PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas. Penduduk lanjut
bidang kesehatan, ekonomi, dan sosial. Untuk itu diperlukan data terkait
membangun bangsa.
8% atau sekitar 142 juta jiwa. Pada tahun 2050 diperkirakan populasi
1
2
Lansia meningkat 3 kali lipat dari tahun ini. Pada tahun 2000 jumlah Lansia sekitar
5,300,000 (7,4%) dari total populasi, sedangkan pada tahun 2010 jumlah Lansia
24,000,000 (9,77%) dari total populasi, dan tahun 2020 diperkirakan jumlah Lansia
mencapai 28,800,000 (11,34%) dari total populasi. Sedangkan di Indonesia sendiri pada
Dalam waktu hampir lima dekade, persentase lansia Indonesia meningkat sekitar
dua kali lipat (1971-2019), yakni menjadi 9,6 persen (25 juta-an) di mana lansia
perempuan sekitar satu persen lebih banyak dibandingkan lansia laki-laki (10,10 persen
banding 9,10 persen). Dari seluruh lansia yang ada di Indonesia, lansia muda (60-69
tahun) jauh mendominasi dengan besaran yang mencapai 63,82 persen, selanjutnya
diikuti oleh lansia madya (70- 79 tahun) dan lansia tua (80+ tahun) dengan besaran
masing-masing 27,68 persen dan 8,50 persen. ( statistic lanjut usia,2019 )(Usia n.d.)
Sedangkan Provinsi Riau mencatat presentase lansia dari tahun 2010-2020 dengan
rentang 4,04 persen meningkat menjadi 6,05 persen. Di kota pekanbaru (2010-2020)
presentasenya meningkat dari 3,63 persen menjadi 5,57 persen dengan lansia perempuan
total 569.798 jiwa dan lansia laki-laki 599.272 jiwa. (Fahmi 2020).
Menurut Maramis dalam Azizah (2011), pada lanjut usia permasalahan yang
perubahan yang terjadi pada dirinya. Penurunan kemampuan untuk beradaptasi terhadap
perubahan dan stress lingkungan sering menyebabkan gangguan psikososial pada lansia.
Masalah kesehatan jiwa yang sering muncul pada lansia adalah gangguan proses
pikir, demensia, gangguan perasaan seperti depresi, harga diri rendah, gangguan fisik dan
3
gangguan prilaku. Salah satu permasalahan kesehatan yang sering dialami lansia adalah
Demensia adalah sekelompok tanda dan gejala yang ditandai oleh adanya
penurunan kognitif serta gangguan fungsional (APA, 2018) yang menyebabkan gangguan
pada daya ingat, bahasa, persepsi visual, berosialisasi, atau fungsi kognitif lainnya,
Australia, 2015). Demensia juga sering dipersepsikan sebagai orang yang mengalami
gangguan jiwa oleh masyarakat. Banyak faktor risiko yang menyebabkan demensia. Usia
lanjut merupakan salah satu faktor terjadinya demensia (WHO, 2017). Selain itu, faktor
lain yang berkontribusi antara lain: kurang aktivitas fisik, hipertensi, obesitas, diet tidak
sehat, mengonsumsi alkohol, merokok, diabetes, depresi, dan pendidikan rendah (WHO,
2017) sehingga, orang yang bukan lansia pun memiliki kemungkinan mengalami
demensia.
Organization melaporkan jumlah total orang dengan demensia diseluruh dunia pada tahun
2016 diperkirakan mencapai 47,5 juta dan sebanyak 22 juta jiwa diantaranya berada dia
Asia. Di Negara maju seperti Amerika Serikat saat ini ditemukan lebih dari 4 juta orang
usia lanjut menderita penyakit demensia. Angka ini diperkirakan akan meningkat hampir
4 kali pada tahun 2050. Di antara mereka, 58% hidup dinegara-negara berpenghasilan
rendah atau menengah, dan proporsi ini di proyeksikan meningkat menjadi 75% pada
tahun 2050. Jumlah total kasus demensia baru setiap tahun di seluruh dunia hampir 7,7
juta, artinya bahwa setiap 4 detik terdapat 1 kasus demensia diperkirakan akan meningkat
menjadi 75,6 juta pada tahun 2030 dan 135,5 juta pada tahun 2050.
4
besar negara dengan jumlah penduduk lansia terbanyak di dunia yakni mencapai 18,1 juta
jiwa pada tahun 2010 atau 9,6% dari jumlah penduduk. penduduk lansia ini
diproyeksikan menjadi 28,8 juta (11,34%) dari total penduduk Indonesia pada tahun
2020, atau menurut proyeksi Bappenas jumlah penduduk lansia 60 tahun akan menjadi
dua kali lipat (36 juta) pada tahun 2025. Sementara itu, umur harapan hidup penduduk
Indonesia laki-laki dan perempuan) semakin meningkat dari 70,1 tahun 2010-2015
menjadi 72,2 tahun pada periode 2020- 2035 (Badan Pusat Statistik Indonesia 2013).
mengganggu aktivitas sosial dan pekerjaannya. Pada demensia juga terdapat gangguan
kognisi lain seperti bahasa, orientasi, kemampuan membuat keputusan, berpikir abstrak,
gangguan emosi dan perilaku. Gejala demensia yang sering dialami lansia seperti lupa
meletakkan barang, tersesat keluar rumah tanpa ditemani, emosi naik turun (Aspiani,
2014).
Tahapan ini sekaligus menjadi penentu tingkat keparahan demensia seseorang. Kelima
tahap tersebut, antara lain: Tahap 1: fungsi otak pengidap masih bekerja secara normal.
Tahap 2: pengidap mulai mengalami penurunan fungsi otak, tapi masih bisa melakukan
aktivitas sehari-hari secara mandiri. Tahap 3: pengidap mulai mengalami kesulitan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari, tapi masih dalam tahap ringan. Tahap 4: pengidap mulai
kemampuan fungsi otak pengidap menurun secara drastis, sehingga harus bergantung
5
pada orang lain untuk menjalani kehidupannya sehari-hari. Bila gejala demensia lansia
terjadi pada orang terdekat atau lansia, sebaiknya segera bawa ke dokter untuk
menjalani hidup lebih baik.(Beginilah Proses Terjadinya Demensia Pada Seseorang n.d.)
perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi
berakibat lansia menjadi kurang cekatan .(Dewi, Puzzle, and Lansia n.d.)
Penurunan fungsi kognitif pada lansia di pengaruhi oleh faktor internal meliputi
yang ditandai dengan penurunan volume otak, kurangnya aktifitas mengasah kinerja otak
dan tingkat pendidikan. Sedangkan faktor eksternal meliputi gaya hidup,pekerjaan dan
lingkungan(Wearnes, 2013). Akibat yang ditimbulkan dari demensia mulai dari konfusi
tentang tempat, gangguan memori saat ini dan masa lalu, ketidakmampuan mengenali
keluarga dan teman, gangguan komunikasi. Sedikitnya perawatan diri dan bahkan sampai
tahap terparah lansia dengan demensia dapat mengalami kekakuan pada otot-otot dan
Beragam cara dapat digunakan untuk meningkatkan fungsi kognitif pada lansia
yaitu dengan menegement fungsi kognitif berupa terapi farmakologi dengan obat-obatan
dan terapi non farmakologi. Terapi non farmakologi meliputi stimulasi kognitif berupa
6
Salah satu terapi untuk memperbaiki fungsi kognitif lansia dengan demensia
adalah senam otak. Senam otak dapat memperlancar aliran darah dan oksigen ke otak,
meningkatkan daya ingat dan konsentrasi, meningkatkan energi tubuh, mengatur tekanan
otak dapat dilakukan segala umur, baik lansia, bayi, anak autis, remaja, maupun orang
Senam otak ini akan dikombinasikan dengan permainan puzzle untuk mengukur
tingkat daya ingat lansia demensia. Puzzle adalah suatu gambar yang dibagi menjadi
kesabaran dan membiasakan kemampuan berbagi. Selain itu puzzle juga dapat digunakan
untuk permainan edukasi karena dapat mengasah otak dan melatih kecepatan pikiran dan
dilakukan senam otak sebagian besar (66,7%) mengalami gangguan fungsi kognitif
sedang dan setelah dilakukan senam otak sebagian besar (66,7%) tidak mengalami
gangguan fungsi kognitif. Setelah dilakukan uji Wilcoxon signed rank test didapatkan
nilai ρ = 0,014 <α = 0,05 sehingga H0 ditolak, artinya ada pengaruh senam otak terhadap
fungsi kognitif pada lansia. Simpulan dari penelitian ini bahwa senam otak mampu
Pada Jurnal lainnya tentang terapi bermain puzzle. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terdapat kenaikan skor MMSE lansia pada kelompok intervensi. skor MMSE
lansia yang mendapatkan terapi puzzle mengalami kenaikan secara bermakna daripada
lansia yang tidak mendapatkan terapi puzzle. Nilai signifikan p sebesar 0.003 (p <0.05).
Pelayanan Sosial Lanjut Usia (PPSLU) Sudagaran Banyumas yang mengalami gangguan
kognitif mayoritas berjenis kelamin perempuan, kelompok usia responden rata –rata
kelompok lanjut usia dengan rentang usia 60 – 74 tahun dan rata – rata pendidikan
responden yaitu lansia yang tidak sekolah dan tamat SD. Hasil penelitian lansia di Panti
Pelayanana Sosial Lanjut Usia (PPSLU) Sudagaran Banyumas didapatkan nilai mean
MMSE sebelum dilakukan intervensi crossword puzzle therapy (CPT) adalah 22,83 pada
kelompok eksperimen dan 22,33 dan nilai mean MMSE setelah dilakukan intervensi
crossword puzzle therapy (CPT) sebanyak 5x adalah 28,11 pada kelompok eksperimen ,
22,22 pada kelompok control yang tidak diberikan intervensi crossword puzzle therapy
(CPT). Hasil uji Mann Whitney pada penelitian diperoleh nilai Asymp.Sig (Sig 2-tailed)
sebesar 0,000 < 0,05, Artinya terdapat pengaruh crossword puzzle therapy (CPT)
terhadap fungsi kognitif lansia di panti pelayanan sosial lanjut usia (PPSLU) sudagaran
Kesehatan Kota Pekanbaru didapatkan data lansia terbanyak yaitu di puskesmas rejosari.
Lansia dengan usia 60+ tahun sebanyak 5.537 orang, dengan jenis kelamin laki-laki
8
sebanyak 2.751 dan perempuan 2.787. sedangkan lansia dengan usia 70+ tahun sebanyak
1.617 dengan jenis kelamin laki-laki 705 orang dan perempuan 912 orang.
didapatkan hasil dari wawancara terhadap 10 orang lansia bahwa 5 lansia mengalami
penurunan fungsi kognitif lansia mengatakan sering lupa letak barang yang baru
digenggamnya. Dan 3 lansia mengaku sering lupa menaruh dompetnya dan sering
menanyakan pada anaknya letak dompet tersebut. 2 orang lansia lagi mengatakan lupa
tanggal lahirnya.
Sehubung dengan hal tersebut , maka peneliti merasa tertarik untuk mengangkat
studi kasus dengan judul “ Perbedaan Efektivitas Senam Otak Dan Bermain Puzzle
B. Rumusan Masalah
“Perbedaan Efektifitas Senam Otak Dan Bermain Puzzle Terhadap Fungsi Kognitif Pada
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum :
Untuk mengetahui perbedaan efektifitas senam otak dan bermain puzzle pada
2. Tujuan Khusus :
pendidikan, Pekerjaan )
9
setelah senam otak , sebelum bermain puzzle dan setelah bermain puzzle.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
mengetahui perbedaan efektifitas senam otak dan bermain puzzle pada lansia
Keperawatan.
2. Bagi Responden
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bacaan dan informasi
tambahan bagi lansia tentang efektifitas senam otak dan bermain puzzle pada
Bagi institusi pendidikan penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan referensi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan bacaan mahasiswa
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi untuk mengembangkan ilmu
E. Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan efektifitas senam otak dan
bermain puzzle pada lansia dengan demensia di wilayah kerja puskesmas rejosari. Hal ini
diteliti karena peneliti melihat peningkatan jumlah lansia dan lansia demensia. Sehingga
penurunan kognitif pada lansia harus diatasi. Demensia sendiri bisa diatasi dengan terapi
farmakologi dan non farmakologi. Peneliti sendiri mengambil terapi non farmakologi
yaitu senam otak dan bermain puzzle untuk meningkatkan fungsi kognitif pada lansia
dengan demensia. Responden dari penelitian ini yaitu lansia demensia yang berada di di
wilayah kerja puskesmas rejosari. Penelitian dilaksanakan pada bulan maret 2020 s/d mei
F. Keaslian