Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Kasus

1. Anterior Cruciatum Ligament

Anterior Cruciatum Ligament (ACL) adalah sebuah jaringan ikat

berukuran sekitar 38 mm dibentuk oleh beberapa serat kolagen (Micheo,

Hernandez, & Seda, 2010 dikutip oleh Santoso, 2018). ACL juga merupakan

bagian dari empat ligamen utama yang memberikan stabilitas pada sendi lutut.

ACL dan Posterior Cruciatum Ligamen (PCL) terentang dari tulang di sekitar

fosa interkondiler femur sampai ke tibia masing-masing di depan dan dibelakang

interkondiler (Prentice, 2016 dikutip oleh Santoso, 2018). ACL memiliki 2 bundle

anteromedial dan posteromedial. ACL berfungsi untuk mencegah tulang tibia

bergeser ke arah depan dari tulang femur dan untuk mengontrol gerakan rotasi

dari lutut.

Rekonstruksi ACL merupakan suatu tindakan operasi untuk menyambung

kembali ligamen menggunakan teknik arthroscopy. Secara garis besar tehnik

arthroscopy dibagi menjadi 2 menurut jumlah berkas pada cangkok yang

digunakan yaitu Arthroscopy ACL Single Bundle Reconstruction dan ACL Double

Bundle Reconstruction (Subagyo, 2013). Standar operasi Arthroscopy ACL

Reconstruction yang digunakan di luar negeri adalah Arthroscopic ACL Double

Bundle Reconstruction. Tehnik ini telah dilakukan lebih dari 200 kali sejak tahun

5
6

2007. Tehnik operasi ini sangat populer di USA, Eropa, dan Jepang karena dengan

tehnik ini, hasilnya sangat memuaskan pasien. Saat ini tehnik operasi ini dipakai

sebagai standar untuk operasi cedera ACL atlet-atlet papan atas kelas dunia

(Boucher, 2016 dikutip oleh Santoso, 2018). Sedangkan di Indonesia sendiri

masih banyak yang menggunakan ACL Single Bundle Reconstruction. Sebenarnya

ACL Single Bundle Reconstruction standar pun sudah memiliki hasil yang cukup

baik. Beberapa studi menyatakan bahwa tidak terlalu ada perbedaan antara hasil

ACL Single Bundle Reconstruction dan ACL Double Bundle Reconstruction,

selain stabilitas intraoperatif ACL Double Bundle Reconstruction lebih baik

(Gobbi et al., 2011).

2. Anatomi fungsional sendi lutut

Sendi lutut adalah sendi besar yang menahan axial loading cukup berat.

Sebagai sendi sinovial, sendi lutut memiliki membran sinovium dengan cairan

sinovial sebagai suatu lubrikan yang mengurangi friksi beban kerja sendi.

Stabilitas sendi lutut tergantung pada kekuatan otot dan tendon di sekitar sendi

lutut. Ligamen yang menghubungkan femur dan tibia, serta otot yang berperan

besar dalam menjaga stabilitas sendi lutut adalah otot quadriceps femoris,

khususnya serat inferior dari vastus medial dan lateral (Flandry & Hommel, 2011).

Selain itu juga, lutut merupakan sendi semi engsel yang memungkinkan gerak

fleksi ekstensi, valgus varus terbatas dan internal eksternal rotasi.


7

a. Tulang pembentuk

Sendi lutut dibentuk oleh empat tulang yaitu femur, tibia, fibula dan patela.

Setiap tulang yang berhubungan tersebut dibungkus oleh kartilago artikular yang

keras, namun halus dan didesain untuk mengurangi resiko terjadinya cidera antar

tulang. Bagian-bagian dari tulang pembentuk sendi lutut antara lain:

1) Femur

Femur atau tulang paha adalah tulang pipa terpanjang. Panjangnya kira-

kira seperempat sampai sepertiga panjang badan dan beratnya Femur terdiri dari

badan tulang dan dua ujung, atas, dan bawah. Pada ujung atas terdapat kepala,

leher dan dua trokanter, yaitu mayor dan minor. Pada ujung bawah terdapat dua

kondilus yang melengkung bagai spiral, yaitu kondilus medial dan lateral

(Santoso, 2018).

2) Tibia

Merupakan tulang yang bentuknya lebih kecil, pada bagian pangkal

melekat pada tulang fibula. Pada bagian ujung membentuk persendian dengan

tulang pergelangan kaki dan terdapat bagian yang menonjol disebut tulang

malleolus medianus (Rasjad, 2003).

3) Fibula

Fibula terletak disebelah lateral tungkai bawah, kira-kira sejajar dengan

tibia. Panjangnya hampir sama dengan tibia, dan sangat ramping. Kedua ujungnya

agak melebar. Fibula membentuk sendi sinovial dengan tibia diatas dan dengan

talus dibawah (Santoso, 2018).


8

4) Patela

Patela atau tempurung lutut adalah tulang sesamoid bentuk segitiga

berdiameter sekitar 5 cm yang tertanam dalam tendon insersi otot quadriceps

femoris. Bila otot lemas patela dapat digerakkan ke kiri dan ke kanan dan sedikit

ke atas dan ke bawah (Santoso, 2018).

3
4

Figure 1
Gambar 2.1
Tulang pembentuk sendi lutut (Putz and Pabst, 2002)
Keterangan:
1. Femur
2. Patela
3. Tibia
4. Fibula
9

b. Ligamen

Ligamen adalah jaringan ikat yang terbuat dari serabut kolagen yang

menghubungkan tulang dengan tulang atau tulang rawan yang memperkuat

persendian. Fungsi utama dari ligamen untuk menjaga stabilitas tulang dan

mencegah gerakan abnormal dari sendi. Ligamen terbagi menjadi ekstrakapsuler

dan intrakapsuler. Ligamen ekstrakapsuler terletak dibagian luar kapsul.

Sedangkan ligamen intrakapsuler terletak dibagian dalam kapsul. Ligamen tidak

dapat mempertahankan bentuk aslinya apabila terjadi gerakan yang berlebihan di

dalam persendian. Hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan

ligamen yang akan menimbulkan ketidakstabilan sendi misalnya terjadi ruptur

(robek) ligamen (Beardshaw, et al., 2015 dikutip oleh Santoso, 2018).

Ligamen termasuk material keras dan tidak akan putus dengan mudah.

Kerusakan paling umum ligamen terletak pada titik pertemuan dengan tulang.

Ligamen akan mengulur ketika terjadi gerakan persendian misalnya fleksi.

Ligamen cruciatum terdiri atas dua ligamen intra kapsular yang sangat kuat, saling

menyilang didalam rongga sendi. Ligamen ini terdiri dari dua bagian yaitu

posterior dan anterior sesuai dengan perlekatannya pada tibia. Ligamen ini penting

karena merupakan pengikat utama antara femur dan tibia.


10

2
1

3 4

Figure 2
Gambar 2.2
Lokasi ligamen dan meniskus pada sendi lutut (Thomson, 2010)
Keterangan:
1. Anterior Cruciatum Ligament
2. Posterior Cruciatum Ligament
3. Lateral meniscus
4. Medial meniscus
11

c. Otot

1) Fleksor lutut

Kelompok otot fleksor lutut adalah hamstring yang terdiri dari biceps

femoris, semitendinosus, semimebranosus. Selain itu juga dibantu otot- otot

gracilis, sartorius, gastrocnemius, popliteus dan plantaris (Marieb, et. al., 2012

dikutip oleh Santoso, 2018).

2) Ekstensor lutut

Otot penggerak ekstensor lutut adalah quadriceps yang terdiri dari (1)

rektus femoris, (2) vastus medialis, (3) vastus intermedius, (4) vastus lateralis.

(Marieb, et. al., 2012 dikutip oleh Santoso, 2018)


12

1
5
2
6
3 7

A B
Figure 3
Gambar 2.3
Otot fleksor (A) ekstensor (B) lutut (Elaine dan Katja, 2007)
Keterangan:
1. Semimembranosus
2. Semitendinosus
3. Biceps femoris
4. Rectus femoris
5. Vastus intermedius
6. Vastus lateralis
7. Vastus medialis
8. Patela
13

3. Biomekanika

Secara biomekanik, beban yang diterima sendi lutut dalam keadaan normal

akan melalui medial sendi lutut dan akan diimbangi oleh otot-otot paha bagian

lateral, sehingga resultannya akan jatuh di bagian sentral sendi lutut. Biomekanika

pada sendi lutut terdiri atas gerak osteokinematika dan artrokinematika.

a. Osteokinematik sendi tibiofemoral

Osteokinematik sendi tibiofemoral merupakan sendi kondiloid ganda

dengan dua derajat kebebasan gerak. Gerak fleksi ekstensi terjadi pada bidang

sagital di sekitar aksis mediolateral; rotasi terjadi pada bidang transversal di

sekitar aksis vertikal (longitudinal). Incongruent dan asimetris dari sendi

tibiofemoral dikaombinasi dengan aktifitas otot dan penguluran ligamen akan

menghasilkan gerak rotasi secara otomatis. Gerak rotasi yang secara otomatis ini

terdapat secara primer pada gerak ekstensi yang ekstrem sebagai gerak perhentian

dari kondilus lateral yang lebih panjang. Selama akhir dari LGS gerak ekstensi

aktif, rotasi yang terjadi secara otomatis dihasilkan seperti mekanisme dari

putaran screw (mur) atau penguncian (locking) dari lutut. Untuk memulai gerak

fleksi, penguncian lutut harus terbuka dengan rotasi yang berlawanan (Libriana

dan Irfan, 2005).

b. Arthrokinematik sendi tibiofemoral

Arthrokinematik sendi tibiofemoral dan kenyataan bahwa permukaan

sendi pada femur lebih besar daripada tibia menyebabkan saat kondilus femoral

bergerak pada kondilus tibia (saat kondisi weight bearing), kondilus femoral harus

melakukan gerak rolling dan sliding untuk tetap berada di atas tibia. Pada gerak
14

fleksi dan weight bearing, kondilus femoral rolling ke arah posterior sliding ke

arah anterior. Meniskus mengikuti gerak rolling tersebut dengan bergerak ke

posterior saat fleksi. Pada gerak ekstensi, kondilus femoral rolling dan sliding ke

arah posterior. Pada akhir gerak ekstensi, gerakan dihentikan pada kondilus

femoris lateral, tapi sliding pada condilus medial tetap berlanjut untuk

menghasilkan penguncian sendi. Pada gerak aktif weight bearing, permukaan

sendi pada tibia melakukan gerak sliding pada kondilus femoral dengan arah

gerakan searah dengan sumbu tulang tibia. Kondilus tibia melakukan gerak sliding

ke arah posterior pada kondilus femoral saat fleksi (Libriana dan Irfan, 2005).

4. Mekanisme cedera ACL

Cedera ACL merupakan kondisi ligamen cruciatum anterior teregang

berlebihan atau bahkan robek. Cedera ACL kebanyakan berhubungan dengan

olahraga yang melibatkan gerakan zig zag, perubahan arah gerak, dan perubahan

kecepatan yang mendadak seperti sepak bola, basket, bola voli, dan ski. Cedera ini

dapat terjadi melalui mekanisme mendarat dengan sendi lutut slight fleksi.

Mekanisme trauma mendarat dengan sendi lutut slight fleksi terjadi pada valgus

femur dan internal rotasi pada tibia (phantom foot mechanism) seperti pada

olahraga ski, ketika saat atlet mendarat setelah melompat, beban kontraksi otot

quadriceps meningkat dan strain ACL juga bertambah, menyebabkan ACL ruptur

(Coote, 2004).
15

2
3

Figure 4
Gambar 2.4
Mekanisme terjadinya ruptur ACL (Hewett, 2005)
Keterangan:
1. Abduksi femoral
2. Dinamik valgus
3. Abduksi lutut
4. Eversi ankle
16

5. Tanda dan gejala

Atlet akan mendengar bunyi “pop” pada lutut yang menandakan robeknya

ligamen. Jika mencoba berdiri, lutut terasa tidak stabil. Kemudian diikuti dengan

pembengkakan dalam 12-16 jam pertama karena adanya perdarahan di ruang

sendi atau hemartrosis. Atlet akan merasakan nyeri sehingga tidak bisa

melanjutkan pertandingan.

6. Diagnosis

Mayoritas dapat diagnosis secara klinis berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan. Beberapa tes khusus yang dapat dilakukan untuk mengetahui

terjadinya cedera ACL yaitu, tes Lachman merupakan tes untuk melihat

pergeseran antara tungkai atas dan tungkai bawah yang menunjukkan adanya

ketidakstabilan lutut, Anterior drawer test dipergunakan untuk mengetahui adanya

hipermobilitas, tes Pivot-shift dirancang untuk menentukan ketidakstabilan

putaran anterolateral. Tes Pivot-shift paling sering digunakan dalam kondisi

kronis dan merupakan tes sensitif pada saat ligamen cruciatum bagian depan

telah robek (Santoso, 2018)

Beberapa pasien sulit untuk ditemukan pemeriksaan cedera ACL positif,

sehingga dibutuhkan pemeriksaan penunjang berupa pemindaian Magnestic

Resonance Imaging (MRI) atau pemeriksaan di bawah anastesi (EUA) yang

berguna untuk mengkonfirmasi diagnosis. Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan

artroskopi (Coote, 2004).


17

7. Post rekonstruksi ACL

Setelah dilakukannya rekonstruksi, lutut akan di bandage dan kaki akan di

elevasikan. Lutut juga akan diberikan penyangga agar tidak menekuk. Setelah

operasi, dibutuhkan upaya untuk mempercepat proses penyembuhan. Dengan cara

segera mungkin diberikan program latihan. Latihan dilakukan mulai dari latihan

ringan lalu bertahap menjadi yang lebih menjadi terapi fisik yang lebih aktif.

Program latihan yang diberikan akan disesuaikan dengan cedera yang dialami,

jenis operasi, dan tujuan untuk kembali ke aktivitas sebelumya.

8. Prognosis

Rekonstruksi ACL akan memungkinkan pasien kembali ke olahraga

profesional di sekitar 6 sampai 9 bulan. Rehabilitasi akan menghasilkan

perubahan yang baik pada pasien ruptur ACL. Risiko terjadi ruptur (robek) ulang

sekitar 5 persen dalam waktu 5 tahun. Rekonstruksi ini akan melindungi lutut dari

cedera meniskus lebih lanjut atau cedera tulang rawan. Namun, melakukan

rekonstruksi atau tidak, lutut akan lebih rentan terhadap cedera jangka panjang,

antara 10 sampai 20 tahun. Risiko osteoartritis berkembang secara signifikan,

dibandingkan dengan non cedera lutut. Pasien dapat mencapai lingkup gerak sendi

secara sempurna apabila pasien rajin mengikuti prosedur latihan rehabilitasi

penyembuhan lutut pasca operasi, sehingga diharapkan pasien dapat menjalani

kehidupan sehari-hari tanpa adanya keluhan pada lututnya (Rolf, 2007 dikutip

oleh Santoso, 2018).


18

B. Problematika Fisioterapi

1. Impairment

a. Nyeri

Adanya nyeri karena pendarahan di area sendi lutut akibat terpotongnya

pembuluh darah kapiler. Pendarah tersebut menekan ujung ujung saraf sensorik

sehingga menimbulkan efek dari substansia yang menimbulkan nyeri.

b. Pembengkakan (oedem)

Terjadi karena luka sayatan yang mengakibatkan terpotongnya pembuluh

darah yang menyebabkan kerusahan dinding kapiler, kemudian plasma darah

merembas keluar dan tertimbun jaringan sehingga tekanan osmotik antar darah

dan cairan jaringan berubah serta menyebabkan peningkatan tekanan hydrostatic

capillary.

c. Penurunan kekuatan otot

Terjadi karena nyeri dan oedema sehingga pasien enggan menggerakkan

sendi lutut dengan kuat. Tetapi jika dibiarkan, maka akan terjadi penurunan

kekuatan otot.

d. Keterbatasan Lingkup Gerak Sendi (LGS)

Terjadi keterbatasan LGS karena adanya nyeri yang dirasakan pasien,

sehingga pasien membatasi atau memproteksi gerakan gerakan yang

menimbulkan rasa nyeri.


19

e. Atrofi otot

Kondisi ketika otot mengalami penurunan fungsi dan massa, karena

cedera, penyakit, atau bagian tubuh tertentu jarang digunakan. Atrofi

menyebabkan bagian tubuh tersebut terlihat lebih kecil.

2. Fungsional limitation

Merupakan keterbatasan kemampuan fungsional yang diakibatkan oleh

impairment. Seperti kesulitan pada posisi duduk ke berdiri, berjalan, dan jongkok.

Pada atlet berhubungan juga dengan aktifitas fisik yang sesuai dengan olahraga

yang dilakukannya.

3. Participation restriction

Timbul akibat adanya impairment dan fungsional limitation. Dalam hal ini

pasien belum mempu melakukan kegiatan bermasyarakat seperti kerja bakti atau

bekerja. Jika pada atlet, belum mampu untuk latihan dan bertanding.

C. Teknologi Intervensi Fisioterapi

1. Terapi latihan

Terapi latihan adalah salah satu upaya pemulihan dalam fisioterapi yang

pelaksanaannya menggunakan latihan-latihan gerak tubuh, baik secara aktif

maupun pasif untuk memelihara dan memperbaiki kekuatan serta mengingkatkan

kemampuan fungsional (Kisner, 1996). Terapi latihan pada kasus ini terdirin dari:
20

a. Latihan LGS

Latihan LGS diberikan untuk mempertahankan mobilitas persendian dan

jaringan lunak untuk meminimalkan kehilangan kelenturan jaringan dan

pembentuk kontraktrur. Latihan LGS terdiri dari: (1) gerak aktif merupakan

gerakan aktif pada otot itu sendiri, contohnya, fleksi dan ekstensi (2) gerak pasif

merupakan gerakan yang sepenuhnya disebabkan oleh gerakan dari luar

contohnya, terapis menggerakkan bagian tubuh pasien.

b. Strengthening

Bentuk latihan yang penguatan otot dengan melawan tahanan, dengan

kontraksi otot secara dinamik maupun statik. Tujuan dilakukan strengthening

yaitu untuk meningkatkan kekuatan otot dan ketahanan otot.

c. Latihan berjalan

Latihan berjalan bertujuan untuk mengembalikan pola jalan normal pasien

setelah post operasi rekonstruksi ACL. Latihan berjalan menggunakan gait

analysis secara bertahap sesuai pada fase-fase berjalan seperti heel strike, loading

response, mid stance, heel rise, toe off, mid swing, kembali ke heel strike.

2. TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation)

Sebuah modalitas bertenaga listrik rendah yang dialirikan ke kulit

melewati elektrodra yang di letakkan di atas area yang mengalami nyeri. Arus

listrik yang diberikan TENS dapat merangsang sel neuron sensori yang

berdiameter besar untuk masuk lebih dahulu ke gate disubstansia gelatinosa dan

menghambat sel nosiseptor yang berdiameter kecil untuk memberikan informasi


21

ke otak, sehingga rangsang nyeri tidak sampai ke otak dan membuat nyeri

berkurang (Santoso, 2018).

Tujuan diberikan TENS adalah untuk mengurangi nyeri. TENS memiliki

beberapa keunggulan karena merupakan non adiktif, berarti non invasif analgesia

yang mudah digunakan dan dapat memberikan analgesia terus menerus untuk

berbagai kondisi. Pemberian intervensi TENS dengan frekuensi tinggi bertujuan

untuk mengurangi nyeri berdasarkan teori gate control. Mekanisme kerjanyan

melalui ‘penutupan gerbang’ transmisi nyeri dari serabut saraf kecil dengan

menstimulasi serabut saraf besar, kemudian serabut saraf besar akan menutup

jalur pesan nyeri ke otak dan meningkatkan aliran darah ke area yang nyeri. Selain

itu, TENS juga menstimulasi produksi anti nyeri alamiah tubuh yaitu endorphin

dengan pemberian frekuensi rendah (Wright, 2012). Perangkat TENS standar

menghasilkan aliran berdenyut biphasic dengan arus Alternating Current (AC)

(Jones & Jhonson, 2009).

TENS memiliki indikasi dan kontraindikasi. Indikasi TENS diantaranya

adalah trauma muskuloskeletal baik akut maupun kronis, nyeri pasca operasi,

nyeri myofacial, nyeri visceral, nyeri panthom, Delayed Onset Muscle Soreness

(DOMS). Kontraindikasi TENS diantaranya adalah penggunaan pacemaker,

adanya kecenderungan pendarahan (pada area yang diterapi), epilepsi, wanita

hamil (bila diberikan pada daerah abdomen atau panggul), area arteri karotis ,

jaringan parut dekat sisi fraktur yang baru, luka terbuka yang sangat lebar.

Anda mungkin juga menyukai