Anda di halaman 1dari 57

BAB 1

PENDAHULUAN

Pada bab ini diuraikan tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah
penelitian, tujuan penelitian dan manfaat penelitian

1.1 Latar Belakang


Penuaan fisiologi didefiniskan dari prepektif fisiologik adalah proses
kemunduran system tubuh. Penuaan dapat diarahkan atau didefiniskan sebagai
total perubahan individu dengan berlanjutnya waktu. Keadaan fisik lanjut usia
meliputi kekuatan fisik, pancaindera, potensi dan kapasitas intelektual mulai
menurun pada tahap tertentu. Pada masa umumnya pada masa lanjut usia ini
mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotorik. Fungsi kognitif meliputi
proses belajar,presepsi pemahaman, pengertian dan lain-lain yang menyebabkan
reaksi dan perilaku lanjut usia menjadi semakin lambat. (Nasrullah, 2018)
kemampuan kognitif berubah secara bermakna bersamaan dengan lajunya proses
penuaan, tetapi perubahan tersebut tidak seragam. Sekitar 50% dari seluruh
populasi lansia menunjukkan penurunan kognitif sedangkan sisanya tetap
memiliki kemampuan kognitif sama seperti usia muda. Penurunan kognitif tidak
hanya terjadi pada individu yang mengalami penyakit yang berpengaruh terhadap
proses penurunan kognitif tersebut. Pada beberapa individu, proses penurunan
fungsi kognitif tersebut dapat berlanjut sedemikian hingga terjadi gangguan
kognitif atau dimensia (Ekasari, Riasmini, & Hartini, 208). Dimensia merupakan
kelainan yang paling ditakuti dikalangan lansia, meskipun kelainan ini tidak
tampak keberadaannya. Usia jompo sendiri bukanlah penyabab langsung dimensia
(kepikunan), tetapi dimensia merupakan gangguan penyerta akibat perubahan-
perubahan yang berlangsung pada sistem saraf pusat. Demensia terdapat pada
sekitar 3% lansia yang berusia antara 65-74 tahun dan meningkat sampai 47%
pada usia jompo (lebih dari 80 tahun). Demensia dapat bersifat primer seperti
pada penyakit Alzheimer, multi-infark, atau pada alkoholisme, tetapi bisa juga
sekunder, seperti pada penyakit parkinson da trauma. Keadaan ini perlu dibedakan
karena sering dikacaukan dengan delirium dan depresi. (Tamher & Noorkasiani,
2009)

1
2

Dimensia adalah penyakit yang mengakibatkan penurunan daya ingat dan


cara berpikir. Pada penderita dimensia diperkirakan terjadi berbagai proses
molekular yang menyebabkan hilangnya sinaps serta terbentuk protein abnormal
di otak seperti amiloid-B dan protein tau pada penyakit alzheimer. Selain itu
terjadi penurunan asetilkolin dan hiperaktivasi reseptor N-methyl-d-aspartate
(NMDA), yaitu reseptor glutamat. Gangguan sistem kolinergik dan glutaminergik
terjadi di korteks entorhinal, hipokampus, amigdala, korteks frontal dan parietal.
Akibatnya terjadi gangguan fungsi belajar dan memori. (Tandijono, 2017)
Berdasarkan laporan dari (Kemenkes, 2016), jumlah lanjut usia (Lansia)
yang terus meningkat dapat menjadi aset bangsa bila sehat dan produktif.
Demensia terdapat pada sekitar 3% lansia yang berusia antara 65-74 tahun dan
meningkat sampai 47% pada usia jompo (lebih dari 80 tahun, tetapi dapat juga
menyerang orang yang berusia sekitar 40 tahun. Peningkatan persentase seiring
pertambahan usia, anatara lain: 0,5% per tahun pada usia 69 tahun, 1% per tahun
pada usia 70-74 tahun, 2% per tahun pada usia 75-79 tahun, 3% per tahun pada
usia 80-84 tahun, dan 8% per tahun pada usia >85 tahun. Estimasi jumlah
penderita penyakit demensia di Indonesia pada tahun 2013 mencapai satu juta
orang. Jumlah itu diperkirakan akan meningkat drastis menjadi dua kali lipat pada
tahun 2030, dan menjadi empat juta orang pada tahun 2050 (Menkes, 2016).
Penurunan kognitif pada lansia berdampak pada kemampuan fisik dan
psikis lansia(W, 2014). Fungsi kognitif pada Lansia juga dapat memunculkan
problem dalam kesehatan masyarakat dan tentunya berdampak pada
bertambahnya pembiayaan keluarga, masyarakat dan pemerintah (Menkes, 2016).
Ditambahkan oleh Kusumoputro (2006) orang yang mengalami demensia
selain mengalami kelemahan kognisi secara bertahap, juga akan mengalami
kemunduran aktivitas hidup seharihari (activity of daily living/ADL) Ini pun
terjadi secara bertahap dan dapat diamati. Awalnya, kemunduran aktivitas hidup
seharihari ini berujud sebagai ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas hidup
yang kompleks (complex activity of daily living) seperti tidak mampu mengatur
keuangan, melakukan korespondensi, bepergian dengan kendaraan umum,
melakukan hobi, memasak, menata boga, mengatur obat-obatan, menggunakan
telepon, dan sebagainya. Lambat laun penyandang tersebut tidak mampu
3

melakukan aktivitas hidup sehari-hari yang dasar (basic activity of daily living)
berupa ketidakmampuan untuk berpakaian, menyisir, mandi, toileting, makan, dan
aktivitas hidup sehari-hari yang dasar (basic ADL)(Hartati & Widayanti, 2010).
6

Penyebab jatuh adalah karena perubahan fisik yang dapat menyebabkan


penurunan kekuatan otot Range Of Motion (ROM), kelemahan otot ekstremitas
bagian bawah menyebabkan gangguan keseimbangan tubuh sehingga
mengakibatkan kelambanan bergerak, langkah pendek, kaki tidak dapat menapak
dengan kuat dan lambat mengantisipasi apabila terpelest atau tersandung. Kondisi
ini menimbulkan risiko jatuh pada lansia (Darmojo & Boedhi, 2014). Banyak
faktor risiko jatuh pada lansia. Faktor risiko ini digolongkan menjadi dua
golongan besar yaitu faktor intrinsik meliputi sistem sensorik, sistem syaraf pusat,
dimensia, dan muskuloskeletal. Sedangkan faktor eksterinsik meliputi obat-obatan
yang diminum, alat bantu berjalan yang kurang optimal digunakan dan
lingkungan yang kurang mendukung (Erda, 2013).
Jatuh dapat mengakibatkan masalah serius yaitu: keterbatasan fisik,
kesulitan melakukan aktifitas sehari-hari, luka memar, lecet, terkilir, gangguan
pernafasan, patah tulang, perawatan rumah sakit, dan kematian. Kelemahan yang
terjadi pada lansia diakibatkan karena kelemahan paha, atritis, penyakit parkinson,
kelemahan badan secara umum, gangguan keseimbangan, gangguan berjalan,
gangguan nueromuskular, dan neuroskeletal. Perubahan yang terjadi pada lansia
seperti penurunan penglihatan, pendengaran, dan musculoskeletal dapat
mengakibatkan gangguan keseimbangan dan kelemahan otot ekstremitas bawah
(Erda, 2013).
Berdasarkan hasil penelitian (Maryam R. S., 2009) didapatkan hasil
keseimbangan tubuh lansia yang diberikan latihan keseimbangan lebih baik
daripada lansia yang tidak diberikan latihan keseimbangan. Hasil penelitian
(Astriyana, 2012) didapatkan hasil adanya pengaruh latihan keseimbangan dengan
penurunan risiko jatuh pada lansia. Latihan fisik yang dirokomendasikan untuk
meningkatkan keseimbangan tubuh lansia adalah balance exercise dengan
tambahan gerakan dari ankle strategy exercise. Balance exercise yaitu aktifitas
fisik yang dilakukan untuk meningkatkan keseimbangan tubuh dan meningkatkan
kekuatan otot ekstremitas bawah. Hal ini sesuai dengan beberapa studi
menyatakan bahwa aktivitas fisik atau latihan fisik dapat meningkatkankan
keseimbangan tubuh untuk mencegah risiko jatuh pada lansia. Ankle strategy
exercise adalah latihan yang menggambarkan kontrol goyangan postural dari

1
7

ankle dan kaki. Dalam ankle strategy exercise tubuh bagian atas dan bawah
memiliki arah atau gerakan yang sama pada satu fase karena jumlah tenaga yang
dihasilkan oleh otot - otot sendi pergelangan kaki relatif kecil. Ankle strategy
exercise umumnya digunakan untuk mengontrol kaki ketika berdiri tegak atau
bergerak melalui pergerakan rentang kaki yang sangat kecil. Untuk pelaksanaan
ankle strategy exercise dapat meningkatkan kekuatan otot pada daerah ankle, yang
dimana ankle merupakan salah satu bagian anggota tubuh yang bertugas sebagai
tumpuan (Jowir, 2012).
Gerakan balance exercise dan ankle strategy exercise mudah dilakukan
oleh lansia. Nantinya alat yang digunakan untuk mengukur yaitu Berg Balance
Scale (BBS). Berg Balance Scale (BBS) merupakan skala untuk mengukur
keseimbangan statik dan dinamik secara obyektif yang terdiri dari 14 item tugas
keseimbangan (balance task) yang umum dalam kehidupan sehari-hari, sudah
diuji validitas dan reliabilitasnya baik, cukup aman digunakan pada lansia karena
tidak memerlukan alat yang canggih. BBS hanya memerlukan 10-15 menit,
dengan kriteria penilaian yang sangat sederhana, sehingga tidak memerlukan
pelatihan khusus bagi pemeriksa (Langley & Mackintosh, 2007). Mengingat
pentingnya Balance Exercise dan Ankle Strategy Exercise terhadap keseimbangan
dan postural tubuh lansia untuk mencegah kejadian jatuh maka penulis mengambil
judul “Pengaruh Balance Exercise terhadap kejadian jatuh pada lansia di wilayah
Ngesong Dukuh Kupang”
8

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana balance exercise (kelompok intervensi dan kelompok kontrol)
pada lansia di Wilayah Ngesong Dukuh Kupang?
2. Bagaimana kejadian jatuh pada kelompok intervensi sebelum dilakukan
balance exercise di Wilayah Ngesong Dukuh Kupang?
3. Bagaimana kejadian jatuh pada kelompok kontrol sebelum dilakukan
balance exercise di Wilayah Ngesong Dukuh Kupang?
4. Bagaimana kejadian jatuh pada kelompok intervensi setelah dilakukan
balance exercise di Wilayah Ngesong Dukuh Kupang?
5. Bagaimana kejadian jatuh pada kelompok kontrol setelah dilakukan balance
exercise di Wilayah Ngesong Dukuh Kupang?
6. Apakah ada perbedaan kejadian jatuh pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol sebelum dan setelah dilakukan balance exercise di
Wilayah Ngesong Dukuh Kupang?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Menganalisis pengaruh balance exercise terhadap kejadian jatuh pada lansia
di Wilayah Ngesong Dukuh Kupang.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Mengidentifikasi balance exercise (kelompok intervensi dan kelompok
kontrol) pada lansia di Wilayah Ngesong Dukuh Kupang.
2. Mengidentifikasi kejadian jatuh pada kelompok intervensi sebelum
dilakukan balance exercise di Wilayah Ngesong Dukuh Kupang
3. Mengidentifikasi kejadian jatuh pada kelompok kontrol sebelum dilakukan
balance exercise di Wilayah Ngesong Dukuh Kupang.
4. Mengidentifikasi kejadian jatuh pada kelompok intervensi setelah dilakukan
balance exercise di Wilayah Ngesong Dukuh Kupang.
5. Mengidentifikasi kejadian jatuh pada kelompok kontrol setelah dilakukan
balance exercise di Wilayah Ngesong Dukuh Kupang.
6. Menganalisis perbedaan kejadian jatuh pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol sebelum dan setelah dilakukan balance exercise di
Wilayah Ngesong Dukuh Kupang.

1.4 Manfaat
9

Penelitian ini diharapkan memiliki 2 manfaat, yaitu :


1.4.1 Manfaat Teoritis
1. Hasil penelitian ini dapat digunakan bagi peneliti selanjutnya sebagai
landasan untuk meneliti aspek lain tentang kognitif pada lansia.
2. Dapat memberikan kontribusi dan informasi terhadap upaya peningkatan
kognitif pada lansia.
1.4.2 Manfaat praktisi
1. Bagi Akademi Keperawatan Adi Husada
Hasil penelitian ini dapat menambah referensi kepustakaan Akademi
Keperawatan Adi Husada Surabaya.
2. Bagi responden
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam
mengkonsumsi green tea untuk meningkatkan kognitif tubuh lansia dan
mencegah terjadinya dimensia.
3. Bagi tempat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna
tentang pengaruh green tea terhadap peningkatan kognitif pada lansia.
4. Bagi perawat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna untuk
menambah dasar asuhan keperawatan pada lansia.
10

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini diuraikan tentang konsep lansia, konsep jatuh, konsep latihan
keseimbangan balance exercise dan ankle strategy exercise, kerangka konsep,
penjelasan kerangka konsep serta hipotesis.

2.1 Konsep Lanjut Usia (Lansia)


2.1.1 Pengertian Lansia
Lanjut usia (Lansia) adalah bagian dari proses tumbuh kembang, manusia
tidak secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak, dewasa,
dan akhirnya menjadi tua. Menurut UU no 4 tahun 1945 lansia adalah seseorang yang
mencapai berusia 55 tahun yang merupakan kelompok orang lansia yang mengalami
proses penuaan yang terjadi secara bertahap dan merupakan proses alami yang tidak
dapat dihindari. Menurut (Kemenkes, 2010) lanjut usia adalah seseorang yang berusia
60 tahun atau lebih. Pada usia ini adalah fase menurunnya kemampuan akal dan fisik,
yang di mulai dengan adanya perubahan dalam hidup. Menua bukanlah suatu
penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan
perubahan kumulatif, proses menurunanya daya tahan tubuh menghadapi
rangsangan dari dalam maupun luar tubuh. Menua atau menjadi tua adalah suatu
keadaan yeng terjadi didalam kehidupan manusia (Azizah, 2011).
Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya itu
dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan.
Menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah melalui
tigatahap kehidupan, yaitu anak, dewasa dan tua (Kholifah, 2016). Sebagaimana
di ketahui, ketika manusia mencapai usia dewasa, maka seseorang mempunyai
kemampuan reproduksi dan melahirkan anak. Ketika kondisi hidup berubah
seseorang akan kehilangan tugas dan fungsi ini, dan selanjutnya memasuki usia
lanjut, kemudian meninggal dunia. Bagi manusia yang normal, siapa orangnya,
tentu telah siap menerima keadaan baru dalam setiap fase hidupnya dan mencoba
menyesuaikan diri dengan kondisi lingkunganya. Perubahan ini adalah hal yang
normal dalam satu siklus kehidupan manusia, dengan perubahan fisik, psikososial
dan tingkah laku yang terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai
7

tahapan usia lanjut dimasa ini seseorang senantiasa mengalami kemunduran fisik,
mental dan sosial secara bertahap (Azizah, 2011).

2.1.2 Batasan Lansia


1. Batasan usia lansia menurut World Health Organitation (WHO) meliputi:
1) Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun.
2) Lanjut usia (elderly), ialah kelompok usia 60 sampai 74 tahun.
3) Lanjut usia tua (old), ialah kelompok usia 75 sampai 90 tahun.
4) Sangat tua (very old), ialah kelompok usia diatas 90 tahun.
2. Batasan usia lansia menurut Depkes RI meliputi:
1) Pertengahan umur usia lanjut, yaitu kelompok usia 45-54 tahun.
2) Usia lanjut dini, yaitu kelompok usia 55-64 tahun.
3) Usia lanjut, yaitu kelompok usia diatas 65 tahun.
4) Usia lanjut dengan risiko tinggi, yaitu kelompok usia diatas 70 tahun.

2.1.3 Perubahan-Perubahan Pada Lansia


Banyak perubahan yang dikaitkan dengan proses menua merupakan akibat
dari kehilangan yang bersifat bertahap. Berdasarkan perbandingan yang diamati
antar kelompok usia yang berbeda, sebagian besar organ mengalami kehilangan
fungsi sekitar 1% per tahun, dimulai usia sekitar 40 tahun. Berikut adalah
perubahan yang terjadi pada lansia menurut (Darmojo & Boedhi, 2014):
1. Perubahan pada Sistem Sensoris
Persepsi sensoris mempengaruhi kemampuan seseorang untuk saling
berhubungan dengan orang lain dan untuk memelihara atau membentuk hubungan
baru, berespon terhadap bahaya, dan menginterprestasikan masukan sensoris
dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Pada lansia yang mengalami penurunan
persepsi sensori akan terdapat keengganan untuk bersosialisasi karena
kemunduran dari fungsi-fungsi sensoris yang dimiliki. Indra yang dimiliki seperti
penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman dan perabaan merupakan
kesatuan integrasi dari persepsi sensori.
8

1. Penglihatan
Perubahan penglihatan dan fungsi mata yang dianggap normal dalam proses
penuaan termasuk penurunan kemampuan dalam melakukan akomodasi,
konstriksi pupil, akibat penuan, dan perubahan warna serta kekeruhan lansa mata,
yaitu katarak. Semakin bertambahnya usia, lemak akan berakumulasi di sekitar
kornea dan membentuk lingkaran berwarna putih atau kekuningan di antara iris
dan sklera. Kejadian ini disebut arkus sinilis, biasanya ditemukan pada lansia.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada penglihatan akibat proses
menua:
1) Terjadinya awitan presbiopi dengan kehilangan kemampuan akomodasi.
Kerusakan ini terjadi karena otot-otot siliaris menjadi lebih lemah dan
kendur, dan lensa kristalin mengalami sklerosis, dengan kehilangan
elastisitas dan kemampuan untuk memusatkan penglihatan jarak dekat.
Implikasi dari hal ini yaitu kesulitan dalam membaca huruf-huruf yang
kecil dan kesukaran dalam melihat dengan jarak pandang dekat.
2) Penurunan ukuran pupil atau miosis pupil terjadi karena sfingkter pupil
mengalami sklerosis. Implikasi dari hal ini yaitu penyempitan lapang
pandang dan mempengaruhi penglihatan perifer pada tingkat tertentu.
3) Perubahan warna dan meningkatnya kekeruhan lensa kristal yang
terakumulasi dapat menimbulkan katarak. Implikasi dari hal ini adalah
penglihatan menjadi kabur yang mengakibatkan kesukaran dalam
membaca dan memfokuskan penglihatan, peningkatan sensitivitas
terhadap cahaya, berkurangnya penglihatan pada malam hari, gangguan
dalam persepsi kedalaman atau stereopsis (masalah dalam penilaian
ketinggian), perubahan dalam persepsi warna.
4) Penurunan produksi air mata. Implikasi dari hal ini adalah mata
berpotensi terjadi sindrom mata kering.
2. Pendengaran
Penurunan pendengaran merupakan kondisi yang secara dramatis dapat
mempengaruhi kualitas hidup.Kehilangan pendengaran pada lansia disebut
presbikusis. Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada penglihatan
akibat proses menua:
9

1) Pada telinga bagian dalam terdapat penurunan fungsi sensorineural, hal


ini terjadi karena telinga bagian dalam dan komponen saraf tidak
berfungsi dengan baik sehingga terjadi perubahan konduksi. Implikasi
dari hal ini adalah kehilangan pendengaran secara bertahap. Ketidak
mampuan untuk mendeteksi volume suara dan ketidakmampuan dalam
mendeteksi suara dengan frekuensi tinggi seperti beberapa konsonan
(misal f, s, sk, sh, l)
2) Pada telinga bagian tengah terjadi pengecilan daya tangkap membran
timpani, pengapuran dari tulang pendengaran, otot dan ligamen menjadi
lemah dan kaku. Implikasi dari hal ini adalah gangguan konduksi suara.
3) Pada telingan bagian luar, rambut menjadi panjang dan tebal, kulit
menjadi lebih tipis dan kering, dan peningkatan keratin. Implikasi dari
hal ini adalah potensial terbentuk serumen sehingga berdampak pada
gangguan konduksi suara.
3. Perabaan
Perabaan merupakan sistem sensoris pertama yang menjadi fungisional
apabila terdapat gangguan pada penglihatan dan pendengaran. Perubahan
kebutuhan akan sentuhan dan sensasi taktil karena lansia telah kehilangan orang
yang dicintai, penampilan lansia tidak semenarik sewaktu muda dan tidak
mengundang sentuhan dari orang lain, dan sikap dari masyarakat umum terhadap
lansia tidak mendorong untuk melakukan kontak fisik dengan lansia.
4. Pengecapan
Hilangnya kemampuan untuk menikmati makanan seperti pada saat
seseorang bertambah tua mungkin dirasakan sebagai kehilangan salah satu
keniknatan dalam kehidupan. Perubahan yang terjadi pada pengecapan akibat
proses menua yaitu penurunan jumlah dan kerusakan papila atau kuncup-kuncup
perasa lidah. Implikasi dari hal ini adalah sensitivitas terhadap rasa (manis, asam,
asin, dan pahit) berkurang.
5. Penciuman
Sensasi penciuman bekerja akibat stimulasi reseptor olfaktorius oleh zat
kimia yang mudah menguap. Perubahan yang terjadi pada penciuman akibat
proses menua yaitu penurunan atau kehilangan sensasi penciuman kerena penuaan
dan usia. Penyebab lain yang juga dianggap sebagai pendukung terjadinya
kehilangan sensasi penciuman termasuk pilek, influenza, merokok, obstruksi
10

hidung, dan faktor lingkungan. Implikasi dari hal ini adalah penurunan sensitivitas
terhadap bau.
2. Perubahan pada Sistem Integumen
Pada lasia, epidermis tipis dan rata, terutama yang paling jelas diatas tonjolan-
tonjolan tulang, telapak tangan, kaki bawah dan permukaan dorsalis tangan dan
kaki. Penipisan ini menyebabkan vena-vena tampak lebih menonjol. Poliferasi
abnormal pada terjadinya sisa melanosit, lentigo, senil, bintik pigmentasi pada
area tubuh yangterpajan sinar mata hari, biasanya permukaan dorsal dari tangan
dan lengan bawah.
Sedikit kolagen yang terbentuk pada proses penuaan, dan terdapat penurunan
jaringan elastik, mengakibatkan penampiln yang lebih keriput. Tekstur kulit lebih
kering karena kelenjar eksokrin lebih sedikit dan penurunan aktivitas kelenjar
eksokri dan kelenar sebasea. Degenerasi menyeluruh jaringan penyambung,
disertai penurunan cairan tubuh total, menimbulkan penurunan turgor kulit. Massa
lemak bebas berkurang 6,3% BB per dekade dengan penambahan massa lemak
2% per dekade. Massa air berkurang sebesar 2,5% per dekade.
3. Perubahan pada Sistem Muskuloskeletal
Otot mengalami atrofi sebagai akibat dari berkurangnya aktivitas, gangguan
metabolik, atau denervasi saraf. Dengan bertambahnya usia, perusakan dan
pembentukan tulang melambat. Hal ini terjadi karena penurunan hormon
esterogen pada wanita, vitamin D, dan beberapa hormon lain. Tulang-tulang
trabekulae menjadi lebih berongga, mikro-arsitektur berubah dan seiring patah
baik akibat benturan ringan maupun spontan.
1. Sistem Skeletal
Ketika manusia mengalami penuaan, jumlah masa otot tubuh mengalami
penurunan. Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem skeletal
akibat proses menua:
1) Penurunan tinggi badan secara progresif karena penyempitan didkus
intervertebral dan penekanan pada kolumna vertebralis. Implikasi dari hal
ini adalah postur tubuh menjadi lebih bungkuk dengan penampilan
barrel-chest.
2) Penurunan produksi tulang kortikal dan trabekular yang berfungsi
sebagai perlindungan terhadap beban geralkan rotasi dan lengkungan.
Implikasi dari hal ini adalah peningkatan terjadinya risiko fraktur.
11

2. Sistem Muskular
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem muskular akibat
proses menua:
1) Waktu untuk kontraksi dan relaksasi muskular memanjang. Implikasi dari
hal ini adalah perlambatan waktu untuk bereaksi, pergerakan yang kurang
aktif.
2) Perubahan kolumna vertebralis, akilosis atau kekakuan ligamen dan
sendi, penyusustan dan sklerosis tendon dan otot, den perubahan
degeneratif ekstrapiramidal. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan
fleksi.
3. Sendi
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sendi akibat proses
menua:
1) Pecahnya komponen kapsul sendi dan kolagen. Implikasi dari hal ini
adalah nyeri, inflamasi, penurunan mobilitas sendi di deformitas.
2) Kekakuan ligamen dan sendi. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan
risiko cedera.
4. Estrogen
Perubahan yang terjadi pada sistem skeletal akibat proses menua, yaitu
penurunan hormon esterogen. Implikasi dari hal ini adalah kehilangan unsur-unsur
tulang yang berdampak pada pengeroposan tulang.
4. Perubahan pada Sistem Neurologis
Berat otak menurun 10 – 20 %. Berat otak ≤ 350 gram pada saat kelahiran,
kemudian meningkat menjadi 1,375 gram pada usia 20 tahun,berat otak mulai
menurun pada usia 45-50 tahun penurunan ini kurang lebih 11% dari berat
maksimal. Berat dan volume otak berkurang rata-rata 5-10% selama umur 20-90
tahun.Otak mengandung 100 million sel termasuk diantaranya sel neuron yang
berfungsi menyalurkan impuls listrik dari susunan saraf pusat. Pada penuaan otak
kehilangan 100.000 neuron / tahun. Neuron dapat mengirimkan signal kepada sel
lain dengan kecepatan 200 mil/jam. Terjadi penebalan atrofi cerebral (berat otak
menurun 10%) antar usia 30-70 tahun. Secara berangsur-angsur tonjolan dendrit
di neuron hilang disusul membengkaknya batang dendrit dan batang sel. Secara
progresif terjadi fragmentasi dan kematian sel. Pada semua sel terdapat deposit
12

lipofusin (pigment wear and tear) yang terbentuk di sitoplasma, kemungkinan


berasal dari lisosom atau mitokondria.
5. Perubahan pada Sistem Kardiovaskular
Jantung dan pembuluh darah mengalami perubahan baik struktural maupun
fungisional. Penurunan yang terjadi berangsur-angsur sering terjadi ditandai
dengan penurunan tingkat aktivitas, yang mengakibatkan penurunan kebutuhan
darah yang teroksigenasi. Jumlah detak jantung saat istirahat pada orang tua yang
sehat tidak ada perubahan, namun detak jantung maksimum yang dicapai selama
latihan berat berkurang. Pada dewasa muda, kecepatan jantung dibawah tekanan
yaitu, 180-200 x/menit. Kecepatan jantung pada usia 70-75 tahun menjadi 140-
160 x/menit.
6. Perubahan pada Sistem Pulmonal
Perubahan anatomis seperti penurunan komplians paru dan dinding dada turut
berperan dalam peningkatan kerja pernapasan sekitar 20% pada usia 60 tahun.
Penurunan lajuekspirasi paksa atu detik sebesar 0,2 liter/dekade.
7. Perubahan pada Sistem Endokrin
Sekitar 50% lansia menunjukka intoleransi glukosa, dengan kadar gula puasa
yang normal. Penyebab dari terjadinya intoleransi glukosa ini adalah faktor diet,
obesitas, kurangnya olahraga, dan penuaan. Frekuensi hipertiroid pada lansia yaitu
sebanyak 25%, sekitar 75% dari jumlah tersebut mempunyai gejala, dan sebagian
menunjukkan “apatheic thyrotoxicosis”.
8. Perubahan pada Sistem Renal dan Urinaria
Seiring bertambahnya usia, akan terdapat perubahan pada ginjal, bladder,
uretra, dan sisten nervus yang berdampak pada proses fisiologi terlait eliminasi
urine. Hal ini dapat mengganggu kemampuan dalam mengontrol berkemih,
sehingga dapat mengakibatkan inkontinensia, dan akan memiliki konsekuensi
yang lebih jauh.
9. Perubahan pada Sistem Gasrointestinal
Banyak masalah gastrointestinal yang dihadapi oleh lansia berkaitan dengan
gaya hidup. Mulai dari gigi sampai anus terjadi perubahan morfologik degeneratif,
antara lain perubahan atrofi pada rahang, mukosa, kelenjar dan otot-otot
pencernaan.
13

2.2 Kognitif Pada Lansia


2.2.1 Pengertian Kognitif
Fungsi kognitif dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana semua
maukan sensoris (taktil,visual dan auditorik) akan diubah, diolah, disimpan dan
selanjutnya digunakan untuk hubungan interneuron secara sempurna sehingga
individu mampu melakukan penalaran terhadap masukan sensoris tersebut. Fungsi
kognitif menyangkut kualitas pengetahuan yang dimiliki seseorang . Menurut
(Hecker,1998) modalitas dari kognitif terdiri dari sembilan modalitas yaitu:
memori, bahasa, praksis, visuospasial, atensi serta konsentrasi, kalkulasi,
mengambil keputusan (eksekusi), reasoning dan berpikir abstrak (Wiyoto, 2012)
Fungsi kognitif diartikan pula sebagai kemampuan mental yang terdiri dari
atensi, kemampuan berbahasa, daya ingat, kemampuan viusopasial, kemampuan
membuat konsep dan intelegensi (Kaplan, 1997; American Psychology
Assosiation, 2007) kemampuan kognitif berubah secara bermakna bersamaan
dengan lajunya proses penuaan, tetapi perubahan tersebut tidak seragam.
(Ekasari, Riasmini, & Hartini, 2008)
2.2.2 Aspek-Aspek Kognitif
Aspek kognitif merupakan aspek yang berkaitan dengan nalar atau proses
berpikir dalam mengembangkan kemampuan rasional. Dalam aspek kognitif
dibagi menjadi beberapa aspek yang lebih rinci yaitu:
1. Pengetahuan (Knowledge)
Aspek ini adalah aspek yang mendasar yang merupakan bagian dari aspek
kognitif. Mengacu kepada kemampuan yang mengenali dan mengingat
materi-materi yang telah diepalajari mulai dari hal sederhana hingga
mengingat terori-teori yang memerlukan kedalaman berpikir. Juga
kemampuan memingat konsep, proses, metode, serta struktur.
2. Pemahaman (Comprehension)
Aspek ini lebih tinggi daripada aspek pengetahuan. Mengacu kepada
kemampuan untuk mendemonstrasikan fakta dan gagasan dengan
mengelompokkan, mengorganisir, membandingkan, memberi deskripsi,
memahami suatu hal yang telah dipelajari dalam bentuk translasi (mengubah
bentuk), interpretasi (menjelaskan atau merangkum), dan ekstrapolasi
(memperluas arti dari satu materi).
3. Penerapan (Application)
14

Tujuan dari aspek ini adalah untuk menerapkan materi yang telah dipelajari
dengan menggunakan aturan serta prinsip dari materi tersebut dalam
kondisi yang baru atau dalam kondisi nyata. Juga kemampuan menerapkan
konsep abstrak dan ide atau teori tertentu. Penerapan merupakan tingkat
yang tinggi dari kedua aspek sebelumnya yaitu pengetahuan dan
pemahaman.
4. Analisa (Analysis)
Menganalisa melibatkan pengujian dan pemecahan informasi ke dalam
beberapa bagian, menentukan bagaimana satu bagian berhubungan dengan
bagian berhubungan dengan bagian lainnya, mengidentifikasi motif atau
penyebab dan membuat kesimpulan serta materi pendukung kesimpulan
tersebut. Tiga karakteristik yang ada dalam aspek analisa yaitu analisa
elemen, analisa hubungan, dan analisa organisasi.
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis termasuk menjelaskan struktur atau pola yang tidak terlihat
sebelumnya, dan juga mampu menjelaskan mengenai data atau informasi
yang didapat. Dengan kata lain, aspek sintesis meliputi kemampuan
menyatukan konsep atau kompenen sehingga dapat membentuk suatu
struktur yang memiliki pola baru. Pada aspek ini deperlukan sisi kreatif dari
seseorang atau anak didik.
6. Evaluasi (Evaluaton)
Adalah kemampuan untuk berpikir dan memberikan penilaian serta
pertimbangan dari nilai-nilai materi untuk tujuan tertentu. Atau dengan kata
lain, kemampuan menilai sesuatu untuk tujuan tertentu. Evaluasi ini
dilakukan berdasarkan kriteria internal dan eksternal. (Retno, 2017)

7. Faktor Interinsik
Faktor-faktor intrinsik hal yang berasal dari dalam tubuh lansia sendiri, antara
lain yaitu gangguan jantung dan sirkulasi darah, gangguan sistem anggota gerak
seperti kelemahan otot ekstremitas bawah dan kekuatan sendi, gangguan sistem
susunan saraf seperti neuropati perifer, gangguan pendengaran, gangguan
penglihatan, gangguan psikologis, infeksi telinga, gangguan adaptasi gelap,
pengaruh obat-obatan yang dipakai (diazepam, antidepresi, dan anti hipertensi),
vertigo, atritis lutut, sinkop dan pusing, penyakit-penyakit sistemik.
15

Gangguan jantung memiliki tanda gejala nyeri pada daerah prekordial dan
sesak napas seringkali dirasakan pada penderita penyakit jantung di usia lanjut,
rasa cepat lelah yang berlebihan seringkali ditemukan sebagai dampak dari sesak
napas yang biasanya terjadi ditengah malam. Gejala lainnya adalah kebingungan,
muntah-muntah dan nyeri pada perut karna pengaruh bendungan hepar atau
keluhan insomnia. Bising sinsolik banyak dijumpai pada penderita lanjut usia,
sekitar 60% dari jumlah penderita, dalam penemuan lain juga dilaporkan bahwa
bising sistolik tanpa keluhan ditemukan pada 26% penderita yang berusia 65
tahun keatas. Gangguan jantung dapat dijumpai kekakuan pada arteria koroner,
cincin katup miral, katup aorta, miokardium, dan pericardium, kelainan-kelainan
tersebut selalu merupakan keadaan yang abnormal (Darmojo R. M., 2004).
Pengobatan pada pasien geriatrik penting untuk diperhatikan apakah gangguan
tersebut berasal karena proses penuaan atau sungguh merupakan gangguan gerak
disebabkan karena kelainan pada ganglia basal, dibagi menjadi 2 yaitu hipokinetik
dan hiperkinetik.
Gangguan hipokinetik diartikan adanya hipokinesia (berkurangnya amplitude
gerakkan), bradikinesia (melambatnya gerakkan), akinesia (hilangnya gerakkan),
seperti pada penyakit Parkinson. Gangguan hiperkinetik terjadi gerakkan berlebih,
abnormal, dan involunter, seperti pada tremor, athetosis, dystonia, hemibalismus,
chorea, myoclonus, dan tic.
Gangguan sistem saraf pusat sering dialami para lansia dengan potensial resiko
10% kehilangan yang diketahui pada usia 80 tahun. Perubahan sistem sensorik
terdiri dari sentuhan, pembauan, perasa, penglihatan, dan pendengaran. Perubahan
pada indra pembauan dan pengecapan dapat mempengaruhi lansia dalam
mempertahankan nutrisi yang adekuat, penurunan sensivitas sentuhan terjadi pada
lansia seperti berkurangnya neuron sensori yang secara efisien memberikan sinyal
deteksi, lokasi, dan identifikasi sentuhan atau tekanan yang dialami pada area
kulit. Lansia juga sering mengalami kehilangan sensasi dan persepsi informasi
yang mengatur pergerakan tubuh dan posisi serta hilangnya fiber sensori, reseptor
vibrasi dan sentuhan dari ekstremitas bawah yang menyebabkan berkurangnya
kemampuan untuk memperbaiki pergerakkan sendi pada lansia yang pada
16

akhirnya dapat mengakibatkan ketidakseimbangan tubuh sehingga terjatuh (Mauk,


2010).
Gangguan penglihatan adalah perubahan yang terjadi pada ukuran pupil
menurun dan reaksi terhadap cahaya berkurang dan juga terhadap akomodasi,
lensa menguning dan berangsur-rangsur menjadi lebih buram mengakibatkan
katarak, sehingga mempengaruhi kemampuan untuk melihat menerima dan
membedakan warna-warna. Gangguan sistem penglihatan pada lansia merupakan
salah satu masalah penting yang dihadapi oleh lansia ini terjadi akibat penuruna
fungsi penglihatan pada lansia membuat kepercayaan diri lansia berkurang dan
mempengaruhi dalam pemenuhan aktifitas sehari-hari. Perubahan sistem
penglihatan dan fungsi mata yang dianggap normal dalam proses penuaan
termasuk penurunan kemampuan untuk melakukan akomodasi, kontraksi pupil
akubat penuaan, dan perubahan warna serta kekeruhan lensa mata (katarak).
Mata adalah organ sensorik yang berfungsi untuk mentransmisikan rangsang
melaluijarak pada otak ke lobus oksipitalis dimana rasa penglihatan ini diterima
sesuai dengan proses penuaan yang terjadi, tentunya banyak perubahan yang
terjadi diantaranya garis berubah kelabu, dapat menjadi kasar pada peria, dan
menjadi tipis pada sisi temporalis baik pada pria maupun wanita. Kunjungtiva
menipis dan berwarna kekuningan, produksi air mata oleh kelenjar lakrimaris
yang berfungsi untuk melembabkan dan melumasi konjungtiva akan menurun dan
cenderung cepat menguap, sehingga mengakibatkan konjungtiva lebih kering.
Kondisi ini memungkinkan terjadi ketidakawasan klien lansia dalam beraktifitas.
Mata bagian dalam, perubahan yang terjadi adalah ukuran pupil menurun dan
reaksi terhadap cahaya berkurang dan juga terhadap akomodasi.Lensa mongering
dan berangsur-angsur menjadi lebih buram mengakibatkan katarak, sehingga
mempengaruhi kemampuan untuk menerima dan membedakan warna-warna.
Warna gelap seperti coklat, hitam dan marun tampak sama, pandangan dalam area
yang suram dan adaptasi terhadap kegelapan berkurang (sulit melihat dalam
cahaya gelap) menempatkan pada lansia resiko cedera, sementara cahaya
menyilaukan dapat menyebabkan nyeri dan membatasi kemampuan untuk
membedakan objek-objek dengan jelas, semua hal diatas dapat mempengaruhi
kemampuan fungsional pada lansia. Gangguan ketajaman pada penglihatan dapat
17

disebabkan oleh presbiop kelainan lensa mata (refleksi lensa mata kurang),
kekeruhan pada lensa (katarak), tekanan dalam mata yang meninggi (glaucoma),
radang saraf mata (Cieayundacitra, 2010).
Gangguan pendengaran merupakan suatu keadaan yang menyertai lanjutnya
usia dengan penurunan fungsi pendengaran pada salah satu ataupun kedua telinga
sehingga dapat mengakibatkan resiko jatuh pada lansia. Proses penuaan
seringkaliditandai dengan menurunnya fungsi berbagi organ tubuh, salah satunya
adalah fungsi pendengaran. Sekitar 30-35% orang berusia antara 65-75 tahun akan
mengalami gangguan pendengaran secara perlahan-lahan akibat proses penuaan
yang dikenal dengan istilah presbicusis, akibat adanya gangguan pendengaran ini,
seringkali orang-orang disekitarnya akan berbicara dengan suara yang lebih
lantang dan keras dengan para lansia, namun dengan demikian bukan berarti
semakin keras suara yang diucapkan akan terdengar lebih baik bagi mereka karena
ternyata suara yang terlalu keraspun akan terdengar menyakitkan ditelinga
mereka. Lanjut usia dengan bertambahnya usia, wajar saja bila kondisi dan fungsi
tubuh pun makin menurun, tak heran bila pada usia lanjut, semakin banyak
keluhan yang dilontarkan karena tubuh tidak lagi mampu melakukan pekerjaan
tertentu sehingga kesepakatan kerja sama dengan pihak pihak terkait
(Cieayundacitra, 2010).
8. Faktor Exterinsik
Faktor lingkungan memiliki resiko terhadap jatuh sebesar 31% (Maryam R. S.,
2013). Lingkungan rumah termasuk situasi yang berpotensi terhadap resiko
terjatuh pada lansia, diantaranya karpet yang tidak rata, pencahayaan ruangan
tidak memadai, tangga tanpa pagar, kondisi tempat tidur, kursi cukup tinggi, dan
alat bantu jalan yang tidak tepat. Selain itu kondisi toilet yang terlalu rendah dan
permukaan kamar mandi menurun, licin dan tidak adanya anti-selip pada lantai,
serta dinding kamar mandi tidak memiliki pedoman dinilaisebagai resiko
penyebab jatuh di rumah.
Faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya resiko jatuh pada lansia adalah
faktor gizi yang mengakibatkan penurunan fungsi keseimbangan atau kelemahan
fisik. Lansia dengan asupan makanan yang rendah kalsium dan vitamin D, fosfor,
protein dan besi beresiko untuk jatuh. Asupan makanan yang tidak memadai
berupa protein, air dan tidak melakukan aktivitas fisik yang cukup untuk
18

menangkal hilangnya massa otot atau kehilangan kepadatan tulang meningkatkan


resiko jatuh dan cedera pada lansia (Kemenkes, 2018).
Penggunaan alat bantu jalan memang meningkatkan keseimbangan, namun
disisi lain menyebabkan langkah yang terputus dan kecenderungan tubuh untuk
membungkuk, terlebih jika alat bantu tidak menggunakan roda, karena itu
penggunaan alat bantu ini haruslah direkomendasikan secara individual. Lansia
apabila pada kasus gangguan berjalannya tidak dapat ditangani dengan obat-
obatan maupun pembedahan, maka salah satu penanganannya adalah dengan alat
bantu jalan seperti tongkat, crutch (tongkat ketiak) dan walker, ketika memilih alat
bantu jalan, anatomi tubuh dan sudut siku harus diperlihatkan, banyak dari mereka
yang tidak mendapatkan bantuan professional dalan memilih alat bantu jalan
sehingga pemilihan alat bantu jalan yang tidak tepat dapat mengakibatkan
bertambah buruknya koordinasi gerakan dan gaya berjalan klien sehingga dapat
meningkatkan resiko untuk jatuh (Darmojo R. M., 2004).
Lingkungan merupakan faktor yang dapat memepengaruhi keseimbangan dan
berkontraksi pada resiko jatuh, kejadian jatuh didalam ruangan lebih sering terjadi
dikamar mandi, kamar tidur dan toilet.Jatuh sering terjadi sekitar 10% terutama
saat turun tangga karena lebih berbahaya dari pada saat naik tangga. Lingkungan
yang tidak aman dapat dilihat pada lingkungan luar rumah, ruang tamu, kamar
tidur, toilet, dan tangga atau lorong.
Lingkungan yang tidak aman pada area luar seperti kondisi lantai yang retak,
jalan depan rumah sempit, pencahayaan yang kurang, kondisi teras atau halaman,
bahaya lingkungan pada area ruang tamu adalah kurangnya pencahayaan, area
yang sempit untuk berjalan, kondisi lantai yang retak dan berantakkan, kaki kursi
yang miring dan tinggi kursi yang tidak sesuai dengan tinggi kaki lansia dan
sandaran lengan pada kursi tidak kuat. Kamar tidur berbahaya dapat dilihat dari
kondisi lantai, tinggi tempat tidur, seprai yang tergerai dilantai, penempatan
barang dan perabotan yang mudah dijangkau, pencahayaan, dan sempit atau
luasnya area kamar untuk berjalan. Kamar mandi dapat menyebabkan gangguan
keseimbangan atau resiko jatuh diantaranya pencahayaan kurang, kondisi lantai
licin, posisi bak dan toilet tidak aman, dan peletakkan alat mandi yang tidak
mudah dijangkau oleh lansia. Lingkungan area tangga dan lorong dapat dilihat
19

dari kondisi lantai, pencahayaan, peganggan, lis tangga, dan lebar tangga (Mauk,
2010).
9. Faktor Situasional
Jatuh sebagian besar terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas sehari-hari
seperti berjalan, naik atau turun tangga, mengganti posisi. Jatuh terjadi pada saat
lansia melakukan aktivitas berbahaya seperti mendaki gunung atau olahraga berat.
Jatuh juga sering terjadi pada lansia dengan banyak kegiatan dan olahraga,
mungkin disebabkan kelelahan atau terpaparnya bahaya yang lebih banyak. Jatuh
juga sering terjadi pada lansia yang imobil (jarang bergerak) ketika tiba-tiba dia
ingin pindah tempat atau mengambil sesuatu tanpa pertolongan.
Jatuh pada lansia sering terjadi dirumah, dengan kejadian jatuh saat turun
tangga lebih banyak dibandingkan saat naik, yang lainnya terjadi karena
tersandung atau menabrak benda perlengkapan rumah tangga, lantai licin dan
tidak rata, penerangan/ pencahayaan yang kurang atau gelap. Riwayat penyakit
kronis yang diderita lansia selama bertahun-tahun biasanya menjadikan lansia
lebih mudah jatuh seperti stroke, hipertensi, hilangnya fungsi penglihatan,
dizziness dan sinkope, sering menyebabkan jatuh. Penyakit kronik yang diderita
lansia juga sering menyebabkan jatuh, misalnya sesak nafas akut pada penyakit
paru obstruktif menahun, nyeri dada pada penderita penyakit jantung iskemik, dan
lain-lain.

2.2.3 Macam-Macam Kejadian Jatuh


Menurut (Yektiningsih, 2012) macam-macam kejadian jatuh antara lain:
1. Posisi terlentang
Benturan pada kepala tentunya mengakibatkan gangguan koordinasi pada
kepala, apalagi jika pada saat terjadi benturan terdapat perdarahan didalam rongga
kepala. Fisiologi tubuh memerlukan waktu untuk menyerap darah dan
mengembalikan fungsi otak seperti semula.jika yang mendarat terlebih dahulu
punggung. Menjadi bahaya jika saat mendarat posisi leher ikut terlipat/tertekuk
karena bisa mengakibatkan keseleodan fraktur tulang leher.
2. Posisi Jatuh Miring
Perhatikan dan periksa kepala, tangan yang menjadi tumpuan badan, juga kaki.
Jika panggul lebih dahulu mendarat, kemungkinan besar lansia akan mengalami
dislokasi atau fraktur tulang panggul. Karena panggul berhubungan langsung
20

dengan tulang tulang belakang, dikhawatirkan ada saraf-saraf yang terjepit.Jika


yang terjepit saraf kaki biasanya lansia tidak bisa menggerakan kakinya alias
lumpuh.
3. Posisi Terlungkup
Jika jatuh ditempat mendarat yang data, kemungkinan risiko lansia untuk
cedera lebih sedikit. Sebaliknya, tempat mendarat yang tidak mulus atau ada
tonjolan yang tepat mengarah ke dadanya dapat mengakibatkan fraktur tulang iga
atau rusuk yang patahannya dapat mengenai organ paru-paru atau jantungnya.
Untuk itu perhatikan terlebih dahulu lansia dapatbernafas atau tidak. Umumnya
jika bagian dada terlebih dahulu mendarat maka tangan akan melindungi, karena
itu periksa juga kondisi tangan dan bahu lansia. Adakah dislokasi, periksa juga
bagian kepala dandahi.
4. Posisi Terduduk
Bahaya karena kaitannya langsung dengan tulang belakang dandapat
mengakibatkan patah pada tulang punggung dan tulang ekor lansia. Risiko lain,
bila ada saraf yang terjepit bisa mengakibatkan kelumpuhan.
5. Jatuh Posisi Berdiri
Kejadian pada lansia jatuh dalam posisi berdiri pasti akan menahan tubuhnya
dengan kaki lalu jatuh bersimpuh. Risiko ini bisa terjadi dislokasi atau keseleo
pada ekstremitas bawah.

2.2.4 Dampak Jatuh


Jatuh memiliki dampak yang berbeda-beda terhadap lansia yangdirawat
dirumah antara lain: nyeri, fraktur, status fungsional lansia menurun,
traumakepala, perlukaan jaringan lunak seperti hematom, dan muncul penyakit
lain.

Berdasarkan hasil penelitian (Maryam R. S., 2009) didapatkan hasil


keseimbangan tubuh lansia yang diberikan latihan keseimbangan lebih baik
daripada lansia yang tidak diberikan latihan keseimbangan. Hasil penelitian
(Astriyana, 2012) didapatkan hasil adanya pengaruh latihan keseimbangan dengan
penurunan risiko jatuh pada lansia. Maka dari itu kesimpulan beberapa peneliti
diatas membuktikan bahwa latihan keseimbangan memiliki dampak positif bagi
21

lansia, dengan demikian penelitian ini menggunakan konsep latihan keseimbangan


sebagai berikut:

2.3 Konsep Latihan Keseimbangan


2.3.1 Pengertian Balance Exercise
Balance exercise adalah latihan khusus untuk membantu meningkatkan
kekuatan otot pada anggota gerak atas dan bawah serta system vestibular atau
keseimbangan tubuh (Jowir, 2012). Balance exercise dapat dilakukan
menggunakan kursi dengan / tanpa pegangan lengan atau tempat tidur. Latihan
dilakukan setiap 2 hari sekali. Lama latihan dilakukan selama 25 menit, dengan
pemanasan 5 menit, dan latihan 20 menit.
Ankle strategy exercise merupakan gerakan yang dilakukan dengan
kekuatan otot dan anggota gerak sendiri dengan melawan gravitasi. Ankle strategy
exercise tubuh bagian atas dan bawah memiliki arah atau gerakan yang sama pada
satu fase karena jumlah tenaga yang dihasilkan oleh otot-otot sendi pergelangan
kaki relatif kecil. Ankle strategy exercise umumnya digunakan untukmengontrol
kaki ketika berdiri tegak atau bergerak melalui pergerakan rentangkaki yang
sangat kecil (Subarjrah, 2012).

2.3.2 Tujuan
Balance exercise bertujuan untuk meningkatkan keseimbangan statis,
dinamis, dan aktivitas keseimbangan fungsional melalui peregangan dan
kekuatan. Selain itu, balance exercise juga menimbulkan kontraksi otot pada
lansia yang dapat mengakibatkan peningkatan serat otot sehingga komponen
system metabolisme fosfagen, termasuk ATP dan fosfokreatin yang dapat
meningkatkan kekuatan otot pada lansia sehingga terjadi peningkatan
keseimbangan (Meylisa, 2012).
Ankle strategy exercise bertujuan untuk meningkatkan keseimbangan para
lansia setelah mengalami gangguan keseimbangan. Penggunaan Ankle strategy
exercise, tubuh bagian atas dan bawah bergerak dalam arah dan fase yang sama.
Itu karena jumlah tenaga yang dapat dihasilkan oleh otot-otot sekitar sendi
pergelangan kaki relatif kecil. Ankle strategy exercise umumnya digunakan untuk
mengontrol gerakan bergoyang ketika berdiri tegak atau bergoyang melalui
22

rentang gerakan yang sangat kecil. Ankle strategy exercise digunakan pada tingkat
bawah sadar untuk mengembalikan keseimbangan setelah cidera kecil atau
dorongan. Faktor-faktor yang membatasi kemampuan untuk menggunakan
gerakan ankle strategy exercise yang efektif memerlukan jangkauan gerak yang
memadai dan kekuatan sendi pergelangan kaki, alas atau permukaan alas yang
luas, tingkat sensasi yang baik pada kaki dan pergelangan kaki (Subarjrah, 2012).

2.3.3 Indikasi dan Kontraindikasi


1. Indikasi
Lansia berusia > 60 tahun yang mengalami gangguan keseimbangan atau
beresiko tinggi cedera/jatuh dan telah mengalami kejadian jatuh[
2. Kontraindikasi
1. Riwayat fraktur pada extremitas bawah.
2. Hipotensi ortostatik.
3. Atrofi disalah satu atau kedua tungkai (Meylisa, 2012).

2.3.4 Tahapan Latihan Keseimbangan


1. Berikut ini beberapa gerakan yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan
-Balance Exercise (Ottawa, 2017):
Berdiri tegak dibelakang bangku, dan melepas alas kaki.
Latihan 1
Lakukan pemanasan terlebih dahulu selama 5 menit dengan memutar telapak kaki
searah jarum jam dansebaliknya. Lakukan hal yang sama pada kaki lainnya.

Gambar 2.1 Latihan pemanasan pada balance exercise.


Sumber: (Ottawa, 2017)
Latihan 2
23

Lakukan gerakan fleksi tumit kaki/plantarsebanyak 8-15 kali, lalu istirahatkan


sebentar.

Gambar 2.2 Latihan gerakan fleksi tumit pada balance exercise.


Sumber: (Ottawa, 2017)
Latihan 3
Lakukan gerakan fleksi paha sebanyak 8-15kali, lalu istirahatkan sebentar.

Gambar 2.3 Latihan gerakan fleksi paha pada balance exercise.


Sumber: (Ottawa, 2017)
Latihan 4
Lakukan gerakan mengangkat kaki kebelakang sebanyak 8-15 kali, lalu
istirahatkan sebentar.
24

Gambar 2.4 Latihan gerakan mengangkat kaki kebelakang pada balance exercise.
Sumber: (Ottawa, 2017)
Latihan 5
Lakukan gerkanan mengangkat kaki ke samping, sebanyak 8-15 kali lalu
istirahatkan sebentar.

Gambar 2.5 Latihan gerakan mengangkat kaki kesamping padabalance exercise.


Sumber: (Ottawa, 2017)

Latihan 6
Lakukan gerakan jinjit dengan tangan berpegangan pada kursi, lakukan sebanyak
8-15 kali lalu istirahat sebentar.
25

Gambar 2.6 Gerakan jinjit pada balance exercise.


Sumber: (Ottawa, 2017)
Latihan 7
Lakukan gerakan mengangkat lutut kanan, lakukan sebanyak 8-15 kali lalu
istirahat sebentar.

Gambar 2.7 Latihan gerkanan mengangkat lutut kanan pada balance exercise.
Sumber: (Ottawa, 2017)
Latihan 8
Lakukan gerakan berjalan satu garis, tempatkan satu kaki tepat didepan kaki yang
lain hingga membentuk garis lurus, lalu berjalan dalam garis lurus tersebut.
26

Gambar 2.8 Latihan gerakan berjalan satu garis pada balance exercise.
Sumber: (Ottawa, 2017)
Latihan 9
Lakukan gerakan duduk lalu berdiri dengan berpegangan tangan, lakukan hingga
5 kali lalu istirahat sebentar.

Gambar 2.9 Latihan gerakan duduk lalu berdiri pada balance exercise.
Sumber: (Ottawa, 2017)
27

2. Berikut ini beberapa gerakan yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan Ankle
Strategy Exercise:

Gambar 2.10 Latihan Ankle Strategy Exercise


Sumber: (Shumway & Emerita, 2013)
Latihan 1
Ankle strategy gerakan kepala maju dan tubuh menyertai pergeseran ke
depan ditengah-tengah massa. Pada posisi ankle strategy mengaktivasi otot
gastrocnemius, hamstring, dan otot punggung.
1) Intensitas : berat badan
2) Repitisi : 10 RM/3set
3) Time : 3 menit
4) Rest : 1 menit/set
5) Frekuensi : 3 x seminggu
Latihan 2
Ankle strategy gerakan kepala mundur dan tubuh menyertai pergeseran
kebelakang ditengah-tengah massa. Pada posisi ankle strategy mengaktivasi otot
tibialis anterior, quadriceps, m.abdominis
1) Intensitas : berat badan
2) Repitisi : 10 RM/3set
3) Time : 3 menit
4) Rest : 1 menit/set
5) Frekuensi : 3 x seminggu
28

Latihan 3
Ankle strategy gerakan kepala kesamping kanan dan tubuh menyertai
-pergeseran kesamping ditengah-tengah massa tubuh. Pada posisi ankle strategy
mengaktivasi otot vastus medialis tungkai atas kanan, rombodeus lateral sinistra,
sternocleidomastoideus sinistra.
1) Intensitas : berat badan
2) Repitisi/set : 10 RM/3set
3) Time : 3 menit
4) Rest : 1 menit/set
5) Frekuensi : 3 x seminggu
Latihan 4
Ankle strategy gerakan kepala kesamping kiri dan tubuh menyertai
-pergeseran kesamping ditengah-tengah massa tubuh. Pada posisi ankle strategy
mengaktivasi otot vastus medialis tungkai atas kiri, rombodeus lateral dekstra,
strenocleidomastoideus dekstra.
1) Intensitas : berat badan
2) Repitisi/set : 10 RM/3set
3) Time : 3 set
4) Rest : 1 menit/set
5) Frekuensi : 3 x seminggu
29

2.4 Konsep Alat Ukur Latihan Keseimbangan


2.4.1 Pengertian Berg Balance Scale (BBS)
Berg Balance Scale (BBS) merupakan skala untuk mengukur keseimbangan
statik dan dinaik secara obyektif yang terdiri dari 14 item tugaskeseimbangan
(balance task) yang umum dalam kehidupan sehari-hari, sudah diuji validitas dan
reliabilitasnya baik, cukup aman digunakan pada lansia karena tidak memerlukan
alat yang canggih. Berg Balance Scale (BBS) hanya memerlukan 10-15 menit,
dengan kriteria penilaian yang sangat sederhana, sehingga tidak memerlukan
pelatihan khusus bagi pemeriksa. Berg Balance Scale merupakan alat ukur untuk
membantu menentukan keseimbangan baik statis (saat diam) dan dinamis (saat
bergerak) pada lansia (Langley & Mackintosh, 2007).

2.4.2 Tujuan
1) Mengukur keseimbangan pada lansia dengan gangguan fungsi
keseimbangan
2) Menilai kemampuan pasien dalam mempertahankan posisi
3) Menentukan kejadian jatuh pada lansia

2.4.3 Indikasi
Indikasi tes keseimbangan ini untuk lansia dengan gangguan fungsi
keseimbangan.

2.4.4 Alat dan Bahan yang Diperlukan


1) Alat Tulis
2) 2 kursi
3) Lembar observasi BBS
4) Tempat untuk berjalan
5) Stopwatch
30

2.5 Kerangka Konsep

Perubahan yang terjadi


Faktor Interinsik: pada lansia:
1. Gangguan jantung
2. Gangguan Gerak
gerak 1. Sensoris Faktor Eksterinsik
2. Gangguan
2. Integumen dan Situasional:
3. Gangguan sistem 3. Muskuloskeletal
3. Muskuloskeletal 1. Lingkungan
syaraf 4. Neurologis
4. Gangguan rumah
5. Kardiovaskuler
pendengaran 2. Pencahayaan
6. Pulmonal
5. Gangguan 3. Penggunaan alat
7. Endokrin
penglihatan bantu
8. Urinaria
6. Gangguan 4. Aktivitas sehari-
9. Gasrointestinal
psikologis hari

Kejadian Jatuh

Balance Exercise
Dengan 13 Latihan Gerakan

Jatuh: Tidak Jatuh:

1. Nyeri 1. Meningkatnya Keseimbangan


2. Trauma tubuh
3. Cedera 2. Meningkatnya kekuatan otot
4. Fraktur 3. Meningkatknya ADL
5. Fungsional lansia menurun 4. Meningkatnya Kualitas Hidup
6. Hematoma
7. Muncul penyakit lain

Keterangan:
Diteliti :

Tidak diteliti :

Gambar 2.11 Kerangka Konseptual Pengaruh Balance Exercise Terhadap


Kejadian Jatuh Pada Lansia Di Wilayah Ngesong Dukuh Kupang
Surabaya
31

2.6 Penjelasan Kerangka Konsep


Berdasarkan variabel diatas banyak perubahan yang terjadi pada lansia
seperti: perubahan sensoris, integumen, musculoskeletal, neurologis,
kardiovaskeler, pulmonal, endokrin, urinaria dan gastrointestinal. Pada penelitian
ini peneliti menfokuskan perubahan musculoskeletal lansia yang dapat
mengakibatkan kejadian jatuh. Perubahan pada lansia yang menyebabkan jatuh,
terdapat 3 faktor risiko yaitu: Faktor interinsik terdiri dari gangguan jantung,
gangguan gerak, gangguan sistem syaraf, gangguan pendengaran, gangguan
penglihatan, gangguan psikologis. Faktor Eksterinsik dan Situasional terdiri dari
lingkungan rumah, pencahayaan, penggunaan alat bantu, aktivitas sehari-hari
Untuk itu peneliti memberikan penatalaksanaan berupa latihan
keseimbangan yaitu balance exercise dengan 13 latihan gerakan. Setelah
dilakukan balance exercise akan dilakukan penilian kejadian jatuh untuk
mengetahui pengaruh balance exercise terhadap kejadian jatuh pada lansia di
wilayah Ngesong dukuh kupang, jika lansia tidak mengalami kejadian jatuh maka
dampak positif yang dapat dirasakan adalah meningkatnya keseimbangan tubuh,
meningkatnya kekuatan otot, meningkatknya ADL, dan meningkatnya kualitas
hidup. Tetapi jika lansia mengalami kejadian jatuh dampak negatifnya adalah
nyeri, trauma, cedera, fraktur, fungsional lansia menurun, hematoma, dan muncul
penyakit lain.

2.7 Hipotesis
Hipotesa adalah suatu pernyataan asumsi tentang hubungan antara dua atau
lebih variabel dan diharapkan bisa menjawab suatu pertanyaan dalam penelitian
(Nursalam, 2008).
Pada penelitian ini hipotesisnya adalah sebagai berikut:
H0 : Tidak ada pengaruh balance exercise terhadap kejadian jatuh pada lansia di
wilayah Ngesong Dukuh Kupang.
H1 : Ada pengaruh balance exercise terhadap kejadian jatuh pada lansia di
wilayah Ngesong Dukuh Kupang.
32
BAB 3
METODE PENELITIAN

Pada bab ini diuraikan tentang desain penelitian waktu dan tempat
penelitian kerangka penelitian, populasi, sampel, sampling, identifikasi variabel,
definisi operasional, pengumpulan data, serta etika penelitian.

3.1 Desain Penelitian


Desain penelitian adalah suatu strategi untuk mencapai tujuan penelitian
yang telah ditetapkan dan berperan sebagai pedoman atau penuntun peneliti pada
seluruh proses penelitian (Nursalam, 2016). Berdasarkan tujuan penelitian, desain
penelitian ini menggunakan rancangan penelitian eksperimental semu (quasi-
experimental) dengan rancangan non-equivalent control group, yaitu rancangan
berupa pengungkapan sebab akibat dengan cara melibatkan kelompok kontrol
disamping kelompok eksperimental. Kelompok eksperimental diberi perlakuan
sedangkan kelompok kontrol tidak. Tetapi pemilihan kedua kelompok ini tidak
menggunakan teknik acak. Penelitian ini biasanya menggunakan kelompok subjek
yang telah terbentuk secara wajar (rumpun). Pada kedua kelompok perlakuan
diawali dengan pra-test dan setelah dilakukan pemberian perlakuan diadakan
pengukuran kembali/pasca-test (Nursalam, 2016).

Gambar 3.2 Desain Quasi Experimental


Sumber: (John, 2018)

3.2 Waktu dan Tempat


Waktu penelitian dilaksanakan mulai Bulan Februari - Maret Tahun 2019.
Penelitian akan dilaksanakan di Wilayah Ngesong Dukuh Kupang.
32

3.3 Kerangka Penelitian

Populasi
N: 60

Sampel:
n : 52

Tehnik sampling: Purposive Sampling

26 Kelompok Intervensi 26 Kelompok Kontrol

Penilaian Balance Exercise

Pre Kuesioner Kejadian Jatuh Pre Kuesioner Kejadian Jatuh

Balance Exercise Tidak dilakukan perlakuan

Post Kuesioner Kejadian Jatuh Post Kuesioner Kejadian Jatuh

Uji Statistik
Mc Nemar dan Chi Square

Penyajian hasil dan pembahasan

Simpulan

Gambar 3.2 Kerangka Penelitian Pengaruh Balance Exercise terhadap Kejadian


Jatuh pada Lansia di Wilayah Ngesong Dukuh Kupang.
33

3.4 Populasi, Sampel, Sampling, dan Definisi Operasional


3.4.1 Populasi
Populasi merupakan seluruh subjek atau objek dengan karakteristik tertentu
yang akan diteliti (Hidayat, 2013). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah lansia diatas usia 60 tahun di wilayah Ngesong Dukuh Kupang, dengan
populasi 60 orang
3.4.2 Sampel
Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah
dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Hidayat, 2013). Untuk menentukan
layak atau tidaknya sampel yang akan diteliti ditentukan berdasarkan kriteria
berikut :
Inklusi:
1. Lansia yang tidak memiliki gangguan penglihatan
2. Lansia yang tidak memiliki gangguan pendengaran
3. Lansia yang tidak memiliki keterbatasan fisik
4. Lansia dengan fungsi kognitif baik

Eksklusi:

1. Riwayat fraktur pada extremitas bawah.


2. Hipotensi ortostatik.
3. Atrofi disalah satu atau kedua tungkai (Meylisa, 2012).

Keterngan :
n : Jumlah sampel
N : Jumlah populasi
d : Tingkat populasi
Menghitung Sampel :
34

3.4.3 Sampling
Sampling adalah suatu proses seleksi sampel yang digunakan dalam
penelitian dari populasi yang ada. Sehingga jumlah sampel akan mewakili
keseluruhan populasi yang ada. Teknik sampling merupakan cara yang ditempuh
dalam pengambilan sampel, agar memperoleh sampel yang benar sesuai dengan
keseluruhan subjek penelitian. Dalam penelitian ini menggunakan purposive
sampling yaitu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara
populasi sesuai yang dikehendaki peneliti (tujuan/masalah penelitian) sehingga
sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi (Nursalam, 2016). Dalam
penelitian ini sampel yang mewakili seluruh populasi dibagi menjadi 2 kelompok
yaitu kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

3.4.4 Definisi Operasional


Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional
berdasarkan karakteristik, sehingga memungkinkan peneliti melakukan observasi
atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek (Hidayat, 2007). Definisi
operasional ini digunakan untuk membatasi ruang lingkup atau pengertian
variabel-variabel diamati. Definisi operasional ini juga bermanfaat untuk
mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap variabel-variabel
yang bersangkutan serta pengembangan instrument/alat ukur (Notoadmojo, 2007).
35

Tabel 3.1 Definisi Operasional: Pengaruh Balance Exercise terhadap Kejadian


Jatuh pada Lansia.

Variabel Definisi Parameter Alat ukur Skala/ Skore


Operasional jenis data
Intervening: Suatu latihan 1. Keseimbangan Berg - -
Balance untuk membantu Dinamis (saat Balance
Exercise meningkatkan diam) Scale
kekuatan otot dan 2. Keseimbangan (BBS)
keseimbangan Statis (saat
tubuh pada lansia bergerak)
3. 13 Latihan
gerakan
4. Dilakukan 2-
3x/minggu
selama 1 bulan
dengan durasi 25
menit

Dependent: Suatu kejadian 1. Jatuh terlentang Kuesioner Nominal


Kejadian tiba – tiba dan 2. Jatuh miring kejadian Kriteria:
Jatuh Lansia tidak disengaja 3. Jatuh tengkurap jatuh yang Ya: 1
yang membuat 4. Jatuh duduk diadopsi Tidak: 0
seseorang berada 5. Jatuh berdiri dari
dititik rendah (Yektining
sih, 2012)
36

3.5 Strategi penelitian pengumpulan data dan analisa data


3.5.1 Instrumen penelitian
Instrumen adalah alat/fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam
mengumpulkan data (Arikunto, 2006). Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah lembar kuesiner dan lembar observasi. Pada penelitian ini
jenis instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data adalah lembar kuesioner
kejadian jatuh yang diadop dari (Yektiningsih, 2012). Dan sebagai alat bantu
penelitian akan ditambahkan lembar observasi berg balance scale untuk
memastikan bahwa prosedur balance exercise sesuai dengan konsep yang ada di
bab 2.

3.5.2 Pengumpulan Data


Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan proses
pengumpulan karakter subjek yang diperlakukan dalam suatu penelitian
(Nursalam, 2015). Sebelum pengumpulan data dilakukan, ada beberapa hal yang
harus diperhatikan, diantaranya :
1. Peneliti mempunyai surat izin penelitian dari Direktur Akper Adi Husada
Surabaya.
2. Peneliti mempunyai surat izin penelitian dari Bakesbang
3. Penelitimempunyai surat izin penelitian dari Kecamatan Dukuh Pakis
4. Peneliti mempunyai surat izin penelitian dari RW 006 Ngesong Dukuh
Kupang
5. Peneliti ke lokasi penelitian memberikan penjelasan kepada keluarga &
responden tentang tujuan dari penelitian.
6. Peneliti memberikan lembar persetujuan menjadi responden (informed
concent) ke masyarakat
7. Peneliti menilai balance exercise responden dengan lembar observasi berg
balance scale
8. Peneliti memberikan kuesioner kejadian jatuh pada responden (kelompok
intervensi dan kelompok kontrol) sebelum dilakukan balance exercise
9. Peneliti memberikan kuesioner kejadian jatuh pada responden (kelompok
intervensi dan kelompok kontrol) setelah dilakukan balance exercise
3.5.3 Analisa Data
Analisa data sering disebut sebagai pengolahan data dan juga disebut
sebagai data preparation. Tahapan dalam analisa data ini adalah :
1. Editing
37

Editing adalah mengoreksi atau melakukan pengecekan data masuk,


apakah terdapat kekeliruan dalam kategori yang sama.
2. Coding
Coding adalah pemberian simbol, bagi tiap-tiap data yang
termasuk dalam kategori yang sama.
1) Untuk kode jawaban pada lembar kuesioner kejadian jatuh:
Jawaban Ya (Jatuh) 1, jawaban Tidak (Tidak Jatuh) 0
2) Untuk kode jawaban pada lembar obeservasi Berg Balance Scale :
Jika total skor 1-28 (Keseimbangan Buruk), 29-56 (Keseimbangan
Baik)
3. Tabulating
Tabulating adalah pengorganisasian data sedemikian rupa agar
dengan mudah dapat dijumlahkan, disusun dan ditata untuk disajikan dan
dianalisis. Dimana peneliti memasukkan data yang telah terkumpul ke
dalam tabel distribusi frekuensi (Arikunto, 2006).
4. Scoring
Scoring atau cara penelitian adalah jawaban responden dari
masing-masing pertanyaan dijumlahkan lalu dibandingkan dengan
jumlah yang diharapkan kemudian dikalikan 100 dan hasilnya berupa
responden.

Rumus : P

Keterangan :
P : presentase
N : jumlah seluruh nilai
n : nilai yang di peroleh
38

5. Uji Statistic
Uji statistic dalam penelitian ini menggunakan uji McNemar dan Chi
Square.
1. Uji statistik Mc Nemar adalah salah satu uji statistik non parametris
yang digunakan untuk menguji perbedaan 2 sampel berpasangan,
bentuk skala data yang digunakan yaitu skala nominal. Pada umumnya
uji McNemar digunakan untuk mengukur sebelum dan setelah
diberikan suatu perlakuan pada sampel tersebut, bentuk isian data
hanya ada dua pilihan misalnya “Ya” atau “Tidak” (Hidayat, 2007).
2. Uji statistik Chi Square adalah salah satu jenis uji komparatif non
parametris yang dilakukan pada dua variable dengan skala data
nominal. Uji statistik Chi Square dapat digunakan untuk mengestimasi
atau mengevaluasi frekuensi yang diselidiki atau menganalisis hasil
observasi untuk mengetahui apakah terdapat hubungan atau perbedaan
yang signifikan pada penelitian (Hidayat, 2007).

3.5.4 Etika Penelitian


Penelitian yang menggunakan objek manusia tidak boleh bertentangan
dengan etika agar hak responden dapat terlindungi, penelitian dilakukan dengan
menggunakan etika sebagai berikut (Nursalam, 2008). Peneliti dilaksanakan
dengan berpedoman kepada masalah etik meliputi :
1. Memberikan Informed Consent (Lembar Persetujuan)
Lembar persetujuan disedarkan kepada responden sebelum penelitian
dilaksanakan terlebih dahulu responden mengetahui maksud dan tujuan
penelitian serta dampak yang akan terjadi selama pengumpulan data. Jika
responden bersedia diteliti maka harus menandatangani lembar persetujuan
tersebut, bila bersedia maka peneliti harus tetap menghormati hak-hak
responden.
2. Anonymity (Tanpa Nama)
Dalam menjaga kerahasiaan identitas responden, peneliti tidak
mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data dan cukup
memberikan kode.
3. Confidentiality (Kerahasiaan)
Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dan kerahasiaan dari
responden dijamin peneliti.
4. Justice (Keadilan)
39

Mempertimbangkan hak subjek untuk mendapatkan perlakuan yang sama


sebelum, selama dan sesudah penelitian. Dalam penelitian ini kelompok
control akan diberikan perlakuan setelah dilakukan post test. (Wibowo,
2016)
40

DAFTAR PUSTAKA

Astriyana, S. (2012). Pengaruh Latihan Keseimbangan terhadap Penurunan Risiko


Jatuh pada Lansia. Journal Ilmu Keperawatan , 30-42.
Azizah, L. M. (2011). Keperawatan Lanjut Usia. Jogyakarta: Graha Ilmu.
Cieayundacitra. (2010). Asuhan Keperawatan Pada Lansia dengan Gangguan
Penglihatan. Jakarta: EGC.
Darmojo, & Boedhi. (2014). Beberapa Masalah dan Penyakit pada Usia Lanjut.
Jakarta: FKUI.
Darmojo, R. M. (2004). Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Jakarta: FKUI.
Erda. (2013). Faktor-Faktor yang menyebabkan risiko jatuh pada lansia. Jakarta:
FKUM.
Hidayat, A. A. (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data.
Jakarta: Salemba Medika.
John. (2018). Types Of Evaluation Designs. American: K4Health.
Kholifah, S. N. (2016). Keperawatan Gerontik. Jakarta: Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.
Langley, & Mackintosh. (2007). Breg Balance Scale. English: Knowledge For
Health.
Maryam, R. S. (2013). Pedoman Pencegahan Jatuh Bagi Lansia Di Rumah.
Jakarta: Kemkes RI.
Maryam, R. S. (2009). Pengaruh Latihan Keseimbangan terhadap Keseimbangan
Tubuh Lansia. Jakarta: FKUI.
Mastitoh, I. (2013). Pengaruh Balance Exercise Terhadap Keseimbangan Postural
Lansia di Posyandu Abdi Sembilan Gonilan Sukoharjo. Jurnal Ilmu
Kesehatan , 1-12.
Mauk, K. L. (2010). Gerontology Nursing Competencies for Care. Sudbury: Janes
and Barlet Publisher.
Meylisa. (2012). Standart Operasional Prosedur Balance Exercise. Jakarta: EGC.
Meylisa, A. (2012). Pengaruh Balance Exercise Terhadap Peningkatan Status
Keseimbangan Fungsional Pada Wanita Di Posyandu Lansia Ngadisono
Kadipiro Surakarta. 30.
Newton, R. (2003). Falls. Kellog Internasional Work Group.
41

Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Nursalam. (2008). Konsep Penetapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Jakarta: EGC.
Nursalam. (2015). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.
Nursalam. (2016). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.
Ottawa. (2017, 10). Sterght and Balance Exercise. Public Health sante publique ,
p. 2.
Setiadi, I. A. (2006). Memahami Dinamika Keluarga Pasien. Bandung: Refika
Aditama.
Shumway, & Emerita. (2013). Ankle Strategy Exercise.
Stanley, M., & Beare, P. (2006). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC.
Suadirman, & Siti, P. (2011). Psikologi Lanjut Usia. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press .
Subarjrah. (2012). Latihan Kondisi Fisik. Jakarta: Balai Pustaka.
Tinneti, M. E. (2003). Prevering Falls In Elderly Person . N Eng: J Med.
Wibowo, E. P. (2016). Pengaruh Ankle Strategy Exercise Terhadap Keseimbangan
Postural Pada Lansia Di Unit Pelayanan Sosial Wening Wardoyo. Jurnal
Ilmu Keperawatan , 24-26.
Yektiningsih. (2012). Hubungan Pengetahuan Keluarga dengan 0upaya
Pencegahan Jatuh. Jakarta.
Yuliana, S., Adiatmika, i. P., & Irfan, M. (2014). Pelatihan Kombonasi Core
Stability Exercise dan Ankle Strategy Exercise Tidak Lebih Meningkatkan
Keseimbangan Statis Mahasiswa S1 Fisioterapi STIKES Aisyiyah
Yogyakarta . Sport and Fitness Journal , Volume 2, No.2 : 63-73.

Lampiran 1
LEMBAR PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN
42

Kepada
Yth. Bapak/Ibu Calon Responden
Di Wilayah Ngesong Dukuh Kupang

Dengan Hormat,
Sebagai persyaratan kelulusan program D-III Akademi Keperawatan Adi
Husada Surabaya, saya akan melakukan penelitian tentang “PENGARUH
BALANCE EXERCISE TERHADAP KEJADIAN JATUH PADA LANSIA”.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh balance exercise
terhadap kejadian jatuh pada lansia. Untuk keperluan tersebut saya mohon
kesedian bapak/ibu untuk menjadi responden dalam penelitian ini.
Demikian permohonan ini saya buat, atas kerjasama dan partisipasinya
kami ucapkan terima kasih.

Surabaya, Januari 2019

Peneliti

Lampiran 2

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Setelah diberikan penjelasan oleh peneliti tentang tujuan penelitian untuk


mempelajari “PENGARUH BALANCE EXERCISE TERHADAP KEJADIAN
43

JATUH PADA LANSIA”. Maka dengan ini kami menyatakan bersedia menjadi
responden untuk membantu dan berperan serta dalam kelancaran penelitian
tersebut.

Surabaya, Januari 2019


Responden

(………………..)

Lampiran 3

DATA UMUM PENGARUH BALANCE EXERCISE


TERHADAP KEJADIAN JATUH PADA LANSIA

*) Petunjuk Pengisian:

Berikan tanda centang ( ) sesuai dengan jawaban anda.


44

A. DATA DEMOGRAFI
Nomer Urut :

Usia menurut WHO : 45 – 59 thn 60 – 74 thn >75thn

Jenis Kelamin : Laki-laki Perempuan

Pekerjaan : Swasta Wiraswata Tidak Bekerja

Pendidikan : TS SD SMP
SMA/SMK PT

B. DATA FAKTOR RISIKO JATUH


1. Apakah anda mempunyai riwayat jatuh sebelumnya?
Ya Tidak
Jika jawaban Ya, pertanyaan dilanjutkan.
2. Apakah anda mengalami gangguan gaya berjalan (diseret, menghentak,
diayun)?
Ya Tidak
3. Apakah anda sering mengalami pusing atau pingsan saat posisi tegak?
Ya Tidak
4. Apakah anda sering mengalami kebingungan?
Ya Tidak
5. Apakah anda mengalami gangguan pendengaran dan peng;ihatan?
Ya Tidak
Lampiran 4

DATA KHUSUS
KUESIONER KEJADIAN JATUH

*) Petunjuk Pengisian:

Berikan tanda centang ( ) sesuai dengan jawaban anda.

1. Apakah anda pernah jatuh selama bulan januari-februari 2019?


Ya Tidak
Jika Ya, bagaimana posisi jatuh anda?
45

Posisi terlentang
Posisi tengkurap
Posisi miring
Posisi terduduk
Posisi berdiri
Setelah jatuh apakah ada komplikasi yang anda rasakan?
Cedera kepala
Nyeri
Sendi bergeser
Lebam
Patah tulang
Perdarahan
Luka
Skore:
Ya (Jatuh) 1
Tidak (Tidak Jatuh) 0
46

Lampiran 5
SPO (STANDAR PROSEDUR OPRASIONAL)
BALANCE EXERCISE
1. Pengertian Balance exercise adalah latihan khusus untuk
membantu meningkatkan kekuatan otot pada
anggota gerak bawah dan system vestibular atau
keseimbangan tubuh (Jowir, 2012)
2. Tujuan Balance exercise bertujuan untuk meningkatkan
keseimbangan statis, dinamis, dan aktivitas
keseimbangan fungsional melalui peregangan
dan kekuatan. Selain itu,balance exercise juga
menimbulkan kontraksi otot pada lansiayang
dapat mengakibatkan peningkatan serat otot
sehingga komponen system metabolisme
fosfagen, termasuk ATP danfosfokreatin yang
dapat meningkatkan kekuatan otot padalansia
sehingga terjadi peningkatan keseimbangan
3. Indikasi Lansia berusia > 60 tahun yang mengalami
gangguan keseimbangan atau beresiko tinggi
cedera/jatuh dan telah mengalami kejadian jatuh
4. Alat dan ketentuan Kursi dengan / tanpa pegangan lengan atau
latihan tempat tidur. Latihan dilakukan setiap 2 hari
sekali. Lama latihan dilakukan selama 25 menit,
dengan pemanasan 5 menit, dan latihan 20 menit
5. Persiapan Klien Beri salam dan Perkenalkan diri
Identifikasi identitas klien
Jelaskan tujuan tindakan intervensi
Jelaskan langkah-langkah intervensi yang
akandilakukan
Jelaskan lama intervensi
Atur tempat dan kenyamanan posisi klien
6. Cara kerja Latihan Keseimbangan:
1. Lakukan pemanasan terlebih dahulu selama 5
menit dengan memutar telapak kaki
2. Lakukan gerakan fleksi tumit kaki/plantar
47

sebanyak 8-15 kali, lalu istirahatkan sebentar.


3. Lakukan gerakan fleksi paha sebanyak 8-15
kali, lalu istirahatkan sebentar.
4. Lakukan gerakan mengangkat kaki
kebelakang sebanyak 8-15 kali, lalu
istirahatkan sebentar.
5. Lakukan gerkanan mengangkat kaki ke
samping, sebanyak 8-15 kali lalu istirahatkan
sebentar.
6. Lakukan gerakan jinjit dengan tangan
berpegangan pada kursi, lakukan sebanyak 8-
15 kali lalu istirahat sebentar.
7. Lakukan gerakan mengangkat lutut kanan,
lakukan sebanyak 8-15 kali lalu istirahat
sebentar.
8. Lakukan gerakan berjalan satu garis,
tempatkan satu kaki tepat didepan kaki yang
lain hingga membentuk garis lurus, lalu
berjalan dalam garis lurus tersebut.
9. Lakukan gerakan duduk lalu berdiri dengan
berpegangan tangan, lakukan hingga 5 kali
lalu istirahat sebentar.
Latihan Peningkatan Kekuatan Otot:
10.Berdiri tegap pandangan kedepan, kepala
maju dan tubuh menyertai pergeseran ke
depan ditengah-tengah massa.
11. Kepala mundur dan tubuh menyertai
pergeseran kebelakang ditengah-tengah
massa.
12.Kepala kesamping kanan dan tubuh
menyertai pergeseran kesamping ditengah-
tengah massa tubuh.
13.Kepala kesamping kiri dan tubuh menyertai
pergeseran kesamping ditengah-tengah massa
tubuh.
7. Evaluasi Evaluasi kenyamanan klien selama dansesudah
tindakan.
Buat kontrak untuk pertemuan selanjutnya
48

Mengakhiri pertemuan dengan baik


49

Lampiran 6

LEMBAR OBSERVASI BERG BALANCE SCALE

*) Petunjuk Pengisian:

Berikan tanda centang ( ) sesuai dengan kemampuan responden!

Pertanyaan:
Apakah anda sudah pernah melakukan Balance Exercise sebelumnya?
No. Item Skor (0-4) Nilai
1 2 3 4
Keseimbangan
1. Duduk 4 = dapat berdiri tanpa menggunakan
keberdiri tangan dan menstabilkan independen
3 = mampu berdiri secara independen
menggunakan tangan
2 = mampu berdiri menggunakan tangan
setelat mencoba
1 = perlu asisten sedang atau maksimal
untuk berdiri
2. Berdiri tanpa 4 = dapat berdiri dengan aman selama 2
penunjang menit
3 = mampu berdiri 2 menit dengan
pengawasan
2 = dapat berdiri 30 detik yang tidak
dibantu atau ditunjang
1 = membutuhkan beberapa waktu untuk
mencoba berdiri
3. Duduk tanpa 4 = dapat duduk dengan aman selama 2
penunjang menit
3 = dapat duduk 2 menit dengan
penhawasan
2 = mampu duduk selama 30 detik
1 = dapat duduk 10 detik
4. Berdiri ke 4 = duduk dengan aman dengan
duduk menggunakan minimal tangan
3 = mengontrol posisi turun dengan
50

menggunakan tangan
2 = mengguankanpunggung kursi untuk
mengontrol turun.
1 = duduk dengan bantuan
5. Transfer 4 = dapat menftransfer aman dengan
penggunaan ringan tangan
3 = dapat mentransfer kebutuhan yang
pasti aman dari tangan
2 = dapat mentransfer dengan
pengawasan
1 = membutuhkan bantuan orang lain
6. Berdiri dengan 4 = dapat berdiri 10 detik dengan aman
mata tertutup 3 = dapat berdiri 10 detik dengan
pengawasan
2 = mampu berdiri 3 detik
1 = membutuhkan bantuan orang lain
agar tidak jatuh
7. Berdiri dengan 4 = mampu menempatkan kaki secara
kaki rapat indepanden dan aman
3 = mampu menempatkan kaki secara
independen dengan pengawasan
2 = mampu menempatkan kaki tapi tidak
tahan selama 30 detik
1 = memerlukan bantuan orang lain agar
tidak jatuh
8. Menjangkau 4 = dapat menjangkau kedepan dengan
kedepan percaya diri 25 cm
dengan tangan 3 = dapat menjangkau kedepan 12 cm
2 = dapat mencapai kedepan 5 cm
1 = dapat mencapai kedepan dengan
pengawasan dan bantuan
9. Mengambil 4 = dapat mengambil dengan aman dan
barang dari mudah
lantai 3 = dapat mengambil dengan pengawasan
2 = tidak dapat mengambil tetapi
mencapai 2-5 cm
51

1 = tidak dapat mencoba


10. Menoleh 4 = tampak belakang dan dapat bergeser
kebelakang baik
3 = tampak belakangan dan bergeser
kurang baik
2 = hanya menyamping tapi tetap
mempertahankan keseimbangan
1 = perlu pengawan dan bantuan
11. Berputar 360 4 = mampu berputar dengan aman
derajat 3= mampu berputar dengan pengawasan
2 = mampu berputar dengan perlahan
1 = membutuhkan pengawasan dan
bantuan
12. Menempatkan 4 = mampu berdiri secara independen
kaki dengan aman dan menyelesaikan 8
bergantian langkah <20 detik
dibangku 3 = mampu berdiri secara independen
dan menyelesaikan 8 langkah > 8 detik
2 = dapat menyelesaikan 4 langkah tanpa
bantuan
1 = membutuhkan bantuan agar tidak
jatuh
13. Berdiri dengan 4 = mampu menempatkan tendon
satu kaki kakisecara independen dan tahan 30 detik
didepan 3 = mampu menmpatkan kaki kedepan
independen dan tahan 30 detik
2 = mampu mengambil langkah kecil
secara mandiri dan tahan 30 detik
1 = perlu pengawasan dan bantuan agar
tidak jatuh
14. Berdiri dengan 4 = mampu mengangkat kaki secara
satu kaki independen dan tahan > 10 detik
3 = mampu mengangkat kaki secara
independen da tahan 5-10 detik
2 = mampu mengangkat kaki secara
independen dan tahan < 3 detik
52

1 = tidak dapat mencoba


Total Skore = 56
Interpretasi
Baik 29 – 56
Buruk 1 – 28
53

Lampiran 7

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Information Of Qualification
Informasi Tentang Kualifikasi

1. Name : Herlin Sagita Kharisma Putri


Nama Lengkap :Herlin Sagita Kharisma Putri

2. Place and Date of Birth : October 26, 1997Surabaya


Tempat dan Tanggal Lahir : Surabaya, 26 Oktober 1997

3. Student Identification Number : 1611029


Nomer Register Mahasiswa : 1611029

4. Honor And Awards :-


Penghargaan dan penghormatan :-

5. Organizational Experiences : Senma Nursing Academy


Pengalaman Berorganisasi : Senma Akademi Keperawatan

6. Spesification Of The Final Project : The effect of Balance Exercise on


the incidence of falls in the elderly
in the area Ngesong Dukuh Kupang
Surabaya
Spesifikasi Tugas Akhir/Judul :PengaruhBalance Exercise terhadap
Kejadian Jatuh pada Lansia di
Wilayah Ngesong Dukuh Kupang
Surabaya

Surabaya, 8 Januari 2019

Herlin Sagita Kharisma Putri

Anda mungkin juga menyukai