Anda di halaman 1dari 55

ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN KONFUSI KRONIS

PADA LANSIA DEMENSIA DENGAN PENERAPAN BRAIN GYM

KIAN
Karya Ilmiah Akhir Ners

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Ners

Pada Program Studi Profesi Ners STIKes Muhammadiyah Ciamis

TUTI HIDAYATI
2006277054

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH

CIAMIS

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peningkatan angka usia harapan hidup merupakan salah satu indikator


keberhasilan pembangunan terutama dalam bidang kesehatan. Seiring dengan
peningkatan usia harapan hidup, jumlah pertumbuhan penduduk lanjut usia
diprediksikan akan meningkat terutama di negara-negara berkembang. Data
statistik Amerika Serikat melaporkan bahwa jumlah lansia di dunia
berdasarkan kelompok umur pada Januari 2018 sebanyak 2,75 miliar dari
7,53 miliar orang (Muzdalifa Taplo et al., 2019). WHO (World Health
Organization) mencatat di kawasan Asia Tenggara populasi lanjut usia
sebesar 8% atau sekitar 142 juta jiwa. Pertumbuhan populasi lanjut usia
diperkirakan akan meningkat 3 kali lipat di tahun 2050. Pada tahun 2000 jumlah
lansia sekitar 5,300,000 (7,4%), pada tahun 2010 sekitar 24,000,000 (9,77%),
dan tahun 2020 mencapai 20,800,00 (11,34%) dari total populasi (Mulyadi et
al., 2020b).

Indonesia merupakan Negara berkembang yang juga mengalami peningkatan


jumlah penduduk lanjut usia. Berdasarkan data proyeksi penduduk, tahun
2017 terdapat 23,66 juta jiwa penduduk lansia di Indonesia (9,03%). Pada tahun
2018 jumlah lansia mencapai 24,7 juta dan diprediksi pada tahun 2020 (27,08
juta), tahun 2025 (33,69 juta), tahun 2030 (40,95 juta) dan tahun 2035 (48,19 juta)
[3]. Hasil proyeksi penduduk lanjut usia di Jawa Barat pada tahun 2015 sebanyak
3,77 juta jiwa, tahun 2017 (4,17 juta), tahun 2021 (5,07 juta) atau sebesar 10,04%
dari penduduk total Jawa Barat (Partinah, 2017).

1
2

Peningkatan terhadap jumlah lansia ini akibat dari meningkatnya usia


harapan hidup lansia di Indonesia. Dari tahun ke tahun Indonesia terus mengalami
peningkatan angka harapan hidup dalam kurun waktu 2010 hingga 2017. Badan
Pusat Statistik Depkes 2018, melaporkan adanya peningkatan usia harapan
hidup lansia pada tahun 2010 adalah 69,8 tahun (dengan persentase populasi
lansia sebesar 7,56%) dan secara bertahap meningkat hingga mencapai 71,06
tahun pada tahun 2017 (dengan persentase populasi lansia sebesar 9,03%). Dan
diperkirakan akan meningkat menjadi 72,5 tahun pada 2035 (dengan persentase
populasi lansia sebesar 15,8%). Peningkatan usia harapan hidup lansia terjadi
akibat adanya perbaikan status kesehatan masyarakat termasuk peningkatan
akses kualitas pelayanan kesehatan (Muzdalifa Taplo et al., 2019).

Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis Tahun 2019 diperoleh jumlah
lanjut usia di Kabupaten Ciamis sebanyak 183,376 jiwa. Pelayanan
kesehatan untuk lansia dilaksanakan melalui pusbila di seluruh UPTD
Kesehatan Puskesmas yang berada di Kabupaten Ciamis dari 37 Puskesmas
yang ada (Laporan Program Pelayanan Kesehatan Lanjut Usia, 2019)

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi berbagai


permasalahan pada lansia adalah dengan mengadakan program Posyandu
Lansia. Posyandu lansia merupakan Pos Pelayanan Terpadu untuk masyarakat di
usia lanjut yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mutu
pelayanan kesehatan usia lanjut di masyarakat, untuk mencapai masa tua yang
bahagia dan berdaya guna bagi keluarga, dengan menitikberatkan pada upaya
promotif dan preventif tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif
(Kurniawati & Santoso, 2018).

Menua merupakan proses alamiah dimana seseorang mengalami tiga fase


dalam hidupnya, yaitu anak-anak, dewasa, dan tua. Tiga tahap ini berbeda
baik secara biologis maupun psikologis. Dengan bertambahnya umur, fungsi
3

fisiologis tubuh mengalami penurunan akibat proses penuaan sehingga banyak


muncul Penyakit Tidak Menular (PTM). Penyakit terbanyak pada lansia adalah
penyakit tidak menular antara lain hipertensi, stroke, Diabetes Mellitus (DM),
Penyakit Paru-Paru Obstruksi Kronik (PPOK), dan Arthritis. Selain itu perlu
diwaspadai adanya peningkatan penyakit yang berhubungan dengan proses
degeneratif diantaranya Demensia (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2016).

Demensia adalah gejala terjadinya penurunan fungsi intelektual, memori,


perilaku dan penurunan aktivitas sehari-hari. Penurunan fungsi intelektual
pada lansia ini tidak hanya pada ingatan saja, tetapi juga pada kognitif dan
kepribadian [10]. Angka kejadian demensia meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Setelah usia 65 tahun prevalensi demensia meningkat dua
kali lipat setiap pertambahan usia 5 tahun (Mulyadi et al., 2020a). Pada tahun
2016 WHO (World Health Organization) mencatat sebanyak 4,7 juta
penduduk dunia mengalami demensia, pada tahun 2030 diperkirakan akan
meningkat jumlahnya sebanyak 75,6 juta dan 135,5 juta pada tahun 2050. Dalam
setiap tahun demensia terjadi sebanyak 7,7 juta kasus dan terjadi kasus baru
setiap 4 detik. Prevalensi demensia di Indonesia sebanyak 1,2 juta pada
tahun 2017, jumlahnya diperkirakan akan meningkat menjadi 4 juta pada tahun
pada tahun 2050 (Windani et al., 2017).

Demensia (pikun) merupakan keadaan ketika lebih dari satu fungsi


intelektual atau kognitif hilang, yang akan mengganggu kemampuan untuk
beraktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Penderita demensia dapat mengalami
permasalahan pada kemampuan untuk orientasi, pengetahuan, serta informasi,
vigilansi (kemampuan untuk memusatkan perhatian, siaga, dan awas terhadap
keadaan sekitarnya), kemampuan untuk mengingat kejadian yang baru saja
4

terjadi, atau yang sudah lama terjadi, kemampuan untuk berpikir logis atau
menggunakan bahasa (Andy Hartono, 2017).

Pada umumnya, gerak badan dan aktivitas fisik menurun secara signifikan
dalam jangka panjang dengan meningkatnya penuaan. Salah satu upaya untuk
menghambat proses penuaan dan penurunan fungsi kognitif adalah dengan
melakukan gerakan atau latihan fisik secara teratur, Gerakan atau latihan fisik
yang mudah dilakukan bagi lansia adalah dengan Brain Gym atau senam otak
(Retno Suryatika & Heru Pramono, 2019).

Senam otak adalah serangkaian latihan gerakan tubuh sederhana yang dilakukan
untuk merangsang otak kiri dan kanan (demensia lateralitas), meringankan atau
merelaksasikan bagian depan atau belakang otak (dimensi pemfokusan), serta
merangsang sistem yang terkait dengan perasaan atau emosi, yaitu otak tengah
(limbrik) dan otak besar (dimensi pemusatan). Sebelum melakukan senam otak
dianjurkan terlebih dahulu minum air putih. Karena air akan menghantarkan
listrik ke otak sehingga otak mampu menerima rangsangan dengan mudah Senam
otak termasuk senam ringan yang dilakukan dengan gerakan menyilang agar
terjadi harmonisasi dan optimalisasi kinerja otak kanan dan kiri. Senam ringan ini
bisa dilakukan oleh siapapun termasuk oleh kaum lansia. Senam otak yang
bertujuan memicu otak agar tidak kehilangan daya intelektualnya. Mereka yang
telah lupa dapat dikembalikan kembali kewaspadaan otaknya dengan cara senam
otak. Pusat- pusat sistem kewaspadaan yang ada di batang otak dapat diaktifkan
Kembali (Retno Suryatika & Heru Pramono, 2019).

Seseorang yang banyak melakukan aktivitas fisik cenderung memiliki


memori yang lebih tinggi daripada orang yang jarang beraktivitas. Senam
otak yang dilakukan secara rutin dapat melibatkan fungsi kognitif, sehingga
dapat mencegah penurunan daya kerja otak pada lansia yang dapat menurunkan
risiko demensia (Mulyadi et al., 2017).
5

Pelaksanaan program kesehatan bagi lansia dilaksanakan melalui pusbila, namun


tidak semua daerah mengadakan program pusbila sehingga lansia yang tidak
memiliki akses untuk berobat ke pelayanan Kesehatan karena keterbatasan jarak,
selain itu masyarakat sering menganggap bahwa lansia yang mengalami demensia
adalah suatu hal yang wajar akibat proses penuaan, namun dengan anggapan
wajar tersebut justru dapat tingkat progresif yang semakin buruk sehingga
mengurangi produktivitas lansia yang berakibat pada dependency ratio suatu
negara sebagai tolok ukur keadaan ekonomi suatu negara, dependency ratio
dihitung berdasarkan perbandingan jumlah penduduk produktif ditambah dengan
jumlah penduduk non produktif. Apabila kemampuan kognitif lansia tidak sering
diasah maka fungsi kognitif lansia dengan demensia akan semakin menurun dan
semakin parah, sehingga perlu dilakukan stimulasi kognitif untuk mencegah
kemunduran fungsi kognitif salah satunya dengan melakukan Brain Gym atau
senam otak.

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis peneliti tertarik untuk


mengaplikasikan Brain Gym sebagai terapi pada asuhan keperawatan lansia yang
mengalami demensia.

B. Rumusan masalah

Hasil penelitian yang sudah dilakukan, mengatakan bahwa ada keterkaitan


yang bermakna antara brain gym dengan peningkatan fungsi kognitif pada
lansia demensia namun harus dianalisis kembali agar dapat meningkatkan kualitas
hidup lansia.

Dampak dari demensia adalah kemunduran fungsi kognitif dan memori yang
menjadikan lansia ketergantungan, tidak dapat beraktivitas dengan normal,
aktivitas fisik terganggu, tidak maksimalnya pemenuhan kebutuhan spiritual
6

karena kemunduran fungsi memori dan kognitif menjadikan lansia mengalami


disorientasi waktu.

Beberapa referensi baik dari penelitian dan teori yang didapatkan dari berbagai
jurnal mengenai penerapan brain gym pada lansia demensia terdapat keterkaitan
antara brain gym dengan peningkatan fungsi kognitif lansia demensia, untuk itu
perlu dianalisis lebih lanjut agar kualitas hidup lansia menjadi lebih baik.

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diambil perumusan masalah sebagai


berikut: adakah pengaruh stimulasi kognitif pada asuhan keperawatan lansia
dengan demensia melalui penerapan brain gym.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum
Untuk mengaplikasikan brain gym sebagai terapi pada asuhan keperawatan
lansia yang mengalami demensia.

2. Tujuan khusus
a. Menganalisis keefektifan pemberian terapi brain gym pada asuhan
keperawatan lansia yang mengalami demensia.
b. Menganalisis kemajuan fungsi kognitif lansia setelah dilakukan terapi
brain gym.

D. Ruang Lingkup

Proses dalam pembuatan asuhan keperawatan ini meliputi proses pengkajian


dimana peneliti melakukan pengkajian secara langsung dengan metode home visit,
diagnosa keperawatan ditegakkan berdasarkan anamnesis yang ditemui pada kasus
di lapangan, pembuatan intervensi disesuaikan berdasarkan diagnosa yang diambil,
implementasi dilakukan pada hari ke dua, dan evaluasi dilakukan pada hari ke tiga,
kemudian selanjutnya dipantau catatan perkembangan klien. Dalam melakukan
asuhan keperawatan ini penulis melakukan asuhan keperawatan dengan waktu 3
7

kali pertemuan dan dua hari untuk memantau perkembangan, sehingga total waktu
yang dibutuhkan untuk penelitian ini yaitu selama lima hari.

C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan


menambah wawasan dan pengetahuan dalam ilmu keperawatan dan gerontik
terutama tentang stimulasi kognitif terhadap peningkatan fungsi kognitif
lansia demensia.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Peneliti

Sebagai sarana untuk menambah informasi dan mengaplikasikan


ilmu pengetahuan tentang keperawatan sehingga dapat
meningkatkan derajat kesehatan lanjut usia.

b. Bagi Institusi/ Pendidikan

Sebagai data dasar untuk pengembangan pengabdian kepada


masyarakat dengan agregat lansia sesuai dengan wilayah binaan.

c. Bagi Peneliti Selanjutnya

Menjadi ide awal untuk pengembangan penelitian lanjut

D. Metode Penulisan

Metode dalam penulisan KIAN (Karya Ilmiah Akhir Ners) ini menggunakan
metode deskriptif dan metode studi kepustakaan. Dalam metode deskriptif
pendekatan yang digunakan adalah studi kasus dimana penulis mengelola 1 kasus
8

dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan. Metode pengambilan


data menggunakan wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik.

E. Sistematika Penulisan

Dalam pembuatan KIAN (Karya Ilmiah Akhir Ners) terdiri dari 6 BAB, dimana
bab pertama berisi latar belakang mengenai kejadian atau kasus yang diambil oleh
penulis. Bab 2 berisi teori-teori yang menunjang untuk melakukan asuhan
keperawatan pada klien dengan demensia. Bab 3 berisi tinjauan kasus yang
menjelaskan tentang asuhan keperawatan yang telah dilakukan. Bab 4 yaitu EBP
(Evidence Based Practice) yang menguraikan perbandingan antara teori dan situasi
yang ada di lapangan. Bab 5 berisi analisis kasus dari berbagai teori yang telah
diperoleh, analisis terhadap asuhan keperawatan yang telah diberikan
dikaitkan dengan teori dapat pula dikaitkan dengan manajemen keperawatan.
Bab 6 terdiri atas kesimpulan dan saran yang diambil dari bab 5.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar Penyakit

1. Konsep Lanjut Usia


a. Definisi
Lanjut usia merupakan individu yang berusia 60 tahun ke atas (Susanti &
PH, 2019). Lanjut usia dibedakan menjadi dua kategori yaitu lanjut usia
potensial dan lanjut usia tidak potensial. Lanjut usia potensial merupakan
lanjut usia yang masih mampu melakukan pekerjaan atau kegiatan yang
dapat menghasilkan barang atau jasa, sementara lanjut usia tidak potensial
adalah lanjut usia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya
bergantung pada bantuan orang lain (Ahadi Pradana, 2019).

b. Klasifikasi
WHO (World Health Organization) menggolongkan lansia menjadi 4
golongan yaitu sebagai berikut (Fatmah, 2010).
1) Middle age adalah lansia dengan rentang usia 45-59 tahun.
2) Elderly lansia dengan rentang usia 60-74 tahun.
3) Old dengan rentang usia 75-90 tahun
4) Very old dengan rentang usia di atas 90 tahun

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, menggolongkan lansia


menjadi 3 golongan, yaitu sebagai berikut (Fatmah, 2010).
1) Virilitas (prasenium) masa persiapan usia lanjut yang
menampakkan kematangan jiwa (usia 55-59 tahun).

9
10

2) Usia lanjut dini (senescen) kelompok yang mulai memasuki masa


usia lanjut dini (usia 60-64 tahun).
3) Lansia berisiko tinggi untuk menderita penyakit degeneratif (usia
diatas 65 tahun).

c. Teori Penuaan

1) Teori Genetik

a) Teori Genetik Clock

Menurut teori ini bahwa di dalam tubuh manusia terdapat jam


biologis yang mengatur gen dan proses penuaan, menua telah
terprogram secara genetis untuk spesies tertentu. Setiap spesies di
dalam inti sel nya memiliki jam biologis, jam tersebut dapat
menghentikan proses replikasi sel sehingga sel tersebut tidak dapat
melanjutkan proses kehidupan. Setiap spesies mempunyai batas
usia yang berbeda-beda yang telah diputar menurut replikasi
tertentu sehingga bila jenis ini berhenti berputar, maka spesies
tersebut akan mati (Nugroho, 2012).

b) Teori mutasi somatik

Menurut teori ini penuaan terjadi karena mutasi sel somatik akibat
pengaruh lingkungan yang buruk. Faktor lingkungan berupa
radiasi dan zat kimia. Terjadi kesalahan dalam proses transkripsi
DNA atau RNA dan proses translasi RNA protein/enzim.
Kesalahan ini terjadi secara terus-menerus sehingga akan terjadi
penurunan fungsi organ atau perubahan sel (Nugroho, 2012).
11

d. Perubahan Yang Terjadi

Perubahan- perubahan fisik yang terjadi pada lansia yaitu sebagai berikut.

1) Perubahan Fisik

a) Sistem Persarafan

Pada sistem persarafan hubungan antar bagian saraf mengalami


penurunan, berat otak menurun 10-20%, menurunnya rentang
waktu untuk respon terhadap keadaan khususnya terhadap stress,
penurunan memori (Nugroho, 2012).

b) Sistem Pendengaran
Hilangnya daya pendengaran pada telinga dalam, terutama
terhadap bunyi suara atau nada yang tinggi, suara yang tidak jelas,
sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas 65 tahun
(Nugroho, 2012).
c) Sistem Penglihatan
Terjadi penurunan lapang pandang karena menurunnya daya
akomodasi mata sehingga elastisitas lensa berkurang, daya
membedakan warna menurun terutama warna biru atau hijau
(Nugroho, 2012).
d) Sistem Kardiovaskular
Dengan bertambahnya usia, denyut jantung maksimum dan fungsi
lain jantung juga berangsur menurun, terjadi penurunan jumlah
sel-sel pacu jantung serta serabut berkas His dan Purkinje yang
mengakibatkan turunnya kekuatan dan kecepatan kontraksi
miokard disertai dengan panjangnya waktu pengisian diastolic,
hasil akhirnya berupa berkurangnya fraksi ejeksi sampai 10-20%.
Pada lanjut usia, elastisitas jantung orang yang berusia 70 tahun
12

menurun sekitar 50% dibandingkan dengan orang muda berusia


20 tahun (Nugroho, 2012).
e) Sistem Pengaturan Suhu Tubuh
Pada pengaturan suhu, hipotalamus dianggap bekerja sebagai
suatu thermostat untuk menetapkan suatu suhu tertentu.
Kemunduran terjadi karena berbagai faktor yang
mempengaruhinya. Suhu tubuh akan menurun secara fisiologis
penurunan proses metabolisme, pada kondis ini lansia akan
merasa kedinginan dan dapat pula menggigil, keterbatasan reflek
menggigil dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak
sehingga terjadi penurunan aktivitas otot (Nugroho, 2012).
f) Sistem Pernapasan
Proses penuaan menyebabkan beberapa perubahan struktural pada
toraks dan paru-paru. Otot pernapasan mengalami kelemahan
akibat atrofi, kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, Paru
kehilangan elastisitas dan lebih berserabut serta berisi kapiler-
kapiler yang kurang berfungsi, sehingga kapasitas penggunaan
menurun karena kapasitas difusi paru-paru untuk oksigen tidak
dapat memenuhi permintaan tubuh (Nugroho, 2012).
g) Sistem Pencernaan
Kehilangan gigi merupakan penyebab utama periodontal disease.
Fungsi indera pengecap menurun, hilangnya sensitivitas saraf
pengecap di lidah, rasa manis, asin, asam, dan pahit, penurunan
sensitivitas rasa lapar, peristaltik melemah biasanya timbul
konstipasi (Nugroho, 2012).
13

h) Sistem Reproduksi
Pada wanita vagina mengalami kontraktur dan mengecil, ovarium
menciut, kondisi ovarium dan payudara mengalami atrofi, selaput
lendir dan sekresi berkurang, dan terjadi perubahan warna. Pada
pria testis mengalami berbagai perubahan secara perlahan namun
masih dapat menghasilkan sperma, sebanyak ±75% pria diatas 65
tahun mengalami pembesaran prostat (Nugroho, 2012).
i) Sistem Genitourinaria
Pada ginjal terjadi perubahan ukuran nefron akibat atrofi sehingga
aliran darah ke ginjal mengalami penurunan sampai 50% sehingga
fungsi tubulus berkurang. Akibatnya, kemampuan
mengkonsentrasikan urin menurun, berat jenis urin menurun,
BUN (blood urea nitrogen) meningkat sampai 21 mg%, nilai
ambang ginjal terhadap glukosa meningkat (Nugroho, 2012).
j) Sistem Endokrin
Terjadi penurunan hormon-hormon yang dihasilkan tubuh.
Termasuk hormon-hormon yang mempengaruhi pertumbuhan,
pematangan, pemeliharaan dalam proses metabolisme tubuh
(Juniarti & Ester, 2012).
k) Sistem Integumen
Jaringan lemak mengalami penurunan sehingga kulit menjadi
mengkerut atau keriput terutama kulit wajah, hal pertama yang
dialami adalah kulit di sekitar mata dan mulut sehingga berakibat
wajah dengan ekspresi sedih. Permukaan kulit cenderung kusam,
kasar, dan bersisik Karena kehilangan proses keratinisasi serta
perubahan ukuran dan bentuk sel epidermis. Pertumbuhan kuku
menjadi lebih lama dan semakin rapuh (Nugroho, 2012).
14

l) Sistem Muskuloskeletal
Berkurangnya cairan pelumas sendi, gangguan kekakuan otot
sehingga pergerakan menjadi terbatas. Atrofi serabut otot
sehingga serabut otot mengecil yang menyebabkan gerakan
menjadi lambat, otot kram, dan menjadi tremor. Aliran darah ke
otot berkurang sejalan dengan proses penuaan (Nugroho, 2012).
m) Sistem Hormonal
Produksi hormon testosteron dan sperma menurun mulai usia 45
tahun, namun tidak mencapai titik nadir. Pada usia 70 tahun
seorang laki-laki masih memiliki libido dan mampu melakukan
kopulasi. Pada wanita kadar estrogen menurun setelah menopause
karena jumlah ovum dan folikel yang sangat rendah (Tamher &
Noorkasiani, 2009).

e. Perubahan Mental
Terjadi perubahan perasaan yang lebih sensasional dan cenderung
condong ke arah yang negatif dan overprotektif. Perubahan mental dapat
menyebabkan dampak yang besar bagi lansia, antara lain dapat
menurunkan kemampuan lansia dalam melakukan aktivitas sehari-hari,
menurunkan kemandirian dan kualitas hidup lansia (Sutikno, 2015).

f. Psikososial
Nilai seseorang sering diukur melalui produktivitasnya dan identitas yang
dikaitkan dengan peran dalam pekerjaan. Stressor psikososial pada lansia
merupakan masalah yang sangat membebani kehidupan yang dapat
menyebabkan gangguan fisik, sosial, dan mentalnya. Hal tersebut dapat
menimbulkan berbagai masalah seperti timbulnya berbagai penyakit
(Hendry et al., 2016).
15

2. Konsep Demensia

1) Definisi
Menurut WHO (World Health Organization) demensia adalah gejala
terjadinya penurunan memori, berpikir, perilaku, dan kemampuan
untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Kehilangan kapasitas
intelektual pada demensia tidak hanya pada memori atau ingatan saja,
tetapi juga pada kognitif dan kepribadian (Windani et al., 2013).
Demensia adalah sindrom terjadinya penurunan memori, berpikir,
perilaku, dan kemampuan melakukan kegiatan sehari-hari. Demensia
bukan merupakan bagian dari proses penuaan yang normal dan bukan
suatu yang pasti akan terjadi dalam kehidupan mendatang. Demensia
akan dimulai secara perlahan dan semakin parah, sehingga kondisi ini
awalnya tidak di sadari. Terjadinya penurunan dalam ingatan,
kemampuan untuk mengingat waktu, mengenali orang, tempat dan
benda (Sopyanti et al., 2019).
Gejala awal biasanya adalah kemunduran fungsi kognitif ringan,
kemunduran dalam mempelajari hal-hal baru, kemampuan untuk
mengingat kejadian yang baru saja terjadi (recent memory), atau yang
sudah lama terjadi (remote memory), dan kesulitan menemukan kata-
kata yang tepat (Andry Hartono, 2017). Perubahan normal pada lansia
tidak akan mempengaruhi fungsi. Orang yang lanjut usia lupa pada
usia bukan merupakan pertanda dari demensia atau penyakit
Alzheimer stadium awal. Pada penuaan normal, seseorang dapat lupa
pada hal-hal detail, kemudian akan lupa secara keseluruhan peristiwa
baru yang terjadi (Sopyanti et al., 2019).
16

2) Klasifikasi Demensia

a. Demensia Tipe Alzheimer


Demensia Alzheimer merupakan penyakit degeneratif otak yang
progresif, yang mematikan sel otak sehingga mengakibatkan
menurunnya daya ingat, kemampuan berpikir, dan perubahan
perilaku (Nugroho, 2012).
b. Demensia Vaskular
Demensia vaskular termasuk demensia paling sering terjadi di
Indonesia. Demensia vaskular sering digantikan dengan istilah
demensia multi infark karena infark multiple bukan satu-satunya
penyebab demensia tipe ini. Infak tunggal di lokasi tertentu,
episode hipotensi, leukoaraiosis, infark inkomplit dan perdarahan
(Janar Wulan & Hana Zafirah, 2016).
c. Demensia Badan Lewy (lewy body dementia)
Demensia badan Lewy mirip dengan penyakit Alzheimer, tetapi
dapat berkembang lebih cepat. Sel-sel otak abnormal yang
disebut badan Lewy kortikal terbentuk di keseluruhan otak dan
menimbulkan gejala (Mulyanto et al., 2014).
d. Penyakit Pick
Penyakit pick merupakan demensia tetapi berbeda dari AD
(Alzheimer Disease) dalam beberapa hal. Kedua penyakit ini
menghasilkan abnormalitas yang berbeda pada sel-sel otak. Pada
penyakit Alzheimer, protein tau berubah secara kimia dan
mengalami Kekusutan (Mulyanto et al., 2014).
17

3) Patofisiologi

Demensia adalah awitan (onset) yang dimulai pada usia 50 atau 60


tahun dan mengalami perburukan yang bertahap dalam 5 atau 10
tahun. Demensia merupakan lanjutan dari penyakit Alzheimer yang
mengganggu tiga proses saraf yang membuat neuron sehat,
komunikasi, metabolisme, dan perbaikan. Secara mikroskopik,
perubahan pada AD melibatkan kerusakan berat neuron korteks dan
hipokampus, serta penimbunan amiloid dalam pembuluh darah
intracranial. Secara mikroskopik, terdapat perubahan morfologis
(struktural) dan biokimia pada neuron neuron (U. Pendit et al., 2013).

Perubahan morfologis terdiri dari dua ciri khas lesi yang pada akhirnya
berkembang menjadi degenerasi soma (badan) dan/atau akson dan
dendrit neuron. Komponen utama dari plak saraf adalah A-beta,
peptide, yang mengandung 39-42 asam amino. A beta dihasilkan dari
pembelahan Precursor Protein Amiloid (APP) oleh protease. APP
diproses oleh tiga macam protease yaitu alfa-, beta-, dan gamma-
sekretase. Peningkatan proses pembelahan APP melalui beta-sekretase
menunjukkan peningkatan produksi A-beta sehingga terbentuk plak
pada saraf. Normalnya, A-beta bersifat soluble (larut), namun pada
penderita Alzheimer A-beta bersifat insoluble karena mengalami
fibrilasi. Perubahan ini bersifat spontan dan belum diketahui
pemicunya. Semakin banyak fibrilasi yang terjadi maka A-beta yang
bersifat soluble semakin berkurang, akibatnya terbentuk plak. Plak
yang terjadi ini mengganggu homeostasis Ca2+ di sel saraf sehingga
membuat sel saraf rentan terhadap radikal bebas (U. Pendit et al.,
2013).
18

Teori tau and tangle hypothesis adalah adanya korelasi yang kuat
antara keparahan demensia dan frekuensi banyaknya kekusutan saraf.
Kekusutan ini terjadi dari banyak protein, tetapi protein utamanya
adalah protein tau. Protein tau sangat penting untuk elongasi akson
dan perbaikan akson. Tau adalah fosfoprotein sehingga
kemampuannya berkurang oleh proses fosforilasi. Proses fosforilasi ini
dikaitkan dengan enzim glikogen kinase-3 (GSK-3). Pada penderita
demensia, protein yang diisolasi bersifat hiperfosforilasi sehingga
kemampuannya untuk memperbaiki akson sangat berkurang, oleh
karena itu terbentuknya kekusutan pada saraf (U. Pendit et al., 2013).

4) Faktor Risiko Demensia

a) Usia

Risiko demensia meningkat seiring dengan meningkatnya usia,


setelah usia 65 tahun, demensia meningkat dua kali lipat setiap
pertambahan usia 5 tahun (Mulyadi et al., 2017).

b) Jenis Kelamin

Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi demensia lebih


tinggi pada wanita dibandingkan pria dikarenakan usia harapan
hidup wanita lebih tinggi daripada laki-laki (Rasyid et al.,
2017).

c) Hipertensi
Hipertensi yang lama dapat menyebabkan aterosklerosis dan
gangguan autoregulasi serebrovaskular, yang pada gilirannya
dapat berkorelasi dengan demensia (Wulan & Zafirah, 2016).
19

d) Genetik
Faktor genetik terkait dengan penyakit Alzheimer setidaknya
ada lima kromosom ( 1, 12, 14, 19, dan 21) terlibat dalam
beberapa bentuk penyakit Alzheimer familial (Mulyanto et al.,
2014).
e) Diabetes Melitus
Penderita diabetes berapa pada kondisi dengan peningkatan
risiko demensia karena efek berbahaya dari tingginya kadar
glukosa darah pada otak dan efek diabetes pada pembuluh
darah kecil (Wulan & Zafirah, 2016).

5) Gambaran Klinis Demensia

Alzheimer merupakan penyakit yang menyebabkan demensia. Berikut


adalah klasifikasi demensia (Juniarti & Ester, 2012).

f) Tahap Awal
Penyakit Alzheimer awal memiliki awitan gejala yang
tersembunyi dan membahayakan, pada kondisi tersebut terjadi
demensia vaskular dengan perubahan kognisi yang tiba-tiba.
Hilangnya memori terbaru menyebabkan sulitnya mendapat
informasi baru. Masalah dengan kognisi dimanifestasikan,
terutama jika berada dalam situasi yang baru atau yang
menimbulkan stres. Dalam tahap ini penderita mulai
menunjukkan ledakan emosi dan menjadi cemas dan gelisah.
Terdapat kebingungan antara orientasi waktu dan jarak serta
kesulitan menyebut nama benda.
20

g) Tahap Pertengahan
Ingatan saat ini dan ingatan masa lampau memburuk selama
demensia tahap pertengahan dan kurangnya penilaian
menyebabkan kekhawatiran tentang keselamatan. Terjadinya
apraksia, atau ketidakmampuan melakukan gerakan yang
bertujuan meskipun sistem sensorik dan motoriknya utuh.
Agnosia, atau ketidakmampuan untuk mengenali objek yang
umum juga dapat terjadi. Inkontinensia urin juga sering
menjadi masalah pada bagian akhir tahap tahap pertengahan
ini. Tahap pertengahan ini merupakan tahap kurangnya
pengendalian impuls, menurunnya ambang stress, dan
kesulitan mengenali lingkungan. Agresivitas, ansietas,
mengeluyur dan gangguan aktivitas lain, perilaku yang tidak
tepat secara sosial, gangguan irama diurnal, berkeras (gerakan
atau vokalisasi berulang), delusi, paranoia, halusinasi.
h) Tahap Akhir
Selama demensia tahap akhir, penderita menjadi semakin
terikat dengan kursi atau tempat tidur. Otot-otot semakin kaku,
dapat terjadi kontraktur, dan reflex primitive dan
dimanifestasikan dengan tahanan involunter di ekstremitas
sebagai respons terhadap gerakan pasif tiba-tiba. Terjadi
depresi fungsi sistem imun, jika gangguan ini disertai dengan
imobilisasi dapat menyebabkan terjadinya pneumonia, infeksi
saluran kemih, sepsis, dekubitus.
21

6) Penatalaksanaan
Tata laksana psikososial ditujukan untuk mempertahankan
kemampuan penderita yang masih tersisa, menghambat progresivitas
kemunduran fungsi kognitif, mengelola gangguan psikologis dan
perilaku yang timbul. Latihan memori sederhana, latihan orientasi
realitas, dan senam otak, dapat membantu menghambat kemunduran
fungsi kognitif (Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.02.02/ MENKES/73/2015, 2015).

7) Prognosis
Perjalanan klasik dari demensia adalah perburukan bertahap selama 5
sampai 10 tahun yang akhirnya menyebabkan kematian. Pasien dengan
onset demensia yang dini kemungkinan memiliki perjalanan penyakit
yang cepat (Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/
MENKES/73/2015, 2015).

3. Konsep Senam Otak (Brain Gym)

a. Definisi
Senam otak adalah serangkaian gerak tubuh sederhana yang dilakukan
untuk merangsang otak kiri dan otak kanan, meringankan atau
merelaksasikan bagian depan atau belakang otak, serta merangsang sistem
yang terkait dengan perasaan atau emosi, yaitu otak tengah dan otak
besar. Senam otak merupakan sejumlah gerakan sederhana yang dapat
menyeimbangkan setiap bagian-bagian otak, dapat menarik keluar tingkat
konsentrasi otak, dan juga sebagai jalan keluar bagi bagian-bagian otak
yang terhambat agar dapat berfungsi maksimal. Senam otak termasuk
senam ringan yang dilakukan dengan gerakan menyilang agar terjadi
22

harmonisasi dan optimalisasi kinerja otak kanan dan kiri. Sebelum


melakukan senam otak dianjurkan banyak minum air putih, sebab, air
akan menghantarkan listrik ke otak sehingga otak mampu menerima
rangsangan dengan mudah. Senam otak dapat dilakukan segala umur,
baik lansia, bayi, anak autis, remaja, maupun orang dewasa (Retno
Suryatika & Heru Pramono, 2019).

b. Fungsi dan Manfaat Senam Otak


1) Dasar teori Senam Otak
Senam otak mengarah pada peningkatan koordinasi tubuh,
kesimbangan, motoric dan daya pikir dan daya pikir atau daya
ingat seseorang. Penurunan fungsi tubuh dan kognitif seseorang
dapat diminimalisir dengan melakukan senam otak. Senam otak
adalah rangkaian gerakan sederhana yang memadukan semua
bagian otak untuk meningkatkan kemampuan belajar,
membangun harga diri dan membangun kebersamaan (Ratri
Desiningrum & Indriana, 2018).

2) Manfaat Senam Otak


Gerakan dalam senam otak memiliki fungsi yang berbeda,
meskipun secara keseluruhan fungsinya sama yaitu untuk
meningkatkan kinerja otak agar tidak kehilangan daya
intelektualnya. Pada lateral tubuh manusia dibagi menjadi kiri
dan kanan, gerakan-gerakan pada dimensi ini bertujuan untuk
menstimulasi koordinasi kedua belah otak dan integrasi bilateral
(Ratri Desiningrum & Indriana, 2018). Lansia yang telah
mengalami demensia dapat dikembalikan lagi fungsi
intelektualnya dengan cara melakukan senam otak yang dapat
23

meningkatkan sistem-sistem kewaspadaan pada otak (Retno


Suryatika & Heru Pramono, 2019).

3) Prinsip-Prinsip dalam Melakukan Senam Otak


a) Senam otak dilakukan semampunya
b) Gerakan-gerakan senam otak dilakukan secara bertahap
dan berulang agar mudah dipahami oleh lansia.
c) Senam otak dilakukan secara rutin dan konsisten, yaitu
kurang lebih 15 menit untuk keseluruhan gerakan yang
disesuaikan dengan kemampuan lansia. Senam otak ini
sebaiknya dilakukan selama sepuluh kali

4) Tahapan Dalam Senam Otak


Terdapat beberapa tahapan dalam melakukan senam otak,
berikut adalah tahapannya (Ratri Desiningrum & Indriana,
2018):
a) Cross/ Gerakan Silang
Melakukan Gerakan menyilang antara kaki dan
tangan secara berlawanan seperti pada gerak jalan di
tempat dilakukan lima kali bagian tangan kanan ke kaki
kiri dan lima kali untuk tangan kiri ke kaki kanan.
Gerakan silang mengaktifkan hubungan kedua sisi otak
dan merupakan gerakan pemanasan untuk semua
keterampilan yang memerlukan penyebrangan garis
tengah bagian lateral. Selain mengaktifkan dua belahan
otak, gerakan inipun mampu meningkatkan daya pikir
dan daya ingat, meningkatkan koordinasi tubuh, dan
merangsang kelancaran aliran cairan otak.
b) Hooks Up
24

Gerakan hooks up yaitu kedua tangan disilangkan di


depan dada dan kaki disilangkan, kanan ke kiri dan
sebaliknya secara bergantian, lakukan setiap bagian
selama 1 menit. Gerakan ini dapat meningkatkan
keseimbangan. Ketika keseimbangan terus distimulasi,
maka dapat meminimalisir keluhan- keluhan fisik
terkait kesehatan jantung dan aliran darah.
c) Lazzy Eight
Gerakan lazy eight seperti menggambar angka 8 tidur
atau simbol “tak terhingga” di depan mata, dengan ibu
jari ditegakkan dan lengan diluruskan ke depan.
Gerakan dilakukan bergantian tangan kanan terlebih
dahulu, setelah itu tangan kiri masing- masing sebanyak
lima putaran, gerakan ini mengaktifkan mata kanan dan
kiri serta mengintegrasikan bidang penglihatan kanan
dan kiri.
d) Putaran Leher
Dilakukan sebanyak lima putaran dan disesuaikan
dengan kemampuan lansia. Gerakan ini dapat
meminimalisir kelelahan dan ketegangan leher. Jika
leher sehat dan relaks, maka distribusi darah ke otak
dan sebaliknya kinerja saraf otak ke seluruh tubuh
dapat berjalan lancar.
e) Mengaktifkan Gerakan Tangan
Pada gerakan ini, salah satu tangan diluruskan ke atas
di samping telinga. Tangan kedua melewati bagian
belakang kepala dan diletakkan di bawah siku tangan
pertama. Tangan yang lurus digerakkan (diputar) ke
arah luar, ke dalam, ke belakang dan ke muka sambil
25

tangan kedua menahannya dengan tekanan halus.


Hembuskan napas saat otot tegang atau diaktifkan.
Gerakan dilakukan bergantian antara tangan kanan dan
kiri masing-masing tiga putaran.
f) Burung Manguni
Gerakan ini merupakan gerakan memijat bahu. Otot
bahu dipijat/diurut, bahu kiri oleh tangan kanan dan
kepala menoleh ke kiri, demikian sebaliknya, bahu
kanan oleh tangan kiri dan kepala menoleh ke kanan.
g) Luncuran Gravitasi
Pada gerakan ini, kedua tangan meraih punggung
telapak kaki, dengan posisi kaki disilangkan, dan
kepala mencium lutut.
h) Saklar Otak
Saklar Otak adalah suatu gerakan menyentuh bagian
dada atas, tepatnya jaringan lunak di bawah tulang
clavicula di kiri dan kanan sternum, lalu memijat
dengan satu tangan, sementara tangan yang lain
memegang pusar. Bisa sambil menundukan kepala dan
berdoa ketika memijat dada atas. Dilakukan selama
kurang lebih 2 menit dengan mengganti tangan kanan
dan kiri.
i) Tombol Bumi
Gerakan ini dilakukan dengan cara ujung jari (telunjuk)
salah satu tangan menyentuh bawah bibir dan sedikit
menekan, lalu ujung jari lainnya ±15 cm di bawah
pusar.
j) Tombol Angkasa
26

Pada gerakan ini, ujung jari satu tangan menyentuh dan


sedikit menekan atas bibir, dan jari lainnya menekan
lembut garis belakang pada tulang ekor. Dilakukan
selama kurang lebih 1 menit.

k) Menguap Berenergi
Gerakan ini adalah perpaduan dari menguap, dan
memijat tulang pipi dan rahang. Dilakukan sebanyak 5
kali menguap, dan pijatan perlahan. Bisa selama 1
menit.
l) Pasang Telinga
Gerakan ini adalah gerakan memijat secara lembut daun
telinga sambil menariknya ke luar, mulai dan ujung
atas, menurun sampai sepanjang lengkungan dan
berakhir di cuping, menggunakan ibu jari dan telunjuk.
Ketika memijat bisa sambil bernyanyi lagu-lagu
pendek, atau mendengarkan musik dan lagu. Gerakan
dilakukan selama 1 menit.

5) Evaluasi Pelatihan
a) Dilihat kemampuan lansia dalam melakukan senam otak sejak
awal hingga akhir gerakan senam otak di setiap pelatihan.
b) Setiap pelatihan dilengkapi dengan lembar observasi yang
diuraikan juga secara narasi.
c) Kepada lansia sebaiknya disarankan untuk menghafalkan setiap
detail gerakannya untuk melatih daya ingat dan mempermudah
menjalankannya.
d) Dihimbau agar lansia dapat rutin melakukan senam otak,
minimal satu kali dalam satu minggu.
27

6) Hubungan Senam Otak dengan Peningkatan Fungsi Kognitif

Pada lansia perubahan tidak terjadi pada fisik saja melainkan juga
pada fungsi kognitif karena dipengaruhi oleh adanya perubahan fungsi
pada struktur dan fungsi otak, penurunan fungsi sistem
musculoskeletal, dan sistem reproduksi. Atrofi yang terjadi pada otak
akibat penuaan menyebabkan hubungan antar saraf, mengecilnya saraf
panca indra sehingga waktu respon dan waktu bereaksi melambat,
defisit memori, gangguan pendengaran, penglihatan, penciuman, dan
perabaan (Ratri Desiningrum & Indriana, 2018).

Fungsi kognitif erat kaitannya dengan anggota gerak, pada dasarnya


setiap melakukan gerakan fisik dapat memberikan rangsangan pada
otak, dengan menurunnya aktivitas maka rangsangan pada otak akan
berkurang rangsangan kepada otak juga berkurang, karena otak
memiliki sifat plastisitas dimana bila terus diberikan rangsangan,
fungsinya akan tetap terjaga dan sebaliknya bila rangsangan tersebut
kurang atau tidak ada, proses plastisitas tidak terjadi dan otak akan
mengalami penurunan struktur dan fungsinya (Ratri Desiningrum &
Indriana, 2018).

Brain gym dapat digunakan dalam menyelaraskan berbagai fungsi


antara lain adalah fungsi gerak, fungsi pernafasan dan fungsi dari pusat
pemikiran yang terdiri dari memori dan intelektual. Gerakan dalam
brain gym sendiri tidak hanya melibatkan otot-otot tertentu pada pusat
otak namun juga pusat yang lebih tinggi di otak turut memegang
peranan. Peningkatan fungsi kognitif pada lansia yang mengalami
demensia disebabkan oleh suplai darah dan oksigen ke otak yang
optimal karena adanya aktivitas dari senam otak, sehingga hal tersebut
dapat memberikan stimulasi yang adekuat pada struktur-struktur yang
28

ada di otak yang berperan dalam kehidupan manusia sehari-hari.


Aktivitas latihan pada senam otak dapat memberikan rangsangan pada
otak sehingga dapat meningkatkan kekuatan dalam memori, kognitif,
daya kewaspadaan, konsentrasi, kreativitas (Wulandari et al., 2020).

B. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah utama dalam melakukan asuhan keperawatan
yang meliputi pengumpulan data, analisa data, yang akan menghasilkan
diagnosa keperawatan (Juniarti & Ester, 2012).
2. Identitas
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan,
pendidikan dan alamat.
3. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering ditemukan pada klien dengan masalah psikososial
demensia adalah kehilangan ingatan. Pemeriksaan fungsi kognitif awal dapat
dilakukan dengan menggunakan instrumen pengkajian fungsi kognitif yaitu
MMSE (Mini Mental State Examination) dari Folstein.
4. Keadaan Umum
Keadaan umum lansia yang memiliki demensia biasanya mengalami
kelemahan, untuk itu perlu dilakukan pengkajian KATZ Indeks untuk menilai
lansia dalam memenuhi kebutuhan dan aktivitasnya sehari-hari.
5. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
b. Kesadaran
c. Tanda-tanda vital
d. Pemeriksaan Review Of System
6. Personal Hygiene
29

Pada lansia yang mengalami demensia biasanya untuk memenuhi kebutuhan


personal hygiene nya memerlukan bantuan orang lain. Untuk mengetahui
tingkat ketergantungan personal hygiene dapat dilakukan pengkajian
BARTHEL index.

7. Pola sensori dan Kognitif


Pada lansia yang mengalami demensia, lansia akan mengalami kebingungan,
ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan minat dan motivasi, mudah lupa,
cepat marah dan disorientasi, untuk itu perlu dilakukan pengkajian SPMSQ
(Short Portable Mental Status Questionnaire).
8. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada penderita demensia adalah
sebagai berikut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017):
a. Ansietas
b. Komunikasi, hambatan verbal
c. Konfusi, kronis
d. Koping keluarga, penurunan
e. Koping individu, ketidakefektifan
f. Jatuh, risiko
g. Memori, kerusakan
h. Persepsi sensori, Gangguan
i. Pola tidur, gangguan
j. Proses pikir, gangguan

9. Diagnosa Prioritas
Pada lansia yang mengalami demensia diagnosa prioritas adalah perubahan
proses pikir (gangguan konfusi kronis) yaitu gangguan kesadaran, perhatian,
kognitif dan persepsi yang irreversible berlangsung lama dan, dan/atau
progresif (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).
30

10. Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan pada lansia yang mengalami demensia dapat


mengacu pada teori model adaptasi Roy yaitu meningkatkan kemampuan
adaptif lansia yang mengalami konfusi kronis dengan tindakan keperawatan
secara generalis seperti seperti mengkaji derajat kerusakan kognitif (misal
perubahan orientasi pada orang, tempat, rentang perhatian dan kemampuan
berpikir), mempertahankan lingkungan yang nyaman; melakukan
pendekatan dengan pola lambat dan tenang; berhadapan dengan individu
ketika berbicara; memanggil klien sesuai namanya; berbicara dengan nada
suara rendah dan perlahan; selingi interaksi dengan humor, memberi
kesempatan klien mengumpulkan barang-barang milik pribadi; menciptakan
aktivitas sederhana tanpa kompetitif sesuai kemampuan klien seperti
stimulasi kognitif dengan musik, menonton acara televisi; melakukan hobi
dan melakukan aktivitas harian sesuai kemampuan; melakukan kegiatan
spiritual; memantau efek samping obat, tanda dan kelebihan; mengevaluasi
pola istirahat yang adekuat. Konsep model adaptasi Roy menjabarkan bahwa
intervensi keperawatan yang diberikan kepada lansia dapat berupa stimulus
dari lingkungan sekitar termasuk keluarga sebagai sumber pendukung
(Missesa et al., 2019).

Berdasarkan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia pada lansia yang


mengalami gangguan konfusi kronis tindakan keperawatan yang dapat
dilakukan seperti menstimulasi memori dengan mengulang pikiran yang
terakhir kali di ucapkan; melakukan koreksi pada kesalahan orientasi;
menstimulasi pada peritiwa yang baru saja terjadi; mengajarkan Teknik
memori yang tepat seperti melakukan terapi brain gym (Tim Pokja SIKI
DPP PPNI, 2018).

11. Implementasi Keperawatan


31

Implementasi keperawatan adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan


oleh perawat untuk membentuk klien dari masalah status kesehatan
yang dihadapi ke status kesehatan yang baik yang menggambarkan
kriteria hasil yang diharapkan. Implementasi keperawatan dalam Model
Adaptasi Roy merupakan kegiatan memanipulasi stimulus fokal,
kontekstual, atau residual (Missesa et al., 2019). Implementasi lain yang
dapat dilakukan yaitu dengan melakukan teknik memori melaui penerapan
terapi brain gym untuk meminimalisir pengurangan fungsi tubuh dan otak,
pada dasarnya implementasi yang dilakukan ini berkaitan dengan gerak
tubuh dan aktivitas fisik.

12. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi keperawatan menurut model adaptasi Roy adalah sebagai penilaian


efektivitas intervensi keperawatan terhadap sistem perilaku lansia. Hasil
akhir dari evaluasi ini terdiri dari 2 yaitu respon adaptif atau respon inefektif,
kemudian diberikan umpan balik pada level stimulus adaptasi, sehingga
proses keperawatan menjadi siklus yang menghasilkan respon adaptif pada
lansia (Missesa et al., 2019).
BAB III

TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian Keperawatan

1. Pengkajian
Klien adalah seorang lansia berusia 68 tahun yang tinggal bersama isteri dan
kedua anaknya serta tiga cucunya, klien sudah tidak bekerja karena
keterbatasan fisik dan penyakit yang dideritanya. Klien beragama islam dan
masih menjalankan sholat 5 waktu dengan diingatkan dan dibantu oleh
keluarganya. Klien berasal dari suku sunda, klien tinggal di desa
Handapherang.

Hasil pengkajian didapatkan bahwa klien berhubungan baik dengan


keluarganya dan akrab dengan cucu-cucunya. Klien kooperatif saat diajak
bicara, klien tidak memiliki gangguan pendengaran, klien hanya memiliki
gangguan kognitif, terbukti pada saat pembicaraan klien mengulang-ulang
pembicaraan yang telah dibicarakan sebelumnya.

2. Riwayat Kesehatan

Keluarga klien mengatakan bahwa anggota keluarganya tidak memiliki


riwayat penyakit yang diderita seperti klien serta tidak memiliki riwayat
penyakit menurun, menahun, dan menular.

3. Kebiasaan klien sehari-hari

Dari hasil wawancara didapatkan bahwa pola makan klien 3x/hari dengan
jadwal makan tidak tentu. Saat ini klien lebih sering berada di rumah, tidak
pernah berjalan-jalan meskipun di halaman rumah untuk menghirup udara

32
33

segar, menurut informasi dari keluarga, klien lebih sering menghabiskan


waktunya untuk tidur pada siang hari namun pada saat malam hari terkadang
klien tidak bisa tidur atau bangun pada malam hari. Klien melakukan aktivitas
secara mandiri kecuali mandi dan berpakaian dibantu oleh anaknya. Klien
melakukan BAK dengan frekuensi sebanyak 5-6x/hari.

4. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang

Pemeriksaan yang dilakukan pada klien meliputi pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan KATZ indeks, BARTHEL Indeks, MMSE, SPMSQ, dan TUG.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan pada sistem integumen didapatkan
tidak ada lesi, warna kulit kecoklatan, suhu 36,30C, turgor kulit >3 detik.
Pemeriksaan kuku didapatkan tidak ada lesi, warna kuku kecoklatan, bentuk
kuku lonjong. Pemeriksaan kepala dan rambut didapatkan tidak ada lesi,
rambut berwarna hitam dan putih, tidak ada ketombe, tidak teraba benjolan,
tidak ada nodul. Pemeriksaan mata didapatkan mata simetris, sclera unikterik,
konjungtiva merah muda, pupil isokor. Pemeriksaan mulut didapatkan
mukosa bibir kering, jumlah gigi hanya satu yaitu gigi seri bawah dengan
keadaan gigi yang kotor, terdapat karies, tidak ada pembesaran massa, tidak
ada nodul.
Pemeriksaan hidung dan sinus didapatkan bentuk hidung simetris, tidak ada
secret, tidak ada polip, tidak ada pembengkakan, tidak ada nyeri tekan.
Pemeriksaan telinga didapatkan daun telinga simetris, tidak ada serumen,
tidak ada lesi, pendengaran normal. Pemeriksaan leher didapatkan tidak ada
lesi, tidak ada pembengkakan JPV, tidak ada pembengkakan kelenjar tiroid,
tidak ada pembengkakan KGB. Pemeriksaan payudara didapatkan payudara
simetris, tidak ada lesi, puting susu menonjol, areola kecoklatan, tidak ada
massa, tidak ada nyeri tekan. Pemeriksaan thorax didapatkan warna kulit dada
kecoklatan, bentuk dada simetris, tidak ada retraksi dinding dada, ekspansi
34

dada baik, tidak ada massa/benjolan, tidak ada hematoma, suara perkusi
timpani, suara napas vesikuler.

Pemeriksaan jantung didapatkan nadi teraba 98x/m, tidak ada sianosis, CRT <
3 detik, bunyi jantung S1 S2 normal. Pemeriksaan abdomen didapatkan tidak
ada lesi, tidak ada pelebaran pembuluh darah, bising usus 8x/m, tidak ada
nyeri tekan, tidak ada hepatomegali, splenomegali, perkusi timpani. Untuk
genitalia dan anus tidak dilakukan pemeriksaan hanya ditanyakan pada klien
dan keluarganya dengan hasil tidak ada peradangan dan lesi. Pemeriksaan
ekstremitas atas dan bawah nilainya 4 yaitu dapat menahan gaya gravitasi
dengan tahanan sedang.
Pada pemeriksaan lainnya yaitu Status Fungsional dengan menggunakan
KATZ Indeks dengan hasil Nilai B (kemandirian dalam semua hal kecuali
satu dari fungsi tersebut), hasil pengkajian Barthel Indeks dengan Nilai 14
(ketergantungan ringan), hasil pengkajian MMSE dengan nilai 10 (pasti ada
gangguan kognitif), hasil pengkajian SPMSQ dengan nilai 3 (kerusakan
intelektual ringan), hasil pengkajian TUG dengan nilai 22 detik (risiko jatuh
tinggi).

5. Analisa Data

Tabel 3.1 Anlisa Data


No Data Etiologi Masalah
1 Ds: Demensia Konfusi
- Klien mengalami Kronis
penurunan fungsi Kehilangan kemampuan
kognitif menyelesaikan masalah
Do:
- Nilai MMSE 9 Perubahan mengawasi keadaan
- Nilai SPMSQ 3 kompleks dan berpikir abstrak
35

Emosi, labil, pelupa, apatis

Loss deep memory

Kerusakan memori
2. Ds: Demensia Defisit
- Klien tidak mampu perawatan diri
memakai baju dan Kematian sel otak yang massive
mandi sendiri
Tremor, ketidakmampuan
Do: menggunakan benda
- Nilai BARTHEL
Indeks 14 Penurunan kemampuan
(ketergantungan melakukan aktivitas
ringan)
- Nilai KATZ Indeks B
(mandiri untuk 5
aktivitas)

3. Ds: Demensia Risiko Jatuh


- Klien berjalan lambat
dan menggunakan Tingkah laku aneh dan kacau
tongkat dan cenderung mengembara

Do:
- nilai TUG 22 detik
(risiko jatuh tinggi)
36

B. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa yang dapat ditegakkan pada klien berdarsakan hasil anamnesis adalah
konfusi kronis, defisit perawatan diri, dan risiko jatuh. Dari tiga diagnosa yang
ditemukan maka dalam karya ilmiah ini penulis memfokuskan pada satu diagnosa
yaitu konfusi kronis untuk membantu klien dalam meningkatkan kondisi kesehatan
klien serta mempertahankan fungsi memori yang masih tersisa.

C. Intervensi Keperawatan

Rencana asuhan keperawatan pada klien berdasarkan dari tiga diagnosa yang
diangkat yaitu konfusi kronis, defisit perawatan diri dan risiko jatuh disesuaikan
dengan masing-masing diagnosa yang muncul.
Diagnosa yang pertama yaitu kerusakan memori (konfusi kronis) dengan tujuan
setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan kesadaran, perhatian, kognitif
dan persepsi yang terganggu menurun Intervensi yang diberikan untuk
meningkatkan fungsi kognitif klien diantaranya stimulasi memori dengan
mengulang pikiran yang terakhir kali diucapkan, koreksi kesalahan orientasi,
ajarkan teknik memori yang tepat yaitu dengan melakukan brain gym atau senam
otak.
Diagnosa yang kedua yaitu defisit perawatan diri: mandi. Tujuan dari diagnosa
tersebut yaitu menunjukan perawatan diri klien seperti mandi dan berpakain agar
klien mampu melakukannya secara mandiri. Intervensi yang akan dilakukan
diantaranya identifikasi tingkat kemandirian, memberikan edukasi kepada keluarga
dan klien terkait perawatan diri secara konsisten sesuai dengan kemampuan,
berikan bantuan sesuai dengan tingkat kemampuan.
Diagnosa yang ketiga yaitu risiko jatuh dengan tujuan setelah dilakukan asuhan
keperawatan tingkat jatuh menurun. Intervensi yang dilakukan diantaranya
modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bahaya dan risiko, ajarkan pada
keluarga dan klien kelompok risiko tinggi bahaya lingkungan.
37

D. Implementasi Keperawatan

Implementasi asuhan keperawatan pada klien dilakukan selama 5 hari, 3 hari


melakukan asuhan keperawatan, 2 hari untuk memantau perkembangan klien
setelah dilakukan intervensi. Pertemuan terkait intervensi dilakukan setiap hari
pada saat keluarga klien sedang ada waktu luang selama 15-30 menit. Total
pertemuan dengan klien adalah 5 hari dimulai dari kontrak waktu sampai dengan
pemantauan catatan perkembangan.
Pertemuan pertama penulis melakukan pengkajian terhadap kebutuhan dasar klien,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan terkait status mental dan kognitif MMSE dan
SPMSQ serta pemeriksaan KATZ Indeks BARTHEL Indeks dan pemeriksaan
TUG. Pelaksanaan implementasi keperawatan konfusi kronis dilakukan pada hari
ke dua selama dua hari berturut-turut. Intervensi yang dilakukan yaitu dengan
mengoreksi kesalahan orientasi dengan menanyakan tanggal, waktu, tahu, dan
hari, menstimulasi memori dengan mengulang pikiran yang terakhir kali
diucapkan, mengajarkan teknik memori yang tepat yaitu dengan melakukan brain
gym atau senam otak. Sebelum dilakukan tindakan terlebih dahulu dijelaskan
kepada keluarga dan klien mengenai tujuan dan manfaat dilakukannya brain gym/
senam otak, dalam pelaksanaanya penulis terlebih dahulu mencontohkan gerakan
brain gym kemudian diikuti oleh klien, brain gym ini disesuaikan dengan
kemampuan klien dalam melakukannya. Sebelum melakukan brain gym klien
dianjurkan dulu untuk minum air putih karena air akan menghantarkan listrik ke
otak sehingga otak mampu menerima rangsangan dengan mudah.
Implementasi defisit perawatan diri dan risiko jatuh dilakukan dalam satu kali
pertemuan, yaitu pada pertemuan kedua dengan memberikan penjelasan kepada
klien dan keluarga mengenai dukungan perawatan diri dan modifikasi lingkungan
untuk meminimalkan bahaya dan risiko jatuh.
38

E. Evaluasi Keperawatan

Penulis menguraikan tiga diagnosa utama yaitu konfusi kronis, defisit perawatan
diri, dan risiko jatuh. Penulis menggunakan evaluasi dengan analisis SOAP.
Evaluasi dilihat untuk menilai tingkat keberhasilan dari tindakan yang telah
dilakukan. Pada awal pertemuan klien terlihat bingung dengan maksud dan tujuan
yang disampaikan oleh penulis namun setelah diyakinkan oleh keluarganya klien
mulai menerima. Klien mengatakan tidak mempunyai keluhan apapun namun saat
dilakukan pengkajian MMSE dan TUG klien mengalami gangguan kognitif dan
risiko tinggi jatuh.
Diagnosa yang pertama yaitu konfusi kronis. Intervensi yang telah dilakukan
selama tiga hari berturut turut yaitu menstimulasi memori dengan mengulang
pikiran yang terakhir kali diucapkan klien terkadang lupa dengan apa yang telah
dibicarakannya sehingga klien selalu mengulang-ulang pertanyaan atau cerita yang
telah diucapkan sebelumnya. Saat melakukan koreksi kesalahan orientasi dengan
membenarkan tanggal, waktu, tahun dan hari, namun setelah tiga kali pertemuan
belum ada perubahan pada klien, saat ditanya klien masih menjawab tidak ingat
atau hanya diam. Intervensi yang selanjutnya mengajarkan teknik memori yang
tepat yaitu dengan melakukan brain gym atau senam otak selama menit. Pada
awalnya klien merasa bingung dan tidak mau namun setelah dicontohkan oleh
penulis dan dilakukan bersama-sama klien terlihat antusias dengan berbagai
gerakan yang dilakukan, namun dalam melakukan senam otak ini terdapat
beberapa kendala yaitu klien mudah capek, setelah melakukan beberapa gerakan
harus beristirahat terlebih dahulu kemudian dilanjutkan kembali, karena
keterbatasan fisik klien senam otak ini tidak semua dilakukan salah satunya
gerakan pertama yaitu gerakan cross/silang karena klien kesulitan untuk
mengangkat kaki ke atas.
39

Senam otak/brain gym ini dilakukan selama dua kali pertemuan dengan waktu 15-
30 menit tergantung dengan kondisi klien saat itu. Setelah dilakukan implementasi
tiga kali pertemuan kemudian dilakukan evaluasi dengan menggunakan MMSE
dan SPMSQ untuk mengukur fungsi kognitif setelah dilakukan senam otak /brain
gym tidak menunjukan kemajuan atau tidak ada perubahan.
Intervensi kedua dan ketiga terkait dengan defisit perawatan diri dan risiko jatuh
yaitu dengan memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga dan klien
mengenai dukungan perawatan diri dan modifikasi lingkungan untuk
meminimalkan bahaya dan risiko jatuh, respon keluarga positif terhadap
penjelasan yang dilakukan oleh penulis. Intervensi ini dilakukan hanya satu kali
dan pada hari yang sama yaitu ada pertemuan kedua.
40

DOKUMENTASI
41
BAB IV

CRITICAL EVIDENCE BASED PRACTICE

A. Analisis Efektivitas Penerapan Terapi Brain Gym Pada Lansia Demensia

Peningkatan jumlah lanjut usia berakibat pada permasalahan kesehatan dan


psikososial pada lanjut usia tersebut. Salah satu perubahan psikososial yang terjadi
pada lansia yaitu kerusakan memori. Gangguan atau kerusakan memori yang sering
terjadi pada lansia adalah demensia. Demensia merupakan gejala terjadinya
penurunan fungsi intelektual, memori, perilaku, dan aktivitas sehari-hari (Windani et
al., 2017). Kasus yang terjadi pada Tn. N didapatkan klien memiliki gejala seperti
lupa apa yang baru saja dibicarakan, disorientasi tanggal, hari, waktu, dan tahun.

Klien mengalami kondisi yang membuat interaksi antar keluarga menjadi berubah,
seperti sering menghabiskan waktunya untuk tidur pada siang hari dan tidak pernah
berinteraksi dengan dengan dunia luar. (Juniarti & Ester, 2012) menyebutkan
karakteristik dari demensia adalah hilangnya memori, terjadinya ledakan emosi,
cemas, gelisah, disorientasi waktu dan jarak serta kesulitan menyebutkan nama
benda. Kasus yang terjadi pada Tn. N tidak ditemukan terjadinya ledakan emosi,
gelisah serta cemas, dengan perilaku dan tanda gejala yang muncul pada Tn. N maka
dibutuhkan motivasi atau dukungan dari keluarga dalam membantu klien untuk
mencegah kerusakan memori lebih lanjut dan mempertahankan ingatan yang masih
tersisa.

Pada lansia yang memiliki permasalahan gangguan fungsi kognitif perlu diberikan
intervensi yang membantu dalam mengurangi kerusakan memori. Upaya yang
dilakukan yaitu dapat memberikan terapi brain gym yang mampu meningkatkan
fungsi kognitif pada penderita demensia. Pada kondisi klien saat ini diberikan

42
43

orientasi realita berupa belajar mengingat hari, tanggal, waktu, dan tahun dengan cara
diulang terus menerus serta melakukan latihan fisik berupa brain gym.

Penelitian yang dilakukan oleh (Erwanto et al., 2018) dilakukan pemberian intervensi
brain gym yang dilakukan secara terus menerus selama dua minggu serta lansia
dibekali modul dan poster untuk mempermudah fungsi belajar dan pemahaman
lansia. Hasil dari penelitian tersebut bahwa nilai intelektual lansia sebelum dan
sesudah diberikan stimulasi kognitif mengalami peningkatan dalam memori jangka
pendek. Pada kasus Tn. N tidak terjadi peningkatan memori jangka pendek maupun
jangka panjang.

Penelitian yang dilakukan oleh (Wulandari et al., 2020) melakukan intervensi brain
gym selama 3 kali dalam seminggu dalam waktu 3 bulan. Hasil dari penelitian
tersebut menunjukan terjadinya penurunan tingkat demensia dari sedang menjadi
ringan. Brain gym setidaknya dilakukan dalam satu minggu sebanyak 3 kali untuk
mendapatkan hasil yang diharapkan, namun pada Tn. N brain gym hanya dilakukan
sebanyak 3 kali dalam satu minggu sehingga tidak terjadi penurunan tingkat
demensia, untuk hasil yang lebih optimal brain gym sebaiknya dilakukan sebanyak
minimal 10 kali pertemuan dalam waktu 2,5 bulan.

Penelitian yang dilakukan (Retno Suryatika & Heru Pramono, 2019) melakukan
intervensi brain gym dalam waktu 7 hari. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan
bahwa brain gym belum dapat meningkatkan kemampuan fungsi kognitif dalam
waktu yang singkat. Seperti halnya pada Tn.N tidak terjadi penurunan tingkat
demensia setelah dilakukan brain gym selama 3 kali dalam satu minggu.

Latihan fisik merupakan salah satu terapi dalam membantu meningkatkan fungsi
kognitif serta membantu dalam pencegahan dan perbaikan dari fungsi fisiologis
seseorang, brain gym merupakan salah satu serangkaian dari latihan fisik, namun
pada kasus ini brain gym belum mampu untuk menurunkan tingkat demensia yang
dialami oleh Tn. N.
BAB V

PEMBAHASAN

A. Pengkajian Keperawatan

Dari hasil pengkajian yang dilakukan pada Tn.N didapatkan bahwa penyebab
demensia yang terjadi pada Tn. N disebabkan oleh hipertensi dan penyakit jantung
yang dialami oleh klien selama 5 tahun terakhir. Klien sudah memasuki usia lanjut
yaitu 68 tahun dimana pada usia ini banyak perubahan fisik yang terjadi
diantaranya perubahan pada sistem persarafan, hubungan antar bagian saraf
mengalami penurunan serta rentang waktu untuk respon terhadap keadaan
menurun, terjadi juga penurunan memori (Nugroho, 2012). Setelah usia 65 tahun
risiko demensia meningkat dua kali lipat setiap pertambahan usia 5 tahun
(Mulyadi et al., 2017).

Selain terjadi karena pertambahan usia, demensia dapat disebabkan oleh beberapa
faktor yang disebut dengan demensia vaskular. Demensia tipe ini disebabkan oleh
masalah sirkulasi darah ke otak sehingga dapat menyebabkan kematian pada sel-
sel otak yang ditandai dengan gejala-gejala seperti penurunan kognitif, hilangnya
memori jangka pendek, gangguan dalam aktivitas sehari-hari (Janar Wulan &
Hana Zafirah, 2016). Klien mengalami hipertensi dimana penyakit tersebut
menjadi salah satu faktor pendukung terjadinya demensia. Pada kasus yang
ditemui klien memiliki gejala seperti lupa pada waktu, hari, tanggal, tahun, serta
mengulang pembicaraan yang telah dibicarakan sebelumnya.

Salah satu faktor yang dapat menghambat terjadinya demensia atau untuk
mempertahankan fungsi kognitif yang masih tersisa adalah dengan melakukan
aktivitas fisik, aktivitas fisik berperan dalam fungsi kognitif karena kaitannya

44
45

dengan unsur gerak. Aktivitas fisik diduga diduga berkontribusi dalam


meningkatkan kerja kognitif, aktivitas fisik juga telah terbukti mengurangi dan
menunda risiko gangguan neurodegenerative seperti Alzheimer dan Demensia
(Vanny et al., 2018). Pada kasus ini diketahui klien jarang melakukan aktivitas
fisik seperti keluar rumah untuk berjalan-jalan serta olah raga, hal tersebut
terkendala karena terjadinya wabah Covid-19 yang sudah berlangsung hampir satu
setengah tahun, sehingga kegiatan atau aktivitas yang dilakukan di luar rumah
menjadi terganggu akibat adanya sosial distancing.

B. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan hasil anamnesis yang dilakukan, didapatkan tiga diagnosa yaitu
konfusi kronis, defisit perawatan diri, dan risiko jatuh, namun yang menjadi
prioritas utama pada masalah ini adalah konfusi kronis. Pada tahap awal terjadinya
demensia menyebabkan hilangnya memori yang menyebabkan sulitnya
mendapatkan informasi terbaru, dalam tahap ini penderita mulai mulai
menunjukkan ledakan emosi, cemas serta gelisah. Terdapat kebingungan antara
orientasi waktu jarak serta kesulitan menyebut nama benda. Pada kasus yang
dijumpai klien sudah memasuki tahap awal terjadinya demensia diantaranya
mengalami kebingungan antara orientasi waktu (Andry Hartono, 2017).

Untuk menegakan diagnosa konfusi kronis perlu dilakukan pengukuran fungsi


kognitif yaitu dengan menggunakan MMSE (Mini Mental State Examination).
Hasil akhir penilaian MMSE pada klien didapatkan nilai 9 dimana klien
mengalami gangguan kognitif.

C. Perencanaan Keperawatan

Pada lansia yang memiliki masalah gangguan kognitif diberikan intervensi yang
membantu mengurangi kerusakan memori. Intervensi yang diberikan penulis
berupa stimulasi kognitif dengan melakukan brain gym/ senam otak. Senam otak
merupakan sejumlah gerakan sederhana yang dapat menyeimbangkan setiap
46

bagian-bagian otak, dapat menarik keluar tingkat konsentrasi otak, dan juga
sebagai jalan keluar bagi bagian-bagian otak yang terhambat agar dapat berfungsi
maksimal (Retno Suryatika & Heru Pramono, 2019). Senam otak dilakukan
selama dua kali pertemuan dengan waktu 15-30 menit, sebelum melakukan senam
otak klien dianjurkan untuk minum air, karena air akan menghantarkan listrik ke
otak sehingga otak mampu menerima rangsangan dengan mudah. Dengan
dilakukannya brain gym/senam otak diharapkan lansia mengalami peningkatan
pada fungsi kognitif (Retno Suryatika & Heru Pramono, 2019).

D. Pelaksanaan Keperawatan

Latihan aktivitas merupakan salah satu terapi yang dapat mengatasi gangguan
fungsi kognitif, selama dua hari klien dibimbing dalam melakukan terapi brain
gym/ senam otak untuk membantu meningkatkan fungsi kognitifnya secara
perlahan. diawali dengan gerakan cross/gerakan silang untuk mengaktifkan
hubungan kedua sisi otak, dalam melakukan gerakan ini klien mengalami kesulitan
dalam menyilangkan antara kaki dan tangan.Gerakan kedua yaitu hooks up yaitu
kedua tangan dan kaki disilangkan untuk meminimalisir keluhan- keluhan fisik
terkait kesehatan jantung dan aliran darah, gerakan ini sangat mudah diikuti oleh
klien.

Gerakan yang ketiga yaitu gambar angka 8 tidur atau simbol “tak terhingga” di
depan mata, dengan ibu jari ditegakkan dan lengan diluruskan ke depan, gerakan
ini mengaktifkan mata kanan dan kiri serta mengintegrasikan bidang penglihatan
kanan dan kiri, klien dapat mengikuti gerakan dengan baik tanpa kendala.Gerakan
yang keempat memutar leher, gerakan ini dapat meminimalisir kelelahan dan
ketegangan leher, jika leher sehat dan relaks, maka distribusi darah ke otak dan
sebaliknya kinerja saraf otak ke seluruh tubuh dapat berjalan lancar, dalam
melakukan gerakan ini klien mengalami kesulitan yaitu gerakan leher yang kaku
sehingga ujung dagu tidak menyentuh bagian dada.
47

Gerakan kelima yaitu mengaktifkan tangan, mengaktifkan tangan dapat


melepaskan ketegangan di otot pundak dan dada bagian atas dan juga pangkal
lengan (Ratri Desiningrum & Indriana, 2018). Pada gerakan ini rentang gerak
klien terbatas sehingga tangannya tidak mampu menjangkau ke bagian belakang
kepala. Gerakan yang keenam yaitu gerakan burung manguni berupa memijat
bahu, gerakan ini mengintegrasikan otak bagian belakang dan bagian depan, hal
ini dapat melancarkan bahasa dan kemampuan berkomunikasi, serta meningkatkan
konsentrasi, klien kesulitan mampu melakukan gerakan ini dengan baik.

Gerakan ketujuh yaitu luncuran gravitasi dengan posisi kaki disilangkan, dan
kepala mencium lutut gerakan ini dapat melatih diri untuk dapat duduk dan berdiri
tanpa merasa kesulitan sehingga bisa hidup lebih mandiri, klien sulit untuk
meluruskan kakinya serta kesulitan dalam melakukan gerakan mencium lutut.
Gerakan kedelapan yaitu saklar otak, suatu gerakan menyentuh bagian dada atas,
tepatnya jaringan lunak di bawah tulang clavicula di kiri dan kanan sternum, lalu
memijat dengan satu tangan, sementara tangan yang lain memegang pusar,
gerakan ini data menjernihkan pola pikir dan daya ingat, klien dapat mengikuti
gerakan dengan baik. Gerakan kesembilan adalah tombol bumi, gerakan ini
dilakukan dengan cara ujung jari (telunjuk) salah satu tangan menyentuh bawah
bibir dan sedikit menekan, lalu ujung jari lainnya ±15 cm di bawah pusar, gerakan
ini berguna untuk meningkatkan stabilitas, gerakan ini dapat diikuti dengan baik
oleh klien.

Gerakan kesepuluh yaitu tombol angkasa, pada gerakan ini, ujung jari satu tangan
menyentuh dan menekan bibir atas, dan jari lainnya menekan lembut garis
belakang pada tulang ekor. Dengan gerakan ini pusat saraf (otak) dan saraf tepi
yang dibuat rileks akan menciptakan kondisi emosional yang lebih tenang, klien
mampu melakukan gerkan ini dengan baik. Gerakan kesebelas yaitu menguap
bersinergi, gerakan ini adalah perpaduan dari menguap, dan memijat tulang pipi
dan rahang, dilakukan sebanyak 5 kali menguap dan pijatan perlahan selama 1
48

menit. Gerakan ini untuk menyeimbangkan tulang tengkorak dan menghilangkan


ketegangan di kepala dan rahang, klien mampu melakukan gerakan ini dengan
baik.Gerakan terakhir yaitu gerakan memijat secara lembut daun telinga sambal
menariknya keluar, mulai dari ujung atas, menurun sampai sepanjang lengkungan
dan berakhir di cuping, menggunakan ibu jari dan telunjuk, dilakukan selama 1
menit. Gerakan ini untuk memusatkan perhatian terhadap pendengarannya serta
menghilangkan ketegangan pada tulang tulang kepala, gerakan ini dapat diikuti
dengan mudah oleh klien.

E. Evaluasi Keperawatan
Pelaksanaan asuhan keperawatan dilakukan selama 5 hari mulai dari pengkajian
sampai dengan catatan perkembangan. Pelaksanaan implementasi keperawatan
dilakukan sebanyak 3 kali dalam 3 hari berturut-turut kemudian dilakukan
pengukuran fungsi kognitif menggunakan MMSE dengan skor akhir 10 yang
artinya tidak terdapat perubahan sebelum dan sesudah dilakukan intervensi.

Penulis memberikan intervensi berupa terapi brain gym/senam otak untuk


meningkatkan fungsi kognitif serta mempertahankan ingatan yang masih tersisa.
Brain gym/senam otak sebagai peningkatan koordinasi fungsi tubuh, motorik,
keseimbangan, daya pikir atau daya ingat seseorang (Ratri Desiningrum &
Indriana, 2018). dalam senam otak terdapat 12 gerakan yang harus dilakukan
namun tidak semua gerakan dapat dilakukan oleh klien, salah satunya adalah
gerakan cross/silang dimana klien harus mengangkat kaki dan tangan secara
silang, namun klien tidak mampu melakukan gerakan tersebut karena kurangnya
keseimbangan. Pada lansia terdapat perubahan pada sistem muskuloskeletal akibat
berkurangnya cairan pelumas sendi berkurang, gangguan kekuatan otot sehingga
pergerakan sendi menjadi berkurang, kekuatan dan stabilitas tulang menurun
sehingga dapat menimbulkan gangguan pada gaya berjalan (Nugroho, 2012).
49

Pelaksanaan terapi brain gym/senam otak dilakukan selama dua hari berturut-turut
dan dievaluasi pada hari ke 3, namun tidak ada perubahan yang berarti setelah
dilakukan tes MMSE, fungsi kognitif klien masih sama tidak ada perubahan.
Brain gym/senam otak dilakukan minimal selama 10 kali pertemuan, seminggu
sekali atau selama 2,5 bulan untuk dapat memperoleh kemajuan fungsi intelektual
pada lansia demensia (Ratri Desiningrum & Indriana, 2018). Karena keterbatasan
waktu dan ada beberapa gerakan yang tidak dapat dilakukan oleh lansia sehingga
hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, terlepas dari hal tersebut
penerimaan keluarga terhadap intervensi brain gym/senam otak sangat baik
begitupun dengan klien, diharapkan brain gym/senam otak ini dapat dipraktekkan
oleh keluarga terhadap klien sehingga lambat-laun fungsi kognitif klien dapat
meningkat.
50
BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hasil karya ilmiah ini dapat disimpulkan bahwa lanjut usia merupakan individu
yang berusia 60 tahun ke atas dimana lanjut usia merupakan suatu anugerah yang
akan dialami seseorang bila berumur panjang. Tn. N merupakan lanjut usia yang
berumur 68 tahun, memiliki permasalahan dengan penurunan fungsi kognitif.
Kerusakan fungsi kognitif merupakan salah satu tanda dan gejala yang dialami
oleh penderita demensia. Pengkajian pada Tn.N meliputi pengkajian fisik, MMSE,
SPMSQ, BARTHEL Indeks, KATZ Indeks, dan TUG. Dari hasil pengkajian
didapatkan dua diagnosa yaitu konfusi kronis dan risiko jatuh, namun yang
menjadi fokus utama dalam karya ilmiah ini adalah diagnosa konfusi kronis.

Asuhan keperawatan yang diberikan pada konfusi kronis ini diantaranya stimulasi
memori dengan mengulang pikiran yang terakhir kali diucapkan, koreksi
kesalahan orientasi, ajarkan teknik memori yang tepat yaitu dengan melakukan
brain gym atau senam otak. . Setelah dilakukan brain gym selama 3 hari berturut-
turut hasilnya tidak terjadi perubahan pada fungsi kognitif Tn. N dikarenakan
pelaksanaan implementasi yang terlalu singkat.

B. Saran

Pengkajian pada lanjut usia yang memiliki masalah demensia perlu dilakukan
pemeriksaan menyeluruh diantaranya riwayat penyakit terkait dengan masalah
saraf, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Intervensi yang diberikan
pada lanjut usia demensia harus memerlukan waktu yang cukup lama agar lebih
efektif sehingga lansia dapat mencapai kemajuan dalam fungsi kognitif.

51
DAFTAR PUSTAKA

Ahadi Pradana, A. (2019). Pengalaman Keluarga dalam Merawat Anggota Keluarga


dengan Demensia. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes, 10(43), 80–87.
Erwanto, R., Kurniasih, D. E., Pendidikan, P., Ners, P., Kesehatan, F. I., Yogyakarta,
U. R., Kesehatan, F. I., & Respati, U. (2018). Perbedaan Efektifitas Art therapy
dan Brain gym terhadap Fungsi Kognitif dan Intelektual pada Lansia Demensia
di BPSTW Yogyakarta. STRADA Jurnal Ilmiah Kesehatan, 7(2), 34–41.
https://doi.org/10.30994/sjik.v7i2.165
Fatmah. (2010). Gizi Lanjut Usia (R. Astikawati (ed.)). Penerbit Erlangga.
Hartono, Andry. (2017). Buku Ajar Patofisiologi (R. Komalasari, A. Onny
Tampubolon, & M. Ester (eds.)). Penerbit Buku Kedokteran.
Hartono, Andy. (2017). Buku Ajar Patofisiologi (R. Komalasari, A. Onny
Tampubolon, & M. Ester (eds.)). Penerbit Buku Kedokteran.
Hendry, W., Elita, M., Simon, S., & Joewana, S. (2016). Pengaruh Stressor
Psikososial, Depresi , dan Demensia terhadap Insomnia pada Lanjut Usia di
Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia II Jakarta. 43(5), 327–331.
Janar Wulan, A., & Hana Zafirah, N. (2016). Hipertensi dan Diabetes Melitus sebagai
Faktor Risiko Demensia Vaskular. Majority, 5(1), 68–75.
Juniarti, N., & Ester, M. (2012). Buku Ajar Keperawatan Gerontik (E. Meiliya & M.
Ester (eds.); Edisi 2). Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Infodatin Lansia 2016. Report,
8. https://doi.org/ISSN 2442-7659
Kurniawati, D. A., & Santoso, A. (2018). Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan
Usia Lanjut Melalui Peningkatan Kinerja Kader Posyandu Lansia Improving the
Quality of Elderly Health Services with Improving the Performance of Elderly
Posyandu Cadres Dosen Departemen Keperawatan keberhasilan pembang.
Prosiding Seminar Nasional Unimus, 1, 150–158.
Laporan Program Pelayanan Kesehatan Lanjut Usia. (2019).
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/ MENKES/73/2015.
(2015). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa.
Missesa, Helana Catharina Daulina, N., & Susanti Eka, Y. (2019). Manajemen Kasus
Lansia Demensia Konfusi Kronis Dengan Menggunakan Pendekatan Model

52
53

adaptasi. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 2(1), 25–40.


Mulyadi, A., Anisa Fitriana, L., & Rohaedi, S. (2017). Gambaran Aktivitas Fisik
Pada Lansia Demensia Di Balai Perlindungan Sosial Tresna Wreda Ciparay
Bandung. Jurnal Kepelatihan Olahraga, 9(1), 1–11.
Mulyadi, A., Anisa Fitriana, L., & Rohaedi, S. (2020a). Gambaran Aktivitas Fisik
Pada Lansia Demensia Di Balai Perlindungan Sosial Tresna Wreda Ciparay
Bandung. Jurnal Keperawatan Olahraga, 9(1), 1–11.
Mulyadi, A., Anisa Fitriana, L., & Rohaedi, S. (2020b). Gambaran Aktivitas Fisik
Pada Lansia Demensia di Balai Perlindungan Sosial Tresna Wreda Ciparay
Bantung. Juenal Kepelatihan Olahraga, 9(1), 1–11.
Mulyanto, J., Hendra Setiyawan, N., S Kadar, K., Kurnianingsih, S., Martani, R.,
Natalia, Wibowo, Y., Rujito, L., Sulistyoningrum, E., & Candrawati, S. (2014).
Keperawatan Medikal Bedah (A. Suslia, F. Ganiajri, P. Puji Lestari, & R. Wulan
Arum Sari (Eds.); Edisi 8). Salemba Medika.
Muzdalifa Taplo, Y., Madianung, A., & Kanine, E. (2019). Aktivitas Bermain
Domino Sebagai Media untuk Meningkatkan Kemampuan Fungsi Kognitif
Berhitung Pada Lansia. E-Journal Keperawatan (EKp), 7, 1–8.
Nugroho, W. (2012). Keperawatan Gerontik & Geriatrik (M. Ester & E. Tiar (Eds.);
Edisi 3). Penerbit Buku Kedokteran.
Partinah. (2017). Profil Lansia Provinsi Jawa Barat (J. Trisnadi & Y. Anggorowati
(Eds.)). Badan Pusat Statistik Jawa Barat.
Rasyid, I. Al, Syafrita, Y., & Sastri, S. (2017). Artikel Penelitian Hubungan Faktor
Risiko dengan Fungsi Kognitif pada Lanjut Usia Kecamatan Padang Panjang
Timur Kota Padang Panjang. Jurnal Kesehatan Andalas, 6(1), 49–54.
Ratri Desiningrum, D., & Indriana, Y. (2018). Modul Pelatihan Senam Otak Untuk
Adiyuswa (D. Ratri Desiningrum (Ed.)). Fastindo.
Retno Suryatika, A., & Heru Pramono, W. (2019). Penerapan Senam Otak Terhadap
Fungsi Kognitif Pada Lansia Dengan Demensia. Jurnal Manajemen Asuhan
Keperawatan, 3(1), 28–36.
Sopyanti, Y. D., Windani, C., Sari, M., & Sumarni, N. (2019). Gambaran Status
Demensia Dan Depresi Pada Lansia di Wilayah kerja puskesmas Guntur
kelurahan Sukamentri Garut. Jurnal Keperawatan Komprehensif, 5(1).
Susanti, Y., & PH, L. (2019). Increasing Independence and Cogntives of Elderly
Through Healty Education Concerning Psychosocial Development of Elderly.
Jurnal Keperawatan, 11(3), 155–162.
54

Sutikno, E. (2015). Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Gangguan Kesehatan


Mental Pada Lansia. Jurnal Wiyata, 2(1), 1–8.
Tamher, & Noorkasiani. (2009). Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan
Keperawatan (R. Angriani (Ed.)). Salemba Medika.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnonis Keperawatan Indonesia
(Edisi 1). Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (II,
Issue September, p. 143). Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
U. Pendit, B., Hartanto, H., Wulansari, P., & Asih Maharani, D. (2013).
PATOFISIOLOGI (H. Hartanto, N. Susi, P. Wulansari, & D. Asih Maharani
(Eds.); Edisi 6). Penerbit Buku Kedokteran.
Vanny, T., Polan, S., Asrifuddin, A., & Kalesaran, A. F. C. (2018). Hubungan
aktivitas fisik dengan fungsi kognitif pada lansia di puskesmas wori kecamatan
wori kabupaten minahasa utara. Jurnal KESMAS, 7(4).
Windani, C., Sari, M., Ningsih, E. F., & Pratiwi, S. H. (2013). Description of
Dementia In the Elderly Status In the Work Area Helth Center Ibrahim Adjie
Bandung. Indonesia Contemporary Nursing Journal, 3(1), 1–11.
Windani, C., Sari, M., Ningsih, E. F., & Pratiwi, S. H. (2017). Description Of
Dementia In The Elderly Status In The Work Area Health Center. Indonesian
Contemporary Nursing Journal, 3(1), 1–11.
Wulan, A. J., & Zafirah, N. H. (2016). Hipertensi dan Diabetes Melitus sebagai
Faktor Risiko Demensia Vaskular. Majority, 5(1), 68–75.
Wulandari, R., Sari, D. K., & Fatmawati, S. (2020). Penerapan Brain Gym Terhadap
Tingkat Demensia Pada Lanjut Usia. Bima Nursing Jurnal, 2(1), 1–6.

Anda mungkin juga menyukai