Anda di halaman 1dari 65

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pada era millennial saat ini kemajuan bidang kesehatan dan kesejahteraan

sosial menjadi salah satu factor meningkatnya harapan hidup penduduk di


(He et al,Tahun 2022)
dunia.Menurut data , jumlah orang dengan usia 65 tahun

hingga lebih meningkat secara dramatis seiring dengan kemajuan dunia dalam

beberapa dekade,dari 730 juta jiwa ditahun 2020 dengan presentase 9,5% hingga

mendekati 2 miliar ditahun 2060 dengan presentase 19,4%. Oleh karenanya

peningkatan lansia dengan jumlah 1,25 miliar sekitar 800 juta atau 64%

diperkirakan terjadi di wilayah Asia,yang mana populasi lansia meningkat 3 kali

lipat dari 414 juta menjadi 1,2 miliar lebih.

Jumlah lansia yang terdapat di Asia tahun 2020 yaitu sekitar 4,1 miliar juta

jiwa presentase populasi lansia sekitar 9,1% dengan sebagian besar lansia berada

di Asia Timur dengan jumlah lebih dari 223,8 juta dengan presentase 13,7% dan

Asia Selatan dengan jumlah 122,5 juta dengan presentase 6,5% lalu disusul oleh

Asia Tenggara dengan jumlah 47,7 dengan presentase 7,1% kemudian Asia Barat

dengan jumlah 15,8 juta presentase 5,8% pertumbuhan penduduk lansia dan yang

terakhir di Asia Tengah berjumlah 4,4 juta dengan presentase pertumbuhan

6,3%.Jumlah lansia terbesar berada pada negara China,India dan Jepang lalu

disusul oleh negara Indonesia,ini tidak mengherankan, mengingat Cina dan India
(He et al., 2022)
keduanya memiliki julukan “miliarder populasi” .

1
Di Indonesia jumlah penduduk berusia 65 tahun ke atas tahun 2020

berjumlah hampir 19 juta orang dengan menempati ranking 4 dunia yang memiliki

populasi lansia pada penduduknya,dan akan meningkat pada tahun 2060 menjadi

hampir 68 juta orang dengan menempati posisi ranking ke 3 dunia yang memiliki

populasi lansia pada penduduknya yang mana Jepang terkalahkan jumlah

penduduk lansianya dengan Indonesia. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya

populasi penduduk lanjut usia di Indonesia dalam beberapa tahun kedepan


(He et al., 2022)
.

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk lansia, maka semakin

meningkat pula permasalahan Kesehatan akibat proses penuaan/degeneratif.

Obesitas menjadi salah satu masalah kesehatan akibat proses penuaan yang harus

menjadi perhatian dikarenakan obesitas memiliki risiko besar terhadap berbagai

penyakit yang dapat ditimbulkan pada lansia. Obesitas yang terjadi pada lansia

dapat disebabkan oleh gaya hidup, genetik dan akibat proses penuaan. Obesitas di

seluruh dunia meningkat hampir tiga kali lipat sejak 1975. Pada tahun 2016, lebih

dari 1,9 miliar orang dewasa berusia 18 tahun ke atas kelebihan berat badan. Dari

jumlah tersebut lebih dari 650 juta mengalami obesitas. Sebanyak 39% orang

dewasa berusia 18 tahun ke atas mengalami kelebihan berat badan pada tahun

2016, dan 13% mengalami obesitas. Sebagian besar populasi dunia tinggal di

negara-negara di mana kelebihan berat badan dan obesitas membunuh lebih

banyak orang daripada kekurangan berat badan.

Berdasarkan data Badan Litbangkes (Kemenkes RI, 2019) Prevalensi

obesitas pada lansia berjumlah 14,6% dari jumlah penduduk lansia di Indonesia

2
tahun 2019. Dari data tersebut disimpulkan bahwa sebagian besar lansia memiliki

obesitas. Beberapa dampak obesitas adalah timbulnya berbagai penyakit kronik

seperti penyakit jantung,diabetes mellitus,kanker,tulang dan sendi,serta otak.

Otak sebagai organ kompleks serta vital yang merupakan pusat pengaturan

tubuh dan pusat kognitif,sangat rentan terhadap proses penuaan atau

degenerative.Permasalahan Kesehatan yang terjadi pada otak akibat proses


(Noor, 2020)
penuaan/degenerative salah satunya adalah penyakit demensia .

Demensia menjadi penyebab 10 kasus penyebab kematian didunia yang

menempati urutan ke 7 menurut data yang di rilis oleh


(World Health Organisation (WHO), 2019)
. Menurut data riset oleh Alzheimer association tahun 2023,

demensia salah satu penyakit yang lebih mematikan dari pada penyakit kanker

payudara atau kanker prostat antara tahun 2000 sampai 2019 dengan kenaikan

angka yang fantastis dalam menyebabkan kematian yaitu sampai 145%.

Pada saat ini jumlah penderita demensia menurut


(World Health Organisation (WHO), 2019)
sebanyak 55 juta orang dari jumlah populasi dunia

sebanyak 7,743 miliar yaitu sekitar 0,7% dari jumlah penduduk dunia menderita
(Alzheimer Disease International (ADI), 2020)
demensia,Menurut data didapatkan

data estimasi penderita demensia tahun 2020 pada benua Asia sebanyak 29,23

juta,benua Eropa sebanyak 12,71 juta,benua Amerika sebanyak 11,42 juta,dan

benua Afrika sebanyak 5,30 juta dengan jumlah penderita demensia dunia tahun

2020 sebanyak 58,66 juta dari populasi dunia. Pada tahun 2015 di Indonesia

terdapat 9,9 juta kasus lansia dengan demensia dengan total penderita demensia

secara global dunia pada 2015 sebanyak 46,8 juta dan diprediksi akan meningkat

3
2 kali lipat pada setiap 20 tahun dengan prediksi tahun 2030 jumlah penderita
(Badan Pusat Statistik (BPS), 2015)
demensia sebanyak 74,7 Juta

Meningkatnya jumlah penderita demensia setiap tahunnya diseluruh

dunia ,dan munculnya data bahwa demensia adalah penyebab kematian peringkat

ke 7 di dunia ,mengharuskan kita untuk berupaya dalam menurunkan angka

prevalensi demensia terutama pada lansia sebagai salah satu faktor risiko terbesar

pada demensia,menurut artikel yang didapatkan pada


(Alzheimer Disease International (ADI), 2020)
bahwa banyak faktor yang mempengaruhi

berkembangnya demensia pertama yaitu faktor yang tidak dapat dimodifikasi

seperti usia,gen,dan jenis kelamin yang kedua adalah yang dapat dimodifikasi,

seperti merokok,aktivitas fisik,konsumsi alcohol, polusi udara, trauma kepala,

diabetes, hipertensi, depresi dan obesitas.

Demensia menjadi suatu penyakit yang perlu diperhatikan


(WHO, 2018)
dan dilakukan pencegahan dimana menurut agar semua

negara-negara untuk meningkatkan kesadaran bahwa demensia saat ini

adalah masalah “prioritas kesehatan masyarakat”. Saat ini kejadian demensia

di Indonesia belum diketahui prevalensi secara pasti tetapi hanya

perkiraan karena data tentang demensia masih belum banyak tersedia

sedangkan studi tentang demensia di Indonesia baru dilakukan sejak

2016 sehingga masih belum banyak mengetahui tentang


(WHO, 2018)
demensia.Menurut data mengenai kematian akibat demensia di

Indonesia mencapai 54.743 atau 3,22 % dari total kematian.Informasi

masyarakat tentang demensia (pikun) sebagai penyakit juga masih

4
sedikit. Lagi pula, tidak ada obat untuk demensia.Besarnya masalah

kesehatan, sosial dan ekonomi yang disebabkan karena demensia dan

meningkatnya resiko terjadinya demensia pada lansia menunjukan perlunya

pencegahan penyakit demensia pada lansia dengan mengetahui faktor-faktor

risiko demensia yang dapat dimodifikasi seperti obesitas.Berdasarkan


penelitian (Anjum dkk., 2018)
rekomendasi dan setelah peneliti melakukan

observasi di RT 01-03 RW 07 Margamulya Bekasi Penderita Obesitas pada lansia

di RT 01-03 RW 07 Margamulya Bekasi tidak diketahui secara pasti jumlah

penderitanya,namun peneliti melihat secara kasat mata tanpa mengukur berat

badan dan tinggi badan lansia bahwa banyak sekali lansia yang memiliki berat

badan lebih dan obesitas.Lansia yang memiliki berat badan lebih dan obesitas ini

setelah dilakukan wawancara secara singkat memiliki masalah pada fungsi

kognitifnya.berdasarkan beberapa fenomena tersebut penulis tertarik untuk

melakukan penelitian hubungan obesitas dengan risiko kejadian demensia pada

lansia di RT 01-03 RW 07 Margamulya Bekasi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah di atas maka rumusan masalah penelitian ini adalah

“apakah ada hubungan antara obesitas dengan risiko kejadian demensia pada lansia

di RT 01-03 RW 07 Margamulya Bekasi Tahun 2023 ?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan obesitas dengan risiko kejadian demensia pada

lansia di RT 01-03 RW 07 Margamulya Bekasi.

5
2. Tujuan Khusus

a) Mengetahui distribusi frekuensi karakteristik demografi responden berdasarkan

usia, jenis kelamin dan pendidikan

b) Mengetahui distribusi frekuensi status obesitas lansia di wilayah RT 01-03 RW 07

Margamulya Bekasi

c) Mengetahui distribusi frekuensi risiko kejadian demensia pada lansia di wilayah

RT 01-03 RW 07 Margamulya Bekasi

d) Mengetahui hubungan obesitas dengan risiko kejadian demensia pada lansia di

wilayah RT 01-03 RW 07 Margamulya Bekasi.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat di dijadikan sebagai sumber informasi untuk mengembangkan

ilmu keperawatan dibidang gerontik yang terkait dengan hubungan obesitas

dengan risiko demensia pada lansia.

2. Manfaat Praktis

a) Bagi Praktik Keperawatan

Hasil penelitian diharapkan digunakan sebagai masukan bagi profesi keperawatan

dalam mengetahui Hubungan obesitas dengan risiko demensia pada lansia

b) Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan

Penelitian ini dapat menambah data kepustakan berkaitan dengan obesitas

berhubungan dengan risiko demensia pada lansia sehingga kedepanya dapat di

rumuskan asuhan keperawatan yang tepat untuk di berikan kepada pasien lansia

dengan obesitas.

6
c) Manfaat bagi penelitian selanjutnya

Sebagai bahan acuan dalam meakukan penelitian – penelitian lebih lanjut, serta

diharapkan menambah pengetahuan dan wawasan tentang hubungan obesitas

dengan risiko demensia

d) Manfaat bagi Masyarakat

Penelitian ini dapat menambah ilmu pengetahuan masyarakat berkaitan dengan

obesitas berhubungan dengan risiko demensia pada lansia sehingga kedepanya

dapat berkurang jumlah lansia obesitas dan menurunnya prevalensi penderita

demensia di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian

N Peneliti Judul Tujuan Metode Hasil Perbedaan


O
1 Ma Higher risk of Tujuan penelitian Menggunakan Dari keseluruhan1) Tempat penelitian :
Y,Ajnakina dementia in ini adalah penelitian sampel, 6,9% (n = berbeda negara
O,Steptoe A English older menyelidiki kuantitatif 453) peserta
2) Sampel : sampel
et al,2020 individuals who hubungan antara dengan mengalami penelitian Ma ini
are overweight or obesitas dan risiko pendekatan demensia selama pada dewasa hingga
obese demensia pada cross sectional masa tindak lanjut lansia berusia ≥50
sampel populasi maksimal 15 tahun tahun (usia rata-rata
perwakilan (2002-2017). 63 tahun),penelitian
dewasa Inggris, Dibandingkan ini memakai sampel
berusia ≥50 tahun dengan peserta diatas 60 tahun
(usia rata-rata 63 dengan berat badan 3) Instrument :peneliti
tahun) normal, mereka an Ma memakai
yang obesitas pada intrumen penelitian
awal memiliki pemeriksaan
peningkatan risiko obesitas sentral dan
kejadian demensia IMT,peneltian ini
[rasio hazard (HR) hanya pemeriksaan
¼ 1,34, 95% IMT saja.
interval
kepercayaan (CI)
1,07-1,61]
independen jenis
kelamin, usia awal,
apolipoprotein E- e4
(APOE-e4),
pendidikan,
aktivitas fisik,
merokok dan status
perkawinan.
Hubungan tersebut
sedikit ditekankan
setelah kontrol

7
tambahan untuk
hipertensi dan
diabetes (HR ¼
1,31, 95% CI 1,03–
1,59). Wanita
dengan obesitas
sentral memiliki
risiko demensia
39% lebih besar
dibandingkan
dengan wanita
obesitas non-sentral
2 Lloret Obesity as a risk Tujuan penelitian Metode Hasil penelitian
1) Variabel : Penelitian
A,Monllor factor for ini untuk penelitian Leptin adalah Lloret
P,Esteve D Alzheimer’s menganalisa yang hormon yang menggunakan
et al,2019 disease : obesitas pada digunakan dikeluarkan oleh variabel obesitas
Implication of peran sitokin yaitu analitik jaringan adiposa dan alzheimer
leptin and leptin dalam dengan yang penting untuk disease ,penelitian
glutamate fungsi otak dan menggunakan berfungsinya otak ini menggunakan
khususnya dalam pendekatan dengan benar, variabel obesitas
penurunan cross sectional termasuk memori, dan risiko kejadian
memori yang dan proses belajar di demensia
terkait dengan hippocampus. 2) Sampel : pada lansia
penyakit Leptin bersifat di
Alzheimer (AD). neuroprotektif dan spanyol,penelitian
meningkatkan LTP, ini di indonesisa
mempotensiasi 3) Instrumen :
aktivitas reseptor instrumen yang
NMDA sinaptik dipakai adalah
glutamat. Kami pemeriksaan leptin
membahas dan glutamate
bagaimana sedangakan
resistensi leptin, penelitian ini berat
disfungsi LTP, dan badan dan tinggi
juga peningkatan badan
glutamat terjadi
pada AD. Untuk
semua ini, obesitas
pada usia paruh
baya dapat dianggap
sebagai faktor risiko
untuk
mengembangkan
DA pada orang tua
Tabel 1.1 Tabel Keaslian Penelitian

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP LANJUT USIA (LANSIA)

1. Pengertian Lansia

Lanjut usia atau lansia merupakan seseorang dengan usai lebih dari 60

tahun,lansia dibagi menjadi tiga kategori yaitu lansia muda (60-69 tahun),lansia
(Lavida et al., 2023)
madya (70-79 tahun),dan lansia tua (>80 tahun) .

Lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.

Lanjut usia merupakan istilah bagi seseorang yang telah memasuki periode

dewasa akhir atau usia tua. Periode ini merupakan periode penutup bagi rentang

kehidupan seseorang, dimana terjadi kemunduran fisik dan psikologi secara


(Al-Finatunni’mah & Nurhidayati, 2020)
bertahap.

Perkembangan manusia yang dimulai dari masa bayi,anak,remaja,dewasa,tua

dan akhirnya masuk pada fase usia lanjut dengan umur diatas 60 tahun
(Mujahidullah, 2012)
.

Ketiga pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa lansia adalah manusia

yang telah berusia > 60 tahun yang telah memasuki periode penutup melewati fase

perkembangan manusia bayi,anak,remaja,dewasa dan a rentang kehidupan

seseorang yang mengalami kemunduran fisik dan psikologi secara bertahap.

9
2. Batasan – batasan lanjut usia

Di bawah ini dikemukakan beberapa pendapat mengenai Batasan umur.

a. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ada empat tahapan yaitu:

1) Usia pertengahan (middle age) usia 45-59 tahun.

2) Lanjut usia (elderly) usia 60-74 tahun.

3) Lanjut usia tua (old) usia 75-90 tahun.

4) Usia sangat tua (very old) usia > 90 tahun.

b. Menurut Depkes RI (2019) klasifikasi lansia terdiri dari :

1) Pra lansia yaitu seorang yang berusia antara 45-59 tahun.

2) Lansia ialah seorang yang berusia 60 tahun atau lebih.

3) Lansia risiko tinggi ialah seorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan

masalah kesehatan.

4) Lansia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan

kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa.

5) Lansia tidak potensial ialah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga

hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

3. Teori-teori Penuaan

Menurut (Widiyawati & Jerita, 2020)tahap lanjut usia adalah tahap dimana terjadi

penurunan fungsi tubuh.Penuaan merupakan perubahan kumulatif pada makhluk

hidup,termasuk tubuh,jaringan dan sel yang mengalami penurunan kapasitas

fungsional.Pada manusia ,penuaan dihubungkan dengan perubahan degenartif

kulit,tulang,jantung,pembuluh darah,paru-paru ,saraf dan jaringan tubuh

10
lainnya.Kemampuan regenerative pada lansia terbatas,mereka lebih rentan

terhadap berbagai penyakit.

Secara umum teori tentang penuaan dapat dilihat ditabel berikut ini.

Teori Biologis Tingkat perubahan


Genetika Gen yang diwariskan &
dampak lingkungan
Dipakai dan rusak (wear and Kerusakan oleh radikal bebas
tear)
Lingkungan Meningkatnya pajanan
terhadap hal-hal yang
berbahaya
Imunitas Integritas system tubuh untuk
melawan kembali
Neuroendokrin Kelebihan atau kurangnya
produksi hormon
Teori psikologis Tingkat proses
Kepribadian Introvert lawan ekstrovert
Tugas perkembangan Maturasi sepanjang rentang
kehidupan
Disengagement Antisipasi menarik diri
Aktivitas Membantu mengembangkan
usaha
Kontinuitas Pengembangan individualitas
Tabel 1.2 Tabel Teori Penuaan

Sumber : Buku Keperawatan gerontik (Widiyawati & Jerita, 2020)

11
Topik ini akan menjelaskan materi tentang teori penuaan,proses

penuaan,perubahan fisik,perubahan psikologis,perubahan sosial,masalah umum

pada lansia,dan penyakit pada lansia.

a. Aging proses theory

Sebenarnya secara individual tahap proses fisik penuaan,termasuk

perubahan fungsi dan struktur,pengembangan ,Panjang usia dan

kematian.Perubahan-perubahan dalam tubuh termasuk perubahan molecular dan

seluler dalam system organ utama dan kemampuan tubuh untuk berfungsi secara
(Widiyawati & Jerita, 2020)
adekuat dan melawan penyakit.

Seiring dalam berkembangnya kemampuan kita untuk menyelidiki

komponen-komponen yang kecil dan sangat kecil,suatu pemahaman tentang

hubungan hal-hal yang mempengaruhi penuaan ataupun tentang penyebab

penuaan yang sebelumnya tidak diketahui,sekarang lebih mengalami

peningkatan.Walaupun bukan merupakan suatu definisi penuaan,tetapi lima

karakteristik penuaan telah dapat di identiifkasi oleh pada ahli.Teori biologis juga

mencoba untuk menjelaskan mengapa orang mengalami penuaan dengan cara

yang berbeda dari waktu ke waktu dan factor apa yang mempengaruhi umur

Panjang,perlawanan terhadap organisme,dan kematian atau perubahan

seluler.Suatu pemahaman tentang perspektif biologi dapat memberikan

pengetahuan pada perawat tentang factor resiko spesifik dihubungkan dengan

penuaan dan bagaimana orang dapat dibantu untuk meminimalkan atau


(Widiyawati & Jerita, 2020)
menghindari resiko dan memaksimalkan Kesehatan.

1) Teori Genetik dan Mutasi

12
Menurut teori ini menua telah terprogram secara generic untuk spesies-

spesies tertentu .Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang

terprogram oleh molekul-molekul /DNA dan setiap sel pada saatnya akan

mengalami mutase.Sebagai contoh yang khas adalah mutase dari sel-sel kelamin

(terjadi penurunan kemampuan fungsional sel).

Teori sebab-akibat menjelaskan bhawa penuaan terutama dipengaruhi oleh

pembentukan gen da dampak lingkungan pada pembentukan kode

genetic.Menurut teori genetika ,penuaan adalah suatu proses yang secara tidak

sadar diwariskan yang berjalan dari waktu ke waktu untuk merubah sel atau

struktur jaringan.Teori genetika terdiri dari teori asam

deoksiribonukleat(DNA),teori ketepatan dan kesalahan,mutase somatic,dan teori

glokogen.Teori-teori ini mneyatakan bahwa proses replikasi pada tingkatan seluler

mnejadi tidak teratur karena adanya informasi tidak sesuai yang diberikan dari inti

sel.Molekul DNA menjadi saling bersilangan (crosslink) dengan unsur yang lain

sehingga mengubah informasi genetic.Adanya crosslink ini mengakibatkan

keslahan pada tingkat seluler yang akhirnya menyebabkan system dan organ

tubuh gagal untuk berfungsi.Bukti yang mendukung teori-teori ini termasuk


(Widiyawati & Jerita, 2020)
perkembangan radikal bebas,kolagen dan lipofusin.

 Teori mutase somatic (Somatic Mutatic Theory)

Penjelasan dari teori ini adalah menua diakibatkan oleh kerusakan,penurunan

fungsi sel dan percepatan kematian sel yang disebabkan oleh kesalahan urutan

susunan asam amino.Keursakan selama masa transkripsi dan tranlasi dapat

mempengaruhi sifat enzim dalam melakukan sintesis protein.Kerusakan ini pula

13
menjadi penyebab timbulnya metabolit yang berbahaya sehingga dapat
(Widiyawati & Jerita, 2020)
mengurangi penurunan fungsi sel.

2) Pemakaian dan Rusak

Teori wear and tear (dipakai dan rusak) mengusulkan bahwa akumulasi

sampah metabolic ataiu zat nutrisi dapat merusak sintesiss DNA,sehingga

mendorong malfungsi molekuler dan akhirnya malfungsi organ tubuh.Radikal

bebas adalah contoh dari produk sampah metabolisme yang menyebabkan

kerusakan Ketika tejadi akumulasi.Radikal bebas adalah molekul atau atom

dengan suatu electron yang tidak berpasangan.Ini merupakan jenis yang sangat

reaktif yang dihasilkan dari reaksi selama metabolisme.Radikal bebas dengan

cepat dihancurkan oelh system enzim pelindung pad kondisi normal.Beberapa

adikal bebas berhasil lolos dari proses perusakan ini dan berakumulasi didalam

struktur biologis yang penting,saat itu kerusakan organ terjadi.

Karena laju metabolisme terkait secraa lansung pada pembentukan radikal

bebad,sehingga ilmuan memiliki hipotesis bahwa tingkat kecepatan produksi

radikal bebas berhubungan dengan penentuan waktu rentang hidup.


(Widiyawati & Jerita, 2020)

3) Reaksi dari kekebalan sendiri (Auto Immune Theory)

Teori imunitas menggambarkan suatu kemunduran dalam system imun

yang berhubungan dengan penuaan.Seiring dengan berkurangnya fungsi system

imun,terjadilah peningkatan dalam respons autoimun tubuh.Penganjur teori ini

seing memusatkan pada peran kelenjar timus.Berat dan ukuran kelenjar timus

menurun seiring dengan bertambahnya umur,seperti halnya kemampuan tubuh

14
untuk diferensiasi sel T.Karena hilangnya proses diferensiasi sel T,tubuh salah

mengenali sel yang tua dan tidak beraturan sebagai benda asing dan

menyerangnya.Selain itu,tubuh kehilangan kemampuannya untuk meningkatkan

respons terhadap sel asing,terutama bila menghadapu infeksi.


(Widiyawati & Jerita, 2020)

4) Teori Neuroendokrin

Teori-teori biologi penuaan,berhubungan dengan hal-hal seperti yang telah

terjadi pada struktur dan perubahan pada tingkat molekul dan sel,Nampak sangat

mengagumkan dalam beberapa situasi.Para ahli telah memikirkan bahwa penuaan

terjadi oleh karena adanya suatu perlambatan dalam sekresi hormon tertentu yang

mempunyai suatu dampak pada reaksi sitem saraf.Hal ini lebih jelas ditunjukkan
(Widiyawati & Jerita, 2020)
dalam kelenjar hipofisis,tiroid,adrenal dan reproduksi.

Salah satu area neurologi yang mengalami gangguan secara universal

akibat penuaan adalah waktu reaksi yang diperlukan untuk

menerima,memproses,dan bereaksi terhadap perintah.Dikenal sebagai

perlambatan tingkah laku,respons ini kadang-kadang diinterpretasikan sebagai

Tindakan melawan ketulian,atau kurangnya pengetahuan.Pada umumnya

sebenarnya yang tejadi bukan satupun dari hal-hal tersebut,tetapi orang lanjut usia

sering dibuat untuk merasa seolah-ollah mereka tidak kooperatif atau tidak

patuh.Perawat dapat memfasilitasi proses pemberian perawatan dengan cara


(Widiyawati & Jerita, 2020)
memperlmabat instruksi dan menunggu respons mereka.

5) Teori Immunology Slow Virus (Immunology Slow Virus Theory)

15
System imun menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan masuknya

virus kedalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh.Teeori ini

mneyatakna bahwa Ketika manusia berada pada proses menua maka saat itulah

tubuh manusia tidak dapat membedakan sel normal dan sel yang tidak

normal.akibatnya antibody bekerja untuk mneyerang keduanya .Sistem imunpun

mengalami gangguan dan penurunan kemapuan dalam mengenali dirinya sendiri

(self recognition) akibat perubahan protein pascatranslasi atau mutase.


(Widiyawati & Jerita, 2020)

6) Teori Stress

Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan

tubuh.Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan

interbal,kelebihan usaha dan stress menyebabkan sel-sel tubuh Lelah terpakai.


(Widiyawati & Jerita, 2020)

7) Teori Radikal Bebas

Radikal bebas dapat terbentuk didalam bebas,tidak stabilnya radikal bebas

(kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan organic seperti

karbohidrat dan proton.Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat

regenerasi.Teori ini menyebutkan bahwa radikal bebas terbentuk dialam bebas

dan didalam tubuh manusia akibat adanya proses metabolisme didalam

mitokondria.Radikal bebas mernupakan sebuah molekul yang tidak berpasangan

sehingga dapat mengikat molekul lain yang akan menjadi penyebab kerusakan

fungsi sel dan perubhaan dalam tubuh.Ketika radikal bebas terbentuk dengan tidak

stabil ,akan terjadi oksidasi terhadap oksigen dan bahan-bahan organic seperti

16
karbohidrat dann protein sehingga sel-sel dalam tubuh sulit untuk

beregenerasi.Radikal bebas banyak terdapat pada zat pengawet makanan,asap

rokok,asap kendaraan bermotor,radiasi,serta sinar ultraviolet yang menjadi

penyebab penurunan kolagen pada lansia dann perubahan pigmen pada proses
(Widiyawati & Jerita, 2020)
menua.

8) Teori Rantai Silang

Sel-sel yang tua atau usang,reaksi kimianya menyebabkan ikatan yang

kuat,khususnya jaraingan kolagen,ikatan ini menyebabkan kurangnya

elastis,kekacauan dan hilangnya fungsi.Teori rantai silang menerangkan bahwa

proses penuaan diakibatkan oleh lemak,protein,asam nukleat (Molekul Kolagen)

dan karbohidrat yang bereaksi dengan zat kimia maupun radiasi yang dapat

mengubah fungsi jaringan dalam tubuh.Perubahan tersebut akan menjadi enyebab

perubahan pada mebran plasma yang mengakibatkan terajdinya jaringan yang


(Widiyawati & Jerita, 2020)
kaku dan kurang elastis serta hilangnya fungsi.

Proses hilangnya elastisitas ini seringkali dihubungkan dengan adanya

perubhaan kimia pada komponen protein didalam jaringan.Terdapat beberapa

contoh perubahan seperti banyaknya kolagen pada kartilago dan elastin pada kulit

yang kehilangan fleksibilitasnya serta menjadai tebal seiring bertambahnya

usia.Contoh ini dapat dikaitkand engan perubahan pada pembuluh darah yang

cenderung menyempit dan cenderung kehilangan elastisitasnya sehingga

pemompaan darah dari jantung menuju keseluruh tubuh menjadi berkurang dan

pada permukaan kulit yang kehilangan elastisitasnya dan cenderung berkerut,juga

17
terjadinya penurunan mobilitas dan kecepatan pada system musculoskeletal.
(Widiyawati & Jerita, 2020)

9) Teori Proeram

Kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah sel yang membelah


(Widiyawati & Jerita, 2020)
setelah sel-sel tersebut mati.

B. KONSEP DEMENSIA

1. Pengertian Demensia

Demensia adalah kumpulan penyakit dengan gejala-gejala yang mengakibatkan

perubahan pada pasien dalam cara berpikir dan berinteraksi dengan orang lain.

Seringkali, memori jangka pendek, pikiran, kemampuan berbicara dan


(Kurniasih et al., 2021)
kemampuan motorik terpengaruh.

Menurut Joseph Gallow dalam (Abdillah, 2019) demensia adalah sindrom yang di

karakteristikkan dengan adanya kehilangan kapasitas intelektual, melibatkan tidak

hanya kognitif namun juga bahasa, kemampuan visospasial, kepribadian, ingatan

(memori).

Demensia adalah suatu sindrom yang dikarakteristikkan dengan adanya

kehilangan kapasitas intelektual melibatkan tidak hanya ingatan(memori), namun

juga kognitif, bahasa,kemampuan visuospasial, dan kepribadian


(Mujahidullah, 2012)

Ketiga pengertian tersebut dapat disimpulkan demensia adalah suatu sindrom

penyakit dengan gejala-gejala yang mengakibatkan perubahan pada pasien dengan

18
kehilangan kapasitas intelektual,melibatkan tidak hanya kognitif namun juga

bahasa, kemampuan visospasial, kepribadian, ingatan (memori).

Demensia bukan merupakan bagian dari proses penuaan yang normal dan

bukan sesuatu yang pasti akan terjadi dalam kehidupan mendatang, demensia

dapat juga di sebabkan oleh bermacam-macam kelainan otak.

2. Klasifikasi Demensia

a. Demensia Degeneratif Primer (50-60%) Dikenal juga dengan nama demensia tipe

Alzheimer, adalah suatu keadaan yang meliputi perubahan dari jumlah, struktur
(Mujahidullah, 2012)
dan fungsi neuron di daerah tertentu dari korteks.

b. Demensia Multi Infark (10-20%) Demensia ini merupakan jenis kedua terbanyak

setelah penyakit Alzheimer. Bisa di dapatkan sendiri atau dengan demensia jenis
(Mujahidullah, 2012)
lain.

c. Demensia Sindroma Amnestik dan “Pelupa Benigna akibat penuaan”(20- 30%)

Pada kedua keadaan diatas, gejala utamanya adalah gangguan memori(daya

ingat), sedangkan pada demensia terdapat gangguan pada fungsi intelektual yang
(Mujahidullah, 2012)
lain.

3. Etiologi Demensia

Menurut (Mujahidullah, 2012) Keadaan yang secara potensial reversible/bisa

dihentikan:

a. Intoksikasi (obat, termasuk alkohol, dan lain lain)

b. Infeksi susunan saraf pusat

c. Gangguan metabolic

d. Gangguan nutrisi

19
e. Gangguan vaskuler(demensia multi infark, dan lain-lain)

Penyakit degenerative progresif:

a. Tanpa gejala neurologic lain:

1) Penyakit Alzheimer

2) Penyakit pick

b. Dengan gangguan neurologic progresif:

1) Penyakit Parkinson

2) Penyakit hungtington

3) Kelumpuhan supranuklear progresif

4) Penyakit degenerative lain yang jarang didapat

Penyebab demensia yang reversible sangat penting untuk

diketahui, karena dengan pengobatan yang baik penderita dapat kembali

menjalankan hidup sehari-hari yang normal. Untuk mengingat berbagai keadaan

tersebut telah disebut suatu “jembatan keledai” sebagai berikut: Drug (obat-

obatan), Emotional (gangguan emosi, missal depresi, dan lain-lain, Metabolik

(endokrin), Eye and Ear (disfungsi mata dan telinga), Nutrition, Tumor and

trauma, Infection, Arterosclerotic( komplikasi penyakit aterosklerosis, missal


(Mujahidullah, 2012)
infark miokard, gagal jantung, dan lain-lain) dan alkohol

4. Subtipe Demensia

a) Demensia tipe Alzheimer

Penyakit Alzheimer (PA) masih merupakan penyakit

neurodegeneratif yang tersering ditemukan (60-80%).Karateristik klinik berupa

20
berupa penurunan progresif memori episodik dan fungsi kortikal lain. Gangguan

motorik tidak ditemukan kecuali pada tahap akhir penyakit. Gangguan perilaku

dan ketergantungan dalam aktivitas hidup keseharian menyusul gangguan memori

episodik mendukung diagnosis penyakit ini. Penyakit ini mengenai terutama

lansia (>65 tahun) walaupun dapat ditemukan pada usia yang lebih muda.

Diagnosis klinis dapat dibuat dengan akurat pada sebagian besar kasus (90%)

walaupun diagnosis pasti tetap membutuhkan biopsi otak yang menunjukkan

adanya plak neuritik (deposit βamiloid40 dan β-amiloid42) serta neurofibrilary

tangle (hypertphosphorylated protein tau). Saat ini terdapat kecenderungan

melibatkan pemeriksaan biomarka neuroimaging (MRI struktural dan fungsional)

dan cairan otak (β-amiloid dan protein tau) untuk menambah akurasi diagnosis.
(Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2015)

b) Demensia vaskuler

Vascular cognitive impairment (VCI) merupakan terminologi

yang memuat defisit kognisi yang luas mulai dari gangguan kognisi ringan sampai

demensia yang dihubungkan dengan faktor risiko vaskuler. Demensia Vaskuler

adalah penyakit heterogen dengan patologi vaskuler yang luas termasuk infark

tunggal strategi, demensia multi-infark, lesi kortikal iskemik, stroke perdarahan,

gangguan hipoperfusi, gangguan hipoksik dan demensia tipe campuran (PA dan

stroke / lesi vaskuler) Faktor risiko mayor kardiovaskuler berhubungan dengan

kejadian ateroskerosis dan DV. Faktor risiko vaskuler ini juga memacu terjadinya

stroke akut yang merupakan faktor risiko untuk terjadinya DV.CADASIL

(cerebral autosomal dominant arteriopathy 4 with subcortical infarcts and

21
leucoensefalopathy), adalah bentuk small vessel disease usia dini dengan lesi

iskemik luas white matter dan stroke lakuner yang bersifat herediter.
(Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indones

c) Demensia Lewy Body dan Demensia Penyakit Parkinson

Demensia Lewy Body (DLB) adalah jenis demensia yang sering ditemukan.

Sekitar 15-25% dari kasus otopsi demensia menemui kriteria demensia ini.Gejala

inti demensia ini berupa demensia dengan fluktuasi kognisi, halusinasi visual yang

nyata (vivid) dan terjadi pada awal perjalanan penyakit orang dengan

Parkinsonism. Gejala yang mendukung diagnosis berupa kejadian jatuh berulang

dan sinkope, sensitif terhadap neuroleptik, delusi dan atau halusinasi modalitas

lain yang sistematik. Juga terdapat tumpang tindih temuan patologi antara DLB

dan PA.Namun secara klinis orang dengan DLB cenderung mengalami gangguan

fungsi eksekutif dan visuospasial sedangkan performa memori verbalnya relatif

baik jika dibanding dengan PA yang terutama mengenai memori verbal. Demensia

Penyakit Parkinson (DPP) adalah bentuk demensia yang juga sering ditemukan.

Prevalensi DPP 23-32%, enam kali lipat dibanding populasi umum (3-4%). Secara

klinis, sulit membedakan antara DLB dan DPP. Pada DLB, awitan demensia dan

Parkinsonism harus terjadi dalam satu tahun sedangkan pada DPP gangguan

fungsi motorik terjadi bertahun-tahun sebelum demensia (10-15 tahun).


(Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indones

d) Demensia Frontotemporal

Demensia Frontotemporal (DFT) adalah jenis tersering dari Demensia

Lobus Frontotemporal (DLFT). Terjadi pada usia muda (early onset

22
dementia/EOD) sebelum umur 65 tahun dengan rerata usia adalah 52,8 - 56 tahun.

Karakteristik klinis berupa perburukan progresif perilaku dan atau kognisi pada

observasi atau riwayat penyakit. Gejala yang menyokong yaitu pada tahap dini (3

tahun pertama) terjadi perilaku disinhibisi, apati atau inersia, kehilangan

simpati/empati, perseverasi, steriotipi atau perlaku kompulsif/ritual,

hiperoralitas/perubahan diet dan gangguan fungsi eksekutif tanpa gangguan

memori dan visuospasial pada pemeriksaan neuropsikologi.Pada pemeriksaan

CT/MRI ditemukan atrofi lobus frontal dan atau anterior temporal dan hipoperfusi

frontal atau hipometabolism pada SPECT atau PET. Dua jenis DLFT lain yaitu

Demensia Semantik (DS) dan Primary Non-Fluent Aphasia (PNFA), dimana

gambaran disfungsi bahasa adalah dominan disertai gangguan perilaku lainnya.

Kejadian DFT dan Demensia Semantik (DS) masing-masing adalah 40% dan

kejadian PNFA sebanyak 20% dari total DLFT.


(Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2015)

e) Demensia campuran

Koeksistensi patologi vaskuler pada PA sering terjadi. Dilaporkan sekitar 24-28%

orang dengan PA dari klinik demensia yang diotopsi.Pada umumnya pasien

demensia tipe campuran ini lebih tua dengan penyakit komorbid yang lebih

sering. Patologi Penyakit Parkinson ditemukan pada 20% orang dengan PA dan

50% orang dengan DLB memiliki patologi PA.


(Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2015)

5. Manifestasi Klinis Demensia

23
Menurut (Mujahidullah, 2012) Garis besar manifestasi klinisnya adalah sebagai

berikut:

a. Perjalanan penyakit betahap

b. Tidak terdapat gangguan kesadaran

1) Stadium awal

Gejala stadium awal sering diabaikan dan disalahartikan sebagai usia lanjut atau

sebagai bagian normal dari proses otak menua oleh anggota keluarga, dan orang

terdekat penyandang demensia. Karena proses berjalan sangat lambat, sulit sekali

untuk menentukan kapan proses ini dimulai. Gejala yang ditunjukan sebagi

berikut:

 Kesulitan dalam berbahasa

 Mengalami kemunduran daya ingat secara bermakna

 Disorientasi waktu dan tempat

 Sering tersesat ditempat yang biasa dikenal

 Kesulitan membuat keputusan

 Kehilangan minat dalam hobi dan aktivitas

2) Stadium menengah

Proses penyakit berlanjut dan masalah menjadi semakin nyata. Pada stadium ini,

klien mengalami kesulitan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari dan

menunjukkan gejala sebagai berikut:

a) Sangat mudah lupa, terutama untuk peristiwa yang baru dan nama orang.

b) Tidak dapat mengelola kehidupan sendiri tanpa timbul masalah.

c) Sangat bergantung pada orang lain.

24
d) Semakin sulit bicara.

e) Terjadi perubahan perilaku.

f) Sering tersesat, walaupun jalan tersebut telah dikenal (tersesat dirumah sendiri).

3) Stadium lanjut Pada stadium ini, terjadi:

a) Ketidakmandirian dan inaktif yang total

b) Tidak mengenali lagi anggota keluarga(disorientasi personal).

c) Sukar memahami dan menilai peristiwa

d) Tidak mampu menemukan jalan disekitar rumah sendiri

e) Kesulitan berjalan

f) Mengalami inkontinesia(berkemih atau defekasi)

g) Akhirnya bergantung pada kursi roda/tempat tidur.

6. Faktor-faktor Resiko Demensia

 Usia

Dapat dipahami jika angka kejadian demensia meningkat sesuai dengan

pertambahan usia; peningkatannya sekitar dua kali lipat setiap pertambahan usia 5

tahun.Pada 14 Studi EURODEM dari 8 negara Eropamenghasilkan prevalensi

demensia mulai dari 0.4% pada pria dan perempuan usia 60- 64 tahun sampai

22.1% pada pria dan 30.8% pada wanita berusia lebih dari 90 tahun.
(Wreksoatmodjo, 2014)

 Gender

25
Tidak terdapat perbedaan insidensi demensia akibat semua penyebab antara laki-

laki dan perempuan.Beberapa studi besar tidak menemukan perbedaan insiden

demensia Alzheimer maupun demensia vaskuler di kalangan laki-laki dan

perempuan.Meskipun demikian, dua meta analisis menyimpulkan bahwa

perempuan lebih cenderung menderita demensia Alzheimer, khususnya di usia

sangat lanjut. Asosiasi ini menetap sekalipun dikoreksi mengingat perempuan

mempunyai harapan hidup lebih panjang.12,Sebaliknya laki-laki cenderung lebih

berisiko menderita demensia vaskuler dibandingkan perempuan, terutama di usia

lebih muda.Hal ini dapat karena ada faktor risiko seperti penyakit kardiovaskuler
(Wreksoatmodjo, 2014)
yang lebih sering dijumpai di kalangan laki-laki.

 Genetik

Penyakit Alzheimer (AD) merupakan penyakit genetis heterogen; dikaitkan

dengan satu susceptibility (risk) gene dan tiga determinative (disease)

genes.Susceptibility (risk) gene yang diketahui ialah alel apolipoprotein Eε4

(APOE ε4) di khromosom 19 pada q13.2.meskipun adanya alel tersebut di

individu asimtomatik tidak memprediksi AD di kemudian hari.Ada satu jenis

penyakit Alzheimer early-onset yang sangat jarang; jenis yang diturunkan secara

autosomal dominan ini dikaitkan dengan mutasi di khromosom 1 (gen presenilin 2

–PS2) atau di khromosom 14 (gen presenilin 1 – PS1), atau lebih jarang lagi, di
(Wreksoatmodjo, 2014)
khromosom 21.

 Status Kesehatan (Hipertensi,Diabetes Melitus,Aritmi Jantung,dsb)

26
1) Hipertensi atau Tekanan darah tinggi di usia pertengahan dikaitkan dengan mild

cognitive impairment dan peningkatan risiko demensia sebaliknya hipertensi di

usia lanjut diasosiasikan dengan penurunan risiko demensia.Selain itu telah

diamati bahwa tekanan darah mulai turun sekitar 3 tahun sebelum demensia

didiagnosis dan terus menurun pada penderita AD.Dari data ini bisa ditafsirkan

bahwa tekanan darah tinggi di usia pertengahan meningkatkan risiko demensia di

kemudian hari, sedangkan rendahnya tekanan darah di usia lanjut dikaitkan

dengan proses penuaan dan neuropatologi yang menyertainya.Perbedaan risiko

tersebut dapat karena tingginya tekanan sistolik di usia pertengahan akan

meningkatkan risiko aterosklerosis,meningkatkan jumlah lesi iskemik substansia

alba,juga meningkatkan jumlah plak neuritik dan tangles di neokorteks dan

hipokampus serta meningkatkan atrofi hipokampus dan amigdala.Masing-masing

kelainan tersebut dapat berpengaruh negatif terhadap fungsi kognitif. Sebaliknya,

rendahnya tekanan darah dapat diasosiasikan dengan peningkatan risiko gangguan

kognitif dan demensia karena perubahan neurodegeneratif akibat hipoperfusi otak.


(Wreksoatmodjo, 2014)

2) Diabetes melitus di usia pertengahan meningkatkan risiko mild cognitive

impairment,semua jenis demensia dan demensia vaskuler,meskipun penemuan

Curb dkk (1999) tidak menyokong.Studi kasus-kontrol menunjukkan bahwa

peningkatan risiko dipengaruhi oleh onset yang lebih dini, lama dan beratnya

diabetes.Manfaat kontrol gula darah terhadap risiko demensia masih belum dapat

dipastikan. Studi observasional mendapatkan para diabetik yang diobati lebih

sedikit yang turun fungsi kognitifnya dibandingkan dengan yang tidak

27
diobati.Mekanisme hubungan diabetes melitus dengan demensia belum diketahui

pasti; agaknya melibatkan beberapa proses yang saling berkaitan: proses vaskular,

metabolik dan proses oksidatif/inflamasi.Diabetes menyebabkan gangguan sistem

pembuluh darah, termasuk di otak; gangguan ini bisa menyebabkan iskemi

menghasilkan lesi subkortikal di substansia alba, silent infarcts, dan atrofi yang

pada MRI terlihat lebih sering dan berat di kalangan penderita diabetes.Diabetes

lebih dikaitkan dengan risiko demensia vaskuler dibandingkan dengan demensia

Alzheimer.55 Metabolisme Abeta56 dan tau-protein57 yang membentuk plak dan

kekusutan neuron di otak juga dapat dipengaruhi oleh kadar insulin.


(Wreksoatmodjo, 2014)

3) Aritmi Jantung Kejadian fi brilasi atrium dikaitkan dengan gangguan fungsi

kognitif maupun demensia, terutama di kalangan perempuan dan usia <75

Tahun,fibrilasi atrium permanen pada usia lanjut dikaitkan dengan nilai MMSE

yang lebih rendah ,mungkin disebabkan oleh lesi iskemik akibat

mikroemboli,tetapi fibrilasi atrium sering disertai dengan payah jantung yang

menurunkan cardiac output dan penyakit lain seperti diabetes melitus yang juga

merupakan factor resiko gangguan kognitif.


(Wreksoatmodjo, 2014)

 Nutrisi

1) Mikronutrien : Vitamin B6, B12 dan asam folat dapat mengurangi risiko

gangguan kognitif dan demensia karena mengurangi peningkatan kadar

homosistein plasma, homosistein diketahui dapat menyebabkan perubahan

patologi melalui mekanisme vaskuler dan neurotoksik langsung.Suplementasi B12

28
hanya menguntungkan kalangan defisiensi B12, yang lebih sering ditemukan di

kelompok lanjut usia karena gangguan absorbsi akibat kondisi gastrik dan

masalah pencernaan lain.Tetapi Kwok dkk (2008) mendapatkan bahwa

suplementasi B12 selama 10 bulan tidak memperbaiki fungsi kognitif di kalangan

demensia yang defisiensi B12. Mengingat radikal bebas dan kerusakan oksidatif

juga diduga berperan pada kelainan otak yang berhubungan dengan usia,asupan

antioksidan (misalnya vitamin C dan E) diharapkan bisa mengurangi risiko

gangguan kognitif dan demensia; tetapi laporannya masih saling bertentangan.

Vitamin C dan E dari diet dan suplemen diasosiasikan dengan penurunan risiko

AD.konsumsi buah dan sayuran di usia pertengahan juga menurunkan risiko AD

dan demensia.Tetapi ada studi yang tidak menemukan asosiasi antara penggunaan

zat antioksidan di usia pertengahan maupun di usia lanjut dengan kejadian

demensia. Asupan lebih tinggi polifenol dari sari buah dan sayuran dan flavonoid

dari buah, sayuran, anggur merah dan teh diasosiasikan dengan penurunan risiko

demensia dan Alzheimer. Coklat dan kakao juga mengandung flavonoid tinggi

telah terbukti memperbaiki kesehatan kardiovaskuler melalui mekanisme

menurunkan tekanan darah,meningkatkan sensitivitas insulin,menurunkan LDL

dan kolesterol,menurunkan reaktivitas platelet,memperbaiki fungsi endotel dan

menurunkan inflamasi yang potensiil mempengaruhi kesehatan otak dan fungsi

kognitif. Mekanisme perlindungan antioksidan terhadap penurunan kognitif dan

demensia dapat berupa: meningkatkan cadangan otak,mengurangi kejadian

penyakit serebrovaskuler,mengurangi stres oksidatif dan infl amasi yang

29
berkontribusi pada proses penuaan dan proses patologi yang dikaitkan dengan
(Wreksoatmodjo, 2014)
demensia.

2) Makronutrien yang dikaitkan dengan demensia ialah lemak. Ada asosiasi antara

asupan lemak di usia pertengahan berasal dari olesan roti dan susu dengan risiko

demensia dan Alzheimer (AD) 21 tahun kemudian asupan moderat (dibandingkan

dengan asupan rendah) lemak total dan lemak takjenuh (misal mentega, margarin)

diasosiasikan dengan penurunan risiko demensia dan AD, sedangkan asupan

moderat lemak jenuh dari olesan roti diasosiasikan dengan peningkatan

risiko.Orang yang mengkonsumsi ikan sedikitnya 1 kali/minggu 60% lebih kurang

berisiko menderita Alzheimer dibandingkan dengan mereka yang tak

pernah/jarang mengkonsumsi ikan.Satu studi acak terkontrol atas pengaruh

minyak ikan (sumber asam lemak tak jenuh termasuk EPA dan DHA) terhadap

fungsi kognitif tidak menghasilkan efek pada usia lanjut, tetapi ada sedikit efek

untuk beberapa aspek atensi di antara APOEe4 carrier dan pria.Peranan lemak

pada fungsi kognitif dan demensia diduga melalui kolesterol, sedangkan studi di

tikus menunjukkan kemungkinan peranannya dalam deposisi amiloid.Konsumsi

kafein lebih tinggi dilaporkan mengurangi risiko penurunan kognitif di kalangan

perempuan, menurunkan risiko demensia; juga dikaitkan dengan penurunan risiko

demensia Alzheimer pada studi retrospektif yang mengukur konsumsi kafein

selama 20 tahun sebelum penilaian. Efek menguntungkan kafein mungkin melalui

mekanisme penurunan produksi Abeta110 atau dengan meningkatkan kadar

protein otak yang penting dalam proses mengingat dan belajar seperti BDNF.
(Wreksoatmodjo, 2014)

30
 Gaya Hidup (Merokok dan alcohol)

1) Merokok

Studi awal hubungan merokok dengan risiko demensia menunjukkan efek

protektif, tetapi studi longitudinal mendapatkan bahwa efek tersebut disebabkan

oleh survivor bias- lebih sedikit kalangan perokok yang mencapai usia berisiko

demensia. Pada studi atas pria Jepang-Amerika, risiko gangguan kognitif lebih

besar di kalangan perokok dan mantan perokok dibandingkan dengan yang tak

pernah merokok,dan risiko AD lebih besar di kalangan perokok sedang dan berat

dibandingkan dengan perokok ringan.Metaanalisis asosiasi merokok dengan

demensia dan penurunan kognitif di studi prospektif lain menunjukkan bahwa

perokok aktif meningkat risiko demensia dan penurunan kognitifnya

dibandingkan dengan yang tak pernah merokok; perbedaan risiko tidak pernah

merokok dan mantan perokok masih belum jelas karena masalah variasi di antara

studi.Asupan nikotin – zat adiktif utama dalam rokok – dapat menguntungkan

fungsi kognitif, terutama atensi, belajar dan daya ingat (memori) dengan

memfasilitasi pelepasan asetilkholin, glutamat, dopamin, norepinefrin, serotonin

dan GABA,tetapi terpapar asap tembakau jangka panjang terbukti meningkatkan

risiko gangguan kognitif dan demensia di kemudian hari, termasuk peningkatan

infark otak silent, intensitas massa alba, kematian neuron dan atrofi subkortikal.

Merokok juga menurunkan kadar antioksidan penangkap radikal bebas dalam

sirkulasi, meningkatkan respons infl amasi dan mengarah ke aterosklerosis yang

mempengaruhi permeabilitas sawar darah-otak, aliran darah otak dan metabolisme

31
otak.Merokok juga langsung mempengaruhi patologi demensia dengan
(Wreksoatmodjo, 2014)
meningkatkan jumlah plak.

2) Alkohol

Kebanyakan studi terdahulu terpusat pada efek negatif konsumsi alkohol

berlebihan; tetapi konsumsi alkohol ringan dan moderat – dibandingkan dengan

abstinensi dan konsumsi alkohol berat – dapat menguntungkan kesehatan kognitif,

termasuk lebih kecilnya penurunan beberapa domain kognitif.Suatu meta analisis

atas asosiasi prospektif penggunaan alkohol dengan penurunan kognitif dan

demensia (termasuk Alzheimer dan demensia vaskuler) menyimpulkan bahwa

konsumsi ringan sampai moderat diasosiasikan dengan penurunan risiko

demensia; risiko demensia vaskuler dan penurunan kognitif juga menurun tetapi

tidak bermakna.Studi konsumsi alkohol di usia pertengahan juga menunjukkan

efek protektif konsumsi alkohol moderat. Lebih lanjut, ditemukan hubungan U-

shape dan modifi kasi efek oleh ApoEe4 alel di populasi Finlandia selama 23

tahun follow up.Mehlig dkk (2008) melaporkan bahwa konsumsi anggur (wine)

yang lebih sering, tetapi bukan spirit dan bir, di usia pertengahan dikaitkan dengan

insiden demensia yang lebih rendah 34 tahun kemudian di kalangan perempuan

Swedia. Studi ini dan lainnya mendapatkan bahwa keuntungan konsumsi alkohol

moderat lebih besar atau terbatas di kalangan perempuan, tetapi studi lain tidak

menemukan hal tersebut.Berlawanan dengan efek buruknya pada pemakaian akut

dan kronis, konsumsi alkohol moderat agaknya menguntungkan kesehatan.

Mekanismenya mungkin melalui penurunan beberapa faktor risiko kardiovaskuler

seperti meningkatkan HDL kolesterol, memperbaiki sensitivitas insulin dan

32
menurunkan reaksi infl amasi, tekanan darah, faktor pembekuan darah,

homosistein plasma, hiperintensitas massa alba dan infark subklinis. Mekanisme

potensial lainnya termasuk meningkatnya pergaulan sosial yang dapat

meningkatkan cadangan otak, efek antioksidan dan flavonoid antiamiloidogenik

yang terkandung dalam anggur merah dan upregulasi asetilkholin hipokampus.


(Wreksoatmodjo, 2014)

 Trauma

Trauma kepala secara langsung mencederai struktur dan fungsi otak, dan dapat

mengakibatkan gangguan kesadaran, kognitif dan tingkah laku.Studi kohort

mendapatkan bukti kuat bahwa riwayat cedera kepala meningkatkan risiko

penurunan fungsi kognitif,risiko demensia dan AD sesuai dengan beratnya

cedera.Riwayat cedera kepala disertai kesadaran menurun meningkatkan risiko

AD 10 kali lipat, sedangkan jika tanpa penurunan kesadaran risikonya 3 kali

lipat;selain itu mulatimbul Alzheimer lebih dini jika ada riwayat hilang kesadaran

lebih dari 5 menit.Sebuah studi kasus kontrol juga menunjukkan risiko Alzheimer

meningkat dalam 10 tahun pertama setelah cedera kepala.Mekanismenya

dianggap melalui kerusakan sawar darah-otak, peningkatan stres oksidatif dan


(Wreksoatmodjo, 2014)
hilangnya neuron.

 Obesitas

Mengingat obesitas erat hubungannya dengan hipertensi, kolesterol tinggi, dan

diabetes melitus, beberapa studi mencoba mencari hubungannya dengan

33
demensia. Hasilnya tidak konsisten - studi pada kelompok usia pertengahan

umumnya menunjukkan peningkatan risiko;sebaliknya, studi di usia lanjut

menunjukkan penurunan risiko AD.Mungkin ada situasi lain dengan asosiasi

nonlinear – adipositas di usia pertengahan meningkatkan risiko, kemudian

terdapat perubahan patofi siologi berkaitan dengan demensia yang (juga)

menurunkan indeks massa tubuh. Mekanisme yang paling jelas ialah melalui

peningkatan risiko hipertensi, diabetes dan hiperkolesterolemi;tetapi perbaikan

factor-faktor tersebut ternyata tidak mengurangi asiosiasinya,menandakan

kemungkinan obesitas secara independen berisiko demensia. Mekanismenya bisa

akibat efek jaringan adiposa yang mensekresi beberapa sitokin, hormon dan faktor

pertumbuhan yang menembus sawar darah otak mengingat jaringan adiposa

diketahui merupakan jaringan endokrin aktif. Disregulasi hormon leptin

bersamaan dengan proses penuaan dapat secara langsung mempengaruhi

degenerasi Alzheimer dengan meningkatkan deposisi Abeta di jaringan otak.


(Wreksoatmodjo, 2014)

C. KONSEP OBESITAS

1. Pengertian Obesitas

Obesitas merupakan penumpukan lemak yang berlebihan akibat

ketidakseimbanganasupan energi (energi intake) dengan energi yang digunakan


(Sulistyowati et al., 2015).
(energi expenditure) dalam waktu lama

Obesitas adalah suatu kelainan yang ditandai dengan adanya

penimbunan secara berlebihan jaringan lemak dalam tubuh. Hal ini dapat

34
terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan energi
(Saraswati et al., 2021)
yang keluar.

Dari kedua Pengertian diatas disimpulkan bahwa obesitas adalah

penumpukan lemak yang berlebihan akibat ketidakseimbangan antara energi yang

masuk dengan energi yang keluar

2. Penentuan Obesitas

Penentuan obesitas ditegakkan berdasarkan anamnesis (wawancara), pemeriksaan

antropometri, dan deteksi dini komorbiditas yang dibuktikan dengan pemeriksaan

penunjang terkait.

a) Melakukan penilaian secara visual dan anamnesis

Anamnesis (wawancara) terkait obesitas untuk mencari tanda atau gejala yang

dapat membantu menentukan apakah seseorang mengalami atau berisiko obesitas:

1) Adanya keluhan seperti mendengkur (snoring) dan nyeri pinggul

2) Gaya hidupyaitu pola/kebiasaan makan dan aktivitas fisik (baik di rumah, sekolah,

kantor, transportasi ke tempat kerja, waktu luang)

3) Riwayat keluarga yaitu orang tua dengan kelebihan berat badan dan obesitas.

4) Riwayat mengonsumsi obat-obatan seperti obat untuk menggemukkan badan,

terapi hormonal tertentu, steroid, dll.

5) Riwayat sosial/psikologis misalnya stres.

6) Riwayat berat badan sebelumnya.

(Sulistyowati et al., 2015)

35
b) Pemeriksaan Antropometri

Pengukuran Indeks Massa Tubuh atau IMT adalah Pengukuran berat badan dan

tinggi badan dilakukan untuk mendapatkan nilai IMT yang nantinya digunakan
(Sulistyowati et al., 2015)
dalam menentukan derajat obesitas.

Adapun rumus yang digunakan untuk mengukur IMT adalah sebgai berikut :

Indeks Massa Tubuh =


Berat Badan(Kg)
Tinggi Badan( M 2)
2.1 Tabel perhitungan indeks massa tubuh (IMT)

Sumber : Buku Pedoman Obesitas (Sulistyowati dkk., 2015)

WHO menetapkan angka cut off >29 untuk kategori obesitas pada LANSIA

dewasa lanjut usia.

Tabel 2.2 Status Gizi IMT (Kg/m2) Tabel

klasifikasi Berat badan kurang <18,5 nilai

obesitas
(Underweight)
berdasarkan IMT

Sumber : Berat badan normal 18,5-25


Redefining
Kelebihan berat badan 26-29
Obesity WHO
(overweight)
Western

Pacific Obesitas ≥29


Region, 2000

Pengukuran IMT ini tidak dapat dilakukan pada orang hamil, binaragawan,
(Sulistyowati et al., 2015)
edema, dan ascites.

36
c) Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dilaksanakan adalah pemeriksaan tekanan darah dan

denyut nadi. Pemeriksaan fisik ditujukan untuk mengetahui adanya kondisi medis

lain yang menyertai obesitas, sedangkan pemeriksaan tekanan darah untuk

mengetahui adanya hipertensi, dan pemeriksaan denyut nadi untuk mengetahui


(Sulistyowati et al., 2015)
ada tidaknya aritmia (gangguan irama jantung).

d) Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan penunjang yang sering digunakan untuk penentuan obesitas adalah

analisis komposisi tubuh. Untuk analisis ini memerlukan alat khusus yaitu body
(Sulistyowati et al., 2015)
composititon analyzer.

2) Untuk melihat komorbiditas penyakit yang disebabkan oleh obesitas dibutuhkan

pemeriksaan laboratorium yang mencakup pemeriksaan glukosa darah puasa,

kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, trigliserida, SGOT, SGPT, asam
(Sulistyowati et al., 2015)
urat, dan HbA1c

3. Etiologi

a) Faktor Genetik

Faktor genetik adalah faktor keturunan yang berasal dari orang tuanya. Menurut

penelitian, anak-anak dari orang tua yang mempunyai berat badan normal ternyata

mempunyai 10% risikoobesitas. Bila salah satu orang tuanya menderita obesitas,

maka peluang itu meningkat menjadi 40–50%. Dan bila kedua orang tuanya

menderita obesitas maka peluang faktor keturunan menjadi 70–80% (Purwati,

2001). Berdasarkan penelitian Nugraha 2010, pencetus obesitas dari faktor genetik

37
30%, namun demikian faktor keturunan sebenarnya belum terlalu jelas sebagai
(Sulistyowati et al., 2015)
penyebab obesitas.

b) Faktor lingkungan

1) Pola makan mencakup jumlah, jenis, jadwal makan, dan pengolahan bahan

makanan. Jumlah asupan energi yang berlebih secara kronis akan menyebabkan

kelebihan berat badan dan obesitas. Jenis makanan dengan kepadatan energi yang

tinggi (banyak mengandung lemak, gula, serta kurang mengandung serat) turut

menyebabkan ketidakseimbangan energi (Gibney, 2009). Jadwal makan yang

tidak teratur, tidak sarapan, dan suka mengemil sangat berhubungan dengan

kejadian obesitas. Teknik pengolahan makanan dengan menggunakan minyak

yang banyak, santan kental, dan banyak gula berisiko terhadap peningkatan
(Sulistyowati et al., 2015)
asupan energi.

2) Pola Aktivitas Fisik, pola aktivitas fisik sedentary (kurang gerak) menyebabkan

energi yang dikeluarkan tidak maksimal sehingga meningkatkan risiko obesitas.

Beberapa hal yang mempengaruhi berkurangnya aktivitas fisik antara lain adanya

berbagai fasilitas yang memberikan berbagai kemudahan yang menyebabkan

aktivitas fisik menurun. Faktor lainnya adalah adanya kemajuan teknologi

diberbagai bidang kehidupan yang mendorong masyarakat untuk menjalani

kehidupan yang tidak memerlukan kerja fisik yang berat. Hal ini menjadikan

jumlah penduduk yang melakukan pekerjaan fisik sangat terbatas menjadi


(Sulistyowati et al., 2015)
semakin banyak

c) Faktor Obat-obatan dan Hormonal

1) Obat-obatan

38
Obat-obatan jenis steroid yang sering digunakan dalam jangka waktu yang lama

untuk terapi asma, osteoartritis dan alergi dapat menyebabkan nafsu makan yang

meningkat sehingga meningkatkan risiko obesitas. Obat-obatan yang mengandung

hormon untuk meningkatkan kesuburan dan sebagai alat kontrasepsi berisiko

menyebabkan penumpukan lemak dalam tubuh sehingga dapat menimbulkan


(Sulistyowati et al., 2015)
obesitas

2) Hormonal.

Hormonal yang berperan dalam kejadian obesitas antara lain adalah hormon

leptin, ghrelin, tiroid, insulin dan estrogen. Hormon leptin yang dihasilkan oleh

sel lemak berfungsi sebagai pemberi sinyal berhenti makan. Leptin tidak berfungsi

pada resistensi insulin walaupun kadar leptinnya tinggi. Kurang tidur juga

meningkatkan kadar kortisol yang berdampak pada resistensi leptin sehingga sulit

untuk berhenti makan. Hormon leptin mempunyai peran dalam mengontrol nafsu

makan. Jika jumlahnya rendah maka seseorang sulit merasakan kenyang sehingga

keinginan makan menjadi lebih. Hormon ghrelin mempunyai peran meningkatkan

nafsu makan. Jika jumlahnya tinggi maka seseorang mempunyai nafsu makan

yang meningkat. Hormon estrogen mempunyai peran dalam metabolisme energi,

jika jumlah estrogen berkurang terutama pada wanita menopause maka akan

mengalami penurunan metabolisme basal tubuh, sehingga mempunyai


(Sulistyowati et al., 2015)
kecenderungan untuk meningkat berat badannya

Hormon insulin bersifat anabolik dan menfasilitasi masuknya glukosa dalam sel

otot dan lemak. Jika asupan tinggi karbohidrat maupun lemak (densitas energi

tinggi) akan menstimulasi insulin sehingga memfasilitasi energi tinggi tersebut

39
menjadi lemak terutama lemak visceral. Dengan membesarnya sel lemak visceral,

akan meningkatkan derajat peradangan (chronic low grade inflamation), yang


(Sulistyowati et al., 2015)
berdampak pada resistensi insulin

D. Hubungan Obesitas dengan Risiko Demensia

Menurut penelitian (Ma et al., 2020) bahwa kelebihan berat badan atau

obesitas dikaitkan dengan tingkat kejadian demensia yang lebih tinggi,Peneliti

menemukan kejadian demensia yang lebih tinggi terlebih pada lansia wanita

dengan obesitas.

Patofisiologi yang mendasari kejadian demensia pada individu obesitas

belum jelas terungkap.Penelitian menunjukan bahwa kelebihan berat badan atau

obesitas dikaitkan dengan tingkat risiko kejadian demensia yang lebih tinggi,

Penelitian lain menyebutkan banyak faktor yang menghubungkan antara obesitas

dengan risiko demensia di antaranya termasuk kondisi komorbid yang timbul dari

obesitas seperti resistensi insulin diabetes, hipertensi dan penyakit kardiovaskular

yang memiliki konsekuensi negatif pada otak. BMI yang tinggi meningkatkan

risiko demensia karena senyawa hormonal bioaktif yang disekresikan oleh


(Anjum et al., 2018)
jaringan adiposa.

Mekanisme potensial yang menghubungkan obesitas dengan penyakit


demensia yang ditandai dengan menurunnya fungsi kognitif meliputi
hyperinsulinemia,advanced glycosylation products,hormon turunan adiposity
(Adipokin dan Cytokines),dan pengaruh lemak pada resiko penyakit vascular dan
serebrovaskular. (Luchsinger & Gustafson, 2009)
a) Hiperinsulinemia

40
Salah satu konsekuensi utama dari obesitas adalah resitensi insulin dan
hyperinsulinemia.Insulin dapat melewati sawar darah dari perifer ke system saraf
pusat dan bersaing dengan Aß(Amyloid ß) untuk enzim penurun insulin ( Insulin
Degrading Enzyme) dalam otak,termasuk pada hippocampus.Insulin juga
diproduksi dalam otak ,dan mungkin memiliki efek yang bermanfaat pada
pembersihan amyloid.Hiperinsulinemia perifer dapat menghambat produksi
insulin otak yang akan mengganggu pembersihan amyloid dan tingginya resiko
penyakit demensia (Luchsinger & Gustafson, 2009)
b) Advanced glycosylation end products (AGEs)
AGEs merupakan hasil dari terganggunya toleransi glukosa dan diabetes ,yang
mana sering mendampingi atau mengikuti tingginya lemak dan bertanggung
jawab terhadap kerusakan akhir organ.AGEs dapat diidentifikasi secara
immunohistochemically dalam plak senile dan kekusutan neurofibrialis sebgai
penanda utama dari penyakit demensia.Selanjutnya ,reseptor AGEs telah
ditemukan pada permukaan spesifik reseptor untuk Amyloid ß .Sehingga secara
potensial memfasilitasi keruakan neuron. (Luchsinger & Gustafson, 2009)
c) Adipokin dan Cytokines
Jaringan lemak aktif menghasilkan rangkaian substansi yang penting dalam peran
metabolisme (adipokin),dan proses inflamasi (cytokines).Adipokin meliputi
adiponectin,leptin,dan resistin dan cytokines yang meliputi Tumor Necrosis
factor-α dan interleukin-6 (IL-6).Semuanya berhubungan dengan resistensi insulin
dan hyperinsulinemia (Luchsinger & Gustafson, 2009) .Peran cytokine seperti IL-6
berhubungan dengan penurunan kognitif dan meningkatkan risiko demensia yang
berpengaruh secara langsung terhadap pembuluh darah atau dapat melewati sawar
darah otak dan mengganggu homeostatis dalam otak dimana individu dengan
obesitas memiliki level cytokine lebih tinggi daripada individu dengan berat
normal

d) Faktor risiko vascular dan penyakit serebrovaskular


Penyakit serebrovaskuler dan stroke berhubungan dengan tingginya risiko dari
penyakit Alzheimer.Belum jelas bagaimana aksi langsung penyakit

41
serebrovaskuler pada amyloid.Penyakit serebrovaskuler mungkin menyebabkan
kerusakan otak sebagai tambahan dalam toksisitas neuro
amyloid.Obesitas ,hyperinsulinemia,dan diabetes serta factor risiko vascular
seperti hipertensi dan dyslipidemia berhubungan dengan tingginya risiko penyakit
serebrovaskuler.Oleh karena itu,obesitas mungkin mempengaruhi penurunan
fungsi kognitif secara tidak langsung melalui factor risiko vascular dan penyakit
serebrovaskuler (Luchsinger & Gustafson, 2009)

E. Kerangka Teori

Populasi Masyarakat

Lansia Bayi,anak,remaja,dewasa
Tanda & gejala :
 Kesulitan dalam berbahasa
Resiko Kejadian Demensia  Mengalami kemunduran
Karakteristik :
daya ingat secara bermakna
Usia,Jenis Kelamin
 Disorientasi waktu dan
tempat
Faktor Risiko :  Sering tersesat ditempat
yang biasa dikenal
 Usia  Kesulitan membuat
Obesitas
 Gender keputusan
 Genetik  Kehilangan minat dalam
hobi dan aktivitas
 Status Kesehatan
Formulir isian berat badan,tinggi badan,dan hasil
 Nutrisi
perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT)
 Gaya Hidup
 Trauma
 Obesitas
YA, OBESITAS TIDAK, OBESITAS
KUESIONER Mini Mental State
IMT ≤29
IMT ≥29 Examination (MMSE)
Terdiri dari 11 pertanyaan
dengan Aspek;

1. Atensi dan konsentrasi TIDAK YA,Berisi


Menghambat produksi 2. Orientasi Berisiko ko hasil
insulin otak 3. Bahasa hasil skor skor
4. Memori MMSE : MMSE :
5. Visuospasial 24-30 <24
42
6. Fungsi eksekutif
7. Kalkulasi
Skema 2.1 Kerangka Teori

Sumber : Blondell (2014),FRICK ET AL (2009),Heather et al (2012),Kawamura et al (2012),Luchsinger et al

(2009),Novak & Ilhab (2010),Pinilla & Charles (2013),Wu et al (2011),Yao et al (2009).

F. KERANGKA KONSEP

Penelitian ini mengkaji dua variable yang terdiri dari satu variable bebas

(independent) yakni obesitas serta satu variable terikat (dependen) yakni Risiko

demensia pada lansia.Hubungan antara variable bebas dan terikat digambarkan

dalam kerangka konsep dibawah ini .

Variabel Independen Variabel Dependen

OBESITAS RISIKO DEMENSIA

Skema 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep penelitian tentang hubungan obesitas dengan risiko kejadian demensia pada lanjut usia di

RT 01-03 RW 07 Margamulya Bekasi

G. HIPOTESIS

43
Ho : Tidak Ada hubungan antara obesitas dengan risiko kejadian demensia pada

lanjut usia di RT 01-03 RW 07 Margamulya Bekasi

Ha : Ada hubungan antara obesitas dengan risiko kejadian demensia pada lanjut

usia di RT 01-03 RW 07 Margamulya Bekasi

BAB III
METODE PENELITIAN

A. JENIS DAN RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan studi analitik kuantitatif dengan

menggunakan metode cross sectional.Penelitian ini dilakukan pada bulan juni

hingga September tahun 2023 di wilayah RT 01-03 RW 07 Kelurahan

margamulya Kecamatan Bekasi Utara Kota Bekasi.Alasan peneliti memilih di

wilayah di RT 01 RW 07 Kelurahan Margamulya Kecamatan Bekasi Utara

sebagai lokasi penelitian karena terdapat banyak jumlah lansia dengan obesitas

yang tidak mengetahui dampak obesitas terhadap fungsi kognitif seperti

demensia,lokasi yang terjangkau dan belum pernah dilakukan penelitian tentang

44
hubungan obesitas dengan risiko kejadian demensia pada lanjut usia di tempat

tersebut.

B. POPULASI DAN SAMPEL

1. Populasi

Populasi adalah merupakan wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek/subyek

yang memiliki kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
(Siyoto & Sodik, 2015).
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya

Populasi dalam penelitian ini adalah Seluruh lanjut usia yang berada di RT 01-03

RW 07 Kelurahan Margamulya Kecamatan Bekasi Utara kota Bekasi berjumlah

152 lansia.

2. Sampel

a) Teknik Pengambilan sampel

Teknik dalam pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive

proportional random sampling. Purposive sampling menurut Sugiyono adalah

teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2012: 68).

Adapun langkah-langkah untuk mengambil subjek yang menjadi sampel ini

dilakukan dengan cara:

1) Menentukan Rukun Tetangga (RT) yang akan dijadikan tempat penelitian dengan

pertimbangan banyaknya jumlah lansia dengan obesitas di RW 07 Kelurahan

Margamulya Kecamatan Bekasi Utara Kota Bekasi

45
2) Menentukan subjek yang akan dijadikan responden dalam penelitian ini adalah

warga Kelurahan Margamulya Kecamatan Bekasi Utara Kota Bekasi dengan

kriteria laki-laki dan perempuan yang sudah berusia ≥60 tahun,tanpa penyakit

kronik. Menurut Suharsimi Arikunto (2010: 95), jika peneliti mempunyai

beberapa ratus subjek dalam populasi, mereka dapat menentukan kurang lebih 25-

30% dari jumlah subjek tersebut. Jika jumlah anggota subjek dalam populasi

hanya meliputi antara 100 hingga 150 orang, dan dalam pengumpulan data

peneliti menggunakan angket, sebaiknya subjek sejumlah itu diambil seluruhnya.

Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sampel yang memenuhi kriteria secara

acak sebanyak 40% dari tiap-tiap RT (Rukun Tetangga) dimana terdapat lansia

obesitas tanpa penyakit kronik. Dalam proportional random sampling, penentuan

anggota sampel peneliti mengambil wakil-wakil dari tiap-tiap kelompok yang ada

dalam populasi yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah anggota subjek yang

ada dalam masing-masing kelompok tersebut (Suharsimi Arikunto, 2007:98).

3) Sampel

Sampel merupakan sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasinya, ataupun bagian kecil dari anggota populasi yang diambil menurut
(Siyoto & Sodik, 2015)
prosedur tertentu sehingga dapat mewakili populasinya . Pada

penelitian ini, sampel yang diambil dari populasi menggunakan purposive

sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan data dengan

pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2012: 218). Kriteria yang digunakan dalam

penelitian ini yaitu laki-laki dan perempuan berusia ≥60 tahun dengan obesitas

46
dan tanpa penyakit kronik di RT 01-03 RW 07 Kelurahan Margamulya Bekasi

pada bulan Mei 2023 didapatkan jumlah sampel lanjut usia dengan obesitas dan

tanpa penyakit kronik sebanyak 35 lansia.

C. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah RT 01-03 RW 07 Kelurahan Margamulya

Kecamatan Bekasi Utara Kota Bekasi pada Bulan juni-September Tahun 2023.

D. Variabel Penelitian

Variabel Penelitian Variabel bebas (Independent Variable) dan variabel terikat

(Dependent Variable) pada penelitian ini ditentukan sebagai berikut:

1. Variabel Bebas (Independent Variable)

Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab

perubahannya atau timbulnya variabel terikat. Dalam penelitian ini, yang menjadi

variabel bebas adalah Obesitas

2. Variabel Terikat (Dependent Variable)

Variabel terikat adalah variabel yang di pengaruhi atau yang menjadi akibat,

karena adanya variabel bebas. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikat

adalah Risiko Kejadian Demensia.

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Operasional Ukur

1 Obesitas Nilai yang Pengukurang -timbangan berat Indeks massa tubuh ordinal

diambil menggunakan alat badan dengan dalam kg/m2 dengan

47
melalui hasil bantu hitung ketelirian 0,1 kg kriteria

perbandingan kalkulator dengan -alat pengukur tinggi kurus IMT <18

berat badan membagi nilai berat badan dengan normal IMT 18,5-25

(kg) badan (kg) dengan ketelitian 0,1cm overweight IMT 26-

responden tinggi badan 29

dengan tinggi responden (m2) obesitas IMT >29

badan (m2)

responden

2. Risiko Kemampuan Memberikan -kuesioner paten Skor fungsi kognitif

Demensia responden pertanyanyaan sesuai MMSE (Mini Mental diperoleh, Analisa

yang terdiri State) Skor tertinggi : 30 bivariat

dari aspek -kuesioner ini terdiri Skor terendah : 0 (rasio)

atensi dan dari 11 item

konsentrasi,or pertanyaan Dengan kriteria

ientasi,Bahasa Tidak Berisiko

,memori,visuo Demensia skor 24-30

spasial,fungsi Berisiko demensia

eksekutif,dan skor <24

kalkulasi

E. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Tabel Definisi Operasional

Salah satu unsur yang membantu komunikasi antar penelitian adalah definisi

operasional, yaitu merupakan petunjuk tentang bagaimana suatu variabel diukur.

Dengan membaca definisi operasional dalam suatu penelitian, seorang peneliti

akan mengetahui pengukuran suatu variabel, sehingga peneliti dapat mengetahui


(Siyoto & Sodik, 2015)
baik buruknya pengukuran tersebut.

48
F. Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini yakni data primer. Data primer

adalah data atau informasi utama yang berhubungan langsung dengan obyek

penelitian yang diperoleh langsung dari sumber utama obyek penelitian,Data

primer juga diartikan data utama yang diperoleh dari sumber utama dalam

penelitian ini yaitu responden.

G. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei-September Tahun 2023.Data

yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh melalui

wawancara dengan menggunakan kuesioner mengenai fungsi kognitif dan

pengukuran indeks massa tubuh serta lingkar pinggang pada lansia.Terdapat

beberapa tahap yang dilakukan dalam pengambilan data dalam penelitian

ini,yakni:

1. Setelah proposal penelitian disetujui oleh pengguji,peneliti mengajukan surat

permohonan izin penelitian ke Prodi Keperawatan STIKes Medistra Indonesia

2. Peneliti menyerahkan surat permohonan izin penelitian kepada pihak Kelurahan

Margamulya untuk pembuatan surat rekomendasi penelitian ke pihak Ketua RT

01-03 dan Ketua RW 07 Kelurahan Margamulya Kecamatan Bekasi Utara Kota

Bekasi

3. Setelah persyaratan izin penelitian dan proposal penelitian disetujui dan surat

rekomendai penelitian selesai dibuat kemudian surat rekomendasi penelitian

diserahkan kepada pihak Ketua RT 01-03 dan Ketua RW 07 Kelurahan

Margamulya Kecamatan Bekasi Utara Kota Bekasi.

49
4. Pihak Ketua RT dan RW menerima dan menyetujui ,selanjutnya peneliti

melakukan koordinasi dengan Kader desa untuk mendapatkan calon responden

sesuai dengan kriteria inklusi

5. Setelah mendapatkan calon responden sesuai dengan kriteria yang telah

ditentukan,peneliti menjelaskan tujuan dan manfaat serta informasi berkaitan

dengan penelitian,selanjutnya responden diberikan lembar persetujuan untuk

menjadi responden.

6. Setelah responden menandatangani lembar persetujuan,responden mengisi

kuesioner data demografi kemudian dilakukan pengukuran berat badan,tinggi

badan.Selanjutnya responden mengisi kuesioner MMSE dibantu dengan

wawancara oleh peneliti.

7. Hasil pengukuran berat badan,tinggi badan ,lingkar pinggang serta kuesioner

MMSE yang telah terisi selanjutnya diolah dan dianalisis oleh peneliti

H. Instrumen Penelitian

Peneliti menggunakan Lembar isian data responden dan hasil pengukuran

IMT,serta instrument penelitian berupa Instrumen Test untuk memperoleh data

atau informasi dari responden.Instrumen Test adalah berupa serentetan

pertanyaan, lembar kerja, atau sejenisnya yang dapat digunakan untuk mengukur

pengetahuan, keterampilan, bakat, dan kemampuan dari subjek penelitian


(Siyoto & Sodik, 2015)

Instrumen pengumpulan data terdiri dari 3 bagian,yaitu :

50
1. Bagian A : Berupa pertanyaan mengenai data demografi responden yang terdiri

dari inisial responden ,usia,dan jenis kelamin .

2. Bagian B : Berupa hasil gambaran obesitas pada responden yang meliputi Hasil

pengukuran IMT yang didapat melalui hasil pembagian dari berat badan dalam

kilogram (kg) tinggi badan (m2),Indeks Massa Tubuh (IMT) (Kg/m2).

3. Bagian C : Berupa instrumen Test Mini Mental State Examination

(MMSE).MMSE merupakan metode pemeriksaan untuk menilai fungsi kognitif

dan telah banyak digunakan oleh para klinisi untuk praktek klinik maupun

penelitian.MMSE diperkenalkan oleh Folstein tahun 1975,MMSE digunakan

secara luas sebagai pemeriksaan yang sederhana dan cepat untuk mencari

kemungkinan munculnya deficit kognitif sebagai tanda demensia (Kaplan et


Cahyaningrum, 2015
al,1997,dalam ).

MMSE terdiri dari 11 pertanyaan tentang: orientasi waktu, orientasi tempat,

regristasi, kalkulasi dan perhatian, mengingat, bahasa (penamaan benda,

pengulangan kata, perintah tiga langkah, perintah menutup mata, perintah menulis

kalimat, perintah menyalin gambar/ kemampuan visuospasial). Jumlah skor

maksimal adalah 30 (tiga puluh)..Adapun penilaian fungsi kognitif berdasarkan

skor MMSE adalah sebagai berikut :

Skor MMSE Fungsi kognitif

24-30 Tidak Berisiko Demensia

<24 Berisiko Demensia

Tabel 3.2 Penilaian skor demensia menggunakan MMSE

51
Sumber :
Panduan Praktik Klinik Diagnosis dan Penatalaksanaan Demensia (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2015)

I. UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS

1. Uji validitas

Validitas merupakan uji coba pertanyaan penelitian dengan tujuan untuk melihat

sejauh mana responden mengerti akan pertanyaan yang dajukan peneliti


(Hafni Sahir, 2021)
.Di Indonesia instrument MMSE telah di uji validitasnya oleh
(Widia Komala et al., 2021)
didapatkan hasil uji validitas MMSE didapatkan nilai r:

0.776 lebih tinggi dari nilai p (0,001) sehingga dinyatakan kuesioner MMSE

valid.

2. Reliabilitas

Reliabilitas adalah menguji kekonsistenan jawaban responden. Reliabilitas

dinyatakan dalam bentuk angka, biasanya sebagai koefisien, semakin tinggi

koefisien maka reliabilitas atau konsitensi jawaban responden tinggi


(Hafni Sahir, 2021)
.

Reliabilitas untuk instrument MMSE telah diuji oleh


(Widia Komala et al., 2021)
dengan uji Pearson coefficient didapatkan uji reliabilitas MMSE nilai r:

0,827 sehingga dinyatakan kuesioner MMSE Reabel.

52
J. PENGOLAHAN DATA

Penelitian ini menggunakan Teknik pengolahan data yang meliputi :

1. Melakukan edit (Editing)

Editing merupakan upaya untuk memeriksa Kembali kebenaran data yang

diperoleh.Data perlu diedit untuk memudahkan pengolahan data selanjutnya.Hal

yang perlu diperhatikan dalam mengedit meliputi kelengkapan

pengisian,kejelasan tulisan,kejelasan makna,kesesuaian dan konsistensi antar

jawaban

2. Pemberian kode (Coding)

Coding adalah usaha memberi kode-kode tertentu pada jawaban

responden.Coding merupakan pemberian kode numerik (angka) terhadap data

yang terdiri atas beberapa kategori.

a) Usia responden

U1 : usia 60-74 tahun =lansia

U2 : usia 75-90 tahun : Lansia tua

U3 :>90 tahun : usia sangat tua

b) Jenis Kelamin

L : Laki-laki

P : Perempuan

c) Pengukuran obesitas (Indeks Massa Tubuh)

O1 :Obesitas tingkat 1

O2 :Obesitas tingkat 2

d) Pengkajian Demensia

53
TB : Tidak berisiko

B : Berisiko

3. Memasukkan data (Entry data)

Entry data adalah kegiatan memasukkan data dari kuesioner kedalam program

computer agar dapat dianalisis,kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana

atau bisa juga dengan membuat table kontingensi

4. Pengecekan Kembali data (Cleaning data)

Pembersihan data merupakan kegiatan pengecekan Kembali data yang sudah

dimasukkan kedalam computer untuk memastikan dan telah bersih dari kesalahan

sehingga data siap dianalisa.

54
K. ANALISA DATA

1. Analisis univariat

Analisis univariat merupakan analisis tiap variable yang dinyatakan dengan

menggambarkan dan meringkas data dengan cara ilmiah dalam bentuk table atau

grafik.Analisa univariat diperlukan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan data

secara sederhana.Variabel pada penelitian ini meliputi data demografi (Usia dan

jenis kelamin),gambaran antropomerti pada individu yang diukur melalui IMT

dan variable dependen (terikat) yaitu risiko kejadian demensia lanjut usia.

2. Analisis bivariat

Analisa bivariat diperlukan untuk menjelaskan hubungan dua variable yaitu antara

variable independent dengan variable dependen,yakni hubungan obesitas dengan

Risiko kejadian demensia di RT 01-03 RW 07 Kelurahan Margamulya Kecamatan

Bekasi Utara Kota Bekasi ,dimana obesitas merupakan predictor terkait risiko

penyakit yang tepat yang dihubungkan dengan demensia pada lanjut usia.

L. Etika penelitian

55
Penelitian ini dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip etika penelitian
(Hidayat, 2015)
meliputi :

1. Informed Consent

Sebelum melakukan penelitian, peneliti memberikan penjelasan kepada responden

tentang penelitian yang akan dilakukan untuk mengetahui tujuan penelitian secara

jelas. Jika responden setuju maka diminta untuk mengisi lembar persetujuan dan

menandatanganinya, dan sebaliknya jika responden tidak bersedia, maka peneliti

tetap menghormati hak - hak responden.

2. Anominity

Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, peneliti tidak mencantumkan

nama responden pada lembar kuesioner, lembar tersebut hanya diberi inisial atau

kode tertentu.

3. Confidentiality

Artinya bahwa informasi yang telah dikumpulkan dari responden dijamin

kerahasiaannya oleh peneliti. Responden diberikan jaminan bahwa data yang

diberikan tidak akan berdampak terhadap kondite dan pekerjaan. Data yang sudah

diperoleh oleh peneliti disimpan dan dipergunakan hanya untuk pelaporan

penelitian ini serta selanjutnya dimusnahkan.

DAFTAR PUSTAKA

56
Abdillah, A. (2019). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Perilaku Pencegahan Demensia
Pada Lansia.

Al-Finatunni’mah, A., & Nurhidayati, T. (2020). Pelaksanaan Senam Otak untuk Peningkatan
Fungsi Kognitif pada Lansia dengan Demensia. Ners Muda, 1(2), 139.
https://doi.org/10.26714/nm.v1i2.5666

Alzheimer Disease International (ADI). (2020). Dementia.

Anjum, I., Fayyaz, M., Wajid, A., Sohail, W., & Ali, A. (2018). Does Obesity Increase the Risk of
Dementia: A Literature Review. Cureus. https://doi.org/10.7759/cureus.2660

Badan Pusat Statistik (BPS). (2015). Data Dementia.

Cahyaningrum, N. sari. (2015). HUBUNGAN LINGKAR PINGGANG DENGAN FUNGSI KOGNITIF


PADA LANJUT USIA WANITA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA (PSTW) BUDI MULIA 1
DAN 3 JAKARTA.

Hafni Sahir, S. (2021). Metodologi Penelitian. Penerbit KBM Belajar.


www.penerbitbukumurah.com

He, W., Goodkind, D., Kowal, P., Issa, W., Almasarweh, S., Giang, T. L., Islam, M. M., Lee, S.,
Teerawichitchainan, B., & Tey, N. P. (2022). Asia Aging: Demographic, Economic, and
Health Transitions International Population Reports.

Hidayat, A. A. (2015). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: Salemba. In Ilmu


Keperawatan Dan Keperawatan.

Kemenkes RI. (2019). Prevalensi Obesitas.

Kurniasih, U., Studi, P., Keperawatan, I., Tinggi, S., Cirebon, I. K., Wahyuni, N. T., Kesehatan, I.,
Fa’riatul Aeni, C. H., Masyarakat, K., Suzana, C., Giri, I., Sekolah, M., Ilmu, T., Cirebon, K.,
& Fuadah, A. (2021). HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN DEMENSIA PADA
LANSIA. 12(2), 102. https://doi.org/10.38165/jk

Lavida, T., R, R. S., Tinggi, S., Kesehatan, I., & Kemuliaan, B. (2023). Edukasi Gizi Sehat Menuju
Lansia Berkualitas di RW.16-2 Kebon Melati Jakarta Pusat.
https://journals.upi-yai.ac.id/index.php/MediaAbdimas/issue/view/140

Luchsinger, J. A., & Gustafson, D. R. (2009). Adiposity and Alzheimer’s disease. In Current
Opinion in Clinical Nutrition and Metabolic Care (Vol. 12, Issue 1, pp. 15–21). NIH Public
Access. https://doi.org/10.1097/MCO.0b013e32831c8c71

Ma, Y., Ajnakina, O., Steptoe, A., & Cadar, D. (2020). Higher risk of dementia in English older
individuals who are overweight or obese. International Journal of Epidemiology, 49(4),
1353–1365. https://doi.org/10.1093/ije/dyaa099

Mujahidullah, K. (2012). Keperawatan Gerontik (1st ed.). Pustaka Pelajar.

57
Noor, C. & M. ,Lie. (2020). Hubungan antara aktivitas fisik dengan fungsi kognitif pada lansia.
Hubungan Antara Aktivitas Fisik Dengan Fungsi Kognitif Pada Lansia.
https://doi.org/10.18051/JBiomedKes.2020

Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. (2015). PANDUAN PRAKTIK KLINIK Diagnosis
dan Penatalaksanaan Demensia PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS SARAF INDONESIA
Januari 2015. http://www.perdossi.or.id

Saraswati, S. K., Rahmaningrum, F. D., Pahsya, M. N. Z., Paramitha, N., Wulansari, A.,
Ristantya, A. R., Sinabutar, B. M., Pakpahan, V. E., & Nandini, N. (2021). Literature
Review : Faktor Risiko Penyebab Obesitas. MEDIA KESEHATAN MASYARAKAT
INDONESIA, 20(1), 70–74. https://doi.org/10.14710/mkmi.20.1.70-74

Siyoto, S., & Sodik, M. A. (2015). Dasar Metodologi Penelitian. Literasi Media Publishing.

Sulistyowati, L. S., Andinisari, S., & dkk. (2015). PEDOMAN UMUM PENGENDALIAN OBESITAS.

WHO. (2018). Dementia.

Widia Komala, D., Novitasari, D., Kurnia Sugiharti, R., Awaludin, S., Keperawatan Program
Sarjana, P., Kesehatan, F., Harapan Bangsa, U., Keperawatan Anestesiologi Program
Sarjana Terapan, P., Kebidanan Program Diploma Tiga, P., Keperawatan, P., Ilmu-Ilmu
Kesehatan, F., & Jenderal Soedirman, U. (2021). Mini-mental State Examination Untuk
Mengkaji Fungsi Kognitif Lansia. Jurnal Keperawatan Malang, 6(2).
https://jurnal.stikespantiwaluya.ac.id/

Widiyawati, W., & Jerita, D. (2020). Keperawatan Gerontik. Literasi Nusantara.

World Health Organisation (WHO). (2019). Obesity and overweight.

Wreksoatmodjo, B. R. (2014). Beberapa Kondisi Fisik dan Penyakit yang Merupakan Faktor
Risiko Gangguan Fungsi Kognitif. http://data.

58
LAMPIRAN

59
60
PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Yang bertanda tangan dibawah ini:


Nama : Risma Yunita
NPM : 22.156.01.12.013
Pekerjaan : Mahasiswa STIKes Medistra Indonesia
Alamat : Jln Nakula No.10 RT 03 RW 07,Margamulya,Bekasi Utara,Kota
Bekasi
Bermaksud akan melakukan penelitian mengenai “Hubungan Obesitas
dengan Risiko Kejadian Demensia pada Lansia di RT 01-03 RW 07 Margamulya
Bekasi Tahun 2023”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apakah ada
hubungan obesitas dengan risiko kejadian demensia pada lansia. Manfaat dari
penelitian ini untuk menambah pengetahuan dan wawasan masyarakat,pemerintah
daerah dan perkembangan ilmu keperawatan dalam mencegah demensia pada
lansia.
Prosedur penelitian membutuhkan waktu sekitar 10-15 menit untuk
mengisi lembar isian demografi,penimbangan berat badan,tinggi
badan,perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dan pengisian kuesioner MMSE
berisikan 11 Pertanyaan yang akan diberikan oleh peneliti. Pengisian kuesioner
menggunakan lembar isian pertanyaan mengenai fungsi kognitif untuk menilai
apakah berisiko demensia atau tidak berisiko.
Penelitian ini tidak akan menimbulkan akibat yang dapat merugikan anda
sebagai responden. Kerahasiaan semua informasi akan terjaga dan dipergunakan
hanya untuk kepentingan penelitian. Apabila anda tidak bersedia menjadi
responden maka tidak ada ancaman bagi anda dan keluarga. Apabila anda
bersedia menjadi responden dalam penelitian ini, maka saya mohon kesediaannya
untuk menandatangani lembar persetujuan yang saya lampirkan dan menjawab
semua pertanyaan yang saya sertakan. Atas kesediannya menjadi responden saya
ucapkan terima kasih.
Bekasi, 10 Juni 2023
Risma Yunita

61
PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:


Nama :
Usia :
Alamat:
Menyatakan bersedia menjadi responden penelitian ini dalam keadaan sadar, jujur
dan tidak ada paksaan dalam penelitian dari:
Nama : Risma Yunita
NPM : 22.156.01.12.013
Judul : Hubungan Obesitas dengan Risiko Kejadian Demensia pada Lansia
di RT 01-03 RW 07 Margamulya Bekasi Tahun 2023.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan Obesitas dengan Risiko
Kejadian Demensia pada Lansia di RT 01-03 RW 07 Margamulya Bekasi Tahun
2023 . Prosedur ini tidak menimbulkan dampak atau resiko apapun pada resonden
penelitian. Kerahasiaan akan dijamin sepenuhnya oleh peneliti. Saya telah
menerima penjelasan terkait hal tersebut diatas dan saya telah diberikan
kesempatan bertanya terkait hal-hal yang belum dimengerti dan telah mendapat
jawaban yang jelas dan tepat.
Dengan ini saya menyatakan secara sukarela untuk ikut dalam penelitian ini
sebagai responden.

Bekasi , Agustus 2023

(………………………)

62
LEMBAR OBSERVASI
PENILAIAN MINI-MENTAL STATE EXAM (MMSE)

Pemeriksa :

Tanggal :

Initial Responden :
Jenis Kelamin :
Usia :
Item Test Nilai Nilai
Maksimal
ORIENTASI
1 Sekarang (tahun), (musim), (bulan), (tanggal), hari apa? 5 ---
2 Kita berada dimana? (negara), (propinsi), (kota), (rumah sakit), 5 ---
(lantai/kamar)
REGISTRASI
3 Sebutkan 3 buah nama benda ( jeruk, uang, mawar), tiap benda 3 ---
1 detik, pasien disuruh mengulangi ketiga nama benda tadi. Nilai
1 untuk tiap nama benda yang benar. Ulangi sampai pasien dapat
menyebutkan dengan benar dan catat jumlah pengulangan
ATENSI DAN KALKULASI
4 Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar. 5 ---
Hentikan setelah 5 jawaban. Atau disuruh mengeja terbalik kata “
WAHYU” (nilai diberi pada huruf yang benar sebelum
kesalahan; misalnya uyahw=2 nilai)
MENGINGAT KEMBALI (RECALL)
5 Pasien disuruh menyebut kembali 3 nama benda di atas 3 ---
BAHASA
6 Pasien diminta menyebutkan nama benda yang ditunjukkan 2 ---
( pensil, arloji)
7 Pasien diminta mengulang rangkaian kata :” tanpa kalau dan atau 1 ---
tetapi ”
8 Pasien diminta melakukan perintah: “ Ambil kertas ini dengan 3 ---
tangan kanan, lipatlah menjadi dua dan letakkan di lantai”.
9 Pasien diminta membaca dan melakukan perintah “Angkatlah1 ---

63
tangan kiri anda”
10 Pasien diminta menulis sebuah kalimat (spontan) 1 ---
11 Pasien diminta meniru gambar dibawah ini

SKOR 30
TOTAL

Pedoman Skor :

Jika hasil skor = 24-30 (Tidak Berisiko Demensia)

<24 (Berisiko Demensia)

Catatan: dalam membuat penilaian fungsi kognitif harus diperhatikan tingkat


pendidikan dan usia responden

Alat bantu periksa: Siapkan kertas kosong, pinsil, arloji, tulisan yang harus
dibaca dan gambar yang harus ditiru / disalin.

Contoh:

Angkatlah tangan kiri Anda

64
FORMULIR ISIAN PENILAIAN INDEKS MASSA TUBUH
(IMT)

Initial Responden
Usia
Jenis Kelamin
Berat Badan

Tinggi Badan
BB(Kg)
Hasil Perhitungan IMT (
TB(M ²)

65

Anda mungkin juga menyukai