Anda di halaman 1dari 78

1

BAB I
PENDAHULUAN

Bab ini akan menjelaskan tentang latar belakang penelitian, perumusan masalah,
tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Bab ini mendasari penelitian ini
dilakukan.

1.1. Latar Belakang

Peningkatan usia harapan hidup lansia di satu sisi merupakan hal yang positif
akan tetapi hal ini akan menimbulkan masalah sosial baru yaitu masalah
perawatan dan kesejahteraan lansia. Data dari United Nations Population
Fund (UNFPA) dan HelpAge International tahun 2012 menunjukan bahwa
jumlah lansia pada tahun 2012 di dunia yang berusia lebih dari 60 tahun
sebesar 809,8 juta jiwa atau sebesar 11,5 % dari jumlah penduduk di dunia
dan akan terus bertambah pada tahun 2050 jumlahnya akan semakin
meningkat sekitar 2,03 milyar jiwa atau 21,8%. Sementara jumlah penduduk
lansia di Indonesia usia ≥ 60 tahun pada tahun 2012 sebesar 20,8 juta jiwa
atau 8,5 % dan diprediksi pada tahun 2050 akan mencapai 74,7 juta jiwa atau
25,5 %. Indonesia merupakan jumlah terbesar di Asia Tenggara dengan
jumlah populasi lansianya yang menempati urutan ke-8 di dunia setelah
China, India, USA, Jepang, Rusia, Jerman, dan Brazil (UNFPA & HelpAge
International, 2012). Berdasarkan data diatas, kondisi dan permasalahan yang
dialami lansia mengakibatkan penurunan kesehatan akibat kondisi kesehatan
dan penyakit yang menyertai, sehingga menempati kelompok lansia dengan
penyakit kronis atau akut sebagai populasi rentan.

Kerentanan (Vulnerability) adalah kelemahan (poor) terhadap masalah


kesehatan (Shi & Steven, 2010; Allender, 2014). Populasi rentan berada pada
kelompok resiko terhadap kesehatan yang buruk, kerentanan dikaitkan
dengan peningkatan resiko morbiditas dan mortalitas. Kemiskinan, usia, jenis
kelamin, ras atau etnis merupakan faktor agregat yang membuat menjadi
rentan. Kelompok rentan mencakup sakit kronis dan kecacatan. Kelompok

1
2

lansia dikatakan sebagai kelompok rentan (vulnerable population). Flaskerud


dan Winslow (1998) dalam Stanhope & Lancester (2004) menyatakan bahwa
vulnerable population ialah kelompok sosial yang mempunyai resiko atau
kerentanan untuk mengalami gangguan kesehatan. Populasi rentan adalah
populasi yang lebih besar kemungkinannya untuk mengalami masalah
kesehatan akibat paparan berbagai resiko dari pada populasi lainnya
(Stanhope & Lancester, 2004).

Maurer dan Smith (2005) mengatakan bahwa kelompok rentan mempunyai


karakteristik lebih memungkinkan berkembangnya masalah kesehatan, lebih
sulit mengakses pelayanan kesehatan untuk mengatasi masalah kesehatan,
penghasilan yang menurun atau harapan hidup lebih singkat akibat kondisi
kesehatan. Karakteristik rentan merupakan ciri dari populasi yang beresiko
terhadap penurunan status kesehatan baik secara fisik, psikologi dan
sosioekonomi (AJMC, 2006). Kelompok rentan salah satunya adalah
seseorang yang memiliki kesakitan yang kronik dan adanya ketidakmampuan
untuk melakukan berbagai aktivitas, diantaranya adalah penderita pasca
stroke (Allender, Rector, & Warner, 2010). Shi & Steven (2010) dalam
Allender (2014) menyatakan populasi rentan adalah subpopulasi minoritas
yang tidak mampu mengakses pelayanan kesehatan, kemiskinan dan mereka
yang kehilangan tempat tinggal. Berdasarkan beberapa sumber diatas maka
populasi rentan adalah kelompok yang memiliki resiko lebih besar untuk
terjadinya masalah kesehatan dibandingkan dengan populasi lainnya akibat
dari kondisi kesehatan sebelumnya dan diperberat dengan kondisi menua
yang dialami.

Proses terjadinya penuaan merupakan suatu proses yang alamiah ditandai


dengan terjadinya penurunan fungsi berbagai organ tubuh. Proses alamiah ini
secara perlahan tentu akan menempatkan lansia yang cenderung rentan
mengalami berbagai masalah kesehatan atau berdampak negatif terhadap
kesehatan dan kualitas hidup lansia baik skala ringan sampai berat. Proses
penuaan tentu berdampak terhadap aspek kehidupan baik sosial, ekonomi
terutama kesehatan karena semakin bertambahnya usia fungsi organ tubuh
3

akan semakin menurun baik karena faktor alamiah maupun karena penyakit
(Miller, 2012). Penyakit yang diderita lansia lebih banyak bersifat kronik,
menahun dan kompleks. Lansia mengalami proses perubahan dan mengalami
sejumlah resiko yang menyebabkan kerentanan terhadap penyakit. Menua
menimbulkan perubahan yang akan mengakibatkan terjadinya penurunan
fungsi fisiologis, potensial peningkatan perubahan psikososial dan spiritual
(Miller, 2012). Berbagai faktor resiko yang dapat menyebabkan kerentanan
diantaranya gangguan kondisi patologi, stressor fisik, psikososial, lingkungan
dan kurangnya informasi. Berbagai perubahan yang terjadi pada lansia akibat
proses penuaan dan sejumlah resiko akan menimbulkan apa yang disebut
dengan konsekuensi fungsional. Konsekuensi fungsional yang timbul bisa
bersifat positif maupun negatif. Gangguan kondisi patologi yang terjadi
diantaranya adalah stroke, tanpa adanya intervensi keperawatan pada lansia
pasca stroke akan menimbulkan konsekuensi negatif terhadap lansia yang
menderita stroke maupun anggota keluarganya.

Kehidupan modern sekarang ini menyebabkan terjadinya perubahan gaya


hidup terutama masyarakat perkotaan dan menuntut segala sesuatu yang serba
cepat dan tepat. Perubahan pola hidup seperti pola makan yang mengandung
tinggi lemak, aktivitas sehari-sehari yang terlalu tinggi yang meyebabkan
stress dan latihan kurang aktivitas. Perkembangan teknologi komunikasi dan
transportasi juga memperpendek jarak dan waktu yang memanjakan manusia
dalam kehidupan. Kebiasaan hidup tersebut sangat berpengaruh terhadap
kesehatan, hal ini akan sangat mendukung terhadap terjadinya hipertensi yang
apabila tidak tekendali akan menyebabkan adalah stroke. Stroke dapat
didefinisikan sebagai gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat
pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui sistem arteriserebral (Price
& Wilson, 2006). Berdasarkan data diatas maka resiko Stroke semakin
meningkat pada individu dengan hipertensi tidak terkontrol, jarang
memeriksa tekanan darah, tidak taat dengan diet dan pola hidup yang tidak
sehat.
4

Stroke merupakan salah satu penyakit yang banyak diderita lansia, saat ini
stroke merupakan salah satu penyakit yang banyak ditemukan terutama pada
usia 45 tahun ke atas (Riskesdas, 2007). Lansia dengan stroke yang di
rehabilitasi atau melanjutkan perawatan di rumah atau komunitas sangat
tergantung pada anggota keluarga, keluarga sebagai cargiver harus
mempunyai ketahanan baik fisik maupun emosional dalam melaksanakan
rehabilitasi. Chow (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa faktor fisik
dan emosional merupakan dua variabel pada caregiver pasca stroke yang
mempunyai resiko lebih besar terhadap penurunan kesehatan fisik dan
kesehatan emosional dibanding dengan pada caregiver yang merawat di
rumah sakit. Stroke dapat terjadi secara mendadak dan dapat berakhir dengan
kematian atau kecacatan (disability) yang menetap sehingga produktivitas dan
kualitas hidup lansia akan menurun, selanjutnya aktivitas sehari-hari akan
tergantung pada keluarga sehingga potensi keluarga sangat membantu dalam
memelihara atau meningkatkan kualitas lansia pasca stroke. Elizabeth (2008)
dalam penelitiannya menyatakan stroke menyebabkan disability, gejala-gejala
depresi terutama pada awal tahun pertama yang akan mempegaruhi kualitas
hidup pasca stroke. Stroke akan menyebabkan gangguan neurologi seperti
disabilitas seperti hemiparise, aphasia dan hemiplegia.

Stroke merupakan penyebab terbesar penyebab kematian baik di negara maju


maupun di negara berkembang. Pada tahun 2004, WHO memprediksi bahwa
jumlah kasus stoke akan meningkat sehubungan dengan peningkatan trend
dalam populasi lanjut usia di seluruh dunia (Aziz et al, 2008). Data WHO
tahun 2004 menyatakan bahwa penyakit stroke merupakan penyebab
kematian terbesar pada lansia selain gagal jantung iskemik dan penyakit
respirasi kronik (UNFPA & Help Age International, 2012). Angka Kematian
akibat stroke pada lansia yang berusia diatas 65 tahun di Amerika pada tahun
2007 tercatat sebesar 115.961 jiwa (United States Cencus Beureu, 2012).

Prevalensi stroke di Indonesia ditemukan sebesar 8,3 per 1000 penduduk, dan
yang telah didiagnosis oleh tenaga kesehatan adalah 6 per 1000 penduduk.
(Riskesdas, 2007). Stroke merupakan pembunuh nomor 3 setelah penyakit
5

infeksi dan penyakit jantung koroner, ada sekitar 800-1000 kasus stroke
setiap tahunnya dan 25 % penderita stroke meninggal dunia di Indonesia.
Salah satu penyebab meningkatnya kasus stroke adalah kurangnya kesadaran
masyarakat untuk menerapkan pola hidup sehat (Mangoenprasodjo, 2005).
Penderita stroke di Indonesia terbanyak dan menduduki peringkat pertama di
Asia, jumlah yang menduduki urutan kedua adalah usia diatas 60 Tahun
(Yastroki, 2010).

Prevalensi stroke nasional adalah sebesar 0,8 % dari total jumlah penduduk
Indonesia. Angka ini belum dilihat dari variebel lain seperti tipe daerah, jika
dilihat dari penyebarannya berdasarkann tipe daerah prevalensi stroke secara
nasional di daerah perkotaan adalah 0,9 % dan di pedesaan sebesar 0,78 %
dari total penduduk. Salah satu daerah di Indonesia dengan angka stroke
melebihi angka nasional yaitu kota Pontianak dengan prevalensi sebesar 1,4
%. Prevalensi ini melebihi angka prevalensi Nasional sebesar 0,8 %.
(Departemen Kesehatan RI, 2007).

Stroke merupakan penyebab kematian tertinggi di wilayah perkotaan (15,9%)


dan penyebab kematian kedua (11,5%) di wilayah pedesaan dari proporsi
penyebab kematian pada kelompok usia 45-54 tahun di Indonesia. Sedangkan
pada kelompok usia 55-64 tahun, Stroke merupakan penyebab utama
kematian baik di wilayah perkotaan (28,8%) maupun di pedesaan (17,4)
(Riset Kesehatan Dasar, 2007). Stroke merupakan penyakit utama yang
berhubungan dengan gaya hidup seperti pola makan dan kebiasan
beraktivitas. Berdasarkan data ini sudah seharusnya program pencegahan dan
rehabilitasi paska Stroke menjadi prioritas upaya kesehatan selain program
pemberantasan penyakit menular seperti HIV/AIDS dan TBC terutama di
kota Pontianak yang memiliki prevalensi tertinggi 1,4 % lebih tinggi dari
angka stroke nasional yang hanya 0.8 % dan lebih tinggi dibanding wilayah
lainnya seperti kota singkawang yang hanya 0,4 %.

Stroke menimbulkan berbagai gejala sisa akibat gangguan persyarafan yang


berlangsung dalam waktu lama. Selain itu pasien meninggalkan beberapa
6

gejala sisa berupa defisit neurologis, seperti gangguan mobilitas


fisik/ambulasi, gangguan bicara, gangguan menelan dan stress psikologis
sampai dengan depresi. Keadaan disability dan depresi akan meyebabkan
kualitas hidup penderita akan menurun sehingga hal ini perlu strategi koping
keluarga yang efektif sebagai caregiver untuk lebih meningkatkan kualitas
hidup penderita. Chaiyawat (2012) menyatakan efektifitas awal program
rehabilitasi di rumah pada periode 6 bulan pertama pasca stroke mengarah
pada perbaikan dan fungsi yang akan mengurangi kecacatan dan
meningkatkan kualitas hidup. Disisi lain program penganan penyakit tidak
menular (PTM) yang dilakukan puskesmas masih bersifat general dan upaya
yang dilakukan belum memberdayakan keluarga secara optimal terutama
dalam meningkatkan strategi koping yang efektif dalam rehabilitasi pasca
stroke. Upaya rehabilitasi yang komprehensif dan terintegrasi perlu dilakukan
untuk mempertahankan kualitas hidup, gejala sisa yang dialami lansia pasca
stroke meyebabkan ketergantungan lansia terhadap pelaku rawat (caregiving)
utama dalam keluarga di rumah.

Tugas merawat pasien Stroke dalam waktu yang lama akan meningkatkan
beban yang dialami oleh caregiver keluarga. Beban yang ditanggung
caregiver akan menyebabkan cemas dan depresi. Kondisi ini diperberat
dengan kurangnya pengetahuan caregiver dalam merawat pasien di rumah.
Beban yang dialami oleh caregiver terjadi karena beberapa alasan seperti
merasa tugas merawat pasien sebagai tugas yang berat, ketidakjelasan tentang
perawatan pasien Stroke, hambatan dalam hubungan sosial selama merawat
pasien dan perasaan bahwa pasien harus dibantu maksimal dalam perawatan
diri. Caregiver yang mengalami beban tinggi, menunjukkan tingkat depresi
yang tinggi pula (Puymbroeck dan Rittman, 2005). Fenomena ini perlu
diantisipasi agar klien penerima bantuan pelaku rawat keluarga merasa puas
dan kualitas hidup dapat diperhatikan.

Penurunan kualitas hidup pasien paska Stroke berdampak terhadap


meningkatnya beban keluarga (burden family) dalam perawatan dan
pemulihan klien di rumah. Jika ditinjau dari aspek ekonomi maka terjadi
7

kerugian finansial yang cukup besar. Selain pasien tidak dapat bekerja karena
keterbatasan fisik, pengobatan stroke juga membutuhkan biaya yang tidak
sedikit. Anggota keluarga juga harus menyediakan cukup waktu untuk
merawat pasien. Besarnya dampak Stroke terhadap pasien, keluarga maupun
negara secara umum, memerlukan penatalaksanaan yang komprehensif tidak
hanya mencakup aspek medik dan rehabilitasi oleh tenaga kesehatan saja,
tetapi lebih memberdayakan keluarga sebagai caregiver. Caregiver yang
merawat stroke akan mengalami gangguan peran, frustasi, dan kurang
kemampuan dalam memenuhi peran mereka, Sehingga menyebabkan kurang
berhasilnya program rehabilitasi jangka panjang pada pasien Stroke yang
mengakibatkan penurunan kualitas hidup.(Greenberger et,al, 2009).

Caregiver berperan sangat penting dalam rehabilitasi pasien pasca Stroke


terutama saat menjalani rehabilitasi di rumah. Caregiver bertugas merawat
dan mendampingi pasien menjalani masa rehabilitasi. Caregiver dalam
menjalankan peran barunya perlu memiliki koping yang baik sehingga apa
yang dilakukan dalam melaksanakan perannya seperti membantu pasien
ambulasi dan berpindah dari tempat tidur, membantu pasien mandi,
berpakaian, menyiapkan makanan dan menyuapi pasien, memberikan obat
dan memberikan dukungan sosial. Darlington et all, (2007) dalam
penelitiannya mengatakan bahwa koping merupakan faktor yang sangat
powerful yang mempengaruhi kualitas hidup (QoL) pasien pasca stroke.
Mengingat pentingnya koping caregiver dalam masa rehabilitasi pasca stroke,
maka keluaran pasien sangat dipengaruhi oleh strategi koping caregiver.

Caregiver yang mampu memberikan perawatan yang berkualitas,


memberikan dukungan emosional secara mendalam dan memfasilitasi pasien
menjalani rehabilitasi akan mempercepat masa rehabilitasi dan meningkatkan
kualitas hidup pasien pasca Stroke. Caregiver dapat menjalankan perannya
secara optimal, maka caregiver harus memiliki strategi koping yang baik
secara individu maupun kolektif untuk mengatasi krisis/masalah. McCubbin
8

(1983) dalam Friedman (2010) mengemukakan bahwa sumber koping dan


stressor dapat menjadi aspek yang penting dalam mengembangkan strategi
koping keluarga dalam menangani masalah apabila keluarga memiliki sedikit
sumber koping, maka proses koping tidak akan pernah dimulai dan krisis
dapat terjadi ketika terjadi stress. Faktor pendidikan keluarga, pengetahuan
keluarga dan kemampuan keluarga yang kurang akan meningkatkan beban
keluarga yang mengakibatkan stress dan depresi, untuk itu keluarga perlu
memiliki koping yang baik sehingga diperlukan intervensi untuk
meningkatkan koping keluarga.

Strategi koping Family (F-Cope) menurut McCubbin (1991) dalam Friedman


(2010) terbagi manjadi internal dan eksternal, internal koping diantaranya
pola koping keluarga, family resource berasal dari sumber daya keluarga
terdiri dari percaya diri dalam menyelesaikan masalah (confidence in problem
solving), menata masalah-masalah dalam keluarga (reframing family
problems), dan family passivity atau perilaku keluarga yang in active atau
pasif. Strategi koping eksternal koping keluarga yaitu social and community
resource yang terdiri dari 5 faktor yaitu religius resource, extended family,
friends, Neighbors, dan community resources (faktor VIII). F-Copes untuk
mengindentifikasi pemecahan masalah dan strategi behavioral yang
digunakan oleh keluarga dalam menghadapai masalah.

Koping terdiri atas upaya pemecahan masalah yang dihadapi oleh individu
dengan tuntutan yang sangat relevan dengan kesejahteraan, tetapi membebani
sumber seseorang (Lazarus, Averill, & Opton, 1974) dalam Friedman 2010).
Sementara Pearlin dan Schooler (1978, dalam Friedman 2010) menambahkan
pernyataan mengenai dugaan keefektifan respon (kognitif perilaku atau
presepsi) terhadap ketegangan hidup eksternal yang berfungsi untuk
mencegah, menghindari, dan mengendalikan distress emosional. Koping
adalah sebuah istilah yang terbatas pada perilaku atau kognisi aktual yang
ditampilkan seseorang, bukan pada seumber yang mereka gunakan. Koping
keluarga menunjukan tingkat analisis kelompok keluarga, koping keluarga
9

didefinisikan sebagai proses aktif saat keluarga memanfaatkan sumber baru


yang akan memperkuat unit keluarga dan mengurangi dampak peristiwa
hidup penuh stress (McCubin, 1979; Friedman 2010). Dengan demikian
perilaku koping keluarga merupakan suatu tindakan yang dilakukan keluarga
saat beradaptasi dengan stress. Strategi koping merupakan berbagai upaya
baik mental maupun perilaku untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi
atau memiminimalisasi suatu situasi atau kejadian yang penuh dengan
tekanan atau strategi koping merupakan suatu proses dimana individu
berusaha untuk menangani dan menguasai situasi stress yang menekan akibat
masalah yang dihadapi dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun
perilaku guna memperoleh rasa aman dalam keluarganya.

Adaptasi adalah proses mengelola tuntutan stressor melalui pemanfaatan


sumber, koping, dan strategi pemecahan masalah dan hasil akhirnya adalah
perubahan keadaan fungsi yang positif maupun negatif yang menyebabkan
peningkatan atau penurunan keadaan sejahtera keluarga (Buergess, 1978;
Friedman, 2010). Adaptasi keluarga didefinisikan oleh McCubbin (1993)
dalam Friedman (2010) sebagai suatu proses saat keluarga terlibat dalam
respon langsung terhadap tuntutan stressor yang ekstensif dan menyadari
bahwa perubahan sistemik dibutuhkan dalam unit keluarga, yang dapat
memperbaiki stabilitas fungsional dan memperbaiki kepuasan dan
kesejahteraan keluarga. Krisis keluarga adalah kondisi kekacauan, tidak
teratur atau ketidakmampuan dalam sistem keluarga yang berlangsung terus
menerus dan krisis terjadi ketika sumber dan strategi adaptif keluarga tidak
efektif dalam mengatasi stressor. Proses adaptasi dalam sistem keluarga
disebut resilience keluarga, dan pendekatan resilience keluarga guna bekerja
dengan keluarga yang dibentuk atas kompetensi dan kekuatan anggota
keluarga. Dengan demikian koping merupakan hasil dari suatu proses
adaptasi keluarga yang berpengaruh terhadap perawatan kesehatan keluarga
terutama anggota keluarga yang rentan.
10

Berdasarkan dari konsep yang telah dijelaskan dan adanya kesenjangan antara
beberapa fakta tentang penyakit stroke seperti peningkatan prevalensi kasus,
penyebab kematian terbesar, rehabilitasi pasien di rumah yang inadekuat
dimana hal ini dipengaruhi oleh koping dan strategi koping keluarga sebagai
caregiver yang memberikan perawatan di rumah akan meningkatkan kualitas
hidup lansia pasca stroke, untuk itu keluarga sebagai cargiver perlu
mempertahankan koping dan strategi koping keluarga untuk meningkatkan
kualitas hidup lansia khususnya lansia dengan pasca stroke. Peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian tentang Hubungan Strategi Koping Keluarga
Dengan Kualitas Hidup Lansia Pasca Stroke di Kota Pontianak Kalimantan
Barat.

1.2. Rumusan Masalah Penelitian

Angka kejadian stroke dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang


cukup signifikan berdasarkan karakteristik usia 55-70 tahun mencapai 1,7 %
(Riskesdas, 2007). Sementara di wilayah perkotaan salah satunya adalah kota
Pontianak Kalimantan Barat yang mencapai 1,4 % dari angka nasional yang
hanya 0,8 %. Menurut Kabupaten/Kota prevalensi stroke antara 0,1-1,5 %
dan Kota Pontianak mempunyai prevalensi tertinggi. Stroke merupakan salah
satu penyebab terbesar kematian selain itu stroke menyebabkan disabilitas
dalam waktu yang relatif lama, belum adanya rumah sakit khusus stroke atau
pusat rehabilitasi pasca stroke di kota Pontianak, sehingga membutuhkan
strategi koping keluarga sebagai “caregiving” utama dalam perawatan.
Keluarga sebagai cargiver utama dihadapkan pada stressor yang terkait
dengan kebutuhan sehari-hari (ADL) dalam merawat lansia pasca stroke baik
fisik maupun psikososial sehingga diperlukan strategi koping untuk mencapai
keseimbangan emosi, namun belum semua keluarga menggunakan strategi
koping yang sesuai, misalnya dukungan keluarga yang kurang optimal,
reframing (penataan kembali), mencari dukungan spiritual, mencari dan
menerima pertolongan serta pasif appraisal (penilaian pasif).
11

Berdasarkan hasil kunjungan rumah dan wawancara tidak terstruktur dengan


beberapa keluarga lansia pasca stroke menunjukan keluarga tidak mengetahui
apa yang harus dilakukan terkait masalah yang dihadapi, keluarga tidak mau
mencari dan menerima bantuan dari keluarga lain atau masyarakat sekitar
karena malu serta keluarga lebih banyak untuk menerima keadaan (pasrah).
Kondisi ini tentu akan berdampak pada kesejahteraan dan kesehatan lansia
yang dirawatnya. Apabila caregiver tidak menggunakan koping dan strategi
koping yang efektif hal ini akan berpengaruh terhadap kualitas hidup lansia
pasca stroke. Untuk itu perlu strategi koping keluarga yang efektif dalam
menghadapi masalah tersebut, sehingga diharapkan akan meningkatkan
kualitas hidup lansia pasca stroke dan penelitian tentang strategi koping
keluarga mempengaruhi kualitas hidup lansia pasca stroke belum pernah
diteliti sebelumnya.

Berdasarkan fenomena diatas, maka peneliti merumuskan masalah penelitian


yaitu “Apakah ada hubungan strategi koping keluarga dengan kualitas
hidup lansia pasca stroke di Kota Pontianak Kalimantan Barat ? “

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan strategi koping keluarga dengan kualitas hidup lansia
pasca stroke di kota Pontianak Kalimantan Barat.

1.3.2. Tujuan Khusus


Tujuan khusus penelitian yang dilakukan adalah teridentifikasinya:
1.3.2.1. Karakteristik lansia dan keluarga yang meliputi usia, jenis kelamin,
pendidikan terakhir, tipe stroke dan lamanya menderita stroke serta
tipe keluarga, pendapatan keluarga di kota Pontianak.
1.3.2.2. Kualitas hidup lansia pasca stroke
1.3.2.3. Strategi koping keluarga yang mencakup dukungan keluarga,
reframing, spiritual support keluarga, usaha keluarga dalam
mencari dan menerima pertolongan, pasif appraisal.
12

1.3.2.4. Hubungan dukungan sosial keluarga dengan kualitas hidup lansia


pasca stroke di kota Pontianak.
1.3.2.5. Hubungan penataan kembali (reframing) keluarga dengan kualitas
hidup lansia pasca stroke di kota Pontianak.
1.3.2.6. Hubungan dukungan spiritual keluarga dengan kualitas hidup
lansia pasca stroke di kota Pontianak.
1.3.2.7. Hubungan usaha keluarga mencari dan menerima pertolongan
dengan kualitas hidup lansia pasca stroke di kota Pontianak.
1.3.2.8. Hubungan pengharapan pasif (pasive appraisal) keluarga dengan
kualitas hidup lansia pasca stroke di kota Pontianak.
1.3.2.9. Domain strategi koping keluarga yang paling dominan yang
mempengaruhi kualitas hidup lansia pasca stroke.

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Bagi penentu kebijakan dan pelayanan kesehatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan atau sebagai rujukan dalam
menentukan kebijakan pelayanan kesehatan dalam rangka
meningkatkan derajat kesehatan yang optimal pada lansia yang
mengutamakan pemberdayaan keluarga pada klien pasca stroke melalui
strategi koping keluarga yang dapat dilakukan untuk mengatasi
masalah-masalah kesehatan yang dialami oleh lansia pasca stroke yang
menjalani rehabilitasi di rumah. Hasil jangka pendek yang diharapkan
adalah peningkatan kualitas hidup lansia pasca stroke yang pada
akhirnya akan mengurangi beban keluarga.

1.4.2. Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan Komunitas


Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan
keperawatan yang dapat dijadikan landasan oleh perawat komunitas
dalam mengembangkan asuhan keperawatan keluarga dan komunitas
yang komprehensif pada lansia pasca stroke sebagai populasi yang
resiko dan rentan, dimana penelitian ini beroientasi pada tingkat
kemandirian keluarga dalam merawat lansia pasca stroke untuk
13

meningkatkan outcome positif bagi klien dan keluarga dalam


menerapkan strategi koping yang efektif untuk menghadapi masalah
atau situasi krisis pada lansia pasca stroke.

1.4.3. Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi
pengembangan ilmu keperawatan dalam mengembangakan metode
untuk meningkatkan strategi koping keluarga yang merawat lansia
pasca stroke di rumah dan penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar
untuk penelitian selanjutnya.
14

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan menjelaskan tentang teori yang berhubungan dengan masalah
penelitian yang akan dilalukan dan akan digunakan sebagai bahan rujukan dalam
penelitian serta pembahasan. Tinjauan pustaka ini terdiri dari teori konsekuensi
fungsional, populasi lansia sebagai kelompok rentan (vulnareble population),
konsep stroke, pola koping keluarga dan strategi koping keluarga serta kualitas
hidup (QoL).

2.1. Konsekuensi Fungsional


Konsekuensi fungsional adalah berbagai faktor perubahan yang berkaitan
dengan usia, yang dapat mempengaruhi kualitas hidup lansia dimana tingkat
ketergantungannya semakin tinggi (Miller, 2012). Konsekuensi fungsional
merupakan efek dari suatu intervensi atau tindakan selama dalam perawatan.
Lansia akan mengalami perubahan akibat proses penuaan dan berbagai faktor
resiko, faktor resiko yang terjadi dapat berupa fisiologis maupun psikososial.
Konsekuensi fungsional yang timbul dapat berupa konsekuensi fungsional
negatif dan konsekuensi fungsional positif. Faktor resiko adalah kondisi yang
dapat terjadi pada lansia yamg memberikan efek merugikan bagi status
kesehatan baik fisik maupun psikologis (Miller, 2012). Hedstrom (2007)
dalam penelitiannya menyatakan konsekuensi keparahan akibat stroke pada
lansia akan mempengaruhi kualitas hidup (HRQOL) serta memerlukan
sumber daya pada masa rehabilitasi pasca rawat rumah sakit.
15

Konsekuensi fungsional merupakan efek dari suatu tindakan atau intervensi,


faktor-faktor resiko pada lansia, serta perubahan yang terkait dengan usia
dimana akan mempengaruhi kualitas hidup lansia. Efek tersebut
mempengaruhi fisik, psikologis dan spiritual (Miller, 2012). Stroke
merupakan salah satu gangguan pada sistem kardiovaskuler yang
berhubungan dengan perubahan usia akibat terjadinya perubahan-perubahan
seperti penurunan pada myocardial dan kekakuan pada arteri serta
peningkatan tahanan perifer. Efek dari faktor resiko dan perubahan sistem
14
kardiovaskuler pada lansia mengakibatkan suatu kondisi yang dapat
mempengaruhi kualitas hidup yang disebut sebagai konsekuensi fungsional
negatif, yaitu penurunan respon aktifitas fisik, meningkatnya kerenatanan
terhadap resiko penyakit seperti hipertensi, penurunan fungsi kesehatan,
serta kondisi patologi lainnya (Miller, 2012). Konsekuensi psikologis dan
fisik pada penderita stroke akan mengakibatkan perubahan besar dalam
hubungan sosial dan peran, hampir dua per tiga (61%) dari responden
merasa kehidupan sosial atau kehidupan sosial keluarga terpengaruh
(Alaszewaski, 2003).

Konsekuensi fungsional negatif terjadi apabila lansia tidak dapat


mengkompensasi perubahan yang terjadi, baik secara fisik maupun
psikologi. Resiko yang terjadi misalnya disabilitas pada lansia pasca stroke,
hal ini terjadi akibat dari intervensi yang tidak optimal yang mengakibatkan
terjadinya faktor resiko tersebut. Faktor resiko merupakan fokus utama dari
konsekuensi fungsional karena keluarga sebagai cargiver pada lansia pasca
stroke harus dapat mengidentifikasi atau memodifikasi faktor yang dapat
mempengaruhi fungsi dan kualitas hidup. Cheng (2012) dalam penelitiannya
menyatakan studi yang dilakukan pada cargiver dan klien dengan stroke
yaitu intervensi psikososial termasuk konseling, psikoedukasi dan sosial
support, memberikan efek positif yang memberikan kepuasan serta kualitas
hidup pengasuh pada penderita stroke.
16

Proses penuaan merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam


menghadapi stressor baik internal maupun eksternal. Lansia harus bisa
beradaptasi dalam upaya menghadapi keterbatasan fungsi yang membatasi
kemandirian lansia terutama dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Konsekuensi lain terkati penyakit kronik adalah konsep diri, menjalani
pengobatan, rehabilitasi dan efek lain yang mungkin melemahkan fungsi.
Perubahan psiokosial yang terjadi terkait timbulnya stress dan strategi
koping yang buruk pada lansia dapat menganggu status kesehatan lansia
menjadi lebih rentan.

Perubahan status fisik pada seseorang akan menyebabkan individu menjadi


rentan terhadap penyakit. Selain itu perubahan fungsi psikososial juga akan
mempengaruhi kehidupan lansia terjadinya perubahan peran, satus sosial
kehilangan pasangan dan presepsi. Faktor resiko yang mempengaruhi
perubahan fungsi psikososial erat hubungannya dengan tingkat stress dan
perubahan atau penurunan koping yang terjadi pada lansia. Hal ini akan
menyebabkan cemas, depresi dan kerusakan kognitif (Miller, 2012).
Perubahan fisik maupun psikososial akan menyebabkan lansia akan semakin
rentan terhadap penyakit. Depresi pasca stroke merupakan kelainan
neuropsikologis yang sering dijumpai setelah serangan stroke, depresi
menyebabkan dampak negatif terhadap penyembuhan stroke (Jeanette,
2004).

2.2. Lansia Sebagai Populasi Rentan (Vulnerable Population)


Rentan adalah kelemahan atau kerentanan terhadap status kesehatan yang
buruk (Shi & Stevens, 2010, Allender, 2014). Sub-populasi ini memiliki
morbiditas dan mortalitas yang tinggi, akses ke tempat pelayanan yang
kurang, harapan hidup yang lebih pendek dan kualitas hidup secara
keseluruhan juga kurang dibandingkan dengan populasi lain pada umumnya.
Perubahan yang terjadi pada lansia seiring dengan proses penuaan baik
secara psikologis, kognitif dan fisiologis hal ini akan meyebabkan lansia
17

menjadi rentan mengalami masalah kesehatan. Ketidakadekuatan sosial,


pendidikan, ilmu pengetahuan dan ekonomi meyebabkan mereka menjadi
rentan. Lansia mulai mengalami perubahan dalam hidupnya seperti pensiun
yang mengakibatkan penghasilannya berkurang, perubahan fisik hingga
kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain. (Stanhope & Lancaster,
2004). Populasi rentan adalah kelompok yang tidak terintegrasi dengan baik
ke dalam sistem perawatan kesehatan karena etnis, budaya, ekonomi,
geografis atau karakteristik kesehatan, misalnya orang miskin, kecacatan,
dan kondisi penyakit kronis. (www. Urban. Org/health policy, 2010).

Populasi rentan atau kelompok rentan adalah kelompok individu yang


beresiko lebih besar terhadap kelemahan atau keterbatasan fisik, psikologis
dan kesehatan sosial. (Pender, Murdaugh & Parson, 2002). Rentan
(vulnerable) merupakan kelompok sosial yang memiliki suatu peningkatan
resiko relative mengalami masalah kesehatan yang memburuk, sulit
mengakses pelayanan kesehatan dan memiliki pendapatan (keuangan) yang
buruk (Stanhope & Lancaster, 2004; Maurer & Smith, 2005). Dengan
demikian dari beberapa pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa
perubahan-perubahan yang terjadi pada kelompok lansia menyebabkan
mereka menjadi rentan terhadap masalah kesehatan atau gangguan
kesehatan dibandingkan dengan populasi lain.

Dari penjelasan di atas lansia dengan pasca stroke dapat dikatakan sebagai
kelompok rentan dikarenakan faktor resiko yang meningkat dan
membutuhkan bantuan dan dukungan keluarga memelihara kondisi
kesehatannya. Ketidakmampuan, kecacatan serta kerusakan yang
merupakan masalah fisik yang sering terjadi pada lansia pasca stroke hal ini
akan meyebabkan ketergantungan klien pada keluarga, untuk itu strategi
koping sangat menentukan dalam peningkatan kualitas hidup lansia pasca
stroke, karena kerusakan neurologi yang dialami pasca stroke terjadi relatif
lama. Meningkatkan keamanan dan fungsi fisik, kesejahteraan serta kualitas
18

hidup lansia merupakan hasil yang digarapkan atau disebut dengan positif
konsekuensi fungsional. (Miller, 2012).

2.2.1. Karakteristik Rentan (susceptible)


Karakteristik rentan merupakan ciri dari populasi yang beresiko terhadap
penurunan status kesehatan, Bagian dari populasi rentan dibagi menjadi 3
kategori yaitu (AJMC, 2006) :

2.2.1.1. Fisik
Faktor fisik yang menimbulkan kerentanan antara lain, Penyakit
kronik dan disabilitias, penyakit hipertensi, sebanyan 87 % dari
mereka berusia 65 tahun atau lebih serta memiliki 1 atau lebih
kondisi kronik, dan 67 % dari populasi ini mempunyai 2 atau lebih
penyakit kronik. Temuan literatur sebelumnya telah difokuskan
pada bagaimana orang-orang dengan stroke adalah populasi yang
rentan, dihadapkan dengan banyak defisit kesehatan, termasuk
kurangnya layanan dukungan dan tindak lanjut yang memadai pada
saat perawatan di rumah (Davenport, et.all, 1996;. Johnston et al,
1998; Langhorne et al, 2000, Pawlak 2006).
2.2.1.2. Psikologi
Faktor psikologi yang remasuk karakterisitik populasi rentan yang
mengalami kondisi kesehatan mental (schizoprenia), depresi, dan
riwayat alkohol. Depresi pasca stroke merupakan kelainan
neuropsikologis yang sering dijumpai setelah serangan stroke,
depresi menyebabkan dampak negatif terhadap penyembuhan
stroke (Jeanette, 2004).
2.2.1.3. Sosioekonomi
Sementara dalam bidang sosialekonomi populasi yang rentan
termasuk dalam keluarga (abusive), tunawisma dan imigran.
(Flores & Tomany-Korman, 2008; Hausmann, Jeong, Bost, &
Ibrahim, 2008; Allender, 2014) akses masyarakat miskin terhadap
19

pelayanan kesehatan menjadi kesenjangan untuk mendapatkan


pelayanan yang berkualitas.

Penyakit kronis lebih signifikan berada di kalangan yang berpenghasilan


rendah atau status ekonomi yang rendah. Berdasarkan karakteristik yang
telah duraikan maka Populasi rentan merupakan populasi yang beresiko
besar terhadap penurunan status kesehatan, faktor sosial ekonomi yang
rendah, akses terhadap pelayanan kesehatan yang sulit serta morbiditas
dan mortalitas yang tinggi. Populasi ini juga cenderung memiliki satu
atau lebih gangguan kesehatan fisik maupun mental.

Flaskerud dan Windslow, (1998 dalam Allender, Rector & Warner,


2014) Kerentanan merupakan akibat dari keterbatasan sumber daya baik
social, ekonomi maupun lingkungan yang dapat menyebabkan kelompok
tersebut menjadi rentan. Keterbatasan terhadap akses ke pelayanan
kesehatan, keterbatasan fisik sumber-sumber lingkungan dan sumber
personal (Human capital) serta sumber biopsikososial adalah faktor yang
dapat meyebabkan kerentanan. (Shi & Steven, 2010; Allender, 2014)
menyatakan populasi rentan adalah subpopulasi seperti etnis atau ras
minoritas yang tidak mempunyai asuransi, orang dengan HIV (AIDS),
anak-anak, orang tua, kemiskinan dan mereka yang kehilangan tempat
tinggal.

Faktor kemiskinan dan kurangnya dukungan sosial, serta bekerja pada


lingkungan yang kurang aman merupakan sumber keterbatasan fisik dan
lingkungan. Seseorang dengan penyakit yang sudah ada sebelumnya
seperti penyakit menular, penyakit infeksi, atau penyakit kronik seperti
kanker, penyakit jantung atau penyakit pernafasan kronik, memiliki
kemampuan fisik yang kurang dalam mengatasi stressor dibandingkan
dengan orang yang tanpa memiliki masalah fisik (Stanhope & Lancaster,
2004). Kelompok rentan salah satunya adalah orang yang mempunyai
20

kesakitan yang kronik serta adanya ketidakmampuan untuk melakukan


aktivitas, seperti klien pasca stroke (Allender, Rector, & Warner, 2014).

2.3. Asuhan Keperawatan Komunitas Pada Lansia Pasca stroke


2.3.1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan yang harus dilakukan pada klien dengan pasca
stroke antara lain: 1) perubahan tingkat kesadaran atau responsibilitas,
orientasi tempat dan waktu, 2) adanya gerakan volunteer dan involunter
ektremitas atas dan bawah, 3) kekakuan dan fleksibilitas otot, 4) kualitas
dan frekuensi pernafasan, 5) kemampuan untuk bicara, 6) status mental, 7)
sensasi dan presepsi, 8) kontrol motorik. Pengkajian perawatan dilanjutkan
untuk memfokuskan pada fungsi fisik karena kualitas hidup klien pasca
stroke dioengaruhi oleh status fungsional (Smeltzer & Bare, 2002).

Stroke didefinisikan sebagai gangguan neurologik mendadak yang terjadi


akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui sistem arteri
serebral (Price & Wilson, 2006). Sedangkan menurut Caplan (2006)
Stroke adalah sebuah terminologi yang digunakan untuk menggambarkan
cedera otak yang disebabkan oleh abnormalitas suplai darah ke suatu
bagian otak.

Penyakit ini merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di


Amerika Serikat, setelah penyakit jantung dan kanker. Penyakit CVD
menyangkut semua proses patologi yang mengenai pembuluh darah otak.
Sebagian besar CVD terjadi karena thrombosis, embolisme, atau
hemoragi. Mekanisme masing-masing etiologi ini berbeda, tetapi
akibatnya sama, yaitu iskhemia atau hipoksia pada area otak setempat.
Iskemia dapat menyebabkan nekrosis otak (infark).

2.3.2. Jenis Stroke berdasarkan penyebab


Stroke berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 2 kategori yaitu (Giraldo,
2007):
21

2.3.2.1. Stroke non hemoragik (Stroke iskemik)

Stroke iskemik adalalah kematian suatu area otak yang disebabkan


oleh tidak adekuatnya suplai darah dan oksigen ke otak akibat
sumbatan arteri serebral. Stroke iskemik berdasarkan penyebab
sumbatan arteri dibagi menjadi 3 yaitu Stroke trombolitik, Stroke
embolik dan infark lacunar (Giraldo, 2007).

a. Stroke trombosis
Trombosis dapat terbentuk langsung pada arteri serebral atau
pada arteri organ lain seperti jantung. Trombosis berawal dari
suatu ateroma atau plag arterosklerosis pada dinding arteri yang
kemudian menstimulasi penumpukan material lemak. Plag
arterosklerosis yang membesar dapat menyumbat lumen arteri.

Proses ini diawali oleh injuri pada dinding arteri. Monosit dan
sel T teraktivasi menuju dinding arteri yang mengalami cedera.
Kumpulan monosit menstimulasi penumpukan material lemak
terutama kolesterol di dinding arteri. Pada saat yang bersamaan
sel otot halus berpindah dari tunika media ke dinding terdalam
arteri. Jaringan konektif dan elastik juga berakumulasi pada
dinding arteri yang mengalami cedera. Kumpulan lemak, sel
otot halus dan bentuk material deposit lainnya disebut ateroma
atau plag arterosklerosis. Ateroma mempersempit lumen arteri
dan memperlambat aliran darah sehingga terbentuk bekuan
darah (trombosis). Bekuan darah yang cukup banyak akan
menyumbat aliran darah melalui arteri yang sempit. Sehingga
area otak yang disuplai oleh arteri yan tersumbat ini mengalami
infark (Jules dan Lam, 2008).
22

Trombus dapat terlepas dari dindng arteri kemudian terbawa


aliran darah menuju sirkulasi otak (tromboemboli). Embolus ini
dapat menyumbat pada arteri yang lebih kecil. Sumbatan atau
oklusi arteri serebral menyebabkan berkurang atau hilangnya
suplai darah menuju area distal otak yang diperdarahi sehingga
menyebabkan infark serebral (Price dan Wilson, 2006).

b. Stroke embolik
Emboli adalah benda asing yang berpindah melalui aliran darah
dari satu arteri ke arteri lainnya. Emboli yang sering
menyebabkan Stroke iskemik adalah tromboemboli akibat dari
Atrial Fibrilasi atau bekuan darah yang lepas dari dinding arteri
menjadi embolus yang mengikuti aliran darah. Embolus ini
kemudian terhenti dan memblok salah satu arteri serebral
sehingga menyebabkan oklusi aliran darah ke area distal otak.
Oklusi arteri serebral kemudian menyebabkan infark sel otak
(Giraldo, 2007).

Beberapa kondisi yang dapat meningkatkan resiko pembentukan


thrombus adalah:

1) penyakit jantung seperti kerusakan katub jantung, aritmia dan


atrial fibrilasi
2) kelainan darah seperti kelebihan sel darah merah (polisitemia)
3) penggunaan kontrasepsi oral terutama estrogen dosis tinggi.
c. Infark lacunar
Penyebab Stroke iskemik lainnya adalah infark lacunar. Pada infark
lacunar salah satu arteri kecil terdalam di otak mengalami oklusi
akibat campuran lemak dan jaringan konektif. Infark lacunar
beresiko terjadi pada lansia dengan Diabetes dan Hipertensi tak
terkontrol. Pada infark lacunar hanya sebagian kecil otak yang
mengalami kerusakan (Giraldo, 2007).

2.3.2.2. Stroke Hemoragik


23

Stroke tipe ini bertanggung jawab terhadap 10-15% dari keseluruhan


kasus Stroke (Black dan Hawk, 2009). Terdapat 2 tipe utama Stroke
hemoragik berdasarkan perdarahan yang terjadi, yaitu hemoragik
intraserebral dan hemoragik subaraknoid.

Stroke hemoragik adalah perdarahan yang terjadi didalam jaringan


otak (intraserebral) atau di ruang sub araknoid (Giraldo, 2007). Stroke
hemoragik disebabkan oleh Hipertensi kronik dan kelainan arteri
serebral yang menyebabkan lemahnya arteri sehingga pada suatu
kondisi dapat menyebabkan ruptur arteri serebal.

2.3.2.3. Patofisiologi
Stroke adalah penyakit gangguan peredaran darah ke otak, baik yang
disebabkan oleh penyumbatan maupun perdarahan, keduanya sangat
membahayakan sel otak yang disuplai darah oleh arteri tersebut. Pada
stroke iskhemia, penyumbatan dapat mengakibatkan terputusnya aliran
darah ke otak sehingga menghentikan suplai oksigen, glukosa, dan nutrisi
lainnya kedalam sel otak. Bila suplai darah ke otak terhenti selama kurang
dari satu menit, maka gejala yang terjadi dapat pulih, seperti kehilangan
kesadaran. Jika kekurangan oksigen berlanjut lebih dari beberapa menit,
dapat menyebabkan nekrosis dan infark. Pada perdarahan intraseebral,
darah berasal dari rupturnya pembuluh darah yang kemudian masuk
kedalam sel otak dan mengisi ruangan otak. Bila darah yang terkumpul
banyak, dapat menyebabkan meningkatnya tekanan intra cranial.

(Black dan Hawk, 2009). Stroke iskemik maupun hemoragik


menyebabkan iskemia jaringan serebral yang tidak mendapatkan cukup
suplai darah. Terhentinya suplai darah otak dalam beberapa menit
menyebabkan infark jaringan serebral. Infark in semakin diperberat
dengan adanya peningkatan tekanan intra kranial yang terjadi akibat
oedema serebral. Odema terjadi akibat gangguan pompa Natrium (Na ++)
dan Kalium (K+) di tingkat seluler serebral.
24

Iskemia serebral menyebabkan sel otak kehilangan kemampuan untuk


menghasilkan energi. Hal ini menyebabkan sel otak berupaya
meningkatkan konsentrasi kalsium intra sel. Sel otak yang mengalami
iskemia kemudian melepaskan neurotransmitter Glutamat dalam jumlah
yang besar. Glutamat berikatan dengan reseptor N-Metil-D-Aspartat
(NMDA) sehingga memicu aktifnya enzim Nitrat Oksida Sintetase (NOS).
Akibat kerja enzim ini maka terbentuk molekul Nitrat Oksida (NO). Pada
kondisi normal NO berfungsi meningkatkan vasodilatasi. Namun pada
mekanisme ini terjadi efek negatif pada sel otak yaitu melemahkan
Deoxiribo Nucleat Acid (DNA) neuron. Hal ini menyebabkan aktifnya
enzim Adenosin Difosfat Ribosa Polimerase (PARP). Dalam kondisi
normal PARP berperan mengenali kerusakan pada untai DNA dan
perbaikan DNA neuron. Tetapi pada kondisi ini PARP mempercepat
eksitotoksisitas setelah iskemia serebral sehingga terjadi penurunan energy
sel yang berat. Dalam waktu beberapa menit terjadi kematian sel otak
(Price & Wilson, 2006).
Infark jaringan serebral menyebakan hilangnya fungsi neurologis. Gejala
defisit neurologis yang dialami oleh pasien Stroke berhubungan dengan
lokasi infark. Defisit neurologis menyebabkan disabilitas fungsi tubuh
yang dipersarafi oleh sel otak yang mengalami infark. Semakin luas area
infark, maka akan semakin berat defisit neurologis yang dialami oleh
pasien Stroke (Price dan Wilson, 2006).
25

Pembentukan Penyakit Atrial Caroti Hipertensi Aneurism


plaq arteri katup fibrilas d bruit e
serebral jantung i etiologi

Trombosis Hemoragik
arteri Emboli Lacunar clot intraserebral/
subaracnoid

Penurunan suplai O2 ke jaringan Berkurangnya suplai darah


ke area distal otak

Infark jaringan serebral

Kehilangan fungsi neurologis

Disabilitas fungsi tubuh yang


dipersarafi oleh saraf yang mengalami

Kelumpuhanseparuh Gangguan Gangguan Depresi


bagian tubuh (kontralateral Aphasia menelan memori
dengan area otak yang
mengalami infark)
fase
Ggn komunikasi Ketidakseim- Rehabi-
Gangguan mobilitas bangan nutrisi
verbal litasi

Gangguan kemampuan fatique


fungsional dan
pemenuhan kebutuhan
dasar (ADL)
Kualitas hidup
26

Gambar 1. Pathway patofisiologi Stroke


(Price dan Wilson, 2006; Black dan Hawk, 2009)
27

2.3.2.4. Faktor Resiko


Faktor resiko Stroke ada 2, yaitu faktor resiko yang dapat dimodifikasi dan
yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor resiko Stroke yang dapat
dimodifikasi (Black dan Hawk, 2009) :
a. Hipertensi
Individu yang mempunyai tekanan darah tinggi mempunyai peluang
besar mengalami stroke, bahkan hipertensi merupakan penyebab
terbesar terjadnya stroke.
b. Merokok
Dari berbagai hasil penelitian merokok ternyata dapat meningkatkan
fibrinogen dalam darah. Fibrininogen dapat mempermudah penebalan
pembuluh darah sehingga darah menjadi sempit dan kaku. Selain itu
efek dari nikotin juga dapat mengakibatkan penyempitan pembuluh
darah asteri.
c. Diabetes Melitus
Hiperglikemia beresiko membentuk endapan pada pembuluh darah
(trombus) yang dapat mengakibatkan stroke.
d. Penyakit arteri carotis dan perifer
e. Penyakit jantung (Gagal Jantung, Kelainan Jantung Congenital, Jantung
Koroner, Kardiomegali, Kardiomiopati, Atrial Fibrilation)
Adanya emboli dan trombus pada otak dapat disebabkan karena
cardiovasular disease. Seperti diketahui bahwa pusat aliran darah
terletak di jantung. Jika pusat mengalami kerusakan maka aliran darah
tubuh mengalami gangguan termasuk ke otak.
f. Transient Ischemic Attack (TIA)
Penyempitan oleh embolus pada arteri yang mengarah ke otak dapat
mengakibatkan stroke. Pada usia diatas 65 tahun, penyumbatan atau
penyembpitan dapat disebabkan oleh aterosklerosis yang merupakan
penyebab 2/3 dari stroke iskemik.
28

g. Hiperkolesterolemia
Apabila kolesterol dalam darah berlebih terutama LDL akan menyebabkan
terbentuknya plak pada pembuluh darah yang menyebebkan terganggunya
suplai darah ke otak.
h. Obesitas dan kurang aktivitas
Kegemukan merupakan salah satu resiko terjadinya stroke, hal ini
berkaitan dengan tingginya lemak dan kolesterol yaitu LDL lebih tinggi
dari HDL.
i. Konsumsi alkohol
Alkohol dapat menyebabkan ganggua pembuluh darah yang dapat memicu
hipertensi.

2.3.2.5. Sedangkan faktor resiko Stroke yang tidak dapat dimodifikasi adalah:
a. Usia
Semakin bertambah usia maka akan semakin meningkatkan resiko
stroke. Hal ini karena proses alamiah pada perubahan fisiologi tubuh.
b. Jenis kelamin
Laki-laki mempunyai resiko lebih besar untuk menderita stroke
dibandingkan wanita.
d. Riwayat keluarga
Orang memiliki riwayat stroke pada keluarga memiliki resiko lebih
besar untuk terkena stroke.
e. Pernah mengalami stroke
Riwayat pernah mengalami stroke beresiko untuk terkena stroke
berulang.

2.3.4. Manifestasi Klinis


Secara umum gejala Stroke meliputi :
2.3.4.1. Defisit neurologik yang terjadi secara mendadak seperti
kelemahan otot wajah, kelemahan otot lengan dan tungkai
terutama pada salah satu sisi tubuh.
29

Hemiparesis (kelemahan) dan Hemiplegia (paralisis) yang terjadi pada


salah satu sisi tubuh lazim terjadi setelah serangan Stroke. Kedua
gejala ini sering disebabkan oleh sumbatan pada arteri serebral
anterior dan media yang menimbulkan infark pada area motorik
korteks frontal. Hemiparesis dan hemiplega terjadi secara
kontralateral.Infark pada area motorik korteks sebelah kanan
menyebabkan hemplegia sebelah kiri. Hal ini terjadi karena serabut
saraf saling menyilang pada traktus piramidal (Black dan Hawk,
2009).
2.3.4.2 Kehilangan kemampuan bicara atau memahami pembicaraan (Afasia)
Afasia adalah defisit kemampuan berkomunikasi. Afasia dapat merusak
beberapa atau semua aspek kemampuan komunikasi seperti berbicara,
membaca, menulis dan memahami bahasa orang lain. Afasia terjadi
karena oklusi arteri serebral media yang menyebabkan infark pada
hemisfer kiri serebral. Afasia umumnya berhubungan dengan hemiplegia,
yaitu mencakup hemisfer dominan. Pasien dengan tangan kanan dominan
memiliki pusat bicara pada hemisfer kiri serebral atau sebaliknya.
Sehingga pada pasien dengan tangan kanan dominan yang mengalami
hemiplegia kanan biasanya mengalami afasia karena infark yang terjadi
pada hemisfer kiri serebral juga menyebabkan rusaknya fungsi bicara
(Black dan Hawk, 2009).
2.3.4.2. Artikulasi yang tidak sempurna (disartria)
Bicara tidak jelas atau pengucapan kata-kata yang sulit diartikan.
2.3.4.3. Gangguan penglihatan seperti penglihatan ganda
Gangguan neurlogi mengakibatkan kerusakan pada syaraf penglihatan.
2.3.4.4. Mulut pelo
Paralisis pada nervus facialis menyebabkan perubahan pada mulut.
2.3.4.5. Hilangnya keseimbangan atau koordinasi tubuh
Hemiparise atau hemiplegia menyebabkan gangguan kesimbangan tubuh
sehingga tidak terkoordinasi.
30

2.3.4.6. Gangguan menelan


Akibat dari gangguan neurologi lainnya menyebabkan disfagia atau
susah menelan.
2.3.4.7. Gangguan memori
Pada lansia pasca stroke juga akan menyebabkan penurunan daya ingat
karena kerusakan sel-sel syaraf. Batchelor (2008) menyatakan dalam
penelitiannya bahwa lesi unilateral pada stroke menunjukan retrograde
yang cukup signifikan terjadinya gangguan memori atau defisit memori.
2.3.4.8. Nyeri kepala mendadak
Nyeri kepala terjadi terutama pada tipe stroke hemoragik.

Tanda dan gejala Stroke berhubungan dengan letak arteri serebral yang
mengalami sumbatan atau perdarahan. Infark yang terjadi pada hemisfer
kiri dapat menyebabkan keluhan seperti : hemiparesis atau hemiplegia sisi
kanan, perilaku lambat, ganggan lapangan pandang sebelah kanan dan
disfagia. Sedangkan infark yang terjadi pada hemisfer kanan dapat
menimbulkan gejala seperti : hemiparesis atau hemiplegia sisi sebelah kiri
tubuh, defisit spasial dan perceptual, penilaian buruk, kelainan bidang
visual (Black dan Hawk, 2009).

2.3.5. . Komplikasi Stroke


Terdapat 4 komplikasi utama akibat Stroke yaitu :
2.3.5.1. Vasospasme
Vasopasme terjadi akibat hematom terutama pada perdarahan
intraserebrum.
2.3.5.2. Hidrosefalus
Hematom akibat stroke yang tidak di reasorbsi dapat
mengakibatkan hidrosepalus pada penderita stroke.
2.3.5.3. Disritmia
Gangguan ini dapat diakibatkan karena perubahan sirkulasi pada
penderita stroke terutama pada stroke hemoragik.
31

2.3.5.4. Terjadinya perdarahan di tempat lain akibat terapi antikoagulasi.


(Black dan Hawk, 2009)

Komplikasi paska stroke dapat berdampak secara fisik diatas juga dampak
terhadap psikologis, sosial, dan spiritual. Dampak ini apabila tidak disertai
dengan pola koping yang baik akan menyebabkan burden atau beban
keluarga meningkat dan distress emosional. Masalah-masalah spesifik
yang terjadi pada caregiver keluarga dalam merawat klien pasca stroke
adalah hilangnya kemandirian, merasa terkurung, kelelahan, kurangnya
waktu untuk melakukan tugas-tugas caregiver yang lain dan mengelola
terhadap kesehatan fisik (Zohar, 2009).

2.3.6. Dampak stroke


Dampak stroke dapat terjadi pada individu dan keluarga. Menurut (Mckay
& Mansah, 2004) dampak tersebut antara lain:
2.3.6.1.Individu
Meliputi fisik, psikologis dan sosial. Dampak fisik pada individu
yang menderita stroke adalah kecacatan (Lumantobing, 2007).
Kecacatan akan menimbulkan terjadinya keterbatasan fungsional
pada individu yang berakibat pada ketergantungan kebutuhan
sehari-hari (ADL). Kecacatan juga dapat berdampak terhadap
psikologi klien seperti penurunan citra tubuh, harga diri rendah,
frustasi dan depresi serta sosial. Dampak sosial yang terjadi pada
pasca stroke dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu;
ketidakmampuan dalam melaksanakan peran dan menjadi beban
bagi keluarganya, merasa tidak berguna lagi dalam keluarga. Chow
(2007) faktor fisik dan beban emosional merupakan dua variabel
pada cargiver pasca stroke yang mempunyai resiko lebih besar
terhadap penurunan fisik dan kesehatan emosional dibanding pada
caregiver yang merawat di rumah sakit.
32

2.3.6.2.Keluarga
Friedman (2010) menyatakan bahwa penyakit yang terjadi
mempengaruhi status kesehatan anggota keluarganya. Pada
keluarga juga akan menyebabkan terjadinya kecemasan, masalah
biaya yang menjadi beban keluarga serta gangguan pekerjaan. Pola
koping dan strategi koping keluarga disini sangat menentukan
terhadap kualitas hidup klien pasca stroke. Chow (2006) faktor
fisik dan emosional merupakan dua variabel pada cargiver
keluarga pasca stroke yang mempunyai resiko lebih besar terhadap
penurunan fisik dan kesehatan emosional dibanding pada caregiver
yang merawat di rumah sakit. Prediktor kepuasan hidup lansia
adalah dukungan keluarga, tunjangan bulanan dan persepsi
terhadap kesehatan. Faktor yang utama yang mempengaruhi adalah
dukungan keluarga (Puymbroeck, 2005)

Tindakan pencegahan ini dapat dilakukan oleh keluarga sebagai cargiver agar
dapat mencegah atau meminimalisir dampak komplikasi dari stroke dan
meningkatkan status fungsional lansia pasca stroke sehingga akan mengurangi
beban keluarga secara umum. Konsekuensi fungsional negatif tentu tidak
diharapkan oleh keluarga akibat dari stroke ini, untuk itu penerapan strategi
koping keluarga merupakan faktor yang dapat menentukan keberhasilan dalam
peningkatan kulaitas hidup lansia pasca stroke.

2.3.7. Penatalaksanaan Keperawatan Komunitas Pada Lansia Pasca stroke


Stroke dapat dicegah dan diminimalkan dengan berbagai upaya pengobatan
dan perawatan serta terapi-terapi yang cepat dan tepat, sehingga dapat
menyelamatkan klien dengan stroke dari kematian dan kecacatan yang
serius (Sari Indarwati, 2008). Nathan (2006) physical therapy yang
diberikan menunjukan bahwa latihan kekuatan otot dan faktor perilaku
dapat memberikan self efficacy yang efektif, mengurangi disabilitas dan
meningkatkan kualitas hidup pasca stroke.
33

2.3.7.1. Pencegahan stroke berulang


Pencegahan stroke berulang adalah pencegahan bagi yang pernah
mengalami stroke. Berikut beberapa langkah untuk pencegahan
stroke berulang :
a. Mengontrol faktor resiko
Faktor ini dapat dikontrol dengan selalu melakukan pemeriksaan
kesehatan setiap bulannya atau 3 bulan sekali. Berhenti merokok/tidak
merokok, hindari konsumsi alkohol dan menghindari kegemukan
b. Mengubah gaya hidup
Dapat dilakukan dengan pola makan baik dan sehat (seimbang antara
kebutuhan dan pengeluaran), melakukan aktifitas fisik atau olah raga,
sikap hidup yang rileks, dan cukup istirahat. Selain menyehatkan,
aktifitas fisik dapat menurunkan tekanan darah, mengendalikan berat
badan, meningkatkan daya tahan tubuh, dan menguatkan otot dan tulang.
c. Melibatkan peran keluarga
Pihak keluarga harus memahami perubahan yang terjadi terhadap
anggota keluarga yang terkena stroke, termasuk perubahan kemampuan
produksi, emosi, dan harga diri. Keluarga harus mendampingi anggota
keluarganya yang terkena stroke disaat mengalami frustasi dengan
keadaan lumpuhnya.
d. Mengurangi stres
Stres merupakan pemicu penyakit stroke, oleh karena itu, sedapat
mungkin dihindari. Berikut beberapa tindakan yang dapat mengurangi
stres:
1. Pernafasan dalam.
Berbaring telentang, kemudian letakkan sesuatu diatas perut. Tarik
nafas dalam-dalam sambil memperhatikan benda tersebut bergerak
naik. Usahakan sejauh/setinggi mungkin dapat dicapai, kemudian
hembuskan pelan-pelan sambil membiarkan benda tersebut turun
perlahan-lahan.
34

2. Mengkonsumsi pisang.
Pisang mengandung potassium yang berfungsi meningkatkan
keteraturan denyut jantung, menurunkan tekanan darah, dan
mengaktifkan kontraksi jantung.
3. Melakukan kegiatan menghibur, seperti berkebun, memelihara ikan
hias, dan memancing.
4. Berjalan cepat, selama 15-30 menit untuk mengurangi kecemasan
5. Biasakan mempunyai kawan dekat yang dapat diajak tukar pendapat
dan melampiaskan emosi, baik gembira atau sedih sampai menangis.
6. Usahakan untuk menguap dan bersin sebebas bebasnya.
7. Menyanyi untuk memperbaiki pernafasan.
8. Mengurangi minum kopi dan makan cokelat.
9. Usahakan untuk melakukan yoga, menyepi, dan bersemedi.

2.3.8. Lingkungan yang baik bagi klien dengan stroke yang menjalani
rehabilitasi di rumah
2.3.8.1 Kamar tidur dekat dengan kamar mandi atau WC agar mudah
untuk dijangkau.
2.3.8.2. Adanya pegangan di kamar mandi yang digunakan.
2.3.8.3. Menyediakan alat bantu komunikasi jika diperlukan, misalnya
adalah dengan menyediakan kertas serta pena di dekat pasien.
2.3.8.4. Menyediakan alat bantu berjalan atau berpindah tempat bagi
pasien stroke seperti halnya kursi roda ataupun tongkat
(walker).
2.3.8.5 Menyediakan dan mendekatkan barang-barang yang sering
digunakan seperti buku-buku atau telepon.
2.3.8.6. Menyediakan alas kaki yang nyaman yang memudahkan untuk
leluasa dalam berjalan.

2.3.9. Latihan gerak sendi


Latihan pergerakan sendi adalah su atu teknik latihan gerakan dasar yang
digunakan pada orang-orang yang memiliki keterbatasan dalam gerakkan
35

sendi. Tujuan latihan adalah untuk mempertahankan kelenturan otot


supaya tidak terjadi kekakuan sehingga memperberat kelumpuhan. Hal-hal
yang harus diwaspadai dalam pemberian latihan pergerakan sendi adalah
tidak boleh diberikan apabila gerakan dapat mengganggu proses
penyembuhan dan tidak boleh dilakukan bila respon orang yang
mengalami stroke dalam kondisi yang membahayakan. Kathleen (2006)
menyatakan 46 % (n=53) dari klien yang mengalami kronik hemiparesis
mengalami fatique selain itu sosial support dan presepsi terhadap
disabilitas berkontribusi terhadap pengalaman dari fatique. Pada saat
latihan gerak sendi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:

2.3.9.1. Jenis latihan (pasif atau aktif)


Latihan aktif merupakan latihan yang dilakukan klien sendiri
dengan bantuan minimal. Latihan pasif merupakan latihan yang
dilakukan dengan bantuan orang lain.
2.3.9.2. Waktu latihan
Waktu dapat dilakukan latihan dengan baik diantaranya adalah
pada saat mandi dengan menggunakan air hangat agar tidak kaku,
setelah bangun pagi dan sebelum tidur atau disesuaikan dengan
kondisi saat itu.
2.3.9.3. Kontraindikasi
Ada perlukaan dan tidak boleh dilakukan pada daerah sendi yang
bengkak.

Latihan gerak sendi merupakan latihan untuk membantu klien dalam


exercise untuk mengatasi masalah gangguan gerak, masalah otot dan
gangguan postur tubuh (yastroki, 2006). Latihan yang terstruktur memiliki
potensi untuk meningkatkan kebugaran kardiovaskular dan mobilitas
fungsional subakut dan stroke hemiparetic kronis pasien. Potensi model
latihan akan meningkatkan rehabilitasi longitudinal dan hasil kesehatan
kardiovaskular tinggi (Ivey, 2006).
36

2.4. Kualitas Hidup (Quality of Life)


Kualitas hidup merupakan presepsi yang subyektif, kualitas hidup yang
berhubungan dengan kesehatan (Health-related quality of life/HRQOL)
merupakan suatu presepsi yang berasal dari penderita, bagaimana
penderita memandang kemampuan, fungsi dan perasaannya akibat
penyakit kronis yang dideritanya. Pandangan perawat atau tenaga
kesehatan berbeda, pandangan dari perawat lebih difokuskan pada gejala
kesehatan yang ada sedangkan pandangan klien lebih mengetahui
perasaannya, bagaimana kelainan mempengaruhi vitalitas hidup, pengaruh
terhadap perannya, akitivitas sehari-hari di rumah. Oleh karena itu hanya
penderita sendiri yang bisa menjelaskan kualitas hidupnya, mengevaluasi
kualitas hidupnya sendiri dan menhubungkan harapan yang ada. Adanya
keseimbangan antara harapan dan kenyataan merupakan pokok dari
kualitas hidupnya sendiri. Fransisco (2009) HRQOL telah dikembangkan
selama beberapa tahun terakhir, dan memiliki skala yang spesifik terhadap
kualitas hidup pasca stroke seperti aphasia, beban keluarga, depresi serta
kecacatan. Strategi dalam mengatasi masalah serta dukungan sosial
mempengaruhi HRQOL.

Teori Health-Related Quality of Life dari Wilson dan Cleary (1995;


Peterson &Bredow, 2004) dapat digunakan sebagai kerangka teori untuk
menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pada lansia
pasca stroke. Lansia stroke umumnya mengalami disabilitas fisik. Selain
itu lansia juga mengalami berbagai masalah distres emosional akibat
proses rehabilitasi terapi yang berlangsung relatif lama. Hal ini
menyebabkan penurunan produktifitas dan kualitas hidup klien. Faktor-
faktor yang mempengaruhi kualitas hidup yang dijelaskan dalam teori ini
tentunya dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup pada pasien stroke. Selain itu teori HRQOL
juga dapat diterapkan pada berbagai area keperawatan (Peterson
&Bredow, 2004).
37

Kepuasan hidup dan kualitas hidup secara signifikan terganggu pada


pasien stroke, semua domain kehidupan yang terganggu. Skor terburuk
diamati untuk kemandirian fisik dan instrumen LiSat 11 dan instrumen
fisik dan komunikasi di SIP-65. Kualitas hidup sangat berkorelasi dengan
kemandirian fungsional, hemiplegia dan depresi (Laurent,et.all, 2011).
Hidup lansia yang berkualitas merupakan kondisi fungsional lansia pada
kondisi optimal, sehingga mereka bisa menikmati masa tuanya dengan
penuh makna, membahagiakan dan berguna (Sutikno, 2011).

2.4.1. Definisi terkait model HRQOL


2.4.1.1. Definisi Health-Related Quality of Life (HRQOL) Teori
HRQOL adalah teori tentang kualitas hidup terkait kesehatan
yang dikembangkan oleh Wilson dan Cleary (1995; Peterson
&Bredow, 2004). Teori ini secara spesifik menjelaskan domain-
domain yang mempengaruhi kualitas hidup terkait kesehatan.
Teori ini tepat digunakan untuk menjelaskan dampak berbagai
masalah kesehatan yang dialami oleh individu terhadap kualitas
hidupnya.
2.4.1.2. Wilson dan Cleary (1995; Peterson &Bredow, 2004)
mendefinisikan bahwa HRQOL sebagai kualitas hidup yang
terkait maslalah kesehatan yang menggambarkan perasaan,
sikap dan kemampuan untuk mendapatkan kepuasan dalam
kaitannya dengan kepentingan individu yang terganggu akibat
proses penyakit atau masalah kesehatan.Teori ini juga
menjelaskan hubungan antar variabel-variabel atau faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup seperti faktor fisiologis, status
gejala, status fungsional, persepsi kesehatan general,
karakteristik individu dan karakteristik lingkungan. Kualitas
hidup secara keseluruhan dalam teori HRQOLterdiri dari
dimensi fisik, psikologis, sosial, peran dan spiritual (Peterson
&Bredow, 2004).
38

2.4.1.3. Domain kehidupan merupakan komponen dasar dari kualitas


hidup terkait kesehatan (HRQOL) yang mengacu pada aspek
yang spesifik dari kehidupan yaitu fisik, psikologis, sosial,
fungsi peran dan spiritual. Suenkeler (2002) menyatakan
meskipun fungsi neurologis stabil dan terjadi disabilitas fisik
domain spesifik ukuran kualitas hidup semakin menurun selama
periode 12 bulan pasca stroke dalam study kohort.
2.4.2. Model Health-Related Quality of Life (HRQOL)
Skema teori HRQOL Skema ini menjelaskan ada lima faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup terkait kesehatan yang ditempatkan secara
kontinum yang menyangkut aspek biologi, psikologi dan sosial. Faktor-
faktor yang disusun secara kontinum tersebut terdiri dari faktor
biologi/fisiologi, status gejala, status fungsional, persepsi kesehatan
general dan kualitas hidup secara keseluruhan. Karakteristik individu dan
karakterisik lingkungan ikut mempengaruhi status gejala, status
fungsional, persepsi kesehatan general dan kualitas hidup secara
keseluruhan. Wilson dan Cleary (1995; Peterson &Bredow, 2004),
menjelaskan bahwa intervensi keperawatan ditujukan secara spesifik
kepada individu yang mengalami masalah dalam suatu domain kehidupan
atau aspek yang berpotensi mengganggu kualitas hidup terkait kesehatan.
Dalam rangka merencanakan intervensi keperawatan, maka perawat harus
memperhatikan berbagai faktor yang mempengaruhi kualitas hidup
individu. Meskipun intervensi keperawatan tidak termasuk dalam skema
teori HRQOL, namun merupakan salah satu intervensi untuk
meningkatkan HRQOL (Peterson &Bredow, 2004). Jennifer et.al (2009)
dalam penelitiannya meyatakan bahwa Prediktor terkuat dari penderita
stroke adalah persepsi awal mereka terhadap HRQOL dan pengaruh
depresi cargiver pada saat rehabilitasi pasca stroke yang mempengaruhi
kualitas hidup pada penderita stroke.
39

Berikut skema yang menggambarkan hubungan penyebab antara faktor


penentu kualitas hidup dalam teori HRQOL:

Karakteristik individu

Faktor Persepsi
Status Status Kualitas hidup
biologik / kesehatan
Gejala fungsional keseluruhan
fisiologik general

Karakteristik lingkungan

Gambar 2.3:Teori Health Related Quality of Life


(Wilson &Cleary, 1995; Peterson &Bredow, 2004)

Di bawah ini penjelasan dari setiap komponen model HRQOL :

2.4.2.1. Faktor biologi/fisiologi


Faktor biologi/fisiologi merujuk pada perubahan fungsi sel,
organ, jaringan dan sistem organ. Faktor ini dikaji melalui
pemeriksaan diagnostik dapat berupa pemeriksaan laboratorium
misalnya pemeriksaan sel darah atau hormon, pemeriksaan fungsi
tubuh dan pemeriksaan fisik secara general. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk menentukan adanya perubahan biologi dan
fisiologi yang berpotensi mempengaruhi HRQOL. Pada klien
pasca Stroke faktor biologi/fisiologi merujuk pada penurunan
fungsi sistem persarafan yang menyebabkan berbagai disabilitas
fisik.
2.4.2.2. Status gejala
Gejala adalah keluhan subjektif yang dirasakan oleh pasien terkait
dengan kondisi kesehatannya. Gejala menyangkut perubahan
40

status fisik dan psikologi sehingga individu dikatakan abnormal.


Berdasarkan skema model, perkembangan gejala sebagai akibat
hubungan atau pengaruh dari variabel biologi/fisiologi. Pada
suatu waktu gangguan fungsi tubuh yang diakibatkan oleh proses
patologi terjadi tanpa gejala, diwaktu yang lain gejala akut akan
muncul tanpa suatu perubahan status fisiologis yang tampak
sebagai suatu gejala.

Berdasarkan kedua kondisi ini, banyak yang tidak diketahi tentang


hubungan antara faktor biologi/fisiologi dengan status gejala.
Dalam hal in terdapat faktor lain selain faktor biologi/fisiologi
yang menentukan gejala yang yang dialami oleh individu.
Misalnya faktor budaya dan demografi akan memengaruhi
bagaimana respon individu terhadap kesehatan. Pada klien pasca
stroke, status gejala merujuk pada berbagai gejala yang dialami
oleh klien seperti hemiparese atau hemiplegia, aphasia, disartria,
gangguan menelan, gangguan penglihatan dan gangguan memori.
Gejala-gejala terjadi akibat penurunan fungsi sistem persarafan.
2.4.2.3. Status fungsional
Status fungsional dapat diartikan sebagai kemampuan untuk
melakukan tugas spesifik. Status gejala adalah suatu determinan
penting dari status fungsional (Peterson dan Bredow, 2004).
Kemampuan individu dalam melaksanakan tugas spesifik
dipengaruhi oleh gejala yang dialaminya, semakin berat suatu
gejala maka akan semakin berkurang kemampuan fungsional
individu. Pada klien pasca Stroke, derajat disabilitas fisik
berhubungan dengan kemampuan fungsional pasien. Semakin
berat kondisi disabilitas fisik maka akan semakin berkurang
kemampuan fungsional pasien.

Banyak individu yang tidak menunjukkan gejala namun


mengalami penurunan status fungsional. Dalam hal ini terdapat
41

faktor lain yang mempengaruhi status fungsional, yaitu kualitas


individu (seperti emosi), faktor sosial (seperti dukungan keluarga)
dan karakteristik lingkungan (seperti gambaran fisik rumah dan
lingkungan rumah).
Peterson dan Bredow ( 2004) menjelaskan terdapat 4 dimensi status
fungsional, yaitu:
a. Fisik
Dimensi fisik mencakup faktor kekuatan/kemampuan fisik dalam
pemenuhan kebutuhan aktivitas sehari-hari.
b. Sosial
Dimensi sosial mencakup fungsi individu dalam menjalin
hubungan dengan teman, keluarga, tetangga atau masyarakat di
sekitarnya.
c. Peran
Dimensi peran adalah fungsi peran individu dalam keluarga,
misalnya sebagai orang tua atau sebagai pekerja/pencari nafkah
bagi keluarga.
d. Psikologi
Selain faktor psikologi dimensi spiritual juga sebagai faktor yang
dapat menentukan kualitas hidup, sehingga menjadi 5 dimensi
status fungsional yang menentukan kualitas hidup individu secara
keseluruhan.
2.4.2.4. Persepsi kesehatan General
Persepsi kesehatan general menggambarkan suatu integrasi dan
ekspresi subjektif individu terhadap faktor gejala yang dialaminya
dan status fungsionalnya. Persepsi kesehatan general ini
merupakan prediktor terbaik yang digunakan dalam pelayanan
kesehatan dan prediktor kuat untuk mortalitas, meskipun ketika
faktor klinik dikontrol (Peterson dan Bredow, 2004). Persepsi
kesehatan general dipengaruhi oleh kemampuan individu
melakukan tugas spesifik (status fungsional), karakterisik
individu dan karakteristik lingkungan. Berkurangnya status
42

fungsional cenderung menyebabkan persepsi individu yang


negatif terhadap kesehatan generalnya, sehingga mempengaruhi
kualitas hidup secara keseluruhan. Pada klien pasca Stroke,
disabilitas fisik menyebabkan penurunan kemampuan pasien
melakukan tugas spesifik sehingga akan menurunkan persepsi
kesehatan general. Dalam rangka meningkatkan persepsi
kesehatan general ini diperlukan upaya untuk menurunkan
disabilitas fisik.

2.4.2.5. Kualitas Hidup Secara Keseluruhan


Kualitas hidup secara keseluruhan merujuk pada ekspresi
subjektif individu terhadap gejala yang dialami dan
kemampuannya melakukan aktivitas sehari-hari.

2.4.2.6. Karakteristik Individu dan Lingkungan


Karakteristik individu dan lingkungan berpengaruh terhadap
semua komponen dari model HRQOL, tetapi pengaruh paling
besar adalah terhadap persepsi kesehatan general dan kualitas
hidup secara keseluruhan. Kedua variabel ini menggambarkan
hubungan yang multiple diantara keduanya.

Karakteristik individu pasien paska Stroke seperti usia, pengalaman sakit


dimasa lalu, pekerjaan, status sosial ekonomi mempengaruhi mekanisme
coping dan persepsi kesehatan general termasuk kondisi disabilitas yang
dialaminya. Pasien Stroke dalam usia produktif akan merasakan disabilitas
fisik sebagai sesuatu yang berpengaruh besar terhadap kesehatan
generalnya. Karakteristik lingkungan seperti lingkungan rumah pasien,
dukungan keluarga dan dukungan kelompok/komunitas juga
mempengaruhi koping pasien terhadap masalah sehingga mempengaruhi
persepsi kesehaan dan kualitas hidup secara umum (Peterson dan Bredow,
2004).
43

Teori Health-Related Quality of Life (HRQOL) dapat digunakan sebagai


kerangka teori untuk menjelaskan mekanisme peningkatan kualitas hidup
pada pasien pasca Stroke. Klien pasca Stroke dengan berbagai disabilitas
fisik dan distres emosional umumnya mengalami penurunan produktifitas
dan kualitas hidup. Determinan kualitas hidup yang dijelaskan dalam teori
ini dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup pasien paska Stroke.

2.4.3. Instrumen untuk menilai kualitas hidup


Instrumen penilaian kualitas hidup ini telah diapakai secara internasional
dan secara lintas budaya serta telah dilakukan uji validitas dan
reliabilitasnya. Instrumen yang sering digunakan untuk mengukur kualitas
hidup pada klien dengan penyakit kronis dalam hal ini stroke adalah
kuesioner WHOQOL-BREF, WHOQOL-BREF adalah kuesioner versi
singkat dari WHOQOL 100 berbentuk skala Likert 5 poin yang mencakup
berbagai dimensi kesehatan yang dibuat secara ringkas.. Alat ukur terdiri
dari 26 item pertanyaan yang dibagi menjadi 5 komponen yaitu:
komponen fisik, Psikologis, sosial, lingkungan, dan kesehatan secara
umum. WHOQOL merupakan alat ukur cukup komprehensif untuk
menilai kesehatan responden secara umum sehingga banyak digunakan
oleh peneliti terdahulu untuk menilai kualitas hidup dan out come
kesehatan. WHOQOL terdiri dari lima skala pengukuran yaitu: kesehatan
fisik 7 item, kesehatan psikologi 6 item, kesehatan sosial 3 item,
lingkungan 8 item, dan kesehatan general 2 pertanyaan. Skore akhir
didapat dengan menjumlahkan skore setiap item, kemudian dikonversi
dalam rentang 0-100. Skore 0 menunjukkan status kesehatan yang sangat
buruk, sedangkan skore 100 menunjukkan status kesehatan yang sangat
baik.

Aprile (2006) dalam penelitiannya menyatakan karakter disabilitas


mempengaruhi QoL pada lansia pasca stroke termasuk depresi dan tingkat
pendidikan. Instrumen WHOQOL-BREF merupakan suatu instrumen
yang sesuai untuk mengukur kualitas hidup dari segi kesehatan terhadap
44

lansia dengan jumlah responden yang kecil, mendekati distribusi normal,


dan mudah untuk penggunaannya (Hwang, 2003; Sutikno, 2011).

2.5. Konsep Koping dan Strategi Koping Keluarga


2.5.1. Pengertian
Koping adalah upaya perilaku kognitif seseorang dalam menghadapi
ancaman fisik dan psikosoial (Stuart dan Laraia, 2005). Chaplin (2002)
koping behavior merupakan suatu perbuatan dimana individu melakukan
interaksi dengan lingkungan sekitar dengan menyelesaikan sesuatu masalah.

Koping terdiri atas upaya pemecahan masalah yang dihadapi oleh individu
dengan tuntutan yang relevan dengan kesejahteraannya, tetapi membebani
seseorang (Lazarus, Averill, 1974; Friedman 2010). Koping keluarga
didefinisikan sebagai proses aktif saat keluarga memanfaatkan sumber
keluarga yang ada dan mengembangkan perilaku serta sumber baru yang
akan memperkuat unit keluarga dan mengurangi dampak peristiwa hidup
penuh stress (McCubbin, 1979; Fridmend 2010). Koping merupakan respon
secara kognitif perilaku atau presepsi terhadap ketegangan eksternal sebagai
upaya untuk mencegah, menghindari atau mengendalikan distress
emosional.

The US Census Bureau (2011) dalam Allender (2014) berpendapat bahwa


keluarga adalah kelompok orang yang hidup bersama yang disatukan oleh
perkawinan, darah dan ikatan adopsi. Semua orang dalam keluarga yang
berhubungan dengan kepala rumah tangga dianggap sebagai anggota
keluarganya. Kaakinen et al. (2010) dalam Aliender (2014) mendefinisikan
keluarga sebagai dua orang atau lebih individu yang bergantung pada satu
sama lain dalam hubungan emosional, fisik, dan dukungan ekonomis. Dari
beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan
sebuah sistem yang saling berinteraksi, mempunyai komitmen untuk setiap
anggotanya dan memberikan perawatan kesehatan dalam mencapai
kesejahteraan.
45

2.5.2. Karakteristik Keluarga


Faktor-faktor yang mendukung terhadap sistem kesehatan keluarga
yaitu karakteristik keluarga seperti usia, etnis, jenis kelamin,
pendidikan, pendapatan, dan keyakinan (Stuart dan Laraia, 2005).

2.5.2.1. Usia
Usia berhubungan dengan pengambilan keputusan, seperti
dalam menggunakan pelayanan kesehatan dimana semakin
betambah usia maka semakin tinggi tingkat kepercayaan untuk
mencari pertolongan ke petugas kesehatan dan semakin
menurun seiring dengan bertambahnya usia.
2.5.2.2. Etnis
Mengacu pada Ras, kebangsaan, suku dan bahasa. Faktor
kebudayaan sering menjadi faktor penghambat untuk mencari
pertolongan atau bantuan kesehatan. Faktor etnis memainkan
peranan penting dalam pemeliharaan kesehatan keluarga.
2.5.2.3. Jenis kelamin
Jenis kelamin laki-laki yang lebih dominan sebagai kepala
keluarga atau tulang punggung keluarga agar berdampak
terhadap beban keluarga.
2.5.2.4. Pendidikan
Pendidikan mempengaruhi terhadap sumber koping keluarga,
seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang baik akan
memiliki pemahaman yang baik terhadap masalah kesehatan
sehingga akan lebih mudah menerima pengaruh dari luar
termasuk informasi kesehatan.
2.5.2.5. Pendapatan
Faktor ekonomi merupakan risiko yang menentukan dalam
mencari pertolongan dalam menggunakan dalam fasilitas
46

keseahatan. Keluarga dengan sosioekonomi rendah akan


mengalami kesulitan dalam menggunakan fasilitas kesehatan.

2.5.2.6. Keyakinan
Spiritualitas dapat memberikan efek positif atau negatif perubahan
status kesehatan. Sistem keyakinan yang baik akan meningkatkan
koping yang efektif dalam meningkatkan kesejateraan dan
kaualitas hidup.

Friedman (2010) menyatakan bahwa yang termasuk karakteristik


keluarga terbagi atas:
a. Orang-orang yang memiliki hubungan perkawinan, darah dan
adopsi
b. Anggota keluarga hidup dalam satu rumah tangga dan walupun
terpisah tetap menganggap rumah tangga tersebut sebagai
bagian mereka.
c. Keluarga saling berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain
dalam peran sosialnya
d. Memiliki atau menggunakan kultur yang sama yaitu kultur
yang diambil dari masyarakat yang mempunyai ciri unik
tersendiri.
e. Tipe keluarga yang terdiri dari:
Keluarga inti: terkait dengan pernikahan peran sebagai orang
tua, atau kelaihiran; terdiri atas suami, istri dan anak-anak
mereka, biologis, adopsi, atau keduanya.
Keluarga orientasi; unit keluarga tempat seseorang dilahirkan.
Extended family: keluarga inti dan individu terkait hubungan
darah, yang biasanya merupakan anggota keluarga asal dari
salah satu pasangan keluarga inti.

Cara “pasti” untuk menentukan siapa saja keluarga adalah dengan


menanyakan secara langsung kepada individu tersebut. Informasi ini
47

kemudian digunakan dalam pelayanan kesehatan (Hanson, 2001a,


Friedman, 2010)

Setelah pasca rawat rumah sakit 85-90% dari penderita stroke yang
dirawat oleh anggota keluarga di rumah, termasuk sekitar 10-15%
dirawat oleh perawat yang bekerja di rumah (Wu, et al, 2009).
Meskipun pola jangka panjang perawatan berubah karena perubahan
struktur sosial dan keluarga, keluarga tetap utama sumber perawatan
jangka panjang (Wu & Lin, 1999; Wu. Et al, 2009). Anggota keluarga
terus mengambil utama tanggung jawab perawatan untuk penderita
stroke.

2.5.3. Strategi Koping


2.5.3.1. Pengertian

Strategi koping merupakan upaya-upaya yang dilakukan oleh individu


atau keluarga dalam menghadapai dan menyelesaikan stressor baik
internal maupun eksternal. Dalam menggunakan berbagai strategi
koping untuk mengatasi stress lebih penting dibandingkan dengan
hanya menggunakan satu atau dua strategi koping tertentu sepanjang
waktu (Burr et all,1991, McCubbin, Olson & Larsen, 1991, Friedman,
2010). Dengan cara lain memandang koping keluarga adalah dengan
melihat strategi koping berasal dari keluarga atau bergantung pada
dukungan dan sumber dari luar keluarga. Dengan demikian coping
strategy merupakan koping yang dilakukan secara sadar dan terarah
dalam mengatasi masalah atau stressor, apabila koping dilakukan
secara efektif stressor tidak lagi menimbulkan tekanan secara psikis,
atau fisik melainkan akan menjadi stimulan yang memacu prestasi
serta kondisi fisik dan mental yang lebih baik.

Konsep koping dan strategi koping keluarga dari konsep McCubbin


(1987, Friedman 2010) yang terdiri dari 5 strategi yaitu sosial support,
reframing, spiritual support, usaha untuk mencari dan menerima
48

pertolongan dan penerimaan secara pasif (Passive appraisal). Dengan


demikian bahwa strategi koping untuk mengidentifikasi susunan
perilaku koping keluarga yang terdiri dari yaitu sosial support,
reframing, spiritual support, usaha untuk mencari dan menerima
pertolongan dan penerimaan secara pasif .

2.5.3.2. Jenis-jenis strategi koping


Strategi koping keluarga dalam (McCubbin, Olson & Larsen, 1991;
Walsh, 2998; Friedman 2010) yang teridentifikasi dalam scala F-Copes
dibagi menjadi dua yaitu strategi koping keluarga internal dan strategi
koping keluarga eksternal.
a. Strategi koping keluarga internal
1) Strategi hubungan keluarga
Bersatu adalah satu proses yang sangat penting dalam badai
kehidupan keluarga. Keluarga berhasil melalui masalah dengan
menciptakan struktur dan organisasi yang lebih besar dalam rumah
dan keluarga. Penetapan jadual rutinitas keluarga seperti waktu
makan, tidur, tugas rumah tangga, dan penghargaan rutinitas ini
dapat menjadi sumber kekuatan dan daya prediksi disaat keluarga
di bawah tekanan.
2) Strategi kognitif
Strategi koping keluarga fungsional lainnya adalah kecendrungan
bagi keluarga untuk menormalisasi sesuatu ketika mengatasi
stressor jangka panjang yang cenderung mengganggu kehidupan
keluarga dan aktivitas keluarga. “normalisasi” merupakan suatu
konsep tentang bagaimana keluarga mengelola disabilitas anggota
keluarga. Normalisasi adalah proses terus menerus yang
melibatkan pengakuan penyakit kronik tetapi menegaskan
kehidupan keluarga sebagai kehidupan yang normal efek sosial
yang minimal dan dan terlibat dalam perilaku yang menunjukan
bahwa keluarga tersebut normal.
3) Strategi komunikasi
49

Strategi yang baik adalah harus terbuka dan jujur, hal ini sangan
penting bagi fungsi keluarga dan lebih penting selama periode
stress dan krisis keluarga. Anggota keluarga harus menunjukan
kejujuran, keterbukaan, pesan yang jelas perasaan serta afeksi
selama keluarga menghadapi masalah.
4) Reframing masalah keluarga (Penataan)
Mengkaji kemampuan keluarga untuk mendefinisikan kembali
tentang stress atau penyebab stress agar lebih mudah dikelola.
Pendeketan terhadap risk managment mempunyai implikasi
terhadap well being (kesejahteraan) individu dan direkomendasikan
untuk dilakukan pengkajian secara komprehensif sehingga tahu apa
yang mereka butuhkan (Clarke. et, all, 2010).
5) Penerimaan secara pasif.
Keluarga dapat menerima masalah dan tidak terlalu reaktif dengan
masalah yang dihadapai karena keluarga yakin masalah akan
selesai.

b. Strategi koping keluarga eksternal


1) Dukungan sosial
Grant (2007) Dukungan sosial dan fokus emosi merupakan
komponen yang berkontribusi terhadap penyesuain diri cargiver
dalam pemecahan masalah. Keluarga memanfaatkan sistem
dukungan sosial dalam jaringan sosial keluarga adalah strategi
koping keluarga eksternal yang sangat utama yang berfungsi
sebagai fungsi sosial, psikologi, dan perilaku. Hubungan sosial
penting bagi keluarga yang mengalami masalah kesehatan.
Dayapoglu (2010) Quality of life score berdampak positif dan
mempunyai hubungan yang signifikan dengan sosial suport dari
skala keluarga dan aspek dari variabel kualitas hidup sperti status
fungsional, kesejahteraan, presepsi terhadap kesehatan umum dan
kulaitas hidup secara umum.
2) Dukungan spiritual.
50

Kepercayaan spiritual merupakan dan religi individu dan keluarga


merupakan inti dari semua koping dan adaptasi keluarga.
Keyakinan merupakan kekuatan besar dalam meningkatkan
resiliency keluarga.
3) Usaha untuk mencari dan menerima pertolongan
Bagaimana kemampuan keluarga dalam usaha mencari bantuan
dan menerima bantuan atau pertolongan dari orang lain seperti
mencari informasi ke tenaga kesehatan atau lainnya.

McCubbin, Larsen dan Olson (1987) dalam Friedman (2010) juga menyebutkan
bahwa koping keluarga dengan Double ABCX model terdiri dari faktor sumber
kekuatan keluarga atau strategi eksternal yang meliputi sosial support, reframing,
penggunaaan sumber support spiritual serta usaha keluarga dalam mencari dan
menerima informasi dan penerimaan pasif. Pengunaan koping strategi ini untuk
mengidentifikasi susunan perilaku koping keluarga (internal dan eksternal).

2.5.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi strategi koping


Individu atau keluarga memandang situasi yang mengandung tekanan
ditentukan oleh sumber daya individu yang meliputi kesehatan fisik,
keterampilan dalam memecahkan masalah, keterampilan sosial dan
dukungan sosial serta (Stuart & Laraia, 2005). Fransisco (2009)
menyatakan bahwa kesejahteraan fisik dan psikososial dipengaruhi oleh
klien dan cargiver mereka.
Berikut penjelasan berbagai faktor yang mempengaruhi strategi koping:
2.5.4.1. Kesehatan fisik
Kesehatan fisik merupakan hal yang sangat penting dalam usaha
mengatasi stressor, individu dituntut untuk menggunakan tenaga
yang cukup besar. Walmer (2007) menyatakan bahwa
somatosensori dan fungsi presepsi merupakan faktor yang
signifikan terhadap peningkatan aktivitas fisik.
2.5.4.2. Keyakinan atau pandangan positif
51

Faktor ini menjadi sumber psikologis yang sangat utama seperti


penilaian individu terhadap ketidakberdayaan yang akan
menurunkan kemampuan strategi koping keluarga.
2.5.4.3. Kemampuan pemecahan masalah
Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi,
mengidentifikasi masalah, menganalisis situasi yang bertujuan
untuk menghasilkan alternatif tindakan yang kemudian akan
mempertimbangkan alternatif tersebut, dan pada akhirnya dapat
melakukan rencana dengan suatu tindakan yang tepat.
Mengajarkan keterampilan pemecahan masalah yang efektif untuk
pengasuh keluarga pasien dengan penyakit kronis telah terbukti
berguna untuk mempromosikan fisik dan kesejahteraan
psikososial. Namun, penggunaan dan efektivitas pemecahan untuk
mendukung caregiver (pengasuh keluarga) dalam melakukan
perawatan stroke masalah belum ditinjau (Liu, 2005).
2.5.4.4. Keterampilan sosial
Kemampuan berkomunikasi dan berperilaku dengan cara yang
sesuai dengan nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat, maka
strategi koping akan semakin baik.
2.5.4.5. Dukungan sosial
Dukungan dalam pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional
pada diri individu yang diberikan oleh keluarga, orang tua, teman,
dan lingkungan masyarakat sekitarnya. Grant (2007) Dukungan
sosial dan fokus emosi merupakan komponen yang berkontribusi
terhadap penyesuain diri cargiver dalam pemecahan masalah.
2.5.4.6. Materi
Sumber daya keluarga seperti uang, barang atau layanan yang
dapat dibeli. Semakin tinggi sumber daya yang ada, maka stategi
koping yang diterapkan keluarga akan semakin kuat. Parker (2012)
menyatakan bahwa sumber daya dalam hal ini adalah biaya yang
diperlukan untuk pemeriksaan dalam masa rehabilitasi dapat
memperbaiki kualitas hidup klien pasca stroke.
52

2.6. Kerangka teori

1. Faktor resiko yang dapat


Proses menua pada sistem syaraf pusat dirubah:
dan kardiovaskuler  Hipertensi
1. Perubahan pada sistem  Penyakit cardiovaskuler
cardiovaskuler  Diabetes mellitus
2. Peningkatan tahanan perifer  Obesitas
3. Kekakuan pada arteri  Merokok
4. Suplai oksigen menurun  Alkohol
 TIA

2. Faktor resiko yang tidak dapat


dirubah:
 Usia
 Jenis kelamin
 Riwayat keluarga
Strategi koping Keluarga  Pernah menderita stroke
1. Dukungan sosial
2. Dukungan spiritual
Stroke Vulnarable (Kerentanan):
3. Reframing
1. Hemoragik  Biologis
4. Usaha untuk mencari dan
2. Non hemoragik  Psikologis
menerima pertolongan
5. Penerimaan pasif  Sosioekonomi

Ketergantungan
Beban keluarga

Karakteristik Keluarga:
1. Usia
2. Jenis kelamin Kualitas hidup lansia
3. Pendidikan
4. Etnis
5. Tipe keluarga
6. Pendapatan keluarga
7. Keyakinan
8. Hubungan keluarga
Skema 2.1 Kerangka teori

(Teori konsekuensi fungsional dan HRQOL, modifikasi dari Miller, 2012; Wilson dan
Cleary, 1995, Mccubin,1991; Friedman, 2010; Stuart&Laraia, 2005).
53

BAB 3
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN DEFINISI OPERASIONAL

Bab ini menjelaskan tentang kerangka konsep, hipotesis dan definisi operasional.

3.1 Kerangka Konsep Penelitian


Kerangka konsep ini membantu peneliti dalam menjelaskan secara
komprehensif variabel-variabel yang diteliti dan menggambarkan hubungan
54

antar variabel yang diteliti (Dharma, 2011). Kerangka konsep ini terdiri dari
variabel dependen dan independen serta variaebel confounding. Variabel
independennya adalah strategi koping keluarga, variabel dependennya kulitas
hidup pada lansia pasca stroke. Variabel confounding nya adalah usia, jenis
kelamin, pendidikan, penghasilan keluarga, hubungan keluarga jenis stroke
dan lamanya menderita stroke. Kerangka konsep menjelaskan variabel-
variabel yang akan diteliti dan hubungan antar variabel. Kerangka konsep
merupakan bagian dari kerangka teori yang menjadi panduan dalam penelitian
yang dilakukan oleh peneliti.

Strategi koping keluarga merupakan proses aktif saat keluarga memanfaatkan


sumber keluarga yang ada dan mengembangkan perilaku serta sumber baru
yang akan memperkuat unit keluarga dan mengurangi dampak peristiwa hidup
penuh stress (McCubbin, 1979; Friedman, 2010). Strategi koping keluarga
mencakup dukungan sosial, Reframing, dukungan spiritual, usaha mencari dan
menerima pertolongan, penerimaan secara pasif. Sedangkan kualitas hidup
menurut WHO (WHOQOL-BREF) terdiri dari 5 komponen yaitu kesehatan
fisik, kesehatan psikologi, hubungan sosial, lingkungan dan dua item lainnya
mengukur kualitas hidup secara keseluruhan dan kesehatan secara umum.
Kevington (2004) WHOQOL-BREF telah dianalisis dengan data cross
sectional dari survei di 23 negara (n=11.830) dan WHOQOL-BREF
mempunyai sifat psikometrik yang sangat baik serta mempunyai penilaian
lintas-budaya yang valid dari kualitas hidup seperti tercermin dari empat
domain yaitu fisik, psikologis, sosial dan lingkungan.

Hal yang paling penting proses dan strategi keluarga berfungsi sebagai proses
52
atau mekanisme vital yang memfasilitasi keluarga, tanpa strategi koping
keluarga yang efektif, fungsi afektif, sosialisasi, ekonomi dan perawatan
kesehatan tidak dapat dicapai dengan adekuat. Proses dan strategi koping
sangat mendasari yang memungkinkan keluarga mengukuhkan fungsi
keluarga yang diperlukan. Seperti yang dikemukakan oleh Sastroasmoro &
Ismael ( 2010) Variabel independen atau variabel bebas adalah variabel yang
apabila diubah, akan mengakibatkan perubahan variabel lain.
55

Pada skema 3.1 akan diuraikan kerangka konsep untuk variabel penelitian
sebagai berikut :

Skema 3.1 Kerangka konsep

Strategi koping keluarga yang


merawat lansia pasca stroke:

1. Dukungan sosial Kualitas hidup


2. Reframing(penataan)
3. Dukungan spiritual
4. Usaha mencari dan menerima
pertolongan
5. Penerimaan secara pasif

Karakteristik Lansia :

1. Usia Lansia
2. Jenis Kelamin Lansia
3. Pendidikan Lansia
4. Lamanya stroke
5. Tipe stroke

Karakteristik Keluarga :

1. Hubungan keluarga
2. Tipe keluarga
3. Pendapatan keluarga
3.2. Hipotesis
Hipotesis adalah pernyataan awal peneliti mengenai hubungan antara variabel
yang merupakan jawaban peneliti tentang kemungkinan hasil penelitian
(Dharma, 2011). Hipotesis dalam penelitian terdiri dari hipotesis mayor dan
hipotesis minor. Polit dan Beck (2004) menyatakan bahwa hipotesis mayor
merupakan dugaan terhadap hubungan antara dua atau lebih variabel
independen dan atau dua atau lebih variabel dependen. Hipotesis minor
adalah hipotesis yang menyatakan dugaan hubungan antara satu variabel
independen dan satu variabel dependen.
56

3.2.1. Hipotesis mayor


Hipotesis mayor pada penelitian ini adalah “Ada hubungan strategi koping
keluarga dengan kualitas hidup lansia pasca stroke di kota Pontianak
Kalimantan Barat”.
3.2.2. Hipotesis minor
3.2.1. Ada hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup lansia
paska stroke di Pontianak Kalimantan Barat.
3.2.2. Ada hubungan antara Reframing dengan dengan kualitas hidup lansia
paska stroke di Pontianak Kalimantan Barat.
3.2.3. Ada hubungan antara dukungan spiritual dengan dengan kualitas
hidup lansia paska stroke di Pontianak Kalimantan Barat.
3.2.4. Ada hubungan antara usaha keluarga untuk menerima dan mencari
pertolongan dengan dengan kualitas hidup lansia paska stroke di
Pontianak Kalimantan Barat.
3.2.5. Ada hubungan antara penerimaan secara pasif (passive appraisal)
dengan dengan kualitas hidup lansia paska stroke di kota Pontianak

3.3. Definisi Operasional Penelitian


Definisi operasional adalah definisi berdasarkan definisi tertentu,
mendefinisikan variabel secara operasional bertujuan untuk membuat
variabel menjadi lebih konkrit dan dapat diukur (Dharma, 2011). Definisi
operasional merupakan variabel penelitian yang didefinisikan untuk
memudahkan dalam mencari hubungan antara variabel satu dengan yang
lainnya agar memudahkan dalam pengukuran, sehingga penting untuk
menjelaskan variabel penelitian meliputi variabel-variabel penelitian yang
diteliti, jenis variabel, definisi konseptual dan operasional, serta bagaimana
melakukan pengukuran/penilaian terhadap variabel. Berikut masing-masing
definisi operasional dari setiap variabel:

Tabel 3.1 Definisi Operasional variabel penelitian

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Variabel Dependen
Kualitas Presepsi lansia yang Kuesioner stroke Total skor rata- Interval
57

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala


hidup lansia berhubungan dengan WHOQOL-BREF rata (mean)
pasca stroke standar hidup, alat ukur yang terdiri setiap domain
harapan, dan dari 26 pertanyaan kuesioner
kesenangan yang dengan skala likert kualitas hidup
mencakup kesehatan yang terdiri dari lansia pasca
fisik, psikologis, sangat baik, baik, stroke dengan
hubungan sosial serta biasa-biasa saja, rentang 26-130.
ingkungan. buruk dan sangat
buruk.

Variabel Independen
Strategi Serangakaian Kuesioner strategi Skor hasil Interval
koping perilaku yang yang koping keluarga (F- strategi koping
keluarga diharapkan sesuai keluarga
dengan posisi sosial COPES) (F_COPES)
yang diberikan oleh dalam rentang
keluarga untuk 30-150
meningkatkan
kualitas hidup lansia
pasca stroke .

Dukungan Bagaimana Keluarga


sosial mengajak untuk Alat ukur terdiri dari Skor hasil
mendapatkan 9 pertanyaan dengan strategi koping Interval
dukungan dari teman, skala likert dengan keluarga dalam
tetangga dan dari sangat tidak setuju, rentang 9-45
keluarga besar lain tidak setuju, tidak
keduanya, setuju dan .
sangat setuju.

Reframing Menata Alat ukur terdiri dari


(penataan) kembali kekuatan 8 pertanyaan dengan Skor hasil Interval
keluarga dalam skala likert dengan strategi koping
menghadapi masalah sangat tidak setuju, keluarga
sehingga lebih tidak setuju, tidak (F_COPES)
manageable keduanya, setuju dan dalam rentang 8- Interval
sangat setuju. 40
Dukungan Cara keluarga
spiritual memanfaatkan Alat ukur terdiri dari Skor hasil
kegiatan religius di 4 pertanyaan dengan strategi koping Interval
masyarakat untuk skala likert dengan keluarga dalam
meningkatkan koping sangat tidak setuju, rentang 4-20
keluarga tidak setuju, tidak
keduanya, setuju dan
sangat setuju.

Usaha untuk Cara keluarga untuk Alat ukur terdiri dari


58

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala


mencari dan
menerima Meminta bantuan 4 pertanyaan dengan Skor hasil
pertolongan dari keluarga atau skala likert dengan strategi koping
profesional sangat tidak setuju, keluarga dalam Interval
tidak setuju, tidak rentang 4-20
keduanya, setuju dan
Penerimaan sangat setuju.
pasif Tidak perduli atau
pesimis dengan Alat ukur terdiri dari Skor hasil
situasi yang terjadi 5 pertanyaan dengan strategi koping Interval
skala likert dengan keluarga dalam
sangat tidak setuju, rentang 5-25
tidak setuju, tidak
keduanya, setuju dan .
sangat setuju.

Variabel Confounding
Lansia
Usia Lama hidup lansia Angket data Angka dalam Rasio
pasca stroke mulai demografi dalam tahun
lahir sampai
sekarang.
Jenis kelamin Karakteristik biologi Angket data 1= Perempuan Nominal
yang membedakan demografi
dua individu 2= Laki-laki
Pendidikan Pendidikan formal Angket data 1. SD Ordinal
terakhir yang telah demografi 2. SMP
diselesaikan oleh 3. SMA
lansia pasca stroke 4. Sarjana
5. Pasca
Sarjana

Lamanya Lama lansia Angket data Angka dalam Rasio


menderita menderita stroke demografi tahun
stroke dihitung sejak
pertama kali
serangan stroke

keluarga
Tipe stroke Jenis stroke terbagi Angket data 1. Stroke Nominal
menjadi stroke demografi hemoragik
Hemoragik dan non 2. Non
Hemoragik. hemoragik
59

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Hubungan Terikat oleh Angket demografi 1. Ayah Nominal
keluarga pernikahan atau 2. Ibu
hubungan sedarah 3. Istri/suami
4. Saudara
5. Cucu
6. Menantu

Tipe keluarga Klasifikasi keluarga Angket demografi 1. Ayah, ibu Nominal


yang mempunyai dan anak
karakteristik tertentu (Inti)
dan memiliki 2. Ayah, ibu,
hubungan keluarga anak dan
nenek atau
kakek,
keluarga lain
sebagai
pelaku rawat
utama (besar)

Pendapatan Keadaan Angket demografi Jumlah dalam Interval


keluarga sosialekonomi rupiah
keluarga yang
menggambarkan
penghasilan sebulan

BAB 4
METODE PENELITIAN

Metodologi penelitian merupakan proses yang bertujuan untuk menjawab


fenomena yang diteliti. Bab ini menjelaskan tentang metode yang digunakan oleh
peneliti yang terdiri atas desain penelitian, populasi dan sampel, tempat penelitian,
waktu penelitian, etika penelitian, prosedur pengumpulan data, alat pengumpul
data, serta rencana analisis data.

4.1 Desain Penelitian


Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
korelasi dengan metode pendekatan cross sectional yaitu mempelajari
60

dinamika korelasi antar faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara


pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu waktu saat
(point time approach) dan dilakukan pada satu waktu (Dharma, 2011). Desain
penelitian merupakan rencana penelitian sebagai sarana bagi peneliti untuk
memperoleh jawaban atas pertanyaan penelitian (Sastroasmoro & Ismael,
2011). Penentuan desain ini atas dasar bahwa peneliti ingin menganalisis
hubungan antara strategi koping keluarga dengan kualitas hidup lansia pasca
stroke, dimana semua variabel diukur dalam satu waktu.

4.2 Populasi, Sampel dan Metode Sampling


4.2.1 Populasi
Populasi adalah sasaran dimana hasil penelitian yang diterapkan, Populasi
terbagi 2 yaitu populasi target dan populasi terjangkau. Populasi target
adalah sasaran akhir penerapan hasil penelitian. Sedangkan populasi
terjangkau adalah bagian dari populasi target yang dapat dijangkau oleh
peneliti (Sastroasmoro & Ismael, 2011). Populasi target dalam penelitian ini
adalah seluruh lansia pasca stroke yang menjalani rehabilitasi pasca rawat
Rumah Sakit dan tinggal di Wilayah Kota Pontianak dan keluarga utama
yang merawat lansia pasca stroke. Populasi merupakan sejumlah besar
subyek yang memiliki karakteristik tertentu (Sastroasmoro & Ismael, 2011).
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lansia dengan pasca stroke
58
yang berusia 60 tahun atau lebih dan tinggal di wilayah kota Pontianak yang
berjumlah 58 orang lansia pasca stroke dan keluarga utama yang merawat
lansia pasca stroke.

4.2.2 Sampel
Sampel merupakan sekelompok individu yang merupakan bagian dari
populasi terjangkau dimana peneliti langsung mengumpulkan data atau
melakukan pengamatan/pengukuran pada unit ini. Pada dasarnya penelitian
dilakukan pada sampel yang terpilih dari populasi terjangkau (Dharma,
2011). Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang akan diteliti
(Arikunto, 2006). Sampel pada penelitian ini adalah lansia pasca stroke dan
61

keluarga utama yang merawat lansia pasca stroke dan tinggal di wilayah
Kota Pontianak, dengan kriteria inklusi sebagai berikut:
4.2.2.1. Lansia
a. Lansia pasca stroke yang menjalani rehabilitasi pasca rawat rumah
sakit.
b. Bersedia menjadi responden.
c. Kesadaran composmentis
d. Bisa berkomunikasi dengan baik
e. Tinggal dengan keluarga
4.2.2.2. Keluarga
a. Anggota keluarga (pelaku rawat utama) yang merawat lansia
b. Tinggal serumah dengan lansia pasca stroke
c. Bersedia menjadi responden dalam penelitian

Metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik total
sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan mengambil seluruh
anggota populasi sebagai responden atau sample (Arikunto, 2006).
Sample dalam penelitian ini adalah seluruh lansia stroke pasca rawat
rumah sakit yang berusia 60 tahun atau lebih bertempat tinggal di wilayah
kota Pontianak, jumlah sample dalam penelitian ini sebanyak 58 orang.
4.3 Tempat Penelitian dan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Pontianak Kalimantan Barat pemilihan
kota Pontianak ini atas dasar bahwa jumlah penderita stroke terus mengalami
peningkatan dan kota Pontianak merupakan kota terbesar prevalensinya di
wilayah Kalimantan Barat. Berdasarkan laporan di Dinas Kota Pontianak
tahun 2014 diperoleh data sebanyak 64 lansia pasca stroke yang melakukan
rawat jalan di puskesmas yang ada di kota Pontianak sementara berdasarkan
data dari Medical Record RSUD Dr. Soedarso pontianak data pasien pasca
stroke yang sudah pulang dalam 3 bulan terakhir sebanyak 77 orang. Jumlah
tersebut yang berdomisili di wilayah kota Pontianak sedangkan pasien lansia
pasca stroke yang berdomisili di luar wilayah kota pontianak tetapi
melakukan kunjungan ke puskesmas kota tidak termasuk dalam jumlah
62

tersebut. Peneliti melakukan pendataan lansia pasca stroke pada masing-


masing RW di setiap kelurahan yang dibantu oleh kader dan asisten
penelitian. Berdasarkan pendataan tersebut didapatkan jumlah lansia pasca
stroke 58 orang lansia. Dinas kota Pontianak membawahi 23 Puskesmas yang
ada di kota Pontianak. Selain itu belum pernah dilakukan penelitian tentang
hubungan strategi koping keluarga dengan kualitas hidup lansia pasca stroke
yang menjalani rehabilitasi pasca rawat rumah sakit, penelitian ini
dilaksanakan selama 1,5 bulan mulai dari pengumpulan data sampai analisis
data. Penelitian ini dilakukan beberapa tahap diantaranya tahap persiapan,
pelaksanaan dan penyusunan laporan. Tahap persiapan dimulai dari
penyusunan laporan penelitian, ijin melakukan studi pendahuluan, ujian
proposal, uji etik, uji validitas dan reliabilitas. Tahap selanjutnya
pengumpulan data serta Tahap akhir berupa penyusunan dan penyerahan
laporan hasil penelitian. Adapun jadwal pelaksanaan penelitian terlampir.

4.4 Etika Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan dengan memperhatikan kaidah-kaidah etik,
Penelitian yang melibatkan manusia sebagai subjek penelitian harus
memenuhi kriteria bebas masalah etik penelitian. Pada penelitian yang
melibatkan manusia sebagai subjek penelitian, seharusnya mendapatkan
persetujuan etik (ethical clearance) dari komite etik penelitian (Dharma,
2011). Berdasarkan hal ini maka sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti
mengajukan permohonan ethical clearance kepada Komite Etik Penelitian
Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Penelitian berupaya untuk menerapkan prinsip-prinsip etik dalam penelitian


ini, antara lain:
4.4.1. Menghargai harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)
Penelitian yang dilaksanakan harus menghormati dan menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia. Responden diberikan kebebasan
untuk ikut atau menolak ikut serta dalam penelitian. Peneliti juga
menjelaskan secara rinci tentang tujuan penelitian, prosedur penelitian,
dan keuntungan yang mungkin didapat serta kerahasiaan informasi
63

(lembar penjelasan terlampir). Setelah mendapatkan informasi yang


lengkap dan telah mempertimbangkannya dengan baik, subjek
penelitian memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan ikut atau
menolak penelitian (autonomy). Prinsip ini tertuang dalam pelaksanaan
informed consent (Dharma, 2011). Pada penelitian ini responden diberi
hak penuh untuk mempertimbangkan apakah menyetujui atau menolak
menjadi responden dengan menandatangani informed consent atau
surat pernyataan yang telah disediakan oleh peneliti. Hal ini dilakukan
setelah peneliti memberikan penjelasan kepada responden, peneliti
menghormati dan menghargai apapun yang telah menjadi keputusan
responden, membina hubungan saling percaya. Selanjutnya responden
diberikan waktu untuk mempertimbangkan keikutsertaannya sebagai
subjek penelitian. Jika responden menyetujui untuk ikut serta sebagai
subjek penelitian, maka responden diminta untuk menandatangani
persetujuan penelitian (lampiran 2).
4.4.2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian (respect for
pirivacy and confidentiality)
Prinsip etik penelitian lainnya dalam penelitian keperawatan adalah
menjaga kerahasiaan responden. Peneliti menjaga kerahasiaan
berbagai informasi yang menyangkut privasi subjek agar tidak
diketahui identitasnya oleh orang lain. Peneliti meyakinkan kepada
responden bahwa identitas atau hal lain yang berhubangan dengan
privasi akan dirahasiakan. Prinsip ini dapat diterapan dengan cara
mengganti identitas responden seperti nama dan alamat subjek
kemudian diganti dengan kode tertentu sehingga segala informasi
yang menyangkut identitas subjek penelitian tidak tersebar secara luas
(Dharma, 2011). Penelitian ini tidak menampilkan nama maupun
alamat responden untuk menjaga anonimitas (anonymous) dan
kerahasiaan (confidentiality) peneliti hanya menggunakan nomor
responden. Penelitia tidak memberitahukan segala masalah diantara
responden lansia maupun keluarga lain yang terkait dengan strategi
64

koping keluarga yang diberikan oleh keluarga yang dialami oleh


lansia pasca stroke kepada lansia atau responden lain.
4.4.3. Menghormati keadilan dan inklusivitas (respect for justice
inclusiveness)
Penelitian yang dilakukan dapat memberikan manfaat dan beban
secara merata sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan subjek tanpa
membedakan gender, agama, etnis, dan sebagainya, peneliti harus
memperhatikan aspek kejujuran, ketelitian dan profeionalisme. Prinsip
keterbukaan berarti bahwa penelitian yang dilakukan dapat dilakukan
secara jujur, tepat, cermat, hati-hati, dan dilakukan secara professional
dengan menjelaskan prosedur penelitian (Dharma, 2011). Penelitian
ini tidak melakukan diskriminasi pada saat pemilihan responden
penelitian tetapi pemilhan responden berdasarkan kriteria inklusi yang
telah ditetapkan oleh peneliti.
4.4.4. Memperhitungkan manfaat dan dampak negatif yang dapat ditimbulkan
(balancing harm and benefits)
Peneliti harus berusaha meyakinkan responden bahwa manfaat yang
akan didapat lebih besar dari dampak negatifnya. Manfaat yang
didapat dari penelitian yang dilakukan harus semaksimal mungkin
dapat dirasakan oleh masyarakat pada umumnya dan subjek penelitian
pada khususnya (beneficience). Manfaat harus lebih besar daripada
dampak negatifnya (nonmaleficience). Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat yang besar bagi peneliiti dan keluarga, walaupun
memang manfaat itu tidak akan dirasakan langsung. Peneliti tidak
akan melakukan suatu intervensi atau manipulasi tertentu yang
berdampak pada responden. Penelitian ini menjadi dasar untuk
menjawab hubungan strategi koping keluarga dengan kualitas hidup
lansia pasca stroke, sehingga keluarga mengetahui manfaat strategi
koping dalam merawat lansia pasca stroke.

4.5. Alat Pengumpulan Data


65

Instrumen penelitian adalah alat ukur yang digunakan oleh peneliti untuk
mengumpulkan data. Instrumen yang telah dikembangkan oleh peneliti
berdasarkan kajian literatur. Instrumen penelitian dikelompokkan menjadi
dua kelompok yaitu instrumen untuk keluarga dan instrumen untuk lansia.
Instrumen untuk lansia terdiri dari bagian A, bagian B dan C sedangkan
instrumen untuk keluarga terdiri bagian A dan bagian B instrumen
penelitian Penjelasan tentang masing-masing kuesioner adalah sebagai
berikut :
4.6.1. Instrumen lansia bagian A
Instrumen lansia bagian A berisi pernyataan tentang biodata lansia seperti
usia, jenis kelamin, pendidikan, jenis stroke dan lama lansia menderita
stroke.
4.6.2. Instrumen lansia bagian B
Instrumen bagian B untuk mengidentifikasi kualitas hidup lansia pasca
stroke. Kualitas hidup lansia tersebut terdiri dari kesehatan fisik, kesehatan
psikologi, hubungan sosial, lingkungan dan dua item lainnya mengukur
kualitas hidup secara keseluruhan dan kesehatan secara umum. Kuesioner
kualitas hidup yang digunakan berdasarkan kuesioner WHOQOL-BREF
(terlampir), Jumlah keseluruhan pernyataan sebanyak 26 pernyataan. Hasil
ukur berupa skor dengan rentang antara 26-130 dengan skala likert seperti
sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju dan sangat tidak setuju dan
dalam skala interval.
4.6.3. Instrumen keluarga bagian A
Instrumen keluarga bagian A berisi pernyataan tentang data demografi
keluarga seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, hubungan keluarga, tipe
keluarga dan pendapatan kepala keluarga.
4.6.4. Instrumen keluarga bagian B
Instrumen keluarga bagian A berisi tentang pernyataan strategi koping
keluarga dalam merawat lansia pasca stroke. Kuesioner ini diisi oleh
anggota keluarga yang merawat lansia dan tinggal bersama klien.
Kuesioner strategi koping tersebut dibagi menjadi lima yaitu dukungan
sosial, Reframing (penataan), dukungan spiritual, usaha mencari dan
66

menerima pertolongan, penerimaan secara pasif. Hasil ukur berupa skor


dengan rentang 30-150 dengan skala interval.

4.6. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen


Uji instrumen tersebut dilakukan terhadap responden yang tidak terlibat
dalam penelitian yang dilakukan peneliti, responden yang menjadi partisipan
dalam uji instrumen memiliki karakteristik yang sama dengan responden yang
diteliti (Dharma, 2011). Adanya perbedaan bahasa, budaya, dan karakteristik
responden akan mempengaruhi validitas dan reliabilitas suatu instrument.
Karakteristik responden pada penelitian ini terdiri dari lima dimensi yaitu
usia, jenis kelamin, pendidikan, lamanya stroke, dan tipe stroke.

4.6.1 Uji Validitas Instrumen


Validitas yaitu tingkat atau derajat ketepatan suatu instrumen untuk
mengukur suatu variabel penelitian. Suatu instrumen dikatakan valid
berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang
seharusnya diukur (Polit & Beck, 2012; Sugiyono 2011). Uji validitas
yang akan digunakan peneliti adalah uji validitas konstruk. Validitas
konstruk mengukur aspek yang akan dikur berdasarkan teori tertentu
dengan ahli dan berdasarkan pengalaman empiris dilapangan, dan
selanjutnya diteruskan dengan uji coba instrumen. Validitas konstruk
merupakan validitas yang menggambarkan seberapa jauh instrumen
memiliki item-item pertanyaan yang dilandasi oleh konstruk tertentu.

Instrumen WHOQOL-BREF merupakan suatu instrumen yang sesuai


untuk mengukur kualitas hidup dari segi kesehatan terhadap lansia
dengan jumlah responden yang kecil, mendekati distribusi normal, dan
mudah untuk penggunaannya (Hwang, 2003; Sutikno, 2011)

Validitas isi dari WHOQOL-BREF ditentukan dengan cara


menentukan apakah item pertanyaan yang terdapat dalam instrumen ini
sesuai dengan konsep kualitas hidup yang akan di ukur. Salah satu
pertimbangan peneliti menggunakan WHOQOL-BREF yaitu skala dan
67

dimensi dari alat ukur ini sesuai dengan konsep kualitas hidup yang
akan diteliti. Validitas konstruk dari dari WHOQOL-BREF ditentukan
berdasarkan uji statistik. Validitas konstruk WHOQOL-BREF akan
diuji menggunakan uji homogenitas item yaitu menentukan apakah skor
setiap item pertanyaan berkorelasi dengan skor total (item-total
correlation). Uji statistik yang akan digunakan untuk menguji korelasi
antara skor item dengan skor total adalah Pearson corelation. Uji
statistik yang digunakan dalam validitas konstruk menguji apakah item-
item pertanyaan yang mengukur hal yang sama berkorelasi tinggi satu
dengan yang lainnya atau sebaliknya (Sugiyono, 2011; Dharma, 2011).
Peneliti menggunakan uji korelasi berupa Pearson Product moment
dengan membandingkan r hitung dengan r tabel. Jika nilai r hitung
lebih besar dari r tabel, maka pertanyaan tersebut dinyatakan valid. Jika
nilai r hitung lebih kecil dari r tabel maka pertanyaan tersebut tidak
valid. Jika pertanyaan valid maka dapat dilanjutkan dengan uji
reliabilitas.

Hasil uji validitas instrumen dengan menyebarkan kuesioner B tentang


strategi koping keluarga (F-Cope) terdiri dari 30 item pertanyaan yang
valid dengan bilai koefisien korelasi (r hasil) > 0,361 artinya ada 30
item pertanyaan yang valid yang menunjukakn bahwa item pertanyaaan
tersebut homogen. Hasil oputput lengkap ada pada lampiran.

Hasil kuesioner B lansia tentang WHOQOL-BREF kepada 30


responden di Kota Singkawang. Uji validitas F-Cope dengan
menggunakan teknik korelasi antara skor item dengan skor total yang
didapatkan dengan rumus Pearson product Moment menunjukan bahwa
seluruh butir item (26 item) pertanyaan pada instrumen tersebut
menunjukan koefisien korelasi lebih dari ≥ 0,361. Nilai ini berati bahwa
item-item tersebut pertanyaan tersebut valid, dapat dilihat di lampiran.

4.6.2 Uji Reliabilitas Instrumen


68

Reliabilitas merupakan tingkat konsistensi atau kehandalan suatu


instrumen untuk mengukur sebuah atribut dan melihat suatu instrumen
sudah konsisten ketika digunakan kembali secara berulang terhadap
gejala yang sama dan dengan alat ukur yang sama (Polit & Beck, 2012;
Dharma, 2011). Uji reliabilitas yang digunakan dalam penelitian yaitu
menggunakan Koefisien alpha atau Cronbach’s alpha. Peneliti memilih
metode ini karena instrumen WHOQOL-BREF merupakan alat ukur
multiscale, sehingga relevan dinilai dengan konsistensi internal
WHOQOL-BREF. WHOQOL-BREF dinyatakan memiliki reliabilitas
yang baik apabila menghasilkan nilai koefisien Cronbach’s alpha > 0,8.
Nilai normal berkisar antara 0,00 sampai +1,00 yang mencerminkan
semakin mendekati +1, maka konsistensi internal semakin tinggi
sedangkan nilai 0 berarti tidak reliabel (Polit & Beck, 2012). Uji
validitas dan reliabilitas untuk kuisioner kualitas hidup ini akan
dilaksanakan di Kota Pontianak. Jumlah lansia pasca stroke yang
dipergunakan dalam uji ini sebanyak 30 orang karena dengan jumlah
tersebut akan mendekati kurva normal (Kuzma, 2005). Setelah
pengujian validitas dan reliabelitas selesai, barulah kuesioner ini dapat
digunakan dalam penelitian ini.

Uji reliabilitas pada penelitian ini pada instrumen WHOQOL-BREF


menghasilkan nilai alpha sebesar 0,932. Hal ini menunjukan bahwa
93,2% dari variance observed merupakan vaeiance true scor dan sisanya
6,8% merupakan variance error (lampiran). Kesalahan yang ditunjukan
dari alat ukur ini sangat kecil sehingga alat ukur ini merupakan alat
ukur yang konsisten dalam mengukur kualitas hidup lansia pasca
stroke.

Uji reliabilitas pada instrumen F-Cope menghasilkan nilai alpha sebesar


0,967, Nilai alpha ini menunjukan bahwa 96,7% dari variance observed
sebesar 0,967. Nilai alpha ini menunjukan bahwa 96,7% dari varaince
observed merupakan variance true score dan sisanya 3,3 % merupakan
69

variance error (lampiran). Kesalahan pengukuran yang ditunjukan oleh


kuesioner F-Cope sangat kecil sehingga alat ukur ini merupakan alat
ukur yang konsisten dalam mengukur strategi koping pada lansia pasca
stroke.

4.7. Prosedur Pengumpulan Data


Prosedur pengumpulan data yang akan dilakukan dalam penelitian ini
meliputi prosedur administratif dan teknis.
4.7.1 Prosedur Administratif Penelitian
1.Sebelum melaksanakan penelitian dan apabila dinyatakan lulus ujian
proposal peneliti selanjutnya mengajukan permohonan kepada
Komite Etik Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia untuk dilakukan uji etik. Surat lolos etik dikeluarkan pada
tanggal 29 April 2014 (lampiran)
2. Peneliti menyerahkan surat izin penelitian dari FIK UI yang ditujukan
kepada Dinas Kesehatan Kota Pontianak dan ke Unit Penelitian dan
Pengembangan RSUD Dr. Soedarso Pontianak pada tanggan 2 Mei
2014. Setelah mendapatkan persetujuan dari berbagi pihak terkait,
maka penelitian dilaksanakan.

4.7.2. Prosedur Teknis


1. Peneliti menjelaskan tujuan dan prosedur penelitian pada kepala
Diklit dan kepala Medical Record di RSUD Dr. Soedarso pontianak,
serta Kepala Dinkes Kota Pontianak.
2.Peneliti menentukan sampel yang sesuai dengan kriteria inklusi
Peneliti meminta kesediaan klien dan keluarga berperan serta sebagai
responden penelitian dengan terlebih dahulu menjelaskan tujuan dan
manfaat penelitian, prosedur penelitian dan kerahasiaan identitas, jika
menyetujui maka peneliti meminta responden untuk menandatangani
informed consent.
70

3. Peneliti menjelaskan metode pengisian kuesioner data demografi dan


WHOQOL-BREF kepada lansia pasca stroke dan kuesioner F-Cope
pada cargiver keluarga yang telah bersedia menjadi subyek
penelitian. Peneliti membantu lansia dan cargiver keluarga apabila
mengalami kesulitan selama pengisian kuesioner.
4. Pengambilan data antara lansia dan keluarga dilakukan dalam satu
waktu dan tempat. Jumlah yang diperlukan kurang lebih 6-8 orang
dalam satu hari. Setelah melakukan pengumpulan data, maka peneliti
melanjutkan ke tahap editing, koding, tabulasi data, analisis data,
menyajikan data, dan membuat laporan penelitian.
5. Peneliti merekrut asissisten pada penelitian ini sebanyak 2 orang
dengan persyaratan latar belakang pendidikan perawat dan mengerti
isi dari instrumen.

4.8. Pengolahan dan Analisis Data


4.8.1. Pengolahan data
(Hastono, 2007) Tahap dalam pengolahan data terdiri dari editing, coding,
processing dan cleaning data. Data mentah (raw data) yang sudah
terkumpul kemudian dilakukan pengolahan data sehingga menjadi informasi
yang dapat digunakan untuk menjawab tujuan penelitian.

4.8.1.1. Editing
Tujuan dari proses ini adalah untuk memastikan bahwa data atau jawaban
dari responden yang sudah terkumpul sudah lengkap, jelas, relevan, dan
konsisten terhadap pertanyaan-pertanyaan yang ada pada kuesioner.
Apabila ada pertanyaan yang belum diisi oleh keluarga, maka peneliti
mengklarifikasi atau mengkonfirmasi kembali kepada lansia maupun
keluarga untuk dapat memberikan respon yang valid dengan memberikan
jawaban yang sesuai dengan pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner.
4.8.1.2.Coding
71

Coding adalah merubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk


angka untuk setiap model pernyataan atau setiap item pertanyaan sehingga
akan mempermudah pada saat analisis. Setelah data di edit maka diberi
kode sesuai yang kita inginkan, hal ini akan memudahkan saat memasukan
data. Pengkodean diberikan apabila semua data sudah terisi secara lengkap
dan kode sesuai dengan definisi opeasional yang dibuat dengan data yang
ingin peneliti olah.
4.8.1.3 Processing
Pemrosesan data dilakukan setelah dilakukan coding, data yang
dimasukkan dari kuesioner ke dalam program komputer agar data yang
yang selanjutnya dianalisis. Proses memasukkan data hasil penelitian dapat
dilakukan secara bertahap. Peneliti langsung memasukkan kuesioner yang
telah didapatkan dalam sehari ke dalam program komputer.
4.8.1.4. Cleaning
Beberapa cara untuk membersihkan data antara lain mengetahui missing
data, mengetahui variasi data, dan mengetahui konsistensi data.
Pengecekan dilakukan dengan mendeteksi missing data dengan melakukan
list (distribusi frekuensi) dari variabel yang ada. Variasi data untuk
mengetahui data yang sudah di-entry benar atau salah, dengan
mengeluarkan distribusi frekuensi masing-masing variabel. Selanjutnya
adalah mengetahui konsistensi data dengan cara mendeteksi adanya data
yang tidak konsekuen dengan menghubungkan dua variabel.

4.8.2. Analisis data


Peneliti menganalisis data setelah data yang dimasukkan ke dalam
program computer, Analisis data dalam penelitian ini meliputi analisis
univariat, bivariat, dan multivariat.
4.8.2.1. Analisis Univariat
Statistik univariat pada penelitian ini untuk menggambatkan
setiap variabel secara deskriptif. Tujuan dalam analisis ini
adalah untuk mendeskripsikan karakteristik masing-masing
variabel yang akan diteliti tanpa bermaksud membuat
72

kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi


(Sugiyono, 2011). Bentuk Data yang dianalisis ditampilkan
dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Skala pengukuran
variabel dalam penelitian ini ada dua variabel yaitu numerik
dan kategorik. Analisis univariat pada variabel numerik
digunakan untuk menilai mean atau rata-rata, median, range,
standar deviasi dan uji estimasi. Sedangkan pada analisis
univariat kategorik dilakukan untuk menentukan presentase
setiap kategori. Data yang dianalisis pada penelitian ini
meliputi distribusi frekuensi dari variabel independen yaitu
dukungan sosial, Reframing, dukungan spiritul, usaha untuk
mencari dan menerima pertolonga serta Penerimaan pasif dan
distribusi frekuensi dari variabel dependen berupa kualitas
hidup lansia pasca stroke.

4.8.2.2. Analisis bivariat


Analisis bivariat dalam penelitian ini bertujuan untuk
menentukan hubungan strategi koping keluarga yang terdiri
dari dukungan sosial, Reframing (penataan), dukungan
spiritual, Usaha untuk mencari dan menerima pertolongan
dan Penerimaan pasif dengan kualitas hidup lansia pasca
stroke. Analisis bivariat yang digunakan dalam penelitian ini
ditentukan berdasarkan skala pengukuran, distribusi normal
data dan homogenitas varian. Pada penelitian ini variabel
dependen yaitu kualitas hidup berskala numerik. Uji Pearson
product moment dapat digunakan pada skala pengukuran
interval dan rasio (Hastono, 2007; Sastroasmoro & Ismael,
2011 ). Pada variabel confounding berskala numerik
dilakukan uji Pearson product moment, sedangkan pada
variabel berskala kategorik dengan jumlah kategori 2
dilakukan uji independent t-test dan variabel yang kategori
73

lebih dari 2 dilakukan uji Anova. Berikut ini uji statistik yang
digunakan untuk analisis bivariat:

Tabel 4.1 Analisis bivariat


Variabel Independen Variabel Dependen
No Uji Statistik
Variabel Skala Variabel Skala
Strategi Koping Numerik Pearson
1. Kualitas hidup Numerik
keluarga product moment
Numerik Kualitas hidup Numerik Pearson
2. Dukungan sosial product moment

Numerik Kualitas hidup Numerik Pearson


3. Reframing penataan)
product moment
Numerik Kualitas hidup Numerik Pearson
4. Dukungan spiritual
product moment
Usaha untuk mencari Kualitas hidup Numerik Pearson
5. dan menerima Numerik product moment
pertolongan
Numerik Pearson
6. Penerimaan pasif Numerik Kualitas hidup product
moment
Variabel Perancu
Karakteristik Lansia
Usia Kualitas hidup Pearson
7 Numerik Numerik
product moment
Jenis kelamin Kualitas hidup Numerik Independent-t
8 kategorik
test
9 Pendidikan kategorik Kualitas hidup Numerik Anova
Lamanya menderita Kualitas hidup Numerik Pearson
10 Numerik product moment
stroke
Tipe stroke Kualitas hidup Numerik Independent-t
11 Kategorik
test
Karakteristik
keluarga
Hubungan keluarga Kualitas hidup Numerik Independent-t
12 Kategorik
test
Tipe keluarga Kualitas hidup Independent-t
13 Kategorik Numerik
test
Pendapatan Kualitas hidup Numerik Pearson
14 keluarga Numerik product
moment

Syarat dalam penggunaan uji parametrik independent t-tes, Anova dan korelasi
Pearson pada analisis bivariat adalah data berdistribusi normal. Sehingga sebelum
melakukan analisis bivariat, peneliti melakukan uji distribusi normal data dulu
74

untuk setiap variabel yang berskala numerik. Uji distribusi normal data pada
penelitian ini dilakukan dengan uji one sample Kolmogorov-Smirnov, pemilihan
uji ini karena besar sampel pada penelitian lebih dari 50 responden. Data
dinyatakan berdistribusi normal jika nilai probabilitas hasil uji lebih dari 0,05 (p >
0,05).

4.8.2.3. Analisis multivariat


Analisis multivariat pada penelitian ini bertujuan untuk
menentukan variabel independen yang paling berpengaruh
terhadap kualitas hidup lansia pasca stroke. Analisis multivariat
merupakan analisis dari pengembangan atau perluasan analisis
bivariat (Hastono, 2007). Pada penelitian ini untuk menganalisis
hubungan variabel independen berupa strategi koping keluarga
yang paling dominan yang berhubungan dengan variabel dependen
yaitu kualitas hidup lansia pasca stroke. Pada analisis multivariat
juga menganalisis hubungan variabel perancu karakteristik lansia
dan karakteristik keluarga yaitu usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, jenis stroke, dan lama menderita stroke, hubungan
keluarga, tipe keluarga dan pendapatan keluarga. Analisis
multivariat yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan
analisis regresi linier ganda. Peneliti memilih uji regresi linear
ganda karena variabel independen yang akan dianalisis lebih dari
satu dan variabel dependen berskala numerik.
Berikut ini tahapan dalam analisis regresi linier ganda.

Analisis regresi linier berganda merupakan analisis untuk


multivariat dengan variabel dependennya adalah variabel numerik
(Dahlan, 2009).
Langkah-langkah analisis multivariat yang dilakukan adalah :
a. Langkah pertama pemodelan yng merupakan seleksi bivariat.
Seleksi bivariat dilakukan pada masing-masing variabel
independen dengan variabel dependen. Variabel yang sesuai
kriteria untuk penggunaan model multivariat yaitu variabel
75

yang pada analisis bivariat mempunyai nilai ρ< 0,25 yaitu


variabel peran keluarga dan peran teman sebaya. Ketentuan ini
tidak berkewajiban untuk di turuti, jika variabel yang nilai ρ >
0,25 maka secara substasi menjadi sangat penting untuk
hubungan dengan variabel dependen sehingga variabel tersebut
akan diikutkan dengan model multivariat, selanjutnya variabel
teman sebaya tetap diikutkan ke dalam model.
b. Langkah kedua adalah pemodelan multivariat. Pada tahap ini
pemodelan dilakukan dengan cara analisis multivariat secara
bersamaan. Variabel yang valid dalam model multivariat yaitu
variabel yang mempunyai nilai ρ < 0,05. Jika dalam model
multivariat dijumpai variabel dengan nilai ρ > 0,05, maka
variabel tersebut dikeluarkan dalam model multivariat.
Pengeluaran variabel dilakukan tidak bersamaan, akan tetapi
dengan cara bertahap satu persatu dimulai dari nilai α yang
terbesar. Selanjutnya variabel pertama dikeluarkan, dilakukan
pengecekan pada perubahan nilai Coefisien B. Jika terjadi suatu
perubahan nilai Coefisien B di atas sebesar 10%, maka variabel
yang telah dikeluarkan tadi akan dimasukkan kembali ke dalam
model. Pengeluaran untuk variabel dari model yang akan
dilakukan selanjutnya hingga tidak terdapat nilai α> 0,05.
Semua variabel akan dimasukkan kembali pada model
mutivariat.
c. Langkah ketiga yaitu uji asumsi, uji ini terdiri dari enam uji yang
akan dijelaskan sebagai berikut :
1) Asumsi eksistensi
Pada asumsi ini untuk sampel yang digunakan harus dilakukan
secara acak atau random. Asumsi ini dapat diketahui dengan
menggunakan cara menganalisis deskriptif variabel residual
yang diambil dari model, apabila residual menunjukkan terdapat
nilai mean yang mendekati nilai nol danterdapat sebaran (varian
76

atau SD), maka asumsi ini telah terpenuhi. Uji asumsi eksistensi
sudah terpenuhi dalam penelitian ini.
2) Asumsi independensi
Asumsi ini terpenuhi jika hasil nilai dari Durbin Watson
diantara -2 sampai dengan +2.
3) Asumsi linieritas
Asumsi linieritas dapat diketahui dengan menggunakan uji
ANOVA, jika nilai ρ lebih kecil dari alpha (ρ< 0,05) maka
model berbentuk linier. Asumsi linieritas dapat terpenuhi dalam
penelitian ini.
4) Asumsi homoscedascity
Homoscedascity dapat dilihat dengan cara pembuatan plot
residual. Asumsi homoscedascity dapat terpenuhi jika titik
tebaran menunjukan tidak berpola tertentu serta dapat menyebar
merata di sekitar garis titik nol. Asusmsi seperti ini sudah
terpenuhi didalam penelitian ini.
5) Asumsi normalitas
Normalitas diketahui dengan melihat hasil bentuk kurve normal
dan P-P Plot residual, apabila terdapat data menyebar di sekitar
diagonal dan mengikuti arah garis diagonal, maka asumsi
normalitas telah terpenuhi, sehingga pada penelitian ini telah
memenuhi untuk asumsi normalitas.

6) Diagnostik multicollinearity
Asumsi ini dapat terpuhi jika nilai VIF ≤ 10. Nilai VIF dalam
penelitian ini jika semua kurang dari 10 maka asumsi ini telah
terpenuhi. Langkah dalam menganalisis multivariat akan
dijelaskan lebih rinci pada hasil penelitian.
KUESIONER DITUJUKAN KEPADA KELUARGA UNTUK MENILAI KOPING
KELUARGA DENGAN PASCA STROKE /FAMILY CRISIS ORIENTED
PERSONAL SCALE (F-COPES)
Petunjuk penilaian :
77

Pertanyaan berikut menanyakan pandangan bapak/ibu terhadap strategi koping keluarga


dalam merawat lansia pasca stroke (ditujukan pada pelaku rawat)
No Ketika menghadapi masalah atau Sangat Tidak Tidak Sangat
kesulitan dalam merawat lansia, tidak setuju Kedua nya Setuju setuju
kami menghadapinya dengan: setuju
1 Menceritakan kesulitan kami dengan 1 2 3 4 5
keluarga dekat
2 Meminta dorongan dan dukungan dari 1 2 3 4 5
teman-teman
3 Mengetahui bahwa kami memiliki 1 2 3 4 5
kemampuan untuk meyelesaikan masalah-
masalah besar
4 Meminta nasihat dari keluarga lain yang 1 2 3 4 5
mempunyai masalah yang sama
5 Meminta nasihat dari keluarga dekat 1 2 3 4 5

6 Meminta bantuan puskesmas. 1 2 3 4 5

7 Mengetahui bahwa kami mempunyai 1 2 3 4 5


kekuatan dalam keluarga untuk
menyeselesaikan masalah kami.
8 Menerima pemberian dan bantuan dari 1 2 3 4 5
tetangga (a.l: menjaga lansia, mencuci
pakaian lansia, mengantarkan lansia ke
pelayanan kesehatan)
9 Meminta penjelasan dan nasihat dari 1 2 3 4 5
dokter.
10 Meminta bantuan pada tetangga (a.l.: 1 2 3 4 5
menjaga lansia, mencuci pakaian lansia,
mengantarkan lansia ke pelayanan
kesehatan)
11 Mencoba menyelesaikan masalah secepat 1 2 3 4 5
mungkin.
12 Menonton televisi dan mendengarkan 1 2 3 4 5
radio
13 Memperlihatkan pada orang lain bahwa 1 2 3 4 5
kami kuat dan tabah dalam menghadapi
masalah.
14 Mengikuti pengajian di mesjid/misa di 1 2 3 4 5
gereja atau tempat ibadah lainnya
15 Menerima kejadian yang membuat stress 1 2 3 4 5
sebagai suatu kenyataan hidup.
16 Menceritakan masalah dengan teman dekat 1 2 3 4 5

17 Mengetahui bahwa keberuntungan turut 1 2 3 4 5


menentukan kemempuan dalam
menyesalesikan masalah.
No Ketika menghadapi masalah Sangat Tidak Tidak Setuju Sangat
atau kesulitan dalam tidak setuju keduanya Setuju
merawat lansia, kami setuju
menghadapinya dengan:
78

18 Melakukan kegiatan olahraga untuk 1 2 3 4 5


mengurangi ketegangan dan menjaga
kesehatan
19 Menerima masalah ini sebagai 1 2 3 4 5
kejadian yang tidak diharapkan

20 Mengerjakan sesuatu dengan 1 2 3 4 5


keluarga dekat (a.l.: makan bersama,
kumpul dengan keluarga)
21 Meminta bantuan dan berkonsultasi 1 2 3 4 5
kepada tenaga ahli (dokter, psikolog,
dll)
22 Meyakini bahwa kami dapat 1 2 3 4 5
menyelesaikan masalah kami sendiri

23 Berperan serta dalam kegiatan 1 2 3 4 5


agama

24 Mencari hikmah dari kejadian ini, 1 2 3 4 5


sehingga kami tidak putus asa.

25 Menanyakan pada keluarga dekat 1 2 3 4 5


bagaimana pendapat mereka
terhadap masalah yang kami alami.
26 Merasakan bahwa apapun yang kami 1 2 3 4 5
lakukan akan tetap sia-sia

27 Meminta nasihat dari pemuka agama 1 2 3 4 5

28 Percaya jika masalah akan selesai 1 2 3 4 5


dengan berjalannya waktu
29 Membicarakan masalah dengan 1 2 3 4 5
tetangga
30 Meyakini kebesaran Tuhan 1 2 3 4 5

Modifikasi, Hamilton, dalam Hamid, 1993; Rekawati, 2014

Anda mungkin juga menyukai