Anda di halaman 1dari 55

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat global yang berdampak besar pada taraf kesehatan masyarakat,
serta pembangunan sosial dan ekonomi berbagai negara. Hal tersebut
dipengaruhi oleh insiden global, prevalensi, dan jumlah kematian terkait DM
yang terus meningkat setiap tahunnya (X. Lin et al., 2020). Global Burden
of Disease Study tahun 2017, menunjukkan bahwa prevalensi global DM
pada 180 negara adalah 537 juta, dan diperkirakan akan meningkat menjadi
570.9 juta pada tahun 2025. Sementara itu, prevalensi DM di Indonesia yaitu
21 juta dan dilaporkan berada pada peringkat ketiga dengan jumlah
kematian tertinggi akibat DM pada tahun 2017 setelah India dan China (X.
Lin et al., 2020).
Diabetes Melitus sebagian besar disebabkan oleh aspek genetik serta
sikap ataupun gaya hidup seorang yang tidak sehat. Tidak hanya itu, aspek
lingkungan sosial serta pemanfaatan pelayanan kesehatan juga berkontribusi
terhadap kesehatan diabetes melitus beserta komplikasinya. Diabetes melitus
ialah penyakit kronik yang tidak langsung menyebabkan kematian, namun
dapat berakibat serius jika tidak ditangani dengan baik. penatalaksanaan
diabetes melitus memerlukan penanganan multidisiplin, meliputi pengobatan
terapi non- obat dan terapi obat. International Diabetes Federation (IDF)
menyatakan bahwa terdapat 463 juta orang pada usia 20-79 tahun di dunia
menderita diabetes melitus pada tahun 2019 dengan prevalensi sebesar 9,3%
pada total penduduk pada usia yang sama. IDF memperkirakan prevalensi
diabetes, berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2019 yaitu 9% pada
perempuan dan 9,65% pada laki-laki. Prevalensi diabetes diperkirakan
meningkat seiring bertambahan umur penduduk menjadi 19.9% atau 111.2
juta orang pada umur 65-79 tahun. Angka ini diprediksikan akan terus
meningkat mencapai hingga 578 juta di tahun 2030 dan 700 juta di tahun
2045. IDF menyatakan penderita DM pada pada umur 20-79 tahun, terdapat
10 negara dengan jumlah penderita tertinggi dunia yaitu : Cina 116,4 juta
jiwa, India 77 juta jiwa, Amerika Serikat 31 juta jiwa, ketiga negara ini
menempati urutan 3 teratas pada tahun 2019. Indonesia berada di peringkat
ke 7 diantara 10 negara dengan jumlah penderita 10,7 juta jiwa (Jais, M.,
Tahlil, T., Susanti, S.S., 2019).
Penyakit DM merupakan penyakit yang menyebabkan terjadinya
berbagai komplikasi kronik, jika dibiarkan dan tidak dikelola dengan baik.
Salah satu komplikasi kronik pada pasien DM yaitu diabetic foot ulcer.
Sekitar 15%-25% pasien DM mengalami diabetic foot ulcer selama masa
hidupnya (Armstrong et al., 2017). Prevalensi diabetic foot ulcer di seluruh
dunia adalah 6,3%. Berdasarkan data dari penelitian systematic review dan
meta-analysis untuk menghitung prevalensi diabetic foot ulcer oleh Zhang et
al., (2017), didapatkan prevalensi diabetic foot ulcer di 5 benua. Amerika
Utara memiliki prevalensi tertinggi dengan 13,0% dan Oseania memiliki
prevalensi terendah yaitu 3,0%. Prevalensi di Afrika yaitu 7,2%, Asia
(5,5%) dan Eropa (5,1%) (Zhang et al., 2017).
Indonesia menduduki peringkat keempat dari sepuluh besar negara di
dunia. Prevalensi Diabetes Melitus yang terdiagnosis pada tahun 2018,
penderita terbesar berada pada kategori usia 55 sampai 64 tahun yaitu 6,3%
dan 65 sampai 74 tahun yaitu 6,03% (Riskesdas, 2018).
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pasien diabetic foot ulcer yang
menjalani amputasi minor maupun mayor membutuhkan beban biaya yang
lebih tinggi, dibandingkan dengan pasien diabetic foot ulcer yang tidak
mengalami amputasi. Jangka waktu perawatan di rumah sakit yang lebih
lama merupakan penyebab hal tersebut, karena pada umumnya pasien
membutuhkan waktu untuk pulih dari operasi, pengobatan komplikasi luka,
dan menjalani masa rehabilitasi agar Sebagai salah satu dampak dari diabetic
foot ulcer, amputasi ekstremitas bawah dilaporkan menjadi salah satu
komplikasi yang paling ditakuti dan menjadi bencana tersendiri bagi pasien.
Secara global, 80% dari amputasi ekstremitas bawah disebabkan karena
diabetic foot ulcer (Hingorani et al., 2018), sedangkan kasus amputasi
ekstremitas bawah pada penderita diabetic foot ulcer di Indonesia mencapai
angka 30% dan lebih dari satu juta orang kehilangan salah satu kakinya
akibat amputasi (Oktalia & Khotimah, 2021; Oktorina et al., 2019). pasien
dapat kembali berjalan (Syed et al., 2020).
Amputasi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh atau
sebagian anggota badan. Indeks amputasi adalah amputasi yang didapat
pertama kali atau amputasi primer (Liu et al., 2021). Amputasi ekstremitas
bawah memberikan dampak negatif pada berbagai aspek kehidupan,
meskipun tindakan ini dianggap sebagai pengobatan yang menyelamatkan
jiwa (Pedras et al., 2020). Hilangnya bagian anggota tubuh akan berdampak
pada kesejahteraan hidup pasien pasca amputasi. Berdasarkan penelitian
oleh Pedras et al., (2020) menunjukkan bahwa pasien yang telah diamputasi
memiliki tingkat kualitas hidup (QoL) yang rendah jika dibandingkan
dengan populasi pada umumya (Pedras et al., 2020).
Pasien pasca amputasi harus menghadapi perasaan kehilangan yang
berat, kehilangan bagian tubuh yang berakibat pada citra tubuh, kehilangan
mobilitas akibat ketergantungan pada alat-alat seperti kursi roda dan
prostesis, serta hilangnya kemampuan untuk mengatur aktivitas kehidupan
sehari-hari (Ghous et al., 2015). Pasien amputasi juga mengalami depresi
dan penderitaan emosional, kehilangan pekerjaan dan stres ekonomi, isolasi
sosial, perubahan peran sosial, serta perubahan dalam mobilitas akibat
kehilangan anggota tubuh (Crocker et al., 2021).
Sejalan dengan penelitian oleh Crocker et al., (2021); Ghous et al.,
(2015); dan MacKay et al., (2020), beberapa penelitian lain juga
menunjukkan bahwa pasien DM dengan amputasi mengalami nyeri phantom
limb pasca amputasi, kecacatan, penggunaan kursi roda dalam jangka waktu
yang lama, kehilangan kemandirian perawatan diri, penurunan aktivitas
fisik, memiliki citra tubuh yang buruk, serta memiliki strategi koping yang
disfungsional (Davie-Smith et al., 2017; Kizilkurt et al., 2020; Sahu et al.,
2016), serta mengalami kesulitan karena terpaksa meninggalkan pekerjaan
yang membutuhkan aktivitas fisik tingkat tinggi, dan berdampak pada aspek
ekonomi pasien yang tidak memiliki gaji tetap (Crocker et al., 2021),
sehingga mempengaruhi QoL pasien pasien secara keseluruhan (Crocker et
al., 2021; Davie-Smith et al., 2017; Kizilkurt et al., 2020; Sahu et al., 2016).
Penelitian oleh Kizilkurt et al., (2020) menunjukkan bahwa kualitas
hidup secara signifikan dapat meningkat oleh dukungan sosial yang diterima
oleh pasien, kepuasan terhadap prostesis yang didapat setelah amputasi, dan
penggunaan mekanisme koping yang baik dapat meningkatkan kualitas
hidup pasien amputasi (Kizilkurt et al., 2020). Beberapa penelitian diatas
membuktikan bahwa kesehatan fisik, mental, dan kesejahteraan sosial-
ekonomi dan strategi koping pasien, berpengaruh terhadap kualitas hidup
mereka (Pedras et al., 2020).
Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Amoah et al., (2018) di Rumah
Sakit Pendidikan Komfo Anokye (KATH), menunjukkan pasien pasca
amputasi mengalami banyak kesulitan yang mempengaruhi kualitas hidup.
Menurut penelitian ini, pasien pasca amputasi mengalami berbagai dampak
fisik, yaitu kesulitan dalam penyesuaian terhadap keadaan fisik pasca
amputasi. Beberapa pasien mengalami kesulitan dalam penyesuaian akibat
dari kehilangan anggota tubuh, serta kesulitan dalam menggunakan alat
bantu berjalan. Amoah et al., (2018) juga mengemukakan strategi koping
yang digunakan oleh pasien yaitu dengan menghibur diri, kepercayaan
terhadap tuhan, dan kebergantungan pada anggota keluarga dekat (Amoah et
al., 2018). Namun pada penelitian ini, tidak meninjau pengalaman nyeri
yang dialami pasien dan bagaimana pasien mengontrol nyeri phantom pasca
amputasi, dan bagaimana pengalaman pasien dalam menggunakan prostesis
sebagai alat untuk melakukan ambulasi (Amoah et al., 2018).
Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Amoah et al., (2018) diatas
menghasilkan 2 tema yaitu pengalaman fisik yang dialami pasien terkait
dengan penyesuaian terhadap amputasi dan keadaan fisik saat ini, perubahan
dalam gaya hidup, hilangnya fungsi kemandirian sehari-hari, perubahan
tanggung jawab maupun tugas keluarga, pengalaman psikologis/emosional,
dan pengalaman ekonomi. Sedangkan, tema kedua adalah strategi koping
yang digunakan oleh pasien dengan beberapa kategori yaitu penghibur diri,
kepercayaan terhadap Tuhan, dan kebergantungan pada anggota keluarga
dekat. Namun pada penelitian ini, tidak meninjau pengalaman nyeri yang
dialami pasien dan bagaimana pasien mengontrol nyeri phantom pasca
amputasi, dan bagaimana pengalaman pasien dalam menggunakan prostesis
sebagai alat untuk melakukan ambulasi (Amoah et al., 2018).
Penelitian kualitatif lainnya yang dilakukan oleh Crocker et al., (2021)
mengenai perspektif pasien tentang dampak fisik, psikososial, dan finansial
dari diabetic foot ulcer dan amputasi kaki diabetik di Amerika Serikat
didapatkan 4 kategori yang telah dikelompokkan yaitu pengelolaan
perawatan yang kompleks, penurunan kemampuan ambulasi, dampak
ekonomi dan pekerjaan, dan dampak emosional. Pada penelitian Crocker et
al., tahun 2021 menunjukkan bahwa banyak pasien melaporkan merasa
depresi, frustrasi, dan merasa tidak berdaya saat mereka berusaha untuk
sembuh pasca amputasi. Beberapa peserta juga mengalami tekanan ekonomi
yang berkaitan dengan kehilangan pekerjaan, akibat gangguan fisik karena
kehilangan keseimbangan, nyeri, dan kehilangan kekuatan fisik mereka.
Selain itu, beberapa pasien juga mengeluhkan lambatnya proses rehabilitasi
dari luka pasca. amputasi, mereka menjelaskan bahwa mereka kesulitan
dalam proses penyembuhan luka pasca amputasi minor, dan membutuhkan
waktu selama beberapa bulan akibat dari manajemen luka yang kurang baik
(Crocker et al., 2021).
Penelitian oleh Crocker et al., (2021) telah mengeksplorasi pengalaman
fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi pasien pasca amputasi dengan baik,
namun peneliti tidak melakukan ekplorasi terhadap strategi koping yang
digunakan pasien selama pasien menghadapi situasi krisis pasca amputasi
(Bennett, 2016; Crocker et al., 2021). Mekanisme koping dengan
manfaatkan situasi krisis menjadi suatu batu loncatan untuk menggerakkan
seseorang pada perkembangan yang positif, serta dapat sembuh dari penyakit
yang mereka alami, merupakan self-trancendence yang dimiliki masing-
masing individu (Wong et al., 2021). Mekanisme koping oleh masing-
masing individu diperlukan untuk mencapai kesejahteraan, sehingga dapat
menjalani kehidupan yang lebih baik dengan membentuk pertahanan diri
serta memotivasi diri (Wong et al., 2021).
Beberapa masalah yang telah diuraikan diatas membuktikan bahwa
amputasi ekstremitas bawah yang dialami pasien diabetic foot ulcer
merupakan pengalaman traumatis (Day et al., 2019). Namun, amputasi tidak
boleh dilihat hanya sebagai kegagalan dari pengobatan sebelumnya,
melainkan sebagai langkah pertama menuju kembalinya pasien pada
kehidupan yang lebih nyaman dan lebih produktif. Sehingga peran perawat
sangat penting dalam memberikan perawatan kesehatan yang komprehensif
kepada setiap pasien yang diamputasi.
Perawat dalam memberikan perawatan diharapkan dapat menunjukkan
sikap empati terhadap keadaan pasien, dan memahami bahwa seseorang
yang diamputasi tidak mudah beradaptasi dengan keadaan fisik, psikologi,
sosial dan ekonomi mereka yang mengalami perubahan. Sehingga perawat
harus memiliki toleransi yang tinggi terhadap kondisi pasien. Toleransi dan
empati yang ditunjukkan oleh perawat, akan meningkatkan kepercayaan
pasien terhadap tenaga profesional kesehatan, sehingga pasien mudah
termotivasi untuk berbagi tentang perasaan dan ketidaknyamanan yang
mereka alami (Shakshi & Ranju, 2019). Ketika pasien menceritakan dengan
bebas perspektifnya mengenai kondisi kesehatan mereka pasca amputasi,
diharapkan hal tersebut dapat memberikan acuan penting untuk tenaga
perawat dalam meningkatkan kualitas perawatan dan pengendalian penyakit
atau komplikasi pasca amputasi (Crocker et al., 2021; Juszczak et al., 2019).
Mendalami pengalaman fisik, psikologi, sosial dan ekonomi, serta
strategi koping pasien DM dengan amputasi, diharapkan dapat
meningkatkan adaptasi pasien terhadap situasi baru dan untuk memberikan
harapan hidup yang panjang dan sehat (Kaya & Bilik, 2020), meningkatkan
kenyamanan pasien, mengurangi gangguan mobilitas pasien, mencapai taraf
kesehatan semaksimal mungkin, dan mengurangi risiko kemungkinan
komplikasi dan deteksi dini pasca amputasi. Sehingga mengarah pada
peningkatan kualitas hidup pasien (Juszczak et al., 2019).
Berbagai penelitian yang ditemukan mengenai pasien diabetic foot
ulcer pasca amputasi, tidak banyak yang mengeksplorasi pengalaman pasien
diabetic foot ulcer pasca amputasi ekstremitas bawah di Indonesia.
Pengalaman hidup pasien diabetic foot ulcer pasca amputasi yang kompleks,
tidak dapat dilakukan dengan hanya memperhitungkannya secara statistik.
Sehingga diperlukan pendekatan kualitatif untuk mengeksplorasi lebih
dalam pengalaman mereka, tentang bagaimana mereka mendeskripsikan dan
mengekspresikan pengalaman fisik, psikologi, sosial dan ekonomi serta
strategi koping yang mereka alami secara langsung dengan berbagai latar
belakang yang berbeda (Afiyanti, Y & Rachmawati, 2014). Penelitian
dengan menggunakan pendekatan kualitatif memberikan peluang pada
pasien untuk menceritakan bagaimana pengalaman pasien diabetic foot
ulcer setelah amputasi sesuai dengan versinya masing-masing (Afiyanti &
Rachmawati, 2014; Nelwati et al., 2021).
Berdasarkan hasil observasi, pasien merupakan pasien amputasi minor
yang telah menjalani amputasi kaki kedua kalinya pada bagian ossa digiti IV
dan V, dimana sebelumnya pasien telah menjalani amputasi kaki pada
bagian ossa digiti III, dan mengalami komplikasi berupa infeksi. Pasien
mengalami respon fisik berupa nyeri skala 8 akibat lukanya yang mengalami
infeksi, kehilangan kemampuan berjalan dan kemandirian dalam melakukan
aktivitas fisik. Hasil wawancara didapatkan pasien mengalami kecemasan,
ketakutan, serta rasa penyesalan atas kondisinya saat ini. Pasien juga
mengatakan dukungan sosial dan ekonomi sangat dibutuhkan, beruba
dukungan berupa finansial dan motivasi selama perawatan. Pasien juga
menggunakan mekanisme koping yang baik, dimana pasien yakin untuk
sembuh dan semangat untuk mengikuti instruksi yang diberikan oleh
perawat dan dokter.
1.2 Keaslian Penelitian
Table 1.1
Keaslian penelitian

No Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
dan tahun
Pengalaman Tujuan penelitian Jenis penelitian Peneliti telah
1 Yuningsih dkk., Pencegahan Ulkus ini untuk yang digunakan mengidentifikasi
(2019) Berulang Pada memperoleh adalah desain enam
Penderita pemahaman kualitatif dengan tema yang telah
pengalaman pendekatan sesuai dengan tujuan
DiabeMellitus Di pencegahan ulkus fenomenologi jenis penelitian yaitu
Wilayah Kerja berulang pada deskriptif pencegahan ulkus
Uptd Puskesmas penderita Diabetes berulang
Awiluar Mellitus di pada penderita
wilayah kerja Diabetes Mellitus
UPTD Puskesmas sebagai
Awiluar hasil penelitian.
Kabupaten Ciamis Temanya yaitu: 1)
dengan Pola diet
menggunakan pada penderita
metode kualitatif Diabetes Mellitus, 2)
dengan desain Latihan
fenomenologi jasmani pada
deskriptif. penderita Diabetes
Mellitus,
3) Jenis terapi pada
penderita Diabetes
Mellitus, 4)
Menejemen
lingkungan pada
penderita Diabetes
Mellitus, 5)
Menejemen
diri pada penderita
Diabetes Mellitus, 6)
Istirahat pada
penderita Diabetes
Mellitus.
Post Amputation
2 Kusuma, (2017) Response Penelitian
And ini bertujuan
Penelitian ini menggunakan
Analisis tema diperoleh dari
Coping Of untuk studi kualitatif hasil wawancara pada
Diabetes Mellitus mengeksplorasi dengan pendekatan peneitian ini terhadap
Patient In Ulin berbagai fenomenolgi. respon dan koping
General Hospital pengalaman pasien Fenomenologi partisipan pada
Banjarmasin DM pasca menyediakan pasien DM post
amputasi tentang pemahaman yang amputasi.
respon dan koping mendalam tentang Menghasilkan 2 tema
yang dialaminya fenomena utama yang
sebagaimana yang ditemukan seperti (1)
dialami beberapa berbagai respon post
individu. Untuk amputasi, dan (2)
mengeksplorasi berbagai koping
secara mendalam pasien DM post
dan naturalistik amputasi. Tema-
dari pengalaman tema ini akan peneliti
pasien DM pasca uraikan kembali per
amputasi sub-tema untuk
memperoleh
pemahaman
bagaimana ke dua
tema tersebut
terbentuk berdasarkan
pengalaman para
paertisipan
Pengalaman Penelitian ini Penelitian ini Pertisipan terdiri atas
3 Harissya, dkk Psikologis Pasien bertujuan untuk menggunakan 5 orang perempuan
(2022) Diabetes Melitus memberikan metode kualitatif dan 2 orang laki-laki.
dengan DFU peluang pada dengan pendekatan Karakteristik usia
(Diabetic Foot pasien untuk fenomenologi. semua partisipan
Ulcer) Pasca menceritakan Partisipan yang terlibat selama
Amputasi bagaimana yang diteliti pada penelitian ini
pengalaman penelitian ini merupakan lanjut
psikologis pasien adalah pasien DM usia. Mulai dari
DFU setelah dengan diabertic lansia awal sebanyak
amputasi sesuai foot ulcer yang 4 orang, yaitu berusia
dengan versinya telah menjalani 52 tahun sebanyak
masing-masing amputasi dan dua orang, 53 tahun
bertempat tinggal sebanyak dua orang,
di Kota Padang. dan 54 tahun
Pengumpulan sebanyak satu orang.
Partisipan terlibat
dalam penelitian ini
juga merupakan
lansia akhir yaitu
sebanyak dua orang,
yaitu lansia yang
berusia 57 tahun satu
orang, dan satu orang
partisipan yang
berusia 61 tahun.
Tujuh orang
partisipan yang
berpartisipasi dalam
penelitian ini rata-rata
tidak bekerja kembali
setelah mendapatkan
prosedur amputasi,
dan hanya 1
partisipan yang
Kembali bekerja
setelah amputasi.
Jenis amputasi yang
di alami partisipan
pada umumnya yaitu
amputasi minor yakni
sebanyak 5 orang dan
dua orang lainnya
menjalani amputasi
mayor. Selain itu,
partisipan yang
terlibat dalam
penelitian ini
seluruhnya beragama
Islam. Berdasarkan
analisis data secara
induktif enggunakan
metode Collaizi,
ditemukan tiga tema.
Temu tersebut
menjelaskan tentang
pengalaman
psikologis pasien
DFU pasca amputasi,
yaitu dampak
emosional, gangguan
citra tubuh dan harga
diri rendah, dan
adaptasi diri terhadap
kehilangan.
Pengalaman Untuk mengetahui Penelitian ini Hasil penelitian
4 Laily, (2016) Pasien Diabetes bagaimana merupakan menunjukkan bahwa
Melitus Dalam pengalaman pasien penelitian penanganan yang
Perawatan Luka diabetes melitus kualitatif dengan tidak tepat pada saat
Diabetik Di dalam perawatan metode terjadi luka dan tidak
Kelurahan luka diabetik di fenomenologi adanya penangan
Kalikajar Kelurahan deskriptif. awal luka
Kabupaten Kalikajar partisipan pada mengakibatkan kaki
Wonosobo Kabupaten penelitian ini infeksi yang
Wonosobo. diambil secara menyebabkan
purposive amputasi atau
sampling operasi. Partisipan
berjumlah 9 orang membersihkan luka
yang terdiri dari 4 dengan cairan spirtus
pasien diabetes dan mencucinya
melitus yang dengan air mengalir
pernah mengalami pada saat ada
luka diabetik, 4 luka. Pada perawatan
orang anggota lanjutan, partisipan
keluarga pasien, menjalani operasi dan
dan 1 perawat amputasi.
Puskesmas Perawatan yang
Kalikajar 1. dijalani partisipan
Pengumpulan data meliputi
dengan wawancara debridement,
mendalam dan cleansing,
penggunaan
observasi. Analisa data obat topikal, dan
menggunakan dressing. Kontrol
bantuan software infeksi dengan cara
open code 4.02. konsumsi obat
antibiotik
berdasarkan resep
dokter dan
penggunaan
antibiotik topikal.
Faktor yang
mempengaruhi
perawatan luka
partisipan adalah
tingkat pengetahuan.
Pengetahuan dan
pemahaman
partisipan tentang
perawatan luka
diabetik masih
kurang yang
disebabkan
kurangnya paparan
informasi tentang
manajemen
penyakit DM dan
manajemen
komplikasinya.
Partisipan menyadari
pentingnya
pencegahan luka
kembali. Upaya yang
dilakukan partisipan
dalam pencegahan
luka kembali meliputi
manajemen
lingkungan, kontol
makanan, kontrol
kesehatan
rutin, kontrol gula
darah dengan obat
(terapi farmakologi),
serta perawatan kuku
kaki dan pemakaian alas kaki.
Hasil pengamatan
5 Kusumaningrum,
Karakteristik Diabetic
Penelitian ini bertujuan
Penelitian ini merupakan karakteristik DFU
(2020) Foot Ulcer untuk penelitian menunjukkan bahwa
(DFU) pada menggambarkan kuantitatif kedalaman luka lebih
Individu dengan karakteristik DFU descriptive dengan banyak teridentifikasi
Diabetes Mellitus pada pasien pendekatan cross- pada area subkutan/
(DM): Studi dengan DM. sectional. Teknik dermis ke jaringan
Deskripsi – Cross sampling yang lemak (40 pasien;
Sectional digunakan adalah 54,8%) daripada di
consecutive lapisan lain. Selain
sampling. Besar itu, juga ditunjukkan
sampel minimal bahwa sebagian besar
pada penelitian responden
adalah 73 teridentifikasi
responden mempunyai luka
yang dikategorikan
parah (55; 75,3%).
Dengan demikian
dapat disimpulkan
bahwa karakteristik
DFU pada pasien DM
cenderung bervariasi.
Identifikasi dini dan
pengawasan intensif
sangat penting untuk
meningkatkan
manajemen DFU dan
untuk menghindari
amputasi ekstremitas
bawah

Nursing care for To explore the A qualitative study The findings


6 Lindhardt, older patients experience and based on comprised one main
(2019) with pressure perception of interviews with (N theme “Prevention of
ulcers: A pressure ulcers in a = 6) nurses pressure ulcers is
qualitative study group of nurses working with older important” and four
caring for older patients. sub-themes “Nursing
patients. resources on the
ward,” “Basic nursing
skills ift the duvet,”
“Introduction of new
nurses on the ward
bedside teaching”
and “Missing
articulation of
pressure ulcers.”
Bedside teaching and
experienced
nurses may create a
culture on the ward
where basic nursing
skills and
observations are
articulated.

1.3 Rumusan Masalah


Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pasien diabetic foot ulcer yang
menjalani amputasi minor maupun mayor membutuhkan beban biaya yang
lebih tinggi, dibandingkan dengan pasien diabetic foot ulcer yang tidak
mengalami amputasi. Jangka waktu perawatan di rumah sakit yang lebih
lama merupakan penyebab hal tersebut, karena pada umumnya pasien
membutuhkan waktu untuk pulih dari operasi, pengobatan komplikasi luka,
dan menjalani masa rehabilitasi agar pasien dapat kembali berjalan,
sedangkan kasus amputasi ekstremitas bawah pada penderita diabetic foot
ulcer di Indonesia mencapai angka 30% dan lebih dari satu juta orang
kehilangan salah satu kakinya akibat amputasi, maka peneliti membuat suatu
rumusan masalah: “Bagaimanakah pengalaman pasien diabetic foot ulcer
pasca amputasi minor di Rs dr Rubini”.?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi lebih dalam mengenai
pengalaman pasien diabetic foot ulcer pasca amputasi minor.

1.4.2 Tujuan khusus


1.4.2.1 Untuk Mengetahui lebih dalam pengetahuan pasiem tentang DM
1.4.2.2 Untuk mengetahui lebih dalam respon pasien
1.4.2.3 Untuk mengexplorasi hambatan pada pasien
1.4.2.4 Untuk menggali lebih dalam harapan pasien
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat praktis
a. Bagi pendidikan keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan, informasi serta
referensi bagi keperawatan untuk mengetahui pengalaman pasien
diabetic foot ulcer pasca amputasi selama menjalani masa rehabilitasi
b. Bagi pelayanan keperawatan
Hasil peneelitian ini diharapkan dapat meningkatkan informasi dari
temuan sehingga dapat menambah pemahaman pengalaman sakit pada
pasien diabetic foot ulcer pasca amputasi ekstremitas bawah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus Tipe II

2.1.1 Pengertian
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit yang diakibatkan terganggunya
proses metabolisme glukosa di dalam tubuh yang disertai berbagai kelainan
metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai
komplikasi kronik pada mata, ginjal, dan pembuluh darah, disertai lesi pada
membran basalis dengan karakteristik hiperglikemia (American Diabetes
Association, 2023).
World Health Organization (WHO) merumuskan bahwa Diabetes
Melitus yaitu sekumpulan problema anotomik dan kimiawi akibat dari
sejumlah faktor dimana didapatkan defisiensi dari insulin yang absolut atau
relative dengan gangguan fungsi insulin. (World Health Organization,
2020). Menurut Smeltzer & Bare (2019), diabetes melitus merupakan suatu
penyakit kronis yang menimbulkan gangguan multisistem dan mempunyai
karakteristik hiperglikemia yang disebabkan defisiensi insulin atau kerja
insulin yang tidak adekuat.
Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan
meningkatnya kadar glukosa dalam darah (Hiperglikemia) sebagai akibat
adanya kelainan insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Bentuk dari DM
Tipe 2 dapat bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai
defisiensi relative sampai kondisi dominan defek sekresi insulin disertai
resistensi insulin (PERKENI, 2019).
Menurut Decroli (2019), Diabetes Melitus Tipe 2 yaitu suatu keadaan
dimana terjadi gangguan sensitifitas insulin dan /atau gangguan sekresi
insulin, dimana tubuh tidak mampu lagi memproduksi cukup insulin untuk
mengkompensasi peningkatan insulin resisten.
2.2 Etiologi
Diabetes Melitus Tipe 2 menurut ADA (2019), terjadi karena penurunan
frekuensi produksi insulin yang dihasilkan oleh sel β pancreas, yang
melatarbelakangi terjadinya resistensi insulin. Decroli (2019) menyebutkan
DM tipe 2 disebabkan oleh gangguan produksi insulin, fungsi insulin atau
kedua-duanya. Hormon Insulin berfungsi mengatur kadar gula darah.
Diabetes yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan Gula darah yang tinggi
(Hiperglikemia), dan seiring waktu mengakibatkan kerusakan banyak sistem
dalam tubuh, terutama pembuluh darah dan syaraf (WHO, 2020).
Kadar insulin bisa normal, meningkat atau rendah tetapi fungsi untuk
metabolism glukosa berkurang atau tidak ada sehingga glukosa darah
meningkat, yang disebut hiperglikemia. Kurangnya kadar insulin
menyebabkan pasien membutuhkan insulin dari luar. Secara Klinis,
Diabetes Melitus terjadi saat tubuh tidak mampu lagi menghasilkan insulin
ang cukup untuk mengkompensasi peningkatan insulin yang resisten.
2.3 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada penderita DM biasanya tergantung dari tingkat
hiperglikemia yang telah dialami oleh pasien. Manifestasi klinis yang dapat
muncul pada seluruh tipe diabetes adalah poliuria, polidipsia serta
poliphagia. Poliuria dan polidipsia dapat terjadi sebagai akibat dari
kehilangan cairan secara berlebihan. Pasien akan mengalami poliphagia
yang diakibatkan dari kondisi metabolic yang telah diinduksi dengan adanya
defesiensi insulin serta memecahkan lemak serta protein.
Gejala lain yang timbul adalah lemah, lelah adanya perubahan pada
penglihatan, rasa gatal pada tungkai atau kaki, disertai dengan kulit kering,
adanya luka yang dalam penyembuhannya lama serta infeksi secara
berulang (Smeltzer, et al. 2008 dalam Damayanti, 2017).
2.4 Klasifikasi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2020 menyatakan
bahwa DM yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional, dan DM tipe lain.
Namun jenis DM yang paling umum yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2.
2.4.1 Ziabetes melitus tipe 1
DM tipe 1 merupakan proses autoimun atau idiopatik dapat
menyerang orang semua golongan umur, namun lebih sering terjadi
pada anak-anak. Penderita DM tipe 1 membutuhkan suntikan insulin
setiap hari untuk mengontrol glukosa darahnya (IDF, 2019). DM tipe
ini sering disebut juga Juvenile Diabetes atau Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (IDDM), yang berhubungan dengan antibody
berupa Islet Cell Antibodies (ICA), Insulin Autoantibodies (IAA), dan
Glutamic Acid Decarboxylase Antibodies (GADA). 90% anak-anak
penderita IDDM mempunyai jenis antibody ini (Bustan, 2007 dalam
Alkhoir, 2020).
2.4.2 Diabetes melitus tipe 2
DM tipe 2 atau yang sering disebut dengan Non Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (NIDDM) adalah jenis DM yang paling sering
terjadi, mencakup sekitar 90% pasien DM didunia (IDF, 2019).
Keadaan ini ditandai oleh resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relatif. Menurut Greenstein dan Wood (2010) dalam Alkhoir (2020)
menyebutkan bahwa DM tipe ini lebih sering terjadi pada usia diatas
40 tahun, akan tetapi dapat pula terjadi pada orang dewasa muda dan
anak-anak.
2.4.3 Diabetes melitus gestational
DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi
glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada
trimester kedua dan ketiga. DM gestasional berhubungan dengan
meningkatnya komplikasi perinatal (Alfi et al., 2019). Diabetes yang
didiagnosis pada trimester kedua atau ketiga kehamilan dan tidak
mempunyai riwayat diabetes sebelum kehamilan (ADA, 2020 dalam
Alkhoir, 2020).
2.4.4 Diabetes melitus tipe lain
DM tipe ini terjadi akibat penyakit gangguan metabolik yang ditandai
oleh kenaikan kadar glukosa darah akibat faktor genetik fungsi sel
beta, kerusakan kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit
metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun
dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan penyakit DM (Alfi et
al., 2019).
2.5 Patofisiologi
Pada DM terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin,
yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin
akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat
terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, maka akan terjadi suatu
rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa dalam sel. Resistensi insulin
disertai dengan penurunan reaksi intrasel. Dengan demikian insulin menjadi
tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan oleh jaringan. Ada beberapa
faktor yang diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya
resistensi insulin. Antara lain yaitu faktor genetik, usia (resistensi insulin
cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun), obesitas, riwayat keluarga
dan kelompok etnik tertentu seperti golongan Hispanik serta penduduk asli
Amerika (Wulandari, 2018).
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa
dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan.
Pada pasien toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi
insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat
yang normal atau sedikit meningkat.
Namun demikian jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi
peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat
dan terjadi DM (Wulandari, 2018). Meskipun terjadi gangguan sekresi
insulin yang merupakan ciri khas DM, namun masih terdapat insulin dengan
jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan
keton yang menyertainya. Karena itu ketoasidosis diabetes jarang terjadi
pada DM. Jika DM tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut
lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemik hyperosmolar nonketotik
(HHNK) (Wulandari, 2018).
2.6 Komplikasi

Komplikasi Diabetes Melitus menurut Sujono (2013) adalah sebagai


berikut:
2.6.1 Komplikasi yang bersifat akut
a. Koma hipoglikemia
Koma hipoglikemia terjadi karean pemakaina obat-obat diabetik
yang melebihi dosis yang dianjurkan sehingga terjadi penurunan
glukosa dalam darah. Glukosa yang ada sebagian besar difasilitasi
untuk masuk ke dalam sel.
b. Ketoasidosis
Minimnya glukosa di dalam sel akan mengakibatkan sel mencari
sumber alternatif untuk dapat memperoleh energi sel. Kalau tidak
ada glukosa maka benda-benda keton akan dipakai sel. Kondisi ini
akan mengakibatkan penumpukan residu pembongkaran
bendabenda keton yang berlebihan yang dapat mengakibatkan
asidosis.
c. Koma hiperosmolar nonketotik
Koma ini terjadi karena penurunan komposisi cairan intrasel dan
ekstrasel karena banyak dieksresi lewat urin.
2.6.2 Komplikasi yang bersifat kronik
a. Makroangiopati yang mengenai pembuluh darah besar, pembuluh
darah jantung, 24 pembuluh darah tepi, pembuluh darah otak.
Perubahan pada pembuluh darah besar dapat mengalami
atherosklerosis sering terjadi pada NIDDM. Komplikasi
makroangiopati adalah penyakit vaskuler otak, penyakit arteri
koronaria dan penyakit vaskuler perifer.
b. Mikroangopati yang mengenai pembuluh darah kecil, retinopati
diabetika, nefropati diabetic. Perubahan-perubahn mikrovaskuler
yang ditandai dengan penebalan dan kerusakan membran diantara
jaringan dan pembuluh darah sekitar. Pada penderita IDDM yang
terjadi neuropati, nefropati dan retinopati. Nefropati terjadi karena
perubahan mikrovaskuler pada struktur dan fungsi ginjal yang
menyebabkan komplikasi pada pelvis ginjal tubulus dan
glomerulus, penyakit ginjal dapat berkembang dari proteinuria
ringan ke ginjal. Retinopati (kerusakan pembuluh darah pada
jaringan dibelakang mata) ditandai dengan adanya perubahan
dalam retina karena penurunan proein dalam retina.
c. Neuropati Diabetika Akumulasi merupakan orbital didalam
jaringan dan perubahan metabolik mengakibatkan fungsi sensorik
dan motorik saraf menurun kehilangan sensori mengakibatkan
penurunan persepsi sensori nyeri.
d. Rentan infeksi seperti tuberclosis paru dan infeksi saluran kemih.
e. Kaki diabetik adalah perubahan mikroangiopati, makroangiopati
dan neuropati yang menyebabkan perubahan-perubahan pada
ekstermitas bawah. Komplikasinya dapat terjadi gangguan
sirkulasi, terjadi infeksi, ganggren, penurunan sensasi dan
hilangnya fungsi saraf sensorik. Hal tersebut dapat menunjang
terjadinya trauma atau tidak terkontrolnya infeksi yang
mengakibatkan ganggren.
2.2 Ulkus Diabetic
2.2.1 Pengertian
Ulkus kaki diabetik adalah lesi non traumatis pada kulit (sebagian atau
seluruh lapisan) pada kaki penderita diabetes melitus (Mariam et al., 2017).
Ulkus kaki diabetik biasanya disebabkan oleh tekanan berulang (geser dan
tekanan) pada kaki dengan adanya komplikasi terkait diabetes dari
neuropati perifer atau penyakit arteri perifer, dan penyembuhannya sering
dipersulit oleh perkembangan infeksi (Jia et al., 2017). Ulkus diabetikum
didefinisikan sebagai ulkus di bawah pergelangan kaki karena berkurangnya
sirkulasi kapiler dan atau arteri, neuropati, dan kelainan bentuk kaki
(Robberstad et al., 2017).
Ulkus diabetikum merupakan komplikasi lanjutan pada pasien penderita
diabetes melitus, ulkus diabetikum adalah kondisi luka yang terjadi pada
pasien diabetes yang diakibatkan dengan adanya kelainan pada saraf,
pembuluh darah yang kemudian menjadi infeksi apabila kondisi seperti ini
tidak diatasi dengan baik maka akan berlanjut menjadi pembusukan pada
daerah luka bahkan bisa sampai dilakukan amputasi (Surya et al., 2021).
Ulkus diabetikum merupakan salah satu komplikasi diabetes melitus
yang menyebabkan peningkatan morbiditas secara keseluruhan pada pasien,
penderita diabetes melitus tipe 1 atau tipe 2 memiliki risiko seumur hidup
mengalami komplikasi ulkus diabetikum sebesar 25%. Ulkus diabetikum
dapat juga terbentuk karena kurangnya kontrol glikemik, neuropati,
penyakit pembuluh darah tepi, atau juga perawatan luka kaki yang tidak
maksimal (Alzamani et al., 2022).
2.2.2 Etiologi
Ulkus diabetikum disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: neuropati,
trauma, deformasi kaki, tekanan tinggi pada telapak kaki dan penyakit
vaskuler. Pemeriksaan dan klasifikasi ulkus diabetik juga menyeluruh dan
sistematik dapat juga memberikan arahan yang adekuat. Ulkus diabetik juga
dapat disebabkan oleh tekanan yang terus menerus atau dengan adanya
gesekan yang mengakibatkan terjadinya absarsi dan merusak permukaan
epidermis kulit (Ose et al., 2018).
2.2.3 Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala ulkus diabetikum menurut ADA (2019) adalah sering
merasa kesemutan, nyeri kaki saat sedang istirahat, sensasi rasa berkurang,
kerusakan pada jaringan (nekrosis), penurunan denyut nadi arteri dorsalis
pedis, tibialis, dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin, dan juga kuku
menebal, kulit menjadi kering, dan didapatkan luka yang timbul secara
spontan maupun karena terjadinya trauma sehingga menyebabkan luka yang
terbuka.
2.2.4 Klasifikasi

Gambar 2.1 Klasifikasi Ulkus Kaki Diabetikum

Klasifikasi kaki Ulkus Diabetikum menurut Wagner-Meggit paling


banyak digunakan secara menyeluruh untuk penilaian lesi pada ulkus kaki
diabetikum. Sistem penilaian ini memiliki 6 kategori. Empat kelas pertama
(Kelas 0,1,2 dan 3) berdasarkan kedalaman pada lesi, jaringan lunak pada
kaki. Dua nilai terakhir (Kelas 4 dan 5) berdasarkan pada tingkat gangrene
serta perfusi yang sudah hilang. Kelas 4 lebih mengacu pada gangrene kaki
parsial lalu kelas 5 lebih kepada gangrene yang menyeluruh. Luka
superficial yang mengalami infeksi ataupun disvaskular tidak bisa
diklasifikasikan oleh sistem tersebut.
Klasifikasi ini hanya terbatas untuk mengidentifikasi gambaran
penyakit vascular sebagai faktor resiko independen. Klasifikasi Ulkus Kaki
Diabetikum Menurut Wagner-Meggit dalam Alavi (2014) adalah sebagai
berikut : Grade 0 : Tidak ada lesi yang terbuka, luka masih dalam keadaan
utuh 17 Grade 1: Ulkus Superfisial yang melibatkan seluruh bagian lapisan
kulit tanpa menyebar ke bagian jaringan Grade 2: Ulkus dalam, menyebar
sampai ligament, otot, tapi tidak ada keterlibatan dengan tulang serta
pembentukan abses Grade 3: Ulkus dalam disertai oleh pembentukan abses
atau seluitis sering disertai dengan osteomyelitis Grade 4: Gangren yang
terdapat pada jari kaki atau bagian distal kaki dengan atau tanpa adanya
selulitis Grade 5: Gangren yang terjadi pada seluruh kaki atau sebagian pada
tungkai.
2.2.5 Patofisiologi
Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada penyanding
DM yang mengalami kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah.
Neuropati, baik neuropati sensorik maupun motoric dan autonomic akan
mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot yang kemudian
menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan
selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan
terhadap infeksi menyebabkan infeksi menjadi merebak menjadi infeksi
yang luas (Supriyadi, 2017).
Aterosklerosis dan neuropati peripheral merupakan dua penyebab utama
yang menyebabkan terjadinya komplikasi diabetes. Aterosklerosis
menyebabkan penurunan pada aliran darah dalam tubuh sehingga terjadi
penebalan pada membrane pembuluh darah kapiler, hilangnya elastisitas,
dan juga terjadi pengendapan lipid di dalam dinding pembuluh darah, jika
tidak ditangani dengan segera akan menyebabkan iskemia pada pembuluh
darah. Neuropati perifer juga mempengaruhi sistem saraf motorik, sensorik,
dan juga sistem saraf otonom, ada juga penyebab multifaktorial seperti vasa
nervorum, disfungsi endotel, hiperosmolaritas kronis, dan juga adanya efek
peningkatan sorbitol dan fruktosa (Alzamani et al., 2022).
2.2.6 Proses Penyembuhan Ulkus Diabetik
2.2.6.1 Fisiologi
Proses penyembuhan luka merupakan suatu proses restorasi alami luka
yang melibatkan sebuah proses yang sangat kompleks, dinamis, dan juga
terintegritas pada sebuah jaringan karena ditemukannya kerusakan. Ulkus
diabetikum juga disebabkan oleh tekanan yang terus menerus dengan
adanya gesekan yang mengakibatkan kerusakan pada kulit, gesekan yang
terjadi mengakibatkan absarsi serta merusak permukaan epidermis kulit
(Ose et al., 2018).
2.2.6.2 Proses Penyembuhan Luka
Cara penyembuhan luka diabetikum menjadi tiga tipe atau
berdasarkan cara penyembuhannya yaitu penyembuhan luka secara primer
(primary intention). Jaringan luka yang ditutupi melalui prosedur
penjahitan yang dikatakan sembuh dengan penyatuan primer. Luka ini
sembuh dengan bekas luka yang bersih, rapih, dan juga tipis dan secara
sekunder (secondary intention) ketika terjadi kehilangan pada sel yang
lebih luas atau terjadi kerusakan jaringan sel besar memakan proses
penyembuhan luka akan menjadi rumit.
Jaringan pada granulasi tumbuh dari tepi umtuk menyembuhkan luka,
jika luka sembuh maka akan meninggalkan bekas luka (scar) yang buruk.
Penyembuhan luka disebut juga dengan luka sekunder. Perbedaan dari
penyembuhan sekunder dan primer antara lain fase inflamasi 20 lebih
intens dan membentuk jaringan granulasi dalam jumlah yang lebih banyak
dan juga kontraksi luka lebih banyak. Penyembuhan luka secara tersier
(Tertiary Intention atau Delayed Primary Intention). Penyembuhan luka
secara tersier yaitu penyembuhan luka secara premier yang tertunda
hingga 4-6 hari karena akibat dari komplikasi seperti infeksi.
Penyembuhan luka secara sekunder dihentikan dan juga luka ditutup
secara mekanis dengan balutan dan jahitan (Shila et al., 2022).
2.2.6.2 Fase-Fase Penyembuhan Luka
a. Fase inflamasi dan hemostatis
Pada fase ini akan terjadi edema, ekimosis, kemerahan dan juga nyeri,
inflamasi terjadi karena mediasi oleh sitokin, kemokin, faktor
pertumbuhan dan juga efek terhadap reseptor. Hemostatis
Vaskonstriksi sementara dari pembuluh darah yang sudah rusak terjadi
pada saat sumbatan trombosit dibentuk dan di perkuat juga oleh
serabut fibrin untuk membentuk sebuah bekuan fase inflamasi terjadi
mulai dari 0 sampai 3 hari.
Gambar 2.3 Fase Inflamasi dan Hemostatis
Sumber: Rumah Sakit EMC

b. Fase proliferasi
Fase proliferasi terjadi karena simultan dengan fase migrasi dan
proliferasi sel basal yang juga terjadi selama 2 sampai 3 hari, pada
fase ini terdiri dari neoangiogenesis, penbentukan jaringan yang
sudah tergranulasi, dan juga epitelisasi Kembali. Jaringan yang
sudah terganulasi terbentuk oleh pembuluh darah kapiler 21 dan
limfatik kedalam luka dan kolagen yang disintesis kemudian olhe
fibroblast akan memberikan kekuatan pada kulit. Sel epitel akan
mengeras dan memberikan waktu untuk kolagen memperbaiki
jaringan yang luka atau rusak. Proliferasi dari fibroblast dan
sintesis kolagen membutuhkan waktu selama dua minggu.

Gambar 2.4 Fase Proliferasi


Sumber Rumah Sakit EMC
c. Fase maturasi (remodelling)
Pada fase ini berkembang dengan pembentukan jaringan seluler
dan juga penguatan epitel baru yang sudah ditentukan oleh
seberapa besarnya luka. Jaringan granular seluler berubah menjadi
masa asseluler dalam waktu beberpa bulan hingga 2 bulan (Handi
et al., 2017).

Gambar 2.4 Fase Maturasi


Sumber Rumah Sakit EMC

d. Faktor-faktor yang menghambat penyembuhan luka


Faktor yang berperan dalam menghambat atau lamanya proses
penyembuhan luka kaki diabetik yaitu, berasal dari perawatan
luka, pengendalian infeksi, vakularisasi, usia, nutrisi, penyakit
komplikasi, adanya Riwayat merokok, pengobatan, psikologis, dan
juga ada hubungan stress pada pencitraan tubuh pada penderita
diabetes melitus (Mesrida dan Nurhida, 2021)
a. Fenomenologi
Fenomenologi adalah pendekatan yang dimulai oleh Edmund Husserl
dan dikembangkan oleh Martin Heidegger untuk memahami atau
mempelajari pengalaman hidup manusia. Pendekatan ini berevolusi sebuah
metode penelitian kualitatif yang matang dan dewasa selama beberapa
dekade pada abad ke dua puluh. Fokus umum penelitian ini untuk
memeriksa/meneliti esensi atau struktur pengalaman ke dalam kesadaran
manusia (Tuffour: 2017).
Definisi fenomenologi juga diutarakan oleh beberapa pakar dan
peneliti dalam studinya. Menurut Alase (2017). Fenomenologi adalah
sebuah metodologi kualitatif yang mengizinkan peneliti menerapkan dan
mengaplikasikan kemampuan subjektivitas dan interpersonalnya dalam
proses penelitian eksploratori.
Sundler et al. (2019) berpendapat pemahaman pengalaman hidup
terkait erat dengan gagasan intensionalitas kesadaran, atau bagaimana
makna diciptakan. Gagasan intensionalitas mencakup bagaimana
kesadaran selalu diarahkan pada sesuatu, yang berarti bahwa ketika dalam
proses pemahaman terhadap suatu obyek, maka obyek tersebut dipahami
sebagai “sesuatu” yang memiliki makna. Selain itu dalam menganalisis
makna, analisis dimulai dari bagaimana melakukan identifikasi dan saling
terkait antar satu dengan yang lain. Analisis ini bertujuan supaya
mendapakan pemahaman kompleksitas makna dalam data yang diperoleh.
b. Amputasi
1. Konsep amputasi pada diabetes melitus
Definisi amputasi Amputasi diartikan sebagai tindakan memisahkan
bagian tubuh sebagian seperti kaki, tanggan, lutut, atau seluruh bagian
ekstremitas (Wright, 2014), Amputasi dilakukan ketika ekstremitas
sudah tidak dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik lain atau
terdapatnya kondisi yang dapat membahayakan keselamatan tubuh
atau merusak organ tubuh yang lain sehingga menimbulkan
komplikasi infeksi, perdarahan dan pertumbuhan stump yang
abnormal (Mark et al, 2016). Amputasi pada pasien DM yaitu
prosedur pembedahan yang dihasilkan dari sebuah kondisi medis yang
serius yang diakibatkan oleh peripheral vascular disease (PVD),
sensory neuropathy, riwayat amputasi sebelumnya, foot deformities,
dan ulcers, yang bertujuan untuk mencegah 19 penyebaran infeksi ke
bagian ektermitas yang sehat (Senra et al, 2011 dalam Yeboah et al,
2016).
2. Jenis Amputasi
Jenis amputasi pada penderita diabetes melitus Tindakan amputasi
bagian anggota gerak atau ektermitas pada pasien DM 70% adalah
amputasi ektermitas bawah dengan angka kejadian 5% amputasi
minor yaitu partial foot dan ankle amputations, dan 95% amputasi
mayor yaitu 50% below knee amputation, 35% above knee amputation
dan 7-10% hip amputation (Dunning, 2009).
a. Amputasi minor.
Amputasi minor yang melibatkan anggota gerak dari jari kaki
sampai dengan pergelangan kaki. Amputasi jari kaki Amputasi ibu
jari kaki yaitu amputasi tingkat transfalangeal dapat digunakan jika
nekrosis terletak dari distal ke proksimal sendi interfalangeal
(Payne & Pruent, 2015).
b. Amputasi ray
Amputasi ray dapat di lakukan jika terdapat infeksi yang mengenai
bagian falangeal merupakan teknik khusus yang sering di lakukan
20 bila infeksi mengenai salah satu bagian jari kaki dengan
menghilangkan bagian dari salah satu jari (Sara et al, 2012). Tujuan
menghindari penyebaran infeksi ke bagian tubuh lain.
Penyembuhan luka berlangsung selama 1-3 bulan dan kaki dapat
berfungsi penuh dan memungkinkan penderita amputasi ray dapat
berjalan normal (Payne & Pruent, 2015).
c. Amputasi Transmetatarsal
Indikasi tindakan amputasi transmetatarsal adalah ketika infeksi
mengenai semua jari-jari kaki, atau ibu jari dan sebagian besar jari-
jari kaki (metatarsal) yang disebabkan oleh infeksi pada kaki
diabetes, gangren dan ulserasi pada pasien diabetes mellitus yang
mengalami disvaskularisai (Ammendola et al, 2016). Amputasi ini
digunakan jika nekrosis memanjang dari proksimal ke proksimal
sendi interfalangeal (Payne & Pruent, 2015).
d. Amputasi Syme Prosedur
Amputasi Syme Produser ini biasanya digunakan jika kaki telah
hancur oleh trauma. Amputasi ini 21 menyelamatkan panjang
ekstremitas, mengangkat kaki antara talus dan kalkaneus. Amputasi
syme (modifikasi amputasi disartikulasi pergelangan kaki)
dilakukan paling sering pada trauma kaki ekstensif dan
menghasilkan ekstremitas yang bebas nyeri dan kuat (Attinger &
Brown, 2012). Tekhnik amputasi syme jarang digunakan pada
pasien DM karena berdampak pada hasil yang buruk yaitu ketidak
stabilan dari flap kalkaneus, terjadinya devakularisasi, adanya
perbedaan panjang tungkai yang membuat sulit berjalan, namun
beberapa penelitian menyatakan bahwa amptasi ini memberikan
hasil yang baik bagi amputasi akibat infeksi atau ulkus diabetik
(Payne & Pruent, 2015).
e. Amputasi mayor
Amputasi mayor dianggap mencakup semua amputasi di atas sendi
pergelangan kaki yaitu transtibial, transfemoral, disartikulasi lutut,
disartikulasi pinggul, dan pelvektomi (Senra et al, 2011 dalam
Kralovec et al, 2015).
1) Amputasi di bawah lutut (BL) merupakan prosedur yang
umumnya dilakukan pada penyakit vaskular perifer stadium
akhir. Prosedur ini memberikan rehabilitasi yang sangat baik
karena dapat menyelamatkan sendi lutut. Amputasi bawah
lutut menjadi alternatif dibandingkan amputasi atas lutut
karena pentingnya sendi lutut dan energi untuk berjalan
(Senraet al, 2011 dalam Gupta, 2015).
2) Amputasi di atas lutut (AL) Amputasi ini memegang angka
penyembuhan tertinggi pada pasien dengan penyakit vaskular
perifer. Amputasi ekstremitas atas dilakukan dengan
mempertahankan panjang fungsional maksimal dengan
mengunakan prostesis segera paska amputasi dapat
mengembalikan fungsinya kaki secara maksimal (Senra et al,
2011).
3) Disartikulasi panggul dan hemipelvektomi Prosedur amputasi
ini biasanya dilakukan untuk tumor ganas di tungkai dan
jarang dilakukan pada penyakit vaskular perifer (Turner et al,
2016). 23 Disartikulasi sendi lutut paling berhasil pada klien
dengan usia muda, karena masih mampu mengembangkan
kontrol yang tepat terhadap prosthesis. Bila dilakukan
amputasi disartikulasi sendi pinggul, kebanyakan orang akan
tergantung pada kursi roda untuk mobilitasnya (Senraet al,
2011).
3. Etiologi
a. Amputasi minor Terdapat 3 faktor yang dapat dipandang sebagai
predisposisi kerusakan jaringan pada kaki diabetes menyebabkan
amputasi, yaitu peripheral vaskular diseaes (PVD), neuropati, dan
infeksi (Kolossvary, 2015).
b. Mayor Penderita DM yang telah memiliki riwayat amputasi minor
akan beresiko 30% mengalami reamputasi karena pada amputasi
minor, sebagian semua amputasi minor dilakukanya operasi dengan
teknik open amputasi dan adanya stump sehingga beresiko terjadinya
infeksi maka perlu di lakukannya 24 revakularisasi dan amputasi
mayor yang terdiri dari amputasi bawah lutut dan amputasi atas lutut
(Kolossvary, 2015).
Indikasi dilakukannya amputasi tersebut adalah
1) akibat penyakit vaskular perifer yang tidak dapat direkonstruksi
dengan nyeri iskemik atau infeksi yang tak dapat ditoleransi lagi
akibat stump yang terinfeksi akibat atau terjadinya osteomilitis
direct.
2) Nyeri atau infeksi yang tidak dapat ditoleransi lagi pada pasien
yang tak dapat bergerak dengan penyakit vaskular perifer.
3) Infeksi yang menyebar secara luas dan tidak responsif terhadap
terapi konservatif. Secara mekanisme terjadinya ulkus pada pasien
yang mengalami amputasi mayor akibat perubahan gaya berjalan
dan perubahan keseimbangan yang menyebabkan tekanan tumit,
tekanan pertengahan kaki, dan tekanan kaki. Faktor lain yang
berperan yaitu penyakit vaskuler perifer (PVD), neuropati,
nekrotik fasciitis, deformitas tulang, dan gangguan patologi kuku
berat (Handaya, 2016).
4. Komplikasi paska amputasi Komplikasi yang dapat di temukan pada
pasien dengan paska amputasi antara lain:
a. Fisik
Faskulitis nekrotika Necrotizing Fasciitis (NF) adalah infeksi
jaringan lunak yang mengalami nekrosis yang dapat
menyebabkan kerusakan jaringan lokal yang cepat dan
mengakibatkan sepsis berat (Chen et al, 2015 dalam Callahan et
al, 2016).
b. Kontraktur sendi pada alat gerak bawah, adanya kontraktur
panggul sangat mengganggu karena membuat pasien kesulitan
untuk mengekstensikan panggulnya dan mempertahankan pusat
gravitasi di lokasi normalnya (Vitriana, 2015). Sementara itu
jika pusat gravitasi mengalami perubahan, maka akan semakin
banyak energi yang diperlukan untuk melakukan ambulasi.
Tendensi kontraktur fleksi lutut pada amputasi bawah lutut
dapat menyebabkan kurangnya keberhasilan fitting sebuah
prostetik (Latlief et al, 2014).
c. Pantom sindrom Phantom limb sensations adalah perasaan klien
yang merasakan bahwa kakinya masih ada, bahkan penderita
mengetahui bahwa kakinya tersebut tidak ada (Myers, 2015).
f. Psikososial
1. Gangguan emosi Penderita paska amputasi sering merasa mudah marah,
cepat tersinggung pasien cenderung berdiam atau perasaan kosong,
depresi, takut, sedih, cemas, putus asa, kelelahan yang luar biasa,
kebingungan, ketidak berdayaan dan dendam. Klien memiliki serangkaian
perubahan suasana hati dari tinggi ke rendah dan seperti berada pada
sebuah roller coaster emosional (Chan, 2016 dalam Abreu et al, 2017).
2. Depresi Amputasi tungkai bawah menyebabkan cacat fisik yang serius
dan sangat intuitif dengan penyesuaian dengan kondisi amputasi yang
impulsif menyebabkan tekanan psikologis. Depresi pada individu karena
amputasi tungkai bawah mencapai 45 % dari antara seluruh penderita
amputasi (Chan, 2016 dalam Abreu et al, 2017).
3. Isolasi sosial menemukan bahwa klien yang telah menjalani amputasi
mengalami isolasi sosial akibat hilangnya rasa kemampuan dalam
melakukan kegiatan sehari-hari yang membuat kurangnya interaksi
terhadap keluarga dan kelompok sosial lainnya, di dukung oleh hilangnya
pekerjaan membuat adanya rasa malu dan lemah.
4. Spiritual Terjadinya spiritual health disorder akibat dari keputusasaan dan
krisis psikologis yang dialami penderita amputasi menjadikan suatu
pengalaman hidup yang traumatis. Hal ini menyebabkan individu
mengalami kemarahan terhadap fakta yang terjadi. Kemarahan ini dapat
ditujukan kepada siapa saja, apakah dirinya sendiri, orang-orang sekitar
yang dekat dengannya, dan bahkan dengan Tuhan (Kaban, 2014).
Penelitian Salehi (2012) mengungkapkan pengalaman penderita paska
amputasi terhadap kesehatan rohani dalam proses pengobatan adalah
kekecewaan dan keputusasaan, rasa bersalah, merasa jauh dari Tuhan,
berhenti melakukan ibadah dan memandang Tuhan kejam. Pada
Penelitian Nusawakan (2011) menunjukan responden merasa jauh dari
Tuhan dan dengan berdoa merupakan tindakan sia-sia karena tidak dapat
melaksanakan dengan baik akibat amputasi.
5. Konsep self care behavior pada pasien diabetes mellitus dengan Amputasi
a. Konsep diabetes self care
Diabetes self care adalah program atau tindakan yang harus dijalankan
sepanjang kehidupan dan menjadi tanggung jawab penuh bagi setiap
pasien diabetes melitus. Diabetes self care akan meningkatkan derajat
kesejahteraan pasien DM dengan melaksanakan perawatan yang tepat
sesuai dengan kondisi dirinya sendiri (Kusniyah, 2010). Self care
behavior pada penderita amputasi merupakan perilaku perawatan
mandiri yang harus dilaksanakan oleh pasien meliputi perawatan kaki
dengan strategi foot care strategies dan other foot care, menindak
lanjuti rencana diit, aktivitas fisik, monitor gula darah; dan obat-
obatan (Berbrayer, 2015).
b. Self care panderita paska amputasi dengan diabetes melitus
1) Strategi foot care dan other care Angka amputasi ini dapat
diturunkan dengan melakukan pencegahan dan perawatan pada
ulkus baik dengan cara strategi Foot Care dan Other Foot Care.
a) Strategi Foot Care dan Other Foot Care
Amputasi minor Pada penderita amputasi minor dapat di
lakukan foot care berupa:
(1) Pemeriksaan kaki sendiri Pemeriksaan kaki sendiri dapat
dilakukan dengan melihat tanda-tanda gejala kaki bengkak,
memperhatikan adanya perubahan warna pada kuku ibu jari,
atau bagian dari kaki, adanya nyeri pada area kaki, adanya
kulit yang pecah mengeras (corns) atau callus.
(2) Pemilihan sepatu bagi kaki amputasi dan kaki sehat Sepatu
yang digunakan pada kaki yang sehat adalah sepatu yang rata
dan tampa hak 30 tinggi (low heeled) dan cukup ruang untuk
jari-jari (lace up shoes) (Berbraye,2015).
(3) Perawatan kaki Kaki dibasuh setiap hari dengan sabun mild
dan air hangat (jangan air panas). Setelah itu keringkan secara
benar, terutama sela jari, gunakan handuk yang kering. Other
Foot Care Strategi pada penderita amputasi minor dengan
mengunakan kaus kaki, melakukan latihan kaki setelah
meminum obat, dan mengikuti edukasi foot care (Berbrayer,
2015).
b) Foot care amputasi mayor
Pada penderita amputasi mayor juga melakukan foot care yaitu
dengan a) Skin care Skin care dilakukan dengan
membersihkan kulit pada stump yaitu mempergunakan sabun
yang bersifat ringan, cuci kulit hingga berbusa lalu basuh
dengan air hangat. Kulit dikeringkan dengan cara ditekan
dengan lembut, tidak digosok. Pembersihan ini dilakukan
setiap hari terutama pada sore hari. Centripetal massage
Centripetal massage membantu mengurangi edema,
memperbaiki sirkulasi dan melatih otot kaki yang di amputasi.
dan mencegah adhesi serta mengurangi ketakutan pasien untuk
melatih kaki yang telah di amputasi. b) Positioning Posisi sisa
kaki yang telah di amputasi harus diletakkan paralel terhadap
alat gerak bawah yang tidak diamputasi tanpa bersandar pada
bantal jika posisi dalam keadaan duduk atau berbaring. Posisi
ini mula- mula dipertahankan selama 10 menit yang kemudian
ditingkatkan menjadi 30 menit selama 3 kali per hari, dan
pertahankan posisi telentang selama mungkin. Pada pasien
dengan amputasi di bawah lutut yang mempergunakan kursi
roda maka kaki harus disandarkan pada sebuah stump board
saat pasien duduk dan fleksi lutut yang lama harus dihindari
(Vitriana, 2014). c) Stump care Perawatan stump yaitu dengan
membersihkan sehari hari stump dengan sabun dengan lembut
dan bilas dengan air kemudia keringkan dengan baik (Klute &
Ledoux, 2014). Jangan merendam stump terlalu lama saat
mandi karena akan melunakan jaringan kulit sehingga beresiko
infeksi, gunakan talcum powder hal ini membeantu
mengurangi keringat pada daerah sekitar stump (Rush et al,
2012).
Sock elastis dan diganti setiap hari hal ini mampu menyerab
keringat dan mengurangi iritasi pada stump. Periksa stump
dengan mengunakan cermin jika sulit untuk melihat keadaan
stump, perhatikan tanda-tanda kemerahan, kulit disekitar
stump hangat, adanya nanah atau cairan, dan adanya tanda
odema (bengkak) pada stump (Klute & Ledoux, 2014).
Terapi diet Terapi gizi medis (TGM) menurut ADA (2020)
merupakan bagian integral dalam pelaksanaan DM.
Pencapaian optimal dari terapi ini menentukan keberhasilan
pengelolaan DM. Intervensi 33 gizi yang efektif pada
penderita DM dapat meningkatkan kontrol gula darah, kontrol
lipid darah, kontrol tekanan darah, dan kontrol berat badan.
Pada penderita amputasi mayor harus mempertimbangan berat
badan pasien karena pengunaan protesis, pada penderita
amputasi tidak boleh mengalami penurunan berat badan
kurang dari 350 ons (ADA, 2020).
Aktivitas fisik Aktivitas fisik pada penderita amputasi minor
berupa olahraga berguna sebagai kendali gula darah, latihan
fisik secara regular, terstruktur yang terdiri dari latihan
aerobik, latihan daya tahan tubuh, atau gabungan keduanya
dilakukan lebih dari 150 menit dan dikombinasikan dengan
diiet akan sangat bermanfaat menurunkan HbA1c (ADA,
2020). Zinker (1997) dalam Wu (2017) menyatakan bahwa
pengaktifan otot tubuh dapat menginisiasi glikogenolisis dan
lipolisis serta menstimulasi pengeluaran glukosa dari hepar.
Manfaat olahraga pada penderita diabetes yang dilakuakan
selama 30 menit 34 dengan 3-4 kali seminggu dapat
meningkatkan penyeraapan glukosa dengan meningkatkan
sensitivitas insulin, meningkatkan kontrol gula darah,
menurunkan risiko penyakit jantung dan veskuler,
menurunkan penimbunan lemak tubuh dan menurunkan
tekanan darah darah. Olahraga yang dilakukan secara
terstruktur selama kurang lebih delapan minggu menunjukkan
kadar HbA1C yang rendah pada 0,66% pasien DM tipe 2
(ADA, 2020). Latihan fisik atau olahraga yang dapat
dilakukan klien DFU bertujuan meningkatkan kualitas hidup
dan mengurangi 50%-60% angka kematian pasien. Selain
menurunkan berat badan, olahraga juga mengurangi insiden
sebesar 60% pada pasien dengan gangguan toleransi glukosa
(Jordan & Jordan, 2010).
Prinsip Latihan fisik pada penderita DM adalah Continous,
Rhytmical, Interval, Progressive, Endurence (CRIPE) atau
latihan fisik harus dilakukan secara bekesinambungan atau
rutin, dengan memilih orah raga yang berirama seperti berjalan
kaki dengan gerakan yang dilakukan secara berselang selang
35 antara gerakan cepat dan lambat, latihan harus dilakukan
secarabertahap sesuai kemampuan hingga mencapai 30-60
menit dan dikolaborsikan dengan latihan daya tahan untuk
meningkatkan kemampuan pernafasan dan jantung.
Sedangkan pada amputasi mayor harus melakukan latihan
rentang gerak sendi dilakukan sedini mungkin pada sendi di
bagian proksimal pada alat gerak yang diamputasi. Latihan
isometrik pada bagian otot quadriceps dapat dilakukan untuk
mencegah deformitas pada amputasi di bawah lutut (Sari,
2015).
Tingkatkan latihan mejadi aktif secara bertahap, dari latihan
tanpa tekanan kemudian menjadi latihan dengan tahanan pada
kaki (Brunelli, 2015). Pada awalnya kaki sangat sensitif dan
pasien didorong untuk berusaha mengurangi sensitifitasnya.
Hal ini juga akan membantu pasien untuk mulai mengatasi
keterkejutan menghadapi kenyataan bahwa alat geraknya
sudah tidak ada (Nolan, 2015).
Sedangkan latihan untuk kaki yang masih sehat adalah latihan
kekuatan dan koordinasi otot-otot kaki, 36 lutut dan panggul.
Untuk mengontrol keseimbangan, weightbearing, akselerasi
dan ground clearance selama swing phase, kaki harus mampu
melakukan kontrol saat plantar fleksi, dorsifleksi, eversi dan
inversi. Seluruh pergerakan kaki dan alat gerak bawah harus
diuji dan dilatih secara individual dan harus dipusatkan pada
aktivitas berdiri secepat mungkin, sehingga otot-otot kaki
dapat berkerja secara fungsional (Sari, 2015).
g. Caring
1. Pengertian
Caring menurut Watson dikutip oleh Potter & Perry, merupakan sentral
praktek keperawatan. Caring juga merupakan suatu cara pendekatan
yang dinamis, dimana perawat bekerja untuk lebih meningkatkan
kepeduliannya terhadap klien. Caring menurut Watson di kutip oleh
Asmadi merupakan intisari keperawatan dan mengandung arti responsif
antara perawat dan klien. Caring dapat membantu seseorang lebih
terkontrol, lebih berpengetahuan, dan dapat meningkatkan kesehatan
(Asmadi, 2017).
Caring merupakan suatu sikap moral yang ideal yang harus dimiliki
perawat dalam membina hubungan interpersonal dan mengembangkan
nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu Watson juga mengungkapkan caring
sebagai jenis hubungan dan transaksi yang diperlukan antara pemberi dan
penerima asuhan untuk meningkatkan dan melindungi klien sebagai
manusia, dengan demikian mempengaruhi kesanggupan klien untuk
sembuh (Dwidiyanti, M. 2017).
2. Perilaku Caring
Caring perawat merupakan sikap peduli yang memudahkan pasien
untuk mencapai peningkatan kesehatan dan pemulihan. Perilaku caring
sebagai bentuk peduli, memberikan perhatian kepada orang lain, berpusat
pada orang, menghormati harga diri, dan kemanusiaan, komitmen untuk
mencegah terjadinya status kesehatan yang memburuk, memberi
perhatian dan menghormati orang lain (Nursalam, 2014 dalam Kusmiran
2015).
Perilaku caring adalah esensi dari keperawatan yang membedakan
perawat dengan profesi lain dan mendominasi serta mempersatukan
tindakan-tindakan keperawatan (Waston, 2009 dalam Kusmiran 2015).
Perilaku caring dapat ditunjukkan dalam kualitas asuhan
keperawatan yang diberikan oleh perawat, yang diharapkan oleh
pasien/atau klien dalam pelayanan keperawatan. Penampilan sikap
caring merupakan hal yang penting dalam meningkatkan kepuasan
pasien akan pelayanan keperawatan dan menghindari tanggung gugat
pasien.
Perawat memerlukan kemampuan khusus saat melayani orang atau
pasien yang sedang menderita sakit. Kemampuan khusus tersebut
mencakup keterampilanintelektual, teknikal, dan interpersonal yang
tercermin dalam perilaku caring (Kusmiran, 2015).
h. Pengalaman Pasien dengan Foot Ulcer Pasca Amputasi
Menurut Beberapa Penelitian Pengalaman Pasien dengan Foot Ulcer
Pasca Amputasi adalah:
1. Dalam Jurnal Zulaika Harissya et al (2022) dengan judul Pengalaman
Psikologis Pasien Diabetes Melitus dengan Diabetic Foot Ulcer
(DFU) pasca amputasi, Penelitian ini menunjukkan bahwa amputasi
ekstremitas bawah memberikan dampak psikologis yang berkaitan
dengan perubahan yang terjadi setelah amputasi. Partisipan
menggambarkan hal tersebut dengan mengungkapkan kesedihan,
perasaan cemas, takut, marah, penyesalan, harga diri rendah,
gangguan citra tubuh dan kaget dengan kondisi mereka pasca
amputasi, sehingga berdampak pada penurunan kesejahteraan hidup
partisipan.
BAB III
METEDOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian

Desain Penelitian adalah istilah yang digunakan untuk mengidentifikasi


bagaimana peneliti membuat rencana untuk memperoleh data yang
diperlukan dalam rangka menjawab pertanyaan penelitian (Sugiyono, 2011).
Pertanyaan Penelitian ini adalah bagaimana pengalaman pasien DM dengan
Foot Ulcer Pasca Minor Amputasi. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks
sosial secara alamiah untuk memperoleh gambaran dan informasi yang lebih
mendalam. Penelitian kualitatif juga bertujuan untuk menyediakan
penjelasan tersirat mengenai struktur, tatanan, dan pola yang luas yang
terdapat dalam suatu kelompok partisipan (Herdiansyah, 2011).

Metode kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan


pendekatan tematik. Pendekatan tematik adalah metode untuk
mengidentifikasi, menganalisis dan melaporkan tema-tema yang terdapat
dalam suatu fenomena. Analisis tematik adalah metode untuk
mengidentifikasi, menganalisis dan melaporkan pola-pola atau tema dalam
suatu data. Oleh karena itu metode ini dapat mengatur dan menggambarkan
data secara mendetail agar dapat menafsirkan berbagai aspek tentang topik
penelitian.

Pendekatan tematik merupakan suatu proses yang digunakan dalam


mengolah informasi kualitatif yang secara umum bertujuan untuk
memahami fenomena atau gejala sosial dengan lebih menitik beratkan
pada gambaran yang lengkap tentang fenomena yang dikaji dari pada
merinci menjadi variabel-variabel yang saling berkaitan dan dilaksanakan
secara sistematis.
B. Informan Penelitian

Pemilihan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik


purposive sampling. Teknik Purposive Sampling merupakan metode
pemilihan informan yang berdasarkan kepada ciri-ciri yang dimiliki oleh
subjek, pemilihan subjek karena ciri-ciri tersebut sesuai dengan tujuan
penelitian yang akan dilakukan.
Menurut Herdiansyah (2011) dalam teknik purposive sampling, peneliti
memilih subjek penelitian dan lokasi penelitian dengan tujuan untuk
mempelajari atau untuk memahami permasalahan pokok yang akan diteliti.
Subjek penelitian dan lokasi penelitian yang dipilih dengan teknik purposive
sampling disesuaikan dengan tujuan penelitian.
Adapun penelitian ini dilakukan pada pasien DM Pasca Amputasi di
Rumah Sakit Umum Rubini Rubinni, adapun yang menjadi kriteria informan
dalam penelitian ini adalah:
1. Pasien pasca amputasi minor
2. Informan berjumlah 10-12 orang
3. Pria & wanita berbagai suku dan pendidikan
C. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang sesuai dengan tujuan penelitian, teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara. Wawancara
adalah komunikasi dua arah dimana peneliti menggali informasi dengan
mengajukan pertanyaan sesuai dengan pedoman wawancara secara lebih
bebas dan leluasa serta tidak terikat oleh susunan pertanyaan pada pedoman
wawancara untuk mendapatkan data yang diinginkan (Taylor dan Bogdan,
1984). Wawancara dalam penelitian ini bertujuan untuk menggali dan
memperoleh informasi yang berhubungan dengan Pengalaman Pasien Dm
Foot Ulcer Pasca Amputasi Minor.
Dalam penelitian kualitatif, wawancara menjadi metode pengumpulan
data yang utama sehingga peneliti harus memperhatikan bahwa ketika
melakukan wawancara, jangan sampai informan merasa seperti sedang
diinterogasi oleh peneliti. Jika hal ini terjadi, maka kejujuran dan
keterbukaan informan penelitian akan terganggu yang nantinya akan
mempengaruhi validitas data yang diperoleh.
D. Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
1. Langkah awal penelitian ini adalah mengumpulkan dan mempelajari
literatur baik dari buku maupun jurnal-jurnal yang berkaitan dengan
topik penelitian. Sebelum melakukan penelitian, peneliti mencari
individu yang dapat dan tepat dijadikan informan penelitian. Setelah
menemukan informan, peneliti membangun kepercayaan kepada
Informan dan melakukan wawancara. Setelah selesai mewawancarai
semua informan, semua data yang telah didapatkan langsung ditulis
atau disalin dalam bentuk verbatim wawancara. Kemudian data
tersebut seluruhnya digolongkan, dianalisa dan dideskripsikan.
2. Pada tahap akhir penelitian, seluruh hasil penelitian telah selesai
dianalisis. Kemudian peneliti menyajikan hasil penelitian dimana siap
untuk dilaporkan dan dipertanggung jawabkan.
E. Instrument penelitian
Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur
fenomena alam maupun sosial yang diamati (Sugiyono, 2016). Sedangkan
menurut Purwanto (2018), instrumen penelitian pada dasarnya alat yang
digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian.
Instrumen dalam penelitian kualitatif ini adalah peneliti. Validitas
reabilitasnya juga harus teruji sebelum turun ke lapangan. Untuk menjaga
validitas dan reabilitas sebagai instrumen penelitian, validitas terhadap
peneliti sebagai instrumen meliputi validitas terhadap pemahaman metode
penelitian kualitatif, penguasaan wawasan terhadap bidang yang diteliti,
kesiapan peneliti untuk memasuki objek penelitian, baik secara akademik
maupun logistiknya.Validasi dilakukan oleh peneliti dengan melakukan
penguasaan teori dan wawasan terhadap bidang yang diteliti, serta kesiapan
dan bekal memasuki lapangan (Sugiyono, 2016).
Penelitian ini bisa dianggap sah atau sudah cukup apabila data yang
sudah didapatkan memiliki saturasi data yang sudah jenuh. Peneliti
merupakan peneliti utama dalam penelitian ini, sehingga kemampuan
peneliti dalam menggali pengalaman individu menjadi kompetensi yang
harus dimiliki. Kelemahan yang bisa ditemukan adalah peneliti bisa menilai
berdasarkan subjektifitas terhadap keterangan maupun respon dari informan.
Namun diharapkan dengan bahasa yang sama dengan informan serta dengan
budaya yang dipahami oleh peneliti maka persepsi dan pemahaman baik
oleh peneliti maupun informan diharapkan bisa maksimal sesuai dengan
yang diharapkan sehingga adanya bias juga bisa diperkecil atau dihindari.
Peneliti melakukan bracketing dengan cara menghindari sikap kritis dan
evaluatif terhadap semua informasi yang diberikan oleh informan serta
menghindari asumsi-asumsi pribadi terhadap fenomena yang diteliti.
F. Validitas dan Reliabilitas
Setiap penelitian membutuhkan adanya standar untuk melihat derajat
kepercayaan atau kebenaran terhadap hasil penelitian tersebut. Di dalam
penelitian kualitatif, standar tersebut sering disebut dengan keabsahan data
(trustworthiness). Pengecekan keabsahan data (trustworthiness) merupakan
suatu langkah untuk mengurangi kesalahan dalam proses perolehan data
penelitian yang tentunya berefek kepada kevalidan hasil akhir suatu
penelitian. Pengecekan keabsahan data (trustworthiness) ini dilakukan oleh
peneliti bertujuan untuk menghasilkan data yang dapat dipertanggung
jawabkan dan dipercaya secara ilmiah serta memenuhi tingkat kredibilitas
tinggi (Sastrapratedja, 2020).
1. Validitas
Dalam penelitian kualitatif, temuan atau data dapat dinyatakan
valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti
dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada obyek yang diteliti. Tetapi
perlu diketahui bahwa kebenaran realitas data menurut penelitian
kualitatif tidak bersifat tunggal, tetapi jamak dan tergantung pada
konstruksi manusia (Soegiyono, 2011). Oleh karena itu, bila terdapat 10
peneliti dengan latar belakang yang berbeda meneliti pada obyek yang
sama, akan mendapatkan 10 temuan, dan semuanya dinyatakan valid
kalau apa yang ditemukan itu tidak berbeda dengan kenyataan
sesungguhnya yang terjadi pada obyek yang diteliti.
Menurut Cresswell et al (2018) ada 4 jenis validitas dalam penelitian
kualitatif sebagai berikut:
a) validitas deskriptif
Validitas yang berkaitan dengan akurasi suatu akun untuk
memastikan bahwa seseorang tidak memalsukan atau tidak
mendistorsi apa yang dia dengar dan lihat. Semua jenis validitas
yang lain bergantung pada eksistensi aspek fundamental dari
validitas jenis ini. Dalam penelitian kualitatif perilaku harus
dihadirkan dan dengan kepastian tertentu karena melalui arus
perilaku atau lebih tepatnya melalui aksi sosial, bentuk-bentuk
budaya untuk menemukan artikulasi.
b) validitas interpretative
Validitas yang ditemukan pada bahasa orang-orang yang diteliti
dan sangat mungkin bersandar pada kata-kata dan konsep-konsep
mereka sendiri.
c) validitas teoritis
Validitas yang berkaitan dengan pemahaman teoritis. Pemahaman
semacan ini adalah pemahaman yang yang bisa dicari di balik
deskripsi konkrit dan penafsiran nilainya diturunkan berdasarkan
kemampuan menjelaskan data yang banyak secara ringkas.
d) validitas eksternal
Validitas yang berkaitan dengan generalisasi hasil penelitian
kualitatif. Ada kesepakatan besar bahwa kemampuan generalisasi
dalam pengertian menghasilkan hukum-hukum yang dapat
diterapkan secara universal bukan standar yang berguna atau tujuan
besar dari penelitian kualitatif.
Adapun uji validitas dalam penelitian ini adalah pertanyaan dengan
berfokus pada pedoman wawancara yang dibuat oleh peneliti sesuai
dengan tujuan dan harapan peneliti.
2. Reliabilitas
Dalam penelitian kualitatif data dikatakan reabilitas apabila suatu
data realitas bersifat majemuk/ganda, dinamis/selalu berubah sehingga
tidak ada yang konsisten, dan berulang seperti semula (Soegiyono,
2011).
Penelitian kualitatif dapat dinyatakan sah apabila memiliki tingkat
kepercayaan (Credibility), Keteralihan (transferability),
Kebergantungan (dependability), dan Kepastian (confirmability).
Berdasarkan keempat syarat tersebut, uji keabsahan data dalam
penelitian selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Kepercayaan (Credibility)
Apakah proses data hasil penelitian dapat diterima atau
dipercaya. Kredibilitas merupakan kriteria untuk memenuhi nilai
kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan. Artinya,
hasil penelitian harus dapat dipercaya oleh semua pembaca secara
kritis dan dari responden sebagai informasi.
Keabsahan data (trustworthiness) dalam penelitian ini
ditentukan dengan menggunakan kriteria derajat kepercayaan
(credibilitas). Derajat kepercayaan data ini dimaksudkan untuk
membuktikan bahwa apa yang berhasil dikumpulkan oleh peneliti
sesuai dengan kenyataan responden yang ada di lapangan yaitu
Desa Punggur Kecamatan Sungai Kakap Kabupaten Kubu Raya
atau tidak. Derajat kepercayaan (credibilitas) data diperiksa melalui
kelengkapan data yang diperoleh dari berbagai sumber. Adapun
cara memperoleh tingkat kepercayaan hasil penelitian, yaitu:
1) Memperpanjang masa pengamatan (prolonged engagement),
memungkinkan peningkatan derajat kepercayaan data yang
dikumpulkan, bisa mempelajari kebudayaan dan dapat menguji
informasi dari responden, dan untuk membangun kepercayaan
para responden terhadap peneliti dan juga kepercayaan diri
peneliti sendiri. Memperpanjang penelitian yang dilakukan
oleh peneliti dengan tujuan untuk melihat dan mengetahui
secara mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
ibu hamil dalam memilih pertolongan persalinan pada dukun
sampai data yang dibutuhkan dapat terkumpul secara lengkap
dan bisa menjawab semua fokus penelitian ini. Data-data
tersebut akan diperoleh dari hasil observasi, wawancara, dan
dokumentasi. Setelah peneliti mendapatkan data secara
lengkap, maka peneliti hadir lagi ke lokasi penelitian tersebut
untuk mengecek/memeriksa kembali apakah data yang
didapatkan sebelumnya telah berubah atau tidak. Apabila tidak
terjadi perubahan data, maka peneliti mengakhiri
penelitiannya.
2) Pengamatan yang terus menerus (persistent obsercation),
untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang
sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang diteliti,
serta memuaskan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.
Penelitian ini akan memperoleh kepastian data dan urutan
peristiwa secara pasti dan sistematis sehingga dapat
memberikan deskripsi data yang akurat dan sistematis tentang
apa yang diamati. Peneliti meningkatkan ketekunan
pengamatan/pengamatan secara terus-menerus dalam
mengumpulkan data dengan membaca dan memeriksa dengan
cermat data yang telah diperoleh peneliti dari hasil observasi,
wawancara, dan dokumentasi dengan para informan kunci
yaitu: ibu hamil, dukun beranak, keluarga, bidan dan nakes
lainnya. Pengamatan secara terus-menerus ini bertujuan untuk
mendapatkan data atau informasi yang benar-benar valid dan
relevan dengan fokus penelitian yang ada di dalam penelitian
ini.
b) Triangulasi (triangulation), pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan
pengecekan atau sebagi pembanding terhadap data tersebut.
Mengenai uraian dari masing-masing triangulasi yang digunakan
oleh peneliti mulai dari triangulasi sumber dan triangulasi teknik,
sebagai berikut:
1) Triangulasi sumber adalah teknik untuk menguji kredibilitas
data, teknik ini dilakukan dengan cara mengecek data yang
diperoleh dari berbagai sumber. Di dalam penelitian ini data
diperoleh melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi
dengan para informan kunci, mereka yaitu: ibu hamil, dukun
beranak, keluarga, bidan dan nakes lainnya. Penelitian ini
triangulasi sumber dapat dicapai dengan cara: membandingkan
hasil data yang berkaitan tentang persalinan yang ditolong oleh
dukun beranak dan yang ditolong oleh nakes dengan para
informan kunci (key informant) yang sudah dipilih oleh
peneliti.
2) Triangulasi teknik adalah teknik untuk menguji kredibilitas
data yang dilakukan dengan cara mengecek pada sumber yang
sama tetapi dengan teknik yang berbeda. Penelitian ini,
pelaksanaan triangulasi teknik yang digunakan untuk
mendapatkan data tentang factor-faktor yang mempengaruhi
ibu hamil dalam memilih pertolongan persalinan pada dukun
beranak dapat dicapai dengan cara: membandingkan data hasil
observasi dengan hasil wawancara, membandingkan data hasil
wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan dengan
fokus penelitian, dan membandingkan apa yang dikatakan
informan kunci (key informant) di depan umum dengan apa
yang dikatakan pribadi.
3) Diskusi dengan teman sejawat (peer debriefing), yaitu
mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh
dalam bentuk diskusi analitik dengan rekan-rekan sejawat.
Peneliti melakukan diskusi dengan dosen pembimbing dan
teman yang sudah melaksanakan penelitian. Sehingga saran-
saran yang akan dijadikan bahan evaluasi bagi peneliti.
4) Mengadakan pengecekan anggota (member checking), yaitu
dengan menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda
dan mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek
analisis, dengan mengaplikasikannya pada data, serta dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang data. Tujuan dari
member check adalah untuk mengetahui kesesuaian data yang
diberikan oleh sumber data. Di dalam penelitian ini, proses
pengecekan data (member check) dilakukan ketika data sudah
terkumpul semua dan dilakukan penarikan kesimpulan
sehingga peneliti mendapat temuan data terkait factor-faktor
yang mempengaruhi ibu hamil dalam memilih pertolongan
persalinan pada dukun di Desa Punggur Kecamatan Sungai
Kakap Kabupaten Kubu Raya. Data-data di dalam proses
pengecekan data (member check) ini diperoleh peneliti dari
instrumen kunci (ibu hamil, dukun beranak, bidan, dan nakes
lainnya).
c) Keteralihan (transferability)
Apakah hasil penelitian ini dapat diterapkan pada situasi yang
lain? Kriteria ini digunakan untuk memenuhi kriteria bahwa hasil
penelitian yang dilakukan dalam konteks (setting) tertentu dapat
ditransfer ke subjek lain yang memiliki tripologi yang sama. Untuk
mendapatkan derajat transferability yang tinggi tergantung pada
kemampuan peneliti dalam mengangkat makna-makna esensial
temuan penelitiannya dan melakukan refleksi serta analisis kritis
yang ditujukan dalam pembahasan penelitian. Adapun penelitian
yang memenuhi transferability yakni apabila pembaca mendapat
gambaran yang jelas dari suatu hasil penelitian dapat dilakukan
tranferability. Nilai tranferability tinggi senantiasa dicari orang lain
untuk dirujuk, dicontoh, dipelajari lebih lanjut, dan selanjutnya
dapat diterapkan di tempat lain.
Transferability dalam penelitian ini dipaparkan melalui
uraian secara rinci. Pengujian transferability di dalam penelitian ini
bertujuan agar orang lain dapat memahami hasil penelitian terkait
dengan factor-faktor yang mempengaruhi ibu hamil dalam memilih
pertolongan persalinan pada dukun di Desa Punggur Kecamatan
Sungai Kakap Kabupaten Kubu Raya, sehingga ada kemungkinan
untuk menerapkan hasil penelitian ini.
d) Kebergantungan (dependability)
Apakah hasil penelitian mengacu pada kekonsistenan peneliti
dalam mengumpulkan data, membentuk, dan menggunakan
konsep-konsep ketika membuat interpretasi untuk menarik
kesimpulan. Kriteria ini dapat digunakan untuk menilai apakah
proses penetilian kualitatif bermutu atau tidak, dengan mengecek:
apakah peneliti sudah cukup hati-hati, apakah membuat kesalahan
dalam mengkonseptualisasikan rencana penelitiannya,
pengumpulan data, dan penginterpretasiannya.
Teknik terbaik yang digunakan adalah dependability audit
dengan meminta dependent dan independent auditor untuk
mereview aktifitas peneliti. Reliabilitas penelitian kualitatif
dipengaruhi oleh definisi konsep yaitu suatu konsep dan definisi
yang dirumuskan berbeda-beda menurut pengetahuan peneliti,
metode pengumpulan dan analisis data, situasi dan kondisi sosial,
status dan kedudukan peneliti dihadapan responden, serta hubungan
peneliti dengan responden.
e) Kepastian (confirmability)
Apakah hasil penelitian dapat dibuktikan kebenarannya
dimana hasil penelitian sesuai dengan data yang dikumpulkan dan
dicantumkan dalam laporan lapangan. Hal ini dilakukan dengan
membicarakan hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan
tidak berkepentingan dalam penelitian dengan tujuan agar hasil
dapat lebih objektif. Konfirmabilitas merupakan kriteria untuk
menilai mutu tidaknya hasil penelitian. Jika dependabilitas
digunakan untuk menilai kualitas dari proses yang ditempuh oleh
peneliti, maka konfirmabilitas untuk menilai kualitas hasil
penelitian. Standar confirmability disini artinya, seorang peneliti
melaporkan hasil penelitian karena ia telah melakukan serangkaian
kegiatan penelitian di lapangan.
Uji kepastian (confirmability) diperlukan untuk mengetahui
apakah data yang diperoleh obyektif atau tidak. Hal ini tergantung
pada persetujuan beberapa orang terhadap pandangan pendapat dan
temuan peneliti. Jika telah disepakati oleh beberapa atau banyak
orang dapat dikatakan obyektif, namun penekanannya tetap pada
datanya. Untuk menentukan kepastian data dalam penelitian ini
dilakukan dengan cara mengkonfirmasikan data dengan para
informan kunci (key informant).
Untuk menjaga kebenaran dan obyektivitas hasil penelitian
perlu melakukan audit trail. Audit trail adalah melakukan
pemeriksaan terhadap data guna meyakinkan bahwa hal-hal yang
dilaporkan memang demikian adanya sehingga bisa dilacak
ataupun diikuti. Audit trail dapat dipenuhi dengan cara: menyusun
catatan lapangan (field notes), menyusun deskripsi data, analisis,
sintesis, dan tafsiran/pemaknaan, serta melaporkan proses
pengumpulan data.
Konsep validitas dalam penelitian kualitatif yang sering
digunakan adalah kredibilitas. Kredibiltas menjadi suatu hal yang
penting ketika mempertanyakan kualitas hasil suatu penelitian
kualitatif. Standar kredibilitas ini identik dengan standar validitas
internal dalam penelitian kuantitatif. Suatu hasil penelitian kualitatif
dikatakan memiliki tingkat kredibilitas yang tinggi terletak pada
keberhasilan studi tersebut mencapai tujuannya mengeksplorasi
masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau
pola interaksi yang majemuk/kompleks (Cresswell et al., 2018).
G. Analisa Data
Dalam penelitian kualitatif, konseptualisasi, kategorisasi, dan deskripsi
dikembangkan atas dasar “kejadian” yang diperoleh ketika kegiatan
lapangan berlangsung. Karenanya, antara kegiatan pengumpulan data dan
analisis data tidak mungkin dipisahkan satu sama lain. Keduanya
berlangsung secara simultan, prosesnya berbentuk siklus dan interaktif,
bukan linier. Dalam penelitian kualitatif, analisis data dilakukan selama dan
setelah pengumpulan data, dengan teknik-teknik misalnya analisis domain,
analisis taksonomis, analisis komponensial, dan analisis tema.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis tema atau thematic
analysis, yaitu proses mengolah data kualitatif untuk diketahui bentuk pola
atau tematik yang ada pada data. Miles dan Huberman (1992)
menggambarkan proses analisis data penelitian kualitatif sebagai berikut
(Sugiyono, 2016).

3.3
Gambar Analisis (Sugiyono, 2016)

Gambar tersebut memperlihatkan sifat interaktif pengumpulan data


dengan analisis data, pengumpulan data merupakan bagian integral dari
kegiatan analisis data. Dalam proses pengolahan data secara kualitatif
terdapat langkah-langkah yang harus ditempuh antara lain:
1. Reduksi data
Reduksi data adalah proses pemilihan, pemuastan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang
muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Proses ini
berlangsung terus menerus selama penelitian berlangsung, bahkan
sebelum data benar-benar terkumpul sebagaimana terlihat dari
kerangka konseptual penelitian, permasalahan studi, dan pendekatan
pengumpulan data yang dipilih peneliti. Reduksi data meliputi: (1)
meringkas data, (2) mengkode, (3) menelusur tema, (4) membuat
gugus-gugus. Caranya: seleksi ketat atas data, ringkasan atau uraian
singkat, dan menggolongkannya ke dalam pola yang lebih luas.
Meringkas hasil pengumpulan data kedalam konsep, kategori, dan
tema-tema, itulah kegiatan reduksi data, pengumpulan data dan
reduksi data saling berinteraksi dengan melalui konklusi dan
penyajian data, ia tidak bersifat sekali jadi, tetapi secara bolak balik,
perkembangannya bersifat sekuensial dan interaktif, bahkan
melingkar. Kompleksitas permasalahan bergantung pada ketajaman
pisau analisis.
2. Penyajian data
Penyajian data adalah kegiatan ketika sekumpulan informasi
disusun, sehingga memberi kemungkinan akan adanya penarikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan. Bentuk penyajian data
kualitatif dapat berupa teks naratif berbentuk catatan lapangan,
matriks, grafik, jaringan, dan bagan. Bentuk-bentuk ini
menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang
padu dan mudah diraih, sehingga memudahkan untuk melihat apa
yang sedang terjadi, apakah kesimpulan sudah tepat atau sebaliknya
melakukan analisis kembali.
3. Penarikan kesimpulan

Upaya penarikan kesimpulan dilakukan peneliti secara terus-


menerus selama berada di lapangan. Dari permulaan pengumpulan
data, peneliti kualitatif mulai mencari arti benda-benda, mencatat
keteraturan pola- pola (dalam catatan teori), penjelasan-penjelasan,
konfigurasi- konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, dan
proposisi. Kesimpulan- kesimpulan ini ditangani secara longgar,
tetap terbuka, dan skeptis, tetapi kesimpulan sudah disediakan.

Mula-mula belum jelas, namun kemudian meningkat menjadi


lebih rinci dan mengakar dengan kokoh. Kesimpulan-kesimpulan itu
juga diverifikasi selama penelitian berlangsung, dengan cara: (1)
memikir ulang selama penulisan, (2) tinjauan ulang catatan
lapangan, (3) tinjauan kembali dan tukar pikiran antarteman sejawat
untuk mengembangkan kesepakatan intersubjektif, (4) upaya-upaya
yang luas untuk menempatkan salinan suatu temuan dalam
seperangkat data yang lain.
H. Setting Penelitian
1. Tempat penelitian
Penelitian ini akan dilakukan diruangan Kenanga dan Anggrek Rumah
Sakit Umum Daerah Rubini Kabupaten Mempawah.
2. Waktu penelitian
Waktu penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Januari-Juni tahun
2024
I. Tahapan penelitian (persiapan, pelaksanaan, evaluasi dan pasca
wawancara)
Adapun rosedur pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari tiga tahap
diantaranya yaitu:
1. Tahap persiapan
Pada tahap pesiapan peneliti membuat surat izin penelitian dari
bagian pembuatan surat ITEKES Muhammadiyah Kalimantan Barat yang
ditujukan ke Pimpinan Dinas Kesehatan Kabupaten Mempawah, Direktur
Rumah Sakit Umum Daerah Rubini, setelah meminta ijin peneliti
menjelaskan tujuan penelitian kepada Pimpinan Dinas Kesehatan
Kabupaten Mempawah dan Direktur Rumah Sakit Umum Daerh Rubini,
selanjutnya peneliti melakukan pendekatan dengan masing-masing calon
baik responden maupun partisipan dan memberikan penjelasan tentang
maksud dan tujuan penelitian.
Setelah partisipan setuju, maka peneliti membrikan dan lembar
informed consent. Sebelum mewancarai, peneliti melakukan kontrak
waktu dan tempat dilaksanakannya Indepth Interview serta menyiapkan
tape recorder untuk mengetahui pendapat partisipan secara lengkap.
2. Pelaksanaan
Pada tahap pelaksaanan, penelitian dimulai dengan beberapa fase yaitu:
a. Peneliti membuat pertanyaan terbuka dan lembar survey yang
digunakan untuk mendapatkan data penelitian baik secara
kuantitatif maupun kualitatif
b. Melalakukan pengambilan data kepada responden penelitian
(Kuantitaif) dan partisipan (Kualitatif)
c. Melakukan pengolahan data/ analisis data
3. Evaluasi
Pelaksaan didahului dengan informasi mengenai tanggal dilakukan
wawancara, dilanjutkan dengan perekaman, selanjutnya peneliti
mengajukan pertanyaan saat partisipan merasa siap dan perhatian
terfokus.
4. Pasca wawancara
Setelah peneliti mendapat jawaban terhadap seluruh pertanyaan, peneliti
mengucapkan terima kasih dan mengadakan perjanjian ulang,
selanjutnya peneliti mencatat proses wawancara meliputi lawa
wawancara, sikap dan penerimaan / penolakan partisipan, terakhir
merapikan hasil wawancara dalam bentuk transkrip hasil wawancara
mendalam.
J. Etika penelitian
Etika penelitian keperawatan sangat penting karena penelitian
keperawatan berhubungan langsung dengan manusia dalam melakukan
penelitian ini, peneliti mengajukan permohonan uji etik ke bagian
litbang.stikmuhptk.ac.id dengan melampirkan formulir permohonan dan tesis.
Penelitian ini dilaksanakan setelah peneliti memperoleh keterangan lolos kaji
etik dari Komite Etik Penelitian Institut Teknologi Dan Kesehatan
Muhammadiyah Kalimantan Barat.

Dalam melakukan penelitian, peneliti mempertimbangkan aspek etika


penelitian, yaitu sebagai berikut:
1. Otonomi (Autonomy)
Merupakan prinsip etik dimana informan diminta kesediannya untuk
menjadi subjek penelitian tanpa dengan paksaan. Hal ini dilakukan
peneliti dengan menjelaskan tujuan penelitian dan memberikan
kebebasan pada partisipan dengan tanpa paksaan untuk menjadi informan
sukarela dengan diberikan lembar persetujuan (informed concent) bahwa
bersedia untuk menjadi partisipan penelitian.
2. Tanpa nama (Anonimity)
Saat melakukan penelitian, peneliti memberikan jaminan kepada
partisipan dengan cara tidak mencantumkan nama informan pada hasil
penelitian yang akan disajikan, akan tetapi hanya berbentuk kode.
3. Kerahasiaan (Confidentiality)
Peneliti menjamin kerahasiaan dari partisipan yang diteliti dengan cara
merahasiakan nama dari hasil penelitian. Peneliti menjamin informasi
yang disampaikan oleh partisipan hanya digunakan untuk kepentingan
penelitian. Peneliti juga mengantisipasi informasi yang telah disampaikan
oleh partisipan tidak akan didengar oleh pihak lain.
4. Manfaat (Beneficience)
Pada penelitian ini peneliti memberikan manfaat sebesar-besarnya
kepada informan terutama tentang disiplin perawat.
5. Keadilan (Justice)
Peneliti memperlakukan semua informan secara adil dan terbuka. Semua
partisipan diperlakukan sama yaitu dengan memberikan konfirmasi hasil
penelitian. Peneliti juga menjaga kerahasiaan informasi yang diberikan
oleh partisipan.

Anda mungkin juga menyukai