Anda di halaman 1dari 17

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu hasil pembangunan kesehatan di Indonesia adalah dengan

meningkatnya usia harapan hidup (life expectancy). Oleh karena itu negara

Indonesia boleh dikatakan sudah cukup berhasil dari segi pembangungan

kesehatan, sebab angka usia harapan hidup bangsa kita telah meningkat

secara bermakna. Namun disisi lain peningkatan usia harapan hidup ini

membawa beban bagi masyarakat, karena peningkatan populasi penduduk

lanjut usia (Lansia) membawa bermacam – macam masalah. Meningkatnya

populasi lansia ini bukan hanya fenomena di Indonesia saja tetapi juga

merupakan fenomenal global.

Menurut Notoadmojo Pada tahun 2000 penduduk usia lanjut di

seluruh dunia diperkirakan sebanyak 426 juta atau sekitar 6,8%. Jumlah ini

akan meningkat hampir dua kali lipat pada tahun 2025, yaitu menjadi sekitar

828 juta jiwa atau sekitar 9,7% dari total jumlah penduduk dunia

(Notoadmojo, 2011). Dinegara – negara maju jumlah lansia juga mengalami

peningkatan yang hebat antara lain di negara jepang, singapura, hongkong,

dan korea selatan. Sementara negara – negara seperti belanda, jerman, dan

prancis sudah lebih dulu mengalami peningkatan jumlah lansia.


2

Sebuah hasil penelitian dunia yang diterbitkan oleh Data

Kependudukan PBB mengungkapkan jumlah lansia diseluruh dunia sudah

mencapai angka 1 miliar dalam kurun waktu 10 tahun. Dalam penelitian

yang berjudul “ aging in the twenty – first century: A Celebration dan a

chellenge” mengungkapkan bahwa pada tahun 2000 untuk pertama kalinya

dalam sejarah, ada lebih banyak orang yang berusia 60 tahun atau lebih dari

pada anak – anak dibawah usia lima tahun. (WHO, 2012). Adapun negara –

negara yang tinggi populasi lansianya adalah China, India, Amerika Serikat,

dan Indonesia.

Negara china adalah negara tertua dengan jumlah lansia terbanyak

didunia, jumlah lansia di negara china sampai tahun 2013 mencapai 185

juta, dan diprediksikan akan menjadi 487 juta pada tahun 2053, Artinya,

populasi kaum lansia diperkirakan akan mengalami peningkatan sekitar 35

persen dalam 40 tahun mendatang. Ini berkorelasi dengan naiknya usia

harapan hidup kaum lansia di China dari 41 tahun menjadi 73 tahun dalam

periode lima tahun terakhir.

Negara India adalah negara nomor dua didunia dengan jumlah lansia

terbanyak setelah negara china, Suatu data yang menarik untuk kita ketahui

bahwa jumlah penduduk usia lanjut di India yang beranjak dari 77 juta jiwa

pada 2000 dan diperkirakan menjadi 141 juta jiwa dalam tahun 2020.

Padahal untuk tahun 2010 saja, jumlah penduduk usia lanjut sudah

mencapai lebih dari 59 juta jiwa atau sekitar 5% dari jumlah seluruh

penduduk India. Dari jumlah tersebut, sebanyak 31,9 juta jiwa adalah
3

perempuan dan sebanyak 28 juta adalah laki-laki.  Usia harapan hidup pada

tahun 2001 berkisar 60-70 tahun. India adalah negara dengan penduduk usia

lanjut paling banyak kedua setelah China. (Irma, 2012).

Selanjutnya Negara Amerika Serikat juga negara yang populasi

jumlah lansianya cukup tinggi, Amerika Serikat adalah negara nomor tiga

setelah India yang memiliki jumlah lansia hampir menyaingi India. Pada

tahun 2000 jumlah lansia mencapai angka 35 juta jiwa, kemudian meningkat

pada tahun 2011 menjadi 41,4 juta jiwa pertambahan jumlah lansia tersebut

meningkat sekitar 18%, menurut laporan “ A profile of older American

2012” jumlah lansia akan meningkat terus sampai mencapai angka

79.700.000 pada tahun 2040. Kemudian lansia yang berumur lebih dari 85

tahun diproyeksikan meningkat dari 5,7 juta jiwa pada tahun 2011 menjadi

14,1 juta jiwa ( Profil of Older America, 2012).

Indonesia adalah negara ke empat dengan populasi lansia yang

cukup tinggi, jumlah lansia di Indonesia pun cenderung mengalami

peningkatan. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa penduduk

lanjut usia (Lansia) di Indonesia pada tahun 2000 sebanyak 14.439.967 jiwa

(7,18 persen), selanjutnya pada tahun 2010 meningkat menjadi 23.992.553

jiwa (9,77 persen). Pada tahun 2020 diprediksikan jumlah lanjut usia

mencapai 28.822.879 jiwa (11,34 persen). Kemudian WHO juga

memprediksikan pada tahun 2025 jumlah lansia di Indonesia meningkat

menjadi 41,4%, PBB juga mengeluarkan pendapatnya bahwa di tahun 2050

jumlah lansia di Indonesia menjadi 60 juta jiwa. Hal ini menyebabkan


4

Indonesia berada pada peringkat ke empat dengan jumlah lansia terbanyak di

dunia setelah china, india, dan amerika serikat. (Notoadmojo, 2011).

Seiring dengan meningkatnya jumlah lanjut usia ( Lansia ) maka

berbagai masalah pada lansia timbul baik dari segi kesehatan ataupun

kesejahteraan lansia. penyakit yang umum terjadi adalah hipertensi, kelainan

pembuluh darah, gangguan pembuluh darah di otak (koroner), ginjal dan

lain – lain, gangguan metabolisme hormonal misalnya Diabetes Melitus,

Klimakterium dan lain sebagainya. Masalah umum yang sering sekali

dijumpai pada lansia diantaranya adalah depresi mental, gangguan

pendengaran, gangguan fungsi kognitif, anemia, gangguanpengelihatan dan

lain sebagainya. ( Nugroho, 2008).

Kualitas hidup lansia merupakan suatu komponen yang kompleks,

mencakup usia harapan hidup, kepuasan dalam kehidupan, kesehatan psikis

dan mental, fungsi kognitif, kesehatan dan fungsi fisik, pendapatan, kondisi

tempat tinggal, dukungan sosial dan jaringan sosial. Ketika usia harapan

hidup meningkat diseluruh dunia, maka semakin banyak pula orang yang

mengalami penurunan fungsi kognitif. Fungsi kognitif tersebut merupakan

hasil interaksi dengan lingkungan yang di dapat secara formal dari

pendidikan maupun non formal dari kehidupan sehari- hari. Gangguan satu

atau lebih fungsi tersebut dapat menyebabkan gangguan fungsi sosial,

pekerjaan, dan aktivitas harian.

Sebuah tim peneliti dari King’s college London dan institut karolinka

swedia memperingatkan bahwa kasus penurunan fungsi kognitif ( demensia)


5

meningkat pesat di wilayah seperti cina, india dan amerika latin. Dan WHO

juga mengatakan saat ini dalam setiap empat detik terdapat penderita baru

demensia di dunia. ( Alzheimer Deases International, 2006).

Penurunan fungsi kognitif dapat menyerang semua lapisan

masyarakat didunia. Lebih dari setengah penderita pikun (demensia) tinggal

dengan pendapatan rendah dan menengah. Penurunan fungsi kognitif adalah

suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual profresif  yang

menyebabkan deteriorasi kognitif dan fungsional, sehingga mengakibatkan

gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari – hari. Dengan kata

lain penurunan fungsi kognitif adalah penurunan daya ingat, daya fikir,

daya orientasi, daya pemahaman, berhitung, kemampuan belajar, berbahasa,

dan kemampuan menilai. ( Nugroho, 20012 ).

Menurut WHO penurunan fungsi kognitif adalah sindrom akibat

penyakit otak biasanya yang bersifat kronis atau progresif di mana ada

gangguan dari beberapa fungsi kortikal yang lebih tinggi, termasuk memori,

berpikir, orientasi, pemahaman, perhitungan, kemampuan belajar, bahasa,

dan penilaian .

Josep J. Gallo dkk juga berpendapat bahwa penurunan fungsi

kognitif adalah suatu sindrom kehilangan kapasitas intelektual yang tidak

hanya melibatkan ingatan (memori) namun juga kognitif, bahasa,

kemampuan visospasial dan kepribadian. Komplikasi dari penurunan fungsi

kognitif ini cukup mengganggu atau mempengaruhi berbagai fungsi sistem


6

tubuh dalam melakukan aktivitas sehari-hari, sehingga menyebabkan

berbagai masalah . Grayson (2004) menyebutkan bahwa penurunan fungsi

kognitif bukanlah sekedar penyakit biasa, melainkan kumpulan gejala yang

disebabkan beberapa penyakit atau kondisi tertentu sehingga terjadi

perubahan kepribadian dan tingkah laku.

Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi fungsi kognitif pada

lansia misalnya dukungan atau peran keluarga dalam merawat,

memperhatikan, dan memenuhi kebutuhan lansia sehari – hari, sebab

kualitas hidup lansia sangat dipengaruhi oleh peran atau dukungan dari

keluarga. Lansia yang berkualitas adalah lansia yang sehata secara fisik

maupun psikologisnya termasuk didalamnya fungsi kognitif yang tidak

mengalami penurunan atau sering disebut dengan pikun. Para Lanjut usia

terlantar pada umumnya berpendidikan rendah, tidak mempunyai

keterampilan untuk bekerja untuk menambah penghasilan dan tidak

mempunyai sanak keluarga untuk membantu dalam memenuhi

kehidupannya secara layak.

Masalah lanjut usia terlantar bagaimanapun telah menjadi fenomena

yang menuntut perhatian kita semua. Menurut Menteri Sosial RI, Salim

Segaf Al Jufri ada banyak lansia yang terlantar di Indonesia, angkanya

sampai mencapai 2,8 juta jiwa. WHO juga mengatakan bahwa jumlah

lansia di Indonesia yang terlantar dimulai dari tahun 2008 adalah

1.644.002 jiwa, kemudian pada tahun 2009 meningkat menjadi 2.994.330

jiwa, dan pada tahun 2010 menjadi 2.851.606 jiwa. (Hamid, 2007).
7

Untuk itu diperlukan lingkungan dan dukungan dari keluarga guna

menghambat penurunan kognitif lebih cepat. Berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh siti aminah di semarang kelurahan Ngijo gunung pati bahwa

ada pengaruh antara dukungan keluarga terhadap tingkat penurunan fungsi

kognitif pada lansia dengan nilai p sebesar 0,10 (0,05). Penelitian yang

dilakukan Agus dipanti wherda bekasi tahun 2013 dari 30 responden ada 6

orang mengalami gangguan fungsi kognitif, tidak ada peran keluarga yang

dirasakan responden, bahkan responden merasa diterlantarkan oleh anak

nya. ( Agus, 2013).

kemudian faktor Social Engagement, hubungan sosial atau interaksi

sosial juga dapat mempengaruhi fungsi kognitif pada lansia. Dari hasil

penelitian yang dilakukan Budi Riyanto di kelurahan jelambar dan jelambar

baru Jakarta barat diketahui bahwa Social Engagement terbukti

berpengaruh terhadap fungsi kognitif dimana seseorang yang memiliki

Social Engagement yang buruk dapat meningkatkan resiko terjadinya

gangguan fungsi kognitif yaitu 2.093 (1.565-2.799) kali lebih besar untuk

terjadinya penurunan kognitif (demensia) dibandingkan dengan lanjut usia

dengan Social Engagement baik.

Hal yang menarik yang perlu kita perhatikan dari gejala penderita

demensia adalah adanya perubahan kepribadian dan tingkah laku sehingga

mempengaruhi aktivitas sehari-hari. Kejanggalan awal dirasakan oleh

penderita itu sendiri, mereka sulit mengingat nama cucu mereka atau lupa

meletakkan suatu barang. Mereka sering kali menutup-nutupi hal tersebut


8

dan meyakinkan diri sendiri bahwa itu adalah hal yang biasa pada usia

mereka.

Kejanggalan berikutnya mulai dirasakan oleh orang-orang terdekat

yang tinggal bersama, mereka merasa khawatir terhadap penurunan daya

ingat yang semakin menjadi, namun sekali lagi keluarga merasa bahwa

mungkin lansia hanya kelelahan saja dan perlu lebih banyak istirahat.

Mereka belum mencurigai adanya sebuah masalah besar di balik penurunan

daya ingat yang dialami oleh orang tua mereka. Gejala demensia berikutnya

yang muncul biasanya berupa depresi pada lansia, mereka menjaga jarak

dengan lingkungan dan lebih sensitif dalam arti mereka lebih mudah

tersinggung dan lainnya. Kondisi seperti ini dapat saja diikuti oleh

munculnya penyakit lain dan biasanya akan memperparah kondisi lansia.

Seringkali penurunan fungsi kognitif (demensia) luput dari

pemeriksaan dan tidak terkaji oleh tim kesehatan. Tidak semua tenaga

kesehatan memiliki kemampuan untuk dapat mengkaji dan mengenali gejala

demensia. Mengkaji dan mendiagnosa demensia bukanlah hal yang mudah

dan cepat, perlu waktu yang panjang sebelum memastikan seseorang positif

menderita demensia. Setidaknya ada lima jenis pemeriksaan penting yang

harus dilakukan, mulai dari pengkajian latar belakang individu, pemeriksaan

fisik, pengkajian syaraf, pengkajian status mental dan sebagai penunjang

perlu dilakukan juga tes laboratorium. (Kembaren, 2012).


9

Pada tahap lanjut demensia memunculkan perubahan tingkah laku

yang semakin mengkhawatirkan, sehingga perlu sekali bagi keluarga

memahami dengan baik perubahan tingkah laku yang dialami oleh Lansia

penderita demensia. Pemahaman perubahan tingkah laku pada demensia

dapat memunculkan sikap empati yang sangat dibutuhkan oleh para anggota

keluarga yang harus dengan sabar merawat mereka. Perubahan tingkah laku

(Behavioral symptom) yang dapat terjadi pada Lansia penderita demensia di

antaranya adalah delusi, halusinasi, depresi, kerusakan fungsi tubuh, cemas,

disorientasi spasial, ketidakmampuan melakukan tindakan yang berarti,

tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri, melawan, marah,

agitasi, apatis, dan kabur dari tempat tinggal ( Videbeck, 2008 ).

Penurunan kognitif (demensia) bukan hanya berdampak negatif

kepada lansia itu sendiri melainkan berdampak bagi keluarga, dan bagi

negara, salah satu contoh dampak demensia adalah keluyuran, dengan

berjalan kesana dan kemari tanpa ada arahan yang jelas dapat merugikan

lansia itu sendiri lansia akan mengalami kelelahan karena terkurasnya energi

mereka, setelah kelelahan lansia akan tidur disembarang tempat, misalnya

yang dapat membahayakan jiwanya.

Dampak penurunan fungsi kognitif lansia bagi keluarga adalah

keluarga akan menjadi lebih repot mengurus, merawat, dan memenuhi

kebutuhan lansia secara khusus. Bagi negara lanjut usia yang terlantar akibat

demensia tentu menjadi beban, lanjut usia yang sudah tidak memiliki

keluarga, atau ditelantarkan oleh keluarga tentu dipelihara oleh negara, dan
10

beban biaya untuk merawat lansia dengan penurunan kognitif (demensia)

cukup besar. Menurut Eduardo Klein biaya menangani demensia didunia

tahun 2010 sekitar 604 miliar dollar AS atau lebih dari 5700 triliun rupiah

pertahun.

Menurut laporan WHO prevalensi dan insiden Jumlah penderita

demensia didunia tahun 2010 mencapai sekitar 35,6 juta. Tahun 2030

menjadi 65,7 juta jiwa, Tahun 2050 menjadi 115, 4 juta jiwa. Di eropa barat

tahun 2010 penderita demensia mencapai angka 7,0 juta jiwa, di Asia timur

5,5 juta jiwa, di Asia Selatan dan utara angka demensia mencapai angka 4,5

juta jiwa, di Amerika penderita demensia sebanyak 4,4 juta, di Jerman

penderita demensia sebanyak 1,5 juta jiwa (Llibre,Juan de Jesus et al, 2009)

Pada tahun 2005 penderita dikawasan asia fasifik berjumlah 13,7 juta orang.

Beberapa negara di Asia tenggara kejadian demensia tahun 2005 diantaranya

Malaysia 63.000 org, Filipina 169,800, singapura 22.000 orang, dan

Thailand 229.100 orang (Alzheimer’s association, 2007) sedangkan di

Indonesia kejadian demensia pada tahun 2005 yaitu 606.100 orang

( Alzheimer asia fasifik, 2005). Saat ini sekitar 330 ribu warga Australia

menderita demensia dan setiap minggu lebih dari 1700 orang didiagnosa

memiliki penyakit demensia. (Scoot, 2013).

Berdasarkan data Deklarasi Kyoto, tingkat prevalensi dan insiden

demensia di Indonesia menempati urutan ke empat setelah china, india, dan

jepang. Pada tahun 2000 prevalensi angka kejadian demensia menyentuh

angka 606. 100 orang. Dari 7% penduduk berusia lebih dari 60 tahun dari
11

seluruh penduduk di Indonesia, sebanyak 3% populasi menderita gangguan

ringan sampai berat (Alzheimer’s Desease Internasional, 2008). pada tahun

2010 penderita demensia berjumlah sekitar 1 juta jiwa dan diperkirakan

angka ini akan bertambah terus Penelitian yang dilakukan Widya astuti

tahun 2011 didapat 20 orang lansia dikelurahan Pancoran Mas Depok Jawa

Barat menderita demensia.

Begitu besar peningkatan jumlah penderita demensia dan ini akan

bertambah terus, namun hanya ada delapan negara diseluruh dunia yang

mempunyai program nasional untuk menangani demensia, yaitu negara

Australia, Inggris, Denmark, Perancis, Jepang, Korea Selatan, Belanda dan

Norwegia. Di Indonesia sendiri belum ada program – program nasional yang

dijalankan pemerintah, padahal jumlah penderita demensia Indonesia adalah

nomor 4 didunia. (Scoot, 2013).

Kajian ini juga menyorot bahwa masih kurangnya informasi dan

pemahaman umum tentang penyakit ini, baik petugas kesehatan maupun

masyarakat itu sendiri sehingga yang terjadi sekarang ini banyak orang

menunda mencari bantuan pertolongan bagi penderita demensia.

Penanganan dan pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah

penuruan kognitif atau demensia lebih cepat adalah dengan melibatkan

keluarga, melakukan gaya hidup yang sehat, dan melakukan aktivitas sosial,

dukungan keluarga sangat penting diberikan bagi lansia baik yang sehat

maupun yang tidak sehat untuk menuju kualitas hidup yang baik. (Tandra,

2009).
12

Provinsi jawa barat adalah provinsi ke 5 dengan tingkat jumlah

lansia yang tinggi. Provinsi jawa barat memiliki luas 35.377,76 km2

menurut data SIAK provinsi jawa barat didiami penduduk sebanyak

46.497.175 juta jiwa. Penduduk ini tersebar di 26 kabupaten/kota, 625

kecamatan dan 5.899 desa/kelurahan. Jumlah penduduk terbesar terdapat di

kota bogor sebanyak 4.966.21jiwa (11,03%), sedangkan penduduk terkecil

terdapat dikota bajar yaitu sebanyk 129.903 jiwa (0,43%).

1.2. Rumusan Masalah

Fungsi kognitif yang baik sangat diperlukan agar seseorang

dapat meningkatkan kualitas hidup terutama optimalisasi status

fungsional, keadaan umum, memulihkan produktifititas, kreatifitas dan

perasaan bahagianya. Gangguan fungsi kognitif sebelum waktunya akan

menimbulkan masalah serius, sehingga perlu diteliti faktor-faktor apa

yang berhubungan dengan fungsi kognitif.

Menurunnya kondisi dalam diri seorang lanjut usia secara otomatis

akan menimbulkan kemunduran fisik. Salah satu penyebab menurunnya

kesehatan fisik ditandai dengan penurunan fungsi kognitif dan psikomotorik.

Fungsi kognitif merupakan kemampuan seseorang untuk menerima,

mengolah, menyimpan, menggunakan kembali semua masukan sensori

secara baik. oleh karena itu kesehatan lansia perlu mendapat perhatian

khusus agar tetap dipelihara dan ditingkatkan sehingga lansia dapat hidup

secara produktif sesuai dengan kemampuanya dan dapat ikut serta berperan

aktif dalam pembangunan.


13

Lingkungan yang baik, rumah yang nyaman, perasaan bahagia

udara yang sehat, serta makanan yang sehat, kemampuan individu untuk

berinteraksi akan mempengaruhi fungsi kognitif lansia. Fungsi kognitif

terdiri atas unsur perhatian (attention), mengingat (memory), bahasa

(communication), bergerak (motorik).

Yang menjadi permasalahan adalah ketika lansia mengalami

penurunan fungsi kognitif, yang diakibatkan dari berbagai faktor. Pemeran

utama yang dapat mempengaruhi fungsi kognitif lansia ada dari faktor

intern dan ektern. Faktor intern yang dimaksud adalah kemauan dan

kamampuan lansia untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar, faktor

ekstern adalah kepedulian dari orang orang terdekat (keluarga), sebab bagi

lansia keluarga adalah tempat yang paling nyaman untuk bernaung.

(Nugroho, 2012).

Penurunan fungsi kognitif dapat menyerang siapa saja, mulai dari

usia muda sampai tua. Penurunan fungsi kognitif yang terjadi pada usia

muda lebih cenderung terjadi karena kecelakaan misalnya benturan kepala.

Suatu penelitian yang di lakukan oleh WHO di Amerika bahwa penyakit

penurunan kognitif akan menyerang usia diatas 50 tahun atau lebih. Namun

di Indonesia sendiri usia termuda yang mengalami penurunan kognitif

adalah pada usia 56 tahun (Ferri, 2005). Penurunan fungsi kognitif ini lebih

sering terjadi di negara – negara maju dalam Wibowo (2007) mengatakan

penduduk Amerika yang berketurunan Afrika lebih cenderung beresiko

menderita demensia.
14

Hilangnya ingatan pada lansia bisa timbul bersama dengan gejala

gangguan prilaku maupun psikologis. Gambaran paling awal pada penderita

demensia berupa hilangnya ingatan mengenai peristiwa yang baru saja

berlangsung. Terdapat gangguan kepribadian global bersama dengan

berkembangnya perilaku abnormal secara bertahap, hilangnya intelektual,

perubahan mood biasanya tanpa pemahaman, tumpulnya emosi dan

gangguan kognitif disertai ketidakmamupan untuk belajar. Prevelensi

demensia pada tiap-tiap negara berbeda – beda . Ini disebabkan karena tidak

adanya gold standar untuk mendiagnosis demensia.

Sampai saat ini jumlah penderita yang mengalami penurunan

fungsi kognitif di dunia sudah mencapai lebih dari 35,6 juta jiwa, angka ini

di prediksikan meningkat terus, begitu juga dengan Indonesia penderita

penurunanf fungsi kognitif (pikun) di Indonesia menyentuh angka lebih dari

606.100 orang. Meskipun faktor genetik memegang peranan penting untuk

terjadinya penurunan fungsi kognitif lebih cepat, nampaknya faktor

lingkungan juga memberikan sumbangan yang cukup besar untuk terjadinya

gangguan fungsi kognitif. Lingkungan yang dimaksud adalah gaya hidup

misalnya merokok, minum alkohol, malas berolah raga.

Ada banyak faktor yang mempercepat penurunan fungsi kognitif

pada lansia salah satunya disebabkan karena kurangnya perhatian dan

perawatan dari orang – orang terdekat yang dalam hal ini adalah keluarga, di

zaman sekarang ini kaum usia muda lebih banyak menghabiskan waktunya

di dunia kerjanya, dari pagi hingga petang para lansia ditinggal dirumah
15

yang terkadang tidak ada yang menemani, hal ini membuat lansia itu merasa

disisihkan, tidak diperhatikan dan akibatnya kaum lansia sering keluar

rumah tanpa ada arah dan tujuan yang jelas

Kota Bekasi merupakan salah satu kota yang terdapat di provinsi

Jawa Barat Indonesia. Kota ini berada dalam lingkungan megapolitan

Jabodetabek dan menjadi kota besar ke empat di Indonesia. Berdasarkan

sensus tahun 2011 kecamatan Bekasi Utara merupakan wilayah dengan

kepadatan tertinggi di kota bekasi yakni 12. 237.000 dengan jumlah lansia

terbanyak ke 2 setelah kota depok jawa barat yaitu sekitar 75.849 jiwa.

Berdasarkan rumusan masalah itulah peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian tentang pengaruh Dukungan Keluarga dan Social

Engagement terhadap fungsi kognitif pada lansia di UPTD Puskesmas

Bantargebang Tahun 2014.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana pengaruh langsung dan tidak langsung serta besarannya

antara Dukungan Keluarga dan Social Engagement terhadap Fungsi

Kognitif Pada Lansia Di UPTD Puskesmas Bantargebang Tahun 2014.

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Mengetahui Pengaruh langsung dan tidak langsung serta besarannya

antara Dukungan Keluarga dan Social Engagement Terhadap Fungsi

Kognitif Pada Lansia Di UPTD Puskesmas Bantargebang Tahun 2014.


16

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Diketahuinya pengaruh langsung dan besarannya antara

Dukungan Keluarga Terhadap Fungsi Kognitif Pada Lansia Di

UPTD Puskesmas Bantargebang Tahun 2014.

2. Diketahuinya pengaruh langsung dan besarannya antara Social

Engagement Terhadap Fungsi Kognitif Pada Lansia Di UPTD

Puskesmas Bantargebang Tahun 2014.

3. Diketahuinya pengaruh langsung dan besarannya antara

Dukungan Keluarga Terhadap Social Engagement Pada Lansia

Di UPTD Bantargebang Tahun 2014.

1.5. Manfaat penelitian.

1.5.1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini tidak menghasilkan teori baru tetapi hanya

memberikan konfirmasi terhadap teori – teori yang berkaitan

dengan fungsi kognitif.

1.5.2. Manfaat praktis

1. Hasil penelitian ini dapat memberi manfaat informasi dan

inspirasi bagi pembuat kebijakan dalam menentukan skala

prioritas untuk peningkatan kualitas pelayanan pada lansia

dalam mempertahankan fungsi kognitifnya di UPTD

Puskesmas Bantargebang.
17

2. Memberikan tambahan informasi bagi pengelola program

lansia dalam rangka perencanaan program utnuk

meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan khsususnya

wilayah UPTD Puskesmas Bantargebang.

3. Sebagai bahan masukan dan perbandingan bagi peneliti

selanjutnya yang berkaitan dengan lansia khususnya tentang

fungsi kognitif pada lansia.

1.6. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menggunakan data primer yang dilaksanakan di Bekasi Jawa

Barat Tahun 2014. Jenis penelitian ini adalah survey analitik dengan

rancangan Cross Sectional dimana responden penelitian ini adalah semua

Lansia yang ada di UPTD Puskesmas Bantargebang Tahun 2014, dengan

menggunakan tekhnik wawancara terstruktur menggunakan kuesioner yang

telah diuji reliabilitas dan validitasnya. Penelitian ini ingin melihat Pengaruh

Dukungan Keluarga dan Social Engagement Terhadap fungsi Kognitif Pada

Lansia. Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan metode structural

equating model.

Anda mungkin juga menyukai