Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lanjut usia menurut UU Nomor 13 Tahun 1998 adalah seseorang

yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas. Penduduk lanjut

usia terus mengalami peningkatan seiring kemajuan di bidang kesehatan

yang ditandai dengan meningkatnya angka harapan hidup dan menurunnya

angka kematian. Perkembangan demografi ini dapat membawa dampak di

bidang kesehatan, ekonomi, dan sosial. Untuk itu diperlukan data terkait

kelanjutusiaan sebagai bahan pemetaan dan strategi kebijakan sehingga

pertumbuhan jumlah penduduk lansia menjadi potensi yang turut

membangun bangsa.

Manusia lanjut usia adalah seseorang yang karena usianya

mengalami perubahan bilogis, fisik, kejiwaan dan sosial. Perubahan ini

akan memberikan pengaruh pada seluruh aspek kehidupan, termasuk

kesehatannya (Fatimah, 2010). Oleh karena itu. Kesehatan manusia usia

lanjut perlu mendapatkan perhatian khusus dengan tetap dipelihara dan

ditingkatkan agar selama mungkin dapat hidup secara produktif sesuai

dengan kemampuannya sehingga dapat ikut serta berperan aktif dalam

pembangunan (UU Kesehatan No. 23 tahun 1992, pasal 19 ayat 1).

Menurut WHO, di kawasan Asia Tenggara populasi Lansia sebesar

8% atau sekitar 142 juta jiwa. Pada tahun 2050 diperkirakan populasi

1
2

Lansia meningkat 3 kali lipat dari tahun ini. Pada tahun 2000 jumlah Lansia sekitar

5,300,000 (7,4%) dari total populasi, sedangkan pada tahun 2010 jumlah Lansia

24,000,000 (9,77%) dari total populasi, dan tahun 2020 diperkirakan jumlah Lansia

mencapai 28,800,000 (11,34%) dari total populasi. Sedangkan di Indonesia sendiri pada

tahun 2020 diperkirakan jumlah Lansia sekitar 80.000.000.(infodatin-lansia.pdf n.d.)

Dalam waktu hampir lima dekade, persentase lansia Indonesia meningkat sekitar

dua kali lipat (1971-2019), yakni menjadi 9,6 persen (25 juta-an) di mana lansia

perempuan sekitar satu persen lebih banyak dibandingkan lansia laki-laki (10,10 persen

banding 9,10 persen). Dari seluruh lansia yang ada di Indonesia, lansia muda (60-69

tahun) jauh mendominasi dengan besaran yang mencapai 63,82 persen, selanjutnya

diikuti oleh lansia madya (70- 79 tahun) dan lansia tua (80+ tahun) dengan besaran

masing-masing 27,68 persen dan 8,50 persen. ( statistic lanjut usia,2019 )(Usia n.d.)

Sedangkan Provinsi Riau mencatat presentase lansia dari tahun 2010-2020 dengan

rentang 4,04 persen meningkat menjadi 6,05 persen. Di kota pekanbaru (2010-2020)

presentasenya meningkat dari 3,63 persen menjadi 5,57 persen dengan lansia perempuan

total 569.798 jiwa dan lansia laki-laki 599.272 jiwa. (Fahmi 2020).

Menurut Maramis dalam Azizah (2011), pada lanjut usia permasalahan yang

menarik adalah kurangnya kemampuan dalam beradaptasi secara psikologis terhadap

perubahan yang terjadi pada dirinya. Penurunan kemampuan untuk beradaptasi terhadap

perubahan dan stress lingkungan sering menyebabkan gangguan psikososial pada lansia.

Masalah kesehatan jiwa yang sering muncul pada lansia adalah gangguan proses

pikir, demensia, gangguan perasaan seperti depresi, harga diri rendah, gangguan fisik dan
3

gangguan prilaku. Salah satu permasalahan kesehatan yang sering dialami lansia adalah

demensia. (Alhogbi 2017)

Demensia adalah sekelompok tanda dan gejala yang ditandai oleh adanya

penurunan kognitif serta gangguan fungsional (APA, 2018) yang menyebabkan gangguan

pada daya ingat, bahasa, persepsi visual, berosialisasi, atau fungsi kognitif lainnya,

sehingga dapat menghambat dalam melakukan kehidupan sehari-hari (Dementia

Australia, 2015). Demensia juga sering dipersepsikan sebagai orang yang mengalami

gangguan jiwa oleh masyarakat. Banyak faktor risiko yang menyebabkan demensia. Usia

lanjut merupakan salah satu faktor terjadinya demensia (WHO, 2017). Selain itu, faktor

lain yang berkontribusi antara lain: kurang aktivitas fisik, hipertensi, obesitas, diet tidak

sehat, mengonsumsi alkohol, merokok, diabetes, depresi, dan pendidikan rendah (WHO,

2017) sehingga, orang yang bukan lansia pun memiliki kemungkinan mengalami

demensia.

Data dari World Health Organization dan Alzaimer’s Disease International

Organization melaporkan jumlah total orang dengan demensia diseluruh dunia pada tahun

2016 diperkirakan mencapai 47,5 juta dan sebanyak 22 juta jiwa diantaranya berada dia

Asia. Di Negara maju seperti Amerika Serikat saat ini ditemukan lebih dari 4 juta orang

usia lanjut menderita penyakit demensia. Angka ini diperkirakan akan meningkat hampir

4 kali pada tahun 2050. Di antara mereka, 58% hidup dinegara-negara berpenghasilan

rendah atau menengah, dan proporsi ini di proyeksikan meningkat menjadi 75% pada

tahun 2050. Jumlah total kasus demensia baru setiap tahun di seluruh dunia hampir 7,7

juta, artinya bahwa setiap 4 detik terdapat 1 kasus demensia diperkirakan akan meningkat

menjadi 75,6 juta pada tahun 2030 dan 135,5 juta pada tahun 2050.
4

Di Indonesia proporsi penduduk lansia terus meningkat. Indonesia termasuk lima

besar negara dengan jumlah penduduk lansia terbanyak di dunia yakni mencapai 18,1 juta

jiwa pada tahun 2010 atau 9,6% dari jumlah penduduk. penduduk lansia ini

diproyeksikan menjadi 28,8 juta (11,34%) dari total penduduk Indonesia pada tahun

2020, atau menurut proyeksi Bappenas jumlah penduduk lansia 60 tahun akan menjadi

dua kali lipat (36 juta) pada tahun 2025. Sementara itu, umur harapan hidup penduduk

Indonesia laki-laki dan perempuan) semakin meningkat dari 70,1 tahun 2010-2015

menjadi 72,2 tahun pada periode 2020- 2035 (Badan Pusat Statistik Indonesia 2013).

Demensia merupakan kemunduran kognitif yang sedemikian beratnya, sehingga

mengganggu aktivitas sosial dan pekerjaannya. Pada demensia juga terdapat gangguan

kognisi lain seperti bahasa, orientasi, kemampuan membuat keputusan, berpikir abstrak,

gangguan emosi dan perilaku. Gejala demensia yang sering dialami lansia seperti lupa

meletakkan barang, tersesat keluar rumah tanpa ditemani, emosi naik turun (Aspiani,

2014).

Ada 5 tahap perkembangan kondisi yang akan dialami pengidap demensia.

Tahapan ini sekaligus menjadi penentu tingkat keparahan demensia seseorang. Kelima

tahap tersebut, antara lain: Tahap 1: fungsi otak pengidap masih bekerja secara normal.

Tahap 2: pengidap mulai mengalami penurunan fungsi otak, tapi masih bisa melakukan

aktivitas sehari-hari secara mandiri. Tahap 3: pengidap mulai mengalami kesulitan dalam

melakukan aktivitas sehari-hari, tapi masih dalam tahap ringan. Tahap 4: pengidap mulai

membutuhkan bantuan orang lain untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Tahap 5:

kemampuan fungsi otak pengidap menurun secara drastis, sehingga harus bergantung
5

pada orang lain untuk menjalani kehidupannya sehari-hari. Bila gejala demensia lansia

terjadi pada orang terdekat atau lansia, sebaiknya segera bawa ke dokter untuk

mendapatkan penanganan sedini mungkin. Tindakan pengobatan yang dilakukan sedini

mungkin bisa menghambat perkembangan kondisi dan membuat pengidap dapat

menjalani hidup lebih baik.(Beginilah Proses Terjadinya Demensia Pada Seseorang n.d.)

Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian,

perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi

semakin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang

berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang

berakibat lansia menjadi kurang cekatan .(Dewi, Puzzle, and Lansia n.d.)

Penurunan fungsi kognitif pada lansia di pengaruhi oleh faktor internal meliputi

usia,bertambahnya usia seseorang akan mengakibatkan perubahan anatomi fisiologik

yang ditandai dengan penurunan volume otak, kurangnya aktifitas mengasah kinerja otak

dan tingkat pendidikan. Sedangkan faktor eksternal meliputi gaya hidup,pekerjaan dan

lingkungan(Wearnes, 2013). Akibat yang ditimbulkan dari demensia mulai dari konfusi

tentang tempat, gangguan memori saat ini dan masa lalu, ketidakmampuan mengenali

keluarga dan teman, gangguan komunikasi. Sedikitnya perawatan diri dan bahkan sampai

tahap terparah lansia dengan demensia dapat mengalami kekakuan pada otot-otot dan

menjadi semakin terikat dengan kursi roda atau tempat tidur.

Beragam cara dapat digunakan untuk meningkatkan fungsi kognitif pada lansia

yaitu dengan menegement fungsi kognitif berupa terapi farmakologi dengan obat-obatan

dan terapi non farmakologi. Terapi non farmakologi meliputi stimulasi kognitif berupa
6

program peningkatan memori, Reminiscena (membangkitkan ingatan melalui kenangan)

dan senam otak. (Denisson, 2009).

Salah satu terapi untuk memperbaiki fungsi kognitif lansia dengan demensia

adalah senam otak. Senam otak dapat memperlancar aliran darah dan oksigen ke otak,

meningkatkan daya ingat dan konsentrasi, meningkatkan energi tubuh, mengatur tekanan

darah, meningkatkan penglihatan, keseimbangan jasmani, dan juga koordinasi. Senam

otak dapat dilakukan segala umur, baik lansia, bayi, anak autis, remaja, maupun orang

dewasa. (Dewi, Puzzle, and Lansia n.d.)

Senam otak ini akan dikombinasikan dengan permainan puzzle untuk mengukur

tingkat daya ingat lansia demensia. Puzzle adalah suatu gambar yang dibagi menjadi

potongan-potongan gambar yang bertujuan untuk mengasah daya pikir, melatih

kesabaran dan membiasakan kemampuan berbagi. Selain itu puzzle juga dapat digunakan

untuk permainan edukasi karena dapat mengasah otak dan melatih kecepatan pikiran dan

tangan (Dewi, Puzzle, and Lansia n.d.)

Terapi senam otak mendapatkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum

dilakukan senam otak sebagian besar (66,7%) mengalami gangguan fungsi kognitif

sedang dan setelah dilakukan senam otak sebagian besar (66,7%) tidak mengalami

gangguan fungsi kognitif. Setelah dilakukan uji Wilcoxon signed rank test didapatkan

nilai ρ = 0,014 <α = 0,05 sehingga H0 ditolak, artinya ada pengaruh senam otak terhadap

fungsi kognitif pada lansia. Simpulan dari penelitian ini bahwa senam otak mampu

meningkatkan fungsi kognitif pada lansia di RT 03 RW 01 Kelurahan Tandes.(Yuliati,

Hidaayah, and Hidaayah 2018)


7

Pada Jurnal lainnya tentang terapi bermain puzzle. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa terdapat kenaikan skor MMSE lansia pada kelompok intervensi. skor MMSE

lansia yang mendapatkan terapi puzzle mengalami kenaikan secara bermakna daripada

lansia yang tidak mendapatkan terapi puzzle. Nilai signifikan p sebesar 0.003 (p <0.05).

Di wilayah Krapakan Caturharjo Pandak Bantul(Nawangsasi 2015).

Berdasarkan hasil penelitian karakteristik responden pada lansia di Panti

Pelayanan Sosial Lanjut Usia (PPSLU) Sudagaran Banyumas yang mengalami gangguan

kognitif mayoritas berjenis kelamin perempuan, kelompok usia responden rata –rata

kelompok lanjut usia dengan rentang usia 60 – 74 tahun dan rata – rata pendidikan

responden yaitu lansia yang tidak sekolah dan tamat SD. Hasil penelitian lansia di Panti

Pelayanana Sosial Lanjut Usia (PPSLU) Sudagaran Banyumas didapatkan nilai mean

MMSE sebelum dilakukan intervensi crossword puzzle therapy (CPT) adalah 22,83 pada

kelompok eksperimen dan 22,33 dan nilai mean MMSE setelah dilakukan intervensi

crossword puzzle therapy (CPT) sebanyak 5x adalah 28,11 pada kelompok eksperimen ,

22,22 pada kelompok control yang tidak diberikan intervensi crossword puzzle therapy

(CPT). Hasil uji Mann Whitney pada penelitian diperoleh nilai Asymp.Sig (Sig 2-tailed)

sebesar 0,000 < 0,05, Artinya terdapat pengaruh crossword puzzle therapy (CPT)

terhadap fungsi kognitif lansia di panti pelayanan sosial lanjut usia (PPSLU) sudagaran

banyumas.(Ppslu and Banyumas 2020)

Berdasarkan hasil observasi awal pada tanggal 15 febuari 2021 di Dinas

Kesehatan Kota Pekanbaru didapatkan data lansia terbanyak yaitu di puskesmas rejosari.

Lansia dengan usia 60+ tahun sebanyak 5.537 orang, dengan jenis kelamin laki-laki
8

sebanyak 2.751 dan perempuan 2.787. sedangkan lansia dengan usia 70+ tahun sebanyak

1.617 dengan jenis kelamin laki-laki 705 orang dan perempuan 912 orang.

Berdasarkan hasil survey pendahuluan di puskesmas rejosari yang peniliti lakukan

didapatkan hasil dari wawancara terhadap 10 orang lansia bahwa 5 lansia mengalami

penurunan fungsi kognitif lansia mengatakan sering lupa letak barang yang baru

digenggamnya. Dan 3 lansia mengaku sering lupa menaruh dompetnya dan sering

menanyakan pada anaknya letak dompet tersebut. 2 orang lansia lagi mengatakan lupa

tanggal lahirnya.

Sehubung dengan hal tersebut , maka peneliti merasa tertarik untuk mengangkat

studi kasus dengan judul “ Perbedaan Efektivitas Senam Otak Dan Bermain Puzzle

Terhadap Fungsi Kognitif Pada Lansia Dengan Demensia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis mengambil rumusan masalah

“Perbedaan Efektifitas Senam Otak Dan Bermain Puzzle Terhadap Fungsi Kognitif Pada

Lansia Dengan Demensia Di Wilayah Kerja Puskesmas Rejosari”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum :

Untuk mengetahui perbedaan efektifitas senam otak dan bermain puzzle pada

lansia dengan demensia di wilayah kerja puskesmas rejosari.

2. Tujuan Khusus :

a. Mengetahui distribusi frekuensi lansia ( Jenis Kelamin, Usia, Riwayat

pendidikan, Pekerjaan )
9

b. Mengetahui distribusi frekuensi kemampuan kognitif sebelum senam otak dan

setelah senam otak , sebelum bermain puzzle dan setelah bermain puzzle.

c. Mengetahui perbedaan efektifitas senam otak dan bermain puzzle di wilayah

kerja puskesmas rejosari.

d. Mengetahui gambaran fungsi kognitif sebelum dan sesudah diberikan terapi

senam otak dan bermain puzzle di wilayah kerja puskesmas rejosari.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Bagi peneliti dapat menjadi dasar pengetahuan serta pengalaman dalam

mengetahui perbedaan efektifitas senam otak dan bermain puzzle pada lansia

dengan demensia di serta sebagai pemenuhan syarat kelulusan Strata 1

Keperawatan.

2. Bagi Responden

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bacaan dan informasi

tambahan bagi lansia tentang efektifitas senam otak dan bermain puzzle pada

lansia dengan demensia.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Bagi institusi pendidikan penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan referensi

dan bahan bacaan bagi institusi.

4. Bagi peniliti selanjutnya


10

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan bacaan mahasiswa

keperawatan sebagai acuan dan dasar peneliti selanjutnya.

5. Bagi perkembangan ilmu keperawatan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi untuk mengembangkan ilmu

pengetahuan khususnya dalam bidang keperawatan tentang efektifitas senam otak

dan bermain puzzle pada lansia dengan demensia.

E. Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan efektifitas senam otak dan

bermain puzzle pada lansia dengan demensia di wilayah kerja puskesmas rejosari. Hal ini

diteliti karena peneliti melihat peningkatan jumlah lansia dan lansia demensia. Sehingga

penurunan kognitif pada lansia harus diatasi. Demensia sendiri bisa diatasi dengan terapi

farmakologi dan non farmakologi. Peneliti sendiri mengambil terapi non farmakologi

yaitu senam otak dan bermain puzzle untuk meningkatkan fungsi kognitif pada lansia

dengan demensia. Responden dari penelitian ini yaitu lansia demensia yang berada di di

wilayah kerja puskesmas rejosari. Penelitian dilaksanakan pada bulan maret 2020 s/d mei

2021 di Wilayah Kerja Puskesmas Rejosari.

F. Keaslian

No Nama peneliti Judul Hasil


.
1. Sofia Rhosma pengaruh senam otak Sebelum pengobatan, 48
Dewi ( 2016 ) dan bermain puzzle responden menunjukkan bahwa
terhadap fungsi kognitif semua dari mereka memiliki
lansia di pltu jember kerusakan kognitif yang
11

moderat. Setelah pengobatan, 12


responden menunjukkan
kerusakan kognitif ringan dan
sisanya menunjukkan fungsi
kognitif yang moderat. Data
dianalisis dengan menggunakan
tanda Wilcoxon tes dan
menunjukkan nilai p 0,000 < α
0,05.
2. Rizky Erwanto Perbedaan Efektifitas Berdasarkan hasil uji bivariate
Dwi Endah Art therapy dan Brain untuk menguji efektifitas art
Kurniasih ( 2018) gym terhadap Fungsi therapy terhadap fungsi kognitif
Kognitif dan Intelektual dan intelektual menggunakan uji
pada Lansia Demensia Wilcoxon signed rank test dan
di BPSTW Yogyakarta paired t test dengan p value
sebesar 0,00 dan 0,049. Nilai p
value < 0,05, yang berarti bahwa
art therapy dan brain gym
efektif meningkatkan fungsi
kognitif dan intelektual lansia
demensia. Sedangkan hasil uji
bivariate menggunakan uji
MannWhitney untuk mengukur
perbedaan skor fungsi kognitif
dan intelektual pada kedua
kelompok didapatkan hasil
0,158 dan 0,935. Nilai p value >
0,05, yang berarti bahwa tidak
ada perbedaan pengaruh antara
art therapy dan brain gym
terhadap fungsi kognitif dan
intelektual lansia demensia.
Tabel 1.1

Anda mungkin juga menyukai