Anda di halaman 1dari 7

DIABETES MELITUS DI MASA YANG AKAN DATANG

Diabetes melitus saat ini menjadi salah satu ancaman kesehatan global. Berdasarkan
penyebabnya, diabetes melitus diklasifikasikan menjadi 4 kelompok, yaitu Diabetes Melitus
tipe 1, Diabetes Melitus tipe 2, Diabetes Melitus gestasional dan Diabetes Melitus tipe lain.
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan
angka insidensi dan prevalensi diabetes melitus tipe 2 di berbagai penjuru dunia. World
Health Organization (WHO) memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes
melitus tipe 2 yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang.
WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang diabetes melitus tipe 2 di Indonesia
dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Prediksi dari
International Diabetes Federation (IDF) juga menjelaskan bahwa pada tahun 2013 – 2017
terdapat kenaikan jumlah penyandang diabetes melitus dari 10,3 juta menjadi 16,7 juta pada
tahun 2045.
DIABETES MELITUS TIPE 2
Prevalensi diabetes melitus tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3-6%.
Angka ini merupakan salah satu “dasar” untuk membandingkan frekuensi diabetes melitus
tipe 2 antar berbagai kelompok etnik di seluruh dunia, hingga dengan demikian kita dapat
membandingkan prevalensi di suatu negara atau suatu kelompok etnik tertentu dengan
kelompok etnik kulit putih pada umumnya.
Misalnya di Singapura, frekuensi diabetes melitus tipe 2 sangat meningkat dibanding
dengan 10 tahun yang lalu. Demikian pula pada beberapa kelompok etnik di beberapa negara,
frekuensi diabetes melitus tipe 2 bisa mencapai 35% seperti misalnya di beberapa bangsa
Mikronesia dan Polinesia di Pasifik, Indian Pima di AS, orang Meksiko yang ada di AS,
bangsa Creole di Mauritius dan Suriname, penduduk asli Australia dan imigran India di Asia.
Prevalensi tinggi juga ditemukan di Malta, Arab Saudi, Indian Canada dan Cina di Mauritius,
Singapura dan Taiwan.
Salah satu “dasar” tadi, tidak bersifat mutlak, terdapat berbagai faktor yang dapat
membuat keadaan diabetes melitus tipe 2 berbeda, misalnya suatu penelitian di Wadena,
mendapatkan bahwa prevalensi pada orang kulit putih sangat tinggi dibandingkan dengan
“dasar” tadi yaitu sebesar 23,2% untuk semua gangguan toleransi, terdiri dari 15,1 % TGT
(Toleransi Glukosa Terganggu) dan 8,1 % diabetes melitus tipe 2. Dengan kenyataan ini
dapat diambil kesimpulan bahwa faktor lingkungan sangat berperan.
DIABETES MELITUS TIPE II DI INDONESIA
Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia,
frekuensi diabetes melitus di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%, kecuali di dua
tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan di Manado 6%.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan penduduk
Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa, dengan prevalensi diabetes
melitus sebesar 14,7% pada daerah urban dan 7,2% pada daerah rural, sehingga diperkirakan
pada tahun 2003 terdapat sejumlah 8,2 juta penyandang diabetes melitus tipe 2 di daerah
rural. Kemudian, berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan bahwa pada tahun
2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia diatas 20 tahun dan dengan asumsi
prevalensi diabetes melitus tipe 2 pada urban (14,7%) dan rural (7,2%), maka diperkirakan
terdapat 28 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 13,9 juta di daerah rural.
Suatu penelitian yang dilakukan di Jakarta tahun 1993, frekuensi diabetes melitus di
daerah urban yaitu di kelurahan Kayuputih adalah 5,69%, sedangkan di daerah di suatu
daerah di Jawa Barat tahun 1995, angka itu hanya 1,1%. Di sini jelas ada perbedaan antara
prevalensi di daerah urban dengan daerah rural. Hal ini menunjukkan bahwa gaya hidup
mempengaruhi kejadian diabetes.
Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018 oleh Departemen
Kesehatan, terjadi peningkatan prevalensi diabetes melitus tipe 2 menjadi 8,5%. Peningkatan
tersebut searah dengan prevalensi obesitas yang merupakan salah satu faktor risiko diabetes,
yaitu 14,8 % pada data RISKESDAS tahun 2013 menjadi 21,8% pada tahun 2018. Hal ini
seiring pula dengan peningkatan prevalensi berat badan lebih yaitu dari 11,5% menjadi
13,6%, dan untuk obesitas sentral (lingkar pinggang ≥ 90cm pada laki-laki dan ≥ 80cm pada
perempuan) meningkat dari 26,6% menjadi 31%. Data-data diatas menunjukkan bahwa
jumlah penyandang diabetes melitus di Indonesia sangat besar dan merupakan beban yang
berat untuk dapat ditangani sendiri oleh dokter spesialis/subspesialis atau bahkan oleh semua
tenaga kesehatan.
DIABETES MELITUS TIPE II
Hasil Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa prevalensi diabetes melitus di Indonesia
berdasarkan diagnosis dokter pada umur ≥ 15 tahun sebesar 2%. Angka ini menunjukkan
peningkatan d bandingkan prevalensi diabetes mel tus pada penduduk ≥ 15 tahun pada hasil
Riskesdas 2013 sebesar 1,5% Namun prevalensi diabetes melitus menurut hasil pemeriksaan
gula darah meningkat dari 6,9% pada 2013 menjadi 8,5% pada tahun 2018. Angka ini
menunjukkan bahwa baru sekitar 25%, penderita diabetes yang mengetahu bahwa dirinya
menderita diabetes.
Hampir semua provinsi menunjukkan peningkatan prevalensi pada tahun 2013-2018,
kecuali provinsi Nusa Tenggara Timur. Terdapat empat provinsi dengan prevalensi tertinggi
pada tahun 2013 dan 2018, yaitu Di Yogyakarta DKI Jakarta, Sulawesi Utara dan Kalimantan
Timur. Terdapat beberapa provinsi dengan pen ngkatan prevalensi tertinggi sebesar 0,9%,
yaitu Riau, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, dan Papua Barat.
Gambaran prevalensi Diabetes menurut provinsi pada tahun 2018 juga menunjukkan
bahwa provinsi Nusa Tenggara Timur memilki prevalensi terendah sebesar 0,9%, diikuti oleh
Maluku dan Papua sebesar 1,1%. Gambaran di bawah ini merupakan prevalensi berdasarkan
diagnosis dokter yang sangat d tentukan oleh keteraturan dan kepatuhan pencatatan rekam
medis.
Pada Risksesdas 2018, prevalensi diabetes mellitus pada perempuan lebih tinggi
dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 1,78% terhadap 1,21%, dan pada Riskesdas
2013 prevalensi pada perempuan terhadap laki-laki sebesar 1,7% terhadap 1,4%. Pada 5
tahun terakhir prevalensi pada perempuan menunjukkan sedikit peningkatan. Sedangkan
prevalensi pada laki-laki menunjukkan penurunan.

Prevalensi diabetes melitus menunjukkan peningkatan seiring dengan bertambahnya


umur penderita yang mencapai puncaknya pada umur 55-64 tahun dan menurun setelah
melewati rentang umur tersebut. Pola peningkatan ini terjadi pada Riskesdas 2013 dan 2018
yang mengindikasikan semakin tinggi umur maka semakin besar risiko untuk mengalami
diabetes. Peningkatan prevalensi dari tahun 2013-2018 terjadi pada kelompok umur 45-54
tahun, 55-64 tahun 65-74 tahun, dan > 75 tahun.
Proporsi penderita diabetes melitus menurut tingkat pendidikan menunjukkan bahwa
responden dengan tingkat pendidikan tamat akademi/universitas memiliki proporsi tertinggi
pada Riskesdas tahun 2013 dan Riskesdas tahun 2018 yartu sebesar 2,5% dan 2,8%.
Sedangkan responden dengan tingkat Pendidikan lebih rendah dari universitas/akademi
memiliki prevelensi kurang dari 2%. Hal ini dapat diasumsikan terkait dengan gaya hidup dan
akses terhadap deteksi kasus di pelayanan kesehatan pada kelompok dengan tingkat
Pendidikan akademi/universitas.

Penderita diabetes melitus pada responden yang tinggal di wilayah perkotaan lebih
tinggi dibandingkan yang tinggal di perdesaan, yaitu 2% berbanding 1% pada Riskesdas 2013
dan 1,89% berbanding 1,01% pada Riskesdas 2018. Hal ini dapat diasumsikan adanya akses
terhadap deteksi kasus di pelayanan kesehatan yang lebih baik pada wilayah perkotaan
dibandingkan perdesaan.

Kondisi obesitas yaitu orang dengan IMT ≥ 27 merupakan salah satu faktor resiko
diabetes. Pada gambar di atas dapat kita ketahui bahwa prevelensi obesitas ternyata diiringi
dengan peningkatan diabetes melitus dari tahun 2013-2018
Pola konsumsi makanan dan minuman manis yang merupakan salah satu faktor risiko
diabetes melitus juga tergambar pada hasil Riskesdas 2018. Perilaku konsusmi makanan
manis menggambarkan bahwa sebagain besar responden mengkonsumsi 1-6 kali per minggu
dengan prevalensi 47,8%, hanya 12% responden yang mengkonsumsi «3 kali per bulan.
Gambaran berbeda terjadi pada pola konsumsi minuman manis, yaitu sebagian besar
responden mengkonsumsi »1 kali per hari sebesar 61,3%. Hanya 8,5% responden yang
mengkonsumsi minuman manis « 3 kali per bulan. Tingginya prevalensi konsumsi makanan
dan minuman manis dapat berkontribusi terhadap tingginya kejadian diabetes.

Referensi:
Diabetes Melitus. InfoDatin: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. ISSN
2442-7659. [cited 17 February 2021]. Available from: pusdatin.kemenkes.go.id
Soelistijo SA, Lindarto D, Decroli E, Permana H, Sucipto KW, Kusnadi Y, et all. Pedoman
pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 dewasa di Indonesia. Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia. 2019

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Jakarta: Interna Publishing. 2014;II(VI)

Anda mungkin juga menyukai