Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

Manusia tumbuh dan berkembang dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan lansia

(lanjut usia). Lansia (lanjut usia) adalah suatu tahap lanjut yang dilalui dalam proses

kehidupan pada setiap manusia yang ditandai dengan penurunan kemampuan dan fungsi

tubuhnya baik secara fisik maupun psikologis.

Menurut World Health Organitation (WHO), batasan lansia meliputi usia

pertengahan (Middle Age) antara usia 45-59 tahun, usia lanjut (Elderly) usia antara 60-

74 tahun, usia lanjut tua (Old) usia antara 75-90 tahun, usia sangat tua (Very Old) usia

90 tahun ke atas. Tahun 2020 diperkirakan jumlah lansia Indonesia akan menempati

urutan ke 6 terbanyak di dunia dan melebihi jumlah lansia di Brazil, Meksiko, dan

Negara Eropa.

Pada lansia yang memiliki banyak penurunan pada fisiologis tubuh, terutama yang

berpengaruh pada pengontrol keseimbangan seperti penurunan kekuatan otot, perubahan

posture, kadar lemak yang menumpuk pada daerah tertentu, penurunan propioseption,

penurunan visual. jika hal tersebut terjadi akan terjadi kontrol keseimbangan yang

kurang baik bagi lansia sehingga dapat meningkatkan resiko jatuh pada lansia. Ketika

otot-otot yang berperan dalam keseimbangan tubuh tersebut bekerjasama untuk

membentuk kekuatan yang bertujuan mempertahankan posisi badan sesuai dengan

alignment tubuh yang simetri agar menjadi lebih stabil ketika digerakkan atau

digunakan ketika bergerak. Gerak yang dihasilkan ketika tubuh memiliki kemampuan

untuk stabil merupakan gerak yang efektif dan efisien sehingga dapat mengurangi

resiko jatuh dan cidera, juga dapat meningkatkan kemampuan fungsional.

1
Fisioterapi dalam hal ini sangat berperan terhadap peningkatan gerak dan fungsi

terutama pada lansia sehingga Qualitas of life lansia akan baik dan bisa menikmati

kehidupan tanda memerlukan bantuan sepenuhnya dari orang lain.

Gangguan keseimbangan postural merupakan hal yang sering terjadi pada lansia.

Jika keseimbangan postural lansia tidak dikontrol, maka akan dapat meningkatkan

resiko jatuh. Latihan fisik berupa latihan keseimbangan pada lansia diperlukan untuk

mengurangi kemungkinan kejadian jatuh. Karena komplikasi lebih lanjut akibat jatuh

adalah kematian.

Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) terjadi peningkatan UHH pada tahun 2010

populasi lansia adalah 7,56% dan pada tahun 2011 menjadi 7,58%. Sementara itu

Sumber Profil Kesehatan Indonesia tahun 2012, memberikan gambaran proporsi lansia

di Indonesia 7,6% atau sekitar 18,5 juta orang. UN, World Population Prospect

menyatakan pada tahun 2013 jumlah lansia di Indonesia mengalami kenaikan menjadi

8.9%. Sekitar 30-50% dari populasi lanjut usia (berusia 65 tahun) ke atas mengalami

jatuh setiap tahunnya (Nugroho, 2008). Insiden jatuh di Indonesia tercatat dari 115

penghuni panti sebanyak 30 lansia atau sekitar 43.47% mengalami jatuh.

Gangguan keseimbangan postrural menjadi salah satu penyebab terjadinya jatuh

pada lanjut usia yang dapat menyebabkan patah tulang, keseleo pada otot, perlukaan

jaringan bahkan jatuh dapat menyebabkan kematian pada lansia. Dari beberapa faktor

tersebut yang menjadi penyebab utama gangguan keseimbangan postural pada lansia

adalah faktor penuaan (Avers, 2017). Salah satu diantaranya adalah perubahan struktur

otot, yaitu penurunan jumlah dan ukuran serabut otot (atrofi otot). Jika sistem

musculoskeletal menurun maka pelepasan kalsium (Ca) oleh Retikulum Sarcoplasma

2
tidak optimal sehingga mengakibatkan kekuatan tarik menarik antara aktin dan mosin

tidak optimal sehingga mengakibatkan kontraksi tidak optimal dan menyebabkan

keseimbangan tidak terbentuk dengan baik (goyang / tidak mampu berdiri dengan

tegap). Kejadian jatuh pada lansia juga dipengaruhi oleh faktor intrinsik seperti

gangguan gaya berjalan, kelemahan otot ekstremitas bawah, kekakuan sendi (Darmojo,

2018). Dampak perubahan morfologis pada otot ini dapat menurunkan kekuatan otot

(Pudjiastuti, 2019). Atrofi serabut otot dapat menyebabkan seseorang bergerak menjadi

lamban (Nugroho, 2018). Penurunan massa otot, kekakuan jaringan penyambung

menyebabkan penurunan kekuatan otot terutama pada ekstermitas yang mengakibatkan

kelambanan bergerak kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan cenderung gampang

goyah. Penurunan kekuatan otot juga menyebabkan terjadinya penurunan mobilitas

pada lansia. Karena kekuatan otot merupakan komponen utama dari kemampuan

melangkah, berjalan dan keseimbangan (Guccione, 2017).

Metode nonfarmakologi yang dikembangkan untuk mengurangi resiko jatuh pada

lansia adalah dengan menggunakan teknik balance strategy exercise dan 12 balance

exercise. Pada pelatihan Balance Strategy Exercise manfaat yang akan diperoleh berupa

peningkatan functional stability limit, perbaikan sistem motoris, perbaikan kontrol

postural, serta peningkatan stabilitas dinamik. Sebaliknya, pelatihan 12 Balance

Menurut Apriyani, 2014 fungsi tubuh mencapai puncaknya pada umur 20-30

tahun. Setelah mencapai puncak, fungsi alat `tubuh akan berada dalam kondisi tetap

utuh beberapa saat kemudian menurut sedikit demi sedikit sesuai bertambahnya umur.

Perubahan fungsi fisiologis biasanya dialami oleh lansia. Perubahan fungsi fisiologis ini

antara lain penurunan kekuatan otot, kontraksi otot, elastisitas otot, fleksibilitas otot,

3
kecepatan gerak dan waktu reaksi gerakan yang lambat. Keadaan yang seperti ini

mengakibatkan penurunan keseimbangan pada lansia.

Penurunan keseimbangan yang dialami oleh lansia mengakibatkan beberapa risiko

antara lain ketidakpercayaan diri lansia dalam beraktivitas mengakibatkan intoleransi

aktivitas pada lansia, risiko jatuh, cidera kepala, cidera 2 muskuloskeletal dan beberapa

kecelakaan yang diakibatkan oleh jatuh. Berdasarkan survei di Amerika Serikat, sekitar

30% lansia umur lebih dari 65 tahun jatuh setiap tahunnya, separuh dari angka tersebut

mengalami jatuh berulang (Annafisah dkk, 2013). Penurunan keseimbangan pada orang

tua dapat diperbaiki dengan berbagai latihan keseimbangan. Komponen keseimbangan

dalam latihan akan menurunkan insisdensi jatuh pada lanjut usia sebesar 17%. (Darmojo

dalam Annafisah dkk , 2013).

Salah satu latihan keseimbangan yang dapat dilakukan adalah balance exesice.

Balance exercise merupakan aktivitas fisik yang dilakukan untuk meningkatkan

kestabilan tubuh dengan meningkatkan kekuatan otot ekstremitas bawah. (Nyman dalam

Masitoh, 2013). Balance exercise dilakukan dalam 3 kali dalam seminggu selama 5

minggu adalah frekuensi yang optimal, dan dapat meningkatkan keseimbangan postural

lansia dan mencegah timbulnya jatuh (Skelton dalam Masitoh , 2013).

4
BAB II
TINJAUAN KASUS

A. Tinjauan Tentang Keseimbangan

1. Definisi Keseimbangan

Keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan pusat gravitasi

atas dasar dukungan, biasanya ketika dalam posisi tegak. Keseimbangan terbagi

menjadi 2 yaitu statis dan dinamis (Abrahamova & Hlavacka, 2008).

Keseimbangan dapat diartikan juga sebagai kemampuan untuk mempertahankan

pusat gravitasi (center of gravity) atas dasar dukungan bidang tumpu (base of

support) (Mauk, 2010).

2. Mekanisme Keseimbangan Postural

Mekanisme keseimbangan postural yaitu visual, vestibular, proprioceptive.

Pada lansia mengalami perubahan struktur mata yaitu atropi dan hialinisasi pada

muskulus siliaris yang dapat meningkatkan amplitudo akomodasi. Hal ini dapat

meningkatkan ambang batas visual sehingga dapat mematahkan impuls afferen

yang kemudian dapat menurunkan visual manula, dan pada akhirnya akan

mempengaruhi keseimbangan postural. Terjadi perubahan lapang pandang,

penurunan tajam penglihatan, sensitivitas penglihatan kontras akibat

berkurangnya persepsi kontur dan jarak. Penurunan tajam penglihatan terjadi

akibat katarak, degenerasi makuler, dan penglihatan perifer menghilang

(Gunarto, 2005). Reseptor visual ini memberikan informasi tentang orientasi

mata dan posisi tubuh atau kepala terhadap kondisi lingkungan di sekitarnya.

Gangguan keseimbangan akan tampak lebih jelas lagi jika impuls afferen untuk

5
visual ditiadakan, misalnya pada saat mata tertutup, maka kehilangan ayunan

tubuh (sway) menjadi berlebihan (Suhartono, 2005).

Sistem vestibular meliputi organ-organ di dalam telinga bagian dalam.

Proses degeneratif di dalam otolit sistem vestibuler dapat menyebabkan vertigo

posisisonal dan ketidakseimbangan waktu berjalan (Gunarto, 2005). Organ

vestibular memberikan informasi ke CNS tentang posisi dan gerakan kepala

serta pandangan mata melalui reseptor makula dan krista ampularis yang

terdapat di telinga dalam (Suhartono, 2005). Gangguan fungsi vestibular dapat

menyebabkan vertigo atau gangguan keseimbangan.

Susunan proprioseptif ini memberikan informasi ke CNS tentang posisi

tubuh terhadap kondisi di sekitarnya (eksternal) dan posisi antara segmen badan

badan itu sendiri (internal) melalui reseptor-reseptor yang ada dalam sendi,

tendon, otot, ligamentum dan kulit seluruh tubuh terutama yang ada pada

kolumna vertebralis dan tungkai. Informasi itu dapat berupa tekanan, posisi

sendi, tegangan, panjang, dan kontraksi otot (Suhartono, 2015). Manula

mengalami penurunan proprioseptif (Pudjiastuti, 2013). Hal ini dapat

meningkatkan ambang batas rangsang muscle spindle, sehingga dapat

mematahkan umpan balik afferen dan secara berurutan dapat mengubah

kewaspadaan tentang posisi tubuh keadaan ini dapat menimbulkan gangguan

keseimbangan postural (Suhartono, 2015).

3. Pengelompokan Keseimbangan

Keseimbangan dikelompokkan dalam dua tipe yaitu keseimbangan statis yang

berperan mempertahankan posisi tubuh pada saat tidak bergerak atau berubah.

Contohnya pada saat berdiri dengan bertumpu pada satu kaki, berdiri di atas

6
papan keseimbangan dan keseimbangan dinamis yang menggambarkan

kemampuan mempertahankan keseimbangan dimana tubuh selalu bergererak

atau berubah, contohnya keseimbangan pada saat berjalan. Keseimbangan

dinamis melibatkan kemampuan kontrol tubuh karena tubuh bergerak dalam

ruang ( Howe et al., 2008).

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keseimbangan

Keseimbangan dipengaruhi oleh banyak faktor dibawah ini adalah faktor

yang mempengaruhi keseimbangan pada tubuh manusia yaitu :

a. Faktor Usia

Umur sebagai salah sat,u sifat karaketristik tentang orang yang dalam

studi epidemiologi merupakan variabel yang cukup penting karena cukup

banyak penyakit ditemukan dengan berbagai variasi frekuensi yang

disebabkan oleh umur. Peranan variabel umur menjadi cukup penting antara

lain karena studi tentang hubungan variasi suatu penyakit dengan umur dapat

memberikan gambaran tentang faktor penyebab penyakit tersebut dan umur

juga dapat merupakan faktor sekunder yang harus diperhitungkan dalam

mengamati atau meneliti perbedaan frekuensi penyakit terhadap variabel

lainnya (Noor, 2018). Keseimbangan berkurang seiring bertambahnya usia

karena perubahan yang terjadi pada lansia (Sihvonen, 2004). Maciel dan

Guera (2005) menemukan antara usia diatas 75 tahun dengan keseimbangan

yang buruk pada penelitianya yang dilakukan pada 310 lansia. Tinetti (2013)

juga menyatakan bahwa lebih dari sepertiga penduduk berusia 65 tahun atau

lebih di dunia sering mengalami kejadian jatuh dan terkadang berulang-

7
ulang. Jatuh merupakan da,,,,,,,,,,,mpak langsung dari gangguan

keseimbangan (Gai, et al, 2010).

Penelitian yang dilakukan Cordeiro et al. (2009) kepada 91 lansia di

komunitas yang berusia 65 tahun atau lebih menghasilakn bahwa lebih dari

70% lansia tersebut mengalami jatuh bahakan terjadi luka atau cedera karena

jatuh

b. Faktor Jenis Kelamin

Selain umur, jenis kelamin merupakan determinan perbedaan kedua

yang paling signifikan di dalam peristiwa kesehatan atau dalam faktor risiko

suatu penyakit. Perbedaan keseimbangan antara perempuan dan laki-laki

dapat dipengaruhi oleh faktor antropometri yang berbeda (kinney, et al,

2017) . Selain itu perbedaan tersebut juga dipengaruhi oleh faktor psikologis,

kekuatan otot dan faktor hormonal. Kekuatan genggaman tangan berkurang

pada lansia perempuan. Observasi terhadap kejadian jatuh pada 963 lansia

lebih dari 65 tahun di Inggris menemukan peningkatan kejadian jatuh pada

lansia wanita lebih tinggi daripada pria yaitu 30% menjadi 50% sedangkan

pada pria meningkat dari 13% menjadi 30% (Leord,et al.2017).

Kejadian jatuh tersebut dapat disebabkan berkurangnya kekuatan otot

pada lansia wanita dan kurangnya kemampuan lansia wanita dalam

mengembalikan stabilitas tubuh. Lansia wanita juga mengalami kelemahan

otot pada ekstremitas bawah sehingga kurang dapat menyangga berat badan

(Leord,et al.2007). Kejadian jatuh banyak terjadi pada lansia wanita juga

dihubungkan dengan penurunan hormone estrogen pada lansia post

menopause sehingga lebih beresiko terkena osteoporosis. Berkurangnya

8
hormone estrogen dapat menyebabkan tulang kehilangan kalsium dan

metabolisme serta absorpsi nutrien menjadi kurang efektif. Ketakutan akan

jatuh lebih banyak terjadi pada lansia wanita daripada laki-laki (Leord,et

al.,2017)

c. Faktor Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik merupakan beberapa pergerakan tubuh yang dibentuk

dari otot-otot skeletal dan menghasilkan pengeluaran energy yang

diekspresikan dengan kilokalori serta dapat dilakukan pada lingkup

pekerjaan ,waktu luang dan aktivitas rutin sehari-hari. (Pander, Mardaugh

dan Parson, 2011).

Pada penelitian sihvonen,et al menyatakan bahwa lansia yang

melakukan aktivitas fisik seperti bekerja dan berjalan berkurang seiring

meningkatnya usia. Aktivitas fisik secara teratur dapat meningkatkan

ketangkasan, mencegah jatuh pada lansia serta meningkatkan kesehatan dan

kemandirian melakuan aktifitas sehari-hari. Latihan fisik lansia meliputi

faktor kelenturan, kekuatan, keseimbangan dan peregangan. Latihan fisik

dapat memperlambat kehilangan kepadatan tulang serta meningkatkan

kekuatan otot jantung. (Clemen-Stome,et al,.2002).

Penelitian Weedsteyan, et al (2006) dengan sampel 113 lansia dengan

riwayat jatuh didapatkan hasil baha kejadian jatuh berkurang 46% pada

kelompok lansia yang dilakukan program aktivitas fisik setiap harinya.

d. Penggunaan Alas Kaki dan Pakaian

Penggunaan alas kaki dan pakaian yang tidak adekuat dapat

menyebabkan gangguan keseimbangan yang berpotensi terhadap jatuh.

9
Pakaian yang terlalu panjang dapat menyebabkan jatuh. Penggunaan alas

kaki yang dapat mempengaruhi keseimbangan dikaitkan dengan modelnya.

Model alas kaki yang dapat mengganggu keseimbangan dan berkontribusi

terhadap jatuh adalah alas kaki yang sempit, memiliki hak tinggi,sepatu yang

tidak pas,fiksasi yang tidak adekuat dan bawahan alas kaki yang terlalu datar

dan tebal. Penggunaan alas kaki sandal lebih beresiko menyebabkan

gangguan keseimbangan daripada sepatu. (Lord,et al,2017).

e. Pusat gravitasi (Center of Gravity-COG)

Center of gravity merupakan titik gravitasi yang terdapat pada semua

benda baik benda hidup maupun mati, titik pusat gravitasi terdapat pada titik

tengah benda tersebut, fungsi dari Center of gravity adalah untuk

mendistribusikan massa benda secara merata, pada manusia beban tubuh

selalu ditopang oleh titik ini, maka tubuh dalam keadaan seimbang. Tetapi

jika terjadi perubahan postur tubuh maka titik pusat gravitasi pun berubah,

maka akan menyebabkan gangguan keseimbangan (Unstable). Titik pusat

gravitasi selalu berpindah secara otomatis sesuai dengan arah atau perubahan

berat jika center of gravity terletak di dalam dan tepat ditengah maka tubuh

akan seimbang, jika berada diluar tubuh maka akan terjadi keadaan unstable.

Pada manusia pusat gravitasi saat berdiri tegak 18 terdapat pada 1 inchi di

depan vertebrae Sacrum 2 (Bishop & Hay, 2009).

f. Garis Gravitasi (Line of Gravity – LOG)

Garis gravitasi (Line Of Gravity) adalah garis imajiner yang berada

vertikal melalui pusat gravitasi. Derajat stabilitas tubuh ditentukan oleh

10
hubungan antara garis gravitasi, pusat gravitasi dengan base of support

(bidang tumpu).

g. Bidang Tumpu (Base of Support)

Base of Support (BOS) merupakan bagian dari tubuh yang

berhubungan dengan permukaan tumpuan. Ketika garis gravitasi tepat

berada di bidang tumpu, tubuh dalam keadaan seimbang. Stabilitas yang

baik terbentuk dari luasnya area bidang tumpu. Semakin besar bidang

tumpu, semakin tinggi stabilitas. Semakin dekat bidang tumpu dengan pusat

gravitasi, maka stabilitas tubuh makin tinggi (Wen Chang Yi et al, 2009).

5. Penyebab Gangguan Keseimbangan

Gangguan keseimbangan pada lansia dipengaruhi oleh perubahan yang

terjadi pada sisrtem neurologis atau saraf pusat,sistem sensorik terutama system

visual, provioseptip dan vestibuler serta ditambah dengan sistem muskuloseletal

(Miller,2014). Perubahan pada sistem neurologis dapat menyebabkan perubahan

psikososial diantaranya adalah kerusakan kognitif, kecemasan dan ketakutan.

Faktor resiko internal dan eksternal juga dapat menyebabkan gangguan

keseimbangan pada lansia. Faktor resiko internal dapat berupa gangguan

patologis atau penyakit yang diakibatkan oleh perubahan fisiologis dan

psikososial pada lansia. Selain itu karasteristik usia lanjut seperti usia, jenis

kelamin dan pekerjaan, riwayat jatuh yang dapat menyebabkan takut jatuh,

aktivitas fisik, nutrisi, serta medikasi dapat menjadi faktor resiko gangguan

keseimbangan. Faktor resiko eksternal dapat berupa lingkungan, penggunaan

alat bantu jalan, alas kaki serta pakaian yang tidak adekuat (Miller,2014)

11
B. Tinjauan Tentang Problem Keseimbangan pada Lansia

Akibat dari gangguan keseimbangan adalah jatuh dan sering mengarah pada

injuri, kecacatan, kehilangan kemandirian dan kurangnya kualitas hidup. Jatuh

merupakan kejadian yang tidak disengaja sebagai konsekuensi dalam

mempertahankan pukulan yang keras, kurangnya kesadaran, serangan paralisis yang

tiba-tiba pada struk atau serangan epilepsy (Kelong International Working Grup,

dalam Lord,et al,2017). Jatuh mengakibatkan akibat keterbatasan fisik,mengurangi

kapasitas untuk melaksanakan aktivitas sehari- hari, kegagalan sistem pernapasan

dan muskuloseletal, kerusakan fisik, fraktur pada panggul radius, ulna, humerus,

kaki, leher, injuri seperti luka memar, lecet dan terkilir, subdural hematoma,

hospitalisasi, peningkatan biaya perawatan dan bahkan mortalitas

(Johston,2001;Lord et al,2007). Resiko kejadian jatuh dapat dikurangi dengan cara

meningkatkan keseimbangan (Shing,2015)

C. Tinjauan Tentang Intervensi Fisioterapi

1. Balance exercise

a. Pengertian Balance exercise

Balance exercise (latihan keseimbangan) adalah serangkaian gerakan

yang dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan keseimbangan baik statis

maupun dinamis melalui stresching, strengthening (Kloos & Heiss dalam

Masitoh, 2013). Menurut Jowor, 2012 balance exercise adalah latihan khusus

untuk membantu meningkatkan kekuatan otot pada anggota gerak bawah dan

sistem vestibular atau keseimbangan tubuh (Masitoh, 2013). Ada beberapa

gerakan yang digunakan dalam balance exercise, seperti gerakan plantar

12
fleski, hip fleksi, knee fleksi, side leg rise, (Kaesler et al., dalam Masitoh

2013).

Balance exercise merupakan aktivitas fisik yang dilakukan untuk

meningkatkan kestabilan tubuh dengan meningkatkan kekuatan otot

ekstremitas bawah. (Nyman dalam Masitoh, 2013). Balance exercise

dilakukan dalam 3 kali dalam seminggu selama 5 minggu adalah frekuensi

yang optimal, dan dapat meningkatkan keseimbangan postural lansia dan

mencegah timbulnya jatuh (Skelton dalam Masitoh , 2013).

b. Efek Balance Exercise Terhadap Keseimbangan Tubuh

Dalam memepertahankan keseimbangan postural, lansia membutuhkan

informasi tentang posisi tubuh trhadap kondisi lingkungan sekitarnya yang

didapat dari reseptor sensoris perifer yang terdapat pada sistem visual,

vestibular, dan proprioseptif. Dari ketiga jenis reseptor ini, vestibular

memiliki kontribusi yang paling besar dalam mempertahankan keseimbangan,

disusul oleh visula dan proprioseptif (Paja,la, 2004 dalam masitoh, 2013).

Kondisi lingkungan disekitar lansia dapat berada alam keadaan stabil

maupun tak stabil. Keadaan yang mampu menyebabkan kondisi lingkungan

menjadi tidak stabil misalnya gerakan objek yang cepat, permukaan lantai

ynag bergerak, permukaan pasir, busa dan sebagainya. Tubuh lansia akan

membutuhkan kontrol postural yang lebih besar dari lingkungan yang tidak

stabil ini (Gunarto dalam Masitoh , 2013).

Kemunduran dan perubahan morfologis neuromuskuler yang terjadi

pada lansia akan menyebabkan perubahan fungsional. Perubahan fungsional

yang terjadi diantaranya adalah penurunan kekuatan dan kontraksi otot,

13
penurunan elastisitas dan fleksibilitas otot, serta kecepatan dan waktu reaksi

lambat. Penurunan ini selanjutnya akan menyebabkan adanya perubahan

kemampuan dalam mempertahankan suatu posisi termasuk mempertahankan

keseimbangan tubuh (Monnika, 2016).

Latihan keseimbangan (balance exercise) adalah serangkaian gerakan

yang dilakukan untuk meningkatkan keseimbangan postural baik dinamis

maupun statis (Kloss & Heiss, 2007 dalam Masitoh , 2013) untuk membantu

otak menyesuaikan dengan perubahan sinyal (re-calibrate) sehingga dengan

sendirinya otak akan mampu beradaptasi, proses ini disebut central

compensation (Kaesler dalam Masitoh, 2013).

c. Standar Operasional Pelaksanaan Balance Exercise

Balane exercise adalah latihan khusus untuk membantu meningkatkan

kekuatan otot pada anggota gerak bawah dan system vestibular atau

keseimbangan tubuh (Jowir dalam Masniah, 2016).

Balance exercise bertujuan untuk meningkatkan keseimbangan statis,

dinamis, dan aktivitas keseimbangan fungsional melalui peregangan dan

kekeuatan. Selain itu, balance exercise juga menimbulkan kontraksi otot pada

lansia yang dapat mengakibatkan peningkatan serat otot sehingga komponen

sistem metabolisme fosfagen, termasuk ATP da fosofokreatin yang dapat

meningkatkan kekuatan otot pada lansia sehingga terjadi peningkatan

keseimbangan.

Indikasi dilakukannya balance exercise adalah lansia yang berusia lebih

dari 60 tahun dan mengalami gangguan keseimbangan atau berisiko tinggi

cedera/jatuh.

14
Alat dan bahan yang digunakan untuk balance exercise ini adalah kursi

dengan/tanpa pegangan lengan atau tempat tidur. Balance exercise dilakukan

selama tiga kali dalam dua minggu. Lama latihan dilakukan selama 25 menit,

dengan pemanadan 5 menit, dan latihan 20 menit.

Persiapannya sendiri terdiri dari dua persiapan yaitu persiapan tempat

dan klien. Persiapan tempat dapat dilakukan di wisma tempat tinggal lansia

tersebut sesuai dengan kenyamanan lansia. Persiapan klien berupa; memberi

salam dan perkenalan diri, mengidentifikasi identitas klien, menjelaskan

tujuan tindakan intervensi, menjelaskan langkah-langkah intervensi yang

akan dilakukan, menjelaskan lama intervensi, mengatur tempat dan

kenyamanan posisi klien. 15 Cara kerja dari dari balance exercise ini adalah

melakukan pemanasan terlebih dahulu selama 5 menit dengan memutar

telapak kaki searah jarum jam dan sebaliknya, melakukan gerakan fleksi

tumit kaki/plantar 8-15 kali lalu istirahatkan sebentar, melakukan gerakan

fleksi paha sebanyak 8-15 kali, lalu istirahatkan sebentar, melakukan gerakan

ekstensi paha sebanyak 8-15 kali, lalu istirahatkan sebentar, melakukan

gerakan fleksi lutut sebanyak 8-15 kali, lalu istirahatkan sebentar, melakukan

gerakan angkat kaki ke samping sebanyak 8- 15 kali , lalu istirahatkan

sebentar, melakukan gerakan mata ke atas dan ke bawah sebanyak 8-15 kali,

lalu istirahatkan sebentar, melakukan gerakan mata ke arah samping kiri dan

kanan sebanyak 8-15 kali, lalu istirahatkan sebentar, melakukan gerakan mata

yang difokuskan pada ujung jari sebanyak 8-15 kali, lalu istirahatkan

sebentar, melakukan gerakan fleksi dan ekstensi kepala sebanyak 8-15 kali,

lalu istirahatkan sebentar, melakukan gerakan menolehkan kepala ke arah kiri

15
dan kanan sebanyak 8-15 kali , lalu istiratkan. Setelah dilakukan latihan tahap

selanjutnya adalah melakukan evaluasi. Evaluasi yang dilakukan berupa

evaluasi kenyamanan selama dan sesudah tindakan, membuat kontrak untuk

pertemuan selanjutnya dan mengakhiri pertemuan dengan baik (Masniah,

2016).

Menurut Glenn (2007) Gerakan Balance Exercise terdiri dari 5 macam, yaitu

plantar flexion, hip flexion, hip extention, knee flexion dan side leg raise.

1) Plantar Flexion

a) Berdiri tegak dengan salah satu tangan berpegangan pada kursi.

b) Perlahan angkat tumit keatas (berdiri dengan ujung kaki).

c) Pertahankan posisi. d. Kembalikan kaki pada posisi semula.

d) Gerakan dilakukan sebanyak 10 x

Plantar flexi

2) Hip Flexion

a) Berdiri tegak dengan salah satu tangan berpegangan pada kursi.

b) Angkat lutut kanan keatas tanpa menggerakkan atau menekuk pinggang.

c) Pertahankan posisi.

d) Perlahan turunkan lutut dan kembali keposisi semula.

16
e) Ulangi dengan menggunakan lutut kiri. f. Gerakan dilakukan sebanyak 10

x.

3) Hip Extention

a) Berdiri dengan jarak ± 30 cm dari kursi.

b) Perlahan gerakkan kaki kanan kearah belakang (sampai pinggang dalam

keadaan lurus).

c) Pertahankan posisi.

d) Perlahan kembalikan kaki pada posisi semula.

e) Ulangi dengan menggunakan kaki kiri.

f) Gerakan dilakukan sebanyak 10 x. 4. Kene Flexion

g) Berdiri tegak dengan salah satu tangan berpegangan pada kursi.

4) Knee Flexion

17
a) Berdiri tegak dengan salah satu tangan berpegangan pada kursi.

b) Perlahan tekuk lutut kanan kearah belakang sehingga kaki kanan terangkat

dibelakang tubuh.

c) Pertahankan posisi

d) Perlahan kembalikan kaki kanan pada posisi semula.

e) Ulangi dengan menggunakan kaki kiri.

f) Gerakan di lakukan sebanyak 10 x.

5) Side leg raise

a) Berdiri tegak dengan salah satu tangan berpegangan pada kursi.

b) Perlahan angkat kaki kanan kearah samping (sampai pinggang dalam

keadaan lurus).

c) Pertahankan posisi.

d) Perlahan kembalikan kaki kanan pada posisi semula.

e) Ulangi dengan menggunakan kaki kiri.

f) Gerakan dilakukan sebanyak 10 x

18
19
20
BAB III
PROSES ASSESMENT FISIOTERAPI

A. Identitas Pasien

Nama : Tn. A

Usia : 82 Tahun

Jenis Kelamin : laki-laki

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Perumahan Bumi Batara Gowa

B. History Taking

a. Keluhan Utama : lemah pada tungkai dan sering merasa ingin

jatuh pada saat berdiri dan berjalan

b. Riwayat perjalanan penyakit : pasien merasa agak lemah pada tungkai ± 5

tahun yang lalu. Kemudian pasien sering kehilangan keseimbangan pada saat

berdiri lama dan berjalan jauh.

c. Riwayat penyakit penyerta : Hipertensi

C. Inspeksi/Observasi

1. Inspeksi statis

a. Anterior : Shoulder depresi dan asimetris

b. Posterior : Shoulder depresi dan asimetris

c. Lateral : Postur kifosis

D. Pemeriksaan/Pengukuran Geriatri

1. Vital Sign

a. Tekanan darah : 140/100 mmHg

21
b. Frekuensi Nadi : 92/Menit

c. Pernafasan : 22/menit

2. Pengukuran skala sesak dengan menggunakan skala borg

SKALA DERAJAT SESAK


0 Tidak sesak sama sekali
0,5 Sesak sangat ringan
1 Sesak nafas sangat ringan
2 Sesak nafas ringan
3 Sedang
4 Sesak nafas cukup berat
5 Sesak berat
6 Sesak berat
7 Sesak nafas sangat berat
8 Sesak nafas sangat berat
9 Sangat-sangat berat (hampir maksimal)
10 Maksimal
Interpretasi : Nilai 2 (Sesak nafas ringan)

3. Pengukuran denyut nadi maksimal

a. Batas atas DNL = DI + 30% (220 – usia – DI)

b. Batas bawah DNL = DI + 20%(220 – usia – DI)

Keterangan :

DNL = Denyut Nadi Latihan

DI = Denyut nadi Istirahat

Hasil :

DNL Batas atas pasien : 92 + 30% (220-82-92)

92 + 30%(46)

92 + 13.8 = 105.8 Bpm

22
DNL Batas bawah pasien : 92 + 20% (220-82-92)

92 + 20%(46)

92 + 9.2 = 101.2 Bpm

4. Pengukuran VO2 Max

Uji jalan selama 6 menit merupakan pemeriksaan toleransi aktivitas yang

bertujuan untuk menilai toleransi aktivitas, Tes ini dilakukan sepanjang 30 m

selama 6 menit, sebelum melakukan test terlebih dahulu pasien diukur vital sign

(TD, RR, DN, suhu, dan saturasi) dan hasil akhir menghitung Vo2max. sebagai

berikut:

Vo2max : 0,06 × jarak + 7,38

: 0,06 × (30) + 7,38

: 1, 8 + 7,38

: 9,18

5. Pengukuran Kekuatan Otot

Pemgukuran kekuatan otot dengan manual muscle testing

Derajat 5 Kekuatan otot normal dimana seluruh gerakan dapat


dilakukan otot dengan tahanan maksimal dari proses yang
dilakukan berulang-ulang tanpa menimbulkan kelelahan
Derajat 4 Dapat melakukan Range Of Motion (ROM) secara penuh
dan dapat melawan tahanan ringan
Derajat 3 Dapat melakukan ROM secara penuh dengan melawan gaya
berat (gravitasi), tetapi tidak dapat melawan tahanan
Derajat 2 Dengan bantuan atau dengan menyangga sendi dapat
melakukan ROM secara penuh.
Derajat 1 Kontraksi otot minimal terasa/teraba pada otot bersangkutan
tanpa menimbulkan gerakan.
Derajat 0 Tidak ada kontraksi otot sama sekali.
Hasil :
MMT: 5 5

4 4

23
6. Pengkuran Fleksibilitas

Hasil : penurunan fleksibilitas pada thoracolumbal dan dleksibilitas hamstring

7. Berg Balance Scale

a. Prosedur Test
1) Pengukuran terhadap satu sesi keseimbangan yang terdiri dari 14 jenis tes
keseimbangan statis dan dinamis dengan sekala 0-4 (skala di dasarkan pada
kualitias dn waktu yang diperlukan dalam melengkapi tes
2) Alat yang dibutuhkan : stopwatch, kursi dengan penyangga, meja, objek untuk
di pungut dari lantai, stool, dan penanda
3) Waktu tes: 10-15 menit
4) Pasien di nilai waktu melakukan hal-hal dibawah ini, sesuai dengan kriteria yang
dikembangkan oleh berg
No Item Berg Balance Scale Skor Ket.
T1 T2 T3 T4
1. Duduk ke berdiri 4 4 4 4
2. Berdiri tak bersangga 3 3 3 3
3. Duduk tak tersangga tetapi kaki tersangga 4 4 4 4
pada lantai atau stool
4. Berdiri ke duduk 4 4 4 4
5. Transfer 4 4 4 4
6. Berdiri tak tersangga dengan mata tertutup 2 2 2 2
7. Berdiri tidak tersangga dengan kaki rapat 2 2 2 2
8. Meraih kedepan dengan lengan lurus 2 2 2 2
secara penuh
9. Mengambil objek di lantai dari posisi 4 4 4 4
berdiri
10. Berbalik untuk melihat ke belakang 4 4 4 4
11. Berbalik 360 derajat 2 2 2 2
12. Menempatkan kaki bergantian ke stool 3 3 3 3
dalam posisi berdiri tanpa penyangga
13. Berdiri dengan satu kaki di depan kaki 3 3 3 3
lainnya
14. Berdiri dengan satu kaki 1 1 1 1
TOTAL SKOR 38 38 38 38

a. Interpretasi:

0-20 : Resiko jatuh berat (harus memakai kursi roda)

21-40 : Resiko jatuh sedang (berjalan dengan bantuan)

24
41-56 : Mandiri

b. Hasil : 38 (resiko jatuh sedang)

8. Pemeriksaan Time Up and Go Test (TUGT)

a. Alat yang dibutuhkan : Kursi dengan sandaran dan penyangga lengan,

stopwatch, dinding.

b. Waktu tes: 10 detik – 3 menit.

c. Prosedur tes : Posisi awal pasien duduk bersandar pada kursi dengan lengan

berada pada penyangga lengan kursi. Pasien mengenakan alas kaki yang

biasa dipakai. Pada saat fisioterapis memberi aba-aba “mulai” pasien berdiri

dari kursi, boleh menggunakan tangan untuk mendorong berdiri jika pasien

menghendaki. Pasien terus berjalan sesuai dengan kemampuannya

menempuh jarak 3 meter menuju ke dinding, kemudian berbalik tanpa

menyentuh dinding dan berjalan kembali menuju kursi. Sesampainya di

depan kursi pasien berbalik dan duduk kembali bersandar. Waktu dihitung

sejak aba-aba “mulai” hingga pasien duduk bersandar kembali.

Pasien tidak diperbolehkan mencoba atau berlatih lebih dulu, stopwatch

mulai menghitung setelah pemberian aba-aba mulai dan berhenti

menghitung saat subyek kembali pada posisi awal atau duduk.

1) Bila kurang dari 10 detik, maka subjek dikatakan normal.

2) Bila kurang dari 20 detik, maka dapat dikatakan baik. Subjek dapat

berjalan sendiri tanpa membutuhkan bantuan.

3) Namun bila lebih dari 30 detik, maka subjek dikatakan memiliki

problem dalam berjalan dan membutuhkan bantuan saat berjalan.

25
4) Sedangkan pada subjek yang lebih lama dari 40 detik harus mendapat

pengawasan yang optimal karena sangat beresiko untuk jatuh

9. Pemeriksaan koordinasi

No Tes Koordinasi Skor Kiri Skor Kanan

1. Jari ke hidung √ √
2. Jari lansia ke jari terapis √ √
3. Jari ke jari yang lain √ √
4. Menyentu hidung dan jari tangan √ √
bergantian
5. Gerak aposisi jari tangan √ √
6. Menggenggam √ √
7. Pronasi-supinasi √ √
8. Rebound test √ √
9. Tepuk tangan √ √
10. Tepuk kaki √ √
11. Menunjuk √ √
12. Tumit ke lutut √ √
13. Tumit ke jari kaki √ √
14. Jari kaki menunjuk jari tangan √ √
terapis
15. Tumit menyentuh bawah lutut √ √
16. Menggambar lingkaran dengan √ √
tangan
Menggambar lingkaran dengan √ √
kaki
Mempertahankan posisi anggota √ √
gerak atas
Mempertahankan posisi anggota √ √
gerak bawah
Hasil : pasien mampu untuk melakukan semua gerakan dengan cepat dan tepat

10. Geriatric depression scale

1. Apakah anda sebenarnya puas dengan kehidupan anda?


Ya Tidak
2. Apakah anda telah meninggalkan banyak kegiatan dan minat atau kesenangan
anda?
Ya Tidak
3. Apakah anda merasa kehidupan anda kosong?
Ya Tidak
4. Apakah anda sering merasa bosan?
Ya Tidak
5. Apakah anda mempunyai semangat yang baik setiap saat?

26
Ya Tidak
6. Apakah anda takut bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada anda?
Ya Tidak
7. Apakah anda merasa bahagia untuk sebagian besar hidup anda?
Ya Tidak
8. Apakah anda sering merasa tidak berdaya?
Ya Tidak
9. Apakah anda lebih senang tinggal dirumag daripada pergi ke luar dan
mengerjakan sesuatu yang baru?
Ya Tidak
10. Apakah anda mersa mempunyai banyak masalah dengn daya ingat anda
dibandingkan kebanyakan orang?
Ya Tidak
11. Apakah anda pikir bahwa hidup anda sekarang ini menyenangkan?
Ya Tidak
12. Apakah ada merasa tidak berharga seperti perasaan anda saat ini?
Ya Tidak
13. Apakah anda merasa penuh semangat?
Ya Tidak
14. Apakah anda merasa bahwa keadaann anda tidak ada harapan?
Ya Tidak
15. Apakah anda piker bahwa orang lain lebih baik keadaannya dari anda?
Ya Tidak

Catatan : Skor di hitung jumlah jawaban yang bercetak tebal (nilai:1 )


Skor antara 5-9 menunjukan kemungkinan besar depresi
Skor > 10 menunjukan depresi
Hasil : 4

11. MMSE (Mini Mental State Examination)

NO BENAR (1) SALAH (0)


ITEM PENILAIAN
.
1. ORIENTASI
1. Tahun berapa sekarang? 1
2. Tanggal berapa sekarang ? 1
3. Hari apa sekarang ? 1
4. Bulan apa sekarang ? 1
5. Dinegara mana anda tinggal ? 1
6. Di Provinsi mana anda tinggal ? 1
7. Di desa mana anda tinggal ? 1
2. REGISTRASI
Minta klien menyebutkan tiga obyek
1. Baju 1
2. Pulpen 1
3.Bantal 1

27
3. PERHATIAN DAN KALKULASI
Minta klien mengeja 5 kata dari
belakang, misal” SEHAT “
1.T 1
2.A 1
3.H 1
4.E 1
5.S 1
4. MENGINGAT
Minta klien untuk mengulang 3 obyek
Diatas
1.Baju 1
2.Pulpen 1
3.Bantal 1
5. BAHASA
a. Penamaan
Tunjukkan 2 benda minta klien
menyebutkan :
1. Baju 1
2. Pulpen 1
b. Pengulangan
Minta klien mengulangi tiga kalimat
berikut
1. “Tak ada jika, dan, atau tetapi “ 1
c. Turuti hal berikut
1. Tutup mata 1
2. Tulis satu kalimat 1
JUMLAH 23

Interpretasi : Jika Nilai < 21 : Kerusakan kognitif


Hasil : 30 (Normal) pasein merespon dengan baik.

12. Indeks Barthel

NO. Fungsi Skor Keterangan HASIL

1 Mengendalikan 0 Tidak terkendali/tak teratur (perlu 2


Rangsangan BAB 1 pencahar) Kadang-kadang tak
terkendali (1 x / minggu)
2 Terkendali teratur
2 Mengendalikan 0 Tak terkendali atau pakai kateter 2
Rangsang BAK 1 Kadang-kadang tak terkendali (hanya 1
x / 24 jam)
2 Mandiri
3 Membersihkan diri 0 Tergantung pertolongan orang lain 2
(mencuci wajah, 1 Perlu pertolongan orang lain
menyikat rambut, 2 Mandiri
mencukur kumis, sikat
gigi)

28
4 Penggunaan WC (keluar 0 Tergantung pertolongan orang lain 2
masuk WC, Perlu pertolongan pada beberapa
melepas/memakai 1 kegiatan tetapi dapat mengerjakan
celana, cebok, sendiri beberapa kegiatan yang lain
menyiram)
2 Mandiri
5 Makan minum (jika 0 Tidak mampu 2
makan harus berupa 1 Perlu ditolong memotong makanan
potongan,dianggap 2 Mandiri
dibantu)
6 Bergerak dari kursi roda 0 Tidak mampu 3
ke tempat tidur dan 1 Perlu banyak bantuan untuk bias duduk
sebaliknya (termasuk (2 orang)
duduk di tempat tidur) 2 Bantuan minimal 1 orang
3 Mandiri
7 Berjalan di tempat rata 0 Tidak mampu 3
(atau jika tidak bisa 1 Bisa (pindah) dengan kursi roda
berjalan, menjalankan 2 Berjalan dengan bantuan 1 orang
kursi roda) 3 Mandiri
8 Berpakaian (termassuk 0 Tergantung orang lain 2
memasang tali sepatu, 1 Sebagian dibantu (mis: mengancing
mengencangkan sabuk) 2 baju)
Mandiri
9 Naik turun tangga 0 Tidak mampu 1
1 Butuh pertolongan
2 Mandiri
10 Mandi 0 Tergantung orang lain 2
1 Butuh pertolongan
2 Mandiri
Skor Total 19

Interpretasi :
20 : Mandiri
12-19 : Ketergantungan ringan
9-11 : Ketergantungan sedang
5-8 : Ketergantungan Berat
0-4 : Ketergantungan Total

E. Diagnosa Fisioterapi

Penurunan aktivitas fungsional berdiri dan berjalan akibat gangguan keseimbangan

pada lansia

29
F. Problematik Fisioterapi

No. Komponen ICF Pengukran/Pemeriksaan


Yang Membuktikan
1. Impairment
a. Penurunan kekuatan otot tungkai MMT
b. Deviasi postural Inspeksi
c. Sesak Napas History taking dan skala borg
2. Activity limitation
a. Gangguan keseimbangan berdiri BBS
b. Gangguan aktivitas berjalan 6MWT dan TUGT
c. Kesulitan naik turun tangga History taking dan indeks barhel
3. Participation retriction
a. Gangguan mengikuti kegiatan Indeks barthel
sosial seperti kerja bakti

30
BAB IV
INTERVENSI DAN EVALUASI FISIOTERAPI

A. Rencana Intervensi Fisioterapi

1. Tujuan jangka panjang

Memelihara aktivitas fungsional berdiri dan berjalaan mandiri tanpa gangguan

keseimbangan pada lansia

2. Tujuan jangka pendek

a. Meningkatkan kekuatan otot tungkai

b. Koreksi postur

c. ,Memperbaiki frekuensi pernapasan

B. Strategi Intervensi Fisioterapi

,No. Komponen ICF Tujuan intervensi Intervensi


1. Impairment
a. Penurunan kekuatan Meningkatkan kekuatan otot Balance exercise
otot tungkai tungkai
b. Deviasi postural Memperbaiki deviasi Koreksi postur
postural
c. Sesak napas Memperbaiki pola napas dan Pursed lip-
menurunkan frekuensi sesak breathing
napas
2. Activity limitation
a. Gangguan Meningkatkan keseimbngan Balance exercise
keseimbangan berdiri berdiri
b. Gangguan aktivitas Meningktkan kemampuan 6MWD exercise
berjalan aktivitas berjalan
c. Kesulitan naik turun Mengoptimalkan Balance exercise
tangga kemampuan naik turun
tangga

31
3. Participation retriction
b. Gangguan mengikuti Mengemblikan aktivitas Functional exercise
kegiatan sosial seperti pekerjaan secara mandiri
kerja bakti

C. Prosedur Pelaksanaan Fisioterapi

1. Balance exercise

a. Tujuan : untuk meningkatkan keseimbangan statis, dinamis,. meningkatkan

kekuatan otot pada lansia sehingga terjadi peningkatan keseimbangan.

b. Prosedur pelaksanaan:

1) Plantar Flexion

a) Berdiri tegak dengan salah satu tangan berpegangan pada kursi.

b) Perlahan angkat tumit keatas (berdiri dengan ujung kaki).

c) Pertahankan posisi.

d) Kembalikan kaki pada posisi semula.

e) Gerakan dilakukan sebanyak 10 x

Plantar flexi

2) Hip Flexion

a) Berdiri tegak dengan salah satu tangan berpegangan pada kursi.

32
b) Angkat lutut kanan keatas tanpa menggerakkan atau menekuk

pinggang.

c) Pertahankan posisi.

d) Perlahan turunkan lutut dan kembali keposisi semula.

e) Ulangi dengan menggunakan lutut kiri.

f) Gerakan dilakukan sebanyak 10 x.

3) Hip Extention

a) Berdiri dengan jarak ± 30 cm dari kursi.

b) Perlahan gerakkan kaki kanan kearah belakang (sampai pinggang dalam

keadaan lurus).

c) Pertahankan posisi.

d) Perlahan kembalikan kaki pada posisi semula.

e) Ulangi dengan menggunakan kaki kiri.

f) Gerakan dilakukan sebanyak 10 x. 4. Kene Flexion

g) Berdiri tegak dengan salah satu tangan berpegangan pada kursi.

33
4) Knee Flexion

a) Berdiri tegak dengan salah satu tangan berpegangan pada kursi.

b) Perlahan tekuk lutut kanan kearah belakang sehingga kaki kanan

terangkat dibelakang tubuh.

c) Pertahankan posisi

d) Perlahan kembalikan kaki kanan pada posisi semula.

e) Ulangi dengan menggunakan kaki kiri.

f) Gerakan di lakukan sebanyak 10 x.

5) Side leg raise

a) Berdiri tegak dengan salah satu tangan berpegangan pada kursi.

b) Perlahan angkat kaki kanan kearah samping (sampai pinggang dalam

keadaan lurus).

34
c) Pertahankan posisi.

d) Perlahan kembalikan kaki kanan pada posisi semula.

e) Ulangi dengan menggunakan kaki kiri.

f) Gerakan dilakukan sebanyak 10 x

35
2. Six minute walking distance exercise

b. Tujuan : Untuk meningkatkan toleransi aktivitas pasien

c. Persiapan pasien : sebelum memulai latihan ukur vital sign dan pastikan

sesak serta nyeri dada pasien tidak lebih dari derajat sedang

d. Teknik Pelaksanaan :

Buatlah lintasan sejauh sekitar 30 meter. Minta pasien untuk berjalan sejauh

mungkin selama 6 menit sambil melakukan latihan pernapasan. Ingatkan

pasien tidak berjalan terlalu cepat atau terlalu lambat. Jika pasien

mengalami kelelahan atau muncul gejala seperti sesak dan nyeri dada maka

latihan dapat dihentikan. Hitung jarak yang mampu ditempuh oleh pasien.

3. Koreksi Postur

a. Posisi pasien : berdiri di depan cermin

b. Posisi fisioterapis : di samping atau di belakang pasien

Teknik pelaksanaan : fisioterapis memberikan contoh postur yang benar

pada pasien sambil pasien melihat ke cermin.

Dosis : dilakukan setiap saat.

36
1. Pursed-lip Breathing

a. Tujuan :

untuk membantu meningkatkan ventilasi secara optimal dan membuka jalan

udara pada saluran pernapasan serta meningkatkan volume paru

b. Persiapan Pasien :

Pasien dalam posisi duduk

c. Teknik pelaksanaan :

Minta pasien untuk menarik napas lewat hidung selama 2 detik (hitungan

1-2) sambil mengembangkan perut dan menghembuskan napas melalui

mulut seperti meniup lilin selama 4 detik (hitungan 3-6). Latihan diulang

3-5 kali.

D. Edukasi dan Home Program

1. Edukasi

a. Pasien dianjurkan untuk menghidari pekerjaan atau aktivitas yang dapat

memicu timbulnya sesak napas, seperti berjalan jauh, naik turun tangga

ataupun melakukan aktivitas berat.

b. Pasien dianjurkan untuk selalu menyeimbangkan antara istirahat dan

aktivitas.

2. Home Programe

Menganjurkan kepada pasien untuk melakukan latihan keseimbangan

yang telah diajarkan saat terapi, seperti Pursed Lip-Breathing, balance exercise

dan melakukan six minute walking distance exercise secara mandiri di rumah.

37
E. Evaluasi

Evaluasi
Intervensi
No. Problematik T1 T2
Fisioterapi
1. Penurunan kekuatan
Balance exercise Nilai 4 Nilai 4 Nilai 4
. otot tungkai
Segmental
3. Sesak napas breathing, Nilai 2 Nilai 1 Nilai 1
mobilisasi chest
Gangguan BBS Nilai BBS BBS Nilai
4. Balance exercise
keseimbangan 38 Nilai 40 44

38
BAB V
PEMBAHASAN

A. Pembahasan Assesmen Fisioterapi

1. History Taking

History taking merupakan cerita tentang riwayat penyakit yang

diutarakan oleh pasien melalui tanya jawab, yang disusun secara kronologis

yang memerlukan pemahaman tentang patofisiologi dari pemeriksa. Untuk

mendapatkan history taking yang baik dibutuhkan sikap pemeriksa yang sabar

dan penuh perhatian, serta waktu yang cukup. Cara pengambilan history taking

dapat mengikuti dua pola umum, yaitu:

1) Pasien dibiarkan dengan bebas mengemukakan semua keluhan serta

kelainan yang dideritanya.

2) Pemeriksa membimbing pasien mengemukakan keluhannya atau

kelainannya dengan jalan mengajukan pertanyaan tertentu.

2. Inspeksi/observasi

Inspeksi/observasi merupakan salah satu bentuk pemeriksaan sebelum

menegakkan diagnosa sebuah penyakit. Bentuk dari inspeksi yaitu inspeksi

statis dimana pemeriksa mengamati keadaan pasien dalam keadan statis atau

diam dan inspeksi dinamis yaitu pemeriksan mengamati keadaan pasien dalam

keadaan dinamis atau bergerak. Pengamatan dilakuakn secara detai dari ujung

kepala hingga ujung kaki (head to toe). Pada lansia hasil inspeksi umumnya

mengalami perubahan postur seperti kifosis dan protraksi bahu.

39
3. Pemeriksaan Vital Sign

Vital sign atau tanda-tanda vital adalah ukuran statistik berbagai fisiologis

yang digunakan untuk membantu menentukan status kesehatan seseorang,

terutama pada pasien yang secara medis tidak stabil atau memiliki faktor-faktor

resiko komplikasi kardiopulmonal dan untuk menilai respon terhadap

intervensi. Tanda vital juga berguna untuk menentukan dosis yang adekuat bagi

tindakan fisioterapi, khususnya exercise. Vital sign terdiri atas tekanan darah,

denyut nadi, frekuensi napas, dan suhu tubuh

4. Pemeriksaan Koordinasi

Koordinasi adalah kemampuan untuk mempersatukan atau memisahkan

dalam suatu tugas kerja yang kompleks, dengan ketentuan bahwa gerakan

koordinasi meliputi kesempurnaan waktu antara otot dan sistem saraf

(Knudson,20017). Pemeriksaan koordinasi dilakukan untuk mengetahui tingkat

koordinasi pasien saat dilakukan tes koordinasi selain factor kemampuan

melainkan gerakan, factor kecepatan juga harus dipertimbangkan. (Sullivan dan

Schmitez, dikutip oleh Pudjiastuti dan Utomo, 2013)

Dari pemeriksaan koordinasi pada pasien pada T0 pasien tidak bisa

melakukan berbabagi tes koordinasi setelah melakukan terapi 2 kali pasien

belum mampu melakukan berbagai gerakan koordinasi.

5. Tes Koordinasi dan Motorik

Fungsi lengan dan tangan terutama adalah untuk berinteraksi dengan

lingkungan. Fungsi ini merupakan satu unit koordinasi tidak hanya pada lengan

itu sendiri tapi juga melibatkan tubuh (postural) yang membutuhkan integrasi

sensorik (visual, vestibular dan somatosensorik) dan motorik. Bahkan fungsi

40
tangan dikatakan sebagai membutuhkan koordinasi atau ketrampilan tingkat

tinggi (deksteritas). Pada lansia fungsi lengan dan tungkai yang lemah sering

kali terganggu dan biasanya merupakan akibat dari penurunan kekuatan otot

yang nyata.

6. Pemeriksaan kekuatan otot

Pengukuran kekuatan otot adalah suatu pengukuran untuk mengevaluasi

kontraktilitas termasuk didalamnya otot dan tendon dan kemampuannya dalam

menghasilkan suatu usaha. Pemeriksaan otot diberikan kepada individu yang

dicurigai atau aktual mengalami gangguan pada otot baik kekuatan maupun daya

tahannya. Identifikasi dini dari gangguan otot ini dapat dijadikan dasar intervensi

yang tepat untuk latihan penguatan otot (Torpey, 2010).

Penilaian Kekuatan Otot mempunyai skala ukur yang umumnya dipakai

untuk memeriksa penderita yang mengalami kelumpuhan selain mendiagnosa

status kelumpuhan juga dipakai untuk melihat apakah ada kemajuan yang

diperoleh selama menjalani perawatan atau sebaliknya apakah terjadi penurunan

pada penderita. (Suratun, dkk, 2018).

Pengukuran kekuatan otot dapat dilakukan dengan menggunakan

pengujian otot secara manual yang disebut dengan MMT (manual muscle

testing). Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan otot

mengkontraksikan kelompok otot secara volunter. (Pudjiastuti dan Utomo,

2003). Manual Muscle Testing (MMT) merupakan salah satu bentuk

pemeriksaan kekuatan otot yang paling sering digunakan. Hal tersebut karena

penatalaksanaan, intepretasi hasil serta validitas dan reliabilitasnya telah teruji.

Namun demikian tetap saja, manual muscle testing tidak mampu untuk

41
mengukur otot secara individual melainkan group / kelompok otot. (Bambang,

2012).

Untuk pengkajian kekuatan otot, pasien berada dalam posisi stabil. Klien

melakukan manuver yang memperlihatkan kekuatan kelompok otot utama.

Bandingkan kesimetrisan pasangan otot berdasarkan skala 0 sampai 5.

Perhatikan tiap kelompok otot. Minta klien untuk memfleksikan otot yang

diperiksa dan mencoba melawan saat diberikan dorongan berlawanan terhadap

fleksi tersebut. Jangan biarkan pasien menggerakkan sendi. Tingkatkan tekanan

secara bertahap terhadap kelompok otot (misalnya: ekstensi siku). Minta pasien

menahan tekanan yang diberikan dengan mencoba bergerak melawan tahanan

(misalnya: fleksi elbow). Pasien terus melawan sampai diminta berhenti (Potter

& Perry, 2010)

Dari pengukuran kekuatan otot dengan Manual Muscle Testing (MMT)

yang dilakukan pada pasien dengan diagnosis “Gangguan keseimbangan pada

saat T0 didapatkan skor MMT ekstremitas inferior kiri dan kanan bernilai 4. Dan

setelah dilakukan terapi selama 2 kali terapi pasien mengalami peningkatan

kekuatan otot, dengan hasil akhir T2 skor MMT ekstremitas superior sinistra

menjadi 4 dan ekstremitas inferior dekstra menjadi 4.

7. Indeks Barthel

Pengukuran kemampuan fungsional dengan Indeks Barthel menggunakan

10 aktivitas sehari-hari dengan poin nilai masing-masing. Indeks Barthel

digunakan untuk mengukur kemandirian fungsional dalam hal perawatan diri

dan mobilitas serta dapat digunakan sebagai kriteria dalam menilai kemampuan

fungsional bagi pasien lansia. Indeks Barthel sudah dikenal luas memiliki

42
kehandalan dan kesahihan yang tinggi, karena dengan pengamatan yang

berulang dari orang yang berbeda akan menghasilkan kesesuaian yang sangat

memadai (Sugiarto, 2005).

Intepretasi hasil penilaiannya adalah sebagai berikut: 20 : Mandiri, 12-19 :

Ketergantungan ringan, 9-11 : Ketergantungan sedang, 5-8 : Ketergantungan

Berat, 0-4 : Ketergantungan Total. Dari pengukuran Indeks Barthel yang

dilakukan pada pasien saat T0 didapatkan skor 22 dimana pasien masih bisa

mandiri melakukan aktifitas fungsional.

8. Berg Balance Scale

Berg Balance Scale (BBS) dikembangkan untuk mengukur keseimbangan

dan kemampuan dan (atau ketidak mampuan) para lansia dengan gangguan

fungsi keseimbangan secara objektif melalui penelitian kinerja dari aktifitas

fungsional (seperti duduk,berdiri, berpindah tempat) untuk keseimbangan yang

lebih aman selama melakukan serangkaian tugas-tugas Kesehatan.

Tes ini mencakup 14 item dengan setiap item terdiri darilima point skala

ordinal dari 0-4,dengan 0 mengindeikasikan level fungsi yang lebih rendah dan 4

level fungsi yang lebih tinggi.Skor total 56 Point. Pengukuran Berg Balance

Scale pada pasien ini dengan T0skor 38 ( Resiko jatuh ) setelah T2 menjadi 44

yang artinya ada peningkatan skor.

9. Mini-Mental State Examination (MMSE)

Mini-Mental Examination (MMSE) adalah sebuah kuesioner yang dapat di

gunakan untuk menilai status mental secara lengkap dan sistematis.MMSE juga

digunakan untuk menilai berat dan progresitas dari gangguan kognitif,serta

untuk melihat perkembangan perubahan kognitif individu dari waktu ke

43
waktu;dengan demikian membuat jalan yang efektif untuk mendokumentasikan

respon individu terhadap pengobatan.Ada 11 pengukuran pertanyaan MMSE

yang mengetest lima area fungsi kognitif: Orientation, registration, attention,

calculation,recall,dan language.Skor maksimal 30 point.Skor 23 atau lebih

rendah mengindikasikan gangguan kognitif.Test ini membutuhkan waktu sekitar

5 hingga 10 menit,oleh karna itu praktis untuk di gunakan secara rutin dan

berulang kali.

B. Pembahasan Intervensi Fisioterapi

1. Balance exercise

Dalam memepertahankan keseimbangan postural, lansia membutuhkan

informasi tentang posisi tubuh trhadap kondisi lingkungan sekitarnya yang

didapat dari reseptor sensoris perifer yang terdapat pada sistem visual,

vestibular, dan proprioseptif. Dari ketiga jenis reseptor ini, vestibular memiliki

kontribusi yang paling besar dalam mempertahankan keseimbangan, disusul

oleh visula dan proprioseptif (Pajala, 2004 dalam masitoh, 2013).

Kondisi lingkungan disekitar lansia dapat berada alam keadaan stabil

maupun tak stabil. Keadaan yang mampu menyebabkan kondisi lingkungan

menjadi tidak stabil misalnya gerakan objek yang cepat, permukaan lantai ynag

bergerak, permukaan pasir, busa dan sebagainya. Tubuh lansia akan

membutuhkan kontrol postural yang lebih besar dari lingkungan yang tidak

stabil ini (Gunarto dalam Masitoh , 2013).

Kemunduran dan perubahan morfologis neuromuskuler yang terjadi pada

lansia akan menyebabkan perubahan fungsional. Perubahan fungsional yang

terjadi diantaranya adalah penurunan kekuatan dan kontraksi otot, penurunan

44
elastisitas dan fleksibilitas otot, serta kecepatan dan waktu reaksi lambat.

Penurunan ini selanjutnya akan menyebabkan adanya perubahan kemampuan

dalam mempertahankan suatu posisi termasuk mempertahankan keseimbangan

tubuh (Monnika, 2016).

Latihan keseimbangan (balance exercise) adalah serangkaian gerakan

yang dilakukan untuk meningkatkan keseimbangan postural baik dinamis

maupun statis (Kloss & Heiss, 2007 dalam Masitoh , 2013) untuk membantu

otak menyesuaikan dengan perubahan sinyal (re-calibrate) sehingga dengan

sendirinya otak akan mampu beradaptasi, proses ini disebut central

compensation (Kaesler dalam Masitoh, 2013).

Pemberian intervensi balance strategy exercise mengaktifkan sistem

gerakan volunter dan respon postural otomatis dalam tubuh. Ketika melakukan

pelatihan ankle, hip, dan stepping strategy exercise, maka tubuh mengirimkan

informasi sensoris melalui mekanoreseptor terkait perubahan sensasi posisi

tubuh dari persendian ke sistem saraf bermielin besar. Informasi ini selanjutnya

diteruskan ke dalam sistem kolumna dorsalis lemniskus medialis dan berakhir

pada girus postsentralis dari korteks serebri (area somatosensorik I) untuk

kemudian diolah di dalam korteks serebri (Squire et all, 2008 dalam Nugraha et

all, 2016). Korteks serebri (area korteks motorik primer, area premotorik, dan

area motorik pelengkap) akan mengolah informasi sensoris untuk

menghasilkan sinyal motorik. Penjalaran sinyal motorik ini akan diteruskan ke

serabut piramidal melalui traktus kortikospinal lateralis medula spinalis dan

berakhir pada interneuron di region intermediet dari substansia grisea medula,

beberapa berakhir di neuron penyiar radiks dorsalis, dan berakhir secara

45
langsung di neuron-neuron motorik anterior. Neuron motorik anterior

mengadakan potensial aksi pada terminal saraf (Squire et all, 2008 dalam

Nugraha et all, 2016).

Potensial aksi akan membuka banyak kanal kalsium dalam membran

saraf terminal, akibatnya konsentrasi ion kalsium di dalam membran terminal

meningkat. Peningkatan konsentrasi ion Ca2+ di dalam membran terminal akan

meningkatkan laju penggabungan vesikel asetilkolin dan menimbulkan

eksositosis asetilkolin ke dalam ruang sinaps. Kanal asetilkolin yang terbuka

memungkinkan ion positif yang penting seperti natrium (Na+ ), kalium (K+ ),

dan kalsium (Ca2+ ) dapat bergerak mudah melewatinya. Peristiwa ini akan

menciptakan suatu perubahan potensial positif setempat di dalam membran

serabut otot yang disebut potensial end plate dan akan menimbulkan suatu

potensial aksi yang menyebar di sepanjang membran otot. Potensial aksi

menyebabkan retikulum sarkoplasma melepaskan sejumlah besar ion kalsium

dan ion-ion ini akan menimbulkan kekuatan tarikmenarik antara filamen aktin

dan miosin dan menghasilkan proses kontraksi otot. Sistem somatosensoris

juga akan memberikan feedback ke korteks motorik melalui sistem sensorik

radiks dorsalis dengan mengatur ketepatan kontraksi otot. Sinyal

somatosensorik ini timbul di kumparan otot, organ tendon otot, dan reseptor

taktil kulit yang menutupi otot dan akan menimbulkan positive feedback

enhancement dengan lebih merangsang kontraksi otot (Guiton & Hall, 2008

dalam Nugraha et all, 2016) .

Neuron berada pada keadaan terfasilitasi pada awal pelatihan, yaitu

besarnya potensial membran mendekati nilai ambang untuk peletupan daripada

46
keadaan normal tetapi belum cukup mencapai batas peletupan. Pelatihan

balance strategy exercise yang dilakukan dengan frekuensi tiga kali seminggu

selama lima minggu memberikan efek berupa adaptasi neural. Adaptasi neural

meliputi sumasi spasial dan sumasi temporal pada sistem saraf. Sumasi spasial

diartikan sebagai penjumlahan potensial postsinaps yang simultan dengan cara

mengaktivasi ujung-ujung saraf multipel pada daerah membran neuron yang

luas sedangkan sumasi temporal peningkatan tempo peletupan ujung saraf

presinaptik sehingga dapat meningkatkan potensial efektif postsinaps yang

terjadi adaptasi neural ini menimbulkan sumasi serabut multipel yaitu suatu

keadaan peningkatan jumlah unit motorik yang berkontraksi secara bersama-

sama. Dengan meningkatnya jumlah unit motorik, maka akan terjadi

peningkatan kekuatan otot (Guiton & Hall, 2008 dalam Nugraha et all, 2016).

Pelatihan balance strategy exercise, terutama ankle dan hip strategy

exercise akan memperbaiki kendala biomekanik (biomechanical constraints)

berupa peningkatan kekuatan pada otot gastrocnemius, hamstring, otot-otot

ekstensor batang tubuh, tibilias anterior, quadriceps, dan otot abdominal.

Otototot ini akan menyokong tubuh dan menyangga limit of stability sehingga

terjadi kestabilan tubuh untuk menggerakkan pusat gravitasi sejauh mungkin

pada arah anteroposterior dan mediolatera.

Respon postural otomatis tubuh dicapai ketika melakukan pelatihan

stepping strategy exercise. Pada pelatihan ini, percepatan linear tubuh akan

dideteksi oleh organ sensoris makula utrikulus yang berperan penting

menentukan orientasi kepala ketika kepala dalam posisi tegak. Di dalam

makula utrikulus terdapat beribu-ribu sel rambut dimana pangkalnya bersinaps

47
dengan ujung-ujung sensorik saraf vestibular. Ketika terjadi percepatan linear

pada pelatihan stepping strategy exercise, pelekatan filamentosa akan menarik

stereosilia ke arah kinosilium atau mendorong ke luar badan sel, sehingga ion

positif mengalir ke dalam sel dari cairan endolimfatik di sekelilingnya dan

menimbulkan depolarisasi membran reseptor. Sinyalsinyal yang sesuai

dikirimkan melalui nervus vestibularis ke nuklei vestibular untuk diolah di

batang otak. Pada sistem ini, batang otak menjalarkan sinyal eksitasi yang kuat

ke otototot antigravitasi melalui traktus vestibulospinalis medialis dan lateralis

dalam kolumna anterior medula spinalis. Tubuh akan merespon pengaktifan

otototot antigravitasi dengan melakukan feedback gerakan berupa koreksi atau

proteksi terhadap tubuh akibat suatu gangguan atau perubahan landasan tumpu.

Pelatihan stepping strategy exercise juga akan meningkatkan kontrol

dinamik yang berkaitan dengan gait and locomotion. Lansia mengalami

peningkatan perubahan posisi ketika berjalan dengan landasan tumpu yang

lebih lebar, fase menumpu yang berlangsung singkat oleh adanya kekuatan otot

yang menurun, serta fase mengayun yang memendek. Kontrol dinamik

didapatkan dengan mengaktifkan dan meningkatkan kekuatan otot-otot yang

digunakan saat melangkah, meliputi : otot-otot panggul (ekstensor, fleksor,

abduktor, adduktor, dan rotator), otot-otot lutut (ekstensor dan fleksor), kaki

dan pergelangan kaki, serta otototot postural tubuh (m. erector spinae dan m.

rectus abdominis). Pelatihan stepping strategy exercise memberikan manfaat

berupa adaptasi pada peningkatan panjang langkah serta penurunan lebar

langkah dan peningkatan kecepatan berjalan.

48
Peningkatan kontrol dinamik pada pelatihan balance strategy exercise

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hyun (2014).8 Penelitian ini

menyimpulkan bahwa pelatihan balance strategy exercise mampu memperbaiki

panjang langkah lansia pada satu siklus gait (stride length), meningkatkan

panjang langkah kaki yang berbeda (step length), serta mempersingkat waktu

dalam melangkah.

2. Pursed-lip Breathing

Pursed-lip breathing pada penderita sesak napas berguna untuk

meningkatkan volume paru. Pernapasan dengan bibir yang dirapatkan dapat

memperbaiki transfer O2 yang membantu menurunkan pengeluaran udara yang

terjebak, sehingga dapat mengontrol ekspirasi dalam memfasilitasi

pengosongan alveoli secara maksimal. Cara itu diharapkan dapat menimbulkan

tekanan saat ekspirasi sehingga aliran udara melambat dan meningkatkan

tekanan dalam rongga perut yang diteruskan sampai bronkioli sehingga kolaps

saluran napas saat ekspirasi dapat dicegah dan membuat pertukaran gas lancar,

dan arus puncak ekspirasi dapat meningkat. Hal ini sesuai dengan penelitian

oleh Abd-Elghany A.G. et al. tahun 2021 yang berjudul Mouth Mask versus

Pursed Lip Breathing on Ventilatory Functions and Dyspnea Index in Chronic

Obstructive Pulmonary Disease dimana Mounth Mask dan Pursed Lips

Breathing efektif dalam meningkatkan fungsi ventilasi, mengurangi dispnea,

meningkatkan status kesehatan dan aktivitas fisik pada pasien penyakit paru

obstruktif kronik.

3. Exercise Therapy (Walking Exercise)

49
Balke mengembangkan tes sederhana untuk mengevaluasi kapasitas

fuingsional dengan mengukur jarak tempuh berjalan selama periode waktu

tertentu. Awalnya latihan berjalan yang dikembangkan dipakai untuk menilai

disabilitas pasien dengan bronkitis kronik (American Thoracic Sosiety

Statement, 2014). Latihan berjalan digunakan untuk melihat kekuatan otot

tungkai dan daya tahan jantung pada lansia untuk menilai status fungsional

lansia dan memprediksi morbitias dan mortalitas (Oliveira, 2014).

Berjalan merupakan tes submaksimal yang diukur dengan jarak tempuh

lansia dengan berjalan diatas permukaan datar selama 30 menit. Rehabilitasi

jantung ini merupakan metode yang murah, cepat dan aman dan dapat

ditoleransi dengan baik oleh pasien pasca bedah arteri pada fase awal

rehabilitasi jantung (Fitrina, 2013). Walking exercise di indikasikan

berdasarkan status fungsional dilakukan pada lansia memprediksi morbiditas

dan mortalitas dilakukan pada lansia dengan gangguan keseimbangan untuk

meningkatkan kekuatan otot dan meningktkan keseimbangan dalam berdiridan

berjalan dengan durasi yang lama.

50

Anda mungkin juga menyukai