Anda di halaman 1dari 62

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Diabetes melitus (DM) merupakan penyebab utama kematian dan


kecacatan di seluruh dunia prevalensi globalnya adalah sekitar 8 % pada tahun
2011 dan diperkirakan akan meningkat menjadi 10 % pada tahun 2030. Hampir
80 % dari penderita diabetes tinggal di negara berpenghasilan rendah dan
menengah seperti Asia dan Pasifik timur. Tahun 2011, Cina merupakan negara
dengan jumlah penderita DM terbesar yaitu 90,0 juta ( 9 % dari populasi ),
diikuti oleh India 61,3 juta (8 % dari populasi ) dan Bangladesh 8,4 juta (10 %
dari populasi (Akter, S, 2014).

Prevalensi penyakit diabetes terus meningkat di seluruh dunia.WHO


memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar
untuk tahun-tahun mendatang. Untuk Indonesia, WHO memprediksi kenaikan
jumlah pasien dari 8,4 juta jiwa pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta jiwa
pada tahun 2030 (Handayani, 2012).

Secara epidemiologi, diperkirakan bahwa pada tahun 2030 prevalensi


diabetes melitus (DM) di Indonesia mencapai 21,3 juta orang (Diabetes Care,
2004). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, diperoleh bahwa
proporsi penduduk ≥15 tahun dengan DM adalah 6,9%. Angka kejadian DM
terjadi peningkatan dari 1,1% di tahun 2007 meningkat menjadi 2,1% di tahun
2013 dari keseluruhan penduduk sebanyak 250 juta jiwa. Prevalensi DM lebih
banyak pada daerah perkotaan (2,5%) dari pada pedesaan (1,7%) (Balitbangkes,
2013). Disini terlihat perbedaan antara urban dan rural yang menunjukkan bahwa
gaya hidup mempengaruhi kejadian penyakit DM.

Melihat terbatasnya anggaran kesehatan, besarnya biaya yang dikeluarkan


untuk penanganan diabetes, dan banyaknya masalah kesehatan yang diakibatkan
oleh diabetes, efisiensi anggaran menjadi pilihan agar program kesehatan tepat
sasaran. Untuk menanggulangi diabetes dengan efektif dan efisien, kita perlu

1
melakukan program pencegahan dan penanggulangan dengan tepat sasaran.
Caranya adalah dengan mengetahui karakteristik individu yang beresiko untuk
menderita diabetes mellitus.

Prevalensi diabetes mellitus berdasarkan diagnosis dokter di provinsi


Sumatera Utara adalah 1,8%, sementara pada keseluruhan Indonesia, prevalensi
diabetes mellitus adalah 1,5% (Badan Litbangkes Kemkes, 2013).

Diabetes mellitus selain dikenal sebagai penyakit, juga merupakan faktor


risiko berbagai penyakit penting seperti penyakit jantung koroner, gagal jantung
dan stroke. Komplikasi DM dapat berupa akut yaitu hipoglikemia dan kronis
seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, gagal ginjal, gangguan penglihatan
(mata), impotensi, ulkus kaki dan gangren. Menurut ADA (2014) penderita DM
memiliki risiko 40% menderita glaukoma dan 60% berisiko terjadinya katarak
pada mata dibanding dengan bukan penderita DM. Orang dengan DM memiliki
risiko 1,5 kali terkena stroke. Risiko kematian pasien stroke dengan DM 2,8 kali
lebih tinggi dibandingkan yang tidak engalami DM. Menurut IDF (2014) orang
dengan diabetes mellitus berisiko 25 kali untuk diamputasi dibanding dengan
bukan penderita DM.

Pemahaman faktor risiko diabetes melitus sangat penting diketahui dan


dimengerti. Tujuan program pengendalian DM di Indonesia adalah
terselenggaranya pengendalian faktor risiko untuk menurunkan angka kesakitan,
kecacatan dan kematian yang disebabkan diabetes melitus (Kemenkes, 2009).
Berdasarkan hasil penelitian Trisnawati dan Setyorogo (2013) didapati bahwa
faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian diabetes mellitus tipe-2 adalah
umur, riwayat DM, aktifitas fisik, indeks massa tubuh, tekanan darah, stres dan
kadar kolesterol.

Puskesmas Kampung Persatuan merupakan salah satu sarana kesehatan di


kota Tanjungbalai. Berdasarkan laporan SP2TP Puskesmas Kampung Persatuan
tahun 2016, penyakit DM menempati urutan ke- 5 dari 10 besar penyakit.

2
Mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan akibat DM terhadap
kualitas sumber daya manusia dan peningkatan biaya kesehatan di masyarakat,
maka peneliti ingin mengetahui bagaimana “Gambaran Faktor Risiko Diabetes
Mellitus Tipe-2 Pada Masyarakat di Kelurahan Kuala Silo Bestari Kota
Tanjungbalai”.

1.2. Rumusan Masalah


Uraian ringkas dari latar belakang masalah di atas memberikan dasar bagi
peneliti untuk merumuskan pertanyaan penelitian yaitu “Gambaran Faktor Risiko
Diabetes Mellitus Tipe-2 Pada Masyarakat di Kelurahan Kuala Silo Bestari Kota
Tanjungbalai”.

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran faktor resiko Diabetes Melitus tipe 2 pada
Masyarakat di Kelurahan Kuala Silo Bestari Kota Tanjungbalai.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui gambaran faktor resiko Diabetes Mellitus tipe 2
pada Masyarakat di Kelurahan Kuala Silo Bestari Kota
Tanjungbalai.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor utama penyebab terjadinya DM di
Kelurahan Kuala Silo Bestari Kota Tanjungbalai
3. Untuk mengetahui keterkaitan antara masing-masing faktor risiko
penyebab terjadinya DM di Kelurahan Kuala Silo Bestari Kota
Tanjungbalai.
4. Untuk mengetahui faktor resiko jenis kelamin, tingkat pendidikan,
jumlah pendapatan, aktivitas fisik, status gizi, riwayat meminum
alkohol, merokok, hipertensi, jumlah konsumsi serat dan lemak pada
pasien DM di Kelurahan Kuala Silo Bestari Kota Tanjungbalai.

3
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Masyarakat
Penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gambaran
faktor resiko diabetes melitus tipe 2 sehingga mampu mencegah faktor resiko
terjadinya diabetes melitus yang dapat dimodifikasi.

1.4.2 Bagi Institusi Kesehatan


Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai gambaran faktor
resiko diabetes melitus tipe 2 pada masyarakat sehingga dapat digunakan dalam
menentukan kebijakan program yang terkait karakteristik usia, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, dan jumlah pendapatan.

1.4.3 Bagi Peneliti


Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran sehingga menambah
pemahaman dan wawasan dalam melakukan penelitian di bidang kesehatan dan
mengaplikasikan ilmu pengetahuan dalam praktik keseharian.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Diabetes Mellitus


Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau keduanya (Purnamasari, 2009).

2.2 Epidemiologi

Diabetes melitus merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan di


seluruh dunia prevalensi globalnya adalah sekitar 8 % pada tahun 2011 dan
diperkirakan akan meningkat menjadi 10 % pada tahun 2030. Hampir 80 % dari
penderita diabetes tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah seperti
Asia dan Pasifik timur (WHO, 2014).

Tahun 2011, Cina merupakan negara dengan jumlah penderita DM


terbesar yaitu 90,0 juta ( 9 % dari populasi ), diikuti oleh India 61,3 juta (8 %
dari populasi ) dan Bangladesh 8,4 juta (10 % dari populasi ). Namun, sebagian
besar pemerintah dan perencana kesehatan masyarakat tidak menyadari prevalensi
diabetes dan pradiabetes saat ini, potensi kenaikan prevalensi di masa depan dan
komplikasi serius yang berhubungan dengan DM. Akibatnya, pengetahuan
tentang prevalensi diabetes dan pradiabetes dan faktor risiko terkait dapat
meningkatkan kesadaran penyakit dan menyebabkan kebijakan dan strategi baru
untuk pencegahan dan manajemen.(WHO, 2014 )

Secara epidemiologi, diperkirakan bahwa pada tahun 2030 prevalensi


Diabetes Melitus (DM) di Indonesia mencapai 21,3 juta orang. Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diperoleh bahwa proporsi penyebab
kematian akibat DM pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan
menduduki ranking ke2 yaitu 14,7% dan daerah pedesaan, DM menduduki
ranking ke-6 yaitu 5,8% (Depkes, 2008).

5
Berdasarkan hasil Riskesdas 2007 prevalensi nasional DM berdasarkan
pemeriksaan gula darah pada penduduk usia >15 tahun diperkotaan 5,7%.
Prevalensi nasional obesitas umum pada penduduk usia ≥ 15 tahun sebesar 10.3%
dan sebanyak 12 provinsi memiliki prevalensi diatas nasional, prevalensi nasional
obesitas sentral pada penduduk usia ≥ 15 tahun sebesar 18,8 % dan sebanyak 17
provinsi memiliki prevalensi diatas nasional. Sedangkan prevalensi TGT
(toleransi glukosa terganggu) pada penduduk usia >15 tahun di perkotaan adalah
10.2% dan sebanyak 13 provinsi mempunyai prevalensi diatas prevalensi
nasional. Prevalensi kurang makan buah dan sayur sebesar 93,6%, dan prevalensi
kurang aktifitas fisik pada penduduk >10 tahun sebesar 48,2%. Disebutkan pula
bahwa prevalensi merokok setiap hari pada penduduk >10 tahun sebesar 23,7%
dan prevalensi minum beralkohol dalam satu bulan terakhir adalah 4,6% %
(Depkes, 2008).

2.3 Faktor Risiko

1. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi : (PERKENI, 2011)


a. Ras dan etnik
b. Riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang diabetes)
c. Umur risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring
dengan meningkatnya usia. Usia > 45 tahun harus dilakukan
pemeriksaan DM.
d. Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram atau
riwayat pernah menderita DM gestasional (DMG).  Riwayat lahir
dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg.
e. Bayi yang lahir dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi
dibanding dengan bayi lahir dengan BB normal.

2. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi : (PERKENI, 2011)

a. Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2).

6
b. Kurangnya aktivitas isik.
c. Hipertensi (> 140/90 mmHg).
d. Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL)
e. Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah
serat akan meningkatkan risiko menderita prediabetes/ intoleransi
glukosa dan DM tipe 2.
f. Merokok

3. Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes :


a. Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain
yang terkait dengan resistensi insulin
b. Penderita sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa
terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
sebelumnya, memiliki riwayat penyakit kardiovaskular seperti stroke,
PJK, atau PAD (Peripheral Arterial Diseases).

2.3.1 Hubungan riwayat keluarga

Seseorang yang memiliki riwayat keluarga penderita diabetes di anggap


sebagai salah satu faktor risiko yang penting dari penyakit diabetes mellitus.
Riwayat penyakit keluarga menggambarkan informasi genetik karena
menggambarkan interaksi antara lingkungan, perilaku dan faktor genetik (Annis et
al., 2005).

Prevalensi penyakit diabetes pada individu yang memiliki anggota keluarga


derajat pertama ( orang tua dan atau saudara kandung ) sebesar 14,3% ,
sedangkan individu yang tidak memiliki riwayat keluarga penderita diabetes
sebesar 3,2%. Prevalensi pada individu dengan ibu penderita diabetes sebesar
16,5% , sedangkan pada individu dengan ayah penderita diabetes sebesar 12,4%
(Annis et al., 2005).

7
Risiko seseorang untuk menderita diabetes lima kali lebih tinggi pada orang
yang memiliki riwayat keluarga daripada orang yang tidak memiliki riwayat
keluarga penderita diabetes (Kekenusa et al., 2013).

Riwayat keluarga yang menderita diabetes mellitus dapat ditinjau dari pertanyaan
(Valdez et al., 2007)

1. Apakah ada anggota keluarga yang pernah di beritahukan oleh tenaga


kesehatan jika mereka menderita penyakit diabetes mellitus?
2. Jika jawaban dari pertanyaan pertama adalah ya, lalu tanyakan anggota
keluarga yang mana yang menderita penyakit tersebut?

Risiko menderita diabetes pada seseorang dapat terbagi menjadi (Valdez R, 2009)

1. Risiko tinggi
Bila seseorang memiliki dua anggota keluarga derajat pertama atau satu
anggota keluarga pertama dan dua anggota keluarga derajat kedua
( contoh kakek, nenek, paman, bibi ) yang menderita penyakit diabetes
mellitus.
2. Risiko sedang
Bila seseorang memiliki satu anggota keluarga derajat pertama atau
setidaknya dua anggota keluarga derajat dua yang menderita penyakit
diabetes mellitus.
3. Risiko rendah
Bila seseorang tidak memiliki riwayat keluarga yang menderita penyakit
diabetes mellitus.

Riwayat keluarga adalah faktor risiko yang kuat dan independen untuk
penyakit diabetes mellitus. Akan tetapi, riwayat keluarga harus dievaluasi secara
keseluruhan pada individu yang memiliki faktor risiko lain atau faktor risiko yang
dicurigai ( Hariri et al., 2006).

8
2.3.2 Usia

Umur merupakan salah satu faktor yang sangat penting terhadap


prevalensi terjadinya diabetes mellitus. Resiko terjadinya diabetes naik bersama
bertambahnya umur. WHO menyebutkan bahwa ketika seseorang mencapai
umur 30 tahun, maka konsentrasi glukosa darah akan naik 1-2 mg % / tahun pada
saat puasa dan akan naik sekitar 5,6- 13 mg % /tahun pada 2 jam setelah
makan.Berdasarkan hal tersebut umur merupakan factor terjadinya prevalensi
terjadinya diabetes (Rochmah, 2009).

Populasi di Asia diabetes berkembang pada usia yang lebih muda dari
populasi Barat. Pada populasi India Asia, prevalensi diabetes banyak dijumpai
60-69 tahun, sedangkan pada penduduk Cina pada 79-89 tahun (Ramachandran et
al., 2012)

Di Nigeria, risiko untuk terjadinya diabetes meningkat 3-4 kali setelah


usia 44 tahun. Secara global diabetes terjadi pada umur antara 40-59 tahun.
Semakin memburuknya resisten insulin dengan pertambahan umur dan
menurunnya aktivitas menyebabkan meningkatnya prevalensi diabetes mellitus
tipe 2 yang berhubungan dengan umur ( Ekpenyong et al., 2012).

Penelitian antara umur dengan kejadian diabetes mellitus menunjukan


adanya hubungan yang signifikan. Kelompok umur < 45 tahun merupakan
kelompok yang kurang berisiko menderita DM Tipe 2, risiko pada kelompok ini
72 persen lebih rendah dibanding kelompok umur ≥45 tahun. Selain itu, studi
yang dilakukan Sunjaya (2009) juga menemukan bahwa kelompok umur yang
paling banyak menderita diabetes mellitus adalah kelompok umur 45-52 (47,5%).
Peningkatan risiko diabetes terjadi seiring dengan bertambahnya umur, khususnya
pada usia lebih dari 40 tahun, disebabkan karena pada usia tersebut mulai terjadi
peningkatan intolenransi glukosa. Adanya proses penuaan menyebabkan
berkurangnya kemampuan sel β pancreas dalam memproduksi insulin. Selain itu
pada individu yang berusia lebih tua terdapat penurunan aktivitas mitokondria di
sel-sel otot sebesar 35%. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar lemak di

9
otot sebesar 30% dan memicu terjadinya resistensi insulin (Trisnawati &
Setyorogo, 2013).

Pada Umur diatas 60 tahun berkaitan dengan terjadinya diabetes karena


pada usia tua, fungsi tubuh secara fisiologis menurun karena terjadi penurunan
sekresi atau resistensi insulin ( Jelantik & Haryat, 2014).

Timbulnya resistensi insulin pada lansia dapat disebabkan beberapa faktor


perubahan komposisi tubuh: massa otot lebih sedikit dan jaringan lemak lebih
banyak, menurunnya aktivitas fisik sehingga terjadi penurunan jumlah reseptor
insulin yang siap berikatan dengan insulin, perubahan pola makan lebih banyak
makan karbohidrat, sehingga terjadi perubahan neurohormonal(terutama insulin-
like growth factor-1 (IGF-1) dan dehidroepiandosteron (DHEAS) plasma)
sehingga terjadi penurunan ambilan glukosa akibat menurunnya sensitivitas
reseptor insulin dan aksi insulin (kurniawan, 2010).

2.3.3 Jenis Kelamin

Menurut CDC 2014 dari tahun 1977 sampai 2011 di Asia prevalensi
meningkat menjadi 81% pada laki-laki dan 49% pada perempuan yang menderita
Diabetes tipe 2. Sedangkan di antara ras kaukasian dan negroid, yang menderita
diabetes ada 160% laki-laki kaukasian dan 108% perempuan Kaukasian, 148%
laki-laki negroid dan 84% perempuan negroid.

Setengah abad yang lalu populasi wanitalah yang lebih tinggi mengidap
diabetes dibandingkan laki-laki, namun sekarang sudah berubah, laki-laki lebih
banyak didagnosa diabetes dibanding perempuan ini dikarenakan perubahan gaya
hidup pada laki-laki cenderung ke arah obesitas. Dan berdasarkan distribusi
lemak, obesitas sebagai salah satu faktor resiko diabetes tipe-2 terutama
abdominal visceral fat hal ini lebih banyak ditemukan pada laki-laki dan pada
perempuan lebih banyak distribusi lemak dibawah kulit. Pada laki-laki lebih
rentan mengalami resistensi insulin daripada perempuan, karena tingginya

10
visceral dan hepatic fat yang cenderung berkaitan dengan resistensi insulin
(Faerch, 2014)

Pada wanita dapat terjadi diabetes mellitus gestasional terjadinya


intoleransi glukosa selama kehamilan. Hal ini terjadi Karena peningkatan
hormone dari plasenta yang menyebabkan terganggunya intoleransi glukosa
sehingga insulin lebih banyak diproduksi, hingga pancreas tidak dapat
memproduksi insulin yang cukup selama kehamilan, kadar gula darah akan naik
mengakibatkan Diabetes Melitus Gestasional. Hal ini dapat mengakibatkan
komplikasi jangka panjang pada ibu dan anak menjadi intoleransi glukosa,
diabetes melitus dan obesitas (American Diabetes Association, 2011).

Walaupun prevalensi diabetes lebih tinggi pada laki-laki, namun didalam


Gender Differences in Living with Diabetes Mellitus Siddiqui, 2013 harapan
hidup penderita lebih tinggi pada laki-laki dari pada perempuan. Hal ini mungkin
disebabkan pada perempuan selain harus menanggulangi penyakitnya sendiri ia
tetap harus mengurusi kebutuhan keluarga dan rumah tangganya. Sedangkan pada
laki-laki yang mengidap diabetes memiliki kehidupan yang lebih efektif, tingkat
depresi cemas yang lebih rendah dan pemikiran positif yang lebih tinggi.

2.3.4 Tingkat Pendidikan dan Jumlah Pendapatan

Menurut UU SISDIKNAS No. 20 (2003), tingkat pendidikan adalah


tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta
didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang dikembangkan. Indikator
tingkat pendidikan terdiri dari jenjang pendidikan dan kesesuaian jurusan. Jenjang
pendidikan formal terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah dan
pendidikan tinggi.:

a Pendidikan dasar: Jenjang pendidikan awal selama 9 (sembilan) tahun


pertama masa sekolah anak-anak yang melandasi jenjang pendidikan
menengah.

11
b Pendidikan menengah: Jenjang pendidikan lanjutan pendidikan dasar.
Pendidikan menengah terdiri dari pendidikan menengah umum,
pendidikan menengah kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk sekolah
atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA) Sekolah Menengah Kejuruann
(SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang
sederajat.
c Pendidikan tinggi: jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang
mencakup program sarjana  magister  doctor  dan spesialis yang
diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Perguruan tinggi di sini dapat
berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut atau universitas,
pendidikan tinggi diselenggarakan dengan system terbuka.

Tingkat pendidikan memiliki pengaruh terhadap kejadian penyakit


diabetes melitus Tipe 2. Orang yang tingkat pendidikannya tinggi biasanya akan
memiliki banyak pengetahuan tentang kesehatan. Dengan adanya pengetahuan
tersebut akan memiliki kesadaran dalam menjaga kesehatannya (Irawan, 2010).
Orang dengan tingkat pendidikan tinggi dapat lebih peka dalam pencegahan
penyakit, memiliki kemampuan yang lebih tinggi untuk merubah perilaku
kesehatan mereka dan cenderung lebih sering menggunakan fasilitas pelayanan
kesehatan (Sacerdote, 2012).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Illinois BRFSS tahun 2012 ,


insidensi diabetes paling tinggi terjadi pada kelompok dengan tingkat pendidikan
yang rendah, dan paling rendah terjadi pada kelompok dengan tingkat pendidikan
yang tinggi (Illinois BRFSS, 2012).

Menurut Sudremi (2007) pendapatan merupakan semua penerimaan


seseorang sebagai balas jasanya dalam proses produksi, bisa berupa upah, bunga,
sewa, maupun, laba tergantung pada faktor produksi pada yang dilibatkan dalam
proses produksi.

Dalam penelitian Gabby (2014) didapati hubungan yang bermakna antara


tingkat pendapatan dengan kejadian Diabetes Melitus tipe 2 pada pasien rawat

12
jalan di Poliklinik Interna BLU RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado. Hasil
penelitian orang yang memiliki pendapatan di atas nilai UMP (Upah Menengah
Provinsi) berisiko 1,4 kali lebih besar terkena DM Tipe 2 dibandingkan dengan
orang yang memiliki pendapatan di bawah nilai UMP.

Hal ini serupa dengan penelitian Ari (2010) dimana terdapat ada hubungan
antara tingkat pendapatan dengan kejadian Diabetes Melitus tipe 2. Di dalam
penelitiannya, responden dengan tingkat pendapatan lebih dari Rp 650.000,00
memiliki risiko 3,353 kali untuk menderita diabetes mellitus tipe 2 dibandingkan
responden dengan tingkat pendapatan kurang dari Rp 650.000,00

2.3.5 Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik didefinisikan sebagai gerakan tubuh yang dihasilkan oleh


otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi. Aktivitas fisik telah
diidentifikasi sebagai faktor risiko utama keempat kematian untuk dunia
menyebabkan sekitar 3,2 juta kematian secara global, termasuk diabetes melitus.
Selain itu, aktivitas fisik diperkirakan menjadi penyebab utama untuk sekitar 21-
25% dari kanker payudara dan usus, 27% dari diabetes dan sekitar 30% dari
penyakit jantung koroner (WHO, 2015). Sebaliknya kurangnya aktifitas fisik
(physical inactivity) dapat digambarkan sebagai keadaan di mana tubuh
melakukan gerakan minimal dan pengeluaran energi mendekati tingkat
metabolisme istirahat (basal metabolic rate) (Miles, 2007).

Istilah aktivitas fisik (physical activity) harus dapat dibedakan dengan


istilah latihan jasmani (exercise). Latihan jasmani (exercise) adalah subkategori
dari aktivitas fisik yang dirancanakan, terstruktur, berulang-ulang dan bertujuan
untuk memperbaiki atau mempertahankan satu atau lebih dari komponen
kebugaran fisik (physical fitness), yakni kekuatan (strength), daya tahan
(endurance), daya otot (muscular power), kecepatan (speed), daya lentur
(flexibility), kelincahan (agility), koordinasi (coordination), keseimbangan
(balance), ketepatan (accuracy) dan reaksi (reaction) (WHO, 2015).

13
Aktifitas fisik lebih lanjut dikategorikan berdasarkan frekuensi, durasi, dan
intensitas. Frekuensi dan durasi menunjukkan seberapa sering dan seberapa lama
aktivitas fisik dikerjakan. Sedangkan intensitas mengacu pada sebagaimana keras
seseorang bekerja atau tingkat pengeluaran energi (energy expenditure) yang
dibutuhkan dalam aktivitas tersebut (Miles, 2007).

Berdasarkan intensitasnya, aktivitas fisik dibagi menjadi tiga bagian,


yakni: 1.)Intensitas ringan (light intensity) : orang yang aktif di tingkat intensitas
ringan harus mampu menyanyi atau melakukan percakapan normal saat
melakukan aktivitas. Contoh aktivitas ringan adalah seseorang akan mudah
berjalan atau membersihkan. 2.) Intensitas sedang (moderate intensity) : seseorang
yang aktif pada tingkat intensitas sedang harus mampu melakukan percakapan,
namun menemukan beberapa kesulitan saat melakukan aktivitas. Sebuah contoh
aktivitas sedang adalah berjalan cepat, bersepeda, atau menari. 3.) Intensitas berat
(vigorous intensity) : Jika seseorang menjadi sangat mudah untu menemukan
kesulitan saat melakukan percakapan saat melakukan aktivitasnya, hal ini
dikatakan aktivitas ini adalah aktivitas berat. Contoh aktivitas berat akan
mencakup jogging atau berjalan dan olahraga berat seperti basket, renang, bola
tangan, dll (Aznar et.al., 2010).

Tabel 2.1 Intensitas dan Tingkat Pengeluaran Energi dari Suatu Aktivitas Fisik
Sumber : Aznar et.al., 2010
Activity Intensity Intensity Energy expenditure
(METS) (kcal equivalent, for a person of
30kg doing the activity for 30
mins)
Ironing Light 2.3 35
Cleaning & dusting Light 2.5 37
Walking – stroling 3-4 km/h Light 2.5 37
Painting/ decorating Moderate 3.0 45
Walking – 4-6 km/h Moderate 3.3 50
Hoovering Moderate 3.5 53
Golf – walking, pulling Moderate 4.3 65
clubs
Badminton – social Moderate 4.5 68
Tennis – doubles Moderate 5.0 75
Walking – brisk, >6km/h Moderate 5.0 75
Mowing lawn – walking, Moderate 5.5 83

14
using power mower
Cycling – 16-19 km/h Moderate 6.0 90
Aerobic dancing Vigorous 6.5 93
Cycling – 19-22 km/h Vigorous 8.0 120
Swimming – slow crawl, 45 Vigorous 8.0 120
m per minute
Tennis – singles Vigorous 8.0 120
Running – 9-10 km/h Vigorous 10.0 150
Running – 10-12 km/h Vigorous 11.5 173
Running – 12-14 km/h Vigorous 13.5 203

Aktifitas fisik dan latihan jasmani berperan dalam pengaturan kadar gula
darah pada pasien dengan diabetes metilus tipe-2. Aktivitas fisik dapat
mengontrol gula darah. Glukosa akan diubah menjadi energi pada saat beraktivitas
fisik. Aktivitas fisik mengakibatkan insulin semakin meningkat sehingga kadar
gula dalam darah akan berkurang. Pada orang yang jarang berolahraga, zat
makanan yang masuk ke dalam tubuh tidak dibakar tetapi ditimbun dalam tubuh
sebagai lemak dan gula. Jika insulin tidak mencukupi untuk mengubah glukosa
menjadi energi maka akan timbul DM (Trisnawati, 2013).

Setiap orang dewasa yang menderita diabetes dianjurkan untuk melakukan


paling tidak 150 menit/ minggu aktifitas fisik aerobik dari suatu aktivitas sedang
(dengan 50-70% maksimum denyut jantung). Melakukan aktivitas fisik paling
tidak 3 kali dalam seminggu dengan tidak lebih dari 2 hari konsekutif tanpa
aktifitas fisik. Melakukan latihan jasmani secara teratur akan memperbaiki
pengaturan kadar gula darah , menurunkan faktor resiko terjadinya diabetes
mellitus dan penyakit kardiovaskular dan membantu menurunkan berat badan
(ADA, 2015).

Penyerapan glukosa pada otot membutuhkan tiga tahapan langkah.


Pertama, penghantaran glukosa dari darah kedalam otot, kedua perpindahan
glukosa melewati membran otot, dan ketiga fosforilasi glukosa kedalam otot.
Latihan jasmani atau aktivitas fisik akan meningkatkan transportasi glukosa
melalui stimulasi translokasi GLUT4 (Glucose transporter type 4) ke permukaan
sel-sel otot. Mekanisme lainnya adalah dengan peningkatan AMP (Adenosine

15
Monophosphate) otot yang akan menstimulasi AMP kinase menyebabkan
sejumlah perubahan metabolik, termasuk meningkatkan transportasi glukosa
(Sigal et.al., 2004).

Masuknya glukosa kedalam sel otot dikendalikan oleh sinyal yang tidak
bergantung dengan insulin (insulin-independent) yang dipicu oleh otot yang
bekerja, namun dapat dimodifikasi oleh insulin yang beredar disirkulasi. Aktivitas
fisik dapat meningkatkan baik ambilan glukosa yang tidak bergantung insulin
(insulin-independent) maupun sensitivitas insulin (Sigal et.al., 2004).

Menurut Balkau et.al, 2008, aktivitas fisik dapat memengaruhi sensitivitas


insulin dalam banyak cara, termasuk 1) meningkatkan transpor glukosa baik
GLUT4-dependent dan transpor glukosa hypoxia- dependent di otot rangka 2)
meningkatkan vaskularisasi otot rangka, neobiogenesis mitokondria, dan jaringan
3) partisi ulang lemak intraseluler, sehingga meningkatkan pemanfaatannya dan 4)
kehilangan massa lemak.

Selain meningkatkan sensitivitas insulin, melakukan aktivitas fisik dan


latihan jasmani (exercise) yang terstruktur secara regular selama paling tidak 8
minggu akan menurunkan A1C sekitar 0,66% pada penderita diabetes mellitus
tipe 2, walaupun tidak ada perubahan signifikan dari indeks massa tubuh (ADA,
2015).

2.3.6 Status Gizi

Kegemukan merupakan faktor risiko yang paling penting untuk


dikendalikan sebab meningkatnya angka kejadian diabetes mellitus tipe 2 sangat
terkait dengan obesitas. Hasil penelitian di Amerika Serikat pada tahun 2014
menunjukkan dibandingkan orang dengan indeks massa tubuh yang normal, orang
yang memiliki berat badan berlebih dan obes menurut statistik secara signifikan
berhubungan dengan risiko terkena dibetes mellitus tipe 2. Risiko untuk terkena
diabetes mellitus tipe 2 pada orang yang memiliki berat badan berlebih ataupun

16
obes 1,5-5 kali lebih besar dibandingkan dengan individu dengan indeks massa
tubuh yang normal (Ganz et al, 2014).

Menurut Schienkiewitz et al, peningkatan berat badan pada pria dan


wanita dewasa muda (25-40 tahun) sangat berhubungan dengan risiko terkena
diabetes tipe-2. Berdasarkan penelitian The Health Professional Follow-Up,
peningkatan berat badan sebanyak 1 kg sejak usia 21 tahun meningkatkan 7,3%
risiko untuk terkena diabetes. Sedangkan peningkatan berat badan pada usia
antara 25-40 tahun akan mempercepat onset timbulnya diabetes tipe 2
(Schienkiewitz, 2006).

Sedangkan hasil penelitian di DKI Jakarta menunjukkan bahwa sampel


yang berstatus gizi obes berisiko terkena diabetes melitus 2.93 kali lebih besar
dibandingkan status gizi normal (Nuryati et al, 2009).

Hal ini disebabkan oleh kurangnya aktivitas fisik serta tingginya konsumsi
karbohidrat, protein dan lemak yang merupakan factor risiko dari obesitas. Hal
tersebut menyebabkan meningkatnya Asam Lemak atau Free Fatty Acid (FFA)
dalam sel. Peningkatan FFA ini akan menurunkan translokasi transporter glukosa
ke membrane plasma, dan menyebabkan terjadinya resistensi insulin pada
jaringan otot dan adipose (Trisnawati, 2013).

Selain itu penumpukan lemak yang terutama terjadi di daerah perut


(daerah visceral) memiliki peranan yang kuat untuk terjadinya diabetes mellitus.
Kadar asam lemak yang tinggi menyebabkan terpaparnya pulau Langerhans dan
meningkatnya sekresi insulin basal (Sugiani, 2008).

2.3.7 Alkohol

Pada peminum alkohol ada tiga mekanisme yang dapat menjadi faktor
penyebab diabetes, peminum alkohol berat dapat menurunkan sensitifitas insulin
yang mana akan memicu terjadinya diabetes tipe 2, diabetes merupakan salah satu
efek samping dari pankreatitis kronik yang biasanya disebabkan oleh peminum
alkohol berat, alkohol mengandung kalori tinggi satu gelas kecil sama dengan

17
kalori satu potong pizza sehingga mengkonsumsi alkohol meningkatkan
terjadinya obesitas yang merupakan resiko tinggi diabetes tipe 2 (Drinkaware,
2014).

Untuk pasien diabetes, pengaruh alkohol terhadap kadar gula darah dapat
menyebabkan keadaan hiperglikemia dan hipoglikemia. Alkohol yang
dimetabolisme di hati mengakibatkan inhibisi glukoneogenesis di hati. Namun hal
ini dapat dikompensasi dengan menurunkan penggunaan glukosa di otot. Jika hal
ini terus berlanjut dapat mengakibatkan gangguan sekresi insulin maupun kerja
insulin (Ward, 2009)

Selain itu efek alkohol terhadap diabetes, alkohol dapat menstimulasi


nafsu makan yang menjurus ke arah gangguan kontrol gula darah, alkohol juga
dapat mengakibatkan reaksi positif terhadap insulin maupun insulin sekretagog
yang dapat mengakibatkan hipoglikemia, alkohol dapat meningkatkan trigliserida,
alkohol dapat meningkatkan tekanan darah (Baliunas, 2009)

Bagi penderita diabetes harus berkonsultasi terlebih dahulu kepada dokter


dalam mengkonsumsi alkohol, pengguna Insulin, atau Insulin Sekretagog harus
diedukasi bahwa dapat terjadi hipoglikemia dalam 24 jam pertama apabila
mengkonsumsi alkohol saat itu, penggunaan alkohol harus dibatasi minimal 2
buah gelas/hari atau kurang 10 gelas/ minggu bagi perempuan dan 3 gelas/ hari
atau 15 gelas/minggu bagi laki-laki (Canadian Diabetes Association, 2013).

Dalam Dansinger 2013, peminum alkohol berat, peminum alkohol dalam


jangka waktu lama, dan peminum yang suka mabuk-mabukan di pesta juga
meningkatkan resiko terjadinya diabetes. Sehingga yang ingin mengkonsumsi
alkohol harus mengikuti beberapa aturan seperti, jangan mengkonsumsi alkohol
lebih dari satu jenis dalam sehari, minumlah alkohol bersama dengan makanan,
minumlah perlahan, hindari pemanis yang dicampur kedalam minuman alkohol,
campurkan air, soda atau soft drink kedalam minuman alkohol.

2.3.8 Merokok

18
Merokok umumnya di sebagai penyebab tersering penyakit jantung
koroner dan stroke. Meskipun tidak disebutkan secara spesifik merokok
menyebabkan terjadinya diabetes tapi sering dihubungkan antara merokok dengan
diabetes dengan hubungan nya dengan resistensi insulin dan nephropathy (Chang,
2012).

Pada penelitian Wang di sampaikan bahaw di temukan lebih dari 90%


orang yang merokok lebih dari 25 rokok per tahun pada perokok aktif dan sekitar
16% pada perokok pasif. Dikatakan bahwa nikotin yang terdapat pada rokok dapat
menyebabkan resistensi insulin dan mempengaruhi efek insulin. Pada studi hewan
coba, nikotin yang dipaparkan pada prenatal atau neonatal dapat menyebabkan sel
-Pancreas menghilang (Wang et al., 2013).

Proses merokok mengakibatkan perubahan lemak di dalam tubuh yang


menyebabkan terjadinya resistensi insulin dan efek toksik ke jaringan pankreas.
Meskipun seseorang telah berhenti merokok, efek yang ada di dalam tubuh terus
bergerak sehingga tidak akan jauh berbeda (Wannamethee et al., 2001).

Merokok meningkatkan resiko penderita DM ke arah komplikasi seperti


retinopaty, neuropaty dan nephropathy. Merokok akan menyebabkan perubahan
awal dari komplikasi microvascular tersebut. Penghambat kecanduan merokok
seperti NRT dan Bupropion sangat membantu (Selby, 2008).

Seseorang yang mengurangi merokok berhubungan dengan diabetes dan


gangguan glukosa puasa. Peningkatan berat badan dilaporkan terjadi pada
diabetes melitus dan gangguan glukosa puasa. Sehingga insidensi orang yang
berhenti merokok tidak akan memengaruhi lebih lanjut terjadinya diabetes (Stein
et al., 2014).

2.3.9 Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan darah diastolik secara konsisten ≥90 mmHg
atau tekanan sistolik ≥140 mmHg. Klasifikasi hipertensi adalah sebagai berikut
(Lily, 2011) :

19
Tabel 2.2 Klasifikasi Hipertensi
Kategori Tekanan sistolik Tekanan Diastolik
(mmHg) (mmHg)
Normal <120 And <80
Prehipertensi 120-139 Or 80-89
Hipertensi stage 1 140-159 Or 90-99
Hipertensi stage 2 ≥160 Or ≥100
Diabetes dan hipertensi sering terjadi bersamaan. Terdapat substansial
yang tumpang tindih antara diabetes mellitus dan hipertensi baik pada mekanisme
penyakit dan etiologinya. Di Hongkong, badan penelitian prevalensi faktor resiko
kardiovaskular menyatakan hanya 42% penderita diabetes yang memiliki tekanan
darah normal dan 56% penderita hipertensi memiliki toleransi glukosa yang
normal (Cheung dan Li, 2012). Pasien dengan hipertensi lebih beresiko terkena
diabetes dalam interval waktu 5 tahun (Felastein, 2002).

Angka prevalensi hipertensi pada penderita diabetes 2x lipat dibandingkan


dengan subjek yang tidak menderita diabetes. Pasien hipertensi memiliki
prevalensi diabetes mellitus yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek yang
normotensi. Walaupun asosiasi hipertensi dan intoleransi glukosa diduga
berkaitan dengan faktor peningkatan obesitas dan usia. Tetapi asosiasi ini tetap
terjadi ketika kedua faktor ini (obesitas dan usia) dihilangkan (Diabetes UK,
2008).

Diabetes mellitus dan hipertensi memiliki pathway yang sama, seperti


SNS, RAAS, stres oksidatif, adipokin, resistensi insulin, dan PPARS. Pathway ini
berinteraksi dan mempengaruhi satu dengan lain dan dapat menyebabkan siklus
berulang yang buruk (Cheung & Li, 2012).

Selain itu penelitian sebelumnya juga menyatakan bahwa insiden diabetes


yang lebih tinggi terjadi pada pasien hipertensi yang mengonsumsi thiazida
dibandingkan dengan obat antihipertensi lainnya. Risiko peningkatan insidens
diabetes pada pasien hipertensi diperberat oleh penggunaan obat penurun tekanan

20
darah seperti thiazida dan beta bloker, terlebih jika kedua agen ini dikombinasi
(Williams, 2013). Efek yang memperburuk toleransi glukosa meningkat
bersamaan dengan bertambahnya epidemik diabetes dan obesitas, sehingga
penggunaan thiazida diberhentikan meskipun efektif, murah, dan manfaat
kardiovaskular yang tinggi (Agarwal, 2008).

Gambar 2.1 Hipertensi-Hipokalemia-Diabetes Melitus : Hubungan 3


arah. Hipertensi diobati dengan thizida, khususnya pada dosis tinggi, dan
menyebabkan hipokalemia. Hipokalemia, dapat memperberat hipertensi
dan juga memicu diabetes mellitus. Yang dapat mengakibatkan hipertensi,
dan pasien hipertensi cenderung lebih mudah menderita diabetes mellitus.
Memperbaiki cadangan potassium. Berguna baik untuk diabetes mellitus
dan hipertensi.

Pada sebuah meta analisis ditemukan bahwa hubungan terbalik yang kuat
antara gula dan potassium dengan penggunaan thiazida, yang mana juga konsisten
dengan gagasan bahwa total simpanan potassium tubuh dapat memediasi
sensitivitas insulin. Peningkatan insiden diabetes yang absolut menurun ketika
konsentrasi potassium menurun dari 5,0 sampai 4,5 mEq/L tetapi lebih tinggi
ketika serum potassium menurun dari 4,0 sampai 3,5 mEq/L. Pencegahan dan
pengobatan hipokalemia dapat mencegah peningkatan angka diabetes. Pada
faktanya, pada percobaan Helderman mengevaluasi efek dari suplemen potassium
pada toleransi glukosa 7 orang sukarelawan sehat yang mengonsumsi

21
hydrochlorothizida dosis tinggi- 100 mg untuk 10 hari. Investigator
menyimpulkan bahwa dengan hilangnya potassium dicegah, thiazida tidak
menginduksi toleransi glukosa, sensitivitas sel beta terhadap glukosa atau
sensitivitas jaringan terhadap insulin (Agarwal, 2008).

2.3.10 Jumlah Konsumsi Serat

Makanan berserat dapat memberi banyak manfaat kesehatan. Makan


makanan berserat yang cukup dapat mengurangi resiko terjadinya diabetes.
Namun , kebanyakan orang mengkonsumsi kurang serat. Serat dapat diperoleh
dari makanan seperti gandum, buah-buahan, sayur-sayuran, dan kacang-kacangan.
Suplemen yang mengandung serat dapat juga memiliki peran tambahan sebagai
pengganti serat dalam meningkatkan kesehatan (Anderson, 2009).

Serat adalah bagian makanan hasil dari tumbuh tumbuhan yang tidak
dapat dicerna oleh enzim pecernaam manusia, termasuk polisakarida dan lignin.
Dalam defenisi lebih terkini termasuk oligosakarida, seperti inuli, dan zat pati
resisten (Anderson, 2009). Misner dalam dietary fiber menulis bahwa serat adalah
sumber makanan yang membuat tubuh sehat melalui efektivitas sistem usus, yang
secara luas menjelaskan bagian tumbuhan yang tidak dapat dicerna oleh tubuh
(Misner, 2006).

Serat terbagi menjadi serat soluble yang terfermentasi di usus besar dan
serat insoluble yang memiliki efek meningkatkan massa feses (Anderson, 2009).
Serat soluble larut dalam air dan bermanfaat untuk mengurangi kadar lemak
dalam darah, jenis serat ini dapat ditemui dalam kulit buah buahan dan kulit padi.
Serat insoluble adalah serat yang tidak larut dalam air dan bermanfaat
meningkatkan massa feses dan menjaga kesehatan sistem percernaan, jenis serat
ini ditemui dalam gandum, buah-buahan, dan sayur-sayuran (Misner, 2006).

Manfaat serat untuk diabetes sendiri adalah serat soluble dapat


menurunkan tingkat kecepatan absorpsi dan pencernaan karbohidrat yang dapat
menurunkan permintaan untuk insulin dan serat insoluble dapat mempersingkat
waktu transisi di usus, sehingga dibutuhkan waktu yang singkat untuk menyerap

22
karbohidrat (Montonen, 2003). Makanan dengan serat yang tinggi dapat
memperlambat pencernaan dan absorpsi glukosa dan menimbulkan efek kenyang
sehingga dapat menurunkan berat badan yang juga merupakan salah satu faktor
risiko diabetes melitus, makanan berserat tinggi juga dapat meningkatkan
sensivitas insulin, yang kemungkinan melalui efek rantai pendek asam lemak yang
dihasilkan dari fermentasi serat di usus halus (Fuji, 2013).

Asupan tinggi serat memiliki hubungan dengan penurunan signifikan dari


prevalensi diabetes berdasarkan penelitian kohort prospektif secara epidemiologis.
Lima penelitian menunjukkan 19% mengalami efek protektif dari asupan tinggi
serat an 11 perkiraan berdasarkan 427.000 responden dengan asupan serat yang
tinggi menunjukkan reduksi dari perkembangan diabetes dan penelitian terkini di
Finlandia menunjukkan individu dengan konsumsi fiber yang tinggi memiliki
62% reduksi progresi prediabetes menjadi diabetes (Anderson, 2009). Montonen
dalam penelitian hubungan antara konsumsi makanan gandum dan sereal berserat
dengan insiden tipe 2 diabetes menunjukkan bahwa makanan gandum
berhubungan dengan penurunan risiko diabetes melitus tipe 2 dengan relative risk
0.65 dan sereal berserat juga berhubungan dengan penurunan risiko diabetes
melitus tipe 2 dengan relative risk 0.39 (Montonen, 2003). Sebuah penelitian di
Iowa dengan sample wanita tua berumur 55-69 tahun untuk mencari hubungan
antara karbohidrat, asupan serat, dan insiensi diabetes melitus tipe 2 pada wanita
tua menunjukkan bahwa asupan serat dari sumber makanan berserat tinggi seperti
gandum dan sereal menurunkan risiko diabetes setelah peyesuaian faktor faktor
lainnya (Meyer, 2000). Zhang dalam penelitiannya mengenai asupan serat dan
risiko diabetes melitus gestasional menunjukkan bahwa 10 gram/hari asupan serat
menurunkan risiko diabetes melitus gestasional sebanyak 26%, 5 gram/hari
asupan sereal dan buah buahan menurunkan risiko sebanyak 23% (Zhang, 2006).
Namun sebuah penelitian di indonesia oleh Departemen Kesehatan Republik
Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi diabetes pada orang dengan konsumsi
sayur yang cukup dan konsumsi sayur yang kurang menunjukkan hasil yang
kurang lebih sama (Depkes, 2008).

23
Rekomendasi jumlah asupan serat sendiri dipengaruhi oleh usia, jenis
kelamin, dan intake energi, dan rekomendasi umum untuk asupan serat yang
cukup adalah 14 gram/1000 kkal. Menggunakan pedoman energi dimana 2000
kkal/hari untuk perempuan dan 2600 kkal/hari untuk laki laki, rekomendasi serat
per hari menjadi 28 gram/hari untuk perempuan dewasa dan 36 gram/hari untuk
laki laki dewasa (Anderson, 2009). Setelah berumur 50 tahun keatas, kebutuhan
serat berkurang menjadi 21 gram untuk perempuan dan 30 gram untuk laki laki
sedangkan, menurut American Academy of Pediatrics dalam bukunya Guide to
Your Child’s Nutrition di Minser’s Dietary Fiber menyatakan bahwa intake serat
anak anak adalah umurnya ditambah dengan 5 gram, dimana apabila anak
berumur 8 tahun makan intakenya adalah 8+5=13 gram per hari dengan
maksimum 35 gram per hari (Misner, 2006).

Negara Indonesia pada angka kecukupan gizi tahun 2013 menyatakan


kecukupan serat laki-laki adalah 35-38 gram/hari dan menurut menjadi 27
gram/hari untuk usia diatas 65 tahun dan kecukupan serat perempuan adalah 30-
32 gram/hari dan menurun menjad 22 gram/hari untuk usia diatas 65 tahun
(Menkes, 2013). Departemen Kesehatan Republik Indonesia menyarankan bahwa
konsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan yang cukup adalah 5 porsi sehari
selama 7 hari dalam seminggu (Depkes, 2013).

Mengingat fakta bahwa kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa serat


mengurangi angka kejadian diabetes melitus tipe 2 menunjukkan bahwa serat
penting sebagai asupan pencegahan diabetes melitus tipe 2. Sebuah penelitian oleh
Dinas Kesehatan Repbulik Indonesia pada penduduk dengan umur 10 tahun ke
atas menunjukkan bahwa prevalensi kurang makan buah dan sayur di Indonesia
sebesar 93,6% pada tahun 2007 dan pada tahun didapati tidak terjadi perubahan
(Depkes, 2013).

2.3.11 Jumlah Konsumsi Lemak

Kemungkinan bahwa pola makan dapat menyebabkan diabetes telah


diketahui sejak bertahun-tahun yang lalu, meskipun faktor spesifik penyebabnya

24
belum diketahui secara pasti. Dari penelitian, terdapat hubungan antara resiko
kejadian diabetes tipe 2 dan konsumsi lemak total, khususnya konsumsi dari
lemak jenuh dan lemak hewani (Harding et al.,2004).

Diet tinggi lemak dikaitkan dengan kejadian obesitas, peningkatan lemak


tubuh dan peningkatan distribusi lemak yang berakibat pada kenaikan berat badan.
Perubahan-perubahan ini dikaitkan dengan perubahan metabolisme glukosa.
(Harding et al.,2004).

Penelitian lain menyebutkan bahwa diet tinggi lemak, terutama lemak


hewani dikatakan berkontribusi dalam peningkatan insidensi diabetes melalui
kejadian resistensi insulin (Thanopoulou et al., 2003).

Perubahan gaya hidup merupakan kunci utama sebagai pencegahan


diabetes. Pasien direkomendasikan mempunyai berat badan yang normal (IMT
21-23kg/m2), aktifitas fisik yang teratur, mencegah obesitas sentral dan asupan
lemak jenuh <7% dari total asupan energi dan total asupan lemak tidak lebih dari
30% dari total asupan energi (Steyn et al., 2004).

Pengurangan asupan lemak serta penggantian lemak jenuh dan lemak trans
oleh lemak tak jenuh rantai tunggal dan lemak tak jenuh rantai ganda dalam
makanan memberikan manfaat dalam hal perbaikan kerja insulin sebagai
pencegahan dari diabetes. Kemampuan untuk mencapai dan mempertahankan
perubahan kebiasaan ini penting untuk kesuksesan jangka panjang dalam
menurunkan resiko diabetes tipe 2 sebagai strategi pencegahan (Marshall &
Bessesen, 2002, Riserus & Willett, 2008).

2.4 Klasifikasi
Tabel 2.3 Klasfikasi Diabetes (PERKENI, 2011)
Klasifikasi Diabetes Melitus (ADA, 2009)
I Diabetes Melitus tipe 1 (IDDM)
Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut melalui
proses imunolgi atau secara idiopatik.
II Diabetes Melitus tipe 2 (NIDDM)
Predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif
Predominan gangguan sekresi insulin bersama resistesi insulin

25
III Diabetes tipe lain
1. Defek genetik fungsi sel beta
2. Defek genetik kerja insulin
3. Penyakit eksokrin pakreas
4. Karena obat/ zat kimia
5. Infeksi
6. Sebab imunologi yang jarang : antibodi insulin
7. Sindroma genetik lain yang berkaitan dengan DM (Klinefelter, sindrom
Turner)
IV Diabetes Kehamilan
Intoleransi glukosa yang timbul atau terdeteksi pada kehamilan pertama dan
gangguan toleransi glukosa setelah terminasi kehamilan.

2.5 Diagnosis

Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik


DM, antara lain (PERKENI, 2011) :
a. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur
dan disfungsi ereksi pada laki-laki serta pruritus vulva pada perempuan.

Selain dengan keluhan, diagnosa DM harus ditegakkan berdasarkan


pemeriksaan kadar glukosa darah dengan cara enzimatik dengan bahan darah
plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler
sesuai kondisi dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang
berbeda sesuai pembakuan WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler (Purnamasari, 2009).

Tabel 2.4 Kriteria Diagnostik Diabetes Melitus


Kriteria Diagnostik Diabetes Mellitus (PERKENI, 2011)
1. Gejala klasik DM + Glukosa plasma sewaktu > 200mg/dL
2. Gejala klasik DM + Glukosa plasma puasa > 126 mg/dL
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO (Test Toleransi Glukosa Oral) > 200
mg/dL menggunakan beban glukosa 75 g anhidrus yang dilarutkan dalam
air

26
Tabel 2.5 Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring
dan Diagnosis DM (PERKENI, 2011)
Bukan DM Belum pasti DM
DM
Kadar glukosa Plasma vena < 100 100-199 ≥200
darah sewaktu Darah kapiler <90 90-199 ≥200
(mg/dl)
Kadar glukosa Plasma vena < 100 100-125 ≥126
darah puasa Darah kapiler <90 90-99 ≥100
(mg/dl)

2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Non Farmakologis

Tujuan penatalaksanaan secara umum menurut PERKENI (2011) adalah


meningkatkan kualitas hidup penderita diabetes. Penatalaksanaan dikenal dengan
empat pilar penatalaksanaan diabetes melitus, yang meliputi : edukasi, terapi gizi
medis, latihan jasmani dan pengelolaan farmakologis. Pengelolaan DM dimulai
dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4
minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan
intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan
insulin.

Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau
langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik
berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat,
adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang
pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus
diberikan kepada pasien, sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat
dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus (PERKENI, 2011).

a. Edukasi

Diabetes Melitus umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan kokoh. Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri
membutuhkan partisipasi aktif penderita, keluarga dan masyarakat. Tim

27
kesehatan harus mendampingi penderita dalam menuju perubahan
perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan
edukasi yang komprehensif pengembangan ketrampilan dan motivasi.
Edukasi secara individual dan pendekatan berdasarkan penyelesaian
masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan
perilaku hampir sama dengan proses edukasi yang memerlukan penilaian,
perencanaan, implementasi, dokumentasi dan evaluasi (PERKENI, 2011).

b. Terapi Gizi Medis

Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang


seimbang dalam hal karbohidrat, protein, lemak, sesuai dengan kecukupan
gizi baik sebagai berikut (PERKENI, 2011):

• Karbohidrat : 45 – 65% total asupan energi


• Protein : 10 – 20% total asupan energi
• Lemak : 20 – 25 % kebutuhan kalori

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres


akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat
badan ideal. Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan ideal
dikali kebutuhan kalori basal (30 Kkal/kg BB untuk laki-laki dan 25
Kkal/kg BB untuk wanita). Kemudian ditambah dengan kebutuhan kalori
untuk aktifitas, koreksi status gizi, dan kalori yang diperlukan untuk
menghadapi stres akut sesuai dengan kebutuhan. Pada dasarnya kebutuhan
kalori pada diabetes tidak berbeda dengan non diabetes yaitu harus dapat
memenuhi kebutuhan untuk aktifitas baik fisik maupun psikis dan untuk
mempertahankan berat badan supaya mendekati ideal (PERKENI, 2011).

c. Latihan Jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar
dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke
pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan ( Konsensus

28
Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006).
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan
berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti : jalan kaki, bersepeda
santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan
dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif
sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah
mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup
yang kurang gerak atau bermalas-malasan (PERKENI, 2011).

2.6.2 Farmakologis

Sarana pengelolaan farmakologis diabetes mellitus dapat berupa Obat


Hipoglikemik Oral (OHO). Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4
golongan, antara lain (Soegondo,2009) :

A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea dan glinid

1. Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi


insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk
pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh
diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari
hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang
tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit
kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja
panjang.

2. Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,


dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam

29
benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat
melalui hati.

B. Penambah sensitivitas terhadap insulin : tiazolidindion

Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada


Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu
reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer.
Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas
I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada
gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu
dilakukan pemantauan faal hati secara berkala

C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati


(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum
kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis,
renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping
mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau
sesudah makan

D. Penghambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase alfa

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus


halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah
sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia.
Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.

30
2.7 Komplikasi

Komplikasi akut pada diabetes mellitus antara lain (Waspadji, 2009):

a. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan
penurunan glukosa darah < 60 mg/dl. Gejala hipoglikemia terdiri dari
gejala adrinergic (berdebar, banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan
gejala neuroglikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai
koma). Penyebab tersering hipoglikemia adalah akibat obat hipoglikemia
oral golongan sulfonilurea, khususnya klorpropamida dan glibenklamida.
Penyebab tersering lainnya antara lain : makan kurang dari aturan yang
ditentukan, berat badan turun, sesudah olahraga, sesudah melahirkan dan
lain-lain.

b. Ketoasidosis Diabetik
ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan defisiensi insulin berat dan akut
dari suatu perjalanan penyakit DM yang ditandai dengan trias
hiperglikemia, asidosi dan ketosis. Timbulnya KAD merupakan ancaman
kematian pada pasien DM.

c. Hiperglikemia Non Ketotik


Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik ditandai dengan hiperglikemia,
hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah
dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan sering kali gangguan neurologis
dengan atau tanpa adanya ketosis.

Akibat kadar gula darah yang tidak terkontrol dan meninggi terus menerus
yang dikarenakan tidak dikelola dengan baik mengakibatkan adanya pertumbuhan
sel dan juga kematian sel yang tidak normal. Perubahan dasar itu terjadi pada
endotel pembuluh darah, sel otot pembuluh darah maupun pada sel masingeal
ginjal, semuanya menyebabkan perubahan pada pertumbuhan dan kematian sel
yang akhirnya akan menjadi komplikasi vaskular DM. Struktur pembuluh darah,
saraf dan struktur lainnya akan menjadi rusak. Zat kompleks yang terdiri dari gula

31
di dalam dinding pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah menebal dan
mengalami kebocoran. Akibat penebalan ini maka aliran darah akan berkurang,
terutama menuju kulit dan saraf. Akibat mekanisme di atas akan menyebabkan
beberapa komplikasi antara lain (Waspadji, 2009) :

a. Retinopati
Terjadinya gangguan aliran pembuluh darah sehingga mengakibatkan
terjadi penyumbatan kapiler. Semua kelainan tersebut akan menyebabkan
kelainan mikrovaskular. Selanjutnya sel retina akan berespon dengan
meningkatnya ekspresi faktor pertumbuhan endotel vaskular yang
selanjutnya akan terbentuk neovaskularisasi pembuluh darah yang
menyebabkan glaukoma. Hal inilah yang menyebabkan kebutaan.

b. Nefropati
Hal-hal yang dapat terjadi antara lain : peningkatan tekanan glomerular
dan disertai dengan meningkatnya matriks ektraseluler akan menyebabkan
terjadinya penebalan membran basal yang akan menyebabkan
berkurangnya area filtrasi dan kemudian terjadi perubahan selanjutnya
yang mengarah terjadinya glomerulosklerosis. Gejala-gejala yang akan
timbul dimulai dengan mikroalbuminuria dna kemudian berkembang
menjadi proteinuria secara klinis selanjutnya akan terjadi penurunan fungsi
laju filtrasi glomerular dan berakhir dengan gagal ginjal.

c. Neuropati
Yang paling sering dan paling penting gejala yang timbul berupa
hilangnya sensasi distal atau seperti kaki terasa terbakar dan bergetar
sendiri dan lebih terasa sakit dimalam hari.

d. Penyakit jantung koroner


Kadar gula darah yang tidak terkontrol juga cenderung menyebabkan
kadar zat berlemak dalam darah meningkat, sehingga mempercepat
aterosklerosis (penimbunan plak lemak di dalam pembuluh darah).
Aterosklerosis ini 2-6 kali lebih sering terjadi pada penderita DM. Akibat

32
aterosklerosis akan menyebabkan penyumbatan dan kemudian menjadi
penyakit jantung koroner.

e. Penyakit pembuluh darah kapiler


Mengenali dan mengelola berbagai faktor risiko terkait terjadinya kaki
diabetes dan ulkus diabetes merupakan hal yang paling sering pada
penyakit pembuluh darah perifer yang dikarenakan penurunan suplai darah
di kaki

33
KERANGKA KONSEP PENELITIAN

Kerangka konsep penelitian merupakan kerangka yang menggambarkan


dan mengarahkan asumsi mengenai elemen-elemen yang diteliti. Berdasarkan
tujuan penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka kerangka konsep
dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut:

Faktor resiko :
o Riwayat keluarga diabetes
mellitus
o Usia
o Jenis Kelamin
o Tingkat Pendidikan
Diabetes
o Jumlah Mellitus
Pendapatan
o Aktivitas
o Status Gizi
o Alkohol
o Merokok
o Hipertensi
o Jumlah Konsumsi Serat
o Jumlah Konsumsi Lemak

Gambar 2.2 Skema kerangka konsep faktor resiko diabetes mellitus

34
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian


Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan cross-
sectional (studi potong lintang), dimana penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
gambaran faktor resiko penderita diabetes melitus di Kelurahan Kuala Silo Bestari
Kota Tanjungbalai. Pada penelitian ini pendekatan atau pengumpulan data
dilakukan secara simultan atau dalam waktu yang bersamaan (point time
approach).

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kampung Persatuan Kelurahan
Kuala Silo Bestari Kota Tanjungbalai. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode wawancara dan kuesioner. Adapun pertimbangan memilih
lokasi tersebut karena Kelurahan Kuala Silo Bestari perwira merupakan kelurahan
dengan jumlah lansia yang cukup banyak.

3.2.2. Waktu Penelitian


Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilaksanakan pada bulan
September 2020. Pemilihan waktu penelitian dengan mempertimbangkan waktu,
dana dan sumber daya.

3.3 Populasi dan Sampel


3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi target dari penelitian ini adalah masyarakat di Kelurahan Kuala
Silo Bestari Kota Tanjungbalai.

3.3.2 Sampel Penelitian

35
Sampel penelitian adalah masyarakat di Kelurahan Kuala Silo Bestari Kota
Tanjungbalai.

3.3.3 Perhitungan Besar Sampel


Pengambilan sampel dilakukan dengan rumus penentuan jumlah sampel menurut
Daniel (1999) dalam (Naing, Winn, & Rusli, 2006), sebagai berikut :

2
Z . P ( 1−P ) . N
n=
d ( N−1 )+ Z 2 . P ( 1−P )
2

2
1.96 . 0.5 ( 1−0.5 ) .180
n=
0.1 ( 288−1 )+ 1.962 . 0.5 ( 1−0.5 )
2

172 , 87
n=
3 , 83
n=¿45,13

Keterangan :
N = Perkiraan besar penderita DM kelurahan Kuala Silo Bestari (500)
n = Jumlah Sampel
d = Derajat ketepatan yang direfleksikan oleh kesalahan yang dapat ditolerir (0.1)
Z = Tingkat kepercayaan ( 95% = 1.96)
P = Proporsi populasi sebagai dasar asumsi (0.5)
Setelah dilakukan perhitungan sampel dengan rumus di atas, maka dari
288 populasi di dapat 45,13 penduduk atau dibulatkan menjadi 45 penduduk
sebagai sampel.

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi


3.4.1 Kriteria Inklusi
 Masyarakat yang terdiagnosa diabetes mellitus tipe-2
 Masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas
Kampung Persatuan.
3.4.2 Kriteria Eksklusi

36
 Masyarakat tidak kooperatif
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, penimbangan BB,
pengukuran TB, dan pengukuran Tekanan Darah pada masyarakat di wilayah
kerja Puskesmas Kampung Persatuan.

3.6 Pengolahan dan Analisa Data


Data yang diperoleh dari penelitian ini akan diolah dengan menggunakan
komputer. Data yang diperoleh, berupa faktor resiko diabetes melitus tipe-2 di
masyarakat dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif yang ditampilkan
dalam tabel distribusi frekuensi.

Definisi Operasional

Berikut ini adalah defenisi operasional dari penelitian yang akan dilakukan:
a. Riwayat keluarga
o Definisi : ayah atau ibu atau saudara kandung terkena penyakit
diabetes mellitus.
o Alat ukur : kuesinor
o Cara ukur : mencatat hasil kuesioner
o Hasil ukur : ada tidaknya riwayat keluarga
o Skala ukur : nominal
b. Usia
o Definisi : lamanya keberadaan atau kehidupan seseorang yang
diukur dalam satuan waktu
o Alat ukur : kuesioner
o Cara ukur : mencatat hasil kuesioner
o Hasil ukur : usia dalam tahun
o Skala ukur : interval
c. Jenis Kelamin

37
o Definisi : perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara
biologis sejak seorang lahir
o Alat ukur : kuesioner
o Cara ukur : mencatat hasil kuesioner
o Hasil ukur : klasifikasi jenis kelamin (laki-laki atau perempuan)
o Skala ukur : nominal
d. Tingkat Pendidikan
o Definisi : tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat
perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemauan
yang dikembangkan
o Alat ukur : kuesioner
o Cara ukur : mencatat hasil kuesioner
o Hasil ukur : Klasifikasi tingkat pendidikan ( SD, SMP, SMA,
Pendidikan tinggi )
o Skala ukur : ordinal
e. Jumlah Pendapatan
o Definisi : Jumlah uang sebagai tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh yang dapat digunakan untuk konsumsi
dan menambah kekayaan.
o Alat ukur : kuesioner
o Cara ukur : mencatat hasil kuesioner
o Hasil ukur : pendapatan dalam rupiah
o Skala ukur : interval
f. Aktivitas
o Definisi : Gerakan fisik yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem
penunjangnya.
o Alat ukur : kuesioner
o Cara ukur : mencatat hasil kuesioner
o Hasil ukur : Teratur atau tidak teratur, intensitas dan berapa lama
aktivitas

38
o Skala ukur : Ordinal
g. Status gizi
o Definisi : Keadaan tubuh seseorang sebagai manifestasi dan asupan
zat gizi
o Alat ukur : IMT
o Cara ukur : Mengumpulkan data dari pemeriksaan berat badan dan
tinggi badan, lalu diaplikasikan dengan rumus IMT: Berat
badan(dalam kg)/tinggi badan(dalam meter)2
o Hasil ukur :
Klasifikasi IMT:
- Berat badan kurang: <18,5 kg/m2
- Berat badan normal: 18,5-22,9 kg/m2
- Berat badan berlebih: 23.0-24.9 kg/m2
- Obese I: 25.0-29.9 kg/m2
- Obese II :≥30.0 kg/m2
o Skala ukur : ordinal
h. Alkohol
o Definisi : minuman yang mengandung etanol
o Alat ukur : kuesioner
o Cara ukur : mencatat hasil kuesioner
o Hasil ukur : ada atau tidaknya riwayat mengonsumsi alkohol
o Skala ukur : nominal
i. Merokok
o Definisi : membakar tembakau yang kemudian dihisap asapnya,
baik menggunakan rokok maupun pipa
o Alat ukur : kuesioner
o Cara ukur : mencatat hasil kuesioner
o Hasil ukur : ada tidaknya riwayat merokok
o Skala ukur : nominal
j. Hipertensi

39
o Definisi : peningkatan darah diastolik secara konsisten ≥90 mmHg
atau tekanan sistolik ≥140 mmHg
o Alat ukur : kuesioner
o Cara ukur : mencatat hasil kuesioner
o Hasil ukur : ada tidaknya riwayat hipertensi
o Skala ukur : nominal
k. Serat
o Definisi : Bagian dari tumbuhan yang dapat dikonsumsi dan
tersusun dari karbohidrat yang memiliki sifat resistan terhadap proses
pencernaan dan penyerapan di usus halus manusia serta mengalami
fermentasi sebagian atau keseluruhan di usus besar.
o Alat ukur : kuesioner
o Cara ukur : mencatat hasil kuesioner
o Hasil ukur : cukup atau tidaknya asupan serat
- Cukup : jika memenuhi anjuran diet serat
- Tidak cukup : jika tidak memenuhi anjuran diet serat.
o Skala ukur : nominal
l. Lemak
o Definisi : zat organik yang sifatnya tidak dapat larut dalam air
o Alat ukur : kuesioner
o Cara ukur : mencatat hasil kuesioner
o Hasil ukur : cukup atau melebihi asupan serat
- Cukup : jika memenuhi anjuran diet serat
- Melebihi : jika melebihi anjuran diet serat.
o Skala ukur : nominal

40
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
4.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Kuala Silo Bestari Kota
Tanjungbalai, Sumatera Utara.
Puskesmas Kampung Persatuan merupakan salah satu sarana kesehatan di
kota Tanjungbalai yang berkedudukan di kecamatan Tanjung Balai Utara, dimana
Wilayah kerja berjumlah tiga (3) kelurahan. Meliputi satu(1) kecamatan yaitu
kecamatan tanjungbalai utara (5 Kelurahan), TB.Kota III (2 Kelurahan : Sejahtera
danTB III ) dan TB.Kota IV (3 Kelurahan : Kuala silo bestari,MTH,TB IV ) yang
tiga(3) kelurahan dalam wilayah kerja dan yang dua(2) kelurahan dalam wilayah
kerja UPTD Puskesmas KP.Baru ,dimana kedua Puskesmas rata-rata sudah dapat
dilalui oleh kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat.

4.1.2. Karakteristik Sampel Penelitian


Dalam penelitian ini terdapat 45 kasus yang terdapat di Kelurahan Kuala
Silo Bestari. Semua data diperoleh melalui metode kuesioner.

4.1.2.1.Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin


Dari hasil penelitian, diperoleh distribusi sampel berdasarkan jenis
kelamin sebagai berikut.
Tabel 4.1. Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin
No Jenis Kelamin Jumlah % Jumlah

1 Perempuan 33 73.3

2 Laki-laki 12 26.7

41
Total 45 100.0

Dari tabel 4.1. didapatkan jumlah responden perempuan adalah 33 orang


(73.3%), sedangkan jumlah responden laki-laki adalah 12 (26.7%) .

4.1.2.2.Distribusi Sampel Berdasarkan Usia


Dari hasil penelitian, diperoleh distribusi sampel berdasarkan usia sebagai
berikut.
Tabel 4.2. Distribusi sampel berdasarkan usia
No Usia (tahun) Jumlah % Jumlah

1 0 – 17 0 0

2 18 - 65 36 80

3 66 – 79 9 20

4 80 – 99 0 0

5 ≥100 0 0

Total 45 100.0

Dari tabel 4.2. didapatkan bahwa jumlah responden terbanyak ada pada
rentang usia 18 - 65 tahun yaitu berjumlah 36 orang (80%) dan diikuti dengan
rentang usia 66-79 tahun berjumlah 9 orang (20%).

4.1.2.3. Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Pendidikan


Dari hasil penelitian, diperoleh distribusi sampel berdasarkan tingkat
pendidikan sebagai berikut.

42
Tabel 4.3. Distribusi sampel berdasarkan Tingkat Pendidikan
No Tingkat Pendidikan Jumlah % Jumlah

1 TK 0 0

2 SD 17 37.8

3 SMP 16 35.5

4 SMA 9 20

5 Perguruan Tinggi 3 6.7

Total 45 100.0

Dari tabel 4.3. didapatkan bahwa jumlah responden terbanyak adalah


responden dengan tingkat pendidikan SD (37,8%) dan jumlah responden paling
sedikit adalah responden dengan tingkat pendidikan TK (0%).

4.1.2.4.Distribusi Sampel Berdasarkan Riwayat Keluarga yang menderita


DM
Dari hasil penelitian, diperoleh distribusi sampel berdasarkan tingkat
riwayat keluarga yang menderita DM sebagai berikut.
Tabel 4.4. Distribusi sampel berdasarkan Riwayat Keluarga yang
menderita DM
No Riwayat Keluarga Jumlah % Jumlah
yang menderita DM

1 Ya 34 75.6

2 Tidak 11 24.4

43
Total 45 100.0

Dari tabel 4.4. didapatkan bahwa jumlah responden dengan riwayat


keluarga yang menderita DM adalah 34 orang (75,6%) dan jumlah responden
yang tidak memiliki riwayat keluarga yang menderita DM adalah 11 orang
(24,4%).

4.1.2.5. Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Aktivitas / olahraga


Dari hasil penelitian, diperoleh distribusi sampel berdasarkan tingkat
aktivitas / olahraga adalah sebagai berikut
Tabel 4.5. Distribusi sampel berdasarkan Tingkat Aktivitas /
Olahraga
No Tingkat aktivitas / Jumlah % Jumlah
olahraga

1 Teratur 18 40

2 Tidak Teratur 27 60

Total 45 100.0

Dari tabel 4.5. didapatkan bahwa jumlah pasien dengan tingkat aktivitas /
olahraga yang teratur lebih rendah (40%) dibandingkan dengan tingkat aktivitas /
olahraga yang tidak teratur (60%).

4.1.2.6. Distribusi Sampel Berdasarkan Status Gizi


Dari hasil penelitian, diperoleh distribusi sampel berdasarkan status gizi
sebagai berikut.

44
Tabel 4.6. Distribusi sampel berdasarkan Status Gizi
No Status gizi Jumlah % Jumlah

1 Kurang 2 4.4

2 Normal 15 33.3

3 Berlebih 12 26.8

4 Obese I 14 31.1

5 Obese II 2 4.4

Total 45 100.0

Dari tabel 4.6. didapatkan bahwa jumlah pasien dengan status gizi berlebih
(26,8%) , Obese I (31,1%) dan Obese II (4,4%) lebih tinggi dibandingkan jumlah
pasien dengan status gizi normal (33,3%) maupun pasien dengan status gizi
kurang (4,4%).

4.1.2.7. Distribusi Sampel Berdasarkan Riwayat Mengonsumsi Alkohol


Dari hasil penelitian, diperoleh distribusi sampel berdasarkan riwayat
mengonsumsi alkohol adalah sebagai berikut
Tabel 4.7. Distribusi sampel berdasarkan riwayat mengonsumsi
alkohol
No Riwayat Jumlah % Jumlah
mengonsumsi
alkohol

1 Iya 4 8.9

45
2 Tidak 41 91.1

Total 45 100.0

Dari tabel 4.7. didapatkan bahwa jumlah pasien dengan riwayat


mengonsumsi alkohol adalah 4 orang (8,9%) dan jumlah pasien dengan riwayat
tidak mengonsumsi alkohol adalah 41 orang (91,1%).

4.1.2.8. Distribusi Sampel Berdasarkan Riwayat Merokok


Dari hasil penelitian, diperoleh distribusi sampel berdasarkan riwayat
merokok adalah sebagai berikut
Tabel 4.8. Distribusi sampel berdasarkan riwayat merokok
No Riwayat merokok Jumlah % Jumlah

1 Iya 5 11.1

2 Tidak 40 88.9

Total 45 100.0

Dari tabel 4.8. didapatkan bahwa jumlah pasien dengan riwayat merokok
adalah 5 orang (11,1%) dan jumlah pasien dengan riwayat tidak merokok adalah
40 orang (88,9%).

4.1.2.9. Distribusi Sampel Berdasarkan Riwayat Hipertensi


Dari hasil penelitian, diperoleh distribusi sampel berdasarkan riwayat
hipertensi adalah sebagai berikut
Tabel 4.9. Distribusi sampel berdasarkan riwayat hipertensi
No Riwayat hipertensi Jumlah % Jumlah

1 Iya 14 31.1

2 Tidak 31 68.9

46
Total 45 100.0

Dari tabel 4.9. didapatkan bahwa jumlah pasien dengan riwayat hipertensi
adalah 14 orang (31,1%) dan jumlah pasien tanpa riwayat hipertensi adalah 31
orang (68,9%).

4.1.2.10. Distribusi Sampel Berdasarkan Asupan Kebutuhan Serat


Dari hasil penelitian, diperoleh distribusi sampel berdasarkan asupan
kebutuhan serat adalah sebagai berikut:
Tabel 4.10. Distribusi sampel berdasarkan asupan kebutuhan serat
No Asupan kebutuhan Jumlah % Jumlah
serat

1 Cukup 39 86.7

2 Tidak Cukup 6 13.3

Total 45 100.0

Dari tabel 4.10. didapatkan bahwa jumlah pasien dengan riwayat asupan
serat yang cukup adalah 39 orang (68,9%) dan jumlah dengan riwayat asupan
serat yang tidak cukup adalah 6 orang (13,3%).

4.1.2.11. Distribusi Sampel Berdasarkan Asupan Kebutuhan Lemak


Dari hasil penelitian, diperoleh distribusi sampel berdasarkan asupan
kebutuhan lemak adalah sebagai berikut:
Tabel 4.11. Distribusi sampel berdasarkan asupan kebutuhan serat
No Asupan kebutuhan Jumlah % Jumlah
lemak

1 Cukup 36 80

2 Berlebih 9 20

47
Total 45 100.0

Dari tabel 4.11. didapatkan bahwa jumlah pasien dengan riwayat asupan
lemak yang cukup adalah 36 orang (80%) dan jumlah dengan riwayat asupan
lemak yang berlebih adalah 9 orang (20%).

4.1.2.12. Distribusi Sampel Berdasarkan Riwayat Kehamilan dengan DM


Dari hasil penelitian, diperoleh distribusi sampel berdasarkan riwayat
kehamilan dengan DM adalah sebagai berikut:
Tabel 4.12. Distribusi sampel berdasarkan riwayat kehamilan dengan
DM
No Riwayat kehamilan Jumlah % Jumlah
dengan DM

1 Iya 0 0

2 Tidak 33 100

Total 33 100.0

Dari tabel 4.12. didapatkan bahwa jumlah pasien dengan riwayat


kehamilan dengan DM pada pasien wanita adalah 0 dan jumlah pasien tanpa
riwayat kehamilan dengan DM pada pasien wanita adalah 33 (100%).

4.1.2.13. Distribusi Sampel Berdasarkan Riwayat Melahirkan Anak ≥ 4 kg


Dari hasil penelitian, diperoleh distribusi sampel berdasarkan riwayat
melahirkan anak ≥4 kg adalah sebagai berikut:

48
Tabel 4.13. Distribusi sampel berdasarkan riwayat melahirkan anak ≥
4 kg
No Riwayat melahirkan Jumlah % Jumlah
anak ≥ 4 kg

1 Iya 8 24.2

2 Tidak 25 75.8

Total 33 100.0

Dari tabel 4.13. didapatkan bahwa jumlah pasien dengan riwayat


melahirkan anak ≥4 kg pada pasien wanita adalah 8 orang (24.2%) dan jumlah
pasien tanpa riwayat melahirkan anak ≥4 kg pada pasien wanita adalah 25 orang
(75.8%).

4.2. Pembahasan
Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Kuala Silo Bestari Kota
Tanjungbalai, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran faktor resiko
diabetes mellitus. Dari penelitian, didapatkan total 45 responden.
Pada tabel 4.1. ditemukan bahwa berdasarkan jenis kelamin, perempuan
adalah kelompok yang paling banyak menderita diabetes mellitus yaitu 33
(73.3%) kasus , sedangkan pada laki-laki 12 (26,7%). Hal ini tidak sama seperti
yang dinyatakan oleh Gender Differences in Living with Diabetes Mellitus
Siddiqui, 2013 bahwa prevalensi diabetes lebih tinggi pada laki-laki.

Pada tabel 4.2. ditemukan bahwa berdasarkan usia, jumlah responden


terbanyak ada pada rentang usia 18 - 65 tahun yaitu berjumlah 36 orang (80%)
dan diikuti dengan rentang usia 66-79 tahun berjumlah 9 orang (20%). Hal ini

49
sesuai dengan yang dinyatakan bahwa secara global diabetes terjadi pada umur
antara 40-59 tahun. Semakin memburuknya resisten insulin dengan pertambahan
umur dan menurunnya aktivitas menyebabkan meningkatnya prevalensi diabetes
mellitus tipe 2 yang berhubungan dengan umur ( Ekpenyong et al., 2012).

Pada tabel 4.3. ditemukan bahwa jumlah responden terbanyak adalah


responden dengan tingkat pendidikan SD (37,8%) dan jumlah responden paling
sedikit adalah responden dengan tingkat pendidikan TK (0%). Hal ini sesuai
dengan pernyataan bahwa orang yang tingkat pendidikannya tinggi biasanya akan
memiliki banyak pengetahuan tentang kesehatan. Dengan adanya pengetahuan
tersebut akan memiliki kesadaran dalam menjaga kesehatannya (Irawan, 2010).

Pada tabel 4.4. ditemukan bahwa jumlah responden dengan riwayat


keluarga yang menderita DM adalah 34 orang (75,6%) dan jumlah responden
yang tidak memiliki riwayat keluarga yang menderita DM adalah 11 orang
(24,4%). Hal ini sesuai dengan Kekenusa et al, 2013 yang menyatakan bahwa
risiko seseorang untuk menderita diabetes lebih tinggi (lima kali lebih tinggi) pada
orang yang memiliki riwayat keluarga daripada orang yang tidak memiliki riwayat
keluarga penderita diabetes.

Pada tabel 4.5. didapatkan bahwa jumlah pasien dengan tingkat aktivitas /
olahraga yang teratur lebih rendah (40%) dibandingkan dengan tingkat aktivitas /
olahraga yang tidak teratur (60%) . Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa
aktivitas fisik telah diidentifikasi sebagai faktor risiko utama keempat kematian
untuk dunia menyebabkan sekitar 3,2 juta kematian secara global, termasuk
diabetes melitus (WHO, 2015).

Pada tabel 4.6. didapatkan bahwa jumlah pasien dengan status gizi
berlebih (26,8%) , Obese I (31,1%) dan Obese II (4,4%) lebih tinggi
dibandingkan jumlah pasien dengan status gizi normal (33,3%) maupun pasien
dengan status gizi kurang (4,4%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian di

50
Amerika Serikat pada tahun 2014 menunjukkan dibandingkan orang dengan
indeks massa tubuh yang normal, orang yang memiliki berat badan berlebih dan
obes menurut statistik secara signifikan berhubungan dengan risiko terkena
dibetes mellitus tipe 2. Risiko untuk terkena diabetes mellitus tipe 2 pada orang
yang memiliki berat badan berlebih ataupun obes 1,5-5 kali lebih besar
dibandingkan dengan individu dengan indeks massa tubuh yang normal (Ganz et
al, 2014).

Pada tabel 4.7. didapatkan bahwa jumlah pasien dengan riwayat


mengonsumsi alkohol adalah 4 orang (8,9%) dan jumlah pasien dengan riwayat
tidak mengonsumsi alkohol adalah 41 orang (91,1%). alkohol mengandung kalori
tinggi sehingga mengkonsumsi alkohol meningkatkan terjadinya obesitas yang
merupakan resiko tinggi Diabetes tipe 2 (Drinkaware, 2014).

Pada tabel 4.8. didapatkan bahwa jumlah pasien dengan riwayat merokok
adalah 5 orang (11,1%) dan jumlah pasien dengan riwayat tidak merokok adalah
40 orang (88,9%). Proses merokok mengakibatkan perubahan lemak di dalam
tubuh yang menyebabkan terjadinya resistensi insulin dan efek toksik ke jaringan
pankreas. Meskipun seseorang telah berhenti merokok, efek yang ada di dalam
tubuh terus bergerak sehingga tidak akan jauh berbeda (Wannamethee et al.,
2001).
Pada tabel 4.9. didapatkan bahwa jumlah pasien dengan riwayat hipertensi
adalah 14 orang (31,1%) dan jumlah pasien tanpa riwayat hipertensi adalah 31
orang (68,9%). Diabetes dan hipertensi sering terjadi bersamaan. Terdapat
substansial yang tumpang tindih antara diabetes mellitus dan hipertensi baik pada
mekanisme penyakit dan etiologinya. Di Hongkong, badan penelitian prevalensi
faktor resiko kardiovaskular menyatakan hanya 42% penderita diabetes yang
memiliki tekanan darah normal dan 56% penderita hipertensi memiliki toleransi
glukosa yang normal (Cheung dan Li, 2012)

51
Pada tabel 4.10. didapatkan bahwa jumlah pasien dengan riwayat asupan
serat yang cukup adalah 39 orang (68,9%) dan jumlah dengan riwayat asupan
serat yang tidak cukup adalah 6 orang (13,3%) Asupan tinggi serat memiliki
hubungan dengan penurunan signifikan dari prevalensi diabetes berdasarkan
penelitian kohort prospektif secara epidemiologis (Anderson, 2009).

Pada tabel 4.11. didapatkan bahwa jumlah pasien dengan riwayat asupan
lemak yang cukup adalah 36 orang (80%) dan jumlah dengan riwayat asupan
lemak yang berlebih adalah 9 orang (20%). Diet tinggi lemak dikaitkan dengan
kejadian obesitas, peningkatan lemak tubuh dan peningkatan distribusi lemak
yang berakibat pada kenaikan berat badan. Perubahan-perubahan ini dikaitkan
dengan perubahan metabolisme glukosa. (Harding et al.,2004).

Pada tabel 4.12 didapatkan bahwa jumlah pasien dengan riwayat


kehamilan dengan DM pada pasien wanita adalah 0 dan jumlah pasien tanpa
riwayat kehamilan dengan DM pada pasien wanita adalah 33 (100%). Dan pada
tabel 4.13. didapatkan bahwa jumlah pasien dengan riwayat melahirkan anak ≥4
kg pada pasien wanita adalah 8 orang (24.2%) dan jumlah pasien tanpa riwayat
melahirkan anak ≥4 kg pada pasien wanita adalah 25 orang (75.8%). Pada wanita
dapat terjadi Diabetes Mellitus Gestasional terjadinya intoleransi glukosa selama
kehamilan. Hal ini terjadi Karena peningkatan hormone dari plasenta yang
menyebabkan terganggunya intoleransi glukosa sehingga insulin lebih banyak
diproduksi, hingga pancreas tidak dapat memproduksi insulin yang cukup selama
kehamilan, kadar gula darah akan naik mengakibatkan Diabetes Melitus
Gestasional. Hal ini dapat mengakibatkan komplikasi jangka panjang pada ibu dan
anak menjadi Intoleransi Glukosa, Diabetes Melitus dan Obesitas. (American
Diabetes Association, 2011).

Dari data di atas ditemukan faktor resiko yang tidak dapat diubah
berdasarkan persentase yang tertinggi hingga terendah yaitu dari usia dengan
rentang 18-65 tahun 36 orang (80%), riwayat keluarga DM 34 orang (75,6%),

52
tingkat pendidikan SD 17 orang (37,8%), jenis kelamin laki-laki 12 orang
(26,7%), riwayat melahirkan anak ≥4 kg 8 orang dari 33 responden wanit (24%),
dan riwayat DM gestasional tidak ada (0%). Faktor resiko yang dapat diubah
berdasarkan presentase yang tertinggi hingga terendah yaitu jumlah berat badan
berlebih dan obese yaitu 28 orang (62,8%), riwayat hipertensi positif 14 orang
(31,1%), riwayat aktivitas fisik / olahraga yang tidak teratur 27 orang (60%),
asupan lemak berlebih 9 orang (20%), asupan serat tidak cukup 6 orang (13,3%),
riwayat merokok 5 orang (11,1%), dan riwayat alkohol 4 orang (8,9%).

53
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa berdasarkan jenis
kelamin, perempuan adalah kelompok yang paling banyak menderita
diabetes mellitus yaitu 33 (73.3%) kasus , sedangkan pada laki-laki 12
(26,7%).
2. Pasien DM terbanyak ada pada rentang usia 18 - 65 tahun yaitu berjumlah
36 orang (80%) dan diikuti dengan rentang usia 66-79 tahun berjumlah 9
orang (20%).
3. Berdasarkan tingkat pendidikan , tingkat pendidikan SD adalah tingkat
yang paling banyak menderita diabetes mellitus (37,8%) dan jumlah
sample paling sedikit adalah responden dengan tingkat pendidikan TK
(0%)
4. Pasien DM dengan riwayat keluarga yang menderita DM adalah 34 orang
(75,6%) lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah responden yang tidak
memiliki riwayat keluarga yang menderita DM adalah 11 orang (24,4%).
5. Pasien DM dengan tingkat aktivitas / olahraga yang teratur lebih rendah
(40%) dibandingkan dengan tingkat aktivitas / olahraga yang tidak teratur
(60%)
6. Pasien DM dengan status gizi berlebih (26,8%) , Obese I (31,1%) dan
Obese II (4,4%) lebih tinggi dibandingkan jumlah sample dengan status
gizi normal (33,3%) maupun pasien dengan status gizi kurang (4,4%).\
7. Pasien DM dengan riwayat mengonsumsi alkohol adalah 4 orang (8,9%)
dan jumlah pasien dengan riwayat tidak mengonsumsi alkohol adalah 41
orang (91,1%).

54
8. Pasien dengan riwayat merokok adalah 5 orang (11,1%) dan jumlah pasien
dengan riwayat tidak merokok adalah 40 orang (88,9%)
9. Pasien DM dengan riwayat hipertensi adalah 14 orang (31,1%) dan jumlah
pasien tanpa riwayat hipertensi adalah 31 orang (68,9%).
10. Pasien DM dengan riwayat asupan serat yang cukup adalah 39 orang
(68,9%) dan jumlah dengan riwayat asupan serat yang tidak cukup adalah
6 orang (13,3%)
11. Pasien DM dengan riwayat asupan lemak yang cukup adalah 36 orang
(80%) dan jumlah dengan riwayat asupan lemak yang berlebih adalah 9
orang (20%).
12. Pasien DM dengan riwayat kehamilan dengan DM pada pasien wanita
adalah 0 dan jumlah pasien tanpa riwayat kehamilan dengan DM pada
pasien wanita adalah 33 (100%).
13. Pasien DM dengan riwayat melahirkan anak ≥4 kg pada pasien wanita
adalah 8 orang (24.2%) dan jumlah pasien tanpa riwayat melahirkan anak
≥4 kg pada pasien wanita adalah 25 orang (75.8%).

5.2. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan peneliti berhubungan dengan
penelitian ini adalah:
1. Diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah untuk
melakukan promosi kesehatan terhadap upaya pencegahan DM dengan
menghindari faktor resiko yang dapat diubah, seperti olahraga teratur,
menghindari merokok, menghindari minum alkohol, asupan serat yang
cukup dan asupan lemak yang dibatasi.
2. Diharapkan dapat menjadi masukan bagi dunia kedokteran tentang
prevalensi faktor resiko DM di masyarakat.
3. Diharapkan bagi masyarakat luas agar lebih mengetahui pentingnya
pencegahan DM dimulai dari menghindari faktor resiko yang didapatkan
dari gaya hidup dan lingkungan.

55
DAFTAR PUSTAKA

Agarwal R., 2008. Hypertension, Hypokalemia, and Thiazide Induced Diabetes.


India: American Heart Association.
Akter, S. Rahman , MM. Abe, SK. dan Sultana, P. 2014. Prevalence of diabetes
and prediabetes and their risk factors among Bangladeshi adults: a
nationwide survey. Bulletin of the World Health Organization 2014;
American Diabetes Association. 2011. Standart of Medical Care In Diabetes.
Diabetes Care Volume 34 Supplement 1.
American Diabetes Association – Standart of Medical Care in Diabetes 2015.
Foundations of Care: Education, Nutrition, Physical Activity, Smoking
Cessation,Psychosocial Care, and Immunization. Diabetes Care: The
Journal of Clinical and Applied Research and Education, vol. 38
supplement 1, page 520-530.
Anderson, J.W., Baird, P., Davis, R.H., Ferrer, S., Knudtson, M., et al. 2009.
Health Benefits of Dietary Fiber. Nutritional Review. 67(4), 188-205.
Annis A M, Caulder M S, Cook M L, Duquette D. 2005. Family History,
Diabetes, and Other Demographic and Risk Factors Among Participants
of the National Health and Nutrition Examination Survey 1999-2002.
Preventing Chronic Disease Volume 2 No.2
Aznar-Lain, S. & Webster, Tony, 2010. Physical Activity and Health in Children
and Adolescents: A Guide for all Adults Involved in Educating Young
People. Spanyol: Kementrian Kesehatan dan Konsumen.
Badan Penyelenggara Jaminan Nasional .2014 Panduan Praktis PROLANIS
(Program Pengelolaan Penyakit Kronis). Jakarta.
Baliunas. D.U. et al. 2009. Alcohol as a Risk Factor for Type 2 Diabetes. A
systemic Review and Meta-Analysis. Diabetes Care Volume 32 Number
11.

56
Balkau, B., et.al. 2008. Physical Activity and Insulin Sensitivity. Diabetes. Vol.
57, page 2613-2618.
Canadian Diabetes Association. 2013. Alcohol and Diabetes. Canadian Diabetes
Association Clinical Practice Guideline. Banting.
CDC. 2014. Diakses dari
http://www.cdc.gov/diabetes/statistics/prev/national/figraceethsex.htm
Chang, S. A. 2012. Smoking and Type 2 Diabetes Mellitus. The Catholic
University of Korea College of Medicine. Korean Diabetes Association.
Diabetes Metab J. Vol36. Pp 399-403.
Cheung B.M.Y., Li C., 2012. Diabetes and Hypertension: Is There a Common
Metabolic Pathway? . Hongkong: Spinger.
Dansinger. M. 2013. Diabetes and Alcohol. American Diabetes. Joslin Diabetes
Center. WebMD. Medical Refference.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS 2007) – Laporan Nasional 2007. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS 2013). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Diabetes UK, 2008. Hypertension and Diabetes. London: Diabetes UK.
Diabetes Prevalence In Australia. 2011. Detailed Estimated for 2007-2008.
Australian Government Australian Institude Helath and Welfare. Diabetes
Series Number 17. Canberra.
Drinkware. 2014. The Fact About Alcohol and Diabetes. Drinkaware.co.uk
Ekpenyong et al, 2011.Gender and Age Specific Prevalence and Associatiated
Risk Factors of Type 2 Diabetes Mellitus in Uyo Metropolis,south the
Eastern Nigeria in Department of Physiology, College of Health
Sciences,University of Uyo, Akwa Ibom State, Nigeria
Faerch. S. 2014. Gender and T2DM. The Living Textbook of Diabetes.
Fatmawati, Ari. 2010. Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 Pasien
Rawat Jalan. Skripsi Universitas Negeri Semarang

57
Felastein C.A., 2002. Salt Intake, Hypertension, and Diabetes Mellitus. Argentina:
Nature Publishing Group.
Fuji, H., Iwase, M., Ohkuma, T., Kaizu, S.O., Ide, H., Kikuchi, Y., et al. 2013.
Impact of Dietary Fiber Intake on Glycemic Control, Cardiovascular Risk
Factor, and Chronic Kidney Disease in Japanese Patients With Type 2
Diabetes Mellitus: the Fukuoka Diabetes Registry. Nutritional Journal. 12,
159.
Ganz M.L. et al. 2014. The Association of Body Mass Index with the Risk of Type
2 Diabetes: A Case-Control Study Nested in an Electronic Health Records
System in the United States. Diabetology & Metabolic Syndrome.
Handayani. 2012.Modifikasi Gaya Hidup dan Intervensi Farmakologis Dini
Untuk Pencegahan Penyakit Diabetes MellitusTtipe 2. Media Gizi
Masyarakat Indonesia, Vol.1,No.2, Februari 2012 : 65-70
Harding, A.H. Day, N.E. et al. 2004. Dietary Fat and the Risk of Clinical Type 2
Diabetes. American Journal of Epidemiology. Available from :
http://aje.oxfordjournals.org/content/159/1/73.long [Accessed on July, 13th
2015]
Hariri S, Yoon P W, Qureshi N, Valdez R. 2006. Family history of type 2 diabetes
: A population-based screening tool for prevention? . Genet Med Volume
8 No. 2.
Idris, Fachmi. 2014. Pengintegrasian Program Preventif Penyakit Diabetes
Melitus Tipe 2 PT Askes (Persero) ke Badan Penyelenggara Jaminan
Nasional. J Indon Med Assoc.
Illinois Behavioral Risk Factor Surveillance System. 2013. Chronic Disease
Burden Update 2013;2:18.
Irawan, Dedi. 2010. Prevalensi dan Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus Tipe
2 di Daerah Urban Indonesia (Analisa Data Sekunder Riskesdas 2007).
Thesis Universitas Indonesia.
Jelantik dan haryati. 2014. Hubungan Faktor Risiko Umur , Jenis kelamin ,
Kegemukan dan Hipertensi dengan Kejadian Diabetes Melitus Tipe II di

58
Wilayah kerja Puskesmas Mataram.
Diaccesed:.http://www.lpsdimataram.com
Lily L.S., 2011. Pathophysiology of Heart Disease. Philadephia: Lippincott
Williams & Willkins, Hal: 302-303.
Kekenusa J S. 2013. Analisis Hubungan Antara Umur dan Riwayat Keluarga
Menderita DM Dengan Kejadian Penyakit DM Tipe 2 Pada Pasien Rawat
Jalan di Poliklinik Penyakit Dalam BLU RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou
Manado. Manado :Universitas Sam Ratulangi.
Kementerian kesehatan, 2009. Tahun 2030 Prevalensi Diabetes Melitus di
Indonesia Mencapai 21,3 juta orang. Jakarta
Kurniawan, I. 2010. Diabetes Melitus Tipe 2 pada Usia Lanjut. Majalah
Kedokteran Indonesia
Marshall, J.A. Bessesen, A.H. 2002. Dietary Fat and the Development of Type 2
Diabetes. American Diabetes Association. Available from :
http://care.diabetesjournals.org/content/25/3/620.full [Accessed on July,
13th 2015]
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013 Tenrang Angka Kecukupan
Gizi yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Jakarta.
Meyer, K.A., Kushum L.H., Jacobs, D.R. Slavin, J., Sellers, T.A., Folsom, A.R.
2000. Carbohydrates, Dietary Fiber, and Incident Type 2 Diabetes in
Older Women. American Journal of Clinical Nutrition. 71, 921-30.
Miles, L. 2007. Physical activity and health. Journal Compilation British
Nutrition Foundation Nutrition Bulletin, London, UK: vol. 32, page 314–
363
Misner, S., Whitmer, E., Florian, T.A. 2006. Dietary Fiber. Arizona: College of
Agriculture and Life Science University of Arizona.
Mongisidi, Gabby. 2014. Hubungan Antara Status Sosio-Ekonomi dengan
Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 Di Poliklinik Interna Blu Rsup Prof. Dr.
R. D. Kandou Manado. Skripsi Universitas Sam Ratulangi

59
Montonen, J., Knekt, P., Jarvinen, R, Aromaa, A., Reunanen, A. 2003. Whole-
grain and Fiber Intake and The Incidence of Type 2 Diabetes. American
Journal of Clinical Nutrition . 77, 622-9.
Naing, L., Winn, T., & Rusli, B. N. (2006). Practical Issue in Calculating the
Sample Size for Prevalence Studies. Archives of Orofacial Sciences , 9-14.
Nuryati et al. 2009. Gaya Hidup dan Status Gizi serta Hubungannya dengan
Diabetes Melitus pada Wanita Dewasa di DKI Jakarta. Departemen Gizi
Masyarakat IPB.
Purnamasari D. 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabete Melitus. Dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Lima. Interna Publishing. Jakarta. 1880-
83.
Ramachandran. A et al, 2012Trends in prevalence of diabetes in Asian countries.
World journal of Diabetes
Riserus, U. Willett., W.C. 2008. Dietary fats and prevention of type 2 diabetes.
United States National Library of Medicine: National Institutes of Health.
Available from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2654180/
[Accessed on July, 13th 2015]
Sacerdote et.al. 2012. Lower educational level is a predictor of incident type 2
diabetes in European countries: The EPIC-InterAct study. International
Journal of Epidemiology 2012;41:1162–1173.
Schienkiewitz et al. 2006. Body mass index history and risk of type 2 diabetes:
results from the European Prospective Investigation into Cancer and
Nutrition (EPIC)–Potsdam Study. USA : American Society for Nutrition.
Selby, P. 2008. Smoking Cessation And Diabetes. Endocrinology Rounds. St.
Michael’s Hospital. Toronto. Vol.8.Issue 3
Siddiqui. M.A., Khan. M.F., Carline. T.E. 2013. Gender Difference in Living with
Diabetes Mellitus. School of Health Science. Queen Margaret University.
Edinburg.
Sigal, R., Kenny, G., Wasserman, D., & Castaneda, C.2004. Physical
Activity/Exercise and Type 2 Diabetes. Diabetes Care, vol.27, no.10, page
2518-2539.

60
Soegondo, Sidartawan. 2009. Farmakoterapi pada Pengendalian Glikemia
Diabetes Melitus Tipe 2. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing. 1884-1890
Stein, J. H., Asthana, A. Et al. 2014. Smoking Cessation and the Risk of Diabetes
Mellitus and Impaired Fasting Glucose : Three-Year Outcomes after a Quit
Attempt. PLOS ONE. University of Winsconsin. Madion. United States of
America. Vol.9. Isuue 6. Pp1-9.
Steyn, N.P. Mann, J. et al. 2004. Diet, nutrition and the prevention of type 2
diabetes. Public Health Nutrition. Available from :
http://www.who.int/nutrition/publications/public_health_nut4.pdf
[Accessed on July, 13th 2015]
Sudremi, Yuliana. 2007. Pengetahuan Sosial Ekonomi. Jakarta: Bumi Aksara
Sugiani P.P.S. 2011. Status Gizi dan Status Metabolik Pasien Diabetes Melitus
Rawat Jalan di RSUP Sanglah Denpasar. Jurnal ilmu Gizi.
Thanopoulou, A.C. Karamanos, B.G. et al. 2003. Dietary Fat Intake as Risk
Factor for the Development of Diabetes. Diabetes Journals. Available
from : http://care.diabetesjournals.org/content/26/2/302.full.pdf [Accessed
on July, 13th 2015]
Trisnawati, S K dan Setyorogo. S .2013. Faktor Risiko Kejadian Diabetes
Melitus Tipe II Di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat
Tahun 2012. Jurnal Ilmiah Kesehatan, 5(1); Jan 2013
Undang-undang RI No 20 tahun 2003, Sistem Pendidikan Pendidikan Nasional,
Semarang: Aneka Ilmu
Valdez R, Yoon P W, Liu T, Khoury M. 2007. Family history and Prevalence of
Diabetes in the U.S. Population. Diabetes Care Volume 30 , Number 10.
Valdez Rodolfo. 2009. Detecting Undiagnosed Type 2 Diabetes Family History as
a Risk Factor and Screening Tool. Journal of Diabetes Science and
Technology Volume 3, Issue 4.
Wang, Y., Ji, J. Et al. 2013. Passive Smoking and Risk of Type 2 Diabetes : A
Meta-Analysis of Prospective Cohort Studies. PLOS ONE. School of
Public Health. Wuhan University. China. Vol(8). Issue 7. Pp1-6

61
Wannamethee, S. G., Shaper, A. G., Perry, I. J. 2001. Smoking as a Modifiable
Risk Factor for Type 2 Diabetes in Middle-Aged Men. Diabetes Care. Vol
(24). Pp1590-95.
Ward. A., Kerr. D. 2009. Diabetes, Alcohol and Hypoglycemia. Diabetes and
Endocrine Royal Bouremouth Hospital. Helath Administrator Vol XXII
Number 1&2.
Waspadji, Sarwono. 2009. Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme terjadinya,
Diagnosis, dan Strategi Pengelolaan. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi V. Jakarta: Interna Publishing
Williams B., 2013. Blood Pressure and Diabetes: A Fatal Attraction. London:
European Heart Journal.
World Health Organization, 2015. Physical Activity in Global Strategy on Diet,
Physical Activity and Health. World Health Organization
Zhang, C., Liu, S., Solomon, C.G., Hu, F.B. 2006. Dietary Fiber Intake, Dietary
Glycemic Load, and the Risk for Gestational Diabetes Melitus. Diabetes
Care. 29, 2223-2230.

62

Anda mungkin juga menyukai