Anda di halaman 1dari 65

LAPORAN KASUS KLINIK

RUMAH SAKIT TK.II PELAMONIA

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PAIN INJURY KNEE JOINT SINISTRA

ET CAUSA INJURY

ANTERIOR CRUCIATUM LIGAMENT

DISUSUN OLEH :

KHAERANI KAMIL (PO714241171017)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MAKASSAR
JURUSAN FISIOTERAPI
PROGRAM STUDI D.IV
TAHUN 2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat

dan karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyusun laporan kasus ini yang

berjudul “Pain Knee Joint Sinistra Et Causa Injury Anterior Cruciatum

Ligament”.

Laporan kasus ini merupakan salah satu dari tugas praktek klinik di Rumah

Sakit TK.II Pelamonia. Selain itu juga laporan kasus ini bertujuan memberikan

informasi mengenani penatalaksaan fisioterapi untuk kasus tersebut

Tidak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak / Ibu dosen Fisioterapi Politeknik Kesehatan Makassar

2. Bapak / Ibu pembimbing di Rumah Sakit TK.II Pelamonia selaku Clinical

Edukator

3. Teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan

Laporan Kasus ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih banyak

kekurangan, oleh sebab itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang

membangun demi perbaikan dan penyempurnaan laporan ini. Dan semoga dengan

selesainya laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman yang

membutuhkan.

Makassar, 19 November 2020

2
Khaerani Kamil

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Anterior Cruciate Ligament (ACL)

Cedera Anterior Cruciate Ligament (ACL) adalah cedera pada knee tersering

yang dialami oleh atlet. Cedera ini umumnya terjadi pada olahraga yang melibatkan

gerakan-gerakan zig-zag, perubahan arah gerak, dan perubahan kecepatan yang

mendadak (akselerasi-deselerasi) seperti sepak bola, basket, bola voli, dan futsal.

Mayoritas cedera yang terjadi adalah non-kontak dengan mekanisme knee valgus

dan twisting (puntiran). Situasi ini sering terjadi ketika atlet menggiring bola atau

salah posisi lutut ketika mendarat. Trauma juga dapat menyebabkan robeknya ACL,

terutama trauma langsung pada knee dengan arah gaya dari samping (Palleta,

2013).

ACL adalah ligament yang paling sering mengalami cedera pada knee.

Penyebab utama terjadinya ACL adalah aktifitas olah raga berat. Olahraga yang

sering menyebabkan cedera adalah olahraga dengan badan berubah arah dengan

cepat, misalnya pada pemain sepak bola atau basket (Muttaqin, 2011). Anterior

cruciate ligament (ACL) adalah ligament yang menjaga kestabilan sendi lutut.

Cedera ACL sering terjadi pada olahraga highimpact, seperti sepak bola, futsal,

tenis, badminton, bola basket dan olahraga bela diri (Shaharuddin, 2009).

Prevalensi kejadian cedera ACL lebih besar ditemukan pada wanita

dibandingkan dengan laki-laki. Sekitar 5% pasien dengan cedera ACL juga didapati

3
ruptur pada meniskus. Pada cedera ACL akut, meniskus lateralis lebih sering robek,

pada ACL kronis, meniskus medial lebih sering robek. Pada penelitian prevalensi

mengenai cedera ACL pada populasi umum, didapati bahwa 1 kasus dijumpai

dalam 3500 orang, memperkirakan 95.000 ruptur ACL per tahun (Quinn, E: 2016).

Sekitar 200.000 ACL terkait cedera terjadi setiap tahun di Amerika Serikat, dengan

sekitar 95.000 ruptur ACL. Sekitar 100.000 ACL rekonstruksi dilakukan setiap

tahun. Insiden cedera ACL lebih tinggi seperti basket, sepak bola. Pada tanggapan

frekuensi partisipasi, prevalensi cedera ACL yang lebih tinggi diamati pada wanita

dari laki-laki, pada tingkat 2,4-9,7 kali lebih besar pada wanita (Quinn, E: 2016).

Penanganan pada cedera ACL yang robek dapat berbeda tergantung pada

kebutuhan pasien. Contohnya, TNI yang masih berusia muda dan ingin terlibat

dalam kegiatan olahraganya sangat mungkin memerlukan tindakan rekonstruksi

untuk dapat kembali ke tingkat aktivitas sebelumnya secara aman. Dimana ACL

yang telah rusak diganti dengan tendon graft atau tendon transfer. Salah satu

komplikasi yang paling umum paska rekonstruksi ACL adalah nyeri lutut dan

keterbatasan gerak yang dapat menyebabkan kelemahan otot. Penelitian telah

menunjukkan bahwa setelah operasi ACL juga dapat memberikan dampak

kekakuan pada sendi lutut karena imobilisasi.

Dalam penanganan pesien diperlukan adanya satu tim yang terdiri dari berbagai

disiplin keahlian, agar tercapai hasil yang sebaik-baiknya. Salah satunya adalah

penanganan oleh Fisioterapis. Adapun beberapa Intervensi yang diberikan kepada

pasien yaitu, pemberian Ultrasound pada kasus ruptur anterior carciatum ligament

ini bertujuan untuk mengurangi nyeri dan pemberian terapi Latihan pada kasus

4
anterior craciatum ligament yang bertujuan untuk mengurangi nyeri dan menambah

kekuatan otot.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Biomekanik Knee

a. Tulang Pembentuk

Sendi lutut dibentuk oleh empat tulang yaitu femur,tibia, fibulla, dan patella.

Pergerakan utama dari sendi lutut terjadi antara tulang- tulang tersebut. Setiap

tulang yang berhubungan tersebut dibungkus oleh kartilago articular yang keras,

namun halus dan didesain untuk mengurangi resiko terjadinya cedera antar

tulang. Bagian- bagian dari tulang-tulang pembentuk sendi lutut antara lain:

1) Femur

Femur atau tulang paha adalah tulang yang terberat dan terpanjang.

Panjangnya kira- kira seperempat sampai sepertiga panjang badan. Pada

sikap berdiri femur menyalurkan berat badan dari panggul ke

tibia.Femur terdiri dari sebuah batang tulang dan dua ujung, atas, dan

bawah. Pada ujung atas terdapat kepala, leher dan dua trokanter, mayor

dan minor. Pada ujung bawah terdapat dua kondilus yang melengkung

bagai spiral kondilus medial dan lateral.

5
Gambar 2.1
ujung atas Femur dilihat dari depan dan belakang
Sumber: Gibson John.1990
2) Patela

Patela atau tempurung lutut adalah tulang sesamoid bentuk

segitiga berdiameter sekitar 5 cm yang tertanam dalam tendon insersi

m.quadriceps femoris. Bila otot ini lemas, patela dapat digerakan kekiri

dan kanan dan sedikit keatas dan kebawah. Patela mempunyai dua

permukaan, anterior, dan artikuler; punya tiga tepi, superior, medial,

dan lateral.

Gambar 2.2

6
Tulang Patela tampak dari depan
Sumber: Gibson John.1990

1) Tibia

Tibia atau tulang kering merupakan tulang terpanjang dan

terberat setelah femur. Letaknya pada bagian medial tungkai bawah.

Pada sikap berdiri tulang ini menyalurkan beban dari femur ke tumit

dan kaki. Permukaan anterior tibia merupakan tempat menempelnya

ligamen patella.

Gambar 2.3
Tulang Tibia
Sumber: Zunilda S Butami. 1995

2) Fibula

Fibula terletak disebelah lateral tungkai bawah, kira-kira sejajar

dengan tibia. Panjangnya hampir sama dengan tibia, dan sangat

ramping. Kedua ujungnya agak melebar. Fibula membentuk sendi

sinovial dengan tibia diatas dan dengan talus dibawah. Bagian

tengahnya dihubungkan dengan tibia oleh membran interoseus. Tulang

7
ini tidak menanggung berat badan, karena bagian tengahnya terbungkus

otot, hanya teraba di kedua ujungnya.

b. Sendi

Knee joint dapat di bagi atas 2 sendi yaitu tibiofemoral joint dan

patellofemoral joint:

1) Tibiofemoral Joint

Tibiofemoral joint dibentuk oleh 2 condylus femur yang konveks dan

2 dataran tibia yang konkaf. Tibiofemoral joint merupakan modified hinge

joint yang memiliki 2 axis gerak. Condylus medial femur lebih panjang

daripada condylus lateral femur sehingga memberikan kontribusi terhadap

mekanisme penguncian pada lutut. Diantara kedua permukaan sendi

terdapat 2 meniskus yaitu meniskus medial dan meniskus lateral. Kedua

meniskus dapat memperbaiki kongruenitas permukaan sendi. Meniskus

medial melekat kuat pada kapsul sendi dan juga melekat pada ligamen

collateral medial, cruciatum anterior, dan otot semimembranosus.

Dibagian dorsal knee terdapat fossa poplitea yang dibentuk oleh tendon

otot biceps femoris, tendon otot semimembranosus-semitendinosus, dan 2

caput gastrocnemius.

8
Gambar 2.2
Tibiofemoral joint
Sumber : Joseph Hamill et al, 2015

2) Patellofemoral Joint

Patellofemoral joint dibentuk oleh os patella yang bersendi dengan

sulcus intercondylaris (trochlear grovee) pada bagian anterior dari distal

femur femur. Os patella merupakan tulang sesamoid pada tendon

quadriceps. Permukaan sendinya dilapisi oleh cartilago hyaline yang

halus. Patella melekat pada bagian anterior kapsul sendi dan dihubungkan

ketibia melalui ligamen patellaris. Banyak bursa yang mengelilingi patella

yaitu bursa prepatellaris, infrapatellaris, dan suprapatellaris.

9
Gambar 2.3
Patellofemoral joint
Sumber : Joseph Hamill et al, 2015

c. Ligamen

Adapun stabilitas pasif sendi lutut yaitu ligamen collateral lateral,

collateral medial, ligamen cruciatum anterior, ligamen cruciatum posterior,

ligamen transversal, dan ligamen poplitea oblique.

1) Ligamen Collateral Medial

Ligamen ini melekat di atas epicondylus medial femur dan di bawah

condylus medial tibia serta melekat kuat pada meniskus medialis, ligamen

ini sangat luas dan datar pada sisi medial sendi.

2) Ligamen Collateral Lateral

Ligamen collteral lateral berbentuk tali bulat dan bersifat kuat,

melekat di atas epycondylus lateral femur dan di bawah permukaan lateral

fibula.

3) Ligamen Cruciatum

10
Terdapat 2 ligamen yang sangat kuat, seperti tali yang melekat di

dalam sendi meskipun tidak terbungkus di dalam kapsul sendi. Ligamen

ini terdiri dari ligamen cruciatum anterior dan posterior.

a) Anterior Cruciate Ligament

Ligamen cruciatum anterior berjalan ke atas dan dorsal dari

fossa intercondyloid anterior tibia ke bagian belakang dari

permukaan medial condylus lateral femur. Istilah cruciate berasal

dari kata crux yang artinya (menyilang) dan crucial (sangat

penting).Cruciate ligament saling bersilangan satu sama yang lain.

Menyerupai huruf X. ACL adalah stabelizer untuk knee joint pada

aktivitas pivot. ACL mula berkembang pada minggu ke 14 usia

gestasi, berukuran sebesar jari kita dan panjangnya rata-rata 38mm

dan lebar rata-rata 10 mm, dan dapat menahan tekanan seberat 500

pon sekitar 226 kg.

Ligamentum ini melekat pada area intercondylaris anterior

tibiae dan berjalan kearah atas, kebelakang dan lateral untuk

melekat pada bagian posterior permukaan medial condylus lateralis

femoris. Ligamentum ini akan mengendur bila lutut ditekuk dan

akan menegang bila lutut diluruskan sempurna. Ini tidak hanya

mencegah anterior translasi dari tibia pada femur tetapi juga

memungkinkan untuk helicoid biasa tindakan lutut, sehingga

mencegah kemungkinan untuk patologi meniscal. Ini terdiri dari

dua bundel, sebuah bundel anteromedial, yang ketat di fleksi, dan

11
bundel posterolateral, yang lebih cembung dan ketat dalam

ekstensi.

Suplai vaskuler ACL berasal dari arteri geniculate middle,

serta dari difusi melalui sheath sinovial nya . persarafan dari ACL

terdiri dari mechanoreceptors berasal dari saraf tibialis dan

memberikan kontribusi untuk proprioseptifnya, serabut rasa nyeri

dalam ACL yang hampir tidak ada,ini menjelaskan mengapa ada

rasa sakit yang minimal setelah ruptur ACL akut sebelum

pengembangan hemarthrosis yang menyakitkan.

b) Ligamentum Cruciatum Posterior

Ligamen cruciatum posterior lebih pendek dan lebih kuat di

bandingkan ligamen cruciatum anterior. Ligamen ini berjalan ke

atas dan depan dari fossa intercondyloid posterior tibia kebagian

lateral dan depan dari condylus medial femur. Serat-serat anterior

akan mengendur bila lutut sedang ekstensi, namun akan menjadi

tegang bila sendi lutut dalam keadaan fleksi. Serat-serat posterior

akan menjadi tegang dalam keadaan ekstensi. Ligamentum

cruciatum posterior berfungsi untuk mencegah femur ke anterior

terhadap tibiae. Bila sendi lutut dalam keadaan fleksi , ligamentum

cruciatum posterior akan mencegah tibiae tertarik ke posterior.

4) Ligamen Transversal

Ligamen yang berukuran pendek, kecil, seperti tali, yang

menghubungkan tepi anterior meniskus lateral yang konveks dengan ujung

12
anterior meniskus lateral yang konveks dengan ujung anterior meniskus

medial.

5) Ligamen Poplite Oblique

Ligamen yang berbentuk datar, luas serta membungkus dorsal knee

joint. Ligamen ini melekat di atas margo superior fossa intercondyloid dan

permukaan dorsal femur serta di bawah tepi dorsal caput tibia kearah

medial. Ligamen ini bergabung dengan tendon semimemberanosus dan

kearah lateral bergabung dengan caput lateral gastrocnemius.

6) Ligamen Patellaris

Ligamen yang kuat, menghubungkan tepi inferior patella dengan

tuberositas tibia. Ligamen ini berjalan di depan patella dan bersambung

dengan serabut tendon quadriceps femoris.

7) Tractus Illiotibialis

Tractus illiotibialis bekerja seperti seperti ligamen yang tegang,

menghubungkan crista illiaca dengan condylus lateral femur dan

tuberculum tibia bagian lateral.

d. Otot

Otot-otot yang memperkuat knee joint adalah :

1) Otot Quadriceps Femoris

Terdiri dari 4 otot yaitu rectus femoris, vastus medialis, vastus

lateralis dan vastus intermedius. Otot ini terletak pada bagian anterior yang

melewati axis knee dan primemover ekstensi knee.

13
Gambar 2.4
Otot quadriceps femoris
Sumber : Manester et al, 2016

2) Otot Hamstring

Terdiri dari 3 otot yaitu biceps femoris, semitendinosus dan

semimembranosus. Otot ini merupakan primemover fleksi knee dan juga

mempengaruhi rotasi tibia terhadap femur.

3) Otot Popliteus

Otot ini menopang kapsul sendi bagian posterior dan bekerja untuk

melepaskan penguncian pada knee ketika hendak berjalan.

14
Gambar 2.5
Otot popliteus
Sumber : Wikipedia 2014

4) Otot Gastrocnemius

Otot ini juga berfungsi sebagai fleksor knee, tetapi fungsi utamanya

adalah saat knee menumpu berat badan maka otot gastrocnemius

menopang kapsul bagian posterior melawan gaya hiperekstensi knee.

Gambar 2.6
Otot gastrocnemius
Sumber : Freber et al, 2015

5) Group otot pes anserinus yaitu otot sartorius, gracilis dan semitendinosus.

Kelompok otot ini memberikan stabilitas medial knee joint dan

mempengaruhi rotasi tibia.

15
Gambar 2.7
Otot sartorius
Sumber : Wikipedia 2018

e. Biomekanik Knee Joint

Aksis gerak fleksi dan ekstensi terletak di atas permukaan sendi,

yaitu melewati condylus femoris. Sedangkan gerakan rotasi aksisnya

longitudinal pada daerah condylus medialis (Kapandji, 1995). Secara

biomekanik, beban yang diterima sendi lutut dalam keadaan normal akan

melalui medial sendi lutut dan akan diimbangi oleh otot-otot paha bagian

lateral, sehingga resultannya akan jatuh di bagian sentral sendi lutut.

1) Osteokinematika

Osteokinematika yang memungkinkan terjadi adalah gerakan fleksi

dan ekstensi pada bidang sagital dengan lingkup gerak sendi fleksi antara

120-130 derajat, bila posisi  hip fleksi penuh, dan dapat mencapai 140

derajat, bila hip ekstensi penuh, untuk gerakan ekstensi, lingkup gerak

sendi antara 0 – 10 derajat gerakan putaran pada bidang rotasi dengan

lingkup gerak sendi untuk endorotasi antara 30 – 35 derajat, sedangkan

untuk eksorotasi antara 40-45 derajat dari posisi awal mid posision.

Gerakan rotasi ini terjadi pada posisi lutut  fleksi 90 derajat (Kapandji,

1995), gerakan yang terjadi pada kedua permukaan tulang meliputi

gerakan rolling dan sliding. Saat tulang femur yang bergerak maka,

gerakan rolling ke arah belakang dan sliding  ke arah depan (berlawanan

arah). Saat fleksi, femur rolling ke arah  belakang dan sliding ke belakang,

untuk gerakan  ekstensi,  rolling ke depan dan sliding  ke belakang. Saat

16
tibia yang bergerak fleksi  adapun ekstensi  maka rolling maupun sliding

bergerak searah, saat fleksi  maka rolling maupun sliding bergerak searah,

saat  fleksi  rolling dan sliding ke arah belakang, sedangkan saat ekstensi

rolling  dan sliding bergerak ke arah depan.

2) Artrokinematika

Artrokinematika pada sendi lutut di saat femur bergerak rolling dan

sliding berlawanan arah, disaat terjadi gerak fleksi femur rolling  ke arah

belakang dan sliding-nya ke depan, saat gerakan ekstensi femur rolling

kearah depannya sliding-nya ke belakang. Jika tibia bergerak fleksi

ataupun ekstensi maka rolling maupun sliding terjadi searah, saat fleksi

menuju dorsal, sedangkan ekstensi menuju ventral  (Kapandji, 1995)

B. Tinjauan ACL (Anterior Cruciate Ligament)

1. Definisi ACL (Anterior Cruciate Ligament)

Cedera ACL (Anterior Cruciate Ligament) atau ACL rupture adalah

robekan di salah satu ligamen lutut yang menghubungkan tulang kaki atas dengan

tulang kaki bagian bawah. ACL menjaga kestabilan lutut. Anterior Cruciate

Ligament merupakan bagian dari empat ligamen utama yang menstabilisasi sendi

lutut. Anterior Cruciate Ligament (ACL) dan Posterior Cruciate Ligament (PCL)

terentang dari tulang disekitar fosa interkondiler femur sampai ke tibia masing-

masing di depan dan di belakang interkondiler (William E. Prentice: 2016).

Penamaan anterior dan posterior berdasarkan perlekatannya pada tibia. Kedua

ligamen ini saling menyilang seperti huruf X. ACL melonggar ketika knee fleksi

dan tegang ketika ekstensi penuh. Mencegah tulang tibia dari pergeseran yang

berlebihan dan menstabilisasi knee dalam melakukan berbagai aktivitas. Posterior

17
Cruciate Ligament tegang ketika knee joint fleksi dan berguna untuk membatasi

pergerakan femur ke anterior dan tibia ke posterior terutama ketika knee fleksi.

Ruptur adalah robek atau putusnya jaringan lunak yang disebabkan karena

trauma dimana dapat terjadi secara parsial maupun komplit. Ruptur Anterior

Cruciate Ligament dapat digolongkan menjadi: (William E. Prentice: 2016)

a. Derajat I Serat dari ligamen yang meregang tetapi tidak robek ada

pembengkakan sedikit dan nyeri ringan. Tidak meningkatkan kelemahan dan

ada end feel.

b. Derajat II Serat ligamen yang robek sebagian atau robek lengkap dengan

perdarahan. Ada pembengkakan yang moderat dengan beberapa hilangnya

fungsi. Sendi mungkin merasa tidak stabil selama aktivitas. Nyeri dan sakit

meningkat dengan Lachman dan anterior drawer stress test.

c. Derajat III Serat-serat ligamen benar-benar robek (ruptured). Ligamen telah

robek sepenuhnya menjadi dua bagian. Ada kelembutan tetapi tidak banyak

rasa sakit terutama bila dibandingkan keseriusan cedera. Mungkin ada

pembengkakan sedikit atau banyak pembengkakan.

2. Etiologi ACL

Cidera ligament paling sering terjadi pada individu berusia 20-40 tahun

akibat cedera olahraga (misalnya ski, sepakbola, rugbi), tetapi juga dapat terjadi

pada semua usia. ACL adalah ligament yang paling sering cedera. Cedera ACL

dapat terjadi akibat mekanisme kontak dan non-kontak.

a. Mekanisme kontak

Mekanisme yang paling umum adalah benturan sisi lateral lutut yang

menyebabkan gaya valgus pada lutut. Mekanisme tersebut dapat

18
menyebabkan bukan hanya cedera ACL, tetapi juga pada ligamen kolateral

medial dan meniskus medial.

b. Mekanisme non-kontak

Mekanisme non-kontak yang paling umum adalah mekanisme rotasional

ketika tibia mengalami eksirotasi pada kaki yang menapak dan hiperekstensi

paksa pada lutut.

3. Patofisiologi

ACL mencegah translasi anterior tibia terhadap femur yang berfungsi

untuk meminimalisir terjadinya rotasi tibia. Fungsi sekunder dari ACL adalah

untuk mencegah posisi valgus dan varus pada lutut terutama saat ekstensi.

Cedera ACL menyebabkan perubahan kinematika pada lutut (Maguireet al.,

2012)

Faktor resiko yang teridentifikasi dalam masalah konsensus dibagi menjadi

empat kategori utama : biomekanis, neuromuscular, struktural, dan hormonal.

a. Faktor resiko biomekanik mencakup seluruh mata rantai (trunk,

pinggul, lutut, dan pergelangan kaki) pada cedera ACL. Misalnya

peningkatan adduksi panggul terkait dengan peningkatan valgus lutut,

yang dihubungkan dengan resiko cedera ACL pada perempuan.

b. Faktor resiko neuromuscular mempengaruhi faktor biomekanik karena

kontrol neuromuscular mempengaruhi posisi dan gerak sendi.

19
c. Faktor resiko struktural termasuk ukuran taktik femoral, ukuran ACL,

dan kesejajaran esktremotas bawah. ACL pada perempuan lebih kecil

daripada ACL laki-laki sehingga kekuatannya lebih rendah sehingga

sendinya lebih longgar daripada laki-laki.

d. Perbedaan hormonal. Hormon kelamin memiliki pengaruh

kebergantungan waktu yang mempengaruhi karakteristik Jaringan ACL,

seperti meningkatkan resiko cedera selama fase praovulasi pada siklus

menstruasi perempuan.

Rekonstruksi Anterior Cruciate Ligament Merupakan suatu tindakan

operasi untuk menyambung kembali ligamen ACL. Standar operasi Arthroscopy

ACL Reconstruction yang dipakai adalah Arthroscopic ACL Double Bundle

Reconstruction. Tehnik ini telah dilakukan lebih dari 200 kali sejak tahun 2007.

Tehnik operasi ini sangat populer di USA, Eropa, dan Jepang karena dengan

tehnik ini, hasilnya sangat memuaskan pasien. Saat ini tehnik operasi ini dipakai

sebagai standard untuk operasi cedera ACL atlet-atlet papan atas kelas dunia

(Boucher, L : 2016). Penanganan operasi rekonstruksi pada ruptur ACL harus

dilakukan untuk memperbaiki robekan serta mengembalikan stabilitas sendi

lutut. Hal ini akan mengakibatkan gangguan stabilitas lutut, maka rekonstruksi

yang dilakukan menggunakan rekonstruksi dengan arthroscopy (Arnheim

D. :1985) Dalam melakukan tindakan rekontruksi pada ACL, dokter bedah dan

dokter anastesi melakukan pembiusan yang digunakan untuk rekonstruksi

dimulai dari pemeriksaan lutut pasien apakah sudah dalam keadaan rileks dan

memeriksa kelonggaran ligamen yang berada di lutut. Setelah pemeriksaan fisik,

dilakukan pemilihan tendon untuk menjadi graft. Setelah cangkok disiapkan, ahli

20
bedah menempatkan arthroscopy ke dalam sendi. Dilakukan sayatan kecil yang

dibuat di bagian depan lutut untuk memasukan arthroscopyBedah tidaklah

sesederhana menjahit ligamen yang sobek. Bedah membutuhkan rekonstruksi

lengkap dari ligamen tersebut. Hal ini biasanya merupakan prosedur 1 hari.

Autograf, yaitu dari jaringan pasien sendiri. Alternatif yang sering dipilih adalah

cangkok dari tendon semitendinosus-gracilis Alograf, yaitu dari jaringan donor

atau cangkok sintesis

4. Gambaran Klinis

Penderita paska opeasi rupture ligament dan meniscus akan

ditemuiberbagai tanda dan gejala yaitu pasien merasakan nyeri pada bagian lutut

haemoarthrosis yang terjadi karena pendarahan ligament. Adanya suara

“POP”dari lutut. Lutut akan terasa longgar atau tidak stabil. Terjadi

pembekakanterutama pada bagian lutut. Lutut terasa terkunci dan kaku.

Terjadinya ruptureligament dapat dikarenakan gerakan yang dilakukan secara

tiba-tiba dan gerakanmemutar.Grade Cedera Anterior Cruciatum Ligament

(ACL)Ruptur Anterior Cruciate Ligament dapat digolongkan menjadi :

a. Derajat I Serat dari ligamen yang meregang tetapi tidak robek ada

pembengkakan sedikit dan nyeri ringan. Tidak meningkatkan kelemahan

dan ada end feel.

b. Derajat II Serat ligamen yang robek sebagian atau robek lengkap dengan

perdarahan. Ada pembengkakan yang moderat dengan beberapa hilangnya

fungsi. Sendi mungkin merasa tidak stabil selama aktivitas. Nyeri dan sakit

meningkat dengan Lachman dan anterior drawer stress test.

21
c. Derajat III Serat-serat ligamen benar-benar robek (ruptured). Ligamen

telah robek sepenuhnya menjadi dua bagian. Ada kelembutan tetapi tidak

banyak rasa sakit terutama bila dibandingkan keseriusan cedera. Mungkin

ada pembengkakan sedikit atau banyak pembengkakan. Ligamen tidak

dapat mengendalikan gerakan lutut. Lutut terasa tidak stabil.

22
C. Tinjauan Tentang Pengukuran Knee Joint

1. Intensitas Nyeri

Pada pemeriksaan nyeri menggunakan skala nyeri Visual Analouge Scale

(VAS). Skala ini digambarkan dengan garis lurus, biasanya panjangnya mencapai

10 cm. Salah satu ujungnya ditandai “tidak ada nyeri”, dan ujung lainnya

ditandai “nyeri hebat”. Skala ini digunakan secara vertikal atau horizontal,

sambil meminta pasien untuk menandai garis dengan titik yang menggambarkan

derajat nyeri yang dirasakan.

Keterangan :

Skala 0-2 : Tidak nyeri (tidak ada rasa sakit, merasa normal).

Skala 2-5 : Nyeri ringan (masih bisa ditahan, aktifitas tak

terganggu).

Skala 6-8 : Nyeri sedang (mengganggu aktifitas fisik).

Skala 9-10 : Nyeri berat (tidak dapat melakukan aktifitas secara

mandiri).

Menurut penelitian Warren KJC, MHlthSc, PTRP dkk dalam judulnya

Validity and Realibility of Selected Outcome Measures Used in Rehabilitation

for Anterior Cruciate Ligament Reconstruction : A Literature Review

menjelaskan perbandingan pengukuran nyeri antara Visual analog Scale (VAS)

23
dan Numeric Pain Rating Scale (NPRS) lebih unggul VAS dikarenakan

kepraktisan dalam penggunaan serta hasil yang didapatkan cukup valid untuk

menentukan nilai nyeri pada kasus ACL.

2. Muscle Strength Test (MMT)

Menurut Cuthbert, SC, Goodheart, GJ Tentang reliabilitas dan validitas

pengujian otot manual: tinjauan literatur. Terapi Manusia Chiropr 15, 4 (2007),

Lebih dari 100 studi yang berkaitan dengan MMT dan teknik chiropraktik

kinesiologi terapan (AK) yang menggunakan MMT dalam metodologinya telah

ditinjau, termasuk studi tentang kemanjuran klinis MMT dalam diagnosis

pasien dengan gejala-gejala. Berkenaan dengan analisis, ada bukti reliabilitas

dan validitas yang baik dalam penggunaan MMT untuk pasien dengan

disfungsi neuromuskuloskeletal. Studi kohort observasional menunjukkan

validitas eksternal dan internal yang baik, dan 12 uji coba terkontrol secara

acak (RCT) yang ditinjau menunjukkan bahwa temuan MMT tidak bergantung

pada bias pemeriksa.

MMT yang dipekerjakan oleh ahli tulang, ahli terapi fisik, dan ahli saraf

terbukti menjadi alat yang berguna secara klinis, tetapi validasi dan penerapan

ilmiah utamanya memerlukan pengujian yang menggunakan model penelitian

canggih di bidang neurofisiologi, biomekanik, RCT, dan analisis

statistik.Pemeriksaan kekuatan otot ini dilakukan untuk membantu

menegakkan diagnosa fisioterapi dan jenis latihan yang akan diberikan, serta

dapat menentukan prognosis dan dapat digunakan sebagai bahan evaluasi.

Maka pemeriksaan kekuatan otot dianggap penting. Parameter yang digunakan

untuk mengetahui nilai kekuatan otot adalah pemeriksaan kekuatan otot secara

24
manual atau sering disebut Manual Muscle Testing (MMT) dengan ketentuan

sebagai berikut :

Kriteria Keterangan

Otot benar-benar diam pada palpasi atau inspeksi


Nilai 0
visual (tidak ada kontraksi)

Otot ada kontraksi, baik dilihat secara visual atau


Nilai 1
palpasi, ada kontraksi satu atau lebih dari satu otot

Gerak pada posisi yang meminimalkan gaya

Nilai 2 gravitasi. Posisi ini sering digambarkan sebagai

bidang horizontal gerakan tidak full ROM

Nilai 3 Gerak melawan gravitasi dan full ROM

Nilai 4 Resistance Minimal

Nilai 5 Resistance Maksimal

3. Pengukuran LGS Knee

Pengukuran LGS knee dilakukan dengan goniometer. Tujuan

pemeriksaan LGS untuk mengetahui ada tidaknya keterbatasan baik pada gerak

aktif maupun gerak pasif dari sendi lutut (Parjoto,

2000). Menurut International of Standard Orthopaedic Messurement (ISOM),

LGS lutut normal pada gerak aktif adalah S : 0-0-135. Pengukuran LGS lutut

dengan goniometer  yaitu aksis pada epicondylus lateralis femur, lengan statis

sejajar pada lateral paha dan lengan dinamis sejajar pada lateral betis pasien.

Gerak fleksi diukur pada posisi tidur tengkurap dan pada gerak ekstensi diukur

pada posisi tidur terlentang.

25
4. Pemeriksaan kemampuan fungsional dengan skala jette.

Gerakan di sendi lutut saat berjalan telah diukur pada semua bidang,

LGS dalam bidang sagital pada level berjalan diukur dengan

elektrogoniometer. Full extensi atau hampir full extensi dicatat pada awal fase

gerakan (0% dari siklus) pada saat gerakan heel strike. karena beban

diterapkan, sudut fleksi meningkat menjadi sekitar 15º, diikuti oleh ekstensi

kembali ke hampir 0º. fleksi kemudian meningkat cepat untuk memulai fase

ayunan, Fleksi maksimum, sekitar 60º, diamati selama bagian pertama fase

ayunan.

Selama aktivitas kegiatan sehari-hari, umumnya terjadi gerakan

tibiofemoral joint pada bidang gerak sagital. Kettelkamp et al dan Laubenthal

et al menemukan lingkup gerak tibiofemoral joint pada aktivitas berjalan,

menaiki tangga, menuruni tangga, duduk di bawah (melantai), mengikat

sepatu, dan mengangkat suatu obyek. Pada aktivitas berjalan menghasilkan

lingkup gerak sebesar 67º kearah fleksi, menaiki tangga terjadi lingkup gerak

sebesar 83º kearah fleksi, menuruni tangga terjadi lingkup gerak sebesar 90º

kearah fleksi, duduk di bawah (melantai) terjadi lingkup gerak sebesar 93º

kearah fleksi, mengikat sepatu terjadi lingkup gerak sebesar 106º kearah fleksi,

dan mengangkat suatu obyek menghasilkan lingkup gerak sebesar 117º kearah

fleksi.

2)
3)
4)
5)
6)
7)

26
8)
9)
10)
11)

Gambar 2.10
ROM pada tibiofemoral joint pada bidang sagital pada saat
berjalan.
Sumber : Margareta et al, 2012

Gaya reaksi sendi akan mencapai 2–3 kali berat badan pada saat heel

strike, yang dihasilkan oleh kontraksi otot hamstring. Selama fleksi knee

pada awal stance phase (foot flat–awal trunk glide), gaya reaksi sendi

mencapai sekitar 2 kali berat badan yang dihasilkan oleh kontraksi otot

quadriceps femoris. Gaya reaksi sendi yang maksimal terjadi selama akhir

stance phase tepatnya sebelum toe-off (sekitar 2–4 kali beratbadan), yang

dihasilkan oleh kontraksi otot gastrocnemius, dimana bervariasi pada setiap

individu. Pada akhir swing phase, kontraksi otot hamstring menghasilkan

gaya reaksi sendi yang sama dengan berat badan, Pada laki-laki dan

perempuan, tidak ada perbedaan yang signifikan tentangbesarnya gaya

reaksi sendi.

Pada knee normal, gaya reaksi sendi disanggah oleh meniskus dan

kartilago sendi. Penelitian yang memeriksa distribusi stress pada knee

dengan dan tanpa meniskus pada invitro menunjukkan bahwadalam kondisi

penumpuan berat badan, besarnya stress pada tibiofemoral joint ketika

meniskus telah robek akan mencapai 3 kali lebih besar daripada meniskus

yang masih utuh.

27
Gaya yang ditopang oleh ligamen-ligamen lebih rendah daripada gaya

yang bekerja pada dataran tibia. Gaya yang bekerja pada ligamen-ligamen

knee selama siklus berjalan, dimana Morrison menemukan bahwa ligamen

cruciatum posterior menopang gaya yang paling tinggi sekitar ½ berat

badan, dimana terjadi pada saat heel strike dan pada akhir stance phase.

Pada sendi patellofemoral, kekuatan otot paha depan umumnya

meningkat pada gerakan fleksi lutut, Selama berdiri tegak, kekuatan otot

paha depan diperlukan untuk mengimbangi gerakan fleksi kecil ke pusat

sendi karena pusat gravitasi tubuh berada di atas lutut. Ketika fleksi lutut

meningkat, kekuatan eksternal bergerak lebih jauh dari pusat rotasi,

sehingga kekuatan otot paha lebih keras untuk mengimbangi gerakan fleksi

yang meningkat.

Hal-hal yang dinilai dalam pemeriksaan status fungsional jette

meliputi (1) berdiri dari posisi duduk, (2) berjalan 15 meter, (3) naik tangga

3 trap.

Bentuk aktivitas Kemampuan beraktivitas Nilai


1. Berdiri dari posisi Nyeri 1 = tidak nyeri
duduk 2 = nyeri ringan
3 = nyeri sedang
4 = sangat nyeri
Kesulitan 1 = sangat mudah
2 = agak mudah
3 = tidak mudah/ tidak sulit
4 = agak sulit
5 = sangat sulit
Ketergantungan 1 = tanpa bantuan
2 = butuh bantuan dengan alat
3 = butuh bantuan orang
4 = butuh bantuan orang dan alat
5 = tidak dapat melakukan

28
2.  Berjalan 15 meter Sama dengan atas Sama dengan atas

3. Naik tangga 3 trap Sama dengan atas Sama dengan atas

Sumber : Fisher, Jette AM, 1980 dikutip oleh Parjoto, 2000.

D. Tinjauan Tentang Intervensi Fisioterapi

1. Ultrasound

Ultrasound adalah modalitas terapeutik yang biasa digunakan untuk

memperbaiki ekstensibilitas jaringan ikat, termasuk mengatasi jaringan parut,

memfasilitasi penurunan nyeri pada cedera muskuloskeletal, serta meningkatkan

penyembuhan jaringan dan remodeling dalam intervensi pada tendinopati.

Terdapat bukti yang jelas dari beberapa penelitian terhadap hewan yang

menunjukkan bahwa ultrasound memiliki beberapa efek positif terhadap

karakteristik jaringan ikat, nyeri dan inflamasi jaringan, serta penyembuhan.

Ultrasound adalah gelombang berfrekuensi tinggi yang yang dapat

terdekteksi oleh telinga manusia. Frekuensi ultrasound medis di AS adalah

500.000 hingga 5.000.00 Hz ( 0,5 hingga 5 MHz). gelombang ultrasound

dihasilkan oleh Kristal keramik piezoelektrik (biasanya disebut timbale zirkonat

titanata) yang di pasang pada pada aplikator atau transduser yang

menghantarkan gelombang tersebut ke pasien.

Ultrasound memiliki karakteristik berdasarkan frekuensi, bentuk,dan

intensitas.

a. Frekuensi : 1 Atau 3 Mhz

b. Bentuk : Gelombang Continuous Atau Pulsed

c. Intensitas : Watts/Cm2

29
Kontraindikasi dan Indikasi Ultrasound. Dengan pemilihan parameter

yang tepat, ultrasound terapeutik dapat menjadi efektif meningkatkan suhu

jaringan yang sementara atau aliran darah di area pengobatan yang kecil.

Ultrasound dengan intensitas rendah dapat menjadi indikasi untuk memfasilitasi

penyembuhan jaringan. Parameter atau petunjuk pemilihan dosis yang tepat

dapat memfasilitasi penyembuhan jaringan. Adapun indikasi ultrasound therapy

adalah :

a. Sebagai modalitas deep heating maka indikasinya adalah :

1) Kontraktur sendi dan jaringan parut (scar tissue)

2) Nyeri dan spasme otot

3) Inflamasi jaringan lunak subacute atau kronik (ketika suhu jaringan

meningkat atau diinginkan peningkatan aliran darah)

b. Untuk memfasilitasi penyembuhan, maka indikasinya adalah :

1) Cidera akut atau inflamasi jaringan lunak

2) Cidera akut atau inflamasi jaringan sara

3) Luka terbuka

4) Fraktur (menggunakan peralatan khusus)

Ultrasound merupakan modalitas terapeutik yang umumnya digunakan

untuk memperbaiki ekstensibilitas jaringan ikat, termasuk memecah serat-serat

didalam jaringan parut, meningkatkan penyembuhan jaringan dan remodeling

pada jaringan ikat (kapsul sendi). Terdapat bukti yang jelas dari beberapa

penelitian terhadap hewan yang menunjukkan bahwa ultrasound memiliki

beberapa efek positif terhadap karakteristik jaringan ikat, nyeri dan inflamasi

jaringan, serta penyembuhan (Susan et al, 2012).

30
a) Ketika jaringan mengabsorbsi energi ultrasound maka energi

kinetik meningkat, gesekan antara molekul-molekul menghasilkan

produksi panas. Penerapan ultrasound dengan tipe continuous

ultrasound dan frekuensi 1 MHz dapat menghasilkan peningkatan

suhu jaringan diatas 4°c, dimana peningkatan suhu tersebut dapat

memperbaiki ekstensibilitas jaringan kolagen. Lehman dan

rekannya melaporkan bahwa kenaikan suhu jaringan sebesar 4°C

(7,2°F) atau lebih besar diperlukan untuk memicu terjadinya

extensibilitas jaringan kolagen dan menginhibisi aktivitas saraf

simpati. Dengan demikian, hal penting dalam realisasi bahwa

untuk menghasilkan efek thermal, maka harus terjadi peningkatan

suhu jaringan spesifik (Susan et al, 2012)..

2. Strengthening Exercise

1. Pengertian

Strengthening Exercise adalah latihan penguatan pada otot yang

menggunakan tahanan baik dari luar maupun dari beban tubuh sendiri.

Strengthening Exercise dilakukan secara teratur, terencana, berulang-ulang

dan semakin bertambah beban atau pengulangannya (Fiona et al, 2011).

Manual strengthening exercise adalah suatu bentuk latihan aktif baik

kontraksi otot secara dinamik maupun statik yang ditahan oleh gaya eksternal.

Gaya eksternal dapat diaplikasikan secara manual atau mekanikal. (Joost

Dekker 2014)

2. Klasifikasi Latihan Strengthening

a. Open chain kinetik

31
Dalam teknik open chain kinetik segmen distal dari sistem atau

ekstremitas bergerak di suatu tempat pada ekstremitas, contoh teknik open

chain kinetik akan melakukan gerakan kaki selama fase ayunan dalam

gaya berjalan, teknik open chain kinetik ini juga merupakan kombinasi

antara sendi lutut yang dapat bergerak bebas. Latihan ekstensi pada lutut

adalah contoh yan paling umum pada open chain kinetik

b. Closed chain kinetik

Closed chain kinetik merupakan suatu kondisi atau keadaan di mana

segmen distal mampu menahan gerakan secara bebas. Adapun contoh

gerakan dari close chain kinetik ketika tidak ada gerakan proksimal

meskipun segmen distal dapat bergerak pada satusegmen yang

menghasilkan gerakan atau mempengaruhi gerak pad semua sendi lainnya.

Dalam menerapkan definisi teknik closed chain kinetik dengan

situasi klinis, latihan dimana resistensi ditempatkan melalui aspek distal

ekstremitas dan sisanya tetap ke ekstremitas dianggap sebagai latihan

dengan teknik closed chain kinetik. Sebuah contoh umum dari latihan

dengan teknik close chain kinetik adalah gerak jongko-berdiri. Dalam

latihan ini, kaki tetap menginjak tanah selama latihan.

3. Tujuan dan Indikasi Strengthening Exercise

Adapun tujuan umum dari manual strengthening exercise adalah untuk

memperbaiki fungsi antara lain :

a. Meningkatkan Kekuatan

Strength adalah gaya output dari kontraksi otot dan secara langsung

dengan besarnya ketengangan yang dapat dihasilkan oleh kontraksi otot

32
tersebut. Untuk meningkatkan kekuatan otot, kontraksi otot harus diberi

beban atau tahan sehingga meningkatkan level-level kekuatan yang akan

berkembang karena adanya hipertropi dan rekruitmen serabut-serabut otot.

Latihan penguatan dapat didefinisikan sebagai teknik lifting dan

lowering pada suatu otot atau group otot, atau mengontrol beban yang

berat dengan jumlah repetisi yang relatif kecil.

b. Meningkatkan Daya Tahan

Endurance adalah kemampuan untuk melakukan latihan repetisi

dengan intensitas rendah dalam jangka waktu yang lama. Endurance otot

dapat diperbaiki dengan melakukan latihan melawan tahanan yang ringan

dengan repetisi yang tinggi, hal ini telah dibuktikan bahwa sebagian besar

program latihan didesain untuk meningkatkan kekuatan otot dan dapat

mingkatan daya tahan otot. Totally body endurance juga dapat diperbaiki

dengan latihan intensitas renda dalam jangka watu yang lama.

c. Meningkatkan Power

Power merupakan suatu ukuran dari performance otot yang berkaitan

dengan kekuatan dan kecepatan gerak dan dapat didefinisikan sebagai

kerja per unit waktu (gaya x jarak waktu), gaya x kecepatan gerak adala

definisi yang palin sesuai.

Besarnya otot yang berkontraksi dan bekerja pada gaya diseluruh

ROM serta hubungannya dengan lecepatan dan gaya merupakan faktor-

faktor yang mempengaruhi power. Power dapat diperbaiki dengan

meningkatkan kerja otot yang dilatih pada jangka waktu tertentu atau

33
mengurangi jumlah waktu yang diinginkan untuk menghasilkan gaya yang

diharapkan.

Meskipun power berkaitan dengan kekuatan dan kecepatan, tetapi

kecepatan merupakan variabel yang sangat sering dimanipulasi dalam

program training power. intensitas latihan yang lebih besar dan jangka

waktu yang singkat yang diaplikasikan untuk menbangkitkan gaya otot

dapat menghasilkan lebih besar power pada otot.

4. Kontraindikasi

1) Inflamasi

Latihan tahanan dinamik bukan indikasi ketika otot ata sendi

mengalami inflamasi atau pembengkakan. Penerapan strengthening

exercise dapat menyebabkan peningkatan bengkak dan lebih merusak otot

atau sendi. Isometric exercise dengan intensitas yang rendah dapat

dilakukan pada kondisi inflamasi jika aktivitasnya tidak meningkatkan

nyeri.

2) Nyeri

Jika pasien mengalami nyeri sendi atau otot yang berat selama

latihan atau lebih dari 24 jam setelah latihan, maka secara keseluruhan

aktivitas harus diminimalisir atau secara sustansial dikurangi.

5. Hal-Hal Yang Perlu Dicegah

1) Kelelahan

Kelelahan merupakan kejadian kompleks yang mempengaruhi

performa fungsional yang harus dihindari dalam program strengthening

exercise.

34
2) Recovery

Diperlukan waktu yang cukup untuk pemulihan setelah menjalani

program strengthening, setelah latihan berat tubuh harus diberikan waktu

pemulihan sebelum mencapai titik kelelahn maksimal.

3) Gerakan substitusi

Jika tahanan yang diberikan sangat berat selama latihan,maka

gerakan substitusi dapat terjadi. Untuk menghindari adanya gerakan

substitusi maka berikan tahanan yang tepat dan terukur serta aplikasikan

stabilisasi yang benar baik secara manual maupun mekanikal.

4) Nyeri otot

Latihan dapat menyebabkan nyeri otot, nyeri otot seringkali

berkembang selama atau setelah latihan yang berat sampai titik kelelahan.

Hal ini harus dihindari dengan melakukan latihan secara bertahap,

intensitas dan durasi latihan ditingkatkan secara progresif.

6. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan

Menurut Joost Dekker (2014), hal-hal yang perlu diperhatikan dalam

pemberian strengthening exercise adalah :

a. Perhatikan letak aplikasi tahanan, tahanan biasanya diaplikasikan pada

ujung distal segmen dimana otot melekat.

b. Tentukan arah tahanan, tahanan yang diaplikasikan dalam arah yang

berlawanan dari gerakan.

c. Berikan stabilisasi, untuk menghindari gerakan substitusi maka berikan

stabilisasi yang tepat baik dengan alat maupun dengan cara manual.

d. Aplikasikan besarnya tahanan yang sesuai.

35
e. Tinjau kembali letak aplikasi tahanan atau turunkan besarnya tahanan jika

pasien tidak mampu menyempurnakan sampai ROM penuh, ada nyeri

hebat pada lokasi palikasi tahanan, berkembangnya tremor otot, dan terjadi

gerakan substitusi.

f. Berikan perintah verbal yang tepat.

g. Tentukan jumlah repetisi, pada umunya 8-10 x repetisi.

7. Tipe Strengthening Exercise

a. Isotonik Exercise

Isotonik exercise merupakan bentuk latihan yang dilakukan melawan

tahanan atau beban yang konstan dan bervariasi dengan kontraksi otot

memanjang atau memendek melalui ROM yang ada. Pada latihan tahanan

secara manual, terapis dapat melakukan variasi tahanan yang tepat untuk

mencapai perubahan kapabilitas kekuatan otot pada seluruh ROM.

Maksimal kontraksi konsentrik menghasilkan gaya output yang lebih kecil

dari pada maksimalkan kontraki eksentrik.

Meskipun demikian, pencapaian adaptasi strength sama-sama terjadi

setelah latihan konsentrik dan eksentrik. Pada latihan isotonik manual,

kontraksi konsentrik diaplikasikan dengan cara, pasien menggerakkan

anggota geraknya melawan tahanan yang diberikan oleh terapis,

sedangkan pada kontraksi eksentrik secara manual, terapis menggerakkan

anggota gerak pasien sementara pasien menahan gerakan tersebut. (Jhon et

al, 2011)

b. Isometrik Exercise

36
Isometrik exercise dapat diberikan oleh fisioterapis dengan

memanfaatkan gaya gravitasi atau dengan berat konstan. Isometrik

exercise dapat diberikan pada kondisi gangguan dan kontrol keseimbangan

yang lemah, dapat juga diberikan pada kondisi rehabilitasi kasus

muskuluskeletal seperti, keterbatasan gerak sendi dan kelemahan otot.

Isometrik exercise merupakan pilihan yang tepat untuk melatih otot-otot

kecil, beberapa kelompok otot dapat dilakukan isometrik dengan aktivitas

yang lebih kompleks seperti jongkok sambil memegang bola.

Muscle setting exercise didefinisikan sebagai latihan isometrik

intensitas rendah yang dilakukan dengan melawan sedikit tahanan atau

tanpa tahanan. Setting exercise biasa dikenal sebagai statik kontraksi yang

bertujuan untuk memperlancar relaksasi otot dan sirkulasi, untuk

mengurangi nyeri dan spasme setelah injury selama tahap akut

penyembuhan.

Muscle setting exercise juga bertujuan untuk memelihara mobilitas

antara serabut otot selama penyembuhan. Karena muscle setting exercise

tidak dilakukan tahanan yang nampak, maka teknik ini tidak dapat

memperbaiki kekuatan otot karena dapat mengakibatkan terjadinya atropi

otot pada tahap awal program ketika anggota gerak diimmobilisasi (Jhon et

al,2011).

37
BAB III

PROSES FISIOTERAPI

A. Identitas Pasien

Nama Lengkap : Tn. H

Umur : 47 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Jl. Satando

Pekerjaan : TNI AL

B. Anamnesis Khusus ( History Taking )

1. Keluhan Utama : Nyeri lutut dan bunyi klik saat posisi

duduk lama ke berdiri

2. Lokasi Nyeri : lutut sinistra mengarah dari femerotibial

artikularis lateral ke kondilus lateral femur.

3. Riwayat Perjalanan Penyakit : Setahun yang lalu pasien mengalami

kecelakaan motor dan semenjak itu mulai merasakan nyeri pada lututnya. Pada

beberapa bulan setelahnya pada saat berolahraga lari, pasien merasakan bunyi

klik pada lutut kiri dan sedikit terputar. Pasien merasakan nyeri yang

38
terlokalisir di area lutut terutama saat melakukan aktivitas yang melibatkan

extensi knee (jongkok ke berdiri, meluruskan kaki untuk posisi tidur) dan

sering merasakan ketidakstabilan pada lututnya saat m tidak lama berselang

setelah itu pasien datang ke dokter kemudian dirujuk ke fisioterapis untuk

penaanganan lanjut.

4. Riwayat penyakit dahulu : Tidak ada

C. Pemeriksaan Vital Sign

Tekanan Darah : 140/80 mmHg

Suhu : 36,5 ᵒC

Denyut Nadi : 84x/menit

Pernapasan : 20x/menit

D. Inspeksi/Observasi

1. Statis

Anterior view : postur knee cenderung sedikit genu varum

Posterior view : postur terlihat normal dan cenderung sedikit genu varum

Lateral view : postur terlihat normal

2. Dinamis

Pasien datang dengan pola berjalan yang normal namun cenderung hati

hati dalam melangkah (antalgic gait). Pasien juga agak sedikit merasakan nyeri

pada saat melakukan gerakan yang melibatkan extensi knee.

E. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar

39
1. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar

1. Gerak Aktif

1) Tujuan

Untuk mengetahui pola gerak/koordinasi, kekuatan otot, jangkauan

gerak (ROM) serta nyeri yang terprovokasi pada saat melakukan

gerakan.

2) Teknik Pelaksanaan

Pasien diminta untuk melakukan gerakan fleksi – ekstensi knee,

endorotasi-eksorotasi knee dextra dan sinistra secara mandiri.

Fisioterapis sebelumnya memberikan contoh terlebih dahulu kemudian

pasien mengikuti gerakan yang sudah dicontohkan.

3) Interpretasi

Pasien mampu melakukan semua gerakan ful ROM. Positive test apabila

terjadi keterbatasan pada gerakan dan nyeri yang muncul pada pasien

4) Hasil

Pasien dapat melakukan semua gerakan dengan normal dan ROM full

hanya saja pada saat extensi knee pasien merasakan sedikit nyeri dan

terdapat indikasi bunyi klik.

2. Gerak Pasif

1) Tujuan

Untuk mengetahui jangkauan gerak sendi (ROM), nyeri yang

terprovokasi, end feel, serta pola capsular pattern

40
2) Teknik Pelaksanaan

Pasien diminta untuk melakukan gerakan fleksi – ekstensi knee,

endorotasi-eksorotasi knee dextra dan sinistra dengan bantuan

fisioterapis. Fisioterapis akan menggerakkan pasien secara pasif.

3) Interpretasi

Pasien mampu melakukan semua gerakan full ROM dengan endfeel

normal. Positive test apabila terjadi keterbatasan gerak dan endfeel

berubah.

4) Hasil

Pasien mampu melakukan semua gerakan full ROM dengan endfeel

normal hanya saja terindikasi adanya nyeri pada saat gerakan extensi

knee sinistra.

3. TIMT

1) Tujuan

Untuk mengetahui adanya nyeri yang terprovokasi, kualitas saraf

motorik, serta kekuatan otot secara isometrik.

2) Teknik Pelaksanaan

Pasien melakukan gerakan fleksi – ekstensi ,endorotasi-eksorotasi knee

dextra dan sinistra secara mandiri. Fisioterapis memberikan tahanan

kepada pasien sesuai dengan arah gerak yang akan dilakukan

3) Interpretasi

Pasien mampu melawan tahanan maksimal. Positive test apabila pasien

tidak mampu melawan tahanan

4) Hasil

41
Ketika dilakukan test, pasien mampu melawan tahanan hanya saja ada

indikasi nyeri pada saat gerakan extensi knee.

F. Pemeriksaan Spesifik

1. Anterior Drawer Test

1) Tujuan

Untuk mengidentifikasi adanya tear pada ligament Cruciatum anterior. Dengan

sensitivitas 92% dan spesifitas 91 %

2) Prosedur pelaksanaan:

a. Posisi Pasien terlentang. Posisi Pemeriksa berdiri di samping tungkai

pasien yang akan di test

b. Bawalah hip Pasien ke dalam Posisi 45 derajat fleksi dan knee pada posisi

90 derajat fleksi. Fiksasi kaki Pasien dengan cara mendudukinya.

c. Selanjutnya, palpasi joint line atau tibial Plateau dengan kedua thumb

Anda, lalu gerakkan tibia ke anterior dalam suatu gerakan eksplosif.

3) Interpretasi

Test positive jika translasi tibia ke anterior lebih dari 6 mm/ jika merasakan

end fell terasa soft dan adanya indikasi tear pada ligament cruciatum anterior.

4) Hasil

Terdapat indikasi translasi tibia ke anterior sejauh 6 mm disertai bunyi klik

yang kuat, dan endfeel terasa soft. (+)

2. Lachman's Test

1) Tujuan

42
Untuk mengidentifikasi adanya tear pada ligament Cruciatum anterior. Dengan

Sensivitas 85% dan Spesifitas 94%

2) Prosedur pelaksanaan

a. Posisi Pasien terlentang.

b. Posisi Pemeriksa berdiri di samping tungkai Pasien yang akan di test.

c. Bawalah tungkai Pasien ke dalam posisi 30 derajat fleksi. Fiksasi femur

dengan salah satu tangan Anda pada sisi lateral upper knee.

d. Selanjutnya bawa knee sedikit eksorotasi, lalu lakukanlah translasi pada

tibia ke anterior terhadap femur.

e. Bandingkan dengan tungkai yang tidak mengalami injuri.

3) Interpretasi

Test positif jika translasi tibia ke anterior terasa soft/ jika translasi tibia lebih

besar dari 3 mm serta adanya indikasi tear pada ligament cruciatum anterior.

4) Hasil

Translasi tibia terasa sangat soft (+)

3. Mc. Murray Test

1) Tujuan

Untuk mengidentifikasi adanya tear/injuri pada meniscus. Dengan sensitifitas

85% dan spesifitas 94%.

2) Prosedur pelaksanaan

a. Posisi pasien terlentang dan posisi pemeriksa berdiri disamping tungkai

pasien yang akan di test.

43
b. Untuk meniscus lateral bagian posterior, awali test dengan memfleksikan

hip dan knee pasien sekitar 90 derajat, kemudian rotasikan tibia ke medial

lalu bawa knee ke dalam extensi.

c. Lakukan test bebrapa kali dengan sudut fleksi yang berbeda.

3) Interpretasi

Test positif jika pasien merasakan clicking, locking atau nyeri dibagian dalam

knee serta adanya indikasi tear / injuri pada meniscus

4) Hasil

Pasien dapat melalui tahap test spesifik dengan baik (-)

4. Varus test

1) Tujuan

Untuk mengidentifikasi adanya kemungkinan ijuri/tear pada ligament collateral

lateral. Dengan sensitivitas 25% dan realibiliti 56%

2) Prosedur pelaksanaan

a. Posisi pasien terlentang dan posisi pemeriksa berdiri di samping tungkai

pasien yang akan di test.

b. Abduksikan tungkai pasien dan knee flexi sekitar 20-30 derajat sehingga

knee joint dalam posisi close packed.

c. Tempatkan satu tangan pemeriksa pada sisi medial dari upper knne. Tangan

satunya pada sisi lateral ankle. Dnegan kedua tangan aplikasikan varus force

pada knee pasien kea rah medial.

3) Interpretasi

44
Test positive jika nyeri terprovokasi pada sisi lateral knee joint dengan/tanpa

disertai peningkatan laxity dan adanya indikasi tear pada ligament collateral

lateral.

4) Hasil

Pasien dapat melalui tahap test spesifik dengan baik (-)

5. Valgus Test

1) Tujuan

Untuk mengidentifikasikan adanya kemungkinan injuri/tear pada ligament

collateral medial. Dengan sensitivitas 86% dan spesifitas yang belum dapat

ditetapkan.

2) Prosedur pelaksanaan

a. Posisi pasien terlentang dan posisi pemeriksa berdiri di samping tungkai

pasien yang akan di test.

b. Abduksikan tungkai pasien dan knee flexi sekitar 20-30 derajat sehingga

knee joint dalam posisi closed packed.

c. Selanjutnya tempatkan satu tangan pemeriksa pada sisi lateral dari upper

knee. Tangan satuny apada sisi medial ankle. Dengan kedua tangan

pemeriksa, aplikasikan valgus force pada knee pasien kearah lateral.

3) Interpretasi

Test positive jika nyeri terprovokasi pada sisi medial knee joint dengan/tanpa

disertai peningkatan laxity serta terdapat indikasi tear pada ligament collateral

medial

4) Hasil

45
Pasien dapat melalui tahap test spesifik dengan baik (-)

6. Palpasi

1) Tujuan

Dengan palpasi dapat terbentuk gambaran organ tubuh atau massa

abnormal dari berbagai aspek :

a. Ukuran

sebisa mungkin menggunakan ukuran 3 dimensi yang objektif

(panjang x lebar x tinggi, dalam centimeter), atau dibandingkan dengan

ukuran umum suatu benda (sebesar kedelai, kelereng, telur puyuh, dan

lainlain).

b. Tektur permukaan

Tekstur berguna untuk membedakan dua titik sebagai

titik-titik terpisah meskipun letaknya sangat berdekatan. Paling baik

dideteksi dengan ujung jari. Perbedaan kecil dapat diketahui dengan

menggerakkan ujung jari diatas daerah yang dicurigai. Deskripsinya

adalah kering, kasar,halus, tunggal, berkelompok atau noduler,

menonjol atau datar.

c. Konsistensi massa

Konsistensi paling baik diraba dengan ujung jari, tergantung pada

densitasnya dan ketegangan dinding organ tubuh yang

berongga.Hasilnya berupa konsistensi kistik, lunak, kenyal seperti karet

atau keras seperti papan.

d. Lokasi massa

Tergantung dari lokasi yang terdapat indikasi masalah

46
e. Suhu

Merasakan suhu bagian tubuh yang dipalpasi, dan membandingkan

dengan area sekitarnya.

f. Denyutan dan getaran

Merasakan denyut nadi, kualitas ictus cordis.

g. Batas batas organ didalam tubuh

2) Prosedur pelaksanaan

a. Pastikan daerah yang akan diperiksa harus bebas dari pkaian yang

menutupi

b. Yakinkan bahwa suhu telapak tangan pemeriksa tidak dalam keadaan

dingin

c. Pada fase awal diusahakan supaya terjadi relaksasi otot diatas organ

yang akan dipalpasi yaitu dengan cara melakukan extensi knee.

d. Palpasi menggunakan jari ke-2, 3, dan 4 bersama sama untuk

mennetukan getaran/ denyutan,konsistensi tekstur permukaan/ kualitas

suatu massa secara garis besar. Tempatkan pada daerah yang

bermasalah yaitu sisi distal patella cenderung mengarah kearah medial.

e. Saat melakukan palpasi, berikan sedikit tekanan menggunakan ujung

jari dan lihat expresi pasien untuk mengetahui adanya nyeri tekan.

3) Interpretasi

Jika terdapat oedem, suhu tinggi dibanding area sekitarnya, serta terdapat nyeri

tekan.

4) Hasil

47
Terindikasi adanya nyeri tekan pada daerah yang dipalpasi ( sisi distal patella

yang cenderung mengarah kearah medial)

G. Pengukuran Fisioterapi

2. Intensitas Nyeri

Hasil : 3 ( Nyeri sedang )

2. Panjang tungkai dan circumferential

1) Tujuan

Untuk mengetahui panjang tungkai serta lingkar otot kemudian

membandingkan dengan tungkai yang sehat.

2) Prosedur pelaksanaan

a. Menyiapkan bed untuk pemeriksaan

b. Menyiapkan alat pengukuran antropometri

c. Menyiapkan alat pencatat hasil pengukuran antropometri

d. Mengatur posisi pasien yang nyaman, segmen tubuh yang

diperiksa mudah dijangkau oleh fisioterapis.

e. Segmen tubuh yang akan diperiksa bebas dari pakaian, tetapi

secara umum pasien masih berpakaian sesuai dengan kesopanan.

48
f. Posisikan pasien secara terlentang.

g. Untuk pengukuran TRUE LENGTH (TL), ukur tungkai dari SIAS

ke Maleolus Medialis dengan melalui patella.

h. Untuk pengukuran CIRCUMFERENTIA titik awal dari SIAS

kemudian tarik titik kedua sejauh 10 cm. apabila belum

menemukan bagian dari tonus otot, maka beri tambahan titik

selanjutnya sebanyak 10 cm dst.

3) Hasil

1. Panjang tungkai/True length (TL)

a. Dextra : 90 cm

b. Sinistra : 90 cm

2. Lingkar otot/Circumferentia

a. Dextra : 47 cm

b. Sinistra : 47 cm

1. Pengukuran luas gerak sendi knee

Gerakan ROM Pasien ROM Normal

Ektensi/Fleksi S:0ᵒ-0 ᵒ-135ᵒ S:0ᵒ-0ᵒ-135ᵒ

Ekso/Endorotasi R:10ᵒ-0ᵒ-20ᵒ R:10ᵒ-0ᵒ-20ᵒ

5. Manual Muscle Tes (MMT)

1) Tujuan

49
Untuk mengetahui kekuatan otot untuk berkontraksi dan menghasilkan

gaya.

2) Prosedur pelaksanaan

a. Flexi knee

a) Posisikan pasien miring dnegan extremitas yang akan di tes

disanggah oleh pemeriksa. Dan yang satunya lagi di flexikan

untuk stabilitas.

b) Posisi terapis berada di belakang sejajar dengan lutut pasien. 1

tangan mengangkat hip pada pasien sembari memberikan

sanggahan pad amedial lutut.

c) Instruksikan untuk menekuk lutut pasien.

b. Extensi knee

a) Posisi pasien tidur miring dengan extremitas yang akan di tes

dan diposisikan flexi 90°. Extremitas yang satunya di

fleksikan untuk stabilisasi.

b) Posisi fisioterapis berdiri di belakang pasien sejajar dengan

lutut. Satu lengan digunakan untuk menggendong bagin kaki

pasien yang akan di tes. Tangan yang lainnya menahan kaki

tepat diatas malleolus.

c) Pasien melakukan gerakan extensi knee pada ROM yang

memungkinkan dan instruksikan untuk meluruskan lutut

pasien.

50
3) Interpretasi

4) Hasil

a. Sinistra

a) Flexi knee

4 ( dapat melawan gravitasi dan tahanan minimal)

b) Extensi knee

4 ( dapat melawan gravitasi dan tahanan minimal)

b. Dextra

a) Flexi knee

4 ( dapat melawan gravitasi dan tahanan minimal)

b) Extensi knee

4 ( dapat melawan gravitasi dan tahanan minimal)

2. Hasil pemeriksaan aktifitas fungsional menggunakan skala jette

Indeks fungsional jette Lutut kanan Lutut kiri

1.      Berdiri dari posisi  duduk

a. Nyeri 1 3

b. Kesulitan 1 2

51
c. Ketergantungan 1 1

2.      Berjalan 15 meter

a. Nyeri 1 1

b. Kesulitan 1 1

c. Ketergantungan                                 1 1

    

3. Naik turun tangga 3 trap

b. Nyeri 1 2

c. Kesulitan 1 1

d. Ketergantungan 1 1

H. Diagnosa

1. Diagnosa Fisioterapi

“Penatalaksaan Fisioterapi Hypermobile Knee Joint Sinistra Et Causa Injury

Anterior Cruciatum Ligament”

I. Problematik Fisioterapi (sesuai konsep ICF)

NO Komponen ICF Pemeriksaan / Pengukuran

Yang Membuktikan

1 Impairment :

a. Body structure Anamnesis, inspeksi

Adanya pain injury pada statis, inspeksi dinamis,

52
ligament anterior pemeriksaan fungsi gerak

cruciatum dasar,pemeriksaan

spesifik, VAS

b. Body function Inspeksi dinamis, Anterior

A adanya nyeri, hypermobile drawer test, lachman tes, skala

pada knee joint sinistra jette.

dan instability.

2 Activity Limitation

Pasien kesulitan dalam melakukan Anamnesis, Inspeksi statis,

kegiatan yang melibatkan extensi inspeksi dinamis, pemeriksaan

knee (jongkok keberdiri, fungsi gerak dasar, pemeriksaan

meluruskan tungkai untuk posisi spesifik, skala jette.

tidur)

3 Participant Restriction

Sulit melakukan aktivitas olahraga Anamnesis, inspeksi dinamis,

lari pemeriksaan fungsi gerak dasar,

skala jette.

53
BAB IV

INTERVENSI DAN EVALUASI FISIOTERAPI

A. Rencana Intervensi Fisioterapi

1. Tujuan Jangka Panjang

Memperbaiki aktivitas fungsional pada knee agar pasien dapat melakukan

aktivitas olahraga lari dan aktivitas lainnya yang melibatkan extensi knee.

2. Tujuan Jangka Pendek

Mengurangi nyeri pada knee

B. Strategi Intervensi Fisioterapi

NO Problematik Fisioterapi Tujuan Intervensi Jenis Intervensi

1 Impairment

Pain injury anterior Menurukan nyeri Ultrasound,

cruciatum ligament serta memperbaiki Quadriceps setting

struktur ligament exercise, Latihan

core stability

54
exercise,

Strengthening

dengan

menggunakan

resistance band,

Latihan open

kinematic chain .

2 Activity Limitation

Pasien kesulitan dalam Quadriceps setting

melakukan aktivitas sehari- exercise, Latihan

hari yang melibatkan core stability

extensi knee (jongkok ke exercise,

berdiri, meluruskan kaki Strengthening

untuk tidur) dengan

menggunakan tera

band, Latihan open

kinematic chain .

3 Participant Restriction

Tidak bisa melakukan Quadriceps setting

aktivitas berolahraga. exercise, Latihan

core stability

exercise,

Strengthening

55
dengan

menggunakan tera

band, Latihan open

kinematic chain .

C. Prosedur Pelaksanaan

1. Ultrasound

a. Tujuan

Mengurangi nyeri dan memperbaiki ekstensibilitas jaringan kapsul.

b. Teknik pelaksanaan

1) Persiapan Alat

a. Siapkan Ultrasound gel sebagai media penghantar dan mengecek

kabel-kabel yang terpasang di alat.

b. Bersihkan head transduser dengan alkohol.

c. Nyalakan alat dengan menekan tombol ON/OFF.

2) Persiapan pasien

a. Fisioterapis menjelaskan kepada pasien mengenai prosedur dan

tujuan dari pemberian ultrasound

b. Pasien dalam posisi tidur terlentang

c. Daerah yang akan diterapi (knee) bebas dari pakaian.

d. Fisioterapis mengoleskan gel secukupnya pada area lutut / knee.

c. Teknik aplikasi

56
a. Nyalakan alat

b. Dosis terapi adalah : frekuensi 1 MHz, pulse ratio 50%, intensitas

1,0w/cm2, ERA tranducer 5 cm, waktu 6 menit.

c. Fisioterapis meletakkan head transduser pada area knee bagian

anterior.

d. Fisioterapis menekan tombol Start/Stop, kemudian menggerakkan

transduser secara lambat disekitar area knee yang nyeri (sisi medial

dari knee joint)

2. Quadriceps setting exercise

a. Tujuan : Menguatkan otot quadriceps

b. Penatalaksanaan : Pasien baring, ganjal bagian bawah lutut dengan handuk lalu

tekan lutut dan paha ke arah bawah tanpa mengangkat tumit .

F : 2 kali/minggu

I : 4 kali pengulangan

T : 8 detik hitungan

T : Menggunakan handuk dan dilakukan secara aktif.

3. Latihan core stability exercise

a. Tujuan : Untuk melatih ke stabilan knee dan memperkuat otot

gluteus,hamstring dan quadrisep.

b. Posisi pasien : Pasien berbaring terlentang lalu ke dua kaki di tekuk, minta

pasien untuk mengangkat pinggulnya dan kaki yang sehat di luruskan ke atas.

F : 1-2 kali/minggu

I : 4 kali pengulangan

57
T : 10 detik pengulangan

T : Dilakukan secara aktif

4. Strengthening dengan menggunakan resistance band

a. Tujuan : Untuk memperkuat otot quadrisep dan hamstring

b. Posisi Pasien : Terlentang, duduk, dan berdiri

c. Penatalaksaan : Pasangkan resistance band pada kaki pasien dan minta

pasien untuk menarik resistance band sambil menekuk kakinya

semaksimal mungkin dan meluruskan kembali.

F : 2 kali seminggu

I : 4 kali pengulangan

T : 10 detik/gerakan

T : Dilakukan secara aktif

5. Latihan open kinematic chain

a. Tujuan : untuk memperkuat otot gluteus.

b. Penatalaksanaan: Pasien dalam posisi tengkurap lalu kaki kiri di angkat ke

atas dan pertahankan.

F : 2 kali/minggu

I : 3 kali pengulangan

T : 10 detik pengulangan

T : Dilakukan secara aktif

D. Edukasi dan Home Program

1. Edukasi

Pasien disarankan agar tidak melakukan kegiatan yang cukup berat yang dapat

memprovokasikan nyeri pada lutut.

58
2. Home Program

a. Heel Slide Exercise

b. Bridging Exercise

E. Evaluasi Fisioterapi

Problematik Intervensi Fisioterapi Awal Terapi Akhir Terapi

Anatomical / Ultrasound, Quadriceps Nyeri pada lutut kiri Nyeri sudah tidak

functional setting exercise, Latihan sering terprovokasi .

Impairmant core stability exercise,

Strengthening dengan

menggunakan tera band,

Latihan open kinematic

chain .

Activity Limitation Quadriceps setting Pasien kesulitan Pasien sudah mampu

exercise, Latihan core dalam melakukan melakukan aktivitas

stability exercise, aktivitas sehari-hari yang melibatkan

Strengthening dengan yang melibatkan extensi knee tetapi

menggunakan tera band, extensi knee. pasien masih

Latihan open kinematic merasakan nyeri.

chain .

Participation Quadriceps setting Tidak dapat aktivitas social

restriction exercise, Latihan core melakukan aktivitas dengan lingkungan

stability exercise, yang memiliki nilai sekitar terutama

59
Strengthening dengan tumpu yang besar dan melaksanakan

menggunakan tera band, olahraga aktifitas sehari-hari,

Latihan open kinematic hanya saja masih

chain . lebih berhati hati

dikarenakan nyeri

yang terkadang

masih muncul.

60
BAB V

PEMBAHASAN

A. Pembahasan Assesment Fisioterapi

1. History taking

History taking merupakan cerita tentang riwayat penyakit yang diutarakan

oleh pasien melalui tanya jawab, yang disusun secara kronologis yang

memerlukan pemahaman tentang patofisiologi dari pemeriksa. Untuk

mendapatkan history taking yang baik dibutuhkan sikap pemeriksa yang sabar

dan penuh perhatian, serta waktu yang cukup. Cara pengambilan history taking

dapat mengikuti dua pola umum, yaitu :

1) Pasien dibiarkan dengan bebas mengemukakan semua keluhan serta

kelainan yang dideritanya.

2) Pemeriksa membimbing pasien mengemukakan keluhannya atau

kelainannya dengan jalan mengajukan pertanyaan tertentu.

Dalam buku “orthopedic physical assessment” menjelaskan terkait patient

history yang merujuk pada knee ligament joint yaitu apabila mekanisme dari

cedera adalah hyperextension,flexi dengan translasi kearah posterior serta

adanya rotasi maka pemeriksa dapat mencurigai adanya injury pada meniscus

61
dan anterior cruciatum ligament. Dan juga jika tedapat indikasi bunyi klik pada

lutut, maka adanya indikasi tear pada anterior cruciate ligament.

2. Observasi/inspeksi

Untuk melengkapi data suatu pemeriksaan fisioterapi, diperlukan

pemeriksaan observasi. Observasi memerlukan kecermatan dan kecepatan

menganalisa keadaan pasien dalam waktu yang singkat.

Dalam buku “orthopedic physical assessment” terkait observasi untuk

kasus pada knee dapat dilihat dari 3 aspek yaitu : anterior,posterior, dan lateral

view. Ketika dilakukan observasi dari sisi anterior akan cenderung sedikit

varum. Hal ini dikarenakan adanya posisi yang cenderung tidak stabil

dikarenakan injury pada anterior cruciatum ligament.

3. Pemeriksaan fungsi dasar

Pemeriksaan yang dimaksud adalah pemeriksaan pada alat gerak tubuh

dengan cara melakukan gerekan fungsional dasar pada region tertentu untuk

melacak kelainan struktur region tersebut.

Menurut buku “Orthopedic Physical Assesment : David J.Mage”

menjelaskan terkait pemeriksaan fungsi gerak dasar terkait gerak aktif,gerak

pasif,TIMT pada region knee yaitu fleksi,ekstensi,endorotasi dan eksorotasi

serta informasi-informasi apa saja yang didapatkan dalam pemeriksaan fungsi

gerak dasar tersebut.

4. Pemeriksaan spesifik

a. Palpasi

Menurut Christian kopkow dkk dalam jurnalnya yang berjudul “Physical

test for diagnosing anterior cruciate ligament rupture” menjelaskan

62
bahwa tehnik palpasi dapat mampu menegakkan diagnose sekalipun

tidak terlalu berkontribusi besar dalam pemeriksaan kasus ACL.

b. Anterior drawer test

Pada buku yang berjudul “physical therapy special test 2” karangan

djohan aras dan hasnia ahmad anterior drawer test merupakan salah satu

test spesifik yang mempunyai validitas yang tinggi untuk

mengidentifikasi hipotesa terhadap anterior cruciate ligament

berdasarkan anamnesis yang ada.

B. Pembahasan Intervensi Fisioterapi

Menurut Internasional Conference on Enhancing Skillls in Physical Education

and Sport Science 2020. Dengan Judul Penelitian Effect Ultrasound Therapy ,

Interferential Therapy, and Combination of Ultrasound Therapy with Interferential

Therapy on Both Anterior Cruciate Ligament Injury ( Sprain) and Bursitis of Knee in

Sports.

Pada penelitian tersebut dilakukan pre dan post test pada pasien kasus acl injruy

selama ditemukan hasil pengurangan nyeri yang signifikan pada kasus ACL.

Menurut Buku ACL Rehabilitation Guide A Criteria author Randall Cooper B.

Physio,M.Physio,FACP (Sport Physiotherapist” Dalam buku tersebut menjelaskan

rekomendasi terapi latihan pada kasus cedera ACL yaitu strengthening quadriceps.

63
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed Hasim, Amir Iqbal, Shanawaz Anwer, Ahmad Alghadir. Journal of physical

therapy science: Effect of modified holdrelax and static stretching on hamstring

muscle flexibility. 2015

Arnheim D. Modern Principles of Athletic Training. United State of America: Times

Mirror/Mosby College Publishing. 2015.

Ayala F. Physical therapy in sport: Comparison of active stretching technique in males

with normal and limited hamstring flexibility. 2013.

Backer Marianne, Kofoed Hakon. Clinical Measurment Compared. The Journal of

Bone and Joint Surgery; 2010.

Barber, Edward L. Strength and Range of Motion Examination Skills for The Clinical

Orthotist. http://www.oandp.org/jpo/library/1993_02_ 049.asp. Diakses tanggal

5 Maret 2016.

Beardshaw A, Penhaul L, Kennedy N, Clayton L, Wheeldon N. Oxford University

Hospitals: ACL Reconstruction Physiotherapy Advice for Patients; 2015

Boucher, Laura. Lower Extrimity Anthropometry. http://gradworks.umi.com

/36/72/3672156.ht ml. Diunduh tanggal 8 Maret 2016. dr. Arovah I N. Dasar-

dasar Fisioterapi Pada Cedera Olahraga. Yogyakarta; 2012.

64
Edward R. Reconstruction rupture Anterior Cruciate Ligament with Arthroscopy.

United States of America; 2010.

Hickey BA, Cleves A, Alikhan R, Pugh PN, Nokes L, Perera A, The effterkaitt of active

toe movement (AtoM) on calf pum function and deep vein thrombosis in patients

with acute foot and ankle trauma treated with castndash a prospekttive

randomised study, foot and ankle surgery; 2016.

Jon C. Thompson. Anatomy of leg/knee, Netter’s concise orthopaedic anatomy. 2010.

65

Anda mungkin juga menyukai