Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

KEPERAWATAN GERONTIK

“ASKEP LANSIA DENGAN DM DAN TERAPI MEDIK YANG LAZIM DIGUNAKAN


PADA LANSIA”

DOSEN PENGAMPU : Ns.Yenni Lukita, M.Kep

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 6

ATIKA RIZKI

DINDA NUR SAVILA (SR19213031)

IKA OKTAVIANI

NADIA CHAIRUDDIN (SR19213032)

VINA ARTIKA (SR19213029)

YENI KURNIA (SR19213027)

PROGRAM STUDI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN MUHAMMADIYAH

PONTIANAK

2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tanpa bantuannya tentunya kami tidak dapat
menyelesaikan makalah in dengan baik dan tepat waktu. Sholawat serta salam selalu
tercurahkan kepada nabi Muhammad Shallahahu a’alaihi Wa Sallam. Kami mengucapkan
syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas limpahan rahmat dan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan makalah
Keperawatan Gerontik tentang “ASKEP LANSIA DENGAN DM DAN TERAPI MEDIK
YANG LAZIM DIGUNAKAN PADA LANSIA”.

Penyelesaikan makalah ini banyak mendapatkan bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak,
oleh karena tu kami mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada:

1. Ns. Yenni Lukita, M.Kep.

2. Teman-teman kelompok yang telah bekerja sama dalam pembuatan makalah ini.

3. Rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan motivasi bagi kami dalam


menyelesaikan makalah ini.

4. Pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ni.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
kekurangan serta kesalahan di dalamnya. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca untuk makalah ni, supaya makalah ini menjadi makalah yang lebih baik. Harapan
kami makalah ini dapat menjadi penunjang ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi pembaca,
dalam memahami “KEPERAWATAN GERONTIK”
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
b. Rumusan Masalah
c. Tujuan Masalah

BAB II PEMBAHASAN

a. Pengertian DM
b. Etiologi DM
c. Patofisiologi DM
d. Manifestasi DM
e. Klasifikasi DM
f. Pemeriksaan Penunjang
g. Penatalaksaanaan DM

BAB III ASKEP GERONTIK

a. Keperawatan Gerontik
b. Faktor Yang Mempengaruhi Pengkajian Pada Lansia
c. Pengkajian Khusus Pada Lansia
d. Diagnosa Keperawatan Gerontik
e. Perencanaan Dan Implementasi

BAB IV Penutup

a. Kesimpulan
b. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Lansia adalah seorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas baik pria maupun
wanita, yamg masih aktif beraktifitas yang bekerja maupun mereka yang tidak berdaya
untuk mencari nafka sendiri hingga bergantung pada orang lain untuk menghidupi drinya
sendiri (nugroho, 2006). Diabetes mellitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang
disebabkan berbagai macam etiologi, disertai adanya hiperglikemi kronis akibat
gangguan sekresi insulin atau gangguan kerja dari insulin, atau keduanya (Hanifah,
Basuki, & Faizi, 2021). Diabetes adalah masalah kesehatan masyarakat yang penting,
menjadi salah satu dari empat penyakit tidak menular prioritas yang menjadi target
tindak lanjut oleh para pemimpin dunia. Jumlah kasus dan prevalensi diabetes terus
meningkat selama beberapa dekade terakhir (WHO Global Report, 2016 dalam
Kemenkes, 2018).

DM pada lansia adalah penyakit yang sering terjadi pada lanjut usia yang
disebabkan karena lansia tidak dapat memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup
atau tubuh tidak mampu menggunakan insulin secara efektif (Nugroho, 2012). Pada
organ tubuh lansia akan terjadi kelebihan glukosa di dalam darah serta akan dirasakan
setelah terjadi komplikasi lanjut, setelah itu akan terjadi pada semua organ tubuh dan
menimbulkan berbagai macam keluhan maupun gejala yang sangat bervariasi (Gibney,
2009). DM pada lansia di sebabkan oleh faktor genetik, usia, obesitas dan aktifitas fisik
kemudian dengan berjalannya usia yang semakin meningkatan secara bertahap di
karenakan terjadi proses menua, faktor genetik , IMT serta aktivitas fisik yang kurang
(Adamo, 2008 dalam (Musthakimah, 2019)).

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,
atau kedua-duanya (Suciana, Marwanti, & Arifianto, 2019). Meurut Priyono & bettiza,
2010; American Diabetes Association (ADA) 2004 Hiperglikemia kronik pada Diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi dan kegagalan beberapa organ
tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah (Marzel, 2021).
Klasifikasi DM secara umum terdiri atas DM tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes
Melitus (IDDM) dan DM tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes Melitus
(NIDDM). DM tipe 2 terjadi karena sel β pankreas menghasilkan insulin dalam jumlah
sedikit atau mengalami resistensi insulin. Jumlah penderita DM tipe 1 sebanyak 5-10%
dan DM tipe 2 sebanyak 90-95% dari penderita DM di seluruh dunia (ADA, 2020 dalam
Widiastuti, 2020).

Organisasi International Diabetes Federation (IDF) memperkirakan sedikitnya


terdapat 463 juta orang pada usia 20-79 tahun di dunia menderita diabetes pada tahun
2019 atau setara dengan angka prevalensi sebesar 9,3% dari total penduduk pada usia
yang sama. Berdasarkan jenis kelamin, IDF memperkirakan prevalensi diabetes di tahun
2019 yaitu 9 % pada perempuan dan 9,65% pada laki-laki. Pravelensi diabetes
diperkirakan meningkat seiring penambahan umur penduduk menjadi 19,9% atau 111,2
juta orang pada umur 65-79 tahun. Angka diprediksi terus meningkat hingga mencapai
578 juta ditahun 2030 dan 700 juta ditahun 2045. Negara di wilayah Arab-Afrika Utara,
dan Pasifik Barat menempati peringkat pertama dan kedua dengan prevalensi diabetes
pada penduduk umur 20-79 tahun tertinggi diantara 7 regional di dunia, yaitu sebesar
12,2% dan 11,4%. Wilayah Asia Tenggara dimana Indonesia menempati peringkat ke-3
dengan prevalensi sebesar 11,3% (Kemenkes, 2020).

IDF juga memproyeksikan jumlah penderita diabetes pada penduduk umur 20-79
tahun pada berbagai negara di dunia yang telah mengidentifikasi 10 negara dengan
jumlah penderita tertinggi. Cina, India, dan Amerika Serikat menempati urutan tiga
teratas dengan jumlah penderita 116,4 juta, 77 juta, dan 3 juta. Indonesia berada di
peringkat ke tujuh diantara 101 negara dengan jumlah penderita terbanyak, yaitu sebesar
10,7 juta. Indonesia menjadi satu-satunya negara Asia Tenggara pada daftar tersebut,
sehingga dapat di perkirakan besarnya kontribusi Indonesia terhadap prevalensi kasus
diabetes di Asia Tenggara (Kemenkes, 2020).

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa prevalensi diabetes


melitus (DM) di Indonesia berdasarkan diagnosa dokter pada umur ≥ 15 tahun sebesar
2%. Angka ini menunjukkan peningkatan dibandingkan perevalensi diabetes melitus
pada penduduk ≥ 15 tahun pada hasil Riskesdas tahun 2013 sebesar 1,5%. Namun
prevalensi diabetes melitus menurut hasil pemeriksaan gula darah meningkat dari 6,9%
pada tahun 2013 menjadi 8,5% pada tahun 2018. Angka ini menunjukkan bahwa baru
sekitar 25% penderita diabetes yang mengetahui bahwa dirinya menderita diabetes
(Kemenkes, 2020).

Diabetes Melitus disebut dengan the silent killer karena penyakit ini dapat menimbulkan
berbagai komplikasi antara lain gangguan penglihatan mata, katarak, penyakit jantung,
sakit ginjal, impotensi seksual, luka sulit sembuh dan membusuk/gangren, infeksi paru-
paru, gangguan pembuluh darah, stroke dan sebagainya.

Peran perawat sangatlah penting dalam memberikan asuhan keperawatan pada


pasien dengan masalah Diabetes Melitus. Asuhan keperawatan yang professional
diberikan melalui pendekatan proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian,
penetapan diagnosa, pembuatan intervensi, impelementasi keperawatan, dan
mengevaluasi hasil tindakan keperawatan.

b. Rumusan Masalah
Bagaimanakah Askep Lansia Dengan DM dan Terapi Medik Yang Lazim Digunakan
Pada Lansia
c. Tujuan Masalah
 Umum
Mengetahui Askep Lansia Dengan DM dan Terapi Medik Yang Lazim Digunakan Pada
Lansia
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Diabetes Melitus


Diabetes Mellitus adalah gangguan yang ditandai oleh hiperglikemia yang
mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak, yang terjadi akibat sekresi
insulin (Wiliam dan Wilkins, 2012). Menurut Isniati (2007), menyatakan bahwa
Diabetes Mellitus adalah gangguan kesehatan dengan gejala yang timbul pada seseorang
yang disebabkan oleh peningkatan kadar gula dalam darah akibat kekurangan insulin.
Menurut WHO (2016), diabetes adalah penyakit tidak menular yang kronis dan
progresif yang ditnadai oleh peningkatan kadar gula darah. Sementara menurut
Kemenkes (2019), diabetes mellitus terjadi karena pankreas tidak menghasilkan cukup
insulin atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang
diberikannya. Pada diabetes mellitus dapat ditemui tanda-tanda berupa kadar glukosa
darah diatas normal baik pada saat puasa maupun setelah makan, aterosklerosis, dan
penyakit vascular mikroangiopati, serta neuropati (ADA, 2016).
Jadi, bisa ditarik kesimpulan bahwa diabetes mellitus (DM) adalah suatu
penyakit kronis tidak menular yang terjadi karena adanya peningkatan kadar gula dalam
darah akibat sekresi insulin.
B. Etiologi Diabetes Melitus
Diabetes Mellitus disebabkan oleh rusaknya sebagian kecil atau besar dari sel-sel
β dari pula Langerhans pada pankreas yang menghasilkan insulin, akibatnya terjadi
kekurangan insulin. Disamping itu ada beberapa faktor lain penyebab penyakit Diabetes
Mellitus antara lain:
1. Pola Makan
Makan secara berlebihan dan berlebih jumlah kadar kalori serta tidak diimbangi
dengan sekresi insulin dalam jumlah yang memadai, yang dibutuhkan oleh tubuh dapat
memicu timbulnya diabetes mellitus.
2. Obesitas (Kegemukan)
Orang gemuk dengan berat badan lebih dari 90 kg cenderung memiliki peluang
untuk terna penyakit Diabetes Mellitus.

3. Faktor Genetik
Diabetes Mellitus dapat di wariskan dari orang tua kepada anak. Gen penyebab
Diabetes Mellitus akan dibawah oleh anak jika orang tuanya menderita Diabetes
Mellitus, pewaris gen ini dapat sampai ke cucunya bahkan cicitnya walau kemungkinan
terjadi.
4. Pola Hidup
Pola hidup juga sangat mempengaruhi faktor penyebab Diabetes Mellitus, jika
orang malas berolahraga memiliki resiko lebih tinggi untuk terkena penyakit Diabetes
Mellitus karena olahraga berfungsi untuk membakar kalori yang berlebihan dalam tubuh.
Kalori yang tertimbun dalam tubuh merupakan faktor utama penyebab Diabetes
Mellitus.
5. Penyakit dan Infeksi Pada Pankreas
Infeksi mikroorganisme dan virus pada pankres juga dapat menyebabkan radang
pankreas yang berakibat fungsi pankreas turun sehingga tidak ada sekresi hormon untuk
proses metebolisme tubuh (Hasdiana,2012).
C. Patofisiologi Diabetes Melitus
Diabetes Mellitus merupakan kumpulan gejala yang kronik dan bersifat sistemik
dengan karakteristik peningkatan glukosa darah atau Hiperglikemia yang disebabkan
menurunnya sekresi atau aktifitas dari insulin sehingga mengakibatkan terhambatnya
metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak (Tarwoto, dkk, 2012).
Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah dan
sangat dibutuhkan untuk kebutuhan sel dan jaringan, glukosa dibentuk di hati dari
makanan yang di konsumsi. Makanan sebagian yang masuk di gunakan untuk kebutuhan
energi dan sebagian lagi disimpan dalam bentuk glikogen hati dan jaringan lainnya
dengan bantuan insulin. Insulin merupakan hormon yang diproduksi oleh sel β di
Langerhans pankreas yang kemudian diproduksinya masuk kedalam darah dengan
jumlah sedikit kemudian meningkat jika ada makanan yang masuk. Pada orang dewasa
rata-rata diproduksi 40-50 unit, untuk mempertahankan glukosa darah tetap stabil antara
70-200mg/dl (Tarwoto, dkk, 2012).
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah penumpukan glukosa dalam
darah, peningkatan sejumlah insulin harus disekresi dalam mengatur kadar glukosa darah
dalam batas normal atau sedikit lebih tinggi kadarnya. Namun jika sel β tidak dapat
menjaga dengan meningkatkan kebutuhan insulin, mengakibatkan kadar glukosa
meningkat dan diabetes mellitus tipe 2 berkembang. Berikut ini patofisiologi diabetes
mellitus, menurut, Tarwoto (2012):
1. Menurunnya Penggunaan Glukosa
Pada Diabetes Mellitus sel-sel membutuhkan insulin untuk membawa glukosa
hanya sekitar 25% untuk energi, kecuali jaringan saraf eritrosit sel-sel usus, hati dan
tubulus ginjal tidak membutuhkan insulin untuk transport glukosa. Sel-sel lain seperti
jaringan adipose, otot jantung membutuhkan insulin untuk transport glukosa. Tanpa
adekuat jumlah insulin, banyak glukosa tidak dapat di gunakan. Tidak adekuatnya
insulin maka gula darah menjadi tinggi (hiperglikemia) karena hati tidak dapat
menyimpan glukosa menjadi glikogen. Supaya terjadi keseimbangan agar glukosa darah
menjadi normal maka tubuh mengeluarkan glukosa dari ginjal sehingga banyak glukosa
berada dalam urine, disisi lain pengeluaran glukosa melaluhi urine menyebabkan diuretic
osmotik dan meningkatnya jumlah air yang dikeluarkan hal ini berisiko menjadi defisit
volume cairan.
2. Meningkatnya Mobilisasi Lemak
Pada diabetes tipe 1 lebih berat di bandingkan pada tipe 2 mobilisasi lemak yang
di pecah untuk energi terjadi jika cadangan glukosa tidak ada. Hasil metabolisme lemak
adalah keton. Keton akan terkumpul dalam darah, di keluarkan lewat ginjal dan paru.
Derajat keton dapat di ukur dari darah dan urine. Jika kadarnya tinggi indikasi Diabetes
Mellitus tidak terkontrol.
3. Meningkatnya Penggunaan Protein
Kurangnya insulin berpengaruh pada pembungan protein. Pada keadaan normal
insulin berfungsi mensimulasi sintesis protein, jika terjadi ketidakseimbangan, asam
amino di konfersi menjadi glukosa di hati sehingga kadar glukosa menjadi tinggi
D. Manifestasi Klinis Diabetes Melitus
Menurut Smetzer et al, (2013) dan Kowalak (2011), tanda dan gejala diabetes
melitus yaitu:
a. Poliuria
Kekurangan insulin untuk mengangkut glukosa melalui membrane dalam sel
menyebabkan hiperglikemia sehingga serum plasma meningkat atau hiperosmolariti
menyebabkan cairan intrasel berdifusi kedalam sirkulasi atau cairan intravaskuler, aliran
darah ke ginjal meningkat sebagai akibat dari hiperosmolaritas dan akibatnya akan
terjadi diuresis osmotik (poliuria).
b. Polidipsia
Akibat meningkatnya difusi cairan dari intrasel kedalam vaskuler menyebabkan
penurunan volume intrasel sehingga efeknya adalah dehidrasi sel. Akibat dari dehidrasi
sel mulut menjadi kering dan sensor haus teraktivasi menyebabkan seseorang haus terus
dan ingin selalu minum.
c. Poliphagia
Karena glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat dari menurunnya kadar insulin
maka produksi energi menurun, penurunan energi akan menstimulasi rasa lapar. Maka
reaksi yang terjadi adalah seseorang akan lebih banyak makan.
d. Penurunan Berat Badan
Karena glukosa tidak dapat di transport kedalam sel maka sel kekurangan cairan
dan tidak mampu mengadakan metabolisme, akibat dari itu maka sel akan menciut,
sehingga seluruh jaringan terutama otot mengalami atrofidan penurunan secara otomatis.
e. Keletihan dan kelemahan yang disebabkan pengunaan glukosa oleh sel menurun.
f. Kulit kering, lesi kulit atau luka yang lambat sembuhnya, dan rasa gatal pada kulit.
g. Sakit kepala, mengantuk, dan gangguan pada aktivitas yang disebabkan oleh kadar
glukosa intrasel yang rendah.
h. Kram pada otot, iritabilitas, serta emosi yang labil akibat ketidakseimabangan elektrolit.
i. Gangguan penglihatan seperti pemandangan kabur yang disebabkan karena
pembengkakan akibat glukosa.
j. Sensasi kesemutan atau kebas ditangan dan kaki yang disebabkan kerusakan jaringan
syaraf.
k. Gangguan rasa nyaman dan nyeri pada abdomen yang disebabkan neuropati otonom
yang menimbulkan konstipasi.
l. Maul, diare, dan konstipasi yang disebabkan karena dehidrasi dan ketidakseimbangan
elektrolit serta neuropati otonom.
E. Klasifikasi Diabetik Melitus Menurut American Diabetes Asociation
Menurut ADA, klasifikasi diabetes adalah sebagai berikut:
a. DM Tipe I Destruksi sel β ,umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolute, Autoimun,
Idiopatik.
b. Tipe II Bervariasi, mulai dari yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relatif sampai defek insulin diserta resistensi insulin.
c. Tipe Lain:
1) Defek genetik fungsi sel beta
2) Defek genetik kerja insulin: resistensi insulin tipe A, leprechaunisme, sindrom rabson
Mendenhal
3) Penyakit eksokrin pancreas: pancreatitis, trauma/pankreatektomi, neoplasma, fibrosis
kistik
4) Endokrinopati: akromegali, sindrom cushing, feokromositoma
5) Obat atau zat kimia: vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormone tiroid,
diazoxid, tiazid, Infeksi: rubella congenital ,
6) Imunologi (jarang): sindrom stiff-man, anti bodi anti reseptor insulin , Sindrom genetik
lain yang berkaitan dengan Diabetes Melitus
d. Diabetes Melitus Gestasional

(Gestational diabetes melitus) GDM. 5%- 10% penderita diabetes adalah tipe I
Kurang lebih 90% hingga 95% penderita mengalami diabetes tipe I, yaitu diabetes yang
tidak tergantung insulin. Awetan mendadak biasanya terjadi sebelum usia 30%. Diabetes
tipe II terjadi akibat penurunan sensitivitas insulin (yang disebut resistensi insulin) atau
akibat penurunan jumlah produksi insulin. Diabetes melitus tipe II umumnya disebabkan
oleh obesitas dan kekurangan olahraga faktor yang mempengaruhi timbulnya diabetes
melitus secara umum yaitu usia lebih dari 40 tahun, obesitas dan riwayat keluarga.
(Brunner dan Suddarth, 2000).
F. Pemeriksaan Penunjang Diabetes Melitus
1. Kadar Glukosa Darah
a. Kadar Glukosa darah sewaktu (mg/dl) menurut Nurarif dan Kusuma (2015)
Kadar Glukosa darah DM Belum pasti DM
sewaktu
Plasma vena >200 100-200
Darah kapiler >200 80-100
b. Kadar Glukosa darah puasa (mg/dl) menurut Nuurarif & Kusuma (2015)
Kadar Glukosa darah puasa DM Belum pasti DM
Plasma vena >120 110-120
Darah kapiler >110 90-110

2. Kriteria diagnostic WHO untuk diabetes melitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan
a. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
b. Glukosa plasma swasta >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
c. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr
karbohidrat ( 2 jam post prandial (pp) >200 mg/dl)
3. Tes Laboratorium Diabetes Melitus
Jenis tes pada pasien DM dapat berupa tes saring, tes diagnostik, tes pemantauan
terapi dan tes untuk mendeteksi komplikasi.
4. Tes Saring
Tes-tes saring pada Diabetes Melitus
a. GDP, GDS
b. Tes glukosa urin
c. Tes konvensional (metode reduksi/benedict)
d. Tes carik celup (metode glucose oxidase/ hexodinase)
5. Tes diagnostic
Tes-tes diagnostik pada Diabetes Melitus adalah GDP, GDS, GD2PP (Glukosa
Darah 2 jam post prandial), Glukosa jam ke 2 TTGO.
6. Tes Monitoring
Terapi tes-tes monitoring terapi pada Diabetes Melitus adalah
a. GDP plasma vena, darah kapiler
b. GD2PP: plasma vena
c. Alc darah vena, darah kapiler
7. Tes Untuk Mendeteksi Komplikasi
Tes-tes untuk mendeteksi komplikasi Diabetes Melitus adalah
a. Mikroalbuminuria urine
b. Ureum, kratinin, asam urat
c. Kolestrol total plasma vena (puasa)
d. Kolestrol LDL: plasma vena (puasa)
e. Kolestrol HDL: plasma vena (puasa)
f. Trigliserida: plasma vena (puasa)
G. Penatalaksanaan Diabetes Melitus
1. Terapi Farmakologi
Menurut Riyadi & Sukarmin (2008), berikut ini terapi farmakologi yang bisa
digunakan:
a. Obat-obatan Hipoglikemik Oral (OHO)
1) Golongan Sulfoniluria
Cara kerjanya merangsang sel beta pankreas untuk mengeluarkan insulin. Jadi
golongan sulfoniluria hanya bekerja bila sel-sel beta utuh, mengalangi pengikatan
insulin, mempertinggi kepekaan jaringan terhadap insulin dan menekan pengeluaran
glukagon. Indikasi pemberian obat golongan sulfoniluria adalah bila berat badan sekitar
ideal kurang lebih 10% dari berat badan ideal, bila kebutuhan insulin kurang dari 40
u/hari, bila tidak ada stres akut, seperti infeksi berat.
b. Golongan Biguanid
Cara kerjanya tidak merangsang sekresi insulin. Golongan biguanid dapat
menurunkan kadar gula darah menjadi normal dan istimewanya tidak pernah
menyebabkan hipoglikemia. Efek samping obat ini (metformin) menyebabkan anoreksia,
nausea, nyeri abdomen dan diare.
c. Alfa Glukosidase Inhibitor
Cara kerjanya menghambat kerja insulin alfa glukosidase di dalam saluran cerna
sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia post
prandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan hiperglikemia dan tidak
berpengaruh pada kadar insulin.
d. Insulin Sensitizing Agent
Mempunyai efek farmakologi meningkatkan sensitifitas berbagai masalah akibat
resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia. Insulin ada 3 jenis menurut cara
kerjanya, antara lain:
1) Cara kerjanya cepat: RI (regular insulin) dengan masa kerja 2-4 jam. Contoh obatnya:
Actrapid.
2) Cara kerjanya sedang: NPN dengan masa kerja 6-12 jam.
3) Cara kerjanya lambat: PZI (Protamne Zinc Insulin) dengan masa kerjanya 18-24 jam.
2. Terapi Non-Farmakologi
a. Jenis Makanan
1) Karbohidrat
Sebagai sumber energi yang diberikan pada dibetisi tidak boleh lebih dari 55-
65% dari total kebutuhan energi sehari atau tidak boleh lebih dari 70% jika dikombinasi
dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal. Pada setiap hari karbohidrat
terdapat kandungan energi sebesar 4 kilokalori.
2) Protein
Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari total
kalori per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal dimana diperlukan pembatasan
asuhan protein sampai 40 gram per hari, maka perlu ditambahkan pemberian
suplementasi asam amino esensial. Protein mengandung energi sebesar 4 kilokalori/
gram.
3) Lemak
Lemak mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori/gram. Bahkan
makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin larut dalam lemak seperti vitamin
A, D, E, dan K. Berdasarkan ikatan rantai karbonnya, lemak dikelompokkan menjadi
lemak jenuh dan tidak jenuh. Pembatasan lemak jenuh dan kolesterol sangat disarankan
bagi diabetisi karena terbukti dapat memperbaiki profil lipid tidak normal yang sering
dijumpai pada diabitis.

b. Jadwal Makan
Jadwal makan pengidap diabetes mellitus dianjurkan lebih sering dengan porsi
sedang. Disamping jadwal makan utama pagi, siang, dan malam dianjurkan juga porsi
makanan ringan di sela- sela waktu tersebut.
c. Jumlah Kalori
Jumlah kalori perhitungan jumlah kalori ditentukan oleh status gizi, umur, ada
tidaknya stress akut dan kegiatan jasmani. Penentuan 24 status gizi dapat dipakai indeks
massa tubuh (IMT) atau rumus Brocca. Klasifikasi Status Gizi berdasarkan IMT
berdasarkan rumus Brocca.
Klasifikasi gizi berdasarkan IMT menurut Riyadi & Sukarmin (2008)
Indeks Massa Tubuh Klasifikasi
<18,5 Berat badan kurang
18,5-22,9 Berat badan normal
>23,0 Berat badan rendah
23-24,9 Berat badan lebih
25-29,9 beresiko Obesitas I
>30 Obesitas II
Pertama-tama lakukan perhitungan berat badan ideal berdasarkan rumus berat
badan ideal (BBI kg)= (TB cm-100)- 10%. Untuk laki- laki <160 cm dan wanita <150
cm, perhitungan bb ideal tidak dikurangi 10%.
d. Olahraga
Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu selama kurang lebih
setengah jam yang sifatnya sesuai CRIPE (Continous Rythmiccal Intensity Progressive
Endurance). Latihan dilakukan terus- menerus tanpa henti, otot-otot berkontraksi dan
relaksasi secara teratur. Latihan CRIPE minimal dilakukan selama 3 hari dalam
seminggu, sedangkan 2 hari yang lain dapat digunakan untuk melakukan oahraga
kesenangannya. Adanya kontraksi otot yang teratur akan merangsang peningkatan aliran
darah dan penarikan glukosa kedalam sel.
A. Pengertian lansia

1. Pengertian lanjut usia

Lansia merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan
penuryunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. Lansia adalah
keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan
terhadap kondisi stres fisiologis (Efendi & Makhfudli, 2010).Lansia adalah seseorang yang
telah berusia >60 tahun dan tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari (Ratnawati, 2017).Kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
lansia adalah seseorang yang telah berusia > 60 tahun, mengalami penurunan kemampuan
beradaptasi, dan tidak berdaya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seorang diri.

2. Batasan lanjut usia.

Di Indonesia lanjut usia adalah usia 60 tahun keatas. Hal ini dipertegas dalam Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2,
bahwa yang disebut dengan lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas,
baik pria maupun wanita (Nugroho, 2014). Beberapa pendapat para ahli tentang batasan usia
adalah sebagai berikut :

a. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) , ada empat tahapan yaitu:

1). Usia pertengahan (middle age) usia 45-59 tahun.

2) Lanjut usia (elderly) usia 60-74 tahun.

3) Lanjut usia tua (old) usia 75-90 tahun.

4) Usia sangat tua (very old) usia > 90 tahun.

b. Menurut Kementerian Kesehatan RI (2015) lanjut usia dikelompokan menjadi usia lanjut(60-
69 tahun) dan usia lanjut dengan risiko tinggi (lebih dari 70 tahun atau lebih dengan masalah
kesehatan).

3. Klasifikasi lanjut usia

Menurut Depkes RI (2019) klasifikasi lansia terdiri dari :

a. Pra lansia yaitu seorang yang berusia antara 45-59 tahun.

b. Lansia ialah seorang yang berusia 60 tahun atau lebih.

c. Lansia risiko tinggi ialah seorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.

d. Lansia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan kegiatan yang
dapat menghasilkan barang atau jasa.

e. Lansia tidak potensial ialah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga

hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

4. Manifestasi klinis DM
tanda dan gejala diabetes melitus Smetzer et al , (2013) dan Kowalak (2011), yaitu :
a. Polyuria ( air kencing keluar banyak) dan polydipsia (rasa haus yang berlebih)
yang disebabkan karena osmolalitas serum yang tinggi akibat kadar glukosa
serum yang meningkat.
b. Anoreksia dan polifagia (rasa lapar yang berlebih) yang terjadi karena glukosaria
yang menyebabkan keseimbangan kalori negative
c. Keletihan (rasa cepat lelah) dan kelemahan yang disebabkan pengunaan glukosa
oleh sel menurun.
d. Kulit kering, lesi kulit atau luka yang lambat sembuhnya, dan rasa gatal pada
kulit.
e. Sakit kepala, mengantuk, dan gangguan pada aktivitas yang disebabkan oleh
kadar glukosa intrasel yang rendah.
f. Kram pada otot, iritabilitas, serta emosi yang labil akibat ketidakseimabangan
elektrolit.
g. Gangguan penglihatan seperti pemandangan kabur yang disebabkan karena
pembengkakan akibat glukosa.
h. Sensasi kesemutan atau kebas ditangan dan kaki yang disebabkan kerusakan
jaringan syaraf.
i. Gangguan rasa nyaman dan nyeri pada abdomen yang disebabkan neuropati
otonom yang menimbulkan konstipasi.
j. Mual, diare, dan konstipasi yang disebabkan karena dehidrasi dan
ketidakseimbangan elektrolit serta neuropati otonom.

5. Komplikasi DM

Dibagi menjadi 2 jenis, yaitu jangka pendek (akut) dan jangka panjang (kronis).
Hipoglikemia dan ketoasidosis adalah bentuk komplikasi diabetes akut, sedangkan komplikasi
ndiabetes kronis terjadi ketika diabetes melitus sudah mempengaruhi fungsi mata, jantung,
ginjal, kulit, saluran pencernaan, dan saraf.

A. Komplikasi DM akut

Bisa disebabkan oleh 2 hal, yaitu peningkatan dan penurunan kadar gula darah yang drastis.
Kondisi ini memerlukan penangan medis segera. Jika terlambat ditangani, bisa menyebabkan
hilangnya kesadaran, kejang, hingga kematian.

Komplikasi diabetes melitus akut terbagi menjadi 3 macam, yaitu :

1. Hipoglikemia
Adalah kondisii ketika terjadi penurunan kadar gula darah secara drastis akibat tingginya
kadar insulin dalam tubuh, terlalu banyak mengkonsumsi obat penurun gula darah, atau
terlambat makan.
Gejalanya meliputi penglihatan kabur, jantung berdetak cepat, sakit kepala, tubuh
gemetar, keringat dingin, dan pusing. Kadar gula darah yang terlalu rendah, bahkan bisa
menyebabkan pingsan, kejang, dan koma.

2. Ketosiadosis diabetik (KAD)


Ketosiadosis diabetik adalah kondisi kegawatan medis akibat peningkatan kadar gula
darah yang terlalu tinggi. Ini adalah komplikasi diabetes melitus yang terjadi ketika tubuh
tidak dapat menggunakan gula atau glukosa sebagai sumber bahan bakar, sehingga tubuh
mengolah lemak dan menghasilkan zat keton sebagai sumber energi.
Jika tidak segera mendapat penanganan medis, kondisi ini dapat menimbulkan
penumpukan zat asam yang berbahaya didalam darah, sehingga menyebabkan dehidrasi,
koma, sesak napas, atau bahkan kematian.

3. Hyperosmolar hyperglycemic state (HHS)


Kondisi ini merupakan salah satu kegawatan medis pada penyakit kencing manis, dengan
tingkat kematian mencapai 20%. HHS terjadi akibat adanya lonjakan kadar gula darah
yang sangat tinggi dalam waktu tertentu. Gejala HHS ditandai dengan haus yang berat,
kejang, lemas, gangguan kesadaran, hingga koma.

Komplikasi DM kronis
Komplikasi jangka panjang biasanya berkembang secara bertahap saat diabetes tidak
dikelola dengan baik. Tingginya kadar gula darah yang tak terkontrol dari waktu
kewaktu akan meningkatkan resiko komplikasi, yaitu kerusakan serius pada seluruh
organ tubuh.
Beberapa komplikasi jangka panjang pada penyakit DM adalah :

1. Gangguan pada mata (retinopati diabetik)


Diabetes dapat merusak pembuluh darah di retina. Kondisi ini disebut rertinopati
diabetik dan berpotensi menyebabkan kebutaan. Pembuluh darah dimata yang rusak
karena diabetes juga meningkatkan resiko gangguan penglihatan, seperti katarak dan
glaucoma.
Deteksi dini dan pengobatan retinopati secepatnya dapat mencegah atau menunda
kebutaan. Oleh karena itu, penderita diabetes dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan mata secara teratur.

2. Kerusakan ginjal (nefropati diabetik)


Komplikasi diabetes melitus yang menyebabkan gangguan pada ginjal disebut
nefropati diabetik. Kondisi menyebabkan gagal ginjal, bahkan bisa berujung
kematian jika tidak di tangani dengan baik. Saat terjadi gagal ginjal, penderita harus
melakukan cuci darah rutin atau transplatasi ginjal.
Diagnosis sejak dini, mengontrol glukosa darah dan tekanan darah, pemberian obat-
obatan pada tahap kerusakan ginjal, serta membatasi asupan protein adalah cara yang
biasa dilakukan untuk menghambat perkembangan diabetes yang mengarah kepada
gagal ginjal.

3. Kerusakan saraf (neuropati diabetik)\


Tingginya kadar gula dalam darah dapat merusak pembuluh darah dan syaraf di
tubuh, terutama kaki. Kondisi yang biasanya disebut neuropati diabetik ini terjadi
ketika saraf mengalami kerusakan, baik secara langsung akibat tingginya gula darah
maupun karena penurunan aliran darah menuju saraf.
Rusaknya saraf akan menyebabkam gangguan sensorik dengan gejala berupa mual,
muntah, dan merasa cepat kenyang saat makan.
Komplikasi ini juga dapat menyababkan disfungsi ereksi atau impotensi pada pria.
Sebenarnya, kerusakan saraf dicegah dan ditunda jika diabetes terdeteksi sejak dini.
Dengan demikian, kadar gula darah bisa dikendalikan dengan menerapkan pola
makan dan pola hidup sehat., serta mengkonsumsi obat sesuai lanjuran dokter.

4. Penyakit kardiovaskuler
Kadar gula yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah. Ini
dapat menyebabkan gangguan serkulasi darah diseluruh tubuh, termasuk jantng.
Komplikasi diabetes melitus yang menyerang jantung dan pembuluh darah, meliputi
penyakit jantung, stroke, serangan jantung, penyempitan arteri ( ateroskleorosis)
Mengontrol kadar gula darah dan factor resiko lainnya dapat mencegah dan menunda
komplikasi pada penyakit kardiovaskular.

Pemeriksaan penunjang DM

1. Kadar glukosa darah


a. Kadar Glukosa darah sewaktu (mg/dl) menurut Nurarif dan Kusuma (2015)

Kadar Glukosa darah sewaktu DM Belum pasti DM


Plasma vena >200 100-200
Darah kapiler >200 80-100

b. Kadar Glukosa darah puasa (mg/dl) menurut Nuurarif & Kusuma (2015)

Kadar Glukosa darah puasa DM Belum pasti DM


Plasma vena >120 110-120
Darah kapiler >110 90-110
2. Kriteria diagnostic WHO untuk diabetes melitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan
a. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
b. Glukosa plasma swasta >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
c. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi
75 gr karbohidrat ( 2 jam post prandial (pp) >200 mg/dl)

3. Tes Laboratorium DM
Jenis tes pada pasien DM dapat berupa tes saring, tes diagnostic, tes pemantauan terapi
dan tes untuk mendeteksi komplikasi.

4. Tes saring
Tes-tes saring pada DM
a. GDP, GDS
b. Tes glukosa urin
1) Tes konvensional (metode reduksi/benedict)
2) Tes carik celup (metode glucose oxidase/ hexodinase)
5. Tes diagnostik
Tes-tes diagnostik pada DM adalah GDP, GDS, GD2PP (Glukosa Darah 2 jam post
prandial), Glukosa jam ke 2 TTGO.

6. Tes monitoring terapi


Tes-tes monitoring terapi DM adalah
a. GDP plasma vena, darah kapiler
b. GD2PP : plasma vena
c. Alc darah vena, darah kapiler

7. Tes untuk mendeteksi komplikasi


Tes-tes untuk mendeteksi komplikasi DM adalah
a. Mikroalbuminuria urine
b. Ureum, kratinin, asam urat
c. Kolestrol total plasma vena (puasa)
d. Kolestrol LDL: plasma vena (puasa)
e. Kolestrol HDL: plasma vena (puasa)
f. Trigliserida: plasma vena (puasa)
Penatalaksanaan DM

1. Terapi Farmakologi

Menurut Riyadi & Sukarmin (2008), antara lain:

a. Obat-obatan Hipoglikemik Oral (OHO)


1) Golongan sulfoniluria

Cara kerjanya merangsang sel beta pankreas untuk mengeluarkan


insulin. Jadi golongan sulfoniluria hanya bekerja bila sel-sel beta
utuh, mengalangi pengikatan insulin, mempertinggi kepekaan
jaringan terhadap insulin dan menekan pengeluaran glukagon.
Indikasi pemberian obat golongan sulfoniluria adalah bila berat
badan sekitar ideal kurang lebih 10% dari berat badan ideal, bila
kebutuhan insulin kurang dari 40 u/hari, bila tidak ada stres akut,
seperti infeksi berat.
2) Golongan biguanid

Cara kerjanya tidak merangsang sekresi insulin. Golongan biguanid


dapat menurunkan kadar gula darah menjadi normal dan
istimewanya tidak pernah menyebabkan hipoglikemia. Efek
samping obat ini (metformin) menyebabkan anoreksia, nausea,
nyeri abdomen dan diare.
3) Alfa glukosidase inhibitor

Cara kerjanya menghambat kerja insulin alfa glukosidase di dalam


saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan
menurunkan hiperglikemia post prandial. Obat ini bekerja di lumen
usus dan tidak menyebabkan hiperglikemia dan tidak berpengaruh
pada kadar insulin.
4) Insulin sensitizing agent

Mempunyai efek farmakologi meningkatkan sensitifitas berbagai


masalah akibat resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia.

b. Insulin ada 3 jenis menurut cara kerjanya, antara lain :

1) Cara kerjanya cepat : RI (regular insulin) dengan masa kerja 2-4


jam. Contoh obatnya: Actrapid
2)Cara kerjanya sedang: NPN dengan masa kerja 6-12 jam
3) Cara kerjanya lambat: PZI (Protamne Zinc Insulin) dengan masa
kerjanya 18-24 jam
2. Terapi non farmakologi
a. Jenis makanan
1) Karbohidrat
Sebagai sumber energi yang diberikan pada dibetisi tidak boleh lebih dari
55-65% dari total kebutuhan energi sehari atau tidak boleh lebih dari 70%
jika dikombinasi dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal.
Pada setiap hari karbohidrat terdapat kandungan energi sebesar 4 kilokalori.
2) Protein
Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari total
kalori per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal dimana diperlukan
pembatasan asuhan protein sampai 40 gram per hari, maka perlu
ditambahkan pemberian suplementasi asam amino esensial. Protein
mengandung energi sebesar 4 kilokalori/ gram.
3) Lemak
Lemak mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori/ gram. Bahkan
makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin larut dalam lemak
seperti vitamin A, D, E, dan K. Berdasarkan ikatan
rantai karbonnya, lemak dikelompokkan menjadi lemak jenuh dan
tidak jenuh. Pembatasan lemak jenuh dan kolesterol sangat
disarankan bagi diabetisi karena terbukti dapat memperbaiki profil
lipid tidak normal yang sering dijumpai pada diabitis.

b. Jadwal makan
Jadwal makan pengidap diabetes mellitus dianjurkan lebih sering dengan porsi
sedang. Disamping jadwal makan utama pagi, siang, dan malam dianjurkan
juga porsi makanan ringan di sela- sela waktu tersebut.

c. Jumlah kalori
Jumlah kalori perhitungan jumlah kalori ditentukan oleh status gizi, umur, ada
tidaknya stress akut dan kegiatan jasmani. Penentuan 24 status gizi dapat
dipakai indeks massa tubuh (IMT) atau rumus Brocca.
Klasifikasi Status Gizi berdasarkan IMT berdasarkan rumus Brocca.

Tabel 2.3 Klasifikasi gizi berdasarkan IMT menurut Riyadi &


Sukarmin (2008)
No Indeks Massa Tubuh Klasifikasi
1 <18,5 Berat badan kurang
2 18,5-22,9 Berat badan normal
3 >23,0 Berat badan rendah
23-24,9 Berat badan lebih beresiko
25-29,9 Obesitas I
>30 Obesitas II
Pertama-tama lakukan perhitungan berat badan ideal berdasarkan
rumus berat badan ideal (BBI kg)= (TB cm-100)- 10%. Untuk laki-
laki <160 cm dan wanita <150 cm, perhitungan bb ideal tidak
dikurangi 10%.

d. Olahraga

Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu selama kurang lebih
setengah jam yang sifatnya sesuai CRIPE (Continous Rythmiccal Intensity
Progressive Endurance). Latihan dilakukan terus- menerus tanpa henti, otot-
otot berkontraksi dan relaksasi secara teratur. Latihan CRIPE minimal
dilakukan selama 3 hari dalam seminggu, sedangkan
2 hari yang lain dapat digunakan untuk melakukan oahraga
kesenangannya. Adanya kontraksi otot yang teratur akan merangsang
peningkatan aliran darah dan penarikan glukosa kedalam sel.
Olahraga lebih dianjurkan pada pagi hari (sebelum jam 06.00) karena
selain udara yang masih bersih juga suasana yang belum ramai
sehingga membantu penderita lebih nyaman dan tidak mengalami
stress yang tinggi. Olahraga yang teratur akan memperbaiki sirkulasi
insulin dengan cara meningkatkan dilatasi sel dan pembuluh darah
sehingga membantu masuknya glukosa ke dalam sel (Riyadi &
Sukarmin, 2008).
A. Terapi Tanpa Obat
1. Pengaturan Diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet
yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:
 Karbohidrat : 60-70%
 Protein : 10-15%
 Lemak : 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan
kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan
berat badan ideal.
Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan
memperbaiki respons sel-sel β terhadap stimulus glukosa. Dalam salah satu
penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar
HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu parameter status DM), dan setiap
kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu
harapan hidup.
Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan juga sebaiknya diperhatikan.
Masukan kolesterol tetap diperlukan, namun jangan melebihi 300 mg per hari.
Sumber lemak diupayakan yang berasal dari bahan nabati, yang mengandung lebih
banyak asam lemak tak jenuh dibandingkan asam lemak jenuh. Sebagai sumber
protein sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam (terutama daging dada), tahu dan tempe,
karena tidak banyak mengandung lemak.
Masukan serat sangat penting bagi penderita diabetes, diusahakan paling tidak 25
g per hari. Disamping akan menolong menghambat penyerapan lemak, makanan
berserat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh juga dapat membantu mengatasi rasa
lapar yang kerap dirasakan penderita DM tanpa risiko masukan kalori yang berlebih.
Disamping itu makanan sumber serat seperti sayur dan buah-buahan segar umumnya
kaya akan vitamin dan mineral.

2. Olah Raga
Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap
normal. Saat ini ada dokter olah raga yang dapat dimintakan nasihatnya untuk
mengatur jenis dan porsi olah raga yang sesuai untuk penderita diabetes. Prinsipnya,
tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat
bagus pengaruhnya bagi kesehatan.
Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical,
Interval, Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran
75-85% denyut nadi maksimal (220-umur), disesuaikan dengan kemampuan dan
kondisi penderita. Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau
lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak
dilakukan selama total 30-40 menit per hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit
dan diakhiri pendinginan antara 5-10 menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah
dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan
penggunaan glukosa.
Contoh artikel :
Senam Lansia Meningkatkan Eustress Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe II
Senam lansia merupakan serangkaian gerakan khusus yang dirancang bagi lanjut
usia. Gerakan-gerakan senam lansia bersifat low impact dan merupakan rangkaian
gerakan kegiatan harian yang dipadukan dengan musik yang lembut sehingga
menimbulkan suasana santai (Saftarina dan Rabbaniyah, 2016). Hal ini berdampak
terhadap penurunan distress dan peningkatan eustress. Distress merupakan kondisi
ketidakseimbangan, sedang eustress adalah suatu kondisi keseimbangan baik secara
biofisiologis maupun psikologis (Amir et al, 2018).
Senam lansia dengan gerakan ritmit yang teratur berdampak positif terhadap
respon relaksasi pada jaringan otot. Respon relaksasi secara fisiologis terjadi karena
optimalisasi metabolisme aerob yang menghasilkan 36 ATP berkorelasi dengan
kecukupan suplai energi sel. Respon relaksasi juga berdampak secara positif pada sisi
psikologis sehingga bisa meningkatkan eustress. Hal ini secara mekanisme hampir
serupa dengan terapi relaksasi otot progresif.
Maghfirah (2015) menjelaskan bahwa terapi relaksasi otot progresif akan
mengaktifkan sitem saraf parasimpatis dan menekan kerja sistem saraf simpatis. Hal
ini akan berdampak pada penurunan kadar hormon kortisol dan meregulasi kadar
glukosa darah.
Senam Lansia Meningkatkan Kontrol Glukosa Darah Pada Pasien Diabetes
Mellitus Tipe II
Senam Lansia merupakan perpaduan gerakan yang sudah terstandar, aman
terstruktur serta telah dikaji melalui proses penelitian sehingga sudah sesuai dengan
karakteristik dan kebutuhan gerak pada lanjut usia (Utomo, 2014 dalam Lubis dkk,
2020). Gerakan otot yang dipilih adalah gerakan sederhana dan cukup baik bila
dilakukan teratur dua sampai tiga kali seminggu (Saftarina dan Rabbaniyah, 2016).
Senam lansia secara fisiologi melibatkan gerakan otot dan persendian berdampak
pada peningkatan pembakaran kalori di dalam tubuh yang bisa meningkatkan
meningkatkan jumlah dan mekanisme kerja reseptor insulin sel. Apabila jumlah dan
kepekaan resptor insulin meningkat terutama pada DM tipe 2, maka absorbsi glukosa
kedalam sel meningkat sehingga kadar glukosa dalamdarah menurun. Senam lansia
juga meregulasi kontrol kadar glukosa darah melalui jalur psikoneuroendokrinologi.
Hal ini terjadi ketika senam bisa membuat responden bahagia dan sejenak
menimbulkan rasa nyaman dan senang. Rasa senang dan nyaman mampu
memperbaiki persepsi stress dari yang negatif (distress) menjadi persepsi stress yang
positif (eustress). Eustress akan direspon oleh mekanisme lain melalui sistem
neuroendokrin.

B. Terapi Obat
Apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat (pengaturan diet dan olah raga) belum
berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan langkah
berikutnya berupa penatalaksanaan terapi obat, baik dalam bentuk terapi obat
hipoglikemik oral, terapi insulin, atau kombinasi keduanya.

1. Terapi Insulin
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1. Pada
DM Tipe I, sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga
tidak lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM
Tipe I harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme
karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian besar
penderita DM Tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir 30%
ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral.
a. Pengendalian sekresi insulin
Pada prinsipnya, sekresi insulin dikendalikan oleh tubuh untuk
menstabilkan kadar gula darah. Apabila kadar gula di dalam darah tinggi,
sekresi insulin akan meningkat. Sebaliknya, apabila kadar gula darah rendah,
maka sekresi insulin juga akan menurun. Dalam keadaan normal, kadar gula
darah di bawah 80 mg/dl akan menyebabkan sekresi insulin menjadi sangat
rendah.
Stimulasi sekresi insulin oleh peningkatan kadar glukosa darah
berlangsung secara bifasik. Fase 1 akan mencapai puncak setelah 2-4 menit
dan masa kerja pendek, sedangkan mula kerja (onset) fase 2 berlangsung
lebih lambat, namun dengan lama kerja (durasi) yang lebih lama pula.
kadar gula darah dan hormon-hormon saluran cerna, ada beberapa faktor
lain yang juga dapat menjadi pemicu sekresi insulin, antara lain kadar asam
lemak, benda keton dan asam amino di dalam darah, kadar hormon-hormon
kelenjar pankreas lainnya, serta neurotransmiter otonom. Kadar asam lemak,
benda keton dan asam amino yang tinggi di dalam darah akan meningkatkan
sekresi insulin.
Dalam keadaan stres, yaitu keadaan dimana terjadi perangsangan syaraf
simpatoadrenal, hormon epinefrin bukan hanya meninggikan kadar glukosa
darah dengan memacu glikogenolisis, melainkan juga menghambat
penggunaan glukosa di sel-sel otot, jaringan lemak dan sel-sel lain yang
penyerapan glukosanya dipengaruhi insulin.
Dengan demikian, glukosa darah akan lebih banyak tersedia untuk
metabolisme otak, yang penyerapan glukosanya tidak bergantung pada
insulin. Dalam keadaan stres, sel-sel otot terutama menggunakan asam lemak
sebagai sumber energi, dan epinefrin memang menyebabkan mobilisasi asam
lemak dari jaringan.
b. Mekanisme Kerja Insulin
Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam
pengendalian metabolisme. Insulin yang disekresikan oleh sel-sel β pankreas
akan langsung diinfusikan ke dalam hati melalui vena porta, yang kemudian
akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui peredaran darah.
Efek kerja insulin yang sudah sangat dikenal adalah membantu transpor
glukosa dari darah ke dalam sel. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa
darah tidak dapat atau terhambat masuk ke dalam sel. Akibatnya, glukosa
darah akan meningkat, dan sebaliknya sel-sel tubuh kekurangan bahan
sumber energi sehingga tidak dapat memproduksi energi sebagaimana
seharusnya.
Disamping fungsinya membantu transport glukosa masuk ke dalam sel,
insulin mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap metabolisme, baik
metabolisme karbohidrat dan lipid, maupun metabolisme protein dan
mineral.insulin akan meningkatkan lipogenesis, menekan lipolisis, serta
meningkatkan transport asam amino masuk ke dalam sel. Insulin juga
mempunyai peran dalam modulasi transkripsi, sintesis DNA dan replikasi sel.
Itu sebabnya, gangguan fungsi insulin dapat menyebabkan pengaruh negatif
dan komplikasi yang sangat luas pada berbagai organ dan jaringan tubuh.
c. Prinsip Terapi Insulin
Indikasi
1. Semua penderita DM Tipe 1 memerlukan insulin eksogen karena produksi
insulin endogen oleh sel-sel β kelenjar pankreas tidak ada atau hampir tidak
ada.
2. Penderita DM Tipe 2 tertentu kemungkinan juga membutuhkan terapi
insulin apabila terapi lain yang diberikan tidak dapat mengendalikan kadar
glukosa darah.
3. Keadaan stres berat, seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan,
infark miokard akut atau stroke.
4. DM Gestasional dan penderita DM yang hamil membutuhkan terapi
insulin, apabila diet saja tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah.
5. Ketoasidosis diabetic.
6. Insulin seringkali diperlukan pada pengobatan sindroma hiperglikemia
hiperosmolar non-ketotik.
7. Penderita DM yang mendapat nutrisi parenteral atau yang memerlukan
suplemen tinggi kalori untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat,
secara bertahap memerlukan insulin eksogen untuk mempertahankan kadar
glukosa darah mendekati normal selama periode resistensi insulin atau ketika
terjadi peningkatan kebutuhan insulin.
8. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat.
9. Kontra indikasi atau alergi terhadap OHO.
Cara Pemberian
Sediaan insulin saat ini tersedia dalam bentuk obat suntik yang umumnya
dikemas dalam bentuk vial. Kecuali dinyatakan lain, penyuntikan dilakukan
subkutan (di bawah kulit). Lokasi penyuntikan yang disarankan ditunjukan
pada gambar dibawah ini :

Penyerapan insulin dipengaruhi oleh beberapa hal. Penyerapan paling


cepat terjadi di daerah abdomen, diikuti oleh daerah lengan, paha bagian atas
dan bokong. Bila disuntikkan secara intramuskular dalam, maka penyerapan
akan terjadi lebih cepat, dan masa`kerjanya menjadi lebih singkat. Kegiatan
fisik yang dilakukan segera setelah penyuntikan akan mempercepat waktu
mula kerja (onset) dan juga mempersingkat masa kerja.
Selain dalam bentuk obat suntik, saat ini juga tersedia insulin dalam
bentuk pompa (insulin pump) atau jet injector, sebuah alat yang akan
menyemprotkan larutan insulin ke dalam kulit. Sediaan insulin untuk
disuntikkan atau ditransfusikan langsung ke dalam vena juga tersedia untuk
penggunaan di klinik. Penelitian untuk menemukan bentuk baru sediaan
insulin yang lebih mudah diaplikasikan saat ini sedang giat dilakukan.
Diharapkan suatu saat nanti dapat ditemukan sediaan insulin per oral atau per
nasal.
2. Terapi Obat Hipoglikemik
Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu
penanganan pasien DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat
sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada tingkat
keparahan penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi hipoglikemik oral dapat
dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis
obat. Pemilihan dan penentuan rejimen hipoglikemik yang digunakan harus
mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta kondisi
kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi
yang ada.
a. Penggolongan Obat Hipoglikemik Oral
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat
dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:
1) Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat hipoglikemik
oral golongan sulfonilurea dan glinida (meglitinida dan turunan
fenilalanin).

2) Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel


terhadap insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida
dan tiazolidindion, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan
insulin secara lebih efektif.
3) Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor α-glukosidase
yang bekerja menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan untuk
mengendalikan hiperglikemia post-prandial (post-meal hyperglycemia).
Disebut juga “starch-blocker”.
3. Terapi Kombinasi
Pada keadaan tertentu diperlukan terapi kombinasi dari beberapa OHO atau
OHO dengan insulin. Kombinasi yang umum adalah antara golongan
sulfonilurea dengan biguanida. Sulfonilurea akan mengawali dengan
merangsang sekresi pankreas yang memberikan kesempatan untuk senyawa
biguanida bekerja efektif. Kedua golongan obat hipoglikemik oral ini memiliki
efek terhadap sensitivitas reseptor insulin, sehingga kombinasi keduanya
mempunyai efek saling menunjang. Pengalaman menunjukkan bahwa kombinasi
kedua golongan ini dapat efektif pada banyak penderita diabetes yang
sebelumnya tidak bermanfaat bila dipakai sendiri-sendiri.
BAB III
ASKEP GERONTIK
A. KEPERAWATAN GERONTIK
Keperawatan gerontik adalag suatu bentuk pelayanan professional yang didasarkan
pada ilmu dan kiat/teknik keperawatan yang bersifat konprehensif terdiri dari bio-psiko-
sosio-spiritual dan kultural yang holistic, ditunjukkan pada klien lanjut usia, baik sehat
maupun sakit pada tingkat individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat (UU RI No. 33
tahun 2014).
Terdiri dari bio-psiko-sosio-cultur dan spiritual dengan pendekatan proses
keperawatan ( yang terdiri dari pengkajian, diagnosis keperawatan, perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi).
Pengkajian keperawatan pada lansia adalah suatu tindakan peninjauan situasi lansia
untuk memperoleh data dengan maksud menegaskan situasi penyakit diagnosis masalah,
penetapan kekuatan dan kebutuhan promosi kesehatan lansia.
B. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGKAJIAN PADA LANSIA
1. Interelasi
2. Adanya penyakit dan ketidakmampuan status fungsional
Apa saja yang perlu diperhatikan saat melakukan pengkajian kepada lansia ?
a. Perubahan fisik ; pengkajian system persyarafan, mata, pendengaran, system
kardiovaskuler, system gastrointestinal, system genitourinarius, integument,
system musculiskeletal.
b. Perubahan psikologis : yang paling umum terjadi diantaranya yaitu perubahan
perilaku akiba penurunan kognitif, gangguan kecemasan salah satunya takut akan
kematian.
c. Perubahan social ekonomi : semakin panjang usia seseorang, maka akan semakin
banyak pula transisi dan kehilangan yang harus dihadapi. Transisi hidup yang
mayoritas disusun oleh pengalaman kehilangan, meliputi masa pensiun dan
perubahan keadaan finansial, perubahan peran dan hubungan, perubahan
kesehatan, kemampuan fungsional dan perubahan jaringan social. Dalam
kemampuan ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan / pensiun maka biaya
hidup padahal penghasilan yang sulit serta biaya pengobatan bertambah.
d. Perubahan spiritual : pada lansia ditandai dengan semakin matangnya kehidupan
keagamaan lansia. Agama dan kepercayaan terintegrasi dalam kehidupan yang
terlihat dalam pola berfikir dan bertindak sehari-hari. Perkembanan spiritual yang
matang akan membantu lansia untuk merumuskan arti dan tujuan keberadaannya
dalam kehidupan.
e.
C. PENGKAJIAN KHUSUS PADA LANSIA
1. Pengkajian Status Fungsional dengan pemeriksaan Index Katz
Katz Indeks merupakan sebuah alat ukur bagi perawat untuk dapat melihat
status fungsi pada klien usia lanjut dengan mengukur kemampuan mereka untuk
melakukan aktivitassehari-hari. dapat juga untuk meramalkan prognosis dari berbagai
macam penyakit padalansia.
2. Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ)
Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ) merupakaninstrument
pengkajian sederhana yang digunakan untuk menilai fungsi intelektual
maupunmental dari lansia (Padila, 2013). Pemeriksaan status mental meliputi
pengkajian padatingkat kesadaran, perhatian, keterampilan bahasa, keterampilan
menghitung dan menulis,kemampuan konstruksional. Terdiri dari 10 pertanyaan
tentang orientasi, riwayat pribadi,memori dalam hubungannya dengan kemampuan
perawatan diri, memori jauh dankemampuan matematis.
3. Morse Fall Scale (MFS)/ Skala Jatuh Dari Morse
Fall Morse Scale (FMS) merupakan sebuah metode yang cepat dan sederhana
untuk menilai kemungkinan jatuh klien lansia. Penilaian dengan Fall Morse Scale
terdiri dari 6 bagian yang meliputi riwayat jatuh, diagnosis penyakit, bantuan
berjalan, terapi intravena, gaya berjalan dan status mental. Morse Fall Scale (MFS)
adalah metode cepat dan sederhana untuk menilai kemungkinan pasien jatuh.
4. MMSE (Mini Mental State Exam)
Mini Mental State Examination (MMSE) merupakan pemeriksaan mental mini
yang cukup populer, diperkenalkan oleh Folstein (1971). MMSE digunakan sebagai
alat untuk mendeteksi adanya gangguan kognitif pada seseorang/individu,
mengevaluasi perjalanan suatu penyakit yang berhubungan dengan proses penurunan
kognitif dan memonitor respon terhadap pengobatan (Turana, 2004).
5. Pengkajian Psikososial
Jika dicurigai terjadi depresi, harus dilakukan pengkajiandengan alat
pengkajian yang terstandarisasi dan dapat dipercayai serta valid dan memang
dirancang untuk diujikan kepada lansia. Salah satu yang paling mudah digunakan dan
diinterpretasikan di berbagai tempat, baik oleh peneliti maupun praktisiklinis adalah
Geriatric Depression Scale (GDS). Alat ini diperkenalkan oleh Ysavage dkk. pada
tahun 1983 dengan indikasi utama pada lanjut usia, dan memiliki keunggulan mudah
digunakan dan tidak memerlukan ketrampilan khusus dari pengguna.
D. DIAGNOSA KEPERAWATAN GERONTIK
Diagnosa keperawatan merupakan kesimpulan yang ditarik dari data yang dikumpulkan
tentang lansia, yangberfungsi sebagai alat untuk mengambarkan masalah lansia.
Ada beberapa tipe diagnosis keperawatan, diantaranya :
1. Diagnose Keperawatan Aktual
Actual : menggambarkan respon yang tidak diinginkan klien terhadap kondisi
kesehatan atau proses kehidupan baik pada individu, keluarga, kelompok dan
komunitas.
Contoh : a) ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, b) gangguan pola
nafas, c) gangguan pola tidur, d) disfungsi proses keluarga, e) ketidakefektifan
manajemen regimen teraupetik keluarga.
2. Risiko
Resiko : kerentanan lansia sebagai individu, keluarga, kelompok, dan komunitas yang
memungkinkan berkembangnya suatu respon yang tidak diinginkan klien terhadap
kondisi kesehatan / proses kehidupannya.
Contoh : a) resiko kekurangan volume cairan, b) resiko terjadinya infeksi, c) resiko
intoleran aktifitas, d) risiko ketidakmampuan menjadi orang tua, e) risiko distress
spiritual.
3. Promosi kesehatan
Promkes : motivasi dan keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan dan untuk
mengaktualisasikan potesi kesehatan pada individu, keluarga, kelompok, atau
komunitas.
Contoh : a) kesiapan meningkat nutrisi, b) kesiapan meningkatkan komunikasi, c)
kesiapan untuk meningkatkan kemampuan pembuatan keputusan, d) kesiapan
meningkatkan penegatahuan, e) kesiapan meningkatkan religiusitas.
4. Sindrom
Sindrom : suatu kelompok diagnosis keperawatan yang terjadi bersama, mengatasi
masalah secara bersama dan melalui intervensi yang sama
Contoh : a) sondrom kelelahan lansia, b) sindrom tidak berguna, c) sondrom post
trauma, d) sindrom kekerasan.
E. PERENCANAAN DAN IMPLEMENTASI
Perencanaan keperawatan gerontik adalah suatu proses penyusunan berbagai intervensi
keperawatan yang berguna untuk mencegah, menurunkan atau mengurangi masalah-
masalah.
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Diabetes Melitus disebut dengan the silent killer karena penyakit ini dapat menimbulkan
berbagai komplikasi antara lain gangguan penglihatan mata, katarak, penyakit jantung,
sakit ginjal, impotensi seksual, luka sulit sembuh dan membusuk/gangren, infeksi paru-
paru, gangguan pembuluh darah, stroke dan sebagainya.Peran perawat sangatlah penting
dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan masalah Diabetes Melitus.
Asuhan keperawatan yang professional diberikan melalui pendekatan proses keperawatan
yang terdiri dari pengkajian, penetapan diagnosa, pembuatan intervensi, impelementasi
keperawatan, dan mengevaluasi hasil tindakan keperawatan.

B. SARAN
Dengan adanya makalah yang kami buat ini tentang terapi medik dan terapi
komplementer diharapkan pembaca atau teman-teman sejawat dapat memperoleh
manfaat dari makalah yang kami buat.
DAFTAR PUSTAKA

https://repository.unimus.ac.id/973/3/.BAB%2011.pdf

https://www.alodokter.com/komplikasi-diabetes-melitus-bisa-menyerang-mata-hingga-ujung-
kaki

https://eprints.umpo.ac.id/5036/3/Bab%202.pdf

http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/7261/4/BAB%20II%20Tinjauan%20Pustaka.pdf

https://stikespanakkukang.ac.id/assets/uploads/alumni/3239db411eda980badacef70bf211445.pdf

Anda mungkin juga menyukai