Anda di halaman 1dari 49

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lanjut usia (Lansia) merupakan tahap akhir dari siklus kehidupan manusia,

apabila seseorang telah mencapai umur 60 tahun ke atas maka bisa seseorang tersebut

dikategorikan lanjut usia. Populasi menua adalah suatu fenomena global yang pasti

akan terjadi. Hampir pada setiap negara di dunia akan mengalami pertumbuhan dalam

ukuran dan proporsi dalam populasi mereka.

Dalam waktu hampir lima dekade dari 1971 sampai 2019, persentase lansia

Indonesia meningkat sekitar dua kali lipat yakni menjadi 9,6 persen (25 juta-an), di

mana lansia perempuan sekitar satu persen lebih banyak dibandingkan lansia laki-laki

(10,10 persen banding 9,10 persen). Dari seluruh lansia yang ada di Indonesia, lansia

muda (60-69 tahun) mendominasi 63,82 persen, selanjutnya lansia madya (70-79

tahun) 27,68 persen dan lansia tua (80+ tahun) 8,50 persen. Pada tahun 2019 sudah

ada lima provinsi yang memiliki struktur penduduk tua di mana lansianya sudah

mencapai 10 persen, yaitu DI Yogyakarta 14,50 persen, Jawa Tengah 13,36 persen,

Jawa Timur 12,96 persen, Bali 11,30 persen dan Sulawesi Barat 11,15 persen.

Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia sedang bertransisi menuju ke arah

penuaan penduduk karena persentase penduduk di atas 60 tahun mencapai di atas 7

persen dan Indonesia akan menjadi negara dengan struktur penduduk tua (ageing
2

population) jika sudah lebih dari 10 persen. Fenomena ini merupakan cerminan dari

meningkatnya angka harapan hidup penduduk Indonesia (Badan Pusat Statistik,

2019).

Antara tahun 2000 dan 2016, harapan hidup global saat lahir meningkat 5,5

tahun, dari 66,5 tahun menjadi 72,0 tahun. Harapan hidup sehat (healthy life

expectancy) juga meningkat selama periode tersebut, dari 58,5 tahun pada 2000

menjadi 63,3 tahun pada 2016. Pada tahun 2016, seseorang berusia 60 tahun bisa

berharap untuk hidup 20,5 tahun lagi, sementara harapan untuk dapat hidup sehat

adalah 15,8 tahun (WHO, 2019). Sedangkan pada negara Indonesia sendiri terjadi

peningkatan angka harapan hidup dari 69,30 tahun (2018) menjadi 69,44 tahun

(2019) untuk laki-laki. Kemudian untuk perempuan juga terjadi peningkatan angka

harapan hidup dari 73,19 tahun (2018) menjadi 73,33 tahun (2019) (Badan Pusat

Statistik, 2020)

Pelayanan Kesejahteraan Lansia telah ditekankan dalam UU No. 13 Tahun 1998.

Lansia memiliki hak untuk meningkatkan kesejahteraan sosial yang meliputi

pelayanan keagamaan dan mental spiritual, pelayanan kesehatan, pelayanan

kesempatan kerja, pelayanan pendidikan dan pelatihan, kemudahan dalam

penggunaan fasilitas, sarana, dan prasarana umum, kemudahan dalam layanan dan

bantuan hukum, perlindungan sosial, dan bantuan sosial. Di dalam Permensos RI

Nomor 19 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelayanan Sosial Lansia menyebutkan

bahwa pelayanan sosial lansia adalah upaya yang ditujukan untuk membantu lansia
3

dalam memulihkan dan mengembangkan fungsi sosialnya. Pelayanan sosial lansia ini

meliputi kegiatan pelayanan dalam panti dan luar panti; perlindungan; dan

pengembangan kelembagaan sosial lansia. Secara garis besar program-program

pelayanan dan pemberdayaan lansia antara lain: pelayanan dalam panti, program

pendampingan sosial lansia melalui perawatan di rumah (home care), program

asistensi sosial lanjut usia telantar (ASLUT), pelayanan sosial kedaruratan bagi

lansia, program family support lansia, day care services, pengembangan kawasan

ramah lansia, dan program lansia tangguh (Badan Pusat Statistik, 2019)

Peningkatan jumlah lansia dapat membawa dampak positif dan negatif. Dampak

positif muncul jika lanjut usia berada dalam keadaan sehat, aktif dan produktif. Akan

tetapi bisa membawa dampak negatif apabila lansia memiliki masalah penurunan

kesehatan dan tidak ditangani dengan baik. Secara biologis, lanjut usia akan

mengalami kemunduran kesehatan secara fisik maupun psikis. Para lansia akan

mengalami permasalahan mulai dari kehilangan pekerjaan, kehilangan tujuan hidup,

kehilangan teman, risiko terkena penyakit, terisolasi dari lingkungan, dan kesepian.

Hal tersebut dapat memicu terjadinya gangguan mental pada lansia salah satunya

adalah depresi (Utami et al., 2018).

Menurut (Young, 2009) depresi adalah penyakit mental, yang sangat umum yang

dialami kebanyakan orang setidaknya sekali dalam hidup mereka. Salah satu hal yang

paling penting untuk diingat tentang orang yang mengalami penyakit ini adalah

bahwa mereka tidak selalu sakit dan mungkin tidak selalu sakit di masa depan.
4

Namun, pengalaman sakit dan cara orang lain kadang bereaksi terhadap penyakit

depresi dapat memiliki efek yang sangat merusak pada kepercayaan diri dan harga

diri orang yang sedang depresi.

Depresi merupakan gerakan siklus yang tidak terselesaikan melalui sejumlah

emosi yang tersumbat atau terlalu ditekankan (campuran emosi berbeda untuk setiap

individu). Depresi muncul sebagai respons terhadap konflik interior dan eksterior

yang mengganggu kestabilan jiwa seseorang (McLaren, 2010). Depresi juga

merupakan masalah kesehatan mental penting yang perlu ditangani dalam pengaturan

perawatan primer. Untuk memberikan layanan kesehatan yang optimal dan kualitas

hidup yang lebih baik bagi para lansia, para profesional kesehatan perlu menjadi lebih

sadar akan depresi dan dampaknya pada kehidupan lansia (Bakar & Asılar, 2015).

Depresi yang terjadi pada lanjut usia dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain jenis kelamin perempuan, usia yang semakin tua, kemampuan mengatasi

sesuatu yang menurun, morbiditas fisik atau mudah terkena penyakit, tingkat fungsi

tubuh yang terganggu, berkurangnya kognisi dan suasana berkabung (Sivertsen et al.,

2015). Depresi dapat menjadi faktor risiko dan manifestasi dari penurunan kognitif

dimana depresi dikaitkan dengan peningkatan risiko demensia jangka panjang.

Dengan demikian penurunan kognitif bisa menjadi tanda penuaan otak yang

dipercepat yang memberikan kecenderungan dan memperpanjang depresi (Taylor,

2014). Depresi yang dialami oleh lansia ditemukan berkaitan dengan kualitas hidup

pada lansia yang bersangkutan (Sivertsen et al., 2015).


5

Kualitas hidup adalah persepsi individu terhadap posisi mereka dalam kehidupan

pada konteks budidaya dan nilai ditempat mereka hidup, serta hubungannya dengan

tujuan hidup, harapan, standar, dan perhatian. Hal ini merupakan konsep yang sangat

luas yang bisa mempengaruhi kesehatan fisik seseorang, keadaan psikologis, tingkat

ketergantungan, hubungan sosial, keyakinan personal, dan hubungannya dengan

keinginan dimasa yang akan datang bisa mempengaruhi terhadap lingkungan mereka

(Amelia et al., 2018). Kualitas hidup yang baik harus dijaga pada seorang lansia,

karena hidup yang berkualitas merupakan kondisi yang optimal bagi para lansia

untuk kehidupannya sehari-hari sehingga lansia bisa menikmati masa tuanya dengan

bahagia, bermakna, dan dapat berguna bagi keluarga maupun orang yang ada di

sekitarnya (Utami et al., 2018)

Kualitas hidup lansia menurut WHO dinilai dari 4 komponen yang meliputi

kesehatan fisik, kesehatan psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan. Kualitas

hidup dipengaruhi oleh berbagai situasi dan faktor-faktor antara lain berkaitan dengan

demografi (usia, jenis kelamin, suku), sosial ekonomi (pendidikan, status sosial,

pendapatan, dukungan sosial), budaya dan nilai, kesehatan (kondisi kesehatan,

penyakit, status fungsional, tersedianya layanan kesehatan), karakteristik personal

(mekanisme koping, efikasi diri), ketegangan peran dan beban keluarga yang

menyebabkan keterbatasan interaksi antara keluarga dengan lansia, program latihan

kesehatan berhubungan dengan kualitas hidup lansia didasarkan pada kemampuan


6

melakukan BADL dan IADL, serta karena kehilangan kemandirian, masa depan dan

keterbatasan partisipasi dalam melakukan aktivitas (Ekasari et al., 2018)

Pada hasil penelitian (Rasquinha & Acharya, 2013), ditemukan bahwa korelasi

antara depresi dan kualitas hidup keseluruhan adalah signifikan pada tingkat 0,01.

Depresi terbukti berkorelasi negatif dengan kualitas hidup secara keseluruhan. Hal ini

menunjukkan bahwa depresi yang meningkatkan pada lansia akan mengakibatkan

kualitas hidup secara keseluruhan akan menurun dan begitupun sebaliknya. Adanya

hubungan negatif antara depresi dan kualitas hidup lansia juga ditemukan pada

penelitian (Sivertsen et al., 2015), dimana dalam studi longitudinal pasien

psikogeriatri, kualitas hidup global dan domain HQOL generik secara negatif

dipengaruhi oleh tingkat depresi.

Berdasarkan data dari Dinas Sosial Provinsi Sumatera Barat, Panti Sosial Tresna

Werdha (PSTW) Sabai Nan Aluih Sicincin Kabupaten Padang Pariaman merupakan

panti sosial dengan jumlah lansia terbanyak di Provinsi Sumatera Barat dengan

jumlah 110 lansia yang terdiri dari 74 laki-laki dan 36 perempuan yang tinggal di 14

wisma. Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tanggal 2-3 Maret

2020 melalui wawancara menggunakan kuesioner Geriatric Depression Scale untuk

menentukan skala depresi dan The World Health Organization Quality of Life

(WHOQOL) - BREEF untuk menentukan skala kualitas hidup, diketahui bahwa 8

dari 10 lansia mengalami depresi dengan kualitas hidup rendah.


7

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul “Hubungan Antara Tingkat Depresi dengan Kualitas Hidup pada Lansia

di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Kabupaten Padang

Pariaman”.

A. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan diatas maka peneliti menetapkan rumusan masalah “ apakah

terdapat hubungan antara tingkat depresi dengan kualitas hidup pada lanjut usia di

Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Kabupaten Padang Pariaman”.

B. Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran karakteristik lanjut usia yang berkemungkinan mengalami

depresi di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Kabupaten Padang

Pariaman

2. Mengetahui gambaran kualitas hidup pada lanjut usia di Panti Sosial Tresna

Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Kabupaten Padang Pariaman

3. Membuktikan adanya hubungan antara kemungkingan depresi dengan kualitas

hidup pada lanjut usia di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin

Kabupaten Padang Pariaman


8

C. Manfaat Penelitian

1. Bagi ilmu pengetahuan

a. Pada penelitian ini diharapkan agar lebih dapat menambah wawasan dan

memahami dalam bidang ilmu keperawatan jiwa khususnya mengenai

hubungan antara tingkat depresi dengan kualitas hidup pada lanjut usia.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data ataupun rujukan

ilmiah untuk penelitian selanjutnya.

2. Bagi institusi

Agar dapat memberikan informasi mengenai hubungan antara tingkat depresi

dengan kualitas hidup pada lanjut usia di masyarakat sehingga pelayanan institusi

terutama dalam bidang kesehatan dapat dilakukan sebaik-baiknya supaya

meningkatkan derajat kesehatan dan kualitas hidup lansia di masyarakat.

3. Bagi masyarakat

Penelitian ini agar dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai

depresi dan hubungannya dengan kualitas hidup pada lanjut usia.


9

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Lanjut Usia Sebagai Bagian Dari Kelompok Rentan

1. Pengertian Kelompok Rentan

Pengertian dari Kelompok Rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam

peraturan perundang-undangan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat (3)

Undang-Undang No.39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang yang

termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan

perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Dalam Penjelasan pasal

tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan,

antara lain adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan

penyandang cacat.

Kamus Besar Bahasa Indonesia juga merumuskan pengertian rentan sebagai:

(1) mudah terkena penyakit dan (2) peka, mudah merasa. Kelompok yang lemah ini

lazimnya tidak sanggup menolong diri sendiri, sehingga memerlukan bantuan orang

lain. Selain itu, kelompok rentan juga diartikan sebagai kelompok yang mudah

dipengaruhi. Pengertian kedua merupakan konsekuensi logis dari pengertian yang

pertama, karena sebagai kelompok lemah sehingga mudah dipengaruhi.


10

2. Pengertian Lanjut Usia

Dilihat dari Undang-Undang Kesejahteraan Lanjut Usia Nomor 13 Tahun 1998,

pengertian lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas baik

pria maupun wanita, masih mampu melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang

dapat menghasilkan barang dan atau jasa ataupun tidak berdaya mencari nafkah

sehingga hidupnya bergantung pada orang lain. Peningkatan harapan hidup akan

mempengaruhi terhadap peningkatan penambahan usia seseorang. Penambahan usia

seseorang akan berakhir menjadi proses penuaan (Ekasari et al., 2018).

Pengertian lansia beragam tergantung kerangka pandang individu. Orangtua yang

berusia 35 tahun dapat dianggap tua bagi anaknya yang tidak muda lagi. Orang sehat

aktif berusia 65 tahun mungkin menganggap usia 75 tahun sebagai permulaan lanjut

usia (Azizah, 2011). Penuaan merupakan suatu proses yang terjadi secara terus

menerus dan berkesinambungan, selanjutnya akan menyebabkan terjadinya

perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia pada tubuh sehingga akan

mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan (Depkes RI, 2013).

Lansia atau lanjut usia merupakan kelompok umur pada manusia yang telah

memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya. Secara alamiah semua orang akan

mengalami proses menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup manusia yang

terakhir. Proses penuaan merupakan suatu proses alami yang tidak dapat dicegah dan

merupakan hal yang wajar dialami oleh orang yang diberi karunia umur panjang.

Dalam usia lanjut semua orang akan berharap akan menjalani hidup dengan tenang,
11

damai, serta menikmati masa pensiun bersama anak dan cucu dengan penuh kasih

sayang (Ekasari et al., 2018).

3. Penggolongan Lanjut Usia

Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO menggolongkan lansia menjadi 4

kelompok, antara lain:

a. Usia pertengahan (middle age) yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun

b. Lanjut usia (elderly) yaitu berusia antara 60-74 tahun

c. Lanjut usia tua (old) yaitu berusia antara 74-90 tahun

d. Usia sangat tua (very old) yaitu seseorang dengan usia lebih dari 90 tahun.

(Ekasari et al., 2018)

Selanjutnya (Depkes RI, 2013) juga menetapkan bahwa lanjut usia digolongkan

menjadi lima kelompok, yaitu:

a. Pralansia, yaitu orang yang usianya 45-59 tahun

b. Lansia, yaitu orang yang usianya 60 tahun atau lebih

c. Lansia resiko tinggi, yaitu lansia dengan masalah kesehatan

d. Lansia potensial, yaitu lansia yang masih mampu bekerja atau melakukan

kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa

e. Lansia tidak potensial, yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah dan

tergantung pada orang lain.

Tipe kepribadian lanjut usia dalam (Azizah, 2011), adalah sebagai berikut:
12

a. Tipe kepribadian konstruktif (construction personality)

Orang ini memiliki integritas baik menikmati hidupnya, toleransi tinggi, dan

fleksibel. Biasanya tipe ini tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap

sampai sangat tua. Tipe kepribadian ini biasanya dimulai dari masa mudanya.

Lansia bisa bisa menerima fakta proses menua dan menghadapi masa pensiun

dengan bijaksana dan menghadapi kematian dengan penuh kesiapan fisik dan

mental.

b. Tipe kepribadian mandiri (independent personality)

Tipe ini ada kecenderungan mengalami post power syndrome, apalagi jika pada

masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi.

c. Tipe kepribadian tergantung (dependent personality)

Tipe ini biasanya sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan

keluarga selalu harmonis maka lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup

meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan sedih yang mendalam. Pada

tipe ini lansia senang mengalami pensiun, tidak punya inisiatif, pasif tetapi masih

tahu diri dan masih dapat diterima di masyarakat.

d. Tipe kepribadian bermusuhan (hostile personality).

Lanjut usia pada tipe ini setelah memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan

kehidupannya banyak perhitungan yang tidak diperhitungkan sehingga

menyebabkan kondisi ekonominya menurun. Mereka menganggap orang lain


13

yang menyebabkan kegagalan, selalu mengeluh dan curiga. Menjadi tua tidak ada

yang diangggap baik, takut mati, dan iri hati dengan yang muda.

e. Tipe kepribadian defensif (defensive personality)

Tipe ini selalu menolak bantuan, emosinya tidak terkontrol, bersifat kompulsif

aktif. Mereka takut menjadi tua dan tidak menyenangi masa pensiun.

f. Tipe kepribadian kritik diri (self hate personality)

Pada lansia tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit

dibantu orang lain atau cenderung membuat susah dirinya. Selalu menyalahkan

diri, tidak memiliki ambisi dan merasa korban dari keadaan.

4. Perubahan-perubahan yang Terjadi Pada Lansia

Proses penuaan adalah peristiwa yang normal dan alamiah yang dialami oleh

setiap individu. Perubahan ini terjadi dari berbagai aspek fisik, mental dan sosial

seperti diuraikan berikut ini:

a. Perubahan fisik

Perubahan fisik yang dapat diamati pada seseorang lanjut usia antara lain

(Ekasari et al., 2018):

1) Rambut memutih

2) Kulit keriput, tipis, kering dan longgar

3) Mata berkurang penglihatan oleh kelainan refraksi ataupun katarak

4) Daya penciuman menurun


14

5) Daya pengecap kurang peka terhadap rasa manis dan asin, pendengaran

berkurang

6) Persendian kaku dan sakit

7) Lepas buang air kecil dan buang air besar (inkontinensia)

b. Perubahan mental

Perubahan mental ini dialami karena perasaan kehilangan terutama pasangan

hidup maupun sanak keluarga atau teman dekat (bereavement), sering

menyendiri, perasaan ketersendirian sampai menjadi lupa (dimensia).

c. Perubahan sosial

Perubahan sosial yang paling menonjoldengan meningkatnya keusialanjutan

adalah ketidakmampuan merawat diri sendiri dalam hal:

1) Kegiatan hidup sehari hari misalnya; mandi, BAK atau BAB, berpakaian,

menyisir rambut, makan sehingga lambat laun orang lanjut usia harus dibantu

oleh seorang pengasuh baik informal maupun formal.

2) Kegiatan hidup instrumental misalnya menghitung uang, menggunakan telpon

atau pun computer, menggunakan mesin cuci dan lain sebagainya akan

semakin berkurang kemampuannya seiring kapasitas hidup yang semakin

menurun.

Terjadinya proses penuaan berbeda-beda pada setiap orang sehingga

mengakibatkan status kesehatan dan pola penyakit yang berbeda-beda. Hal ini dapat

dibedakan berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, sosial ekonomi.


15

Secara individu pengaruh proses penuaan dapat menimbulkan berbagai masalah atau

kemunduran dalam berbagai aspek baik fisik, biologis, psikologis, sosial, spiritual

maupun ekonomi (Ekasari et al., 2018).

5. Hal Penting dalam Menjaga Kesehatan Lansia

Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan oleh lansia berkaitan dengan pola makan

dan aktivitas bagi lansia antara lain (Ekasari et al., 2018):

a. Makan sedikit tapi sering

b. Makan jangan sampai merasa kenyang

c. Makan nasi sebaiknya hanya seperempat piring di siang hari agar energy yang

dihasilkan masih dapat dibakar dalam melakukan aktifitas di sore hari

d. Malam hari sebaiknya makan buah-buahan dan sayuran yang banyak antioksidan

dan serat yang sangat diperlukan

e. Makanan selingan sebaiknya buah-buahan dan sayuran (4-5 kali sehari)

f. Minum cairan sebanyak 2 sampai 2,5 liter sehari (8-10 cangkir sehari) usahakan

di antaranya 2-3 cangkir the hijau atau sejenis (the hitam, the merah) yang

semuanya merupakan antioksidan alamiah terkuat di antara jenis the yang ada.

g. Sarapan pagi sangat penting bagi kesehatan otak dan dapat merupakan sepertiga

asupan makanan sehari-hari. Makan pagi cukup baik untuk oksigenasi otak dan

mengantarkan glukosa untuk metabolisme otak.


16

h. Antioksidan sangat baik untuk usia lanjut. Proses penuaan, peradangan dan

menurunnya daya tahan dapat diperbaiki dengan asupan antioksidan

i. Pemberian suplemen multivitamin setiap hari. Bila kadar homosistein meningkat

dalam darah berarti terdapat risiko penyakit jantung dan otak, dan badan

kekurangan vitamin folat, B6 dan B12 yang dapat diimbangi dengan pemberian

suplemen multivitamin setiap hari.

j. Makanan kaya asam lemak Omega3 yang terdapat dalam ikan laut, kacang-

kacangan dapat meningkatkan myelinisasi otak yang baik untuk metabolisme di

otak

k. Makanan yang banyak mengandung rempah-rempah seperti bawang putih dan

jahe atau pun suplemen sangat baik untuk mengatasi peradangan dan

meningkatkan daya tahan tubuh.

l. Gerak badan diusahakan setiap hari di pagi hari setelah subuh selama minimal 15

menit

m. Terkena sinar ultraviolet di pagi hari sebelum pukul 9.00, guna memacu

metabolisme vitamin D untuk metabolisme tulang dan memperbaiki profil lemak

darah dengan meningkatkan lemak yang baik.

n. Tidur sebaiknya cukup 5-8 jam di malam menjelang pagi hari, agar pola tidur

lengkap termasuk kesan bermimpi walaupun sering lansia terbangun setelah

mimpi tetapi sulit menerangkan mimpi yang dialaminya. Tidur bermanfaat untuk

memberikan kesempatan melatonin hormon pengatur hormon lain seperti kortisol,


17

adrenalin, noradrenalin, oksitosin untuk bekerja secara terpadu menetralisir toksin

dalam tubuh hasil oksidasi radikal bebas sehingga pada waktu pagi hari lansia

dapat BAB/BAK secara rutin dan nyaman

o. Agar tidak cepat pikun atau untuk kesehatan otak sebaiknya lansia membiasakan

diri membaca dan mencatat kesimpulan hasil yang dibacanya. Dengan semakin

tua sering bersosialisasi dan berkumpul dalam kelompok hobi, sebaya, kelompok

kerja, ataupun antar generasi untuk meningkatkan ketajaman berpikir dan

menghilangkan rasa kesepian.

B. Konsep Depresi

1. Pengertian Depresi

Menurut (Young, 2009), depresi adalah penyakit mental, yang sangat umum yang

dialami kebanyakan orang setidaknya sekali dalam hidup mereka. Salah satu hal yang

paling penting untuk diingat tentang orang yang mengalami penyakit ini adalah

bahwa mereka tidak selalu sakit dan mungkin tidak selalu sakit di masa depan.

Namun, pengalaman sakit dan cara orang lain kadang bereaksi terhadap penyakit

depresi dapat memiliki efek yang sangat merusak pada kepercayaan diri dan harga

diri orang yang sedang depresi.

Depresi adalah masalah kesehatan mental penting yang perlu ditangani dalam

pengaturan perawatan primer. Untuk memberikan layanan kesehatan yang optimal

dan kualitas hidup yang lebih baik bagi para lansia, para profesional kesehatan perlu
18

menjadi lebih sadar akan depresi dan dampaknya pada kehidupan lansia (Bakar &

Asılar, 2015). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2019) mendefinisikan depresi

sebagai gangguan mental yang umum, ditandai dengan kesedihan, kehilangan minat

atau kesenangan, perasaan bersalah atau harga diri rendah, tidur atau nafsu makan

terganggu, perasaan lelah, dan konsentrasi yang buruk.

Depresi merupakan masalah umum di seluruh dunia, dengan sekitar 350 juta

orang yang terkena dampaknya. Depresi adalah kondisi yang mempengaruhi pikiran

dan tubuh. Itu mempengaruhi fungsi, yaitu bagaimana orang-orang menjaga diri

mereka sendiri, keluarga mereka dan bagaimana mereka berfungsi di komunitas.

Depresi membuat pekerjaan dan kehidupan keluarga yang biasa sangat sulit, dan

berdampak pada orang yang depresi dan orang-orang di sekitarnya. Karena depresi

adalah hal biasa berulang dan sangat merusak, penting untuk meningkatkan

kesadaran dan menyediakan cara untuk mengelolanya secara efektif (WHO, 2019).

Depresi adalah gerakan yang cerdas (bahkan luar biasa) dalam jiwa yang

membawa seseorang menjadi rusak karena alasan-alasan penting. Sangat penting

untuk memahami perbedaan antara keputusasaan dengan depresi. Keputusasaan

muncul ketika kesedihan alami seseorang menjadi tersumbat atau terperangkap.

Sedangkan depresi merupakan gerakan siklus yang tidak terselesaikan melalui

sejumlah emosi yang tersumbat atau terlalu ditekankan (campuran emosi berbeda

untuk setiap individu). Depresi muncul sebagai respons terhadap konflik interior dan

eksterior yang mengganggu kestabilan jiwa seseorang (McLaren, 2010).


19

Dapat dikatakan bahwa depresi merupakan suatu kondisi gangguan mental yang

seringkali terjadi pada masyarakat. Depresi ini dapat ditandai dengan kesedihan,

kehilangan minat atau kesenangan, perasaan bersalah dan gangguan fungsi kerja pada

tubuh seseorang. Depresi yang berat dapat mengganggu kehidupan dan aktivitas

seseorang bahkan sampai kehilangan semangat hidup.

2. Jenis-Jenis Depresi

Penelitian saat ini menunjukkan bahwa depresi yang tidak diobati terutama

depresi besar, dapat mengajarkan otak untuk jatuh ke dalam depresi dengan lebih

mudah di lain waktu. Depresi yang tidak diobati dapat memakai jalur di otak, seperti

halnya emosi yang berulang atau tidak terkelola dengan baik. Sayangnya, jalur ini

juga memengaruhi sistem endokrin, pola tidur, ingatan, dan bahkan DNA dalam sel-

sel otak manusia. Jadi depresi yang tidak diobati akan dapat merusak otak seseorang

(McLaren, 2010).

Sangat penting untuk memahami jenis depresi yang dimiliki seseorang. Ada

beberapa jenis depresi yang bisa dialami seseorang antara lain (McLaren, 2010):

a. Depresi berat

Depresi yang tidak memiliki gambaran manik atau siklus kegelisahan.

b. Depresi bipolar

Depresi yang memiliki siklus dengan fitur manik atau siklus kegelisahan. Depresi

ini membutuhkan perawatan yang berbeda dari depresi berat. Bipolar adalah
20

penyakit yang rumit, dan penting untuk didiagnosis dan diobati dengan benar

(perawatan untuk depresi berat dapat membuat depresi bipolar lebih buruk).

Gejala depresi yang disertai kecemasan, fobia, atau OCD (obsessive-compulsive

disorder) memerlukan bentuk lain dari pengobatan dan sering dibantu dengan

obat anti kecemasan dan terapi perilaku kognitif jangka pendek.

c. Depresi distimik

Depresi kronis tingkat rendah yang berlangsung selama dua tahun atau lebih, dan

pada beberapa individu, kondisi cahaya rendah dapat memicu depresi afektif

musiman.

d. Depresi terkait hormon

Wanita dapat menderita depresi terkait hormon, baik sebagai bagian dari siklus

bulanan mereka (Gangguan dysphoric pramenstruasi) atau setelah kelahiran anak

(depresi postpartum). Depresi yang berhubungan dengan hormon ini harus

ditanggapi dengan serius. Mereka dapat merusak tubuh dan melatih otak untuk

bersandar pada depresi.

e. Depresi psikotik

dapat terlihat seperti skizofrenia, dengan halusinasi atau suara pendengaran, dan

depresi khas (yang saat ini sedang dikaitkan dengan dysthymia atau bentuk

depresi bipolar ringan yang disebut cyclothymia) melibatkan sensitivitas tinggi,

kemurungan, peningkatan nafsu makan atau kenaikan berat badan, dan tidur
21

berlebihan. Siklus kemarahan sering menutupi kondisi depresi yang mendasarinya

(terutama pada pria).

f. Depresi situasional

Berbeda dengan kondisi sebelumnya, depresi situasional adalah bentuk depresi

yang lebih dikenal. Depresi terjadi ketika kita merasa terjatuh dan sedih, bukan

hanya karena alasan tertentu, tetapi tentang segala hal. Depresi situasional adalah

sesuatu yang pernah dialami sebagian besar manusia. Ada perasaan terus menerus

turun, tidak termotivasi, terisolasi, berlinang air mata, agorafobik, atau tidak dapat

tidur, makan, atau berfungsi. Banyak orang yang menderita depresi situasional

mencoba mengatasi dengan obat, ramuan, praktik meditasi, olahraga, pembatasan

diet tertentu, atau apa saja. Depresi situasional sangat mudah ditempa dan akan

merespons hampir semua perubahan dalam rutinitas. Ketika penelitian kesehatan

mental menunjukkan bahwa modalitas non-obat seperti terapi dan meditasi sama

efektifnya dengan antidepresan dalam menghilangkan gejala, studi tersebut sering

dilakukan pada depresi situasional. Seseorang dengan depresi berat, depresi

bipolar, depresi terkait hormon, dan gangguan depresi terkait kemarahan atau

kecemasan mungkin memerlukan intervensi yang lebih intensif. Diagnosis yang

tepat pada depresi akan melindungi otak dan tubuh seseorang.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Depresi

Meskipun depresi dapat terjadi tanpa alasan, namun ada beberapa faktor

penyebab terjadinya depresi (Goldman, 2015), diantaranya:


22

a. Peristiwa hidup seperti dipecat, bercerai, diserang secara fisik atau seksual,

kehilangan atau berduka, kemarahan, pengalaman masa kecil, dan juga kondisi

fisik dan efek samping dari pengobatan

b. Diet, obat-obatan dan alkohol juga dapat berkontribusi terhadap depresi

c. Gen dapat berperan karena adanya gagasan bahwa depresi dapat diturunkan

dalam keluarga.

d. Pandangan lain bahwa depresi dapat disebabkan oleh "perubahan kimia otak"

tetapi bukti untuk ini masih lemah karena tidak ada bukti langsung mengenai

defisiensi serotonin pada gangguan mental apa pun. (Davies, 2013) menguatkan

bahwa meskipun ribuan penelitian sedang dilakukan, tidak ada bukti langsung

bahwa kekurangan serotonin bertanggung jawab untuk depresi. Karena tidak ada

tes diagnostik fisik yang tersedia untuk mengidentifikasi depresi, maka tidak ada

kepastian absolut mengenai penyebab fisiologis depresi.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa pada tahun 2020

depresi akan menjadi penyebab utama kecacatan ketiga di dunia. Depresi pada lansia

(≥ 60 tahun) lazim di lingkungan tempat tinggal masyarakat dan bahkan lebih umum

di kalangan lansia yang telah dirawat di rumah sakit karena penyakit fisik yang

serius, dan juga lansia yang dilembagakan karena berkurangnya fungsi fisik dan /

atau kognitif (Sivertsen et al., 2015). Faktor penyebab terjadinya depresi yang

diketahui antara lain:

a. jenis kelamin perempuan


23

b. usia yang lebih tua

c. kemampuan mengatasi sesuatu yang menurun

d. morbiditas fisik atau mudah terkena penyakit

e. tingkat fungsi tubuh yang terganggu

f. berkurangnya kognisi

g. dan suasana berkabung.

Depresi telah dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian, dan hasil yang lebih

buruk pada pengobatan gangguan fisik (Sivertsen et al., 2015).

Pasien dengan depresi lanjut usia dinilai heterogen dalam hal riwayat klinis dan

kondisi respons yang buruk terhadap obat antidepresan. Dibandingkan dengan orang

dewasa yang lebih tua yang melaporkan depresinya lebih awal, mereka yang

mengalami depresi lanjut usia lebih cenderung memiliki kelainan neurologis,

termasuk defisit pada tes neuropsikologis dan perubahan terkait usia pada

neuroimaging yang lebih besar dari normal. Mereka juga berisiko lebih tinggi untuk

demensia berikutnya. Pengamatan tersebut menginformasikan bahwa penyakit

vaskular dapat berkontribusi pada depresi pada beberapa orang dewasa yang lebih tua

(Taylor, 2014).

4. Ciri-ciri Lansia yang Depresi

Orang dengan depresi pada lanjut usia memiliki tingkat respons yang lebih buruk

terhadap obat antidepresan atau pengunaan obat secara bersamaan dibandingkan


24

dengan yang tidak depresi. Hubungan antara depresi dan penyakit kronis mungkin

bersifat dua arah. Masalah medis seperti nyeri kronis dapat memberikan

kecenderungan untuk depresi, dan depresi dikaitkan dengan hasil yang lebih buruk

untuk kondisi seperti penyakit jantung (Taylor, 2014).

Kerusakan kognitif yang terjadi bersamaan adalah umum pada orang dengan

depresi lanjut usia dan dapat melibatkan banyak domain kognitif, termasuk fungsi

eksekutif, perhatian, dan memori. Depresi dapat menjadi faktor risiko dan manifestasi

dari penurunan kognitif dimana depresi dikaitkan dengan peningkatan risiko

demensia jangka panjang. Dengan demikian penurunan kognitif bisa menjadi tanda

penuaan otak yang dipercepat yang memberikan kecenderungan dan memperpanjang

depresi (Taylor, 2014).

Ketika menggunakan istilah "depresi", merujuk pada gangguan depresi mayor

seperti yang didefinisikan oleh Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental 5

(DSM-5). Gejala utama gangguan depresi mayor adalah anhedonia (kehilangan minat

pada aktivitas yang dulu dinikmati) dan suasana hati yang depresi hampir sepanjang

hari. Menurut DSM 5 (Van Damme et al., 2018), orang lansia memiliki depresi berat

jika mengalami setidaknya satu gejala kardinal dan empat atau lebih dari gejala

berikut selama setidaknya 2 minggu, antara lain:

a. Penurunan atau peningkatan berat badan

b. Penurunan atau peningkatan nafsu makan yang signifikan

c. Insomnia atau hipersomnia


25

d. Kelelahan

e. Agitasi psikomotor, atau retardasi

f. Berkurangnya kemampuan untuk berkonsentrasi atau membuat keputusan

g. Perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang tidak wajar

h. Pemikiran berulang tentang kematian atau ide bunuh diri.

Pada lansia, perasaan depresi sering kali ditutupi oleh keluhan fisik yang tidak

dapat dijelaskan (misalnya, kelelahan, nyeri difus atau nyeri punggung, sakit kepala,

nyeri dada, dan sebagainya), akibatnya kriteria DSM 5 klasik terkadang gagal dalam

mendiagnosis depresi pada lansia (Van Damme et al., 2018).

5. Penanganan Terhadap Depresi Lansia

Depresi pada lansia memiliki beberapa poin kunci secara klinis menurut (Taylor,

2014):

a. Depresi usia lanjut (terjadi pada orang yang berusia 60 tahun atau lebih) adalah

umum dan sering dikaitkan dengan penyakit medis, disfungsi kognitif, atau

keduanya.

b. Orang dewasa lanjut usia yang tertekan berisiko lebih tinggi untuk bunuh diri.

c. Skrining untuk depresi adalah penting, tetapi hasil skrining positif harus diikuti

oleh evaluasi menyeluruh untuk menilai keselamatan pasien dan memastikan

bahwa perawatan diperlukan.

d. Baik farmakoterapi atau psikoterapi dapat digunakan sebagai terapi lini pertama.
26

e. Antidepresan yang tersedia saat ini menunjukkan kemanjuran pada populasi yang

lebih tua yang depresi, tetapi orang dewasa yang lebih tua mungkin berisiko lebih

tinggi untuk efek samping obat. Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRIs)

dianggap sebagai farmakoterapi lini pertama.

f. Teknik psikoterapi standar juga efektif untuk depresi pada orang dewasa yang

lebih tua

Orang dewasa yang mengalami depresi harus didorong untuk meningkatkan

aktivitas fisik mereka sejauh yang mereka bisa. Dalam meta-analisis tujuh uji coba

terkontrol secara acak, olahraga dengan intensitas sedang dapat mengurangi gejala

depresi. Rekomendasi wajar lainnya termasuk meningkatkan gizi dan meningkatkan

keterlibatan dalam kegiatan yang menyenangkan dan interaksi sosial (Taylor, 2014).

Namun, karena depresi meningkatkan tantangan memulai perubahan gaya hidup,

rekomendasi ini umumnya tidak memadai sehingga membutuhkan intervensi

penanganan lain, (Taylor, 2014) seperti:

a. Pharmacotherapy (Farmakoterapi)

Karena profil efek samping yang menguntungkan dan biaya rendah, Selective

Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) adalah pengobatan lini pertama untuk

depresi lanjut usia. Dalam beberapa uji acak terkontrol, SSRI seperti sertraline,

fluoxetine, dan paroxetine lebih efektif daripada plasebo dalam mengurangi gejala

depresi dan meningkatkan tingkat pengurangan depresi. Secara umum, uji coba
27

yang menunjukkan manfaat signifikan lebih besar pada pasien dengan depresi

lanjut usia daripada yang tidak lanjut usia.

Serotonin Norepinefrin Reuptake Inhibitor (SNRI) umumnya digunakan

sebagai pengobatan lini kedua ketika pengurangan depresi tidak tercapai dengan

SSRI. Dalam studi kecil, venlafaxine tidak menunjukkan kemanjuran lebih besar

daripada plasebo, tetapi uji coba duloxetine yang lebih besar dan terkontrol

menunjukkan peningkatan yang signifikan pada depresi usia lanjut (tingkat

respons, 37% vs 19%; tingkat remisi, 27% vs 15%). Akan tetapi, uji coba acak

yang melibatkan orang dewasa yang lebih tua belum menunjukkan perbedaan

yang signifikan antara manfaat SSRI dan manfaat SNRI, meskipun efek samping

mungkin lebih sering terjadi pada SNRI.

Antidepresan tricyclic memiliki kemanjuran yang serupa dengan SSRI dalam

pengobatan depresi lanjut usia tetapi lebih jarang digunakan karena efek

sampingnya yang lebih besar. Jika SSRI atau SNRI tidak efektif, antidepresan

tricyclic dapat dipertimbangkan (baik sebagai monoterapi atau sebagai

augmentasi). Namun, antidepresan tricyclic dimasukkan dalam daftar obat-obatan

yang berpotensi tidak pantas dikonsumsi terkait dengan tingginya tingkat kejadian

yang merugikan pada lansia.

b. Physcotherapy (Psikoterapi)

Psikoterapi adalah perawatan yang efektif untuk depresi lansia dan dapat

dianggap sebagai terapi lini pertama, tergantung pada ketersediaan dan preferensi
28

pasien. Pendekatan psikoterapi standar termasuk fase perawatan jangka pendek,

yang terdiri dari kunjungan mingguan selama 8 hingga 12 minggu. Beberapa

orang mungkin memerlukan periode perawatan yang lebih lama atau mungkin

memerlukan sesi yang lebih jarang setelah perawatan jangka pendek. Meskipun

terapi lain mungkin juga efektif, untuk pengobatan jangka pendek paling kuat

untuk terapi perilaku kognitif dan terapi pemecahan masalah.

Terapi perilaku kognitif (cognitive behavioral therapy) berfokus pada

identifikasi dan membingkai ulang disfungsional sambil meningkatkan partisipasi

dalam kesenangan dan kegiatan sosial. Sebuah meta-analisis dari 23 uji acak

terkontrol menunjukkan bahwa terapi perilaku kognitif secara signifikan lebih

efektif dalam mengurangi gejala depresi daripada pengobatan seperti biasa, tetapi

tidak lebih efektif dibandingkan psikoterapi lainnya.

Terapi pemecahan masalah (problem solving therapy) berfokus pada

pengembangan keterampilan untuk meningkatkan kemampuan untuk mengatasi

masalah hidup. Uji coba acak yang melibatkan orang dewasa yang lebih tua telah

menunjukkan bahwa terapi pemecahan masalah menghasilkan peningkatan yang

lebih besar dalam mengatasi depresi dibandingkan terapi perawatan biasa atau

reminiscence therapy yaitu psikoterapi yang berfokus pada evaluasi dan

membingkai ulang peristiwa kehidupan masa lalu. Pemecahan masalah terapi

efektif mengobati gejala depresi pada lansia dengan defisit kognitif, khususnya

pada kelompok yang sering memiliki respons yang buruk terhadap obat
29

antidepresan. Dalam uji coba yang melibatkan populasi dengan gangguan

kognitif, terapi pemecahan masalah dihasilkan dalam tingkat remisi yang lebih

tinggi dibandingkan supportive therapy (46% vs 28% pada 12 minggu).

Kemudian ada terapi interpersonal (interpersonal therapy) untuk lansia

depresi yang berfokus pada transisi peran, kesedihan, dan masalah antarpribadi.

Dalam uji coba secara acak, terapi interpersonal menghasilkan pengurangan

gejala depresi yang jauh lebih besar daripada perawatan biasa. Seperti terapi

perilaku kognitif, orang dengan kondisi kronis atau penurunan kognitif mungkin

tidak memiliki respons yang baik terhadap terapi interpersonal.

C. Konsep Kualitas Hidup

1. Pengertian Kualitas Hidup

The World Health Organization Quality Of Life atau WHOQOL Group

mendefinisikan kualitas hidup sebagai persepsi individu tentang posisi mereka

terhadap kehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai di mana mereka hidup,

dan terkait dengan tujuan, harapan, standar, dan juga perhatian. Kualitas hidup dalam

hal ini merupakan suatu konsep yang sangat luas yang dipengaruhi kondisi fisik

individu, psikologis, tingkat kemandirian, serta hubungan individu dengan

lingkungan (Ekasari et al., 2018).

Kualitas hidup orang lanjut usia didefinisikan, pertama sebagai rasa hormat yang

mereka miliki untuk diri mereka sendiri, sesuatu kekuatan yang mereka miliki.
30

Kedua, rasa hormat yang ditunjukkan oleh dunia luar kepada mereka. Selain itu,

dalam tahap kehidupan ini, berbagai kondisi seperti pensiun, janda, kehilangan peran

sosial, dukungan sosial pengurangan pekerjaan, kesepian, dan kurangnya signifikansi

kehidupan pribadi, dapat menciptakan hambatan untuk kualitas hidup yang lebih baik

(Rasquinha & Acharya, 2013).

Kualitas hidup adalah tingkat kepuasan atau ketidakpuasan yang dirasakan

seseorang tentang berbagai aspek dalam kehidupannya. Kualitas hidup termasuk

kemandirian, privasi, pilihan, penghargaan dan kebebasan bertindak. Adapun kualitas

hidup pada lansia dikategorikan menjadi tiga bagian yaitu kesejahteraan fisik,

kesejahteraan psikologis dan kesejahteraan interpersonal (Ekasari et al., 2018).

Dari beberapa definisi tentang kualitas hidup dapat disimpulkan bahwa kualitas

hidup merupakan suatu persepsi dari individu baik terhadap kesehatan, sosial maupun

emosi yang ada pada diri mereka. Hal ini menyangkut kemampuan individu dalam

menjalankan aktifitas sehari-hari yang ditunjang oleh sarana dan prasarana di

lingkungan sekitar individu yang bersangkutan.

2. Komponen Kualitas Hidup

Komponen kualitas hidup menurut WHO (1996) yang disebut WHOQOL-BREF

adalah sebagai berikut (Ekasari et al., 2018):

a. Kesehatan fisik mencakup:

1) aktivitas kehidupan sehari-hari


31

2) ketergantungan terhadap obat-obatan dan bantuan medis

3) energi dan kelelahan

4) mobilitas

5) nyeri dan tidak nyaman

6) tidur dan istirahat

7) serta kapasitas kerja.

b. Kesehatan psikologis mencakup:

1) citra tubuh dan penampilan

2) perasaan negatif, perasaan positif

3) harga diri

4) spiritualitas/agama/keyakinan personal

5) berpikir, belajar

6) memori dan konsentrasi

c. Hubungan sosial mencakup:

1) hubungan personal

2) dukungan sosial

3) aktivitas seksual

d. Lingkungan mencakup:

1) sumber finansial

2) kebebasan

3) keamanan fisik
32

4) pelayanan kesehatan dan sosial

5) keterjangkauan dan kualitas

6) lingkungan rumah

7) kesempatan memperoleh informasi dan keterampilan baru

8) partisipasi dan rekreasi atau aktivitas waktu luang

9) lingkungan fisik seperti polusi, kebisingan, lalu lintas, iklim

10) transportasi

Sedangkan komponen kualitas hidup menurut WHO (2006) yang disebut

WHOQOL-OLD, adalah sebagai berikut (Ekasari et al., 2018):

a. Kemampuan sensori

Menggambarkan fungsi sensori dan dampak dari kehilangan sensori terhadap

kualitas hidup

b. Otonomi

Ditujukan pada kemandirian lansia dan menggambarkan kemampuan serta

kebebasan terhadap kehidupan secara mandiri dan mengambil keputusan sendiri

c. Aktivitas masa lalu, saat ini dan masa akan datang

Menggambarkan kepuasan tentang pencapaian dalam kehidupan dan sesuatu yang

diharapkan.

d. Partisipasi sosial

Menggambarkan partisipasi dalam aktivitas kehidupan sehari-hari khususnya di

masyarakat
33

e. Kematian dan menjelang ajal

Berhubungan dengan perhatian, kekhawatiran dan ketakutan tentang kematian

dan menjelang ajal

f. Intimacy

Mengkaji kemampuan dalam hubungan personal dan hubungan intim.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Lansia

Kualitas hidup yang tinggi menggambarkan bahwa individu memasuki fase

integritas dalam tahap akhir hidupnya, begitu juga dengan kualitas hidup yang rendah

berdampak pada keputusasaan yang dialami oleh lanjut usia. Kualitas hidup individu

yang satu dengan yang lain akan berbeda, hal itu tergantung pada definisi atau

interpretasi masing-masing individu tentang kualitas hidup yang baik. Menjaga

kelangsungan hidup yang baik pada lanjut usia sangat dianjurkan dalam kehidupan

sehari-hari. Hidup lanjut usia yang berkualitas merupakan kondisi fungsional yang

optimal, sehingga lansia dapat menikmati masa tuanya dengan bahagia dan dapat

berguna (Ekasari et al., 2018).

Lanjut usia harus dapat menyesuaikan diri dan menerima segala perubahan yang

terjadi dalam tubuhnya, baik perubahan fisik dan perubahan psikologis. Penerimaan

ini bisa dilakukan dengan menyadari dan lebih peka dengan segala perubahan

tersebut. Seperti kesadaran akan udara yang masuk dan mengalir dalam tubuh,
34

kesadaran akan indera dan organ yang ada dalam tubuh atau yang disebut dengan

mindfulness (Sari & Yulianti, 2018)

Kualitas hidup dipengaruhi oleh berbagai situasi dan faktor-faktor yang berkaitan

dengan (Ekasari et al., 2018):

1. Faktor demografi (usia, jenis kelamin, suku)

2. Sosial ekonomi (pendidikan, status sosial, pendapatan, dukungan sosial)

3. Budaya dan nilai

4. Faktor kesehatan (kondisi kesehatan, penyakit, status fungsional, tersedianya

layanan kesehatan)

5. Karakteristik personal (mekanisme koping, efikasi diri) merupakan prediktor dari

kualitas hidup.

6. Ketegangan peran dan beban keluarga juga menyebabkan keterbatasan interaksi

antara keluarga dengan lansia sehingga berpengaruh terhadap kualitas hidup

lansia.

7. Program latihan kesehatan berhubungan dengan kualitas hidup lansia didasarkan

pada kemampuan melakukan BADL dan IADL.

8. Kualitas hidup yang rendah pada lansia akibat proses menua juga disebabkan

karena kehilangan kemandirian, masa depan dan keterbatasan partisipasi dalam

melakukan aktivitas.
35

D. Hubungan Depresi Dengan Kualitas Hidup Lanjut Usia

Depresi pada lansia biasanya dikacaukan dengan efek berbagai penyakit yang

terkait dengan usia ini dan pengobatan digunakan untuk perawatan mereka, atau itu

dianggap normal di antara para lansia. Namun, harus ditekankan bahwa depresi

bukan bagian normal dari efek penuaan. Depresi pada lansia dapat disebabkan karena

faktor psikologis, fisik dan lingkungan (Rasquinha & Acharya, 2013).

Studi menemukan bahwa individu yang lebih tua dengan depresi mengalami

kualitas hidup yang lebih rendah dan efek negatif pada aktivitas hidup sehari-hari

mereka. Semua masalah ini menyoroti kebutuhan besar untuk mengevaluasi fisik,

psikologis dan dimensi sosial yang hadir dalam kehidupan lansia. Depresi adalah

masalah kesehatan mental yang penting yang perlu dilakukan ditangani dalam

pengaturan perawatan primer. Agar memberikan layanan kesehatan yang optimal dan

peningkatan kualitas hidup untuk lansia, maka profesional di bidang kesehatan perlu

menjadi lebih sadar akan depresi dan dampaknya pada kehidupan lansia (Bakar &

Asılar, 2015).

Pada hasil penelitian (Rasquinha & Acharya, 2013), ditemukan bahwa korelasi

antara depresi dan kualitas hidup keseluruhan adalah signifikan pada tingkat 0,01

sehingga hipotesis nol bahwa “tidak ada hubungan antara depresi dan quality of life

keseluruhan” ditolak. Depresi terbukti berkorelasi negatif dengan kualitas hidup

secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa depresi yang meningkatkan pada
36

lansia akan mengakibatkan kualitas hidup secara keseluruhan akan menurun dan

begitupun sebaliknya.

Adanya hubungan negatif antara depresi dan kualitas hidup lansia juga ditemukan

pada penelitian (Sivertsen et al., 2015). Dalam studi longitudinal pasien psikogeriatri,

kualitas hidup global dan domain HQOL generik secara negatif dipengaruhi oleh

tingkat depresi. Sembuh dari depresi setelah perawatan menghasilkan kualitas hidup

yang lebih tinggi, dan kualitas hidup meningkat bahkan pada pasien yang tidak

sepenuhnya pulih dari depresi yang berkepanjangan.

Pada penelitian (Mahadewi & Ardani, 2018) diperoleh hasil bahwa tingkat

depresi dan kualitas hidup pada lansia di Panti Sosial Werdha Wana Seraya tidak

berhubungan signifikan secara statistik. Akan tetapi jika dilihat dari nilai OR yang

tinggi, maka dapat dikatakan bahwa tingkat depresi merupakan risk factor (faktor

resiko) penyebab kualitas hidup yang buruk. Kualitas hidup yang buruk cenderung

terjadi apabila tingkat depresi meningkat, depresi sedang hingga depresi berat

kebanyakan juga mengalami kualitas hidup buruk. Depresi ringan meningkatkan

peluang untuk mengalami kualitas hidup buruk 1,481 kali daripada yang tidak

depresi. Begitu juga depresi sedang hingga depresi berat akan meningkatkan peluang

untuk kualitas hidup yang buruk 2,778 kali daripada yang tidak depresi.
38

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Teori

Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas baik pria

maupun wanita, masih mampu melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang dapat

menghasilkan barang dan atau jasa ataupun tidak berdaya mencari nafkah sehingga

hidupnya bergantung pada orang lain (UU Nomor 13 Tahun 1998). Lansia atau lanjut

usia merupakan kelompok umur pada manusia yang telah memasuki tahapan akhir

dari fase kehidupannya. Secara alamiah semua orang akan mengalami proses menjadi

tua dan masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir. Proses penuaan

merupakan suatu proses alami yang tidak dapat dicegah dan merupakan hal yang

wajar dialami oleh orang yang diberi karunia umur panjang. Dalam usia lanjut semua

orang akan berharap akan menjalani hidup dengan tenang, damai, menikmati masa

pensiun bersama anak dan cucu dengan penuh kasih sayang (Ekasari et al., 2018).

Depresi pada lansia (≥ 60 tahun) lazim di lingkungan tempat tinggal masyarakat

dan bahkan lebih umum di kalangan lansia yang telah dirawat di rumah sakit karena

penyakit fisik yang serius, dan juga lansia yang dilembagakan karena berkurangnya

fungsi fisik dan / atau kognitif (Sivertsen et al., 2015). Depresi pada usia lanjut diukur

berdasarkan tingkatan yang sesuai dengan gejala yang termanifestasi. Apabila

terindikasi adanya depresi, maka perlu dikaji dengan instrumen yang terstandarisasi

dan dapat diandalkan serta valid, dan juga dirancang khusus untuk diuji pada orang
39

lansia. Salah satu yang biasa digunakan oleh peneliti maupun praktisi klinis adalah

Geriatric Depression Scale (GDS) (Martono & Pranaka, 2010). Dari beberapa hasil

penelitian, ditemukan bahwa depresi yang terjadi pada lansia bisa berdampak pada

menurunnya kualitas hidup lansia. Studi menemukan bahwa individu yang lebih tua

dengan depresi mengalami kualitas hidup yang lebih rendah dan efek negatif pada

aktivitas hidup sehari-hari mereka. Semua masalah ini menyoroti kebutuhan besar

untuk mengevaluasi fisik, psikologis dan dimensi sosial yang hadir dalam kehidupan

lansia (Bakar & Asılar, 2015).

Kualitas hidup orang lanjut usia didefinisikan, sebagai rasa hormat yang mereka

miliki untuk diri mereka sendiri, sesuatu kekuatan yang mereka miliki. Kedua, rasa

hormat yang ditunjukkan oleh dunia luar kepada mereka. Selain itu, dalam tahap

kehidupan ini, berbagai kondisi seperti pensiun, janda, kehilangan peran sosial,

dukungan sosial pengurangan pekerjaan, kesepian, dan kurangnya signifikansi

kehidupan pribadi, dapat menciptakan hambatan untuk kualitas hidup yang lebih baik

(Rasquinha & Acharya, 2013).

Sehubungan dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, peneliti

merangkum dalam kerangka konseptual sebagai berikut:


40

Variabel Bebas: Variabel Terikat:


Depresi Kualitas Hidup

Minat aktivitas Kesehatan Fisik


Perasaan sedih Kesehatan psikologis
Perasaan sepi dan bosan Hubungan sosial
Perasaan tidak berdaya Lingkungan
Perasaan bersalah WHOQOL-BREF
Perhatian/konsentrasi

Bagan 3.1 Kerangka Konseptual

B. Hipotesis

Berdasarkan tinjauan teoritis dan didukung oleh riset terdahulu, maka peneliti

mengajukan hipotesis penelitian “Terdapat hubungan antara tingkat depresi dengan

kualitas hidup pada lanjut usia di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih

Sicincin Kabupaten Padang Pariaman”


41

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian sekunder yang termasuk

jenis Systematic Literatur Review (SLR). Systematic Literatur Review adalah jenis

tinjauan literatur yang mengumpulkan dan menganalisis secara kritis berbagai

penelitian atau makalah melalui proses sistematis. Tujuan SLR adalah untuk

menyediakan ringkasan lengkap dari literatur yang tersedia yang relevan dengan

pertanyaan penelitian (Cruz-Benito, 2016). Metode pencarian data menggunakan

elektronic data base Proquest, Google Scholar, Science Direct ataupun Ebsco.

Peneliti menuliskan kata kunci sesuai MESH (Medical Subject Heading) yaitu

“Depression of elderly in a nursing home atau depresi lansia pada panti sosial”,

“Quality of life in elderly atau kualitas hidup pada lansia”.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek atau subjek penelitian yang memenuhi kriteria

yang telah ditetapkan (Notoadmodjo, 2010). Yang menjadi populasi pada penelitian

ini adalah semua jurnal hasil penelitian dengan topik depresi dan kualitas hidup

lansia.
42

2. Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili populasi (Notoadmodjo,

2010). Sampel pada penelitian ini adalah menggunakan 10 jurnal yang terdiri dari 5

jurnal tentang dukungan sosial dan 5 jurnal tentang capaian ASI Eksklusif yang

sesuai dengan kriteria inklusi. Kriteria inklusi sampel pada penelitian ini meliputi :

a. Hasil penelitian dipublikasikan pada rentang tahun 2010 – 2020.

b. Jurnal dipublikasi dari data base Proquest, Google Scholar, Science Direct dan

Ebsco.

c. Responden dalam jurnal hasil penelitian adalah lansia.

d. Jurnal hasil penelitian tersaji dalam bentuk full-text.

C. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan systematic literatur review dengan rentang waktu

penelitian mulai dari pengumpulan jurnal sampai tahapan penulisan hasil jurnal

adalah sampai Juni 2020.

D. Variabel Penelitian

1. Variabel

Variabel penelitian ini terbagi menjadi variabel bebas dan terikat.


43

a. Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi

sebab perubahan variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah

depresi.

b. Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi

akibat karena adanya variabel bebas. Variabel terikat dalam penelitian ini

adalah kualitas hidup.

2. Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan penjelasan semua variabel dan istilah yang

digunakan dalam penelitian secara operasional, sehingga pada akhirnya dapat

mempermudah pembaca dlm mengartikan makna penelitian (Notoadmodjo,

2010).

Tabel definisi operasional variabel dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel 4.1

Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur


Operasional

Variabel Gangguan mental Systematic Jurnal Hasil Tabel dan


Bebas: yang umum, Literatur Penelitian penjelasan
ditandai dengan Review
kesedihan,
Depresi kehilangan minat
atau kesenangan,
perasaan bersalah
atau harga diri
rendah, tidur atau
44

nafsu makan
terganggu,
perasaan lelah,
dan konsentrasi
yang buruk

Variabel Persepsi individu Systematic Jurnal Hasil Data jurnal


Terikat: tentang posisi Literatur Penelitian
mereka terhadap Review
kehidupan dalam
Kualitas konteks budaya dan
Hidup sistem nilai di mana
mereka hidup, dan
terkait dengan
tujuan, harapan,
standar, dan juga
perhatian

E. Instrumen Penelitian

Instrumen data yang dipakai dalam pengumpulan data adalah dokumentasi.

Instrumen dokumentasi dapat memberikan informasi dan berbagai macam sumber

yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan penelitian. Sumber dokumen yang

digunakan pada penelitian ini yaitu dokumen sekunder, berupa dokumen yang

diperoleh secara tidak langsung dari berbagai media seperti laporan penelitian atau

jurnal publikasi lainnya di situs internet.

F. Uji validitas dan Reliabilitas


45

Analisis jurnal hasil penelitian menggunakan metode critical appraisal. Critical

Appraisal adalah gambaran umum dari semua studi utama pada topik dan mencoba

untuk mendapatkan gambaran keseluruhan dari hasilnya (Al-Jundi, 2017). Dengan

analisis ini akan diperoleh pengetahuan yang lebih dalam di bidang yang

bersangkutan, mendapatkan wawasan tentang tren saat ini dan tantangan di masa

depan, mengidentifikasi penulis yang paling penting, mengidentifikasi jurnal &

konferensi yang paling penting, mendapatkan beberapa publikasi yang bagus, dan

mendapatkan kutipan.

G. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data menggunakan dokumentasi yang bersumber dari data

sekunder, karena data diperoleh secara tidak langsung yaitu mengambil data dari hasil

penelitian-penelitian yang sudah ada. Pada penelitian ini, peneliti mengumpulkan

artikel-artikel atau jurnal yang berkaitan dengan variabel penelitian yaitu mengenai

depresi dan kualitas hidup lansia di panti sosial.

H. Teknik Pengolahan Data

Teknik pengolahan data penelitian ini menggunakan systematic literatur review.

Adapun tahapan Systematic Literatur Review antara lain (Cruz-Benito, 2016):

1. RQs (Research Question)

Menentukan pertanyaan penelitian (dan tujuan)

2. ICs (Inclusion Criteria)


46

Menetapkan kriteria inklusi untuk Systematic Literatur Review

3. ECs (Exclution Criteria)

Menetapkan kriteria eksklusi untuk Systematic Literatur Review

4. PICOC

Mendefinisikan ruang lingkup SRL. Lingkup ini membantu dalam analisis untuk

menjawab pertanyaan penelitian

a. Population (P): solusi yang menerapkan interoperabilitas

b. Intervention (I): solusi interoperabilitas pragmatis

c. Comparison (C): tidak ada intervensi perbandingan

d. Outcomes (O): solusi

e. Context (C): solusi komputasi

5. Databases

Mencari di database ilmiah dan ekstrak konten / data yang relevan misalnya

Google Scholar, Science Direct dan lainnya.

6. Queries

Pertanyaan antara database yang berbeda di mana peneliti mencari hasil harus

sama atau setara (jika tidak, hasil yang dikumpulkan tidak akan sebanding)

7. Review phases

Meninjau fase. Langkah-langkah umumnya:

a. Jalankan permintaan

b. Hapus duplikat
47

c. Tinjau dengan memperhatikan judul dan abstrak (menerapkan IC, EC)

d. Tinjau teks lengkap & nilai kualitas (berlaku juga IC, EC)

e. Sertakan (jika perlu) jurnal yang dikutip dalam hasil dan ulangi

8. Quality assessment

Penilaian kualitas dengan daftar periksa

a. Peneliti akan menilai kualitas menggunakan daftar periksa untuk

mengevaluasi aspek yang relevan untuk SLR di setiap jurnal

b. Bergantung pada skor evaluasi, setiap jurnal akan dimasukkan atau

dikecualikan dalam fase akhir. Peneliti akan memperbaiki titik cutoff.

9. Traceability

a. Peneliti harus memberikan penjelasan lengkap tentang bagaimana proses itu

dilakukan.

b. Peneliti harus menyertakan jurnal yang ditinjau dalam setiap fase. Tergantung

tahap review, peneliti akan diminta untuk menentukan IC, EC dengan

memilih atau menolak jurnal di SLR.

c. Jika peneliti tidak memberikan penjelasan ini, maka hasil penelitian tidak

dapat dipercaya

10. Write result

a. Biasanya jurnal yang dihasilkan akan memiliki satu bagian untuk pemetaan

laporan dan lainnya untuk yang sistematis


48

b. Masing-masing harus menanggapi pertanyaan penelitian dan memberikan

wawasan tentang jurnal dan konten yang dipilih untuk itu.

c. Gunakan bagan, tabel, dan penjelasan visual

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jundi, A. (2017). Critical Appraisal of Clinical Research. Journal of Clinical and


Diagnostic Research, 11(5), 1–5.
https://doi.org/10.7860/JCDR/2017/26047.9942

Amelia, R., Wahyuni, A. S., & Harahap, J. (2018). Hubungan Status Depresi Dengan
Kualitas Hidup Lansia Di Kota Medan. Talenta Conference Series: Tropical
Medicine (TM), 1(2), 342–347. https://doi.org/10.32734/tm.v1i2.198

Azizah, L. M. (2011). Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Badan Pusat Statistik. (2019). Statistik Penduduk Lanjut Usia. Jakarta: Badan Pusat
Statistik.

Badan Pusat Statistik. (2020). [IPG] Angka Harapan Hidup (AHH) menurut Provinsi
dan Jenis Kelamin, 2010-2018.
https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1114

Bakar, N., & Asılar, R. H. (2015). Factors Affecting Depression and Quality of Life
in the Elderly. Journal of Gerontology & Geriatric Research, 04(05).
https://doi.org/10.4172/2167-7182.1000249

Cruz-Benito, J. (2016). Systematic Literature Review & Mapping. 62.


https://doi.org/10.5281/ZENODO.165773

Davies, J. (2013). Cracked: why psychiatry is doing more harm than good. London:
Icon Books.

Depkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan
pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
49

Ekasari, M. F., Riasmini, N. M., & Hartini, T. (2018). Meningkatkan Kualitas Hidup
Lansia. Malang: Wineka Media.

Goldman, A. S. (2015). A client focused perspective of the effectiveness of


Counselling for Depression. Tesis Doctor Of Philosophy, 1–367.

Mahadewi, I. G. A., & Ardani, I. G. A. I. (2018). Hubungan Tingkat Depresi Dengan


Kualitas Hidup Pada Lansia Di Panti Sosial Werdha Wana Seraya Denpasar
Bali. E-Journal Medika, 7(8), 1–8.

Martono, H., & Pranaka, K. (2010). Buku ajar Boedhi-Darmojo Geriatri: Ilmu
Kesehatan Usia Lanjut (4th ed.). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

McLaren, K. (2010). The Language of Emotions. Sounds True Inc.

Notoadmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Rasquinha, M. D. M., & Acharya, D. Y. T. B. (2013). Relationship between


Depression and Quality of Life among Institutionalised Elderly. International
Journal of Scientific Research, 2(10), 1–3.
https://doi.org/10.15373/22778179/oct2013/125

Sari, R. A., & Yulianti, A. (2018). Hubungan Mindfullness Dengan Kualitas Hidup
Pada Lanjut Usia. Jurnal Psikologi, 13(1), 48–54.
https://doi.org/10.24014/jp.v13i1.2771

Sivertsen, H., Bjorklof, G. H., Engedal, K., Selbæk, G., & Helvik, A. S. (2015).
Depression and quality of life in older persons: A review. Dementia and
Geriatric Cognitive Disorders, 40, 311–339. https://doi.org/10.1159/000437299

Taylor, W. D. (2014). Depression in the elderly. New England Journal of Medicine,


371(13), 1228–1236. https://doi.org/10.1056/NEJMcp1402180

Utami, A. W., Liza, R. G., & Ashal, T. (2018). Hubungan Kemungkinan Depresi
dengan Kualitas Hidup pada Lanjut Usia di Kelurahan Surau Gadang Wilayah
Kerja Puskesmas Nanggalo Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 7(3), 417–423.
https://doi.org/10.25077/jka.v7i3.896

Van Damme, A., Declercq, T., Lemey, L., Tandt, H., & Petrovic, M. (2018). Late-life
depression: Issues for the general practitioner. International Journal of General
Medicine, 11, 113–120. https://doi.org/10.2147/IJGM.S154876
50

WHO. (2019). World Health Statistics.


https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Young, S. (2009). How to be a Successful Life Coach. United Kingdom: Spring Hill
House.

Anda mungkin juga menyukai