Anda di halaman 1dari 14

PERBEDAAN KUALITAS HIDUP LANSIA YANG TINGGAL

BERSAMA KELUARGA DENGAN LANSIA YANG TINGGAL


DI RUMAH PELAYANAN PANTI SOSIAL

PROPOSAL PENELITIAN

Disusun Oleh :
Siti Ratna Nurpiyah
NIM. 4002160075

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN DHARMA HUSADA
BANDUNG
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di

dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang

hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak

permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang

berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupan, yaitu anak, dewasa

dan tua (Nugroho, 2012). Menurut peraturan Pemerintah Republik

Indonesia No. 43 tahun 2004, lanjut usia adalah seseorang yang telah

mencapai usia 60 tahun ke atas (Kementrian Kesehatan RI, 2017). Dari

dua teori di atas dapat disimpulkan bahwa menua adalah suatu proses yang

dilakukan seumur hidup dari sejak lahir, seseorang dianggap sudah

memasuki lanjut usia apabila sudah menginjak usia 60 tahun.

Berdasarkan data perserikat bangsa-bangsa (PBB) tentang World

Population Ageing, diperkirakan pada tahun 2015 terdapat 901 juta jiwa

penduduk lanjut usia di dunia. Jumlah tersebut diperoyeksikan terus

meningkat mencapai 2 (dua) miliar pada tahun 2050 (UN.2015). Badan

Pusat Stasistik memproyeksikan bahwa pada tahun 2045, Indonesia akan

memiliki sekitar (63,31 juta) penduduk lanjut usia, atau hampir mencapai
20% populasi, bahkan diperkirakan persentase lansia Indonesia akan

mencapai 25%, pada tahun 2050 atau sekitar (74 juta) lansia (BPS, 2018).

Selama kurun waktu hampir lima dekade 1971-2019 presentase

penduduk lansia di Indonesia meningkat sekitar dua kali lipat. Pada tahun

2019, presentase lansia mencapai 9,60% atau sekitar (25,64 juta), dan

provinsi dengan presentase penduduk lansia terbanyak daerah istimewa

Yogyakarta 14,50%, Jawa Tengah 13,36%, Jawa Timur 12,96%, Bali

11,30%, dan Sulawesi Utara 11,15% (BPS, 2019). Menurut data Badan

Pusat Statistik Jawa Barat diproyeksikan pada tahun 2019 jumlah lansia

mencapai (4 931 670) jiwa lansia (BPS Jawa Barat, 2020). Dan di Kota

Bandung Badan Pusat Statistik memproyeksikan pada tahun 2019

mencapai (221,038) jiwa lansia (BPS Kota Bandung, 2020).

Menjadi tua akan ditandai dengan adanya kemunduran biologis

yang terlihat sebagai gejala-gejala baik kemunduran fisik maupun

psikologis (Nugroho, 2012). UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

Pasal 128, bahwa upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia harus

ditunjukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produkftif secara

sosial maupun ekonomi sesuai dengan martabat kemanusiaan. Pemerintah

wajib menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan dan memfasilitasi

kelompok lanjut usia untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif

(Depkes RI, 2013). Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa

ketika seseorang memasuki lanjut usia maka akan mengalami kemunduran

baik secara fisik maupun psikologis, namun lansia harus tetap menjaga
agar tetap hidup sehat dan produktif untuk mempertahankan kualitas

hidupnya.

Kualitas hidup lansia merupakan suatu komponen kompleks,

mencakup usia harapan hidup, kepuasan dalam kehidupan, kesehatan

psikologis dan mental, fungsi kognitif, kesehatan dan fungsi fisik,

pendapatan, kondisi tempat tinggal, dukungan sosial dan jaringan sosial.

Kualitas hidup dipengaruhi oleh berbagai situasi dan faktor-faktor yang

dikaitkan dengan usia yaitu perubahan status kesehatan dengan

kemampuan koping terhadap tekanan kehidupan, identifikasi peran baru,

kesempatan, dan tersedianya dukungan sosial. Faktor demografi (usia,

jenis kelamin, suku), sosial ekonomi (pendidikan, faktor sosial), pengaruh

budaya dan nilai, faktor kesehatan (kondisi kesehatan, penyakit, status

fungsional, tersedianya layanan kesehatan) dan karakteristik personal

(mekanisme koping, efikasi diri) merupakan predicator kualitas hidup

lansia (Ekasari, dkk., 2018). Kualitas hidup (Quality Of Life) istilah yang

digunakan untuk mengukur kesejahteraan lansia, kesejahteraan

menggambarkan seberapa baik perasaan seseorang terhadap lingkungan

mereka. (kaakinen et al., 2010 dalam Ningrum, dkk., 2017).

Pada umumnya warga lanjut usia menghadapi kelemahan,

keterbatasan dan ketidakmampuan, sehingga kualitas hidup pada lansia

menjadi menurun. Pada kesehatan fisik, perubahan fisik yang terjadi pada

lansia erat kaitannya dengan perubahan psikososialnya. Pengaruh yang

muncul akibat berbagai perubahan pada lansia tersebut jika tidak teratasi
dengan baik, cenderung akan mempengaruhi kesehatan lansia secara

menyeluruh (Syurandhari, 2015). Salah satu faktor yang mempengaruhi

kualitas hidup adalah kondisi psikologis. Erickson mengungkapkan bahwa

usia lanjut ditandai dengan adanya integritas ego atau kepuasan. Integritas

digambarkan sebagai suatu keadaan yang dicapai individu setelah berhasil

menyesuaikan diri dengan berbagai keberhasilan dan kegagalan dalam

kehidupannya. Jika lansia tidak mencapai integritas, maka lansia akan

berputus asa menghadapi perubahan dalam kehidupannya, merasa bahwa

kehidupan ini tidak berarti dan mengalami keputusasaan berkenaan dengan

menjelang kematian, yaitu merasa bahwa ajal sudah dekat dan takut akan

kematian (Desmita, dalam Sari., 2018).

Lansia juga mengalami perasaan rendah diri apabila dibandingkan

dengan individu yang lebih muda, sehingga hal ini membuat lansia cemas,

merasa gugup, sering takut, sedih, stres dan cenderung depresi (Rohmah,

dalam Sari., 2018). Faktor lain yang dapat mempengaruhi kualitas hidup

adalah hubungan sosial. Hubungan sosial meliputi hubungan antara lansia

dengan keluarga maupun lingkungan sosialnya. Hurlock menunjukan

bahwa kepuasan hubungan antara lansia dengan anaknya mengalami

penurunan. Hal ini berkaitan dengan ketidakbahagiaan yang dirasakan

lansia karena merasa diabaikan oleh anak-anak atau anggota keluarga

lainnya yang tinggal berjauhan, padahal dukungan sosial dari orang-orang

terdekat membuat lansia dapat menikmati masa tua dengan bahagia dan

meningkatkan kualitas hidupnya (Sari, 2018).


Menurut Muhlisin 2012, keluarga dipandang sebagai sistem sosial

terbuka yang ada dan berinteraksi dengan sistem yang lebih besar

(suprasistem) dari masyarakat (misalnya: politik, agama, sekolah dan

pemberian pelayanan kesehatan). Karena keluarga adalah unit terkecil dari

masyarakat, maka keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam

perawatan lanjut usia untuk meningkatkan kualitas hidup lanjut usia.

Fungsi keluarga dalam bidang kesehatan dikaitkan dengan kemampuan

melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam mengatasi

permasalahan kesehatan keluarga secara mandiri. Hal ini dikaitkan dengan

lima tugas keluarga dalam bidang kesehatan, yang meliputi kemampuan

mengenal masalah kesehatan dan mengambil keputusan, kemampuan

merawat anggota keluarga yang sakit dan memodifikasi lingkungan untuk

mendukung proses penyembuhan, serta kemampuan untuk memanfaatkan

fasilitas pelayanan kesehatan yang ada. Keluarga juga memiliki peran

untuk memberikan dukungan emosional (Friedman, 2010).

Dalam proses perawatannya, lansia perlu untuk mempereloleh

dukungan emosional, dukungan informasi, dukungan instrumental, dan

dukungan penghargaan sehingga lansia dapat meningkmati masa tuanya

dengan bahagia, serta dapat meningkatkan kualitas hidup (Kaakinen et al.,

2010 dalam Ningrum, dkk., 2017). Dukungan dari keluarga merupakan

unsur terpenting dalam membantu individu menyelesaikan masalah.

Dukungan keluarga akan menambah rasa percaya diri, motivasi untuk

menghadapi masalah dan meningkatkan kepuasan hidup. Sampai saat ini


keluarga masih merupakan tempat berlindung yang paling disukai para

lansia (Suprajitno, dalam Ningrum, dkk., 2017). Keluarga memiliki

beberapa bentuk dukungan yaitu dukungan informasional, dukungan

instrumental, dukungan emosional, dan dukungan penilaian (Friedman,

2010). Dukungan emosional termasuk ke dalam fungsi afektif keluarga.

Dukungan yang diberikan oleh keluarga bisa dalam bentuk kepercayaan,

rasa empati, pengertian, perhatian, rasa aman, cinta dan kasih sayang, serta

pemberian semangat (Luthfa, 2018). Jika keluarga merupakan tempat

tinggal yang disukai oleh lansai dan dapat meningkmati masa tuanya

dengan bahagia, serta dapat meningkatkan kualitas hidup, bagaimana jika

lansai yang tinggal bersama di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW),

karena menurut info dari Jakarta Kompas.com bahwa lebih dari 1.500

lansia di rawat di Panti Sosial Tresna Werdha milik Pemerintah Provinsi

DKI Jakarta.

Menanggapi semakin tingginya jumlah lansia di Indonesia yang

tidak lepas dari perbedaan status sosial dan ekonomi, serta mengacu pada

UU Nomor 6 Tahun 1974 tentang Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia maka

pemerintah membentuk Rumah Pelayanan Sosial bagi lanjut usia. Rumah

ini merupakan fasilitas pelayanan sosial yang ditujukan bagi lansia

terlantar supaya tetap sejahtera (BPS, 2018). Panti Sosial Tresna Werdha

(PSTW) merupakan suatu unit pelaksana teknis (UPT)/ lembaga

kesejahteraan sosial (LKS)/ institusi yang menampung dan merawat

lansia, serta berperan sebagai keluarga bagi lansia dalam menjalankan


fungsi pendampingan dan pembinaan kesejahteraan sosial. Kegiatan pokok

yang dilaksanakan dalam PSTW adalah bimbingan mental dan sosial,

pelayanan kesehatan, kegiatan keagamaan, bimbingan keterampilan, dan

rekreasi. Pendirian PSTW dapat dilakukan oleh pemerintah pusat, provinsi

maupun kabupaten/kota, yayasan, lembaga sosial masyarakat, maupun

oleh anggota masyarakat secara pribadi. Menempatkan lansia di dalam

PSTW pada dasarnya merupakan upaya terakhir, apabila upaya-upaya

lainnya sudah tidak memungkinkan lagi (BPS, 2015).

Lansia yang tinggal di Rumah Pelayanan Sosial otomatis akan jauh

dari keluarga, masalah psikologis sering dialami oleh para lansia. Lansia

merasa sudah tidak produktif lagi untuk melakukan banyak hal, selain itu

perlakuan keluarga yang menganggap orang tua sebagai beban, setelah

memasukkan lansia ke Rumah Pelayanan Sosial keluarga jarang

mengunjungi dan memberi perhatian. Sehingga banyak lansia yang merasa

dirinya sudah tidak berguna dan merasa keberadaannya tidak diharapkan,

oleh karena itu banyak lansia yang tinggal di Rumah Pelayanan Sosial

dengan tidak melakukan aktivitas. Kondisi demikian ini tidak sesuai

dengan teori aktivitas (activity theory), bahwa semakin banyak kegiatan

yang dilakukan oleh lansia maka kualitas hidupnya akan baik (Luthfa,

2018).

Perasaan tidak dibutuhkan dan pasif dalam beraktivitas

menyebabkan kualitas hidup lansia menurun, kualitas hidup menurun akan

mempengaruhi kesehatan lansia secara menyeluruh bahkan bisa


mengakibatkan lansia depresi. Berbeda dengan kondisi lansia yang tinggal

bersama dengan keluarga di rumah, dengan adanya dukungan keluarga

maka seharusnya kebutuhan lansia dapat dipenuhi dengan baik, sehingga

akan lebih sejahtera. Kualitas hidup lansia berkaitan dengan lingkungan

tempat tinggal yang membahagiakan, sehingga merasa tetap berguna dan

berkualitas (Renwick & brown, dalam Luthfa, 2018).

Berdasarkan hasil studi literasi pada jurnal Perbedaan kualitas

hidup lansia yang tinggal bersama keluarga dengan lansia yang tinggal di

rumah pelayanan sosial. Dengan hasil nilai p value 0,02 lebih kecil dari

0,05. Nilai mean pada lansia yang tinggal bersama dengan keluarga 1,77

lebih besar dari nilai mean lansia yang tinggal di Rumah Pelayanan Soaial

1,56. terdapat perbedaan kualitas hidup lanjut usia yang tinggal bersama

keluarga dengan lansia yang tinggal di rumah pelayanan sosial. Kualitas

hidup lansia yang tinggal bersama keluarga lebih baik dibandingkan

dengan lansia yang tinggal di rumah pelayanan sosial (Luthfa, 2018).

Dari judul Kualitas Hidup Lansia Panti Dan Non Panti Di

Kabupaten Mojokerto. Hasil uji statistik menggunakan Chi-Square

menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna pada kualitas

hidup antara lansia yang tinggal di Panti Werdha Mojopahit Mojokerto

dan Desa Kedungmaling Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokert (Saenun,

2015).

Berdasarkan hasil studi literasi di atas terhadap jurnal pertama

menunjukan bahwa terdapat perbedaan antara lansia yang tinggal di Panti


Sosial dan di rumah bersama keluarga, sedangkan pada jurnal kedua

menunjukan hal yang sebaliknya yaitu tidak ada perbedaan antara lansia

yang tinggal di panti dan non panti. Hal ini memberikan alasan kepada

peneliti untuk melakukan penelitian terhadap kualitas hidup lansia yang

tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha dan lansia yang tinggal bersama

keluarga di Kota Bandung. Namun penelitian yang akan saya lakukan

berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian sebelunya

dilaksanakaan di Kota Semarang dan Mojokerto dengan menggunakan uji

Chi Square, selain itu perbedaan dari penelitian sebelumnya terletak pada

alat ukur. Dimana pada penelitian sebelumnya menggunakan alat ukur

WHO Quality Of Life -BREF (WHOQOL-Bref).

Hasil studi pendahuluan di Panti Sosial Tresna Werdha Budi

Pertiwi petugas panti mengatakan bahwa ada 22 lansia yang berada dipanti

tersebut dan lansia yang memiliki keluarga berjumlah 12 lansia, sedangkan

yang tidak memiliki keluarga berjumlah 10 lansia. Petugas panti

mengatakan bahwa terdapat 2 lansia yang sudah tidak kooperatif atau

sudah pikun. Saat dilakukakan wawancara kepada beberapa lansia

didapatkan hasil lansia yang mengatakan bahwa mereka senang tinggal

berada di panti karena memiliki banyak teman, bisa mengobrol dengan

lansia yang lain, bisa saling cerita tentang kehidupannya, makan satu hari

tiga kali, lansia pun mengatakan bahwa di panti ada cek kesehatan satu

minggu sekali dan ada dokternya khusus. Salah satu dari lansia tersebut

mengatakan dia lebih senang dipanti dibandingkan tinggal bersama


keluarganya, karena menurut lansia tersebut dia merasa tidak diperhatikan

oleh keluarganya dan tidak akur dengan saudaranya sendiri semenjak ibu

kandungnya meninggal.

Hasil studi pendahuluan di Puskesmas Griya Antapani menunjukan

bahwa terdapat 26 posbindu di wilayah kerja Puskesmas Griya Antapani.

Petugas mengatakan terdapat banyak lansia di wilayah kerja tersebut. Saat

dilakukan wawancara kepada beberapa lansia didapatkan hasil lansia yang

mengatakan bahwa setiap sakit dia selalu diantar oleh temennya, karena

masih sungkan kepada anak dan menantu. Lansia lain pun mengatakan

bahwa dia kurang puas dengan kehidupannya yang telah ditinggal oleh

istri. Ada pula lansia yang mengatakan senang dengan kehidupannya

karena diberikan kesehatan, mampu beraktifitas dan diberikan keluarga

serta teman yang perhatian dan pengertian.

Berdasarkan penjelasan latar belakang di atasa maka penulis

tertarik untuk mengambil penelitian dengan judul “Perbedaan Kualitas

Hidup Lansia Yang Tinggal Bersama Keluarga Dengan Lansia Yang

Tinggal Di Rumah Pelayanan Panti Sosial Kota Bandung”

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan diteliti adalah

“apakah ada perbedaan kualitas hidup lansia yang tinggal bersama

keluarga deangan lansia yang tinggal di rumah pelayanan sosial”


C. Tujuan penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui perbedaan kualitas hidup lansia yang tinggal

bersama keluarga di wilayah kerja Puskesmas Griya Anatapani dengan

lansia yang tinggal di rumah pelayaan Panti Sosial Tresna Werdha

Budi Pertiwi dan Panti Sosial Tresna Werdha Asuhan Bunda.

2. Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi gambaran kualitas hidup lansia yang tinggal

bersama keluarga di wilayah kerja Puskesmas Griya Antapani

b. Mengidentifikasi gambaran kualitas hidup lansia yang tinggal di

rumah pelayaan Panti Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi dan

Panti Sosial Tresna Werdha Asuhan Bunda

c. Mengidentifikasi gambaran perbedaan kualitas hidup lansia yang

tinggal bersama keluarga di wilayah kerja Puskesmas Griya

Antapani dengan lansia yang tinggal di rumah pelayanan Panti

Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi dan Panti Sosial Tresna

Werdha Asuhan Bunda

D. Manfaat peneliti

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan mengenai ilmu

keperawatan gerontik, keperawatan keluarga, dan menjadi pengalaman

berharga mengenai perbedaan kualitas hidup lansia di Panti Sosial


Tresna Werdha Budi Pertiwi, Panti Sosial Tresna Werdha Asuhan

Bunda dan di keluarga wilayah kerja Puskesmas Griya Antapani.

2. Manfaat praktisi

a. Bagi lansia

Penelitian ini diharapkan lansia dapat mengetahui kualitas hidup,

dan dapat menjadikan bahan masukan bagi lansia,

b. Bagi panti sosial

Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui gambaran kualitas

hidup lansia, dan meningkatkan kualitas hidup lansia di Panti

Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi dan Panti Sosial Tresna

Werdha Asuhan Bunda

c. Bagi puskesmas

Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui gambaran kualitas

hidup lansia. Sehingga dapat meningkatkan dan menjaga kualitas

hidup lansia di wilayah kerja Puskesmas Griya Antapani.

d. Bagi institusi keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan bacaan

yang bermanfaat untuk mahasiswa-mahasiswi keperawatan,

mengenai keperawatan gerontik, keperawatan keluarga, dan

menjadi acuan bagi peneliti selanjutnya.


E. Ruang lingkup penelitian

1. Ruang Lingkup Waktu

Penelitian ini dilakukan pada bulan April – Mei 2020.

2. Ruang Lingkup Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan di tiga tempat yang pertama wilayah

kerja Puskesmas Griya Antapani, di Panti Sosial Tresna Werdha Budi

Pertiwi dan Panti Sosial Tresna Werdha Asuhan Bunda

3. Ruang Lingkup Materi

Materi dalam penelitian adalah keperawatan gerontik berupa kualitas

hidup lansia, keperawatan keluarga berupa tinggal bersama keluarga.

Anda mungkin juga menyukai