Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH PRESENTASI KASUS

PENATALAKSANAAN  FISIOTERAPI   PADA KASUS LANSIA


DENGAN PENURUNAN KESEIMBANGAN DI RSUD M.
NATSIR KOTA SOLOK

Diajukan Oleh:
Deana Monica P27226020348

PROGRAM STUDI PROFESI FISIOTERAPI


JURUSAN FISIOTERAPI
POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA
2021
MAKALAH PRESENTASI KASUS
PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS LANSIA DENGAN
PENURUNAN KEKUATAN OTOT DI RSUD M NATSIR KOTA SOLOK

Diajukan oleh
DEANA MONICA P27226020348

Telah disetujui Pada tanggal : ………………………….

Mengetahui Pembimbing Praktek

RONAL LUFITOS
NIP.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Undang – Undang No. 23 Tahun 1992 mendefinisikan lanjut usia adalah


seseorang yang karena usianya mengalami perubahan biologik, fisik, kejiwaan,
dan sosial. Perubahan ini akan memberikan pengaruh pada aspek kehidupan
termasuk kesehatannya. Lanjut usia adalah tahap masa tua dalam perkembangan
individu dengan batasan usia mulai 60 tahun ke atas (Dewy, 2013). Menurut
World Health Organization (2014) lanjut usia adalah seseorang yang memasuki
umur 60 tahun atau lebih, berdasarkan kriteria Badan Kesehatan Dunia (WHO)
membagi batasan usia lansia menjadi: kelompok usia 45 – 59 tahun sebagai usia
pertengahan (middle elderly), kelompok usia 60 – 74 tahun disebut lansia
(elderly), kelompok usia 75 – 90 tahun disebut tua (old), dan usia di atas 90 tahun
disebut sangat tua (very old). Menurut data WHO, di kawasan Asia Tenggara
populasi lansia sebesar 8% atau sekitar 142 juta jiwa. Pada tahun 2050
diperkirakan populasi lansia meningkat 3 kali lipat dari tahun ini. Pada tahun 2020
diperkirakan jumlah lansia mencapai 24.000.000 (9,77%) dari total populasi, dan
tahun 2020 diperkirakan jumlah lansia mencapai 28.000.000 (11,34%) dari total
populasi.
Jumlah lansia di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung meningkat.
Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2010 jumlah lanjut usia di Indonesia
yaitu 18,1 juta jiwa (7,6 % dari total penduduk). Pada tahun 2014 jumlah
penduduk lanjut usia di Indonesia menjadi 18,781 juta jiwa dan diperkirakan pada
tahun 2025 jumlah lansia akan mencapai 36 juta jiwa (Kemenkes, 2015).
Berdasarkan hasil Susenas tahun 2016, jumlah lansia di Indonesia mencapai 22,4
juta jiwa atau 8,69% dari jumlah penduduk. Sementara menurut proyeksi BPS
tahun 2015, pada tahun 2018 jumlah lansia diperkirakan mencapai 9,3% atau 24,7
juta jiwa. Dengan jumlah lansia yang semakin besar, menjadi tantangan bagi kita
semua agar dapat mempersiapkan lansia yang sehat dan mandiri sehingga
nantinya tidak menjadi beban bagi masyarakat maupun negara, dan justru menjadi
asset sumber daya manusia yang potensial.
Hasil pembangunan nasional telah menciptakan kondisi sosial masyarakat
yang semakin baik dan usia harapan hidup yang semakin meningkat, sehingga
jumlah lansia makin bertambah. Usia harapan hidup merupakan salah satu
indikator keberhasilan pencapaian pembangunan nasional terutama di bidang
kesehatan. Sejak tahun 2004-2015 memperlihatkan adanya peningkatan usia
harapan hidup di Indonesia dari 68,6 tahun menjadi 70,8 tahun dan meningkat
pada tahun 2030-2035 mencapai 72,2 tahun (BPS, 2015). Dari jumlah orang
lansia berdasarkan jenis kelamin di tahun 2017, penduduk lansia perempuan lebih
mendominasi 9,53% dibandingkan laki-laki sebanyak 8,54%, hal ini menunjukkan
bahwa harapan hidup yang paling tinggi adalah perempuan (Kemenkes,2017).
Untuk mencapai kualitas hidup masyarakat secara optimal, salah satunya
dengan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal pula kepada
sebagian besar masyarakat. Pembangunan kesehatan pada dasarnya bertujuan
untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya,
sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara
sosial dan ekonomis seperti yang tercantum dalam Undang - Undang Republik
Indonesia nomor 36 tahun 2009.
Perubahan-perubahan akan terjadi pada tubuh manusia sejalan dengan
semakin bertambahnya usia. Perubahan tersebut disertai dengan penurunan fungsi
tubuh secara umum dan semakin terlihat ketika memasuki tahapan lanjut usia.
Akibat proses penuaan maka akan didapatkan berbagai permasalahan kesehatan
seperti gangguan muskuloskeletal, kardiovaskuler respirasi,urogenital, hormonal,
fungsi saraf, dan integumen. Lansia akan mengalami kemunduran atau perubahan
morfologis pada otot yang menyebabkan perubahan fungsional otot, yaitu terjadi
penurunan kekuatan dan kontraksi otot, elastisitas dan fleksibilitas otot, serta
kecepatan dan waktu reaksi (Dewy, 2013).
Penurunan fungsi dan kekuatan otot akan mengakibatkan penurunan
kemampuan mempertahankan keseimbangan postural atau keseimbangan tubuh
lansia. Lansia merupakan kelompok umur yang paling beresiko mengalami
gangguan keseimbangan postural (Ceranski, 2006). Keseimbangan yang tidak
dikontrol akan meningkatkan resiko jatuh pada lansia.Keseimbangan adalah kunci
untuk aktivitas kehidupan sehari-hari, kinerja, pencegahan jatuh dan kemandirian.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi resiko jatuh pada lansia diantaranya
faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intriksik meliputi sistem sensoris,
sistem muskuloskeletal, sistem saraf pusat, demensia, gangguan gaya berjalan,
kelemahan otot ektremitas bawah dan kekakuan sendi, sedangkan faktor ekstrinsik
meliputi kondisi lantai yang licin, kurangnya pencahayaan, barang-barang yang
tidak rapi sehingga membuat lansia tersandung, adanya alat bantu yang digunakan
untuk berjalan dan kondisi lingkungan sekitar (Darmojo, 2004).
Menurut Crutchfield yang dikutip oleh Brody (1999) keseimbangan
merupakan kemampuan untuk menjaga atau mengatur Center of Gravity (CoG)
dan Base of Support (BoS). Menurut Utomo dalam modul Geriatri (2015) untuk
mempertahankan keseimbangan diperlukan interaksi antara sistem saraf dan
sistem muskuloskeletal. Keseimbangan dibagi menjadi keseimbangan statis dan
keseimbangan dinamis. Keseimbangan statis adalah keseimbangan yang
diperlukan seeorang untuk mempertahankan posisi tertentu, sedangkan
keseimbangan dinamis adalah kemampuan tubuh dalam menjaga keseimbangan
saat melakukan gerakan atau aktivitas seperti berjalan atau berlari.
Kekuatan otot, keseimbangan, dan kemampuan berjalan merupakan
komponen kunci dari kemampuan fungsional pada lansia (Hassinen et al, 2005).
Kelemahan otot ekstremitas bawah khususnya otot quadriceps serta gangguan
keseimbangan atau ketidakstabilan postural telah diidentifikasi sebagai
kontributor independen utama untuk jatuh. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Unit Pelayanan Sosial Tresna Werdha (UPSTW) Bangkalan, Jawa Timur,
didapatkan hasil bahwa sekitar 63% lansia di tempat tersebut mengalami
gangguan keseimbangan tubuh akibat kelemahan otot ekstremitas bawah.
Penurunan kekuatan otot ekstremitas bawah dapat mengakibatkan kelambanan
gerak, langkah pendek, kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan lebih mudah
goyah, serta menurunnya mobilitas lansia.
Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa latihan keseimbangan yang di
lakukan 3 kali seminggu selama 3 minggu dapat meningkatkan keseimbangan
postural lansia (Kusnanto et all., 2007) dan latihan penguatan otot memberikan
efek yang signifikan terhadap peningkatan keseimbangan lansia. Oleh karena itu
peneliti ingin meneliti mengenai pengaruh latihan penguatan otot terhadap
keseimbangan lansia. Dengan dilakukan penelitian ini diharapkan hasilnya dapat
menjadi masukan khususnya bagi teman sejawat fisioterapis dan rehabilitasi
medis lain untuk menambah wawasan dalam merancang desain terapi untuk
lansia.
Ketika bertambah usia kemampuan proprioseptif cenderung melemah, hal
ini disebabkan karena transmisi pesan baik dari sistem saraf pusat maupun ke
sistem saraf pusat menjadi lebih lamban. Pada akhirnya proprioception yang
buruk dapat berpengaruh negatif terhadap keseimbangan, koordinasi, dan
kelincahan yang kesemuanya dapat meningkatkan resiko tinggi jatuh (Fisk, 2015).
Gangguan keseimbangan dapat dicegah, diperbaiki, maupun ditingkatkan dengan
latihan keseimbangan, salah satu diantaranya adalah latihan proprioseptif atau
proprioceptive training. Proprioceptive training dapat berkontribusi untuk postur,
keseimbangan, pola jalan, dan fungsional yang lebih baik pada lanjut usia (Fisk,
2015).
Proprioceptive training adalah salah satu konsep dari latihan rehabilitasi
memodifikasi weight bearing exercise dengan membuat permukaan tidak stabil
dalam latihan tersebut. Permukaan yang tidak stabil diasumsikan dapat
menciptakan lingkungan yang dapat memperkaya proprioseptif dan semakin
menantang proprioseptor dan sistem saraf untuk bekerja ( Kim et al, 2011).
Proprioceptive training adalah salah satu konsep dari latihan rehabilitasi
memodifikasi weight bearing exercise dengan membuat permukaan tidak stabil
dalam latihan tersebut. Permukaan yang tidak stabil diasumsikan dapat
menciptakan lingkungan yang dapat memperkaya proprioseptif dan semakin
menantang proprioseptor dan sistem saraf untuk bekerja ( Kim et al, 2011).
Sistem proprioseptif memungkinkan mengkoreksi fungsi lokomotor
selama bergerak dan aktivitas olah raga, menjaga tonus otot, dan membantu
membedakan secara tepat gerak tubuh yang terisolasi pada koreografi atraktif
sport dance.
B. Rumusan Masalah
Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimanakah
pelaksanaan fisioterapi berupa Proprioceptive training untuk meningkatkan
keseimbangan pada lansia dengan gangguan keseimbangan?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah untuk mengetahui
apakah ada pengaruh proprioceptive training terhadap keseimbangan lansia.
D. Manfaat Penulisan
Hasil penelitian diharapkan memberi manfaat :
1. Bagi Rumah Sakit
Makalah ini diharapkan bisa menjadi literatur terhadap rumah sakit
mengenai penatalaksanaan fisioterapi terhadap kasus keseimbangan lansia
2. Bagi Masyarakat
Hasil makalah ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada
masyarakat mengenai penatalaksanaan fisioterapi terhadap kasus seimbangan
lansia
3. Bagi Penulis
Untuk mengetahui dan menganalisis pemberiaan terapi yang baik bagi pasin
yang mempunyai gangguan keseimbangan lansia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Lanjut Usia
1. Defisini Lansia
Lanjut usia adalah kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses
perubahan yang bertahap dalam jangka waktu beberapa dekade sebagai tahap
akhir siklus kehidupan yang merupakan tahap perkembangan normal yang akan
dialami oleh setiap individu yang mencapai usia lanjut dan merupakan kenyataan
yang tidak dapat dipungkiri. Menurut Undang-undang Republik Indonesia nomor
13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia adalah penduduk yang telah
mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas (Notoatmodjo, 2011).
Sedangkan menurut Santoso dan Rohmah (2011) lanjut usia adalah orang
yang sistem-sistem biologisnya mengalami perubahanperubahan struktur dan
fungsi dikarenakan usianya yang sudah lanjut. Perubahan ini dapat berlangsung
mulus sehingga tidak menimbulkan ketidakmampuan atau dapat terjadi sangat
nyata dan berakibat ketidakmampuan total. Menua dalam proses menua biologis
adalah proses terkait waktu yang berkesinambungan dan pada umumnya
mencerminkan umur kronologis namun sangat bervariasi dan bersifat individual,
dengan perubahan yang dapat berlangsung mulus sehingga tidak menimbulkan
ketidakmampuan atau dapat terjadi sangat nyata dan berakibat ketidakmampuan
total.
Menurut Depkes RI (2009) penuaan adalah suatu proses alami yang tidak
dapat dihindari, berjalan secara terus-menerus, dan berkesinambungan.
Selanjutnya akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia pada
tubuh. Sehingga akan memperngaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara
keseluruhan. Usia lanjut dapat dikatakan usia emas karena tidak semua orang
dapat mencapai usia tersebut. Orang yang berusia lanjut (lansia) memerlukan
tindakan keperawatan, baik promotif maupun preventif, agar dapat menikmati
masa usia emas serta menjadi usia lanjut yang berguna dan bahagia. Istilah untuk
manusia yang berusia lanjut belum ada yang baku. Orang memiliki sebutan yang
berbeda-beda terhadap keberadaan usia lanjut. Ada yang menyebut manusia usia
lanjut (manula), manusia lanjut usia (lansia), golongan lanjut umur (glamur), usia
lanjut (usila), bahkan di Inggris orang menyebutnya warga negara senior. Untuk
menyeragamkannya, maka penelitian ini menggunakan istilah manusia lanjut usia
(Michan, 2015).
2. Batasan usia
Menurut Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan
Lansia, lansia didefinisikan sebagai orang / penduduk yang berusia di atas 60
tahun. Sedangkan WHO membedakan lansia menjadi 4 kategori yaitu : (1) usia
pertengahan (middle age) : 45-59 tahun , (2) lanjut usia (elderly) : 60-74 tahun ,
(3) lanjut usia tua (old) : 75-90 tahun, (4) usia sangat tua ( very old ) : >90 tahun.
Disamping itu Departemen Kesehatan (DEPKES) RI pada tahun 2003 juga
membagi lansia dalam 5 kelompok, yaitu : (1) prelansia (presenilis), yaitu orang
yang berusia 45-59 tahun, (2) lansia, yaitu orang yang berusia lebih dari sama
dengan 60 tahun, (3) lansia resiko tinggi, yaitu orang yang usianya 70 tahun lebih
atau berusia lebih dari 60 tahun dengan masalah kesehatan, (4) lansia potensial,
yaitu lansia yang mampu melakukan kegiatan atau pekerjaan yang dapat
menghasilkan barang maupun jasa, (5) lansia tidak potensial, yaitu lansia yang
tidak mampu mencari nafkah sehingga bergantung pada orang lain.
3. Teori Penuaan
Terdapat beberapa teori mengenai penuaan namun tidak semua dari teoriteori
tersebut yang dianggap benar. Ada 4 teori utama yang menjelaskan terjadinya
proses yaitu:
a. Teori wear and tear
Sel-sel yang ada dalam tubuh manusia akan menjadi rusak karena terlalu
sering digunakan dan disalahgunakan tanpa kita sadari. Organ-organ tubuh seperti
hati, lambung, ginjal, kulit, dan organ yang lain akan menurun fungsinya karena
toksin yang terdapat pada makanan dan lingkungan. Selain itu konsumsi gula,
lemak, kafein, alkohol yang berlebihan serta paparan sinar ultraviolet, stress fisik
dan emosional juga menjadi penyebabnya. Kerusakan yang terjadi bukan hanya
pada organ tubuh melainkan juga pada tingkat sel-sel tubuh kita.
b. Teori neuroendorkin
Teori ini mengenai peranan hormone bagi fungsi organ tubuh.Pada saat usia
muda hormon dalam tubuh manusia bekerja dengan optimal untuk mengendalikan
berbagai fungsi organ tubuh. Hormon bersifat vital untuk mengatur fungsi tubuh.
Namun ketika manusia menjadi tua produksi hormon dalam tubuh akan berkurang
yang akan menyebabkan terganggunya berbagai fungsi tubuh. Penurunan
produksi hormone yang signifikan terjadi pada produksi Human Growth Hormon
(HGH), testosterone, dan tiroid.
c. Teori genetika
Teori genetika menjelaskan bahwa penuaan merupakan suatu proses yang
alami dimana hal ini telah diwariskan secara turun temurun (genetik) dan tanpa
disadari merubah sel serta struktur jaringan. Teori ini bergantung dari dampak
lingkungan pada tubuh yang dapat mempengaruhi susunan molekuler.
d. Teori radiakal bebas
Radikal bebas diyakini sebagai unsur yang mempercepat penuaan. Radikal
bebas merupakan sampah metabolisme yang dapat menyebabkan kerusakan pada
tubuh apabila terakumulasi. Radikal bebas bersifat sangat reaktif dan akan
merusak membran sel, DNA, dan protein. Radikal bebas juga terdapat di
lingkungan seperti polusi kendaraan bermotor, radiasi, paparan sinar ultraviolet
mengakibatkan perubahan pigmen dan kolagen pada proses penuaan. Oleh karena
itu berdasarkan teori ini terbentuknya radikal bebas yang berlebihan harus
dihindari.
Dari teori-teori dalam proses penuaan yang terjadi dalam tubuh manusia
akan mempengaruhi berbagai sistem pada tubuh antara lain sebagai berikut :
1. System kardiovaskuler
Pada sistem kardiovaskuler terjadi penurunan elastisitas dinding aorta,
penebalan pada katup jantung, meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer,
menurunnya kemampuan kontraksi otot jantung untuk memompa darah.
2. System respirasi
Pada sistem respirasi otot-otot pernafasan akan kehilangan kekuatannya,
berkurangnya elastisitas paru, alveoli akan melebar ukurannya serta jumlahnya
berkurang.
3. System indra
Pada sistem indera terjadi hilangnya daya akomodasi, timbulnya sklerosis
serta hilangnya respon terhadap sinar, dan berkurangnya jarak pandang mata.
4. System integument
Pada sistem integumen terbentuk keriput pada kulit karena berkurangnya
jaringan lemak, permukaan kulit menjadi kasar dan bersisik karena menurunnya
kemampuan keratinisasi, dan perubahan ukuran serta bentuk sel epidermis.
5. System saraf
Pada sistem saraf terjadi penurunan kemampuan analisis dan integritas,
penurunan fungsi saraf eferen yang menyebabkan gangguan persepsi sensorik,
terjadi penurunan fungsi dari saraf aferen sehingga terjadi penurunan
penyampaian informasi sensorik dari organ luar yang terkena rangsangan.
6. System musculoskeletal
Pada sistem muskuloskeletal terjadi atrofi pada otot,penurunan jumlah dan
massa otot, berkurangnya elastisitas ligamen, melambatnya perusakan dan
pembentukan pada tulang.

B. Keseimbangan Pada Lansia

1. Definisi keseimbangan
Keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan proyeksi pusat
tubuh pada landasan penunjang baik saat berdiri, duduk, dan berjalan (Winter,
1995 dalam Howe, et al. 2008). Sedangkan menurut Utomo dalam modul Geriatri
(2015) mempertahankan keseimbangan diperlukan interaksi antara sistem saraf
dan sistem muskuloskeletal. Sistem muskuloskeletal diantaranya terdiri dari
lingkup gerak sendi, fleksibilitas trunk, dan kekuatan otot. Adapun sistem saraf
melalui proses motoris (respon neuromuskuler), proses sensoris (interaksi sistem
visual, vestibular, dan somatosensoris-proprioseptif), dan proses integrasi level
tinggi (antisipasi dan adaptasi postur).
Keseimbangan dibutuhkan untuk mempertahankan posisi dan stabilitas ketika
bergerak dari satu posisi ke posisi yang lain. Keseimbangan dibedakan menjadi 2
yaitu keseimbangan statis dan keseimbangan dinamis.Keseimbangan statis adalah
kemampuan untuk mempertahankan posisi dalam periode tertentu dan
keseimbangan dinamis untuk memelihara keseimbangan pada saat melakukan
gerakan (Setiati & Laksmi, 2009).Gangguan keseimbangan dinamis pada lansia
merupakan gangguan yang disebabkan oleh perubahan-perubahan fisiologis
terkait proses degenerasi. Seiring dengan bertambahnya usia terjadi penurunan
fungsi komponen-komponen pengontrol keseimbangan.
Komponen-komponen pengontrol kesimbangan adalah:
a. Visual
Visual memegang peran penting dalam sistem sensoris. Cratty & Martin
(1969) menyatakan bahwa keseimbangan akan terus berkembang sesuai umur,
mata akan membantu agar tetap fokus pada titik utama untuk mempertahankan
keseimbangan, dan sebagai monitor tubuh selama melakukan gerak statik atau
dinamik. Penglihatan juga merupakan sumber utama informasi tentang
lingkungan dan tempat kita berada, penglihatan memegang peran penting untuk
mengidentifikasi dan mengatur jarak gerak sesuai lingkungan tempat kita
berada.Penglihatan muncul ketika mata menerima sinar yang berasal dari obyek
sesuai jarak pandang.Dengan informasi visual, maka tubuh dapat menyesuaikan
atau bereaksi terhadap perubahan bidang pada lingkungan aktivitas sehingga
memberikan kerja otot yang sinergis untuk mempertahankan keseimbangan tubuh.
b. Vestibular
Komponen vestibular merupakan sistem sensoris yang berfungsi penting
dalam keseimbangan, kontrol kepala, dan gerak bola mata. Reseptor sensoris
vestibular berada di dalam telinga.Reseptor pada sistem vestibular meliputi
kanalis semisirkularis, utrikulus, serta sakulus.Reseptor dari sistem sensoris ini
disebut dengan sistem labyrinthine.Sistem labyrinthine mendeteksi perubahan
posisi kepala dan percepatan perubahan sudut.Melalui refleks vestibulo-occular,
mereka mengontrol gerak mata, terutama ketika melihat obyek yang
bergerak.Mereka meneruskan pesan melalui saraf kranialis VIII ke nukleus
vestibular yang berlokasi di batang otak.Beberapa stimulus tidak menuju nukleus
vestibular tetapi ke serebelum, formatio retikularis, thalamus dan korteks serebri.
Nukleus vestibular menerima masukan atau input dari reseptor labyrinth,
retikular formasi, dan serebelum. Keluaran atau output dari nukleus vestibular
menuju ke motor neuron melalui medula spinalis tidak terlepas dari peran traktus
vestibulospinal medial dan vestibulospinal lateral yang memberikan input pada
sumsum tulang belakang dimana terdapat motoneurons ekstremitas. Pengaruh
utama dari vestibulospinal medial adalah pada otot-otot tubuh bagian atas
terutama otot leher, meskipun sebagian kecil dari proyeksi traktus vestibulospinal
medial memberikan input ke segmen yang mengandung motoneuron ekstremitas
atas. Sedangkan pada vestibulospinal lateral yang terdapat pada sepanjang
sumsum tulang belakang memberikan input pada segmen sumsum tulang
belakang yang mengandung motoneuron yang menginervasi ekstremitas atas dan
bawah. Traktus vestibulospinal lateral memberikan input yang lebih luas daripada
vestibulospinal medial. Sistem vestibular bereaksi sangat cepat sehingga
membantu mempertahankan keseimbangan tubuh dengan mengontrol otot-otot
postural.
c. Somatosensoris
Sistem somatosensoris terdiri dari taktil atau proprioseptif serta persepsi
kognitif. Informasi propriosepsi disalurkan ke otak melalui kolumna dorsalis
medula spinalis. Sebagian besar masukan (input) proprioseptif menuju serebelum,
tetapi ada pula yang menuju ke korteks serebri melalui lemniskus medialis dan
thalamus.Kesadaran akan posisi berbagai bagian tubuh dalam ruang sebagian
bergantung pada impuls yang datang dari alat indra dalam dan sekitar sendi. Alat
indra tersebut adalah ujung-ujung saraf yang beradaptasi lambat di sinovia dan
ligamentum. Impuls dari alat indra ini dari reseptor raba di kulit dan jaringan lain,
serta otot di proses di korteks menjadi kesadaran akan posisi tubuh dalam ruang
Keseimbangan dibutuhkan untuk mempertahankan posisi dan stabilitas ketika
bergerak dari satu posisi ke posisi yang lain (Lee& Scudds, 2003). Keseimbangan
memiliki reaksi yang kompleks dari integrasi maupun interaksi sistem sensorik
yang terdiri dari vestibular, visual, dan somatosensorik termasuk propioceptor.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan antara lain:
a. Pusat gravitasi atau center of gravity
Pusat gravitasi terdapat pada semua obyek, pada benda, pusat gravitasi terletak
tepat di tengah benda tersebut. Pusat gravitasi adalah titik utama pada tubuh yang
akan mendistribusikan massa tubuh secara merata. Bila tubuh selalu ditopang oleh
titik ini, maka tubuh dalam keadaan seimbang.Pada manusia, pusat gravitasi
berpindah sesuai dengan arah atau perubahan berat. Pusat gravitasi manusia ketika
berdiri tegak adalah tepat di atas pinggang diantara depan dan belakang vertebra
sakrum ke dua. Derajat stabilitas tubuh dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu :
ketinggian dari titik pusat gravitasi dengan bidang tumpu, ukuran bidang tumpu,
lokasi garis gravitasi dengan bidang tumpu, serta berat badan.
b. Garis gravity atau line of gravity
Garis gravitasi merupakan garis imajiner yang berada vertikal melalui pusat
gravitasi dengan pusat bumi. Hubungan antara garis gravitasi, pusat gravitasi
dengan bidang tumpu adalah menentukan derajat stabilitas tubuh.
c. Bidang tumpu atau base of support
Bidang tumpu merupakan bagian dari tubuh yang berhubungan dengan
permukaan tumpuan. Ketika garis gravitasi tepat berada di bidang tumpu, tubuh
dalam keadaan seimbang.Stabilitas yang baik terbentuk dari luasnya area bidang
tumpu.Semakin besar bidang tumpu, semakin tinggi stabilitas. Misalnya berdiri
dengan kedua kaki akan lebih stabil dibanding berdiri dengan satu kaki. Semakin
dekat bidang tumpu dengan pusat gravitasi, maka stabilitas tubuh makin tinggi.
2. Fisiologis Keseimbangan
Reflek keseimbangan merupakan kerjasama yang berkesinambungan antara 3
sistem sensoris (vestibular, visual, propioceptif) dan respon motoris untuk
merespon perubahan titik gravitasi, pergerakan linier, perubahan permukaan
tanah, tingkat penerangan, serta informasi visual seperti benda yang menghalangi
atau yang tiba-tiba datang mendekat. Sistem sensorik memberikan informasi
tentang posisi tubuh dihubungkan dengan gravitasi dan lingkungan serta posisi
masing- masing anggota tubuh satu sama lain. Neuromuskuler dan
musculoskeletal berperan dalam mengontrol posisi tubuh dan keluaran motorik.
Sedangkan sistem saraf pusat diperlukan untuk integrasi, adaptasi, dan antisipiasi
dari respon keseimbangan (Barnedh, 2006).
Jika seseorang berdiri diatas permukaan yang tidak bergerak dengan lapang
visual yang stabil, maka input visual dan somatosensorik mendominasi kontrol
orientasi dan keseimbangan yang lebih sensitif dari sistem vestibular terhadap
perubahan posisi tubuh yang halus. Sistem somatosensorik khususnya
propioceptif lebih sensitif terhadap perubahan cepat dari orientasi tubuh,
sedangkan sistem visual lebih sensitive terhadap perubahan posisi lebih lambat.
Sedangkan bila seseorang berdiri diatas permukaan yang bergerak atau miring,
otot-otot batang tubuh dan ekstremitas bawah kontraksi dengan cepat untuk
mengembalikan pusat gravitasi tubuh ke posisi seimbang. Dalam hal ini yang
berperan adalah sistem propioseptif dan vestibular. Sistem vestibular terutama
berperan dalam perubahan posisi yang lambat. Sedangkan perubahan posisi yang
cepat terutama dikompensasi oleh sistem propioseptif (Bernerdh,2006)
3. Keseimbangan pada lanjut usia
Dari pemaparan sebelumnya bahwa setidaknya ada tiga komponen utama
yang mempengaruhi atau berkontribusi dalam kontrol keseimbangan yaitu input
sensoris, integrasi pusat, dan neuromuskuloskeletal. Pada lanjut usia adanya
gangguan fungsi sensorik mengakibatkan gangguan penerimaan informasi dari
reseptor sensorik sehingga mengakibatkan penurunan kontrol motorik atau
gangguan gerakan, dengan gejala berupa gangguan fungsi proprioseptif seperti
gangguan rasa gerak, getar, dan posisi. Gangguan keseimbangan merupakan
gangguan fungsi sensomotorik utama pada lanjut usia. Penuaan menyebabkan
penurunan persepsi sensorik dan respons motorik pada susunan saraf pusat dan
penurunan reseptor propioceptif. Hal ini terjadi karena susunan saraf pusat pada
lansia mengalami perubahan morfologis dan biokimia. Penunuran fungsi organ
vestibular, penurunan penglihatan, atau berkurangnya fungsi proprioseptif dapat
merusak keseimbangan (Brody, 1999; Utomo dan Pudjiastuti, 2003). Kekauan
sendi, penurunan LGS, penurunan kekuatan otot, dan penurunan fleksibilitas
merupakan dampak penuaan pada sistem efektor yang dapat menurunkan
keseimbangan pada lansia (Chandler, 2000).
Gangguan keseimbangan dan koordinasi adalah gangguan fungsi
sensomototik utama pada lansia (Utomo dan Pudjiatuti, 2003). Lanjut usia
meningkatkan keterbatasan kemampuan untuk aktivitas keseharian karena
keseimbangan yang buruk, penurunan kekuatan, kelemahan keseluruhan, atau
jatuh yang berulang (Guccione, 2000).

C. Proprioceptive Training
1. Definisi Propiocetive
Sherrington dalam Kim et al (2011) mendifinisikan kesadaran dalam posisi
tubuh dan gerakan sebagai proprioception (propriosepsi), propriosepsi sebagai
persepsi tidak selalu dirasakan secara sadar tetapi berkontribusi untuk sensasi
sadar seperti rasa otot, jumlah postur, dan stabilitas sendi. Propriosepsi adalah
informasi aferen dari proprioceptors. Proprioceptors adalah reseptor sensorik
perifer terletak di bidang proprioseptif. Bidang proprioseptif adalah area di dalam
jaringan sendi dan mendalam yang mampu memberikan persepsi diri posisi dan
gerakan.
Proprioseptor berada pada kulit, otot, dan sendi (Proske dan Gandavia, 2012)
yang terdiri dari : (1) korpus vater paccini yang terletak di bawah kulit dan
jaringan ikat untuk penerima rangsang rasa tekan, (2) organ golgi terletak pada
tendon dan selaput sendi menerima sinyal tekanan dan kekuatan otot, (3) muscle
spindle terletak di otot menerima respon panjang otot. Persepsi posisi sendi dalam
ruang secara khusus disebut sebagai joint potition sense. Sensasi arah gerakan
sendi dan kecepatan disebut sebagai kinestesis. Informasi proprioseptif dikirim ke
sistem saraf pusat (SSP) melalui jalur saraf aferen untuk menghasilkan kesadaran
tungkai, trunkus, dan posisi kepala dan gerakan, yang memberikan kontribusi
untuk reflek dan respon motorik kognitif.
Susunan proprioseptif adalah susunan saraf yang menghantarkan impils tekan,
getar, gerak, sikap, nyeri dalam, dan rasa diskriminatif. Sel neuron susunan
proprioseptif mempunyai neurit dan dendrit yang hampir sama panjangnya.
Bagian dendrit berjalan dari reseptor sampai sel bipolar di ganglion spinalis dan
bagian neuritnya mulai dari ganglion spinalis sampai nukleus kuneatus dan
nukleus grasilis di medula oblongata. Neurit-neurit menyusun funikulus kuneatus
dan funikulus grasilis. Neurit ganglion spinalis, lumbalis, dan torakalis berkumpul
menjadi funikulus kuneatus.
Pada awalnya proprioceptive training adalah salah satu konsep dari latihan
rehabilitasi memodifikasi weight bearing exercise dengan membuat permukaan
tidak stabil dalam latihan tersebut. Permukaan yang tidak stabil diasumsikan dapat
menciptakan lingkungan yang dapat memperkaya proprioseptif dan semakin
menantang proprioseptor dan sistem saraf untuk bekerja ( Kim et al, 2011).
2. Gerakkan Propiocetive Training
Sesi latihan ini dilengkapi dengan pemanasan dan ada pendinginan. Setiap sesi
latihan terdiri dari dua set dimana istirahat antar set 10 detik
a. Pemanasan
Proprioceptive training diawali dengan pemanasan terlebih dahulu adapun
gerakan pemanasan ini adalah gerakan-gerakan sederhana.
1) Kepala
Beberapa gerakan untuk kepala terdiri dari : (1) menekuk kepala yang ditahan
10 detik lalu kepala menengadah ditahan 10 detik, dan (2) memutar kepala ke
kanan dan kiri, masing-masing sisi ditahan selama 10 detik.
2) Lengan
Terdiri dari gerakan : (1) mengulur lengan atas bagian belakang seperti
gambar diatas, lengan kanan bergantian dengan lengan kiri, dan ditahan 10 detik,
(2) menautkan kedua tangan dan menarik kedua lengan ke depan, tahan selama 10
detik, (3) mengangkat lengan kanan keatas dan membawa tubuh ke arah kiri,
tahan sepuluh detik dan lakukan pada sisi yang lain, dan (4) menautkan tangan
dibelakang dan menariknya selama 10 detik
3) Pinggang dan Kaki
Terdiri dari dua gerakan yaitu : (1) meletakkan tangan dipinggang lalu
gerakan pinggang ke arah samping kanan dan bergantian ke kiri, ditahan 10 detik
masing-masing sisi, dan (2) meluruskan tungkai dan memegang pergelangan kaki
kanan dan menahannya selama 10 detik, lalu bergantian tungkai kiri.
b. Pendinginan
Gerakan pendinginan berupa gerakan yang sama dalam pemanasan dan
pernapasan dalam yang dilakukan dua kali pengulangan.
Tabel 2.1
Latihan Dasar
Gerakan atau posisi Deskripsi Durasi
Standing with two feet Berdiri tetap dengan 60 detik
support posture tumpuan kedua kaku
Standing with two feet Berdiri dengan kaku agak Tahan 10 detik, lakukan 3
support posture and dibuka lebar , lalu kali pengulangan setiap
weight shift memindahkan berat sisi
badan ke kanan dan
bergantian ke kiri
Standing with one foot Berdiri dengan satu kaki 60 detik
forward di depan yang lain, sebisa
mungkin tumit yang
depan menyentuk jaru
jari kaki yang dibelakang
Standing with one foot Berdiri dengan satu kaki Tahan 10 detik, lakukan 3
forward and weight shift didepan kaki yang lain, kali pengulangan setiap
lalu memindahkan berat sesi
badan ke depan dan
bergantain ke belakang
Knee flexion of both legs Berdiri dengan kedua Tahan 10 detik, lakukan 3
kaku sedikit lebar lalu kali pengulangan setiap
kedua lutut ditekuk sesi
Toe stand Berdiri dengan jari jari Tahan 10 detik, lakukan 3
kaki (kedua tumit di kali pengulangan setiap
angkat lalu kembali) sesi
Heel stand Berdiri dengan kedua Tahan 10 detik, lakukan 3
tumit (jari-jari kaki kali pengulangan setiap
diangkat lalu kembali) sesi
One legged stance Berdiri dengan satu kaku 60 detik
lalu bergantian dengan
kaki yang lain
Sideways walking Berjalan kesamping Sejauh 3 meter lakukan 3
kali pengulangan
Toe walking Berjalan dengan jari-jari Sejauh 3 meter lakukan 3
kaki ke depan kali pengulangan
Heel walking Berjalan dengan kedua Sejauh 3 meter lakukan 3
tumit ke depan kali pengulangan
Walking in a straight Berjalan pada satu garis Sejauh 3 meter lakukan 3
lurus, dengan tumit yang kali pengulangan
didepan menyentuh jari-
jari kedepan

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pasien berinisial Ny. K yang berusia 68 tahun dengan kondisi osteoarthritis genu
bilateral dan post stroke hemorage yang mengalami penurunan kekuatan otot serta
gangguan keseimbangan, setelah mendapat tindakan fisioterapi berupa MWD,
Tens, dan terapi latihan, didapatkan hasil :
- Penurunan nyeri
- Belum terjadi peningkatan kekuatan otot tungkai
- Belum terdapat peningkatan keseimbangan
- Belum terdapat kemampuan fungsional sehari-hari yang signifikan
B. Saran
1. Bagi Fisioterapis
- Melanjutkan program fisioterapi dengan menambahkan latihan - latihan
stabilisasi pada lutut dan mulai memberikan latihan untuk proprioceptive.
- Mencari literatur terbaik yang digunakan sebagai evidence based practice untuk
pasien dengan kondisi penurunan kekuatan otot dan gangguan keseimbangan
lebih banyak lagi agar hasil terapi yang didapatkan bisa lebih optimal.
2. Bagi Pasien
- Pasien diminta untuk melakukan sendiri dirumah latihan yang sudah diajarkan
terapis namun harus tetap didampingi untuk mencegah pasien jatuh.
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia., 2009; Kategori Usia; Diakses
tanggal 5/6/2019 dari http;//kategori-umur-menurut-Depkes.html
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia., 2015; Jumlah Penduduk Lanjut Usia
Meningkat; Diakses tanggal 28/5/2019 dari
http:?//www.depkes.go.id/indeks.php?option=news&task=viewarticle&sid=
3135&Itemid=
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia., 2015; Jumlah Penduduk Lanjut Usia
Meningkat; Diakses tanggal http://www.depkes.go.id/article/view/1805090
0001/lansia-sejahtera-masyarakat-bahagia-.html
4. Dewy I., 2013; Analisis Praktek Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat
Perkotaan pada Nenek Y dengan Masalah Hambatan Mobilitas Fisik di Wisma
Bungur Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti; Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia, Depok, hal. 1, 11, 15-19
5. Badan Pusat Statistik., 2015; Situasi Lanjut Usia; Diakses tanggal 28/5/2019, dari
http;//www. kemenkes.go.id/product?infodatin-situasi-lanjut-usia-236178
6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia., 2017; Analisis Lansia di Indonesia;
Diakses tanggal 28/52019, dari
www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/lain-lain/Analisis-Lansiadi-
Indonesia
7. Hassinen, M., Komulainen, P., Lakka, T.A., Vaisanen, S.B., and Rauramaa, R.,
2005; Associations of Body Composition and Physical Activity with Balance and
Walking Ability in The Elderly; Diakses tanggal 25/4/18, dari
http://journals.humankinetics.com/jpah
8. Fisk, Judi, 2015; Geriatric Proprioceptive Exercises; diakses pada tanggal 6 April
2015 dari http://livehealthy.chron.com/geriatric-proprioceptive-
exercises10002.html
9. Ljubojević, Adriana, Bijelić, Snežana, Zagorc, Meta, Radisavljević, Lepa, Uzunović,
Slavoljub, and Pantelić, Kristina, 2012; Effect of Proprioceptive Training on
Balance Skills Among Sport Dance Dancers; Physical Education and Sport; vol.
10; hal.257-266.
10. Notoatmodjo, Soekidjo, 2011; Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni; Rineka
Cipta; Jakarta; hal. 281-28.
11. Michan, Phil, 2015; Theories of Aging; diakses pada tanggal 13 Juni 2015 dari
http://www.antiaging-systems.com/articles/160-theories-of-aging
12.

Anda mungkin juga menyukai