insulin dependen. Sedangkan pada otot
aktif, walaupun terjadi peningkatan kebutuhan glukosa, tetapi kadar insulin tidak
meningkat. Hal ini disebabkan oleh karena peningkatan kepekaan reseptor insulin
otot dan pertambahan reseptor insulin otot pada saat melakukan aktivitas fisik.
Hingga jaringan otot aktif disebut juga sebagai jaringan non-insulin
dependent. Kepekaan ini akan berlangsung lama bahkan hingga aktivitas sudah
berakhir. Pada aktivitas fisik akan terjadi peningkatan aliran darah, menyebabkan
lebih banyak jala-jala kapiler terbuka hingga lebih banyak tersedia reseptor insulin
dan reseptor menjadi lebih aktif (Sudoyo dkk, 2010).
Resistansi insulin otot skeletal menurun (19,5 ± 8,3% dan 28,5 ± 11,3%)
setelah melakukan aktivitas intensitas sedang dan tinggi, masing-masing
dibandingkan dengan kontrol dan tidak memperhatikan jenis kelamin (P <0,05).
Resistensi insulin hati tidak berubah saat melakukan aktivitas intensitas sedang
dibandingkan dengan kontrol, namun meningkat saat melakukan aktivitas
intensitas tinggi (P<0,05). Resistensi insulin adipose juga meningkat secara
signifikan setelah melakukan aktivitas intensitas tinggi (P <0,05) (Malin et all.,
2016).
Selain mengurangi resiko, aktivitas fisik akan memberikan pengaruh yang
baik pada lemak tubuh, tekanan darah arteri, sensitivitas baroreflek, vasodilatasi
pembuluh yang endothelium-dependent, aliran darah pada kulit,
hipertrigliseridermi dan fibrinolysis. Angka kesakitan dan kematian pada pasien
DM yang aktif 50 % lebih rendah dibanding mereka yang santai (Sudoyo dkk, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian Nurayati (2017) diketahui responden pasien DM
tipe 2 di wilayah kerja Puskesmas Mulyorejo kota Surabaya sebagian besar
mempunyai aktivitas fisik rendah dengan kadar gula darah puasa tinggi sebanyak 30
orang dengan persentase sebesar 76,9 %. Hasil uji statistik dengan Spearman’s rho
menunjukkan hasil nilai p=0,000 yang mana hasil tersebut lebih kecil dari alfa (0,01)
artinya terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan kadar gula darah puasa pada
pasien DM tipe 2 (Nurayati and Adriani, 2017). Hasil tersebut selaras dengan
penelitian Rahmawati (2011) yang menunjukkan bahwa 76,1% responden yang
memiliki aktifitas ringan memiliki kadar glukosa darah tidak terkontrol, 69,2%
responden yang memiliki aktifitas sedang memiliki kadar glukosa darah terkontrol.
Dari hasil analisis Chi-Square didapatkan bahwa nilai p=0,002, yang berarti bahwa
ada hubungan antara aktifitas fisik dengan kadar glukosa darah, dan nilai OR = 7,15,
yang artinya pasien DM tipe 2 yang memiliki intensitas aktifitas fisik yang kurang
kemungkinan 7,15 kali lebih besar mempunyai risiko kadar glukosa darah tidak
terkontrol (Rahmawati, 2011).
Pasien DM yang mendapat terapi insulin, hipoglikemia disertai kadar insulin
yang berlebihan merupakan hal yang perlu mendapat perhatian terutama pada saat
pemulihan. Bila insulin disuntikan pada lengan atau paha, akan memperbesar
kemungkinan terjadi hipoglikemia karena peningkatan hantaran insulin melalui darah
akibat pemompaan oleh otot pada saat berkontraksi. Sehingga dianjurkan penyuntikan
di daerah abdomen sebelum aktivitas fisik. Aktivitas fisik juga sebaiknya dilakukan
setelah makan, pada saat gula darah berada pada puncaknya. Aktifitas fisik yang
dikerjakan dalam waktu lama dan dalam keadaan metabolik yang tidak terkendali,
akan menyebabkan peningkatan pelepasan glukosa darah dari hati disertai
peningkatan produksi benda-benda keton (Sudoyo dkk, 2010).
E. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau
kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau antara variable yang
satu dengan variabel yang lain dari masalah yang diteliti (Notoatmodjo, 2010).
Faktor-faktor resiko DM tipe 2

DM 1. Kelebihan berat badan

Tipe 2 2. Gizi buruk


3. Kurang aktivitas fisik
4. Etnisitas
5. Riwayat keluarga
6. Riwayat diabetes gestasional
1. Peningkatan kepekaan Kadar glukosa darah puasa
Aktivitas reseptor insulin otot pasien DM Tipe 2
Fisik 2. Penambahan reseptor
insulin otot

1. Terapi nutrisi medis (TNM)


2. Terapi farmakologis

Gambar diatas adalah Kerangka Konsep Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kadar
Glukosa Darah Puasa pada Pasien DM Tipe 2
Keterangan :
: yang diteliti
: yang tidak diteliti
: alur pikir

F. Variable Penelitian dan Definisi Operasional


1. Variabel penelitian
Variabel adalah karakteristik yang diamati serta mempunyai variasi nilai
dan merupakan operasionalisasi dari suatu konsep agar dapat diteliti secara
empiris atau ditentukan tingkatannya (Setiadi, 2013). Dalam penelitian ini
terdapat dua variabel yaitu:
a. Variabel bebas (independent) merupaka variabel yang nilainya
menentukan variabel lain dan biasanya dimanipulasi, diamati dan diukur
untuk diketahui hubungan atau pengaruhnya terhadap variabel lain
(Nursalam, 2017). Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebas
adalah aktivitas fisik.
b. Variabel terikat (dependent) merupakan variabel yang nilainya ditentukan
oleh variabel lain (Nursalam, 2017). Dalam penelitian ini yang menjadi
variabel terikat adalah kadar glukosa darah puasa pada pasien DM tipe 2.
2. Definisi operasional
Menurut Setiadi (2013), definisi operasional adalah unsur penelitian yang
menjelaskan bagaimana cara mengukur suatu variabel, sehingga definisi
operasional ini merupakan suatu informasi ilmiah yang akan membantu peneliti
lain yang ingin menggunakan variabel yang sama. Definisi operasional dari
variabel sangat diperlukan, terutama untuk menentukan alat atau instrumen yang
akan digunakan dalam pengumpulan data. Adapun definisi operasional dapat
dijelaskan secara lebih rinci dalam tabel berikut.

Tabel 1
Definisi Operasional Variabel Penelitian Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kadar
Glukosa Darah Puasa pada Pasien DM Tipe 2 di UPT Kesmas Gianyar I Tahun
2018

No Variabel/ Definisi Operasional Alat Ukur Skala/Hasil


Sub Variabel Ukur
1 Variabel Tingkatan aktivitas International Interval
Independent : fisik yang dilakukan Physical Skor IPAQ dalam
oleh pasien DM tipe 2 Activity
Aktivitas fisik berupa gerakan tubuh satuam
yang memerlukan Ouitioner METmenit/mingg
pengeluaran energi (IPAQ) u
yang dilakukan setiap
hari.

2 Variabel Kadar glukosa dalam Glukometer Interval


Dependent : darah kapiler yang Kadar glukosa
Kadar diukur setelah
melakukan puasa 8 – darah dalam
glukosa
darah puasa 12 jam pada pasien mg/dL
yang menderita DM
tipe 2.
DAFTAR PUSTAKA

ADA (2017) Standards of Medical Care in Diabetes, The Journal of Clinical and
Applied Research and Education. American Diabetes Association. doi:
10.2337/dc16-S003.
American Diabetes Association (2017) Blood Glucose and Exercise_ American Diabetes
Association®, American Diabetes Association (ADA). Available at:
http://www.diabetes.org/food-and-fitness/fitness/get-started-safely/bloodglucose-control-
and-exercise.html (Accessed: 6 November 2017).
Berman, A. et al. (2009) Buku Ajar Praktek Keperawatan Klinis. 5th edn. Jakarta: EGC.
Cholifah, N., Azizah, N. and Indanah (2016) ‘Hubungan Antara Pola Makan dan
Aktifitas Fisik Dengan Kadar GDS Pada Pasien Diabetes Mellitus ( Dm ) Tipe II Di
Puskesmas Mayong II’, JIKK, 7(2), pp. 01–79.
Craig, C. L. et al. (2003) ‘International physical activity questionnaire: 12-Country
reliability and validity’, Medicine and Science in Sports and Exercise, 35(8), pp. 1381–
1395. doi: 10.1249/01.MSS.0000078924.61453.FB.
Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar (2018) Laporan Capaian Standar Pencapaian
Minimal (SPM) Di Masing-Masing UPT.Kesmas Se-Kabupaten Gianyar Bulan
Desember 2017. Gianyar.
Dinas Kesehatan Provinsi Bali (2015) Surveilans Kasus Penyakit Tidak Menular di
Provinsi Bali.
Dolongseda, F. V., Masi, G. N. M. and Bataha, Y. B. (2017) ‘Hubungan Pola Aktivitas
Fisik Dan Pola Makan Dengan Kadar Gula DarahPada Pasien Diabetes Melitus Tipe II
Di Poli Penyakit Dalam Rumah Sakit Pancaran Kasih GMIM Manado’, e-journal
Keperawatan (e-Kp), 5.
Guyton, A. C. and Hall, J. E. (2012) Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Edited by
L. Y. Rachman. Jakarta: EGC.
Hariyanto, F. (2013) ‘Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Kadar Gula Darah Puasa Pada
Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Cilegon’.
Hidayat, A. A. (2007) Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba
Medika.
IDF (2015) IDF Diabetes Atlas, International Diabetes Federation (IDF). doi:
10.1289/image.ehp.v119.i03.
IDF (2017) IDF Diabetes Atlas Eighth edition 2017, International Diabetes Federation
(IDF). International Diabetes Federation. doi:
10.1017/CBO9781107415324.004.
Indriani, P. (2007) ‘Pengaruh latihan fisik; senam aerobik terhadap penurunan kadar gula
darah pada penderita dm tipe 2 di wilayah Puskesmas Bukateja Purbalingga’, Media
Ners, 1(2), pp. 49–99.
IPAQ (2005) Guidelines for Data Processing and Analysis of the International Physical
Activity Questionnaire ( IPAQ ) – Short and Long Forms, International Physical Activity
Questionnaire. Available at: https://sites.google.com/site/theipaq/scoring-protocol.
Johnson, J. Y. (2010) Handbook for Brunner & Suddarth’s textbook of medical surgical
nursing. doi: 10.1002/1521-3773(20010316)40:6<9823::AIDANIE9823>3.3.CO;2-C.
Kementrian Kesehatan RI (2013) Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013, Laporan
Nasional 2013. doi: 1 Desember 2013.

Anda mungkin juga menyukai