Anda di halaman 1dari 39

`

LAPORAN KASUS KELOMPOK MAHASISWA FT KOMPREHENSIF 1


DI RS SALEWANGANG MAROS
DENGAN JUDUL OSTEOARTHRITIS KNEE BILATERAL

OLEH :

OLGA NURKHALIDA NASHRAH PO. 71.424.1.15.1.028

WIDIA WANDANA PO.71.424.1.15.1.047

FEBY FEBRIAN PO.71.424.1.15.1.059

POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR

D.IV FISIOTERAPI

2018
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus Kelompok FT Komprehensif I di Poliklinik Fisioterapi RSU

Salewangang Maros mulai tanggal 12 November sampai dengan 8 Desember 2018 dengan

judul kasus “Penatalaksanaan Fisioterapi pada Hipomobile with Knee Pain Sinistra et

causa Osteoarthritis Knee “ telah disetujui oleh Pembimbing Lahan (Clinical Instructor)

dan Preceptor (Dosen)

Makassar, November 2018

Clinical Instructor, Preceptor,

NIP. NIP.
BAB I

PENDAHULUAN

Osteoarthritis (OA) adalah suatu proses degenerasi pada tulang rawan sendi yang

banyak di derita pada orang tua yang jumlah kejadiannya cenderung meningkat seiring

dengan bertambahnya usia harapan hidup penduduk dan penyakit ini sering menyerang

sendi lutut (knee joint). Orang yang mengalami osteoarthritis biasanya sulit untuk

menggerakkan persendiannya sehingga pergerakannya terbatas.

Osteoarthritis mempengaruhi sendi dengan prevalensi 60% pada pria dan 70% pada

wanita setelah usia 65 tahun. Prevalensi OA berdasarkan radiographic menunjukkan bahwa

di Amerika Serikat memiliki prevalensi OA yang lebih tinggi dibandingkan dengan Eropa,

dimana OA pada knee dan tangan lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki

meskipun rasionya bervariasi antara 1,5 dan 4,0 diantara beberapa penelitian. Kemudian,

prevalensi OA knee dengan gejala nyeri lutut umumnya terjadi pada usia dewasa yaitu

sekitar usia 40 tahun dengan persentase antara 20% dan 28%, dimana sekitar 50% pasien

melapor adanya disabilitas akibat OA knee. Sedangkan di Inggris, berdasarkan evidence

based ditemukan sekitar 18,1% pada usia 55 tahun keatas yang datang berkunjung ke lahan

praktek dengan diagnosa klinik OA knee (Arden and Nevitt, 2006).

Hal ini berdasarkan hasil penelitian tentang problem yang sering tejadi pada OA knee.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN OSTEOARTHRITIS KNEE

(1) ANATOMI FISIOLOGI

a) Struktur Anatomi

Knee joint adalah salah satu sendi kompleks dalam tubuh manusia.

Femur, tibia, fibula, dan patella disatukan menjadi satu kelompok yang

kompleks oleh ligament. (Ballinger, 2007).

Secara anatomis dan mekanikal, knee joint adalah biaxial modified

hinge/ovoid joint ; ujung distal femur memiliki permukaan konveks dengan

2 tonjolan yaitu condylus medial dan condylus lateral, sedangkan ujung

distal tibia memiliki permukaan konkaf yang terpisah dari eminence

intercondylaris dengan meniskus medial dan lateral.

Knee joint kompleks terdiri dari tibiofemoral joint dan

patellofemoral joint. Kapsul sendi yang laxity/lentur membungkus kedua


sendi tersebut. Diatas kapsul membentuk bursa suprapatellaris,bursa

subpopliteal,dan bursa gastrocnemius.

1. Tibiofemoal Joint

Tibiofemoral joint yang biasa disebut knee joint, merupakan

biaxial modified hinge joint dengan 2 meniskus sebagai bantalan sendi.

Tibiofemoraljoint juga dinamakan double condyloid joint.

Tibiofemoral joint dibentuk oleh 2 condylus dengan 2 dararam tibia

yang konkaf pada ujung proximal tibia.

Condylus medial lebih besar dari condylus lateral yang dipisah

oleh sulcus intercondylaris, dan memberikan kontribusi terhadap

mekanisme penguncian di knee. Dataran medial tibia lebih besar

daripada dataran lateral tibia yang dipisah oleh tuberculum

intercondylaris, yang masing-masing memiliki meniscus

fibrocartilagionus.

Region knee joint memiliki bayak bursa yang berfungsi untuk

mengurangi gaya friksi. Dibagian dorsal terdapat fossa popliteal yang

dibenuk oleh tendon bicep femoris, tendon semimembranosus-

semitendinosus, dan 2 caput gastrocnemius. Diarea fossa popliteal

terdapat nervus tibialis posterior dan vena-arteri popliteal.

Pada region knee sisi medial terdapat pes anserine yang dibentuk

oleh otot Sartorius, gracilis, dan semitendinosus yang sama-sama

melekat pada permukaan anteromedial proximal tibia.


Stabilitas anterior-posterior sendi diperkuat oleh ligament

cruciatum posterior dan anterior. Stabilitas medial sendi diperkuat oleh

ligament collateral medial (tibialis) dan stabilitas lateral sendi

diperkuat oleh ligament collateral lateral (fibularis).

1) Ligament collateral medial/tibial ; ligament ini luas dan datar pada

sisi medial sendi. Ligament ini melekat diatas epicondylus medial

femur dan dibawah condyles medial tibia serta melekat kuat pada

meniscus medialis.

2) Ligament collateral lateral/fibula ; ligament ini kuat dan berbentuk

tali bulat, melekat diatas epicondylus lateral femur dan dibawah

permukaan lateral fibula.

3) Ligament popliteal oblique ; ligament ini luas dan datar yang

membungkus dorsal knee join. Ligament ini melekat diatas margo

superior fossa intercondyloid dan permukaan dorsal femur serta

dibawah tepi dorsal caput tibia. Ke arah medial ligament ini

bergabung dengan tendon semimembranosus dan ke arah lateral

bergabung dengan caout lateral gastrocnemius.

4) Ligament cruciatum anterior ; ligament ini berjalan keatas dan

dorsal dari fossa intercondyloid anterior tibia ke bagian belakang

dari permukaan medial condylus lateral femur

5) Ligamen cruciatum posterior ; ligamen ini lebin pendek dan lebih

kuat dripada cruciatum anterior. Ligamen ini berjalan keatas dan


depan dari fossa intercondyloid posterior tibia ke bagian lateral dan

depan dari condylus medial femur.

6) Ligamen transversal ; ligamen ini pendek dan kecil seperti tali,

menghubungkan tepi anterior meniscus lateral yang konveks

dengan ujung anterior meniscus medial.

7) Ligamen illiotibialis ; traktus illitibial bekerja seperti ligamen yang

tegang, menghubungkan crista iliaca dengan condylus lateral femur

dan tuberculum tibia bagian latera

Gambar 2.1. struktur knee joint beserta ligamennya

2. Patellofemoral joint

Patellofemoral joint dibentuk oleh os patella yang konkaf dan

femoral groove (sulcus intercondylaris) yang konveks, dimana Os patella

menempel pada bagian anterior kapsul sendi dan dihubungkan ke tibia oleh

ligamen patellaris. Patellofemoral joint dikelilingi oleh bursa prepatellaris,

bursa infrapatellaris, dan bursa suprapatellaris.


Patellofemoral joint termasuk kedalam plane joint karena hanya

terjadi gerakan slide, dimana saat fleksi, patella slide ke arah caudal dan saat

ekstensi, patella slide ke arah cranial.

Patellofemoral joint diikat dengan kuat oleh ligamen patellaris.

Ligamen patellaris adalah ligamen yang kuat, menghubungkan tepi

inferior patella dengan tuberositas tibia. Ligamen ini berjalan didepan patella

dan bersambung dengan serabut tendon quadriceps femoris.

Gambar 2.2. struktur patellofemoral joint dan jaringan sekitarnya.

Adapun otot pembentuk knee joint yaitu :

A. Bagian anterior diperkuat oleh otot quadriceps

B. Bagian posterior diperkuat oleh otot hamstring, popliteus & gastroc

nemius.

C. Bagian medial diperkuat oleh otot sartorius & gracilis

D. Bagian lateral diperkuat oleh otot tensor fascia latae & iliotibial band
Gambar 2.3. Otot pembentuk knee joint.

b) Osteokinematika

1. Tibiofemoral joint

Tibiofemoral joint termasuk kedalam sendi biaxial bicondyloid

dengan 2 pasang gerakan (2 DKG) yaitu fleksi – extensi dan exorotasi

– endorotasi, sedangkan gerak pasif yang terjadi adalah valgus – varus

knee.

ROM fleksi knee adalah 0o – 120o (gerak aktif) dan 0o

140o (gerak pasif), sedangkan ROM extensi/hiperextensi knee

adalah 0o – 5o/10o. Pada akhir ekstensi, ligamen collateral lateral dan

medial serta ligamen cruciatum menjadi tegang/terulur. Sedangkan

pada hiperekstensi, ligamen popliteal oblique menjadi tegang/terulur


untuk memproteksi knee joint. Pada akhir fleksi, ligament patellaris

terulur (tegang) yang disertai dengan tendon quadri-ceps femoris.

Otot yang bekerja pada gerakan fleksi knee adalah group otot

hamstring yang dibantu oleh caput medial dan lateral gastrocnemius,

sedangkan otot yang bekerja pada gerakan extensi knee adalah group

otot quadriceps femoris.

Otot hamstring dapat mempengaruhi rotasi tibia terhadap femur.

Dalam aktivitas closed kinematik chain, otot hamstring dapat bekerja

mengekstensikan knee dengan menarik tibia. Otot gastrocnemius juga

berfungsi sebagai fleksor knee, tetapi fungsi utamanya adalah saat

knee menumpuh berat badan maka otot gastrocnemius menopang

kapsul bagian posterior melawan gaya hiperekstensi. Begitu pula otot

popliteus yang menopang kapsul sendi bagian posterior dan bekerja

untuk melepaskan penguncian pada knee. Group otot pes anserinus

(sartorius, gracilis, semitendinosus) memberikan stabilitas medial knee

joint dan mempengaruhi rotasi tibia dalam closed kinematik chain.

ROM exorotasi knee adalah 0° – 40°, sedangkan ROM endorotasi

knee adalah 0° – 30°. Exorotasi dan endorotasi hanya terjadi pada

posisi knee fleksi karena pada posisi fleksi knee ligamen cruciatum

dan collateral menjadi kendur sedangkan pada posisi ekstensi knee

ligamen collateral dan cruciatum menjadi tegang serta terjadi

penguncian. Pada akhir endorotasi, ligamen collateral lateral menjadi

tegang/terulur dan ligamen cruciatum saling terpisah. Endorotasi yang


berlebihan menyebabkan meniskus lateral robek. Pada akhir external

rotasi, ligamen collateral medial menjadi tegang dan ligamen

cruciatum saling bersilangan. External rotasi yang berlebihan

menyebabkan meniskus medial robek.

Group otot pes anserinus sangat berperan pada gerakan endorotasi

knee, sedangkan tensor fascia latae beserta traktus iliotibialis berperan

pada gerakan exorotasi knee yang dibantu oleh otot biceps femoris.

Pada tibiofemoral joint dapat terjadi gerak valgus dan varus knee

secara pasif. Valgus knee dapat menyebabkan ligamen collateral

medial teregang/terulur. Varus knee dapat menyebabkan ligamen

collateral lateral teregang/terulur. Jika valgus knee disertai dengan

exorotasi knee dapat menyebabkan ligamen collateral medial dan

meniskus medial teregang (overstretch). Jika varus knee disertai

dengan endorotasi knee dapat menyebabkan ligamen collateral lateral

dan meniskus lateral teregang (overstretch).

Rotasi dapat terjadi antara condylus femur dan dataran tibia

selama derajat akhir ekstensi knee. Mekanisme ini dikenal sebagai

locking atau screw-home mechanism (mekanisme penguncian) yaitu :

Ketika tibia bebas (open kinematik chain), akhir gerakan ekstensi

akan menghasilkan rotasi tibia kearah external terhadap femur

sehingga terjadi locking/screw-home (penguncian). Untuk melepaskan

penguncian maka tibia dirotasikan kearah internal.


Ketika tibia terfiksir (closed kinematik chain), akhir ekstensi akan

menghasilkan rotasi femur kearah internal (condylus medial slide lebih

jauh kearah dorsal daripada condylus lateral) sehingga terjadi

locking/screw-home (penguncian).

Pada closed kinematik chain, secara bersamaan hip menjadi

ekstensi. Jika seseorang mengalami gangguan pada ekstensi hip maka

locking knee tidak dapat terjadi.

Dalam closed kinematik chain, pada saat knee tidak terkunci maka

femur berotasi kearah lateral/eksternal. Tidak terkuncinya knee secara

tidak langsung terjadi ketika fleksi hip dan secara langsung

dipengaruhi oleh aksi otot popliteus.

2. Patellofemoral joint

Patellofemoral joint merupakan sendi plane nonaxial yang hanya

menghasilkan gerak slide. Patella hanya terjadi slide disepanjang

sulcus intercondylaris selama gerakan fleksi – extensi knee. Pada saat

fleksi patella akan slide kearah caudal, dan pada saat extensi maka

patella akan slide ke cranial atau kembali ke posisi awal. Jika gerakan

patella terganggu/terbatas, maka dapat mempengaruhi ROM fleksi

knee dan memberikan kontribusi terhadap laju ekstensor pada aktif

ekstensi knee.

Alignment patella memiliki sudut yang dikenal dengan “Q angle”

(sudut Q). Q angle adalah sudut yang dibentuk oleh 2 garis yang saling

memotong; garis pertama dari SIAS ke mid-patella, dan garis kedua


dari tuberculum tibia ke mid-patella (normalnya 15°). Q angle

menggambarkan jalur lateral atau efek haluan busur (bowstring)

terhadap otot quadriceps dan tendon patellaris. Terdapat 3 gaya yang

mempertahankan sudut Q atau alignment patella yaitu :

Lateral fiksasi patella dihasilkan oleh iliotibial band dan

retinaculum lateral.

Pada sisi medial patella diperkuat oleh tarikan aktif dari otot

vastus medialis yang oblique.

Ligament patellaris memfiksasi patella kearah inferior melawan

tarikan aktif otot quadriceps kearah superior.

Gambar 2.4. Q-angle (sudut Q) dan abnormalitas Q-angle


Sudut Q dapat mengalami kelainan atau terjadi mal-alignment patella dimana terjadi

problem jalur patella yang disebabkan oleh :

1. Peningkatan sudut Q ; akibat genu valgus, pronasi kaki, pelvis yang lebar,

peningkatan anteversi femur, atau external torsion tibia.

2. Ketegangan otot dan fascial, yaitu :

1) Ketegangan iliotibial band dan retinaculum lateral dapat mencegah medial

slide dari patella.

2) Ketegangan plantarfleksor ankle akan menghasilkan pronasi kaki ketika

dorsifleksi ankle, sehingga menyebabkan medial torsion dari tibia dan

pergeseran ke lateral secara fungsional dari tuberositas tibia hubungannya

dengan patella.

3) Ketegangan otot rectus femoris dan hamstring dapat mempengaruhi

mekanikal knee, sehingga menyebabkan kompensasi.

3. Lemahnya kapsular retinaculum medial atau otot vastus medialis yang oblique :

a. Otot vastus medialis mengalami kelemahan akibat disuse atau terinhibisi karena

bengkak/nyeri sendi sehingga stabilitas medial jelek.

b. Adanya muscle imbalance dari kontraksi otot antara vastus medialis dan vastus

lateralis.

c. Kelemahan otot vastus medialis akan meningkatkan pergeseran ke late-ral dari

patella.

Patella akan mengalami kompresi pada saat closed kinematik chain dengan

berbagai aktivitas. Kompresi pada bagian posterior patella melawan femur dapat

meningkat dengan tajam pada sudut 30o fleksi knee. Mendekati 30o fleksi knee,
kompressi pada patella sekitar besarnya berat tubuh. Jika derajatnya meningkat (>

30o) seperti pada aktivitas naik turun tangga maka kompresi pada patella terjadi

sekitar 3 x berat tubuh. Kompresi pada patella menjadi 8 x berat tubuh selama

aktivitas squat dan deep-knee-bending.

Gamabar 2.5. gerakan patellofemoral joint

c) Arthrokinematika

a) Tibiofemoral joint

a. Tulang femur berbentuk konveks dengan dua condylus yang tidak

simetris pada ujung distal femur, dimana condylus medial lebih

panjang daripada lateralis sehingga dapat menghasilkan

mekanisme penguncian lutut.


b. Tulang tibia berbentuk konkaf dengan dua dataran tibia pada

ujung proksimal tibia beserta meniscus fibrokartilago. Dataran

medial lebih besar daripada dataran lateral.

c. Pada open kinematik chain (kinematika terbuka), dataran tibia

bergerak dengan slide dalam arah yang sama dengan gerak

angularnya.

d. Pada closed kinematik chain (kinematika tertutup), condylus

femur bergerak slide dalam arah yang berlawanan dengan gerak

angularnya.

Tabel 2.1.

Hubungan gerak angular dengan arthrokinematikanya

Gerakan angular tibia Arthrokinematika dataran tibia terhadap

condylus femur

Fleksi Posterior

Ekstensi Anterior

Tabel 2.2.

Hubungan gerak angular dengan arthrokinematikanya

Gerakan angular femur Arthrokinematika condylus femur

terhadap dataran tibia

Fleksi Anterior

Ekstensi Posterior
Gambar 2.6. Arthrokinematika condylus femur terhadap dataran tibia

b) Patellofemoral joint

Telah dijelaskan diatas bahwa patellofemoral joint hanya

menghasilkan gerak slide saat terjadi fleksi – ekstensi knee. Selain itu,

dapat dilakukan gerak slide secara pasif pada patella yaitu medial slide

dan lateral slide untuk melihat keutuhan cartilago sendi dan mobilitas

patella.

(2) PATOLOGI

a. Definisi

Osteoartritis (OA) merupakan penyakit degenerasi pada sendi yang

melibatkan kartilago, lapisan sendi, ligamen, dan tulang sehingga

menyebabkan nyeri dan kekakuan pada sendi (CDC, 2014). Dalam

Perhimpunan Reumatologi Indonesia Osteoartritis secara sederhana

didefinisikan sebagai suatu penyakit sendi degeneratif yang terjadi karena


proses inflamasi kronis pada sendi dan tulang yang ada disekitar sendi

tersebut (Hamijoyo, 2007).

Osteoarthritis Knee joint adalah penyakit degenerasi sendi yang

menyebabkan kerusakan cartilago pada knee joint, atau penyakit sendi

yang ditandai dengan hilangnya dan erosi cartilago knee joint serta

pertumbuhan tulang baru (osteofit) pada tepi-tepi sendi knee.

b. Etiologi

Etiologi osteoarthritis dapat diketahui berdasarkan klasifikasi

osteoarthritis. Klasifikasi osteoarthritis terdiri atas osteoarthritis primer dan

sekunder.

1) Osteoarthritis Primer

Pada osteoarthritis primer, tidak diketahui penyebabnya yang jelas.

Hal ini disebabkan oleh perubahan intrinsik dari jaringan sendi itu sendiri.

Osteoarthritis primer dapat mempengaruhi beberapa sendi dalam pola yang

klasik dan umumnya terjadi pada wanita pascamenopause yang secara khas

memperlihatkan nodul heberden dan (Stuart, 2003).

Faktor genetik dapat terlibat dalam osteoarthritis primer, dimana node

Heberden menjadi 10 kali lebih berisiko terjadi osteoarthritis pada

perempuan dibandingkan laki-laki, juga ibu dan saudara perempuannya yang

terkena menjadi 2 – 3 kali lebih berisiko terjadi osteoarthritis primer.

Peningkatan frekuensi human leukosit antigen (HLA) Al dan B8 dapat

terjadi pada orang-orang dengan kondisi osteoarthritis. Proinflammatory

Cytokines dapat terlibat dalam proses terjadinya osteoarthritis, dan terdapat


bukti/fakta yang kuat bahwa nitric oxide yang merupakan inorganik radikal

bebas dapat berperan besar terhadap degradasi kartilago. Iklim tampaknya

tidak secara langsung terkait dengan perubahan patologis osteoarthritis,

tetapi setiap orang yang tinggal di daerah dingin sering mengalami nyeri

yang hebat akibat iklim lembab (Stuart, 2003).

2) Osteoarthritis Sekunder

Osteoarthritis sekunder muncul sebagai konsekuensi dari kondisi lain.

Penyebab Osteoarthritis sekunder dapat dibagi kedalam empat kategori yaitu

: metabolisme, anatomical, traumatik atau inflamasi (Stuart, 2003).

Osteoarthritis lebih sering muncul pada orang-orang yang memiliki

riwayat cedera atau fraktur sebelumnya pada sendi tertentu. Trauma ringan

atau kecil yang berulang-ulang dapat menyebabkan mikro fraktur dan

akhirnya terjadi osteoarthritis. Faktor-faktor pekerjaan dianggap penting

dalam perkembangan munculnya osteoarthritis sekunder. Knee joint pada

penambang memiliki risiko terkena osteoarthritis, sendi carpometacarpal dan

metacarpophalangeal pertama pada penjahit juga memiliki risiko terkena

osteoarthritis, elbow dan shoulder pada operator bor juga memiliki risiko

terkena osteoarthritis (Stuart, 2003).

Adanya deformitas dapat meningkatkan risiko terjadinya

osteoarthritis, sebagai contoh fraktur yang menyebabkan perubahan

biomekanik atau kerusakan kartilago secara langsung jika fraktur melibatkan

permukaan sendi (Stuart, 2003).


Overweight sangat berhubungan dengan perkembangan osteoarthritis

di beberapa sendi yang menumpu berat badan namun tidak terjadi pada

sendi lain. Beberapa penelitian menunjukkan ada korelasi antara indeks

massa tubuh yang tinggi dengan osteoarthritis knee, dimana dapat

diakibatkan oleh deformitas varus pada orang obesitas (Stuart, 2003).

Overweight dapat menyebabkan kelelahan otot yang prematur,

selanjutnya dapat menyebabkan abnormal kinematika dan akhirnya

berkembang osteoarthritis. Overweight tampaknya memiliki hubungan yang

lebih kuat pada wanita. Peningkatan beban di sendi jelas sangat

berpengaruh, tetapi kelainan hormonal yang berhubungan dengan obesitas

juga dapat menjadi penyebab, sebagaimana telah dijelaskan adanya

peningkatan, meskipun sederhana, dapat menyebabkan osteoarthritis pada

wanita obesitas.

c. Tanda dan Gejala

a. Nyeri

Merupakan gambaran yang paling sering pada pasien OA. Gejala

rasa nyeri ini biasanya bersumber dari sinovium karena adanya inflamasi,

tulang karena adanya peningkatan tekanan medullar dan fraktur

subkondral, ostoefit karena adanya reaksi periosteal dan tekanan pada

syaraf, kapsul sendi karena adanya distensi dan instabilitas, serta otot dan

ligamen karena adanya peregangan pada keduanya (Lukum, 2011).


b. Kekakuan pada pagi hari

Jika terjadi, biasanya hanya bertahan selama beberapa menit, bila

dibandingkan dengan kekakuan sendi di pagi hari yang disebabkan oleh

arthritis rheumatoid yang terjadi lebih lama dan spasme otot pada daerah

terganggu adalah sumber nyeri. Pada beberapa pasien kaku pagi dapat

timbul setelah imobilitas, seperti duduk di korsi atau mobil dalam waktu

cukup lama, atau setelah bangun tidur.

c. Hambatan gerak pada sendi

Hambatan gerak pada OA disebabkan oleh nyeri, inflamasi, fleksi

menetap, kelainan sendi atau deformitas. Hambatan gerak tergantung pada

lokasi dan beratnya kelainan sendi yang terkena. Gangguan ini biasanya

bertambah berat dengan pelan-pelan sejalan dengan bertambahnya rasa

nyeri.

d. Pembesaran sendi (deformitas)

Deformitas dapat terjadi pada sendi secara signifikan, tetapi tidak

seperti arthritis rheumatoid, tidak terjadi fusi sendi. Pasien biasanya

menunjukkan bahwa salah satu sendinya (lutut atau tangan) secara pelan-

pelan membesar.

e. Krepitasi

Suara berderak akibat permukaan yang terganggu saling bergesekan,

sering terdengar pada kasus yang berat


f. Perubahan gaya berjalan

Gejala ini merupakan gejala yang memberikan kesulitan bagi pasien.

Hampir semua pasien OA ankle, knee atau panggung mengalami

perubahan gaya berjalan menjadi pincang.

Gambaran khas pada OA lutut adalah adanya osteofit dan

penyempitan celah sendi. Berdasarkan pemeriksaan radiologi, Kellgren &

Lawrence menyusun gradasi OA lutut menjadi :

a. Grade 0 : tidak ada OA

b. Grade 1 : sendi dalam batas normal dengan osteofit meragukan

c. Grade 2 : terdapat osteofit yang jelas tetapi tepi celah sendi baik dan

tak nampak deformitas tulang.

d. Grade 3 : terdapat osteofit dan deformitas ujung tulang dan

penyempitan celah sendi.

e. Grade 4 : terdapat osteofit dan deformitas ujung tulang dan disertai

hilangnya celah sendi.

d. Patofisiologi

Pada Osteoarthritis terjadi perubahan-perubahan metabolisme tulang

rawan sendi. Perubahan tersebut berupa peningkatan aktifitas enzim-enzim

yang merusak makromolekul matriks tulang rawan sendi,disertai penurunan

sintesis proteoglikan dan kolagen. Hal ini menyebabkan penurunan kadar

proteoglikan, perubahan sifat-sifat kolagen dan berkurangnya kadar air tulang

rawan sendi.
Perubahan dari proteoglikan menyebabkan tingginya resistensi dari tulang

rawan untuk menahan kekuatan tekanan dari dalam sendi . Hilangnya tulang

rawan akan menyebabkan penyempitan rongga sendi. Pada tepi sendi akan

timbul respons terhadap tulang rawan yang rusak dengan pembentukan osteofit.

Pembentukan tulang baru (osteofit) dianggap suatu usaha untuk memperbaiki

dan membentuk kembali persendian. Dengan menambah luas permukaan sendi

yang dapat menerima beban, osteofit diharapkan dapat memperbaiki

perubahan-perubahan awal tulang rawan sendi pada Osteoarthritis. Lesi akan

meluas dari pinggir sendi sepanjang garis permukaan sendi. Adanya pengikisan

yang progresif menyebab kantulang yang dibawahnya juga ikut terlibat.

Hilangnya tulang-tulang tersebut merupakan usaha untuk melindungi

permukaan yang tidak terkena. Sehingga tulang subkondral merespon dengan

meningkatkan selularitas dan invasi vaskular, akibatnya tulang menjadi tebal

dan padat (eburnasi). Pada akhirnya rawan sendi menjadi aus, rusak dan

menimbulkan gejala-gejala Osteoarthritis seperti nyeri sendi, kaku, dan

deformitas.

Gambar 2.6. knee joint normal dan patologis


B. TINJAUAN ASESSMENT DAN PENGUKURAN FISIOTERAPI

Adapun assessment dan pengukuran fisioterapi yang diberikan pada kasus

Osteoarthritis knee adalah :

1. Palpasi

Definisi : Palpasi adalah suatu tindakan pemeriksaan yang dilakukan dengan

perabaan dan penekanan bagian tubuh dengan menggunakan jari atau tangan.

Tujuan : palpasi bertujuan untuk ntuk mendeteksi suhu tubuh, bentuk,

ukuran, rasa nyeri tekan dan kelainan dari lutut. Dengan kata lain bahwa palpasi

merupakan tindakan penegasan dari hasil inspeksi, disamping untuk

menemukan yang tidak terlihat.

Teknik Pemeriksaan :

1. Posisi pasien supine lying

2. Pastikan pasien dalam keadaan rilek dengan posisi yang nyaman untuk

menghindari ketegangan otot yang dapat mengganggu hasil pemeriksaan.

3. Lakukan Palpasi dengan sentuhan perlahan-lahan yaitu dengan tekanan

ringan dan sebentar-sebentar pada daerah knee dan otot disekitarnya seperti

gastroc, popliteal, dan quadricep , kemudian lihat dan rasakan apakah

terdapat nyeri tekan, perubahan suhu, spasme ataupun krepitasi.

2. Ballottement test

Tujuan : untuk mengetahui adanya cairan pada kantong suprapatellar di

sendi lutut.

Teknik pemeriksaan :

a) Posisi pasien supine lying


b) recessus suprapatellaris dikosongkan dengan cara menekannya dengan

satu tangan dansementara itu dengan jari-jari tangan lainnya patella ditekan

ke bawah. Dalam keadaan normal patella itu tidak dapat ditekan kebawah :

dia sudah terletak di atas kedua condylus dari femur. Bila ada (banyak)

cairan dalam lutut, maka patella seperti terangkat, yang memungkinkan

adanya sedikit gerakan.

Interpretasi : Patella seperti terangkat berarti positif ada kelebihan cairan pada

knee.

3. Tes Laci Sorong (Shif anterior dan posterior)

Tujuan : unutk mengetahui adanya hipermobilitas dan untuk mengetahui

stabilitas ligament cruciatum anterior dan posterior.

Teknik Pelaksanaan :

a) Posisi pasien supine lying dengan fleksi knee 90˚ dan stabilisasi kaki

b) Fisioterapis menarik tibia ke anterior untuk ligamentum curciatum anterior

dan mendorong tibia ke posterior untuk ligamentum curciatum posterior.

Lakukan tes yang sama pada tungkai yang satunya.

Interpretasi : translasi tibia ke anterior normalmya ± 6 mm apabila lebih dari

6 mm maka terjadi hipermobilitas pada ligament curciatum anterior, dan jika

terdapat nyeri dan hipermobilitas saat didorong ke posterior maka positis tes

mengindikasi tear ligament curciatum posterior.

4. Valgus test

Tujuan : untuk menilai integritas ligament collateral medial (LCM)

Teknik pemeriksaan :
a) Posisi pasien supine lying dengan tungkai yang akan diperiksa berada

disamping luar bed dengan fleksi knee 10˚

b) Salah satu tangan terapis berada disisi lateral knee sebagai stabilisator dan

tangan satunya berada sisi medial ankle untuk menyiapkan gerakan.

c) Praktikkan kemudian mengaplikasikan valgus force kearah lateral dari knee

pasien, dan lakukan tes yang sama pada tungkai yang satunya.

Interpretasi : jika terdapat nyeri pada bagian medial knee dan/atau terjadi

peningkatan valgus berarti positif tes mengindikasi laksiti atau tear pada

ligament collateral medial (LCM) knee.

5. Varus test

Tujuan : untuk menilai integritas ligament collateral latral (LCL)

Teknik pemeriksaan :

a) Posisi pasien supine lying dengan tungkai yang akan diperiksa berada

disamping luar bed dengan fleksi knee 10˚

d) Salah satu tangan terapis berada disisi medial knee sebagai stabilisator dan

tangan satunya berada sisi lateral ankle untuk menyiapkan gerakan.

e) Praktikkan kemudian mengaplikasikan valgus force kearah medial dari

knee pasien, dan lakukan tes yang sama pada tungkai yang satunya.

Interpretasi : jika terdapat nyeri pada bagian lateral knee dan/atau terjadi

peningkatan valgus berarti positif tes mengindikasi laksiti atau tear pada

ligament collateral medial (LCL) knee.


6. Patellar Aprehension Test

Tujuan : untuk mendeteksi nyeri/instability yang bersumber dari patella femoral

articulation.

Teknik pemeriksaan :

a) Posisi pasien supine lying dengan knee ekstensi.

b) Praktikkan meletakkan kedua thumb pada sisi medial patella dan kedua jari

telunjuk di sisi lateral patella.

c) Lalu praktikkan secara pasif menggeser dan menekan patella pasien kearah

alteral dan medial secara perlahan serta terkontrol.

Interpretasi : jika terdapat nyeri maka positif mengindikasi patologi patella

femoral articulation.

7. Patella Femoral Test

Tujuan : untuk memprovokasi nyeri dan/atau apprehension yang berasal dari

patella femoral joint.

Teknik pelaksanaan :

a) Posisi pasien supine dengan knee ekstensi.

b) Praktikkan meletakkan satu tangan dibagian superior pole patella dan

tangan satunya dibagian inferior pole patella menggunakan princh grip

dengan ibu jari dan jari telunjuk kedua tangan untuk memfiksasi apex dan

basis patella pasien.

c) Terapis selanjutnya secara pasif dan perlahan menggerakkan serta menekan

patella pasien melaan femur kearah proximal dan distal.


Interpretasi : jika terdapat nyeri dibagian anterior knee maka positif tes

mengindikasikan patologi patella femoral joint.

8. Grafity Sign Test

Tujuan : untuk mengetahui kelainan lig. Curciatum posterior tibia

Teknik pelaksanaan :

a) Pasien dalam posisi tidur terlentang diminta agar mengangkat kakinya

sehingga lutut dan pangkal pahanya membentuk sudut 90˚. Kemudian

terapis mengamati tuberisitas tibia.

b) Terapis meletakkan tangan kanan pada dorsum kaki kanan pasien dan

tangan kiri pada dorsum kaki kiri pasien.

c) Selanjutnya terapis mengangkat kedua tungkai pasien dan menahan

keduanya pada posisi fleksi hip 90˚ dan knee 90˚

d) Terapis kemudian mengamati dan membandingkan kedua tuberositas

tibia pasien.

Interpretasi : jika lutut kanan dan kiri sama berarti tidak ada kelainan pada

lig. Curciatum posterior.

9. Clarke Sign Test

Tujuan : untuk mengetahui adanya kelainan pada permukaan cartilago

patella femoral joint

Teknik pelaksanaan :

a) Posisi pasien supine lying dengan knee ekstensi

b) Terapis meletakkan satu tangan dibagian superior pole patella dan tangan

satunya pada fossa popliteal pasien.


c) Terapis selanjutnya menekan patella pasien kearah caudal, yang mengulur

tendon serta otot quadriceps. Terapis lalu meminta pasien untuk

mengkontraksikan otot quadriceps secara perlahan sementara terapis

menahan gerakan yang terjadi pada patella pasien.

Interpretasi : maneuver menyebabkan nyeri retropatellar dan jika pasien tidak

dapat menahan kontraksi maka positif tes mengindikasikan adanya

chondromalacia patella.

10. VAS (Visual Analog Scale)

Definisi : VAS adalah alat ukur lainnya yang digunakan untuk memeriksa

intensitas nyeri dan secara khusus meliputi panjang 10cm garis, dengan setiap

ujungnya ditandai dengan level intensitas nyeri (ujung kiri diberi tanda “no

pain” dan ujung kanan diberi tanda “bad pain” (nyeri hebat). Dengan kategori

nyeri mulai dari tidak nyeri, ringan, sedang, dan berat.

Tujuan : untuk memeriksa intensitas nyeri yang dirasakan pasien

Teknik pelaksanaan : instruksikan kepada pasien untuk menandai pada VAS

yang mewakili keadaan nyeri yang dirasakan pasien saat ini, dalam 24 jam

terakhir.

Interpretasi :

0 = tidak nyeri

≥1-3 = nyeri ringan

≥3-7 = nyeri sedang

≥7-10 = nyeri berat


Gambar 2.1. VAS

11. MMT (Manual Muscle Testing)

Definisi : salah satu usaha untuk menentukan atau mengetahui kemampuan

seseorang dalam mengontraksikan otot atau group otot secara voluntary.

Tujuan : untuk mengetahui nilai kekuatan otot pasien

Teknik pelaksanaan : pasien duduk tegak diatas bed kemudian instruksikan

pasien melakukan gerakan ekstensi knee untuk mengetahui kekuatan otot

ekstensor knee dan gerakan fleksi knee untuk mengetahui kekuatan otot

fleksor knee. Dan lakukan kembali pada tungkai yang satunya.

Interpretasi :

N0 Nilai keterangan
1. 0 Tidak ada kontraksi dan tidak ada gerakan
2. 1 ada kontraksi otot namun tidak ada gerakan
3. 2 Ada kontraksi dan ada gerakan
4. 3 Ada kontraksi, ada gerakan, mampu
melawan gravitasi, full ROM.
5. 4 Ada kontraksi, ada gerakan, mampu
melawan gravitasi, full ROM, dan mampu
melawan tahanan minimal.
6. 5 Mampu melawan tahanan maksimal.

12. ROM (Range Of Motion)

Definisi : Range of Motion Yaitu derajat untuk mengukur kemampuan suatu

tulang, otot dan sendi dalam melakukan pergerakan.

Tujuan : untuk mengetahui derajat LGS pada suatu sendi yang dapat

dilakukan pasien.

Teknik pelaksanaan :

a) Untuk fleksi knee, pasien berbaring terlentang diatas bed dengan knee

ekstensi kemudian letakkan goniometer disamping tungkai pasien dengan

fulcrum goniometer berada pada lateral epicondylus femur, lengan

proksimal goniometer berada pada lateral midline femur, dan lengan

distal goniometer berada pada malleolus lateral fibula. Kemudian minta

pasien untuk melakukan gerakan fleksi knee sambil terapis menggerakkan

lengan distal mengikuti malleolus fibula pasien.

b) Untuk ekstensi knee, pasien berbaring tengkurap diatas bed dengan knee

fleksi kemudian letakkan goniometer disamping tungkasien dengan

fulcrum goniometer berada pada epicondylus lateral femur, lengan

proksimal goniometer berada pada lateral midline femur, dan lengan

distal goniometer berada pada malleolus lateral fibula. Kemudian minta


pasien untuk melakukan gerakan ekstensi knee sambil terapis

menggerakkan lengan distal mengikuti malleolus fibula pasien.

Interpretasi : Untuk fleksi knee normalnya yaitu 135-150˚ dan untuk

ekstensi knee Normalnya 0˚ dan hiperektensi 5-10˚

13. Indeks WOMAC (The Western Ontario and McMaster Universities

Osteoarthritis Index)

Definisi : Indeks WOMAC adalah indeks yang digunakan untuk mengukur

gangguan fungsional pasien dengan Osteoarthritis knee.

Tujuan : untuk menilai keadaan pasien dan mengukur gangguan fungsional

akibat Osteoarthris knee.

Teknik pelaksanaan : Siapkan lembar ketras index womac kemudian Instruksi

: Silahkan pilih setiap kategori sesuai dengan skala kesulitan yang dirasakan

dalam akivitas : 0 = None, 1 = Slight/ringan, 2 = Moderate/sedang, 3 =

Very/berat, 4 = Extremely/sangat berat

Lingkari salah satu angka pada setiap aktivitas di bawah ini :

Nyeri 1. Berjalan 0 1 2 3 4

2. Menaiki tangga 0 1 2 3 4

3. Kegiatan dimalam hari 0 1 2 3 4

4. Istirahat 0 1 2 3 4

5. Berdiri statis 0 1 2 3 4

Stiffness 1. Kaku dipagi hari 0 1 2 3 4

2. Kaku pada hari berikutnya 0 1 2 3 4

Physical fuction 1. Menuruni tangga 0 1 2 3 4


2. Menaiki tangga 0 1 2 3 4

3. Bangkit dari duduk 0 1 2 3 4

4. Berdiri 0 1 2 3 4

5. Membungkuk ke lantai 0 1 2 3 4

6. Berjalan di atas permukaan datar 0 1 2 3 4

7. Masuk / keluar dari mobil 0 1 2 3 4

8. Pergi berbelanja 0 1 2 3 4

9. Memakai kaos kaki 0 1 2 3 4

10. Berbaring di tempat tidur 0 1 2 3 4

11. Melepas kaos kaki 0 1 2 3 4

12. Bangkit dari tempat tidur 0 1 2 3 4

13. Masuk / keluar dari kamar mandi 0 1 2 3 4

14. Duduk 0 1 2 3 4

15. Masuk / keluar dari toilet 0 1 2 3 4

16. Tugas rumah tangga yang berat 0 1 2 3 4

17. Tugas rumah tangga yang ringan 0 1 2 3 4

Total score :

Interpretasi nilai WOMAC

Total Score WOMAC interpretasi


0-24 Ringan
24-48 Sedang
48-72 Berat
72-96 Sangat berat
C. TINJAUAN INTERVENSI FISIOTERAPI

A. TENS (Transcutaneus Electrical Nerve stimulation)

Definisi : TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation) Merupakan

suatu cara penggunaan energi listrik guna merangsang sistem saraf melalui

permukaan kulit dan terbukti efektif untuk merangsang berbagai tipe nyeri.

Tujuan : Memeilhara fisiologis otot dan mencegah atrofi otot, re-edukasi fungsi

otot, modulasi nyeri tingkat sensorik, spinal dan supraspinal, menambah Range

Of Motion (ROM)/mengulur tendon, memperlancar peredaran darah dan

memperlancar resorbsi oedema

Indikasi :

1. Keluhan nyeri misalnya dalam otot, tendon, ligamen, kapsul dan saraf.

2. Kondisi peradangan sendi Osteoarthrosis, Rheumathoid Arthritis dan

Tennis elbow)

3. Oedema

4. kondisi sehabis trauma

Kontraindikasi : Sehabis operasi tendon transverse sebelum 3 minggu,

adanya ruptur tendon/otot sebelum terjadi penyambungan, kondisi peradangan

akut/penderita dlm keadaan demam.

B. Static Kontraksi

Definisi : static kontraksi dalah bentuk latihan statik dimana otot yang dilatih

tidak mengalami perubahan panjang dan tanpa ada pergerakan dari sendi.
Sehingga latihan akan menyebabkan ketegangan (tension) otot bertambah dan

panjang otot tetap

Tujuan : Untuk meningkatkan aktivitas fungsional OA genu serta

meningkatkan kinerja energi otot dan penguatan otot.

Kekuatan otot sangat begantung pada diameter otot tersebut. Latihan yang

sistematik dapat menghasilkan adaptasi otot terhadap stimulus training. Hasil

dari latihan static kontraksi ini adalah serabut otot akan meningkat massanya

dan meningkatkan diameter otot. Peningkatan jumlah serabut otot dan diameter

otot tersebut akan memberikan peningkatan pada kekuatan otot.

C. Terapi Latihan

Definisi : Terapi latihan adalah salah satu modalitas fisioterapi dengan

menggunakan gerak tubuh baik secara aktif maupun pasif untuk pemeliharaan,

perbaikan kekuatan, ketahanan fleksibilitas, stabilitas, dan kemampuan

fungsional.

Tujuan : Meningkatkan kekuatan dan daya tahan otot, meningkatkan lingkup

gerak sendi.

Indikasi :

a) Nyeri

b) Kelemahan dan penurunan ketahanan otot

c) Pengurangan jangkauan gerak yang dapat dikarenakan oleh kekakuan

kapsul sendi maupun pengurangan panjang otot.

d) Mobilitas sendi yang berlebihan, dan


e) Gangguan keseimbangan, stabilitas postur, koordinasi, perkembangan dan

tonus otot.

Jenis dari terapi latihan ada bermacam-macam, adapun jenis Terapi

yang dipilih untuk kasus osteoarthritis knee adalah Free active movement,

Resisted active movement, dan Hold relax.

D. HCP (Home Care Program)

Home care adalah pelayanan kesehatan yang berkesinambungan dan

komprehensif yang diberikan kepada individu dan keluarga di tempat tinggal

mereka yang bertujuan untuk meningkatkan, mempertahankan, atau

memulihkan kesehatan dan meminimalkan akibat dari suatu penyakit.

E. Cold Pack

Definisi : Cold pack adalah gel beku yang digunakan fisioterapi untuk

merawat daerah yang nyeri dan peradangan.

Tujuan : Menurunkan peradangan pada knee sehingga oedem berkurang.

Indikasi : peradangan, oedema, trauma musculoskeletal, MPS, sprain, starin,

dan bursitis.

Kontraindikasi : Gangguan sensibilitas, Buerger’s disease, Gangguan

peredaran darah arterial perifer.

F. IFC (Interferential Current)

Definisi : interferensi merupakan hasil penggabungan dari dua arus frekuensi

menengah yang masing-masing mempunyai frekuensi yang berbeda sehingga

akan menimbulkan frekuensi dengan amplitude yang mengalami modulasi


amplitude, Amplitude Modulation Frequency (AMF) atau sering dikenal

dengan frekuensi terapi.

Tujuan : Mengurangi nyeri dan merileksasikan jaringan otot.

Indikasi :

f) Keluhan nyeri misalnya dalam otot, tendon, ligamen, kapsul dan saraf.

g) hypertonus

h) Kelemahan otot.

i) Arthrosis, spondylosis

j) Atrophy

k) Periarthritis, bursitis, tendinitis

Kontraindikasi : Demam, tumor, tuberculosis, peradangan local.

Sifat pulsa dari arus interferensi adalah sinusoidal biphasic simetris sehingga

arus interferensi tidak menimbulkan reaksi elektrokimiawi pada jaringan di

bawah elektroda. Frekuensi menengah arus interferensi mempunyai penetrasi

yang lebih dalam disbanding dengan arus dyadinamis serta tidak mengiritasi

kulit , interferensi dengan frequensi 2000 Hz berfungsi untuk menstimulasi otot

sedangkan pada frequensi 4000Hz untuk mengurangi nyeri.

G. MWD (Micro Wave Diathermy)


Microwave diathermy (MWD) adalah sutu alat terapi yang memancarkan

gelombang microwave dengan arus bolak-balik untuk memanaskan jaringan di

dalam kulit.

Karakteistik MWD yaitu MWD menggunakan gelombang mikro dalam

bentuk radiasi elektromagnetik yang akan dikonversi dalam bentuk dengan


frekuensi 2456 Mhz dan 915 Mhz dengan panjang gelombang 12,25. Arus dari

mesin mengalir ke elektroda melalui co-axial cable, Co-axial cable ini

menghantarkan arus listrik ke sebuah area dimana gelombang mikro

dipancarkan. Area ini dipasang suatu reflektor yang dibungkus dengan bahan

yang dapat meneruskan gelombang elektromagnetik. Konstruksi ini

dimaksudkan untuk mengarahkan gelombang ke jaringan tubuh yang disebut

emitter, director atau aplicator atau sebagai elektrode.

Efek terapeutik MWD ialah dapat menghasilkan efek thermal pada jaringan

konektif sendi knee. Peningkatan suhu jaringan pada kapsul-ligamen knee joint

dapat menyebabkan peubahan extensibilitas kapsul-Ligamen knee joint,

sehingga memudahkan gerakan intraartikular sendi melalui teknik mobilisasi

sendi.

H. MWM (Mobilization With Movement)

Mobilization with movement merupakan kombinasi antara teknik gliding

pada tuberositas tibia dengan gerak fisiologis sendi knee yang merupakan

bagian dari osteokinematika sendi yang dilakukan secara aktif maupun pasif.

MWM dapat menyebabkan efek mekanikal pada knee joint dan

mengoreksi posisi tibia dalam sendi knee. Efek mekanikal dari MWM dapat

menghasilkan penguluran pada kapsul-ligamen sendi knee, sehingga dapat

terjadi perbaikan ROM.

I. Stabilisasi Exercise

Stabilisasi exercise open chain adalah gerakan yang terjadi pada suatu

rangkaian gerakan bebas. Dan Stabilisasi exercise closed chain adalah gerakan
yang terjad pada rangkaian tertutup dimana gerakan tubuh lebih pada segmen

distal tertentu.

Efek terapeutik yang dihasilkan adalah stabilisasi exercise open chain dapat

memperbaiki kinerja otot quadriceps dan hamstring secara simultan, adanya re-

kontraksi isometric akan menghasilkan respon fisiologis berupa adaptasi

kekuatan otot quadriceps dan hamstring. Dan stabilisasi exercise closed chain

dapat meransang proprioceptive sendi dan otot quadriceps dan hamstring. Hal

ini dapat memperbaiki stabilitas sendi knee dan kekuatan otot.

Anda mungkin juga menyukai