Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian


Penuaan atau menjadi tua adalah suatu proses yang natural dan kadang-
kadang tidak tampak mencolok. Proses ini terjadi secara alami dan disertai dengan
adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang akan saling
berinteraksi satu sama lain. Proses menua yang terjadi pada lansia secara linier
dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu, kelemahan (impairment),
keterbatasan fungsional (functional limitations), ketidakmampuan (disability), dan
keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses
kemunduran. Salah satu sistem tubuh yang mengalami kemunduran adalah sistem
kognitif atau intelektual yang sering disebut demensia. Pada umumnya setelah
orang memasuki lansia, maka ia mengalami penurunan fungsi kognitif dan
psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman,
pengertian, dan perhatian sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia
menjadi semakin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-
hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan,
koordinasi, yang berakibat lansia menjadi kurang cekatan (Aminuddin, 2015).
Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang
disebabkan oleh penyakit otak, dan tidak berhubungan dengan gangguan tingkat
kesadaran. Angka kejadian demensia meningkat secara bermakna seiring
meningkatnya usia. Setelah usia 65 tahun, prevalensi demensia meningkat dua
kali lipat setiap pertambahan usia 5 tahun. Secara keseluruhan prevalensi
demensia pada populasi berusia lebih dari 60 tahun adalah 5,6 %. Saat ini usia
harapan hidup mengalami peningkatan, hal ini diperkirakan akan meningkatkan
pula prevalensi demensia, dan di seluruh dunia di perkirakan lebih dari 30 juta
penduduk menderita demensia dengan berbagai sebab. Di Indonesia sendiri,
menurut data profil kesehatan yang di laporkan oleh Departemen Kesehatan tahun
1998, terdapat 7,1 % populasi usia lanjut 60 tahun keatas menderita demensia.
Peningkatan angka kejadian kasus demensia berbanding lurus dengan
meningkatnya harapan hidup suatu populasi ( Hidayaty, 2011).

1
Jumlah Lansia di Dunia semakin bertambah, angka Usia Harapan Hidup
(UHH) menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan terutama di
bidang kesehatan. Ditinjau dari aspek kesehatan, semakin bertambahnya usia
maka lansia lebih rentan terhadap berbagai keluhan fisik baik karena faktor
alamiah maupun karena penyakit.
Data dari World Alzheimer’s Report tahun 2013 memprediksi bahwa jumlah
orang lansia yang dependent akan meningkat dari 101 juta menjadi 177 juta
dalam 2050, hampir tiga kali lipat. Hampir setengahnya hidup dengan penyakit
alzheimer atau jenis demensia lainnya, yang secara cepat akan menjadi krisis
kesehatan global (Aminuddin, 2015).
Di seluruh dunia, 35.6 juta orang memiliki demensia dengan lebih dari
setengah (58%) yang tinggal di negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah (WHO, 2011). Penelitian Shah & Escudero pada tahun 2014
mengatakan prevalensi demensia dua kali lipat setiap kenaikan 5.1 tahun di usia
setelah usia 60 tahun di negara-negara maju dan setiap 7.3 tahun di negara-negara
berkembang (Yudhanti, 2016).
Populasi usia lansia di Indonesia pada tahun 2010 meningkat lagi menjadi
13,9 juta orang (9,77%) dengan usia harapan hidup 67,4 tahun dan pada tahun
2010 diperkirakan sebesar 18,8 juta (11,34%) dengan usia harapan hidup 71,1
tahun. Di Indonesia saat ini ada sekitar 10 juta orang (4,6% dari jumlah
penduduk) yang berusia di atas 65 tahun. Pada tahun 2010, diprediksi Indonesia
akan mempunyai penduduk yang berusia 60 tahun ke atas sekitar 18 juta jiwa
orang. Bahkan Indonesia termasuk salah satu negara yang proses penuaan
penduduknya paling cepat di Asia Tenggara (Effendi, Mardijana, dan Dewi,
2014).
Penyandang demensia selain mengalami kelemahan kognisi secara
bertahap, juga akan mengalami kemunduran aktivitas sehari-hari (activity of daily
living / ADL). Awalnya, kemunduran aktivitas sehari-hari ini berwujud sebagai
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas hidup yang kompleks (complexs
activity of daily living) lambat laun, penyandang tersebut tidak mampu
melakukan aktivitas hidup sehari-hari yang dasar (basic activity of daily living)
(Nisa, 2015).

2
Demensia bukanlah sekedar penyakit biasa, melainkan kumpulan gejala
yang disebabkan beberapa penyakit atau kondisi tertentu sehingga terjadi
perubahan kepribadian dan tingkah laku. Kejadian demensia berkaitan dengan dua
faktor, yaitu protective factors dan risk factors. Protective factors terdiri dari
tingkat pendidikan, aktivitas fisik, dan pola konsumsi (Pratiwi , Marliyati, 2013).
Faktor-faktor gaya hidup seperti stimulasi intelektual yang berkaitan
dengan kognitif, status sosial dan aktivitas fisik dapat menurunkan risiko untuk
terjadinya gangguan yang berhubungan dengan usia seperti Alzheimer’s disease
dan demensia vaskular. Banyak studi yang menjelaskan bahwa aktivitas fisik
dapat mencegah kemunduran fungsi kognitif (Effendi, 2014).
Beberapa faktor resiko yang berkaitan dengan demensia adalah aktivitas
fisik dan aktivitas kognitif, usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, riwayat
penyakit (hipertensi, diabetes mellitus) dan riwayat demensia keluaga. Salah satu
faktornya aktivitas fisik dan kognitif yang dapat menstimulasi faktor tropik dan
pertumbuhan neuron yang memungkinkan faktor-faktor ini yang menghambat
fungsi kognitif dan demensia. Banyak perubahan-perubahan yang terjadi pada
lansia, diantaranya perubahan-perubahan tubuh, otot, tulang dan sendi, sistem
kardiovaskular, respirasi, dan kognisi. Distribusi lemak berubah dengan
bertambahnya usia. Pada Lansia, ada penurunan massa otot, perubahan distribusi
darah ke otot, penurunan PH dalam sel otot, otot menjadi lebih kaku, dan ada
penurunan kekuatan otot. Olahraga dapat meningkatkan kekuatan otot, massa
otot, perfusi otot, dan kecepatan konduksi saraf ke otot (Ambardini, 2016).
Lansia mengalami penuaan yang optimal akan tetap aktif dan tidak
mengalami penyusutan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun macam-macam
aktivitas sehari-hari adalah aktivitas fisik. Aktivitas fisik merupakan pergerakan
anggota tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga dimana sangat penting
bagi kesehatan mental ( Napitupulu, 2016).
Jenis-jenis aktivitas fisik pada lansia meliputi latihan aerobik, penguatan
otot (muscle strengthening), fleksibilitas, dan latihan keseimbangan. Seberapa
banyak suatu latihan dilakukan tergantung dari tujuan setiap individu, apakah
untuk kemandirian, kesehatan, kebugaran, atau untuk perbaikan kinerja
(performance) (Ambardini, 2016).

3
Manfaat fisik didapat karena aktivitas fisik akan menguatkan otot jantung
dan memperbesar bilik jantung. Kedua hal ini akan meningkatkan efisiensi kerja
jantung. Elastisitas pembuluh darah akan meningkat sehingga jalannya darah akan
lebih lancar dan tercegah pula keadaan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung
koroner. Lancarnya pembuluh darah juga akan membuat lancar pula pembuangan
zat sisa sehingga tidak mudah lelah (Kushartanti, 2016).
Aktivitas fisik dapat meningkatkan vaskularisasi di otak, peningkatan
level kognitif Terdiri dari 1 macam aktivitas yaitu leisure time activity (aktivitas
waktu luang) terdiri dari membaca koran, menulis, menonton televisi (berita),
mengisi teka-teki silang dan hoby activity terdiri dari bermain catur, bermain
music. Jenis aktifitas tersebut melibatkan fungsi kognitif dan fisik. Penelitian
selama satu tahun tentang kaitanya latihan fisik terhadap fungsi kognitif pada
kelompok usia berisiko (70-89) di Amerika serikat menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan nilai kognitif yang berasosiasi dengan peningkatan fungsi fisik
(Widodo, 2015).
Aktivitas fisik ringan seperti berjalan kaki dapat membantu tubuh mencegah
penurunan daya kerja otak pada lanjut usia. Semakin lama dan seringnya kegiatan
berjalan kaki ini dilakukan maka ketajaman pikiran juga akan semakin membaik,
Aktivitas fisik selama 30 menit setiap hari dapat menstimulasi otak ( Effendi,
2014).
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam agar
dapat mengetahui apakah saat ini sudah dimungkinkan pencegahan terhadap
demensia melalui Aktivitas Fisik pada Lansia Demensia yang akhirnya
mendorong penulis untuk melakukan penelitian yang berjudul “Gambaran
Aktivitas Fisik Lansia Demensia di Balai Perlindungan Sosial Tresna Wredha
Ciparay Bandung”. Setelah dilakukan studi pendahuluan didapatkan data populasi
lansia sebanyak 150 orang lanjut usia dan yang mengalami demensia belum
diketahui karena harus dilakukan penelitian dengan Mini Mentas State
Examination (MMSE) terlebih dahulu.

4
1.2 Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat disusun suatu rumusan
masalah yaitu “ Bagaimana Tingkat Aktivitas Fisik Lansia Demensia di Balai
Perlindungan Sosial Tresna Wredha Ciparay Bandung ?”.

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Gambaran Aktivitas Fisik
Lanjut Usia yang mengalami Demensia di Balai Perlindungan Sosial Tresna
Wredha Ciparay Bandung.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber
informasi, pengembangan ilmu keperawatan khususnya keperawatan
gerontik dalam mengembangkan upaya peningkatan Tingkat Aktivitas Fisik
Lansia Dimensia di Balai Perlindungan Sosial Tresna Wredha Ciparay
Bandung.
.
1.4.2 Manfaat Praktis
1.4.2.1 Bagi Tempat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk
bahan evaluasi dalam penanganan lanjut usia yang mengalami
penurunan Aktivitas Fisik khususnya lanjut usia yang mengalami
Demensia di Balai Perlindungan Sosial Tresna Wredha Ciparay
Bandung .
1.4.2.1 Bagi Tenaga Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber
informasi mengenai pengembangan program – program dalam rangka
meningkatkan kesehatan lanjut usia demensia.

5
1.4.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber
informasi dalam penelitian selanjutnya seperti mengetahui tingkat
Aktivitas Fisik khususnya pada lanjut usia penderita demensia.
1.4.1.4 Bagi Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
pengetahuan dalam bentuk Literasi dan Penelitian tentang
Keperawatan Gerontik di Indonesia.

1.5 Struktur Organisasi Karya Tulis Ilmiah


Untuk mempermudah dalam penyusunan selanjutnya, maka peneliti
memberikan rancangan isi dan materi yang akan dibahas, yaitu sebagai berikut;
BAB I PENDAHULUAN. Merupakan uraian tentang latar belakang
penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, dan struktur organisasi karya tulis ilmiah.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Merupakan landasan teori yang
digunakan dalam analisis temuan di lapangan dan uraian megnenai kerangka
pemikiran penelitian.
BAB III METODE PENELITIAN. Dalam bab ini akan diuraikan desain
penelitian, partisipan, populasi, sampel penelitian, instrumen penelitian,
tehnik pengembangan instrumen, definisi operasional, prosedur penelitian,
metode pengolahan data, analisa data, etika penelitian
BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN. Pada bab ini membahas
mengenai pengolahan atau analisis data serta pembahasan temuan.
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI. Bab ini
membahas mengenai hasil analisis temuan. Selain, itu pada bab ini juga di
bahas mengenai rekomendasi bagi pihak-pihak yang berkaitan dengan
penelitian.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Lansia


2.1.1 Pengertian Lansia
Usia lanjut adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh semua
orang yang dikaruniai usia panjang, terjadinya tidak bisa dihindari oleh
siapapun. Pada usia lanjut akan terjadi berbagai kemunduran pada organ
tubuh. Pada periode ini kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri
ataupun mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya akan perlahan -
lahan menurun sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan
memperbaiki kerusakan yang terjadi (Wijayanti, 2011).
Proses penuaan merupakan suatu proses alami yang tidak dapat
dicegah dan merupakan hal yang wajar dialami oleh orang yang diberi
karunia umur panjang, dimana semua orang berharap akan menjalani hidup
dengan tenang, damai, serta menikmati masa pensiun bersama anak dan
cucu tercinta dengan penuh kasih sayang. Tidak semua lanjut usia dapat
mengecap kondisi idaman ini. Proses menua tetap menimbulkan
permasalahan baik secara fisik, biologis, mental maupun sosial ekonomi
(Rohmah, 2011).
Lanjut usia (lansia) merupakan periode akhir dari rentang kehidupan
manusia. Menghadapi periode ini sebagian lansia melewati hidupnya
bersama keluarga, ada juga yang hidup sendiri karena pasangan hidup
mereka sudah meninggal atau juga tidak punya sanak saudara sama sekali.
Melewati masa ini, lansia memiliki kesempatan untuk berkembang
mencapai pribadi yang lebih baik dan semakin matang. Lansia masih dapat
mengembangkan diri dan berkreasi sesuai dengan minat mereka. Lansia
dapat melakukan sesuatu yang berarti untuk diri mereka sendiri dan orang
lain (Sulandari, 2013).

7
Lansia di Indonesia memiliki angka kesakitan di daerah perkotaan
yaitu sebesar 14,77% yang artinya bahwa setiap 100 orang lansia di
perkotaan pada tahun 2011 terdapat 14 lansia yang sakit. Sedangkan
dipedesaan 18,61% yang berarti bahwa setiap 100 lansia di pedesaan pada
tahun 2011 terdapat 18 lansia yang sakit. Perlu diperhatikan bahwa lansia
yang memiliki penyakit (dalam keadaan sakit) pastinya akan mengalami
gangguan dari kemandirian lansia atau lansia tersebut akan memiliki
ketergantungan terhadap anggota keluarganya. Lansia yang memiliki
penyakit pula merupakan salah satu penyebab dari ketidakmandirian lansia
(Rohaedi, Putri, & Karimah, dalam DEPKES RI 2016) .

2.1.2 Klasifikasi Umur Lanjut Usia


Ada beberapa pembagian lansia, antara lain menurut Depkes RI,
WHO, dan menurut pasal 1 Undang – undang No. 4 tahun 1965.
a. Departemen Kesehatan RI membagi lansia sebagai berikut:
kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun) sebagai masa
vibrilitas, kelompok usia lanjut (55-64 tahun) sebagai presenium,
kelompok usia lanjut (kurang dari 65 tahun) sebagai senium.
b. Organisasi kesehatan dunia (WHO), usia lanjut dibagi menjadi
empat kriteria berikut: usia pertengahan (middle age) ialah
kelompok usia 45 sampai 59 tahun, usia lanjut (elderly) antara 60-
74 tahun, usia tua (old) antara 75-90 tahun, usia sangat tua (very
old) di atas 90 tahun.
c. Menurut pasal 1 Undang-Undang No. 4 tahun 1965: “Seseorang
dinyatakan sebagai orang jompo atau usia lanjut setelah yang
bersangkutan mencapai usia 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak
berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-
hari, dan menerima nafkah dari orang lain” (Mubarak, 2009).

8
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 1998
tentang kesejahteraan lansia, Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60
tahun keatas. Secara lebih rinci menurut Setyonegoro (Subhankadir 2007)
pengelompokan lansia sebagai berikut: lansia (geriatricage) lebih dari 65 tahun
atau 70 tahun, youngold (70-75 tahun), old (75-80 tahun), veryold (lebih dari 80)
(Sulandari, 2013).
Para lansia yang berada dipanti jompo cenderung akan berkurangnya waktu
bertemu dan berkumpul dengan keluarganya. Berkurangnya waktu untuk bertemu
dengan keluarga menyebabkan para lansia yang berada di panti jompo akan
merasa tidak mendapatkan kebahagiaan dari keluarganya. Ada beberapa masalah
yang biasa dialami oleh lansia diantaranya adalah kesepian, keterasingan dari
lingkungan, ketidakberdayaan, ketergantungan, kurang percaya diri, keterlantaran
terutama bagi lansia yang miskin serta kurangnya dukungan dari anggota
keluarga. Hal tersebut dapat mengakibatkan depresi yang dapat menghilangkan
kebahagiaan, hasrat, harapan, ketenangan pikiran dan kemampuan untuk
merasakan ketenangan hidup, hubungan yang bersahabat dan bahkan
menghilangkan keinginan menikmati kehidupan sehari-hari. Sedangkan pada
perubahan sosial antara lain terjadinya penurunan aktivitas, peran dan partisipasi
sosial (Wari, 2013).

2.1.3 Tipe – Tipe Lansia


Tipe lansia dibagi menjadi 5 tipe yaitu tipe arif bijaksana, tipe mandiri, tipe
tidak puas, tipe pasrah dan tipe bingung.
1) Tipe arif bijaksana, yaitu kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan
diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan,bersikap ramah,
rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi
panutan.
2) Tipe mandiri, yaitu mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru,
selektif dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi
undangan.

9
3) Tipe tidak puas, yaitu konflik lahir batin menentang proses penuaan
sehingga menjadi pemarah, tidak sabar,mudah tersinggung, sulit dilayani,
pengkritik, dan banyak menuntut.
4) Tipe pasrah, yaitu menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan
agama dan melakukan pekerjaan apa saja.
5) Tipe bingung yaitu kaget, kehilangan, kepribadian, mengasingkan diri,
minder, menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.

2.1.4 Perubahan Fisik Pada Lansia


Banyak perubahan-perubahan yang terjadi pada Lansia, diantaranya
perubahan komposisi tubuh, otot, tulang dan sendi, sistem kardiovaskular,
respirasi, dan kognisi. Distribusi lemak berubah dengan bertambahnya usia.
Laki-laki dengan bertambahnya usia akan mengakumulasi lemak terutama
di sekitar batang tubutruncus dan disekitar organ-organ dalam, sedangkan
wanita terutama di sekitar organ-organ dalam. Penelitian pada atlet senior
menunjukkan bahwa mereka mempunyai kadar lemak lebih rendah
dibandingkan dengan non-atlet, namun apabila dibandingkan dengan atlet
muda mempunyai kadar lemak 5-10% lebih tinggi.
Pada Lansia, ada penurunan massa otot, perubahan distribusi darah
ke otot, penurunan PH dalam sel otot, otot menjadi lebih kaku, dan ada
penurunan kekuatan otot. Olahraga dapat meningkatkan kekuatan otot,
massa otot, perfusi otot, dan kecepatan konduksi saraf ke otot (Ambardini,
2016).
Pada lansia, penurunan kemampuan otak dan tubuh membuat
tubuh mudah jatuh sakit, pikun, dan frustasi. Meski demikian, penurunan
ini bisa diperbaiki dengan melakukan senam otak, Senam otak berfungsi
sebagai semacam alat bantu mandiri yang mudah dan efektif. Senam otak
merupakan serangkaian aktivitas sederhana yang di desain untuk
mengkoordinasikan fungsi otak melalui keterampilan gerak (Aminuddin,
2015).

10
Perubahan fisik yang terjadi pada lansia tentunya akan mempengaruhi
kemandirian lansia. Kemandirian adalah kebebasan untuk bertindak, tidak
tergantung pada orang lain, tidak terpengaruh pada orang lain dan bebas
mengatur diri sendiri atau aktivitas seseorang baik individu maupun
kelompok dari berbagai kesehatan atau penyakit (Rohaedi, Putri, &
Karimah, dalam Ediawati 2016).
Secara biologis, penduduk lansia adalah penduduk yang telah
menjalani proses penuaan dalam arti menurunnya daya tahan fisik yang
ditandai dengan semakin rentannya terhadap serangan berbagai penyakit
yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya
usia, terjadi perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan serta, sistem
organ. Proses penuaan berbeda dengan “pikun” yaitu perilaku aneh atau
sifat pelupa dari seseorang di usia tua. Pikun merupakan akibat dari tidak
berfungsinya beberapa organ otak, yang dikenal dengan penyakit
Alzheimer. Lanjut usia sebagai individu sama halnya dengan klien yang
digambarkan oleh Orem (2001) yaitu suatu unit yang juga menghendaki
kemandirian dalam mempertahankan hidup, kesehatan dan kesejateraannya.
Kemandirian pada lanjut usia tergantung pada kemampuan status
fungsionalnya dalam melakukan aktivitas sehari – hari (Affandi, 2011).

2.1.5 Perubahan Terjadi Pada Sistem Tubuh Pada Proses Menua


Masalah kesehatan yang meliputi kemunduran dan kelemahan pada
lanjut usia salah satunya adalah intellectual impairment (gangguan
intelektual). Perubahan-perubahan pada lanjut usia yaitu perubahan fisik,
kognitif, spiritual dan psikososial (Notokusumo, 2016).
Proses menua pada berbagai organ seperti sistem endokrin,
kardiovaskular, respirasi, gastrointestinal, penginderaan, muskuloskeletal,
komposisi tubuh, otak, ginjal dan saluran kemih pada lansia dijelaskan
sebagai berikut : ( Hidayaty, 2011)

11
a. Sistem Endokrin
Toleransi glukosa terganggu (gula darah puasa meningkat
1mg/dl/dekade; gula darah post prandial meningkat 10 mg/dl/dekade),
insulin serum meningkat, HbA1c meningkat, IGF-1 berkurang, penurunan
yang bermakna pada dehidro epiandrosteron (DHEA), penurunan
terstosteron bebas maupun yang bioavailable, penurunan hormon T3,
peningkatan hormon paratiroid, penurunan produksi vitamin D oleh kulit,
ovarian failure disertai menurunnya hormon ovarium, serta peningkatan
kadar homosistein serum.
b. Kardiovaskular
Tidak ada perubahan frekuensi jantung saat istirahat, penurunan
frekuensi jantung maksimum, berkurangnya pengisian ventrikel kiri,
berkurangnya sel pacu jantung (pacemaker) di nodus SA, hipertrofi atrium
kiri, kontraksi dan relaksasi ventrikel kiri bertambah lama, menurunnya
respon inotropik, kronotropik, lusitropik, terhadap stimulasi beta
adrenergik, menurunnya curah jantung maksimal, menurunnya hipertrofi
sebagai respon terhadap peningkatan volume dan tekanan, peningkatan
atrial natriuretic peptide (ANP) serum, l lapisan subendotel menebal
dengan jaringan ikat, ukuran dan bentuk yang irregular pada sel-sel
endotel, fragmentasi elastin pada lapisan media dinding arteri, serta
peningkatan resistensi vaskular perifer.
c. Tekanan Darah
Peningkatan tekanan darah sistolik, tanpa diikuti perubahan pada
tekanan darah diastolik, berkurangnya vasodilatasi yang dimediasi beta
adrenergik, akan tetapi vasokonstriksi yang dimediasi alfa adrenergik tidak
berubah, serta terganggunya perfusi autoregulasi ke otak .
d. Paru – Paru
Meningkatnya volume residual, berkurangnya efektivitas batuk dan
fungsi silia, peningkatan diameter trakea dan saluran pernafasan atas,
penurunan massa jaringan paru, penurunan tekanan maksimum ekspirasi
dan inspirasi, berkurangnya kekuatan otot-otot pernapasan, serta kekakuan
dinding dada.

12
e. Hematologi
Berkurangnya cadangan sumsum tulang akibat kebutuhan yang
meningkat, attenuater retikulosis terhadap pemberian eritropoietin.
f. Otot
Massa otot berkurang secara bermakna karena berkurangnya serat
otot, infiltrasi lemak ke berkas otot, peningkatan kelemahan, dan
berkurangnya laju metabolisme basal.
g. Tulang
Melambatnya penyembuhan fraktur, berkurangnya massa tulang, dan
berkurangnya formasi osteoblast tulang.
h. Sistem Saraf Pusat
Berkurangnya massa otak, berkurangnya aliran darah otak dan
terganggunya perfusi, berkurangnya myelin dan total lemak di otak,
berubahnya neurotransmitter termasuk dopamin dan serotonin,
meningkatnya aktivitas monoamine oksidase, melambatnya proses sentral
dan waktu reaksi.
i. Penginderaan
Terganggunya adaptasi gelap, pengeruhan pada lensa,
ketidakmampuan untukfokus pada benda-benda jarak dekat (presbyopia),
berkurangnya sensitivitas terhadap kontras, berkurangnya lakrimasi, deteksi
berkurang 50%,berkurangnya rasa haus dan terganggunya kontrol haus
oleh endorpin, meningkatnya respon ambang vestibuler dan berkurangnya
jumlah sel rambut pada organ korti, hilangnya nada berfrekuensi tinggi
secara bilateral, defisit pada proses sentral, kesulitan untuk membedakan
sumber bunyi, dan terganggunya kemampuan membedakan target dari
sumber bunyi.
j. Sistem Imun
Berkurangnya imunitas yang dimediasi sel, rendahnya afinitas
produksi antibodi, meningkatnya autoantibodi, berkurangnya
hipersensitivitas tipe lambat, terganggunnya fungsi makrofag, atrofi
organ timus dan hilangnya hormon timus, serta berkurangnya produksi sel
B oleh sumsum tulang.

13
k. Fungsi Kognitif
Kemampuan meningkatkan fungsi intelektual berkurang,
berkurangnya efisiensi transmisi saraf di otak yang menyebabkan proses
informasi melambat dan banyak informasi hilang selama proses transmisi,
berkurangnya kemampuan untuk mengakumulasi informasi baru dan
mengambil informasi dari memori, kemampuan mengingat kejadian masa
lalu lebih baik dibandingkan kemampuan mengingat kejadian yang baru saja
terjadi.

2.2 Konsep Demensia


2.2.1 Pengertian Demensia
Demensia merupakan suatu gangguan fungsi daya ingat yang terjadi
perlahan – lahan, dan dapat mengganggu kinerja dan aktivitas kehidupan
sehari – hari orang yang terkena. Gangguan kognitif (proses berpikir)
tersebut adalah gangguan mengingat jangka pendek dan mempelajari hal –
hal baru, gangguan kelancaran berbicara (sulit menyebutkan nama benda
dan mencari kata – kata untuk diucapkan), keliru mengenai tempat waktu
orang atau benda, sulit hitung menghitung, tidak mampu lagi membuat
rencana, mengatur kegiatan, mengambil keputusan (Kartikasari, 2011).
Lansia demensia mengalami peningkatan bantuan untuk memenuhi
kebutuhan dan aktifitas sehari –hari. Peran keluarga disini sangat penting
karena keluarga merupakan sumber dukungan terbesar yang berguna untuk
membantu memenuhi kebutuhan dasar manusia pada Demensia merupakan
kondisi deteriorasi kognitif yang sampai saat ini belum ditemukan
pengobatan yang dapat menyembuhkan atau mencegah perburukannya.
Meskipun demikian, kualitas hidup individu dengan demensia dapat dijaga
dengan pemberian perawatan dan dukungan yang tepat (Nugraheni,
Fitriyani dalam WHO 2013).
Alzheimer’s Society (2011) menyatakan bahwa mendukung lansia
dengan demensia untuk tetap menjaga aktivitas merupakan hal penting
agar mereka dapat menikmati aktivitas yang disukainya dan melanjutkan
pola hidup aktif lansia ( Kartikasari, 2011).

14
Berdasarkan data global burden of disease yang dikeluarkan WHO
(2003), demensia merupakan kondisi yang menyebabkan disabilitas
dengan persentase 11,1%, lebih tinggi dibandingkan stroke (9,5%),
penyakit jantung (5%), dan kanker (1,4%). Hampir 80% perawatan pasien
demensia tersebut disediakan oleh keluarga di rumah (Alzheimer’s
Association 2011). Sebagian besar lansia di Indonesia lebih memilih
tinggal di rumah sendiri atau bersama keluarganya (Kadar,Francis dan
Sellick 2011), sebagian besar keluarga juga lebih memilih memberikan
perawatan kepada lansia di rumah (Nugraheni dalam MacKenzie 2013).

2.2.2 Indikasi Demensia


Tanda-tanda awal demensia sangat tidak kentara dan samar-samar dan
mungkin tidak segera menjadi jelas. Proses menua tidak dengan sendirinya
menyebabkan demensia. Penuaan menyebabkan terjadinya perubahan
anatomidan biokimiawi di susunan saraf pusat (Aminuddin, 2015).
Beberapa penyebab demensia antara lain adanya tumor pada jaringan
otak atau metastasis tumor dari luar jaringan otak, mengalami trauma atau
benturan yang mengakibatkan perdarahan dan terjadinya infeksi kronis
kelainan jantung dan pembuluh darah. Demensia juga disebabkan oleh
kelainan kongenital seperti penyakit Huntington, dan penyakit
Metachromatic leukodystrophy ( kelainan dari bagian putih jaringan otak)
(Setiawan, 2014).
Gejala awal yang sering menyertai demensia antara lain terjadinya
penurunan kinerja mental, fatique, mudah lupa, dan gagal dalam melakukan
tugas. Selain itu gejala umum yang sering terjadi antara lain mudah lupa,
aktivitas sehari-hari terganggu, terjadinya disorientasi, cepat marah,
berkurangnya kemampuan konsentrasi dan resiko jatuh (Azizah 2011:83).
Gejala Demensia menurut American Academy Family Physicians (2001):
1) Hilang ingatan baru-baru ini, tidak hanya sekedar lupa.
2) Lupa kata-kata atau tata bahasa yang tepat.
3) Perasaan berubah-ubah (moody) kepribadian mendadak berubah,atau
mendadak tidak berminat untuk melakukan suatu aktivitas.

15
4) Tersesat atau tidak ingat jalan pulang ke rumah.
5) Tidak ingat cara mengerjakan tugas sehari-hari.
Beberapa gejala yang timbul dari demensia antara lain Gejala perilaku dan
gangguan tidur terjadi lebih dari 56% lansia dengan demensia moderat (Diana
dan Lynn 2011) Gangguan tidur pada orang dengan demensia mendukung secara
substansi pada tekanan perawatan seperti yang mereka perkirakan mencapai
46–64 % dari pasien ( Ayu, 2016).

2.2.3 Klasifikasi dan Diagnosis Demensia


Demensia berdasarkan klasifikasi dari ICD-105 dibedakan dalam tiga
kelompok besar adalah: (Purnakarya, 2009)
1. Demensia Alzheimer, terdiri dari 1 tipe yaitu demensia presinilis
(alzheimer tipe 1) yang menyerang orang dewasa sebelum berumur 65
tahun dan demensia sisnilis (alzheimer tipe 1) yang menyerang setelah
usia 65 tahunn.
2. Demensia vaskular, terdiri dari 4 macam yaitu demensia vaskular
serangan akut, demensia multi-infark (kortikal), demensia subkortikal
dan demensia gabungan kortikal dan subkortikal.
3. Demensia yang disebabkan penyakit lainnya, seperti penyakit
Pick,Creutzfeld-Jakob, Hutington dan Parkinson.
4. Kriteria Diagnosis Demensia yaitu :
1) Kerusakan Memori
( Penurunan kemampuan untuk mempelajari informasi baru dan
untuk mengingat informasi yang telah dipelajari sebelumnya )
2) Satu atau Lebih gangguan kognitif berikut :
a. Afasia (gangguan bahasa).
b.Apraksia (penurunan kemampuan untuk melakukan aktivitas
motorik walaupun fungsi motorik tidak terganggu).
c.Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau mengidentifikasi objek
walaupun fungsi sensorik baik).

16
d.Gangguan dalam fungsi eksekutif (membuat rencana,
mengorganisasi, membagi-bagi kedalam bentuk potongan
berurutan) dan abstraksi.

2.2.4 Penyebab Timbulnya Demensia


Demensia juga dapat muncul pada individu yang mengalami delirium, dan
hal ini sering bertumpang tindih dengan demensia. delirium adalah sindrom otak
organik karena gangguan fungsi atau metabolisme otak secara umum atau karena
keracunan yang menghambat metabolisme otak. Gejala utama ialah kesadaran
yang menurun, gejala – gejala lain ialah : penderita tidak mampu mengenal orang
dan berkomunikasi dengan baik, ada yang bingung atau cemas, gelisah dan panik,
ada pasien yang terutama berhalusinasi dan ada yang hanya berbicara komat
– kamit dan inkoheren. Onset biasanya mendadak, sering dalam beberapa jam
atau hari. Delirium sering dapat ditelusuri ke salah satu atau lebih faktor yang
berkontribusi , seperti penyakitmedis yang parah atau kronis, obat-obatan, infeksi,
trauma kepala, operasi, obat atau alkohol (Kamajaya, 2014).

2.2.5 Stadium Demensia


Stadium demensia di bagi menjadi 3 yaitu stadium awal, stadium menengah,
stadium akhir.
1. Stadium awal
Gejala stadium awal yang dialami lansia menunjukan gejala sebagai
yaitu kesulitan dalam berbahasa dan komunikasi mengalami
kemunduran daya ingat serta disorientasi waktu dan tempat.
2. Stadium menengah
Pada stadium menengah, demensia ditandai dengan mulai mengalami
kesulitan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari dan menunjukan
gejala seperti mudah lupa, terutama untuk peristiwa yang baru dan
nama orang. Tanda lainnya adalah sangat bergantung dengan orang
lain dalam melakukan sesuatu misalnya ke toilet, mandi dan
berpakaian.

17
3. Stadium lanjut
Pada stadium lanjut, lansia mengalami ketidakmandirian dan inaktif
yang total serta tidak mengenali lagi anggota keluarga (disorientasi
personal). Lansia juga sukar memahami dan menilai peristiwa yang
telah dialaminya (Setiawan, 2014).

2.2.6 Pencegahan Demensia


Dari tinjauan diatas maka sangat penting bagi pemerintah dan masyarakat
untuk mengetahui apakah saat ini sudah dimungkinkan pencegahan terhadap
demensia, mengingat demensia merupakan salah satu sindroma yang oleh WHO
dianggap sebagai salah satu yang menurunkan harkat kemanusiaan. Salah satu hal
yang direkomendasikan pada masyarakat dalam rangka pencegahan demensia
adalah tetap melakukan kegiatan yang merangsang intelek dan mengupayakan
aktivitas sosial dan aktivitas untuk menghibur diri.
Beberapa penelitian yang dilakukan di berbagai bagian dunia menunjukkan
bahwa latihan olahraga yang teratur pada populasi usia lanjut masih
memungkinkan perbaikan kapasitas aerobik, sirkulasi darah dan berbagai organ-
organ lain. Hanya saja intensitas dan jenis latihan harus disesuaikan secara
individual (Darma dalam Boedhi Darmojo 2014).

3.1 Konsep Aktivitas Fisik


3.1.1 Pengertian Aktivitas
Aktivitas merupakan salah satu penilaian dalam kehidupan sehari-hari
orangtua dalam melakukan tindakan yang perlu dilakukan secara benar.
Aktivitas sehari-hari merupakan semua kegiatan yang dilakukan oleh lanjut
usia setiap harinya. Aktivitas ini dilakukan tidak melalui upaya atau usaha
keras (Martika, 2011).
Aktivitas sehari hari adalah kegiatan yang dilakukan sehari-hari dan
sifatnya berulang. Aktivitas fisik merupakan bagian dari aktivitas produktif
hal ini dikarenakan aktivitas fisik pada lansia mengarah pada aktivitas lansia
yang dilakukan menghasilkan keuntungan-keuntungannya tersendiri atau
bernilai positif bagi daya tahan tubuh seorang lansia (Napitupulu, 2016).

18
Aktivitas jasmani akan merubah pandangan penuaan pada lansia. Hal
ini dikarenakan manfaat aktivitas jasmani adalah mengembangkan fungsi
fisik, mental dan sosial, meningkatkan kualitas hidup dan meninggikan
harapan hidup. Kurangnya aktivitas jasmani merupakan suatu permasalahan
dalam kehidupan lansia. Padalah akvititas jasmani sangat besar
menyumbang pada kemampuan seseorang untuk menjaga keberfungsian,
mobilitas, dan kesehatan yang baik.
Terutama pada lansia yang banyak kehilangan fungsi sebagai akibat
dari konsekuensi fisiologis yang alami. Kebanyakan lansia kurang aktif atau
aktivitas yang menurun, tapi ada banyak pemikiran mereka yang dapat
membentuk lebih banyak aktivitas jasmani melalui kehidupan sehari-
harinya. Pemikiaran yang sangat bagus mengenai aktivitas jasmani adalah
bahwa ada banyak jalan untuk melakukannya, tergantung dari
kecenderungan pribadi, tersedianyan sumber daya, kemampuan fungsional,
iklim dan faktor lainnya. Hal yang paling penting adalah menemukan
sesuatu yang disukai dan memulainya.
Aktivitas jasmani dapat mengembangkan fungsi jasmani, dengan jalan
(Nopembri 2016).:
(1) Mengurangi dan membantu regulasi tekanan darah tinggi, kolesterol
tinggi, dan gula darah tinggi.
(2) Mengembangkan keseimbangan dan membantu pencegahan jatuh.
(3) Mencegah atau menurunkan sakit persendian dari arthtitis.
(4) Mengembangkan kelentukan dan mobilitas persendian (keleluasaan
gerak).
(5) Menjaga kekuatan tulang dan membantu pencegaharan pengeroposan
karena osteoporosis.
(6) Membantu pencegahan dan mengontrol penyakit kronis.
(7) Menjaga kekuatan otot-otot sehingga dapat mengangkat, meraih,
mendorong, menarik, berdiri dan berjalan.
(8) Mengembangkan kesegaran kardivaskuler.
(9) Membantu pemeliharaan berat badan sehat.

19
3.2.1 Manfaat Aktivitas Fisik
Menurut Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (2006), aktivitas fisik secara teratur memiliki efek yang
menguntungkan terhadap kesehatan yaitu :
a) Terhindar dari penyakit jantung, stroke, osteoporosis, kanker,
tekanan darah tinggi, kencing manis dan lain - lain.
b) Berat badan terkendali.
c) Otot lebih lentur dan tulang lebih kuat.
d) Bentuk tubuh menjadi ideal dan proporsional.
e) Lebih percaya diri.
f) Lebih bertenaga dan bugar.
g) Secara keseluruhan keadaan kesehatan menjadi lebih baik.
h) Dapat mempengaruhi kesehatan otak dan fungsi kognitif.
Karena hubungan antar kedua hal tersebut terkait dengan beberapa
faktor yang semuanya terkait dengan kapasitas beraktivitas fisik dalam
peningkatan fungsi otak, meningkatkan pertumbuhan pembuluh kapiler di
sekitar neuron yang memberi oksigen dan gizi dari darah, meningkatkan
kerapatan sinapsis dan meningkatkan efek kolinergis positif (Nelson 2006).

3.1.3 Jenis Aktivitas Fisik Pada Lanjut Usia


Aktivitas fisik yang bermanfaat untuk kesehatan lanjut usia sebaiknya
memenuhi kriteria FITT (frequency, intensity, time, type). Frekuensi adalah
seberapa sering aktivitas dilakukan dan berapa hari dalam seminggu.
Intensitas adalah seberapa keras suatu aktivitas dilakukan. Biasanya
diklasifikasikan menjadi intensitas rendah, sedang dan tinggi. Waktu
mengacu pada durasi, seberapa lama suatu aktivitas dilakukan dalam satu
pertemuan, sedangkan jenis aktivitas adalah jenis - jenis aktivitas fisik yang
dilakukan Ada 3 yaitu Ketahanan, Kelenturan dan Kekuatan Otot
(Ambardini 2009).

20
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Desain penelitian merupakan rencana penelitian yang disusun sedemikian
rupa sehingga peneliti dapat memperoleh jawabaan terhadap pertanyaan
penelitian. Desain penelitian mengacu pada jenis atau macam penelitian yang
dipilih untuk mencapai tujuan penelitian, serta berperan sebagai alat dan pedoman
untuk mencapai tujuan tersebut (Setiadi, 1013).
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan deskriptif
yaitu statistik yang digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih luas dengan
pengambilan data menggunakan data kuantitatif, yaitu data yang berbentuk angka
(Sugiyono, 1013). Desain yang digunakan sesuai dengan tujuan peneliti, yaitu
untuk mengetahui Gambaran Aktivitas Fisik Lanjut Usia Demensia di Balai
Perlindungan Sosial Tresna Werdha Ciparay Bandung.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


3.2.1 Lokasi penelitian
Lokasi yang digunakan pada penelitian ini adalah Balai
Perlindungan Sosial Tresna Wredha Ciparay Jalan Raya Pacet No. 186,
Pakutandang, Ciparay, Bandung 40381 Jawa Barat, Indonesia.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2017.

3.3 Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini adalah lanjut usia yang berada di BPSTW
Ciparay yang berjumlah 150 orang. Kemudian akan dipilah berdasarkan
kuesioner MMSE sebagai screening awal untuk mengetahui seberapa
banyak lanjut usia yang mengalami demensia. Kemudian lanjut usia yang
mengalami demensia tersebut yang akan diteliti Aktivitas Fisik dengan
PASE (Physical Activities Scale for Elderly).

21
3.3.1 Populasi
Menurut Sugiyono (2014) populasi adalah generalisasi yang terdiri
atas obyek / subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu
yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya. Menurut Nursalam (2013) populasi adalah keseluruhan atau
himpunan objek dengan ciri yang sama. Pada penelitian ini populasi yang
digunakan adalah lanjut usia di BPSTW Ciparay sebanyak 150 lansia.
3.3.2 Sampel
Menurut Sugiyono (2014) sampel adalah bagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Selain itu juga menurut
Nursalam (2013) sampel adalah himpunan bagian atau sebagian dari
populasi. Menurut Setiadi (2013) salah satu metode yang digunakan untuk
menentukan jumlah sampel adalah menggunakan rumus, sebagai berikut:
N
n=
1+ N ( d )
2

Keterangan :
n : jumlah sampel
N : jumlah populasi
d : batas toleransi kesalahan (error tolerance) 5%
Rumus :
N
n=
1+ N ( d 2 )

150
n=
1+150 ( 0,05 2)

150
n=
1+0,37

150
n= =109
1,37

22
Penarikan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik penarikan
nonprobability sampling yaitu dengan menggunakan purposive sampling.
Nonprobability sampling menurut Sugiyono (2014) adalah teknik pengambilan
sampel yang tidak memberi peluang atau kesempatan sama bagi setiap unsur atau
anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Purposive sampling menurut
Sugiyono (2014) adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan
pertimbangan tertentu. Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah lansia
demensia minimal 109 orang yang sesuai dengan kriteria inklusi.

Kriteria inklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian mewakili


sampel penelitian yang memenuh syarat sebagai sampel (Notoatmodjo,
1011). Kriteria inklusi dalam penelitian ini meliputi:
1. Lanjut Usia lebih dari sama dengan 60 tahun.
2. Lanjut usia yang sudah menetap di panti lebih dari 3 bulan.
3. Lanjut usia yang mampu berkomunikasi verbal dengan baik.
4. Sehat
5. Lanjut usia yang bersedia berpartisipasi dalam penelitian.

Kriteria Eksklusi
Kriteria ekslusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian
tidak dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai
sampel penelitian, seperti halnya adanya hambatan etis, menolak
menjadi responden atau suatu keadaan yang tidak memungkinkan
untuk dilakukan penelitian (Notoatmodjo, 2012). Kriteria ekslusi
dalam penelitian ini meliputi :
a. Menderita penyakit kronis atau parah sehingga mengganggu
kondisi fisik dan mentalnya ( Stroke ).
b. Lanjut usia yang tidak mengalami gangguan kejiwaan.

3.4 Instrumen Penelitian


Instrumen penelitian ini adalah dengan menggunakan kuesioner. instrumen
penelitian  adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam

23
kegiatannya mengumpulkan data agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan
dipermudah olehnya. (Suharsimi Arikunto 1010)
Instrumen penelitian ini menggunakan kuesioner data diri responden dan
kuesiner yang mengacu pada kuesioner MMSE (Mini Mentas State Examination)
sebagai screening awal menentukan jumlah lansia yang demensia kemudian
menggunakan instrumen dan kuesioner aktivitas fisik lanjut usia modifikasi Nur
Nafidah yaitu Physical Activities Scale for the Elderly (PASE)
Physical Activities Scale for Elderly (PASE) merupakan kuesioner untuk
menilai aktivitas fisik lanjut usia. PASE terdiri dari tiga macam aktivitas, yaitu
leisure time activity (aktivitas waktu luang) yang terdiri dari 6 pertanyaan, house
hold activity (aktivitas rumah tangga) yang terdiri dari 3 pertanyaan dan work
related activity (aktivitas relawan) yang terdiri dari 1 pertanyaan. Penentuan
jawaban kuesioner menggunakan skala Likert, dimana jawaban responden
menggunakan rentang skala 0 sampai 3 yaitu
Tidak pernah (0), jarang (1), kadang-kadang (1) dan sering (3). Aktivitas
fisik lanjut usia dikategorikan menjadi 1, yaitu aktivitas fisik baik dan aktivitas
fisik kurang. Aktivitas fisik dikategorikan baik jika ≥ 15 dan aktivitas fisik
dikategorikan buruk jika < 15.

3.5 Teknik Pengembangan Instrumen


Pelaksanaan uji coba dan uji validitas dan reabilitas yang dilakukan agar
mendapatkan hasil yang memuaskan, maka sebelum melakukan uji validitas
terlebih dahulu penliti harus melakukan uji coba kepada sempel yang sama
dengan semple yang akan diteliti. Uji validitas dan reabilitas terdapat beberapa
karakteristik yang tidak sama di antaranya adalah:
a. Uji Validitas
Uji validitas adalah ketepatan dan kecermatan instrumen dalam
menjalankan fungsi ukurnya, uji validitas merupakan suatu indeks yang
menunjukkan alat ukur itu benar-benar mengukur apa yang diukur. Suatu
kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner mampu untuk
mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut (Azwar,
2011).

24
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat-tingkat
kevalidan suatu instrumen (Arikunto, 2010). Performance pada MMSE
menunjukkan kesesuaian dengan berbagai tes lain yang menilai kecerdasan,
memori dan aspek-aspek lain fungsi kognitif pada berbagai populasi.Skor
23 pada MMSE pertama kali diajukan sebagai ambang skor yang
mengindikasikan disfungsi kognitif. Dalam 13 studi berurutan yang menilai
keefektifan ambang skor MMSE < 23 untuk mendeteksi demensia,
sensitivitas berkisar antara 63 % - 100% dan spesifisitas berkisar antara
52%-99% (Dayamaes, 2013).
Dilakukan uji validitas dengan Peneliti Nur Nafidah menggunakan 8
item didapatkan suatu hasil t hitung setiap item pertanyaan yang berkisar
antara 0,365 sampai 0,645 dan semua item pertanyaan dinyatakan valid
karena nilai t hitung lebih besar dari 0,361. Jadi kesimpulan pertanyaan
kuesioner total keseluruhan pertanyaan tentang aktivitas fisik lanjut usia
sebanyak 8 pertanyaan.
b. Uji Reabilitas
Setelah mengukur validitas, peneliti perlu mengukur reabilitas data
apakah alat ukur dapat digunakan atau tidak. Reliabilitas merupakan indeks
yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau
dapat diandalkan. Uji reliabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan
pada tingkat kepercayaan dan dapat diandalkan (Arikunto, 2006). Hal ini
berarti sejauh mana hasil pengukuran tetap konsisten bila dilakukan dua kali
atau lebih dengan alat ukur yang sama. Pengukuran reliabilitas
menggunakan bantuan software computer dengan rumus Alpha Cronbach.
Suatu variabel dikatakan reliabel jika Alpha Cronbach > 0,60 (Hidayat,
2007).
Pada penelitian ini, uji reliabilitas pada variabel aktivitas fisik lanjut
usia menghasilkan nilai α = 0,723. Nilai Alpha Cronbach > 0,60. Jadi
instrumen ini dianggap reliabel, dapat dipercaya dan dapat diandalkan.
3.6 Definisi Operasional
Menurut Sugiyono (2013) mendefinisikan metode penelitian sebagai
berikut: Metode Penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk

25
mendapatkan data yang valid dengan tujuan yang bersifat penemuan, pembuktian
dan pengembangan suatu pengetahuan sehingga hasilnya dapat digunakan untuk
memahami, memecahkan dan mengantisipasi masalah.

Nama Definisi Alat Hasil Ukur Skala


Variabel Operasional Ukur
Tingkat Aktivitas fisik PASE Total Nilai 14 Ordinal
Aktivitas merupakan (Physical
Fisik bagian dari Activities 1. < 15 Mean =
aktivitas Scale for Aktivitas Fisik
produktif hal Elderly) yang Kurang Baik
ini dikarenakan di Modifikasi 1. ≥ 15 Mean =
aktivitas fisik Nur Nafidah Aktivitas Fisik
pada lansia Tahun 2014. Baik.
mengarah pada
aktivitas lansia
yang dilakukan
menghasilkan
keuntungan-
keuntungannya
tersendiri atau
bernilai positif
bagi daya tahan
tubuh seorang
lansia.
(Napitupulu,
1016).

3.7 Prosedur Penelitian


Langkah – langkah untuk melakukan prosedur penatalaksanaan penelitian
adalah sebagai berikut:

26
1. Tahap Persiapan
Menentukan masalah, rumusan masalah, studi kepustakaan, studi
pendahuluan, penyusunan proposal penelitian dan instrumen, permohonan
izin pengambilan data kepada Kesbang Provinsi Jawa Barat, Dinas Sosial
Provinsi Jawa Barat dan kantor Balai Perlindungan Sosial Tresna Wredha
Ciparay.
2. Pelaksanaan Penelitian
Kontrak waktu dengan para responden, menjelaskan maksud dan tujuan
diadakannya penelitian, izin persetujuan penelitian, mencari responden
sesuai kriteria inklusi dengan membagikan dan meminta lansia untuk
mengisi lembar informed consent, pembagian angket MMSE dan
mendampingi dalam pengisian angket, pengumpulan angket, pengecekan
kelengkapan. Setelah screening awal dilakukan maka dilakukan kembali
penelitian dengan membagikan Kuisioner PASE ( Physical Activities Scale
for Elderly ) kepada seluruh lansia yang sesuai dengan kriteria inklusi.
3. Pengolahan dan Analisa Data
a. Pengolahan data hasil tes
b. Menganalisa data
c. Membuat kesimpulan

3.8 Metode Pengumpulan Data


Data yang dikumpukan dalam penelitian ini adalah data primer.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan pedoman kuesioner
yang dijawab oleh responden. Data primer yang dibutuhkan yaitu demensia pada
lansia dan aktivitas fisik pada lansia. Pedoman kuesioner ini mengacu pada
kuesioner MMSE dan PASE. Waktu yang dibutuhkan untuk menjawab
pertanyaan kurang lebih 20 – 30 menit.

Pertama, peneliti akan memohon bantuan petugas yang bekerja untuk


menjadi asisten penelitian. Kemudian memilah sampel berdasarkan kriteria
inklusi, lalu meneliti sampel satu persatu dengan menanyakan terlebih dahulu
kesediaanya menjadi responden penelitian. Setelah itu peneliti mulai dengan

27
kuesioner MMSE dengan cara wawancara terhadap responden. Selanjutnya data
kuesioner MMSE diperiksa dan dilihat hasil skornya apakah responden termasuk
lansia demensia atau bukan. Jika ya responden tersebut mendapatkan alat ukur
penelitian PASE dan pulpen. Diberi waktu 180 detik untuk menyelesaikan tes
tersebut. Kemudian jika sudah selesai dilihat apakah waktu responden
mengerjakan tes kurang atau lebih dari 180 detik. Lalu hasilnya dicatat oleh
peneliti untuk pengolahan data.

3.9 Prosedur Pengumpulan Data


Proses – proses dalam pengumpulan data penelitian melalui beberapa tahap,
yaitu :
1. Menyelesaikan kelengkapan administrasi seperti surat izin penelitian
dari Ketua Program Studi D3 Keperawatan Universitas Pendidikan
Indonesia.
2. Mendapatkan izin penelitian dari Kesbang Provinsi Jawa Barat, Dinas
Sosial Provinsi Jawa Barat dan Pimpinan BPSTW Ciparay Bandung
untuk melakukan penellitian di tempat tersebut.
3. Melakukan pendataan kepada calon responden dengan memperkenalkan
diri dan menjelaskan tujuan serta manfaat penelitian secara tepat yang
dapat dipahami lansia.
4. Memberikan lembar persetujuan (informed consent) untuk
ditandatangani oleh calon responden apabila bersedia menjadi subjek
penelitian.
5. Memberikan pertanyaan sesuai dengan lembar kuesioner
6. Memberikan kesempatan kepada responden untuk bertanya kepada
peneliti apabila ada yang kurang jelas dengan pertanyaan peneliti.

3.10 Metode Pengolahan Data


Pengolahan data pada dasarnya merupakan suatu proses untuk memperoleh
data atau data ringkasan berdasarkan suatu kelompok data mentah dengan
menggunakan rumusan tertentu sehingga menghasilkan informasi yang diperlukan
(Setiadi, 2013). Pada penelitian ini akan digunakan microsoft excel dalam

28
melakukan pengolahan data. Ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh peneliti
dalam pengolahan data dibagi menjadi 6 tahap, yaitu :
1. Editing
Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data atau
formulir kuisioner yang diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat
dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah data terkumpul. Pada
penelitian ini editing akan dilakukan secara langsung atau pada tahap
pengumpulan data baik kuesioner MMSE atau tes PASE, agar
mengefisienkan waktu peneliti dalam pengolahan data.
2. Coding
Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap
data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini sangat penting
bila pengolahan dan analisis data menggunakan komputer. Biasanya dalam
pemberian kode dibuat juga daftar kode dan artinya dalam satu buku (code
book) untuk memudahkan kembali melihat lokasi dan arti suatu kode dari
suatu variabel. Pada penelitian ini kode numerik yang berlaku berdasarkan
interpretasi kuesioner MMSE dan tes PASE.
3. Sortir
Sortir merupakan memilih atau mengelompokan data menurut jenis
yang dikehendaki (klasifikasi data). Misalnya: menurut daerah sampel,
menurut tanggal dan sebagainya. Dalam penelitian ini sortir akan dilakukan
berdasarkan waktu dilakukannya penelitian.
4. Entry data
Entry data adalah kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan
kedalam master tabel atau database komputer, kemudian membuat distribusi
frekuensi sederhana atau bisa dengan membuat tabel kontingensi. Entry
data dalam penelitian ini akan dibuat tabel di Microsoft Excel.
5. Cleaning data
Cleaning data merupakan kegiatan memeriksa kembali data yang sudah
di-entry, apakah ada kesalahan atau tidak. Kesalahan mungkin terjadi pada
saat meng-entry data ke komputer. Cleaning data akan selalu peneliti

29
lakukan setiap memasukan data agar tidak ada kesalahan data yang
dimasukan peneliti.
6. Mengeluarkan Informasi
Disesuaikan dengan tujuan penelitian yang dilakukan (Setiadi, 2007).
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana gambaran
fungsi kognitif pada lanjut usia demensia yang berada di BPSTW Ciparay
Kabupaten Bandung.

3.11 Analisa Data


Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif
yang bertujuan untuk mendeskripsikan setiap variabel penelitian (Notoatmodjo,
2010). Dalam penelitian ini, peneliti mendapatkan gambaran distribusi responden
dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dengan jumlah dan ukuran presentase
masing-masing kelompok yang dibuat dalam Microsoft Excel.

3.12 Etika Penelitian


Etika penelitian bertujuan untuk menjamin kerahasiaan identitas responden,
melindungi dan menghormati hak responden untuk menolak penelitian yang
diajukan pernyataan persetujuan (informed consent) mengikuti penelitian seperti
terlampir. Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti meminta izin kepada
perawat BPSTW Ciparay. Kemudian mendatangi calon responden dan
memperkenalkan diri lalu memberikan penjelasan tentang tujuan dan manfaat
penelitian, menjelaskan partisipasi responden, serta kerahasiaan data yang
diperoleh. Setelah diberikan penjelasan peneliti kemudian memastikan bahwa
responden benar – benar mengerti tentang penelitian yang akan dilakukan
termasuk dengan keuntungan menjadi subjek penelitian. Responden akan diberi
lembar persetujuan dan diminta untuk menandatanganinya. Jika responden tidak
bersedia menjadi subjek penelitian maka responden berhak untuk mengundurkan
diri dari penelitian. Kerahasiaan data dari responden akan dijaga oleh peneliti.
Lembar kuesioner yang telah diisiakan disimpan di tempat yang hanya diketahui
oleh peneliti dan pihak yang berkepentingan membaca kusioner tersebut. Peneliti
juga akan segera menghapus data – data responden yang telah dianalisis

30
Terdapat Beberapa prinsip-prinsip dalam etika penelitian yang diterapkan
pada proses pengambilan data adalah sebagai berikut :
1. Persetujuan (informed consent)
Peneliti memberi lembar persetujuan yang akan diberikan kepada
responden sebelum mengisi lembar butir soal, agar responden mengerti
maksud dan tujuan dari penelitian. Jika responden tidak bersedia untuk
diteliti maka peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati haknya dengan
tidak memasukan responden dalam penelitian.
2. Tanpa Nama (Anonimity)
Dalam kuesioner ini peneliti tidak mencantumkan nama lengkap
responden melainkan hanya inisialnya saja.
3. Kerahasiaan (Confidentiality)
Dalam penelitian ini peneliti akan memberikan jaminan kerahasiaan
hasil peneliti, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua
informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti.

31

Anda mungkin juga menyukai