BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini akan menjelaskan tentang latar belakang penelitian, perumusan masalah,
tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Bab ini mendasari penelitian ini
dilakukan.
Peningkatan usia harapan hidup lansia di satu sisi merupakan hal yang positif
akan tetapi hal ini akan menimbulkan masalah sosial baru yaitu masalah
perawatan dan kesejahteraan lansia. Data dari United Nations Population
Fund (UNFPA) dan HelpAge International tahun 2012 menunjukan bahwa
jumlah lansia pada tahun 2012 di dunia yang berusia lebih dari 60 tahun
sebesar 809,8 juta jiwa atau sebesar 11,5 % dari jumlah penduduk di dunia
dan akan terus bertambah pada tahun 2050 jumlahnya akan semakin
meningkat sekitar 2,03 milyar jiwa atau 21,8%. Sementara jumlah penduduk
lansia di Indonesia usia ≥ 60 tahun pada tahun 2012 sebesar 20,8 juta jiwa
atau 8,5 % dan diprediksi pada tahun 2050 akan mencapai 74,7 juta jiwa atau
25,5 %. Indonesia merupakan jumlah terbesar di Asia Tenggara dengan
jumlah populasi lansianya yang menempati urutan ke-8 di dunia setelah
China, India, USA, Jepang, Rusia, Jerman, dan Brazil (UNFPA & HelpAge
International, 2012). Berdasarkan data diatas, kondisi dan permasalahan yang
dialami lansia mengakibatkan penurunan kesehatan akibat kondisi kesehatan
dan penyakit yang menyertai, sehingga menempati kelompok lansia dengan
penyakit kronis atau akut sebagai populasi rentan.
1
2
akan semakin menurun baik karena faktor alamiah maupun karena penyakit
(Miller, 2012). Penyakit yang diderita lansia lebih banyak bersifat kronik,
menahun dan kompleks. Lansia mengalami proses perubahan dan mengalami
sejumlah resiko yang menyebabkan kerentanan terhadap penyakit. Menua
menimbulkan perubahan yang akan mengakibatkan terjadinya penurunan
fungsi fisiologis, potensial peningkatan perubahan psikososial dan spiritual
(Miller, 2012). Berbagai faktor resiko yang dapat menyebabkan kerentanan
diantaranya gangguan kondisi patologi, stressor fisik, psikososial, lingkungan
dan kurangnya informasi. Berbagai perubahan yang terjadi pada lansia akibat
proses penuaan dan sejumlah resiko akan menimbulkan apa yang disebut
dengan konsekuensi fungsional. Konsekuensi fungsional yang timbul bisa
bersifat positif maupun negatif. Gangguan kondisi patologi yang terjadi
diantaranya adalah stroke, tanpa adanya intervensi keperawatan pada lansia
pasca stroke akan menimbulkan konsekuensi negatif terhadap lansia yang
menderita stroke maupun anggota keluarganya.
Stroke merupakan salah satu penyakit yang banyak diderita lansia, saat ini
stroke merupakan salah satu penyakit yang banyak ditemukan terutama pada
usia 45 tahun ke atas (Riskesdas, 2007). Lansia dengan stroke yang di
rehabilitasi atau melanjutkan perawatan di rumah atau komunitas sangat
tergantung pada anggota keluarga, keluarga sebagai cargiver harus
mempunyai ketahanan baik fisik maupun emosional dalam melaksanakan
rehabilitasi. Chow (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa faktor fisik
dan emosional merupakan dua variabel pada caregiver pasca stroke yang
mempunyai resiko lebih besar terhadap penurunan kesehatan fisik dan
kesehatan emosional dibanding dengan pada caregiver yang merawat di
rumah sakit. Stroke dapat terjadi secara mendadak dan dapat berakhir dengan
kematian atau kecacatan (disability) yang menetap sehingga produktivitas dan
kualitas hidup lansia akan menurun, selanjutnya aktivitas sehari-hari akan
tergantung pada keluarga sehingga potensi keluarga sangat membantu dalam
memelihara atau meningkatkan kualitas lansia pasca stroke. Elizabeth (2008)
dalam penelitiannya menyatakan stroke menyebabkan disability, gejala-gejala
depresi terutama pada awal tahun pertama yang akan mempegaruhi kualitas
hidup pasca stroke. Stroke akan menyebabkan gangguan neurologi seperti
disabilitas seperti hemiparise, aphasia dan hemiplegia.
Prevalensi stroke di Indonesia ditemukan sebesar 8,3 per 1000 penduduk, dan
yang telah didiagnosis oleh tenaga kesehatan adalah 6 per 1000 penduduk.
(Riskesdas, 2007). Stroke merupakan pembunuh nomor 3 setelah penyakit
5
infeksi dan penyakit jantung koroner, ada sekitar 800-1000 kasus stroke
setiap tahunnya dan 25 % penderita stroke meninggal dunia di Indonesia.
Salah satu penyebab meningkatnya kasus stroke adalah kurangnya kesadaran
masyarakat untuk menerapkan pola hidup sehat (Mangoenprasodjo, 2005).
Penderita stroke di Indonesia terbanyak dan menduduki peringkat pertama di
Asia, jumlah yang menduduki urutan kedua adalah usia diatas 60 Tahun
(Yastroki, 2010).
Prevalensi stroke nasional adalah sebesar 0,8 % dari total jumlah penduduk
Indonesia. Angka ini belum dilihat dari variebel lain seperti tipe daerah, jika
dilihat dari penyebarannya berdasarkann tipe daerah prevalensi stroke secara
nasional di daerah perkotaan adalah 0,9 % dan di pedesaan sebesar 0,78 %
dari total penduduk. Salah satu daerah di Indonesia dengan angka stroke
melebihi angka nasional yaitu kota Pontianak dengan prevalensi sebesar 1,4
%. Prevalensi ini melebihi angka prevalensi Nasional sebesar 0,8 %.
(Departemen Kesehatan RI, 2007).
Tugas merawat pasien Stroke dalam waktu yang lama akan meningkatkan
beban yang dialami oleh caregiver keluarga. Beban yang ditanggung
caregiver akan menyebabkan cemas dan depresi. Kondisi ini diperberat
dengan kurangnya pengetahuan caregiver dalam merawat pasien di rumah.
Beban yang dialami oleh caregiver terjadi karena beberapa alasan seperti
merasa tugas merawat pasien sebagai tugas yang berat, ketidakjelasan tentang
perawatan pasien Stroke, hambatan dalam hubungan sosial selama merawat
pasien dan perasaan bahwa pasien harus dibantu maksimal dalam perawatan
diri. Caregiver yang mengalami beban tinggi, menunjukkan tingkat depresi
yang tinggi pula (Puymbroeck dan Rittman, 2005). Fenomena ini perlu
diantisipasi agar klien penerima bantuan pelaku rawat keluarga merasa puas
dan kualitas hidup dapat diperhatikan.
kerugian finansial yang cukup besar. Selain pasien tidak dapat bekerja karena
keterbatasan fisik, pengobatan stroke juga membutuhkan biaya yang tidak
sedikit. Anggota keluarga juga harus menyediakan cukup waktu untuk
merawat pasien. Besarnya dampak Stroke terhadap pasien, keluarga maupun
negara secara umum, memerlukan penatalaksanaan yang komprehensif tidak
hanya mencakup aspek medik dan rehabilitasi oleh tenaga kesehatan saja,
tetapi lebih memberdayakan keluarga sebagai caregiver. Caregiver yang
merawat stroke akan mengalami gangguan peran, frustasi, dan kurang
kemampuan dalam memenuhi peran mereka, Sehingga menyebabkan kurang
berhasilnya program rehabilitasi jangka panjang pada pasien Stroke yang
mengakibatkan penurunan kualitas hidup.(Greenberger et,al, 2009).
Koping terdiri atas upaya pemecahan masalah yang dihadapi oleh individu
dengan tuntutan yang sangat relevan dengan kesejahteraan, tetapi membebani
sumber seseorang (Lazarus, Averill, & Opton, 1974) dalam Friedman 2010).
Sementara Pearlin dan Schooler (1978, dalam Friedman 2010) menambahkan
pernyataan mengenai dugaan keefektifan respon (kognitif perilaku atau
presepsi) terhadap ketegangan hidup eksternal yang berfungsi untuk
mencegah, menghindari, dan mengendalikan distress emosional. Koping
adalah sebuah istilah yang terbatas pada perilaku atau kognisi aktual yang
ditampilkan seseorang, bukan pada seumber yang mereka gunakan. Koping
keluarga menunjukan tingkat analisis kelompok keluarga, koping keluarga
9
Berdasarkan dari konsep yang telah dijelaskan dan adanya kesenjangan antara
beberapa fakta tentang penyakit stroke seperti peningkatan prevalensi kasus,
penyebab kematian terbesar, rehabilitasi pasien di rumah yang inadekuat
dimana hal ini dipengaruhi oleh koping dan strategi koping keluarga sebagai
caregiver yang memberikan perawatan di rumah akan meningkatkan kualitas
hidup lansia pasca stroke, untuk itu keluarga sebagai cargiver perlu
mempertahankan koping dan strategi koping keluarga untuk meningkatkan
kualitas hidup lansia khususnya lansia dengan pasca stroke. Peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian tentang Hubungan Strategi Koping Keluarga
Dengan Kualitas Hidup Lansia Pasca Stroke di Kota Pontianak Kalimantan
Barat.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini akan menjelaskan tentang teori yang berhubungan dengan masalah
penelitian yang akan dilalukan dan akan digunakan sebagai bahan rujukan dalam
penelitian serta pembahasan. Tinjauan pustaka ini terdiri dari teori konsekuensi
fungsional, populasi lansia sebagai kelompok rentan (vulnareble population),
konsep stroke, pola koping keluarga dan strategi koping keluarga serta kualitas
hidup (QoL).
Dari penjelasan di atas lansia dengan pasca stroke dapat dikatakan sebagai
kelompok rentan dikarenakan faktor resiko yang meningkat dan
membutuhkan bantuan dan dukungan keluarga memelihara kondisi
kesehatannya. Ketidakmampuan, kecacatan serta kerusakan yang
merupakan masalah fisik yang sering terjadi pada lansia pasca stroke hal ini
akan meyebabkan ketergantungan klien pada keluarga, untuk itu strategi
koping sangat menentukan dalam peningkatan kualitas hidup lansia pasca
stroke, karena kerusakan neurologi yang dialami pasca stroke terjadi relatif
lama. Meningkatkan keamanan dan fungsi fisik, kesejahteraan serta kualitas
18
hidup lansia merupakan hasil yang digarapkan atau disebut dengan positif
konsekuensi fungsional. (Miller, 2012).
2.2.1.1. Fisik
Faktor fisik yang menimbulkan kerentanan antara lain, Penyakit
kronik dan disabilitias, penyakit hipertensi, sebanyan 87 % dari
mereka berusia 65 tahun atau lebih serta memiliki 1 atau lebih
kondisi kronik, dan 67 % dari populasi ini mempunyai 2 atau lebih
penyakit kronik. Temuan literatur sebelumnya telah difokuskan
pada bagaimana orang-orang dengan stroke adalah populasi yang
rentan, dihadapkan dengan banyak defisit kesehatan, termasuk
kurangnya layanan dukungan dan tindak lanjut yang memadai pada
saat perawatan di rumah (Davenport, et.all, 1996;. Johnston et al,
1998; Langhorne et al, 2000, Pawlak 2006).
2.2.1.2. Psikologi
Faktor psikologi yang remasuk karakterisitik populasi rentan yang
mengalami kondisi kesehatan mental (schizoprenia), depresi, dan
riwayat alkohol. Depresi pasca stroke merupakan kelainan
neuropsikologis yang sering dijumpai setelah serangan stroke,
depresi menyebabkan dampak negatif terhadap penyembuhan
stroke (Jeanette, 2004).
2.2.1.3. Sosioekonomi
Sementara dalam bidang sosialekonomi populasi yang rentan
termasuk dalam keluarga (abusive), tunawisma dan imigran.
(Flores & Tomany-Korman, 2008; Hausmann, Jeong, Bost, &
Ibrahim, 2008; Allender, 2014) akses masyarakat miskin terhadap
19
a. Stroke trombosis
Trombosis dapat terbentuk langsung pada arteri serebral atau
pada arteri organ lain seperti jantung. Trombosis berawal dari
suatu ateroma atau plag arterosklerosis pada dinding arteri yang
kemudian menstimulasi penumpukan material lemak. Plag
arterosklerosis yang membesar dapat menyumbat lumen arteri.
Proses ini diawali oleh injuri pada dinding arteri. Monosit dan
sel T teraktivasi menuju dinding arteri yang mengalami cedera.
Kumpulan monosit menstimulasi penumpukan material lemak
terutama kolesterol di dinding arteri. Pada saat yang bersamaan
sel otot halus berpindah dari tunika media ke dinding terdalam
arteri. Jaringan konektif dan elastik juga berakumulasi pada
dinding arteri yang mengalami cedera. Kumpulan lemak, sel
otot halus dan bentuk material deposit lainnya disebut ateroma
atau plag arterosklerosis. Ateroma mempersempit lumen arteri
dan memperlambat aliran darah sehingga terbentuk bekuan
darah (trombosis). Bekuan darah yang cukup banyak akan
menyumbat aliran darah melalui arteri yang sempit. Sehingga
area otak yang disuplai oleh arteri yan tersumbat ini mengalami
infark (Jules dan Lam, 2008).
22
b. Stroke embolik
Emboli adalah benda asing yang berpindah melalui aliran darah
dari satu arteri ke arteri lainnya. Emboli yang sering
menyebabkan Stroke iskemik adalah tromboemboli akibat dari
Atrial Fibrilasi atau bekuan darah yang lepas dari dinding arteri
menjadi embolus yang mengikuti aliran darah. Embolus ini
kemudian terhenti dan memblok salah satu arteri serebral
sehingga menyebabkan oklusi aliran darah ke area distal otak.
Oklusi arteri serebral kemudian menyebabkan infark sel otak
(Giraldo, 2007).
2.3.2.3. Patofisiologi
Stroke adalah penyakit gangguan peredaran darah ke otak, baik yang
disebabkan oleh penyumbatan maupun perdarahan, keduanya sangat
membahayakan sel otak yang disuplai darah oleh arteri tersebut. Pada
stroke iskhemia, penyumbatan dapat mengakibatkan terputusnya aliran
darah ke otak sehingga menghentikan suplai oksigen, glukosa, dan nutrisi
lainnya kedalam sel otak. Bila suplai darah ke otak terhenti selama kurang
dari satu menit, maka gejala yang terjadi dapat pulih, seperti kehilangan
kesadaran. Jika kekurangan oksigen berlanjut lebih dari beberapa menit,
dapat menyebabkan nekrosis dan infark. Pada perdarahan intraseebral,
darah berasal dari rupturnya pembuluh darah yang kemudian masuk
kedalam sel otak dan mengisi ruangan otak. Bila darah yang terkumpul
banyak, dapat menyebabkan meningkatnya tekanan intra cranial.
Trombosis Hemoragik
arteri Emboli Lacunar clot intraserebral/
subaracnoid
g. Hiperkolesterolemia
Apabila kolesterol dalam darah berlebih terutama LDL akan menyebabkan
terbentuknya plak pada pembuluh darah yang menyebebkan terganggunya
suplai darah ke otak.
h. Obesitas dan kurang aktivitas
Kegemukan merupakan salah satu resiko terjadinya stroke, hal ini
berkaitan dengan tingginya lemak dan kolesterol yaitu LDL lebih tinggi
dari HDL.
i. Konsumsi alkohol
Alkohol dapat menyebabkan ganggua pembuluh darah yang dapat memicu
hipertensi.
2.3.2.5. Sedangkan faktor resiko Stroke yang tidak dapat dimodifikasi adalah:
a. Usia
Semakin bertambah usia maka akan semakin meningkatkan resiko
stroke. Hal ini karena proses alamiah pada perubahan fisiologi tubuh.
b. Jenis kelamin
Laki-laki mempunyai resiko lebih besar untuk menderita stroke
dibandingkan wanita.
d. Riwayat keluarga
Orang memiliki riwayat stroke pada keluarga memiliki resiko lebih
besar untuk terkena stroke.
e. Pernah mengalami stroke
Riwayat pernah mengalami stroke beresiko untuk terkena stroke
berulang.
Tanda dan gejala Stroke berhubungan dengan letak arteri serebral yang
mengalami sumbatan atau perdarahan. Infark yang terjadi pada hemisfer
kiri dapat menyebabkan keluhan seperti : hemiparesis atau hemiplegia sisi
kanan, perilaku lambat, ganggan lapangan pandang sebelah kanan dan
disfagia. Sedangkan infark yang terjadi pada hemisfer kanan dapat
menimbulkan gejala seperti : hemiparesis atau hemiplegia sisi sebelah kiri
tubuh, defisit spasial dan perceptual, penilaian buruk, kelainan bidang
visual (Black dan Hawk, 2009).
Komplikasi paska stroke dapat berdampak secara fisik diatas juga dampak
terhadap psikologis, sosial, dan spiritual. Dampak ini apabila tidak disertai
dengan pola koping yang baik akan menyebabkan burden atau beban
keluarga meningkat dan distress emosional. Masalah-masalah spesifik
yang terjadi pada caregiver keluarga dalam merawat klien pasca stroke
adalah hilangnya kemandirian, merasa terkurung, kelelahan, kurangnya
waktu untuk melakukan tugas-tugas caregiver yang lain dan mengelola
terhadap kesehatan fisik (Zohar, 2009).
2.3.6.2.Keluarga
Friedman (2010) menyatakan bahwa penyakit yang terjadi
mempengaruhi status kesehatan anggota keluarganya. Pada
keluarga juga akan menyebabkan terjadinya kecemasan, masalah
biaya yang menjadi beban keluarga serta gangguan pekerjaan. Pola
koping dan strategi koping keluarga disini sangat menentukan
terhadap kualitas hidup klien pasca stroke. Chow (2006) faktor
fisik dan emosional merupakan dua variabel pada cargiver
keluarga pasca stroke yang mempunyai resiko lebih besar terhadap
penurunan fisik dan kesehatan emosional dibanding pada caregiver
yang merawat di rumah sakit. Prediktor kepuasan hidup lansia
adalah dukungan keluarga, tunjangan bulanan dan persepsi
terhadap kesehatan. Faktor yang utama yang mempengaruhi adalah
dukungan keluarga (Puymbroeck, 2005)
Tindakan pencegahan ini dapat dilakukan oleh keluarga sebagai cargiver agar
dapat mencegah atau meminimalisir dampak komplikasi dari stroke dan
meningkatkan status fungsional lansia pasca stroke sehingga akan mengurangi
beban keluarga secara umum. Konsekuensi fungsional negatif tentu tidak
diharapkan oleh keluarga akibat dari stroke ini, untuk itu penerapan strategi
koping keluarga merupakan faktor yang dapat menentukan keberhasilan dalam
peningkatan kulaitas hidup lansia pasca stroke.
2. Mengkonsumsi pisang.
Pisang mengandung potassium yang berfungsi meningkatkan
keteraturan denyut jantung, menurunkan tekanan darah, dan
mengaktifkan kontraksi jantung.
3. Melakukan kegiatan menghibur, seperti berkebun, memelihara ikan
hias, dan memancing.
4. Berjalan cepat, selama 15-30 menit untuk mengurangi kecemasan
5. Biasakan mempunyai kawan dekat yang dapat diajak tukar pendapat
dan melampiaskan emosi, baik gembira atau sedih sampai menangis.
6. Usahakan untuk menguap dan bersin sebebas bebasnya.
7. Menyanyi untuk memperbaiki pernafasan.
8. Mengurangi minum kopi dan makan cokelat.
9. Usahakan untuk melakukan yoga, menyepi, dan bersemedi.
2.3.8. Lingkungan yang baik bagi klien dengan stroke yang menjalani
rehabilitasi di rumah
2.3.8.1 Kamar tidur dekat dengan kamar mandi atau WC agar mudah
untuk dijangkau.
2.3.8.2. Adanya pegangan di kamar mandi yang digunakan.
2.3.8.3. Menyediakan alat bantu komunikasi jika diperlukan, misalnya
adalah dengan menyediakan kertas serta pena di dekat pasien.
2.3.8.4. Menyediakan alat bantu berjalan atau berpindah tempat bagi
pasien stroke seperti halnya kursi roda ataupun tongkat
(walker).
2.3.8.5 Menyediakan dan mendekatkan barang-barang yang sering
digunakan seperti buku-buku atau telepon.
2.3.8.6. Menyediakan alas kaki yang nyaman yang memudahkan untuk
leluasa dalam berjalan.
Karakteristik individu
Faktor Persepsi
Status Status Kualitas hidup
biologik / kesehatan
Gejala fungsional keseluruhan
fisiologik general
Karakteristik lingkungan
Koping terdiri atas upaya pemecahan masalah yang dihadapi oleh individu
dengan tuntutan yang relevan dengan kesejahteraannya, tetapi membebani
seseorang (Lazarus, Averill, 1974; Friedman 2010). Koping keluarga
didefinisikan sebagai proses aktif saat keluarga memanfaatkan sumber
keluarga yang ada dan mengembangkan perilaku serta sumber baru yang
akan memperkuat unit keluarga dan mengurangi dampak peristiwa hidup
penuh stress (McCubbin, 1979; Fridmend 2010). Koping merupakan respon
secara kognitif perilaku atau presepsi terhadap ketegangan eksternal sebagai
upaya untuk mencegah, menghindari atau mengendalikan distress
emosional.
2.5.2.1. Usia
Usia berhubungan dengan pengambilan keputusan, seperti
dalam menggunakan pelayanan kesehatan dimana semakin
betambah usia maka semakin tinggi tingkat kepercayaan untuk
mencari pertolongan ke petugas kesehatan dan semakin
menurun seiring dengan bertambahnya usia.
2.5.2.2. Etnis
Mengacu pada Ras, kebangsaan, suku dan bahasa. Faktor
kebudayaan sering menjadi faktor penghambat untuk mencari
pertolongan atau bantuan kesehatan. Faktor etnis memainkan
peranan penting dalam pemeliharaan kesehatan keluarga.
2.5.2.3. Jenis kelamin
Jenis kelamin laki-laki yang lebih dominan sebagai kepala
keluarga atau tulang punggung keluarga agar berdampak
terhadap beban keluarga.
2.5.2.4. Pendidikan
Pendidikan mempengaruhi terhadap sumber koping keluarga,
seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang baik akan
memiliki pemahaman yang baik terhadap masalah kesehatan
sehingga akan lebih mudah menerima pengaruh dari luar
termasuk informasi kesehatan.
2.5.2.5. Pendapatan
Faktor ekonomi merupakan risiko yang menentukan dalam
mencari pertolongan dalam menggunakan dalam fasilitas
46
2.5.2.6. Keyakinan
Spiritualitas dapat memberikan efek positif atau negatif perubahan
status kesehatan. Sistem keyakinan yang baik akan meningkatkan
koping yang efektif dalam meningkatkan kesejateraan dan
kaualitas hidup.
Setelah pasca rawat rumah sakit 85-90% dari penderita stroke yang
dirawat oleh anggota keluarga di rumah, termasuk sekitar 10-15%
dirawat oleh perawat yang bekerja di rumah (Wu, et al, 2009).
Meskipun pola jangka panjang perawatan berubah karena perubahan
struktur sosial dan keluarga, keluarga tetap utama sumber perawatan
jangka panjang (Wu & Lin, 1999; Wu. Et al, 2009). Anggota keluarga
terus mengambil utama tanggung jawab perawatan untuk penderita
stroke.
Strategi yang baik adalah harus terbuka dan jujur, hal ini sangan
penting bagi fungsi keluarga dan lebih penting selama periode
stress dan krisis keluarga. Anggota keluarga harus menunjukan
kejujuran, keterbukaan, pesan yang jelas perasaan serta afeksi
selama keluarga menghadapi masalah.
4) Reframing masalah keluarga (Penataan)
Mengkaji kemampuan keluarga untuk mendefinisikan kembali
tentang stress atau penyebab stress agar lebih mudah dikelola.
Pendeketan terhadap risk managment mempunyai implikasi
terhadap well being (kesejahteraan) individu dan direkomendasikan
untuk dilakukan pengkajian secara komprehensif sehingga tahu apa
yang mereka butuhkan (Clarke. et, all, 2010).
5) Penerimaan secara pasif.
Keluarga dapat menerima masalah dan tidak terlalu reaktif dengan
masalah yang dihadapai karena keluarga yakin masalah akan
selesai.
McCubbin, Larsen dan Olson (1987) dalam Friedman (2010) juga menyebutkan
bahwa koping keluarga dengan Double ABCX model terdiri dari faktor sumber
kekuatan keluarga atau strategi eksternal yang meliputi sosial support, reframing,
penggunaaan sumber support spiritual serta usaha keluarga dalam mencari dan
menerima informasi dan penerimaan pasif. Pengunaan koping strategi ini untuk
mengidentifikasi susunan perilaku koping keluarga (internal dan eksternal).
Ketergantungan
Beban keluarga
Karakteristik Keluarga:
1. Usia
2. Jenis kelamin Kualitas hidup lansia
3. Pendidikan
4. Etnis
5. Tipe keluarga
6. Pendapatan keluarga
7. Keyakinan
8. Hubungan keluarga
Skema 2.1 Kerangka teori
(Teori konsekuensi fungsional dan HRQOL, modifikasi dari Miller, 2012; Wilson dan
Cleary, 1995, Mccubin,1991; Friedman, 2010; Stuart&Laraia, 2005).
53
BAB 3
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN DEFINISI OPERASIONAL
Bab ini menjelaskan tentang kerangka konsep, hipotesis dan definisi operasional.
antar variabel yang diteliti (Dharma, 2011). Kerangka konsep ini terdiri dari
variabel dependen dan independen serta variaebel confounding. Variabel
independennya adalah strategi koping keluarga, variabel dependennya kulitas
hidup pada lansia pasca stroke. Variabel confounding nya adalah usia, jenis
kelamin, pendidikan, penghasilan keluarga, hubungan keluarga jenis stroke
dan lamanya menderita stroke. Kerangka konsep menjelaskan variabel-
variabel yang akan diteliti dan hubungan antar variabel. Kerangka konsep
merupakan bagian dari kerangka teori yang menjadi panduan dalam penelitian
yang dilakukan oleh peneliti.
Hal yang paling penting proses dan strategi keluarga berfungsi sebagai proses
52
atau mekanisme vital yang memfasilitasi keluarga, tanpa strategi koping
keluarga yang efektif, fungsi afektif, sosialisasi, ekonomi dan perawatan
kesehatan tidak dapat dicapai dengan adekuat. Proses dan strategi koping
sangat mendasari yang memungkinkan keluarga mengukuhkan fungsi
keluarga yang diperlukan. Seperti yang dikemukakan oleh Sastroasmoro &
Ismael ( 2010) Variabel independen atau variabel bebas adalah variabel yang
apabila diubah, akan mengakibatkan perubahan variabel lain.
55
Pada skema 3.1 akan diuraikan kerangka konsep untuk variabel penelitian
sebagai berikut :
Karakteristik Lansia :
1. Usia Lansia
2. Jenis Kelamin Lansia
3. Pendidikan Lansia
4. Lamanya stroke
5. Tipe stroke
Karakteristik Keluarga :
1. Hubungan keluarga
2. Tipe keluarga
3. Pendapatan keluarga
3.2. Hipotesis
Hipotesis adalah pernyataan awal peneliti mengenai hubungan antara variabel
yang merupakan jawaban peneliti tentang kemungkinan hasil penelitian
(Dharma, 2011). Hipotesis dalam penelitian terdiri dari hipotesis mayor dan
hipotesis minor. Polit dan Beck (2004) menyatakan bahwa hipotesis mayor
merupakan dugaan terhadap hubungan antara dua atau lebih variabel
independen dan atau dua atau lebih variabel dependen. Hipotesis minor
adalah hipotesis yang menyatakan dugaan hubungan antara satu variabel
independen dan satu variabel dependen.
56
Variabel Independen
Strategi Serangakaian Kuesioner strategi Skor hasil Interval
koping perilaku yang yang koping keluarga (F- strategi koping
keluarga diharapkan sesuai keluarga
dengan posisi sosial COPES) (F_COPES)
yang diberikan oleh dalam rentang
keluarga untuk 30-150
meningkatkan
kualitas hidup lansia
pasca stroke .
Variabel Confounding
Lansia
Usia Lama hidup lansia Angket data Angka dalam Rasio
pasca stroke mulai demografi dalam tahun
lahir sampai
sekarang.
Jenis kelamin Karakteristik biologi Angket data 1= Perempuan Nominal
yang membedakan demografi
dua individu 2= Laki-laki
Pendidikan Pendidikan formal Angket data 1. SD Ordinal
terakhir yang telah demografi 2. SMP
diselesaikan oleh 3. SMA
lansia pasca stroke 4. Sarjana
5. Pasca
Sarjana
keluarga
Tipe stroke Jenis stroke terbagi Angket data 1. Stroke Nominal
menjadi stroke demografi hemoragik
Hemoragik dan non 2. Non
Hemoragik. hemoragik
59
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.2.2 Sampel
Sampel merupakan sekelompok individu yang merupakan bagian dari
populasi terjangkau dimana peneliti langsung mengumpulkan data atau
melakukan pengamatan/pengukuran pada unit ini. Pada dasarnya penelitian
dilakukan pada sampel yang terpilih dari populasi terjangkau (Dharma,
2011). Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang akan diteliti
(Arikunto, 2006). Sampel pada penelitian ini adalah lansia pasca stroke dan
61
keluarga utama yang merawat lansia pasca stroke dan tinggal di wilayah
Kota Pontianak, dengan kriteria inklusi sebagai berikut:
4.2.2.1. Lansia
a. Lansia pasca stroke yang menjalani rehabilitasi pasca rawat rumah
sakit.
b. Bersedia menjadi responden.
c. Kesadaran composmentis
d. Bisa berkomunikasi dengan baik
e. Tinggal dengan keluarga
4.2.2.2. Keluarga
a. Anggota keluarga (pelaku rawat utama) yang merawat lansia
b. Tinggal serumah dengan lansia pasca stroke
c. Bersedia menjadi responden dalam penelitian
Metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik total
sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan mengambil seluruh
anggota populasi sebagai responden atau sample (Arikunto, 2006).
Sample dalam penelitian ini adalah seluruh lansia stroke pasca rawat
rumah sakit yang berusia 60 tahun atau lebih bertempat tinggal di wilayah
kota Pontianak, jumlah sample dalam penelitian ini sebanyak 58 orang.
4.3 Tempat Penelitian dan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Pontianak Kalimantan Barat pemilihan
kota Pontianak ini atas dasar bahwa jumlah penderita stroke terus mengalami
peningkatan dan kota Pontianak merupakan kota terbesar prevalensinya di
wilayah Kalimantan Barat. Berdasarkan laporan di Dinas Kota Pontianak
tahun 2014 diperoleh data sebanyak 64 lansia pasca stroke yang melakukan
rawat jalan di puskesmas yang ada di kota Pontianak sementara berdasarkan
data dari Medical Record RSUD Dr. Soedarso pontianak data pasien pasca
stroke yang sudah pulang dalam 3 bulan terakhir sebanyak 77 orang. Jumlah
tersebut yang berdomisili di wilayah kota Pontianak sedangkan pasien lansia
pasca stroke yang berdomisili di luar wilayah kota pontianak tetapi
melakukan kunjungan ke puskesmas kota tidak termasuk dalam jumlah
62
Instrumen penelitian adalah alat ukur yang digunakan oleh peneliti untuk
mengumpulkan data. Instrumen yang telah dikembangkan oleh peneliti
berdasarkan kajian literatur. Instrumen penelitian dikelompokkan menjadi
dua kelompok yaitu instrumen untuk keluarga dan instrumen untuk lansia.
Instrumen untuk lansia terdiri dari bagian A, bagian B dan C sedangkan
instrumen untuk keluarga terdiri bagian A dan bagian B instrumen
penelitian Penjelasan tentang masing-masing kuesioner adalah sebagai
berikut :
4.6.1. Instrumen lansia bagian A
Instrumen lansia bagian A berisi pernyataan tentang biodata lansia seperti
usia, jenis kelamin, pendidikan, jenis stroke dan lama lansia menderita
stroke.
4.6.2. Instrumen lansia bagian B
Instrumen bagian B untuk mengidentifikasi kualitas hidup lansia pasca
stroke. Kualitas hidup lansia tersebut terdiri dari kesehatan fisik, kesehatan
psikologi, hubungan sosial, lingkungan dan dua item lainnya mengukur
kualitas hidup secara keseluruhan dan kesehatan secara umum. Kuesioner
kualitas hidup yang digunakan berdasarkan kuesioner WHOQOL-BREF
(terlampir), Jumlah keseluruhan pernyataan sebanyak 26 pernyataan. Hasil
ukur berupa skor dengan rentang antara 26-130 dengan skala likert seperti
sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju dan sangat tidak setuju dan
dalam skala interval.
4.6.3. Instrumen keluarga bagian A
Instrumen keluarga bagian A berisi pernyataan tentang data demografi
keluarga seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, hubungan keluarga, tipe
keluarga dan pendapatan kepala keluarga.
4.6.4. Instrumen keluarga bagian B
Instrumen keluarga bagian A berisi tentang pernyataan strategi koping
keluarga dalam merawat lansia pasca stroke. Kuesioner ini diisi oleh
anggota keluarga yang merawat lansia dan tinggal bersama klien.
Kuesioner strategi koping tersebut dibagi menjadi lima yaitu dukungan
sosial, Reframing (penataan), dukungan spiritual, usaha mencari dan
66
dimensi dari alat ukur ini sesuai dengan konsep kualitas hidup yang
akan diteliti. Validitas konstruk dari dari WHOQOL-BREF ditentukan
berdasarkan uji statistik. Validitas konstruk WHOQOL-BREF akan
diuji menggunakan uji homogenitas item yaitu menentukan apakah skor
setiap item pertanyaan berkorelasi dengan skor total (item-total
correlation). Uji statistik yang akan digunakan untuk menguji korelasi
antara skor item dengan skor total adalah Pearson corelation. Uji
statistik yang digunakan dalam validitas konstruk menguji apakah item-
item pertanyaan yang mengukur hal yang sama berkorelasi tinggi satu
dengan yang lainnya atau sebaliknya (Sugiyono, 2011; Dharma, 2011).
Peneliti menggunakan uji korelasi berupa Pearson Product moment
dengan membandingkan r hitung dengan r tabel. Jika nilai r hitung
lebih besar dari r tabel, maka pertanyaan tersebut dinyatakan valid. Jika
nilai r hitung lebih kecil dari r tabel maka pertanyaan tersebut tidak
valid. Jika pertanyaan valid maka dapat dilanjutkan dengan uji
reliabilitas.
4.8.1.1. Editing
Tujuan dari proses ini adalah untuk memastikan bahwa data atau jawaban
dari responden yang sudah terkumpul sudah lengkap, jelas, relevan, dan
konsisten terhadap pertanyaan-pertanyaan yang ada pada kuesioner.
Apabila ada pertanyaan yang belum diisi oleh keluarga, maka peneliti
mengklarifikasi atau mengkonfirmasi kembali kepada lansia maupun
keluarga untuk dapat memberikan respon yang valid dengan memberikan
jawaban yang sesuai dengan pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner.
4.8.1.2.Coding
71
lebih dari 2 dilakukan uji Anova. Berikut ini uji statistik yang
digunakan untuk analisis bivariat:
Syarat dalam penggunaan uji parametrik independent t-tes, Anova dan korelasi
Pearson pada analisis bivariat adalah data berdistribusi normal. Sehingga sebelum
melakukan analisis bivariat, peneliti melakukan uji distribusi normal data dulu
74
untuk setiap variabel yang berskala numerik. Uji distribusi normal data pada
penelitian ini dilakukan dengan uji one sample Kolmogorov-Smirnov, pemilihan
uji ini karena besar sampel pada penelitian lebih dari 50 responden. Data
dinyatakan berdistribusi normal jika nilai probabilitas hasil uji lebih dari 0,05 (p >
0,05).
atau SD), maka asumsi ini telah terpenuhi. Uji asumsi eksistensi
sudah terpenuhi dalam penelitian ini.
2) Asumsi independensi
Asumsi ini terpenuhi jika hasil nilai dari Durbin Watson
diantara -2 sampai dengan +2.
3) Asumsi linieritas
Asumsi linieritas dapat diketahui dengan menggunakan uji
ANOVA, jika nilai ρ lebih kecil dari alpha (ρ< 0,05) maka
model berbentuk linier. Asumsi linieritas dapat terpenuhi dalam
penelitian ini.
4) Asumsi homoscedascity
Homoscedascity dapat dilihat dengan cara pembuatan plot
residual. Asumsi homoscedascity dapat terpenuhi jika titik
tebaran menunjukan tidak berpola tertentu serta dapat menyebar
merata di sekitar garis titik nol. Asusmsi seperti ini sudah
terpenuhi didalam penelitian ini.
5) Asumsi normalitas
Normalitas diketahui dengan melihat hasil bentuk kurve normal
dan P-P Plot residual, apabila terdapat data menyebar di sekitar
diagonal dan mengikuti arah garis diagonal, maka asumsi
normalitas telah terpenuhi, sehingga pada penelitian ini telah
memenuhi untuk asumsi normalitas.
6) Diagnostik multicollinearity
Asumsi ini dapat terpuhi jika nilai VIF ≤ 10. Nilai VIF dalam
penelitian ini jika semua kurang dari 10 maka asumsi ini telah
terpenuhi. Langkah dalam menganalisis multivariat akan
dijelaskan lebih rinci pada hasil penelitian.
KUESIONER DITUJUKAN KEPADA KELUARGA UNTUK MENILAI KOPING
KELUARGA DENGAN PASCA STROKE /FAMILY CRISIS ORIENTED
PERSONAL SCALE (F-COPES)
Petunjuk penilaian :
77