KIAN
Karya Ilmiah Akhir Ners
TUTI HIDAYATI
2006277054
CIAMIS
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
2
Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis Tahun 2019 diperoleh jumlah
lanjut usia di Kabupaten Ciamis sebanyak 183,376 jiwa. Pelayanan
kesehatan untuk lansia dilaksanakan melalui pusbila di seluruh UPTD
Kesehatan Puskesmas yang berada di Kabupaten Ciamis dari 37 Puskesmas
yang ada (Laporan Program Pelayanan Kesehatan Lanjut Usia, 2019)
terjadi, atau yang sudah lama terjadi, kemampuan untuk berpikir logis atau
menggunakan bahasa (Andy Hartono, 2017).
Pada umumnya, gerak badan dan aktivitas fisik menurun secara signifikan
dalam jangka panjang dengan meningkatnya penuaan. Salah satu upaya untuk
menghambat proses penuaan dan penurunan fungsi kognitif adalah dengan
melakukan gerakan atau latihan fisik secara teratur, Gerakan atau latihan fisik
yang mudah dilakukan bagi lansia adalah dengan Brain Gym atau senam otak
(Retno Suryatika & Heru Pramono, 2019).
Senam otak adalah serangkaian latihan gerakan tubuh sederhana yang dilakukan
untuk merangsang otak kiri dan kanan (demensia lateralitas), meringankan atau
merelaksasikan bagian depan atau belakang otak (dimensi pemfokusan), serta
merangsang sistem yang terkait dengan perasaan atau emosi, yaitu otak tengah
(limbrik) dan otak besar (dimensi pemusatan). Sebelum melakukan senam otak
dianjurkan terlebih dahulu minum air putih. Karena air akan menghantarkan
listrik ke otak sehingga otak mampu menerima rangsangan dengan mudah Senam
otak termasuk senam ringan yang dilakukan dengan gerakan menyilang agar
terjadi harmonisasi dan optimalisasi kinerja otak kanan dan kiri. Senam ringan ini
bisa dilakukan oleh siapapun termasuk oleh kaum lansia. Senam otak yang
bertujuan memicu otak agar tidak kehilangan daya intelektualnya. Mereka yang
telah lupa dapat dikembalikan kembali kewaspadaan otaknya dengan cara senam
otak. Pusat- pusat sistem kewaspadaan yang ada di batang otak dapat diaktifkan
Kembali (Retno Suryatika & Heru Pramono, 2019).
B. Rumusan masalah
Dampak dari demensia adalah kemunduran fungsi kognitif dan memori yang
menjadikan lansia ketergantungan, tidak dapat beraktivitas dengan normal,
aktivitas fisik terganggu, tidak maksimalnya pemenuhan kebutuhan spiritual
6
Beberapa referensi baik dari penelitian dan teori yang didapatkan dari berbagai
jurnal mengenai penerapan brain gym pada lansia demensia terdapat keterkaitan
antara brain gym dengan peningkatan fungsi kognitif lansia demensia, untuk itu
perlu dianalisis lebih lanjut agar kualitas hidup lansia menjadi lebih baik.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Untuk mengaplikasikan brain gym sebagai terapi pada asuhan keperawatan
lansia yang mengalami demensia.
2. Tujuan khusus
a. Menganalisis keefektifan pemberian terapi brain gym pada asuhan
keperawatan lansia yang mengalami demensia.
b. Menganalisis kemajuan fungsi kognitif lansia setelah dilakukan terapi
brain gym.
D. Ruang Lingkup
kali pertemuan dan dua hari untuk memantau perkembangan, sehingga total waktu
yang dibutuhkan untuk penelitian ini yaitu selama lima hari.
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
D. Metode Penulisan
Metode dalam penulisan KIAN (Karya Ilmiah Akhir Ners) ini menggunakan
metode deskriptif dan metode studi kepustakaan. Dalam metode deskriptif
pendekatan yang digunakan adalah studi kasus dimana penulis mengelola 1 kasus
8
E. Sistematika Penulisan
Dalam pembuatan KIAN (Karya Ilmiah Akhir Ners) terdiri dari 6 BAB, dimana
bab pertama berisi latar belakang mengenai kejadian atau kasus yang diambil oleh
penulis. Bab 2 berisi teori-teori yang menunjang untuk melakukan asuhan
keperawatan pada klien dengan demensia. Bab 3 berisi tinjauan kasus yang
menjelaskan tentang asuhan keperawatan yang telah dilakukan. Bab 4 yaitu EBP
(Evidence Based Practice) yang menguraikan perbandingan antara teori dan situasi
yang ada di lapangan. Bab 5 berisi analisis kasus dari berbagai teori yang telah
diperoleh, analisis terhadap asuhan keperawatan yang telah diberikan
dikaitkan dengan teori dapat pula dikaitkan dengan manajemen keperawatan.
Bab 6 terdiri atas kesimpulan dan saran yang diambil dari bab 5.
BAB II
TINJAUAN TEORI
b. Klasifikasi
WHO (World Health Organization) menggolongkan lansia menjadi 4
golongan yaitu sebagai berikut (Fatmah, 2010).
1) Middle age adalah lansia dengan rentang usia 45-59 tahun.
2) Elderly lansia dengan rentang usia 60-74 tahun.
3) Old dengan rentang usia 75-90 tahun
4) Very old dengan rentang usia di atas 90 tahun
9
10
c. Teori Penuaan
1) Teori Genetik
Menurut teori ini penuaan terjadi karena mutasi sel somatik akibat
pengaruh lingkungan yang buruk. Faktor lingkungan berupa
radiasi dan zat kimia. Terjadi kesalahan dalam proses transkripsi
DNA atau RNA dan proses translasi RNA protein/enzim.
Kesalahan ini terjadi secara terus-menerus sehingga akan terjadi
penurunan fungsi organ atau perubahan sel (Nugroho, 2012).
11
Perubahan- perubahan fisik yang terjadi pada lansia yaitu sebagai berikut.
1) Perubahan Fisik
a) Sistem Persarafan
b) Sistem Pendengaran
Hilangnya daya pendengaran pada telinga dalam, terutama
terhadap bunyi suara atau nada yang tinggi, suara yang tidak jelas,
sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas 65 tahun
(Nugroho, 2012).
c) Sistem Penglihatan
Terjadi penurunan lapang pandang karena menurunnya daya
akomodasi mata sehingga elastisitas lensa berkurang, daya
membedakan warna menurun terutama warna biru atau hijau
(Nugroho, 2012).
d) Sistem Kardiovaskular
Dengan bertambahnya usia, denyut jantung maksimum dan fungsi
lain jantung juga berangsur menurun, terjadi penurunan jumlah
sel-sel pacu jantung serta serabut berkas His dan Purkinje yang
mengakibatkan turunnya kekuatan dan kecepatan kontraksi
miokard disertai dengan panjangnya waktu pengisian diastolic,
hasil akhirnya berupa berkurangnya fraksi ejeksi sampai 10-20%.
Pada lanjut usia, elastisitas jantung orang yang berusia 70 tahun
12
h) Sistem Reproduksi
Pada wanita vagina mengalami kontraktur dan mengecil, ovarium
menciut, kondisi ovarium dan payudara mengalami atrofi, selaput
lendir dan sekresi berkurang, dan terjadi perubahan warna. Pada
pria testis mengalami berbagai perubahan secara perlahan namun
masih dapat menghasilkan sperma, sebanyak ±75% pria diatas 65
tahun mengalami pembesaran prostat (Nugroho, 2012).
i) Sistem Genitourinaria
Pada ginjal terjadi perubahan ukuran nefron akibat atrofi sehingga
aliran darah ke ginjal mengalami penurunan sampai 50% sehingga
fungsi tubulus berkurang. Akibatnya, kemampuan
mengkonsentrasikan urin menurun, berat jenis urin menurun,
BUN (blood urea nitrogen) meningkat sampai 21 mg%, nilai
ambang ginjal terhadap glukosa meningkat (Nugroho, 2012).
j) Sistem Endokrin
Terjadi penurunan hormon-hormon yang dihasilkan tubuh.
Termasuk hormon-hormon yang mempengaruhi pertumbuhan,
pematangan, pemeliharaan dalam proses metabolisme tubuh
(Juniarti & Ester, 2012).
k) Sistem Integumen
Jaringan lemak mengalami penurunan sehingga kulit menjadi
mengkerut atau keriput terutama kulit wajah, hal pertama yang
dialami adalah kulit di sekitar mata dan mulut sehingga berakibat
wajah dengan ekspresi sedih. Permukaan kulit cenderung kusam,
kasar, dan bersisik Karena kehilangan proses keratinisasi serta
perubahan ukuran dan bentuk sel epidermis. Pertumbuhan kuku
menjadi lebih lama dan semakin rapuh (Nugroho, 2012).
14
l) Sistem Muskuloskeletal
Berkurangnya cairan pelumas sendi, gangguan kekakuan otot
sehingga pergerakan menjadi terbatas. Atrofi serabut otot
sehingga serabut otot mengecil yang menyebabkan gerakan
menjadi lambat, otot kram, dan menjadi tremor. Aliran darah ke
otot berkurang sejalan dengan proses penuaan (Nugroho, 2012).
m) Sistem Hormonal
Produksi hormon testosteron dan sperma menurun mulai usia 45
tahun, namun tidak mencapai titik nadir. Pada usia 70 tahun
seorang laki-laki masih memiliki libido dan mampu melakukan
kopulasi. Pada wanita kadar estrogen menurun setelah menopause
karena jumlah ovum dan folikel yang sangat rendah (Tamher &
Noorkasiani, 2009).
e. Perubahan Mental
Terjadi perubahan perasaan yang lebih sensasional dan cenderung
condong ke arah yang negatif dan overprotektif. Perubahan mental dapat
menyebabkan dampak yang besar bagi lansia, antara lain dapat
menurunkan kemampuan lansia dalam melakukan aktivitas sehari-hari,
menurunkan kemandirian dan kualitas hidup lansia (Sutikno, 2015).
f. Psikososial
Nilai seseorang sering diukur melalui produktivitasnya dan identitas yang
dikaitkan dengan peran dalam pekerjaan. Stressor psikososial pada lansia
merupakan masalah yang sangat membebani kehidupan yang dapat
menyebabkan gangguan fisik, sosial, dan mentalnya. Hal tersebut dapat
menimbulkan berbagai masalah seperti timbulnya berbagai penyakit
(Hendry et al., 2016).
15
2. Konsep Demensia
1) Definisi
Menurut WHO (World Health Organization) demensia adalah gejala
terjadinya penurunan memori, berpikir, perilaku, dan kemampuan
untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Kehilangan kapasitas
intelektual pada demensia tidak hanya pada memori atau ingatan saja,
tetapi juga pada kognitif dan kepribadian (Windani et al., 2013).
Demensia adalah sindrom terjadinya penurunan memori, berpikir,
perilaku, dan kemampuan melakukan kegiatan sehari-hari. Demensia
bukan merupakan bagian dari proses penuaan yang normal dan bukan
suatu yang pasti akan terjadi dalam kehidupan mendatang. Demensia
akan dimulai secara perlahan dan semakin parah, sehingga kondisi ini
awalnya tidak di sadari. Terjadinya penurunan dalam ingatan,
kemampuan untuk mengingat waktu, mengenali orang, tempat dan
benda (Sopyanti et al., 2019).
Gejala awal biasanya adalah kemunduran fungsi kognitif ringan,
kemunduran dalam mempelajari hal-hal baru, kemampuan untuk
mengingat kejadian yang baru saja terjadi (recent memory), atau yang
sudah lama terjadi (remote memory), dan kesulitan menemukan kata-
kata yang tepat (Andry Hartono, 2017). Perubahan normal pada lansia
tidak akan mempengaruhi fungsi. Orang yang lanjut usia lupa pada
usia bukan merupakan pertanda dari demensia atau penyakit
Alzheimer stadium awal. Pada penuaan normal, seseorang dapat lupa
pada hal-hal detail, kemudian akan lupa secara keseluruhan peristiwa
baru yang terjadi (Sopyanti et al., 2019).
16
2) Klasifikasi Demensia
3) Patofisiologi
Perubahan morfologis terdiri dari dua ciri khas lesi yang pada akhirnya
berkembang menjadi degenerasi soma (badan) dan/atau akson dan
dendrit neuron. Komponen utama dari plak saraf adalah A-beta,
peptide, yang mengandung 39-42 asam amino. A beta dihasilkan dari
pembelahan Precursor Protein Amiloid (APP) oleh protease. APP
diproses oleh tiga macam protease yaitu alfa-, beta-, dan gamma-
sekretase. Peningkatan proses pembelahan APP melalui beta-sekretase
menunjukkan peningkatan produksi A-beta sehingga terbentuk plak
pada saraf. Normalnya, A-beta bersifat soluble (larut), namun pada
penderita Alzheimer A-beta bersifat insoluble karena mengalami
fibrilasi. Perubahan ini bersifat spontan dan belum diketahui
pemicunya. Semakin banyak fibrilasi yang terjadi maka A-beta yang
bersifat soluble semakin berkurang, akibatnya terbentuk plak. Plak
yang terjadi ini mengganggu homeostasis Ca2+ di sel saraf sehingga
membuat sel saraf rentan terhadap radikal bebas (U. Pendit et al.,
2013).
18
Teori tau and tangle hypothesis adalah adanya korelasi yang kuat
antara keparahan demensia dan frekuensi banyaknya kekusutan saraf.
Kekusutan ini terjadi dari banyak protein, tetapi protein utamanya
adalah protein tau. Protein tau sangat penting untuk elongasi akson
dan perbaikan akson. Tau adalah fosfoprotein sehingga
kemampuannya berkurang oleh proses fosforilasi. Proses fosforilasi ini
dikaitkan dengan enzim glikogen kinase-3 (GSK-3). Pada penderita
demensia, protein yang diisolasi bersifat hiperfosforilasi sehingga
kemampuannya untuk memperbaiki akson sangat berkurang, oleh
karena itu terbentuknya kekusutan pada saraf (U. Pendit et al., 2013).
a) Usia
b) Jenis Kelamin
c) Hipertensi
Hipertensi yang lama dapat menyebabkan aterosklerosis dan
gangguan autoregulasi serebrovaskular, yang pada gilirannya
dapat berkorelasi dengan demensia (Wulan & Zafirah, 2016).
19
d) Genetik
Faktor genetik terkait dengan penyakit Alzheimer setidaknya
ada lima kromosom ( 1, 12, 14, 19, dan 21) terlibat dalam
beberapa bentuk penyakit Alzheimer familial (Mulyanto et al.,
2014).
e) Diabetes Melitus
Penderita diabetes berapa pada kondisi dengan peningkatan
risiko demensia karena efek berbahaya dari tingginya kadar
glukosa darah pada otak dan efek diabetes pada pembuluh
darah kecil (Wulan & Zafirah, 2016).
f) Tahap Awal
Penyakit Alzheimer awal memiliki awitan gejala yang
tersembunyi dan membahayakan, pada kondisi tersebut terjadi
demensia vaskular dengan perubahan kognisi yang tiba-tiba.
Hilangnya memori terbaru menyebabkan sulitnya mendapat
informasi baru. Masalah dengan kognisi dimanifestasikan,
terutama jika berada dalam situasi yang baru atau yang
menimbulkan stres. Dalam tahap ini penderita mulai
menunjukkan ledakan emosi dan menjadi cemas dan gelisah.
Terdapat kebingungan antara orientasi waktu dan jarak serta
kesulitan menyebut nama benda.
20
g) Tahap Pertengahan
Ingatan saat ini dan ingatan masa lampau memburuk selama
demensia tahap pertengahan dan kurangnya penilaian
menyebabkan kekhawatiran tentang keselamatan. Terjadinya
apraksia, atau ketidakmampuan melakukan gerakan yang
bertujuan meskipun sistem sensorik dan motoriknya utuh.
Agnosia, atau ketidakmampuan untuk mengenali objek yang
umum juga dapat terjadi. Inkontinensia urin juga sering
menjadi masalah pada bagian akhir tahap tahap pertengahan
ini. Tahap pertengahan ini merupakan tahap kurangnya
pengendalian impuls, menurunnya ambang stress, dan
kesulitan mengenali lingkungan. Agresivitas, ansietas,
mengeluyur dan gangguan aktivitas lain, perilaku yang tidak
tepat secara sosial, gangguan irama diurnal, berkeras (gerakan
atau vokalisasi berulang), delusi, paranoia, halusinasi.
h) Tahap Akhir
Selama demensia tahap akhir, penderita menjadi semakin
terikat dengan kursi atau tempat tidur. Otot-otot semakin kaku,
dapat terjadi kontraktur, dan reflex primitive dan
dimanifestasikan dengan tahanan involunter di ekstremitas
sebagai respons terhadap gerakan pasif tiba-tiba. Terjadi
depresi fungsi sistem imun, jika gangguan ini disertai dengan
imobilisasi dapat menyebabkan terjadinya pneumonia, infeksi
saluran kemih, sepsis, dekubitus.
21
6) Penatalaksanaan
Tata laksana psikososial ditujukan untuk mempertahankan
kemampuan penderita yang masih tersisa, menghambat progresivitas
kemunduran fungsi kognitif, mengelola gangguan psikologis dan
perilaku yang timbul. Latihan memori sederhana, latihan orientasi
realitas, dan senam otak, dapat membantu menghambat kemunduran
fungsi kognitif (Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.02.02/ MENKES/73/2015, 2015).
7) Prognosis
Perjalanan klasik dari demensia adalah perburukan bertahap selama 5
sampai 10 tahun yang akhirnya menyebabkan kematian. Pasien dengan
onset demensia yang dini kemungkinan memiliki perjalanan penyakit
yang cepat (Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/
MENKES/73/2015, 2015).
a. Definisi
Senam otak adalah serangkaian gerak tubuh sederhana yang dilakukan
untuk merangsang otak kiri dan otak kanan, meringankan atau
merelaksasikan bagian depan atau belakang otak, serta merangsang sistem
yang terkait dengan perasaan atau emosi, yaitu otak tengah dan otak
besar. Senam otak merupakan sejumlah gerakan sederhana yang dapat
menyeimbangkan setiap bagian-bagian otak, dapat menarik keluar tingkat
konsentrasi otak, dan juga sebagai jalan keluar bagi bagian-bagian otak
yang terhambat agar dapat berfungsi maksimal. Senam otak termasuk
senam ringan yang dilakukan dengan gerakan menyilang agar terjadi
22
k) Menguap Berenergi
Gerakan ini adalah perpaduan dari menguap, dan
memijat tulang pipi dan rahang. Dilakukan sebanyak 5
kali menguap, dan pijatan perlahan. Bisa selama 1
menit.
l) Pasang Telinga
Gerakan ini adalah gerakan memijat secara lembut daun
telinga sambil menariknya ke luar, mulai dan ujung
atas, menurun sampai sepanjang lengkungan dan
berakhir di cuping, menggunakan ibu jari dan telunjuk.
Ketika memijat bisa sambil bernyanyi lagu-lagu
pendek, atau mendengarkan musik dan lagu. Gerakan
dilakukan selama 1 menit.
5) Evaluasi Pelatihan
a) Dilihat kemampuan lansia dalam melakukan senam otak sejak
awal hingga akhir gerakan senam otak di setiap pelatihan.
b) Setiap pelatihan dilengkapi dengan lembar observasi yang
diuraikan juga secara narasi.
c) Kepada lansia sebaiknya disarankan untuk menghafalkan setiap
detail gerakannya untuk melatih daya ingat dan mempermudah
menjalankannya.
d) Dihimbau agar lansia dapat rutin melakukan senam otak,
minimal satu kali dalam satu minggu.
27
Pada lansia perubahan tidak terjadi pada fisik saja melainkan juga
pada fungsi kognitif karena dipengaruhi oleh adanya perubahan fungsi
pada struktur dan fungsi otak, penurunan fungsi sistem
musculoskeletal, dan sistem reproduksi. Atrofi yang terjadi pada otak
akibat penuaan menyebabkan hubungan antar saraf, mengecilnya saraf
panca indra sehingga waktu respon dan waktu bereaksi melambat,
defisit memori, gangguan pendengaran, penglihatan, penciuman, dan
perabaan (Ratri Desiningrum & Indriana, 2018).
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah utama dalam melakukan asuhan keperawatan
yang meliputi pengumpulan data, analisa data, yang akan menghasilkan
diagnosa keperawatan (Juniarti & Ester, 2012).
2. Identitas
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan,
pendidikan dan alamat.
3. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering ditemukan pada klien dengan masalah psikososial
demensia adalah kehilangan ingatan. Pemeriksaan fungsi kognitif awal dapat
dilakukan dengan menggunakan instrumen pengkajian fungsi kognitif yaitu
MMSE (Mini Mental State Examination) dari Folstein.
4. Keadaan Umum
Keadaan umum lansia yang memiliki demensia biasanya mengalami
kelemahan, untuk itu perlu dilakukan pengkajian KATZ Indeks untuk menilai
lansia dalam memenuhi kebutuhan dan aktivitasnya sehari-hari.
5. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
b. Kesadaran
c. Tanda-tanda vital
d. Pemeriksaan Review Of System
6. Personal Hygiene
29
9. Diagnosa Prioritas
Pada lansia yang mengalami demensia diagnosa prioritas adalah perubahan
proses pikir (gangguan konfusi kronis) yaitu gangguan kesadaran, perhatian,
kognitif dan persepsi yang irreversible berlangsung lama dan, dan/atau
progresif (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).
30
TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian Keperawatan
1. Pengkajian
Klien adalah seorang lansia berusia 68 tahun yang tinggal bersama isteri dan
kedua anaknya serta tiga cucunya, klien sudah tidak bekerja karena
keterbatasan fisik dan penyakit yang dideritanya. Klien beragama islam dan
masih menjalankan sholat 5 waktu dengan diingatkan dan dibantu oleh
keluarganya. Klien berasal dari suku sunda, klien tinggal di desa
Handapherang.
2. Riwayat Kesehatan
Dari hasil wawancara didapatkan bahwa pola makan klien 3x/hari dengan
jadwal makan tidak tentu. Saat ini klien lebih sering berada di rumah, tidak
pernah berjalan-jalan meskipun di halaman rumah untuk menghirup udara
32
33
dada baik, tidak ada massa/benjolan, tidak ada hematoma, suara perkusi
timpani, suara napas vesikuler.
Pemeriksaan jantung didapatkan nadi teraba 98x/m, tidak ada sianosis, CRT <
3 detik, bunyi jantung S1 S2 normal. Pemeriksaan abdomen didapatkan tidak
ada lesi, tidak ada pelebaran pembuluh darah, bising usus 8x/m, tidak ada
nyeri tekan, tidak ada hepatomegali, splenomegali, perkusi timpani. Untuk
genitalia dan anus tidak dilakukan pemeriksaan hanya ditanyakan pada klien
dan keluarganya dengan hasil tidak ada peradangan dan lesi. Pemeriksaan
ekstremitas atas dan bawah nilainya 4 yaitu dapat menahan gaya gravitasi
dengan tahanan sedang.
Pada pemeriksaan lainnya yaitu Status Fungsional dengan menggunakan
KATZ Indeks dengan hasil Nilai B (kemandirian dalam semua hal kecuali
satu dari fungsi tersebut), hasil pengkajian Barthel Indeks dengan Nilai 14
(ketergantungan ringan), hasil pengkajian MMSE dengan nilai 10 (pasti ada
gangguan kognitif), hasil pengkajian SPMSQ dengan nilai 3 (kerusakan
intelektual ringan), hasil pengkajian TUG dengan nilai 22 detik (risiko jatuh
tinggi).
5. Analisa Data
Kerusakan memori
2. Ds: Demensia Defisit
- Klien tidak mampu perawatan diri
memakai baju dan Kematian sel otak yang massive
mandi sendiri
Tremor, ketidakmampuan
Do: menggunakan benda
- Nilai BARTHEL
Indeks 14 Penurunan kemampuan
(ketergantungan melakukan aktivitas
ringan)
- Nilai KATZ Indeks B
(mandiri untuk 5
aktivitas)
Do:
- nilai TUG 22 detik
(risiko jatuh tinggi)
36
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang dapat ditegakkan pada klien berdarsakan hasil anamnesis adalah
konfusi kronis, defisit perawatan diri, dan risiko jatuh. Dari tiga diagnosa yang
ditemukan maka dalam karya ilmiah ini penulis memfokuskan pada satu diagnosa
yaitu konfusi kronis untuk membantu klien dalam meningkatkan kondisi kesehatan
klien serta mempertahankan fungsi memori yang masih tersisa.
C. Intervensi Keperawatan
Rencana asuhan keperawatan pada klien berdasarkan dari tiga diagnosa yang
diangkat yaitu konfusi kronis, defisit perawatan diri dan risiko jatuh disesuaikan
dengan masing-masing diagnosa yang muncul.
Diagnosa yang pertama yaitu kerusakan memori (konfusi kronis) dengan tujuan
setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan kesadaran, perhatian, kognitif
dan persepsi yang terganggu menurun Intervensi yang diberikan untuk
meningkatkan fungsi kognitif klien diantaranya stimulasi memori dengan
mengulang pikiran yang terakhir kali diucapkan, koreksi kesalahan orientasi,
ajarkan teknik memori yang tepat yaitu dengan melakukan brain gym atau senam
otak.
Diagnosa yang kedua yaitu defisit perawatan diri: mandi. Tujuan dari diagnosa
tersebut yaitu menunjukan perawatan diri klien seperti mandi dan berpakain agar
klien mampu melakukannya secara mandiri. Intervensi yang akan dilakukan
diantaranya identifikasi tingkat kemandirian, memberikan edukasi kepada keluarga
dan klien terkait perawatan diri secara konsisten sesuai dengan kemampuan,
berikan bantuan sesuai dengan tingkat kemampuan.
Diagnosa yang ketiga yaitu risiko jatuh dengan tujuan setelah dilakukan asuhan
keperawatan tingkat jatuh menurun. Intervensi yang dilakukan diantaranya
modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bahaya dan risiko, ajarkan pada
keluarga dan klien kelompok risiko tinggi bahaya lingkungan.
37
D. Implementasi Keperawatan
E. Evaluasi Keperawatan
Penulis menguraikan tiga diagnosa utama yaitu konfusi kronis, defisit perawatan
diri, dan risiko jatuh. Penulis menggunakan evaluasi dengan analisis SOAP.
Evaluasi dilihat untuk menilai tingkat keberhasilan dari tindakan yang telah
dilakukan. Pada awal pertemuan klien terlihat bingung dengan maksud dan tujuan
yang disampaikan oleh penulis namun setelah diyakinkan oleh keluarganya klien
mulai menerima. Klien mengatakan tidak mempunyai keluhan apapun namun saat
dilakukan pengkajian MMSE dan TUG klien mengalami gangguan kognitif dan
risiko tinggi jatuh.
Diagnosa yang pertama yaitu konfusi kronis. Intervensi yang telah dilakukan
selama tiga hari berturut turut yaitu menstimulasi memori dengan mengulang
pikiran yang terakhir kali diucapkan klien terkadang lupa dengan apa yang telah
dibicarakannya sehingga klien selalu mengulang-ulang pertanyaan atau cerita yang
telah diucapkan sebelumnya. Saat melakukan koreksi kesalahan orientasi dengan
membenarkan tanggal, waktu, tahun dan hari, namun setelah tiga kali pertemuan
belum ada perubahan pada klien, saat ditanya klien masih menjawab tidak ingat
atau hanya diam. Intervensi yang selanjutnya mengajarkan teknik memori yang
tepat yaitu dengan melakukan brain gym atau senam otak selama menit. Pada
awalnya klien merasa bingung dan tidak mau namun setelah dicontohkan oleh
penulis dan dilakukan bersama-sama klien terlihat antusias dengan berbagai
gerakan yang dilakukan, namun dalam melakukan senam otak ini terdapat
beberapa kendala yaitu klien mudah capek, setelah melakukan beberapa gerakan
harus beristirahat terlebih dahulu kemudian dilanjutkan kembali, karena
keterbatasan fisik klien senam otak ini tidak semua dilakukan salah satunya
gerakan pertama yaitu gerakan cross/silang karena klien kesulitan untuk
mengangkat kaki ke atas.
39
Senam otak/brain gym ini dilakukan selama dua kali pertemuan dengan waktu 15-
30 menit tergantung dengan kondisi klien saat itu. Setelah dilakukan implementasi
tiga kali pertemuan kemudian dilakukan evaluasi dengan menggunakan MMSE
dan SPMSQ untuk mengukur fungsi kognitif setelah dilakukan senam otak /brain
gym tidak menunjukan kemajuan atau tidak ada perubahan.
Intervensi kedua dan ketiga terkait dengan defisit perawatan diri dan risiko jatuh
yaitu dengan memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga dan klien
mengenai dukungan perawatan diri dan modifikasi lingkungan untuk
meminimalkan bahaya dan risiko jatuh, respon keluarga positif terhadap
penjelasan yang dilakukan oleh penulis. Intervensi ini dilakukan hanya satu kali
dan pada hari yang sama yaitu ada pertemuan kedua.
40
DOKUMENTASI
41
BAB IV
Klien mengalami kondisi yang membuat interaksi antar keluarga menjadi berubah,
seperti sering menghabiskan waktunya untuk tidur pada siang hari dan tidak pernah
berinteraksi dengan dengan dunia luar. (Juniarti & Ester, 2012) menyebutkan
karakteristik dari demensia adalah hilangnya memori, terjadinya ledakan emosi,
cemas, gelisah, disorientasi waktu dan jarak serta kesulitan menyebutkan nama
benda. Kasus yang terjadi pada Tn. N tidak ditemukan terjadinya ledakan emosi,
gelisah serta cemas, dengan perilaku dan tanda gejala yang muncul pada Tn. N maka
dibutuhkan motivasi atau dukungan dari keluarga dalam membantu klien untuk
mencegah kerusakan memori lebih lanjut dan mempertahankan ingatan yang masih
tersisa.
Pada lansia yang memiliki permasalahan gangguan fungsi kognitif perlu diberikan
intervensi yang membantu dalam mengurangi kerusakan memori. Upaya yang
dilakukan yaitu dapat memberikan terapi brain gym yang mampu meningkatkan
fungsi kognitif pada penderita demensia. Pada kondisi klien saat ini diberikan
42
43
orientasi realita berupa belajar mengingat hari, tanggal, waktu, dan tahun dengan cara
diulang terus menerus serta melakukan latihan fisik berupa brain gym.
Penelitian yang dilakukan oleh (Erwanto et al., 2018) dilakukan pemberian intervensi
brain gym yang dilakukan secara terus menerus selama dua minggu serta lansia
dibekali modul dan poster untuk mempermudah fungsi belajar dan pemahaman
lansia. Hasil dari penelitian tersebut bahwa nilai intelektual lansia sebelum dan
sesudah diberikan stimulasi kognitif mengalami peningkatan dalam memori jangka
pendek. Pada kasus Tn. N tidak terjadi peningkatan memori jangka pendek maupun
jangka panjang.
Penelitian yang dilakukan oleh (Wulandari et al., 2020) melakukan intervensi brain
gym selama 3 kali dalam seminggu dalam waktu 3 bulan. Hasil dari penelitian
tersebut menunjukan terjadinya penurunan tingkat demensia dari sedang menjadi
ringan. Brain gym setidaknya dilakukan dalam satu minggu sebanyak 3 kali untuk
mendapatkan hasil yang diharapkan, namun pada Tn. N brain gym hanya dilakukan
sebanyak 3 kali dalam satu minggu sehingga tidak terjadi penurunan tingkat
demensia, untuk hasil yang lebih optimal brain gym sebaiknya dilakukan sebanyak
minimal 10 kali pertemuan dalam waktu 2,5 bulan.
Penelitian yang dilakukan (Retno Suryatika & Heru Pramono, 2019) melakukan
intervensi brain gym dalam waktu 7 hari. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan
bahwa brain gym belum dapat meningkatkan kemampuan fungsi kognitif dalam
waktu yang singkat. Seperti halnya pada Tn.N tidak terjadi penurunan tingkat
demensia setelah dilakukan brain gym selama 3 kali dalam satu minggu.
Latihan fisik merupakan salah satu terapi dalam membantu meningkatkan fungsi
kognitif serta membantu dalam pencegahan dan perbaikan dari fungsi fisiologis
seseorang, brain gym merupakan salah satu serangkaian dari latihan fisik, namun
pada kasus ini brain gym belum mampu untuk menurunkan tingkat demensia yang
dialami oleh Tn. N.
BAB V
PEMBAHASAN
A. Pengkajian Keperawatan
Dari hasil pengkajian yang dilakukan pada Tn.N didapatkan bahwa penyebab
demensia yang terjadi pada Tn. N disebabkan oleh hipertensi dan penyakit jantung
yang dialami oleh klien selama 5 tahun terakhir. Klien sudah memasuki usia lanjut
yaitu 68 tahun dimana pada usia ini banyak perubahan fisik yang terjadi
diantaranya perubahan pada sistem persarafan, hubungan antar bagian saraf
mengalami penurunan serta rentang waktu untuk respon terhadap keadaan
menurun, terjadi juga penurunan memori (Nugroho, 2012). Setelah usia 65 tahun
risiko demensia meningkat dua kali lipat setiap pertambahan usia 5 tahun
(Mulyadi et al., 2017).
Selain terjadi karena pertambahan usia, demensia dapat disebabkan oleh beberapa
faktor yang disebut dengan demensia vaskular. Demensia tipe ini disebabkan oleh
masalah sirkulasi darah ke otak sehingga dapat menyebabkan kematian pada sel-
sel otak yang ditandai dengan gejala-gejala seperti penurunan kognitif, hilangnya
memori jangka pendek, gangguan dalam aktivitas sehari-hari (Janar Wulan &
Hana Zafirah, 2016). Klien mengalami hipertensi dimana penyakit tersebut
menjadi salah satu faktor pendukung terjadinya demensia. Pada kasus yang
ditemui klien memiliki gejala seperti lupa pada waktu, hari, tanggal, tahun, serta
mengulang pembicaraan yang telah dibicarakan sebelumnya.
Salah satu faktor yang dapat menghambat terjadinya demensia atau untuk
mempertahankan fungsi kognitif yang masih tersisa adalah dengan melakukan
aktivitas fisik, aktivitas fisik berperan dalam fungsi kognitif karena kaitannya
44
45
B. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan hasil anamnesis yang dilakukan, didapatkan tiga diagnosa yaitu
konfusi kronis, defisit perawatan diri, dan risiko jatuh, namun yang menjadi
prioritas utama pada masalah ini adalah konfusi kronis. Pada tahap awal terjadinya
demensia menyebabkan hilangnya memori yang menyebabkan sulitnya
mendapatkan informasi terbaru, dalam tahap ini penderita mulai mulai
menunjukkan ledakan emosi, cemas serta gelisah. Terdapat kebingungan antara
orientasi waktu jarak serta kesulitan menyebut nama benda. Pada kasus yang
dijumpai klien sudah memasuki tahap awal terjadinya demensia diantaranya
mengalami kebingungan antara orientasi waktu (Andry Hartono, 2017).
C. Perencanaan Keperawatan
Pada lansia yang memiliki masalah gangguan kognitif diberikan intervensi yang
membantu mengurangi kerusakan memori. Intervensi yang diberikan penulis
berupa stimulasi kognitif dengan melakukan brain gym/ senam otak. Senam otak
merupakan sejumlah gerakan sederhana yang dapat menyeimbangkan setiap
46
bagian-bagian otak, dapat menarik keluar tingkat konsentrasi otak, dan juga
sebagai jalan keluar bagi bagian-bagian otak yang terhambat agar dapat berfungsi
maksimal (Retno Suryatika & Heru Pramono, 2019). Senam otak dilakukan
selama dua kali pertemuan dengan waktu 15-30 menit, sebelum melakukan senam
otak klien dianjurkan untuk minum air, karena air akan menghantarkan listrik ke
otak sehingga otak mampu menerima rangsangan dengan mudah. Dengan
dilakukannya brain gym/senam otak diharapkan lansia mengalami peningkatan
pada fungsi kognitif (Retno Suryatika & Heru Pramono, 2019).
D. Pelaksanaan Keperawatan
Latihan aktivitas merupakan salah satu terapi yang dapat mengatasi gangguan
fungsi kognitif, selama dua hari klien dibimbing dalam melakukan terapi brain
gym/ senam otak untuk membantu meningkatkan fungsi kognitifnya secara
perlahan. diawali dengan gerakan cross/gerakan silang untuk mengaktifkan
hubungan kedua sisi otak, dalam melakukan gerakan ini klien mengalami kesulitan
dalam menyilangkan antara kaki dan tangan.Gerakan kedua yaitu hooks up yaitu
kedua tangan dan kaki disilangkan untuk meminimalisir keluhan- keluhan fisik
terkait kesehatan jantung dan aliran darah, gerakan ini sangat mudah diikuti oleh
klien.
Gerakan yang ketiga yaitu gambar angka 8 tidur atau simbol “tak terhingga” di
depan mata, dengan ibu jari ditegakkan dan lengan diluruskan ke depan, gerakan
ini mengaktifkan mata kanan dan kiri serta mengintegrasikan bidang penglihatan
kanan dan kiri, klien dapat mengikuti gerakan dengan baik tanpa kendala.Gerakan
yang keempat memutar leher, gerakan ini dapat meminimalisir kelelahan dan
ketegangan leher, jika leher sehat dan relaks, maka distribusi darah ke otak dan
sebaliknya kinerja saraf otak ke seluruh tubuh dapat berjalan lancar, dalam
melakukan gerakan ini klien mengalami kesulitan yaitu gerakan leher yang kaku
sehingga ujung dagu tidak menyentuh bagian dada.
47
Gerakan ketujuh yaitu luncuran gravitasi dengan posisi kaki disilangkan, dan
kepala mencium lutut gerakan ini dapat melatih diri untuk dapat duduk dan berdiri
tanpa merasa kesulitan sehingga bisa hidup lebih mandiri, klien sulit untuk
meluruskan kakinya serta kesulitan dalam melakukan gerakan mencium lutut.
Gerakan kedelapan yaitu saklar otak, suatu gerakan menyentuh bagian dada atas,
tepatnya jaringan lunak di bawah tulang clavicula di kiri dan kanan sternum, lalu
memijat dengan satu tangan, sementara tangan yang lain memegang pusar,
gerakan ini data menjernihkan pola pikir dan daya ingat, klien dapat mengikuti
gerakan dengan baik. Gerakan kesembilan adalah tombol bumi, gerakan ini
dilakukan dengan cara ujung jari (telunjuk) salah satu tangan menyentuh bawah
bibir dan sedikit menekan, lalu ujung jari lainnya ±15 cm di bawah pusar, gerakan
ini berguna untuk meningkatkan stabilitas, gerakan ini dapat diikuti dengan baik
oleh klien.
Gerakan kesepuluh yaitu tombol angkasa, pada gerakan ini, ujung jari satu tangan
menyentuh dan menekan bibir atas, dan jari lainnya menekan lembut garis
belakang pada tulang ekor. Dengan gerakan ini pusat saraf (otak) dan saraf tepi
yang dibuat rileks akan menciptakan kondisi emosional yang lebih tenang, klien
mampu melakukan gerkan ini dengan baik. Gerakan kesebelas yaitu menguap
bersinergi, gerakan ini adalah perpaduan dari menguap, dan memijat tulang pipi
dan rahang, dilakukan sebanyak 5 kali menguap dan pijatan perlahan selama 1
48
E. Evaluasi Keperawatan
Pelaksanaan asuhan keperawatan dilakukan selama 5 hari mulai dari pengkajian
sampai dengan catatan perkembangan. Pelaksanaan implementasi keperawatan
dilakukan sebanyak 3 kali dalam 3 hari berturut-turut kemudian dilakukan
pengukuran fungsi kognitif menggunakan MMSE dengan skor akhir 10 yang
artinya tidak terdapat perubahan sebelum dan sesudah dilakukan intervensi.
Pelaksanaan terapi brain gym/senam otak dilakukan selama dua hari berturut-turut
dan dievaluasi pada hari ke 3, namun tidak ada perubahan yang berarti setelah
dilakukan tes MMSE, fungsi kognitif klien masih sama tidak ada perubahan.
Brain gym/senam otak dilakukan minimal selama 10 kali pertemuan, seminggu
sekali atau selama 2,5 bulan untuk dapat memperoleh kemajuan fungsi intelektual
pada lansia demensia (Ratri Desiningrum & Indriana, 2018). Karena keterbatasan
waktu dan ada beberapa gerakan yang tidak dapat dilakukan oleh lansia sehingga
hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, terlepas dari hal tersebut
penerimaan keluarga terhadap intervensi brain gym/senam otak sangat baik
begitupun dengan klien, diharapkan brain gym/senam otak ini dapat dipraktekkan
oleh keluarga terhadap klien sehingga lambat-laun fungsi kognitif klien dapat
meningkat.
50
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hasil karya ilmiah ini dapat disimpulkan bahwa lanjut usia merupakan individu
yang berusia 60 tahun ke atas dimana lanjut usia merupakan suatu anugerah yang
akan dialami seseorang bila berumur panjang. Tn. N merupakan lanjut usia yang
berumur 68 tahun, memiliki permasalahan dengan penurunan fungsi kognitif.
Kerusakan fungsi kognitif merupakan salah satu tanda dan gejala yang dialami
oleh penderita demensia. Pengkajian pada Tn.N meliputi pengkajian fisik, MMSE,
SPMSQ, BARTHEL Indeks, KATZ Indeks, dan TUG. Dari hasil pengkajian
didapatkan dua diagnosa yaitu konfusi kronis dan risiko jatuh, namun yang
menjadi fokus utama dalam karya ilmiah ini adalah diagnosa konfusi kronis.
Asuhan keperawatan yang diberikan pada konfusi kronis ini diantaranya stimulasi
memori dengan mengulang pikiran yang terakhir kali diucapkan, koreksi
kesalahan orientasi, ajarkan teknik memori yang tepat yaitu dengan melakukan
brain gym atau senam otak. . Setelah dilakukan brain gym selama 3 hari berturut-
turut hasilnya tidak terjadi perubahan pada fungsi kognitif Tn. N dikarenakan
pelaksanaan implementasi yang terlalu singkat.
B. Saran
Pengkajian pada lanjut usia yang memiliki masalah demensia perlu dilakukan
pemeriksaan menyeluruh diantaranya riwayat penyakit terkait dengan masalah
saraf, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Intervensi yang diberikan
pada lanjut usia demensia harus memerlukan waktu yang cukup lama agar lebih
efektif sehingga lansia dapat mencapai kemajuan dalam fungsi kognitif.
51
DAFTAR PUSTAKA
52
53