Anda di halaman 1dari 89

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Stroke merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar di negara maju

maupun negara berkembang. Penyakit stroke menempati peringkat kedua

penyebab kematian dengan laju mortalitas 18-37% (Pudiastuti,

2011).Penyakit ini dapat menimbulkan kematian dan kecacatan neurologis

karena mengakibatkan gangguan peredaran darah di otak dan menyebabkan

kematian jaringan otak (Burns, 2019). Saat ini stroke merupakan penyakit

saraf yang menjadi fokus perhatian karena dapat menyerang setiap orang

tanpa memandang ras, jenis kelamin ataupun usia (Padilla, 2019). Cedera

vaskular serebral (CVS) atau strokesecara umum terbagi atas stroke iskemik

dan stroke hemoragik. Berdasarkan kedua tipe tersebut, stroke iskemik lebih

sering terjadi daripada stroke hemoragik, yaitu 85% dan stroke hemoragik

yaitu 15% (Haryono & Utami, 2019).

Organisasi Kesehatan Dunia, WHO (2018) mendefinisikan stroke sebagai

suatu sindrom klinis dengan gejala berupa gangguan fungsi otak yang dapat

menimbulkan kematian maupun kelainan yang menetap lebih dari 24 jam

akibat gangguan vaskuler (Burns, 2019). Ada dua klasifikasi umum stroke

yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Stroke iskemik terjadi karena

tersumbatnya pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke otak

berkurang atau terhenti, sedangkan stroke hemoragik merupakan stroke yang

disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah ke otak (Irianto, 2018).


2

Stroke berisiko terjadi pada semua kelompok usia dan meningkat dengan

bertambahnya usia. Orang berusia 55 tahun atau lebih memiliki risiko stroke

yang lebih tinggi daripada usia dibawah 55 tahun (Haryono & Utami, 2019).

Faktor risiko stroke spesifik di Indonesia lebih besar terjadi pada laki-laki,

pada usia yang semakin tua, tingkat pendidikan yang rendah, tidak bekerja,

riwayat pernah (mantanperokok) atau perokok, menderita diabetes mellitus,

hipertensi, obesitas abdominal, dan mengalami gangguan mental emosional

atau stres (Ikawati & Anurogo, 2018).Serangan stroke dapat menyerang siapa

saja terutama penderita penyakit kronis, seperti hipertensi, diabetes mellitus,

jantung, kadar kolesterol tinggi, pengerasan pembuluh darah, penyempitan

pembuluh darah, penebalan pembuluh darah dan obesitas. Akan tetapistroke

lebih rentan terjadi pada penderita hipertensi (Pudiastuti, 2011).

Kejadian stroke di negara maju cenderung menurun karena usaha pencegahan

primer yang berhasil terutama dalam hal pencegahan terhadap hipertensi.

Namun di negara berkembang, termasuk Indonesia angka kejadian stroke

justru meningkat (Irianto, 2018). Tingginya kasus stroke ini salah satunya

dipicu oleh rendahnya kepedulian masyarakat dalam mengatasi berbagai

risiko yang menimbulkan stroke. Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki)

menyebutkan, angka kejadian stroke menurut data dasar Rumah Sakit 63,2

per 100.000 penduduk usia di atas 65 tahun, sedangkan jumlah penderita yang

meninggal dunia lebih dari 125.000 jiwa (Burns, 2019). Di Indonesia usia

penderita stroke umumnya berkisar 45 tahun keatas, gaya hidup modern dan

serba instanisasi berpeluang besar bagi seseorang untuk terserang stroke di

usia muda (Pudiastuti, 2011).


3

Stroke dapat menyebabkan cacat sementara atau permanen, tergantung pada

berapa lama otak kekurangan aliran darah dan bagian mana yang terdampak

(Haryono & Utami, 2019). Komplikasi yang biasa terjadi 80-90% bermasalah

dalam berpikir dan mengingat, 80% penurunan parsial atau total gerakan

lengan dan tungkai, 70% menderita depresi dan 30% mengalami kesulitan

bicara, menelan, membedakan kanan dan kiri (Burns, 2019). Dampak lain

yang ditimbulkan terjadinya perubahan emosional, penderita stroke akan

lebih sulit mengendalikan emosi, merasa cemas, sedih, rendah diri dan

hilangnya kepercayaan diri (Haryono & Utami, 2019). Keadaan tersebut

dapat menyebabkan munculnya keputusasaan yang berdampak negatif bagi

penderita stroke.

Keputusasaan merupakan keadaan emosional ketika individu tidak

melihat adanya pilihan pribadi atau pilihan alternatif untuk memecahkan

masalah yang terjadi dalam dirinya (Sutejo, 2019). Keputusasaan terjadi

ketika seseorang sedang melalui masa-masa sulit atau pengalaman yang tidak

menyenangkan dan tidak melihat adanya solusi untuk mencapai apa yang

diinginkan, meskipun merasa dalam kendali (NANDA International,

2017).Seseorang mungkin merasa kewalahan, terjebak,tidak aman atau

memiliki banyak keraguan diri karena banyak tekanan dan kehilangan

sehingga berakhir menjadi depresi (Nurseslabss, 2020).

Data di Amerika menyatakan bahwa sekitar 10-27% dari 600.000

penderita stroke didiagnosis menderita depresi berat dalam waktu setahun

sejak awal mengalami stroke, 15-40% mengalami gejala depresi dalam dua

bulan pertama setelah stroke. Hal ini diakibatkan pasca terserang stroke
4

mengakibatkan tingkat ketergantungan pasien terhadap orang lain menjadi

semakin meningkat, terutama pasien yang mengalami disabilitas (AHA,

2021).Disabilitas yang dialami pasien pasca stroke berupa kelumpuhan,

kecacatan, gangguan berkomunikasi, gangguan emosi, nyeri, gangguan tidur

dan disfagia (Padila, 2019).Terdapat kira-kira 2 juta orang bertahan hidup

dari stroke yang mempunyai beberapa kecacatan. Angka kejadian stroke

adalah 200 per 100.000 penduduk dalam 1 tahun diantara 100.000 penduduk

maka 800 orang akan menderita stroke dan beresiko terjadinya disabilitas

(Padilla, 2011). Perubahan fisiologis ini, mengakibatkan tekanan berat dan

menggangu psikologis sehingga pasien stroke perlu melakukan proses kontrol

berupa mekanisme koping (Dharma,2011).

Mekanisme koping merupakan usaha individu untuk mengatasi stres

psikologis (Sutejo, 2019). Pasien dapat menggunakan bentuk mekanisme

koping berupa emosional, kognitif, sistem pendukung serta pengkajian risiko

(Black & Hawks, 2014). Pengkajian koping yang digunakan pasien penting

dilakukan untuk menilai respon emosi pasien terhadap penyakit yang

dideritanya. Selain itu pengkajian digunakan untuk melihat perubahan peran

pasien dalam keluarga dan masyarakat atau digunakan untuk melihat

pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga maupun

masyarakat (Haryono & Utami, 2019).

Berdasarkan data World Health Organization (2018), stroke menempati

peringkat kedua penyumbang kematian terbanyak, mencapai 6,7 juta pada

tahun 2012 dan pada tahun 2018 prevalensi stroke naik dari 7% menjadi

10,9%. Sebanyak 69% stroke terjadi di negara dengan pendapatan rendah,


5

menengah dan negara dunia ketiga. Sebuah studi melaporkan bahwa ditahun

2013, terdapat 25,7 juta penderita stroke yang bertahan hidup, 6,5 juta

meninggal karena stroke dan 113 juta disability-adjusted life-years (DALYs)

hilang karena stroke, dan 10,3 kasus baru stroke. Sebagian besar beban stroke

dijumpai di negara maju, menyumbang 75,2% kematian terkait stroke dan

kehilangan (DALYs) 81,0% (Ikawati & Anurogo, 2018).

American Heart Association (2020), menyatakan pada tahun 2017, ada 1,12

juta insiden stroke di Uni Eropa, 9,53 juta penderita stroke, 0,46 juta

kematian dan 7,06 juta hidup yang disesuaikan dengan kecacatan yang hilang

karena stroke. Pada tahun 2047, AHA memperkirakan tambahan 40.000

insiden stroke (+3%) dan 2,58 juta kasus umum (+27%). Sebaliknya, 80.000

lebih kematian (-17%) dan 2,31 juta lebih sedikit kehilangan tahun hidup

yang disesuaikan dengan kecacatan (-33%) diproyeksikan. Peningkatan

terbesar dalam insidendan tingkat prevalensi yang disesuaikan dengan usia

diharapkan di Lituania (rata-rata perubahan persentase tahunan, masing-

masing 0,48% dan 0,7%), dan penurunan terbesar di Portugal (-1,57% dan -

1,3%). Rata-rata persentase perubahan tahunan dalam tingkat kematian akan

berkisar dari -2,86% (Estonia) hingga -0,08% (Lithuania), dan tahun hidup

yang disesuaikan dengan disabilitas dari -2,77% (Estonia) hingga-0,23%

(Rumania).Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018,

prevalensi stroke (permil) tertinggi ada pada Provinsi Kalimantan Timur

(14,7‰) dan terendah pada Provinsi Papua (4,1‰). Pada tahun 2018 Provinsi

Riau menempati urutan ke 24 untuk penderita stroke di Indonesia dan kasus


6

stroke tertinggi terjadi pada kelompok usia 65-74 tahun (4,91‰) dan terendah

pada kelompok usia 15-34 tahun (0,08‰) (Kemenkes RI, 2018).

Penelitian yang dilakukan oleh Irza, Rizka, Eka, dan Stephani (2020),

menunjukkan sebagian besar pasien memiliki sķtatus fungsional dengan

kategori ketergantungan ringan sebanyak 17 orang sedangkan yang paling

sedikit adalah status fungsional dengan kategori mandiri yaitu sebanyak 5

orang. Tingkat ketergantungan dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari yang

ditemukan pada responden penelitian dapat dipengaruhi oleh usia mulai dari

usia 35 tahun sampai >65 tahun, kondisi penyakit dan program rehabilitasi.

Hasil penelitian juga didapatkan data 14 responden memiliki harga diri tinggi,

34 responden memiliki harga diri sedang dan 5 responden yang memiliki

harga diri rendah.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Sanci, Yulius dan Rosiana (2019)

menyatakanperubahan fisik yang dialami pasien stroke dapat menimbulkan

respon psikososial yang merupakan respon terhadap suatu perubahan dalam

kehidupan yang bersifat psikologis dan sosial. Respon yang ditunjukkan oleh

seseorang dapat berupa respon adaptif dan maladaptif. Respon adaptif adalah

respon positif yang dikeluarkan seseorang terhadap suatu masalah sedangkan

respon maladaptif adalah respon negatif yang dikeluarkan seseorang terhadap

suatu masalah. Respon adaptasi pasien dapat ditingkatkan dengan cara

mengurangi stressor dan meningkatkan mekanisme koping terhadap stressor.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan di Rumah Sakit Prima Pekanbaru

ruangan Poinsettia pada tanggal 16 September 2021, kepada 10 responden


7

diperoleh hasil bahwa mayoritas tingkat ketergantungan responden adalah

ketergantungan ringan sebanyak 4 orang, ketergantungan sedang sebanyak 2

orang dan ketergantungan total sebanyak 4 orang. Survey awal yang

dilakukan juga menunjukkan 3 orang mengalami keputusasaan sedang dan 7

orang mengalami keputusasaan berat.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul“Hubungan Mekanisme Koping dan disabilitas dengan

Keputusasaan pada Pasien Stroke Iskemik di Rumah Sakit Prima Pekanbaru”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah “Apakah ada hubungan mekanisme koping dan disabilitas dengan

keputusasaan pada pasien stroke iskemik di RS Prima Pekanbaru ?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah diketahuinya

hubunganmekanisme koping dan disabilitas dengan keputusasaan pada

pasien stroke iskemik di Rumah Sakit Prima Pekanbaru.

2. Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi gambaran karakteristik pasien yang mengalami stroke

iskemik berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status

perkawinan, pekerjaan dan lama menderitastroke iskemik pada pasien

strokeiskemik di Rumah Sakit Prima Pekanbaru.


8

b. Mengidentifikasi gambaran mekanisme koping yang digunakan,

disabilitas dan keputusasaan pada pasien stroke iskemik di Rumah

SakitPrima Pekanbaru.

c. Mengetahui hubungan mekanisme koping dengan keputusasaan pada

pasien stroke iskemik di Rumah Sakit Prima Pekanbaru.

d. Mengetahui hubungan disabilitas dengan keputusasaan pada pasien

stroke iskemik di Rumah Sakit Prima Pekanbaru.

e. Mengidentifikasi faktor potensial counfoundingyang terdiri dari usia,

jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, status perkawinan, lama

menderita stroke, mekanisme koping dan disabilitas dengan

keputusasaan pada pasien stroke iskemik di Rumah Sakit Prima

Pekanbaru.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Masyarakat dan Responden

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi masyarakat

khususnya pada penderita stroke iskemik dengan memberikan informasi

mengenai mekanisme koping yang adaptif dan efikasi diri yang tinggi

dan dapat meningkatkan motivasi diri terhadap kesembuhan.

2. Bagi Profesi Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi, studi

literatur, serta pengembangan ilmu pengetahuan dalam memberikan

asuhan keperawatan pada pasien stroke iskemik khususnya dalam

memberikan dukungan emosional..


9

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan

wawasan serta menjadi landasan penelitian selanjutnya untuk meneliti

intervensi yang tepat dalam mengatasi keputusasaan yang dialami

pasien.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan teori

1. Konsep Stroke

a) Defenisi

Stroke adalah gangguan fungsi saraf yang terjadi mendadak akibat

pasokan darah kesuatu bagian otak sehingga peredaran darah ke otak

menjadi terganggu. Kekurangan asupan oksigen ke otak dapat

memunculkan kematian sel saraf pada saraf neuron. Gangguan fungsi

otak ini akan mengakibatkan terjadinya stroke (Irianto, 2017).


10

Stroke atau cerebrovaskuler (CVA) terjadi secara tiba-tiba dan

menyebabkan kerusakan neurologis. Kerusakan neurologis tersebut

dapat disebabkan oleh adanya sumbatan total atau parsial pada satu

atau lebih pembuluh darah serebral sehingga menghambat aliran darah

ke otak. Hambatan tersebut dapat terjadi akibat pecahnya pembuluh

darah atau penyumbatan pembuluh darah oleh gumpalan (clot).

Penghambatan aliran darah dapat menyebabkan kerusakan terhadap

jaringan otak karena berkurangnya pasokan oksigen dan nutrisi

(Ikawati, 2018).

Stroke iskemik adalah stroke yang terjadi akibat penurunan aliran

darah ke jaringan otak akibat dari sumbatan atau penyempitan

pembuluh darah (Afrianto, Sarosa & Setyawan, 2014).

2) Etiologi

Menurut Sya’diyah (2018), beberapa keadaan dapat menyebabkan

stroke,

a) Thrombosis Cerebral

Thrombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami

oklusi sehingga menyebabkan ischemi jaringan otak yang dapat

menimbulkan oedema dan kongesti disekitarnya. Thrombosis

biasanya terjadi pada orangtua yang sedang tidur atau bangun tidur.

Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis dan

penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan ischemi

cerebral. Tanda dan gejala neurologis sering kali memburuk pada


11

48 jam setelah thrombosis. Beberapa keadaan dibawah ini dapat

menyebabkan thrombosis otak :

(1) Atherosclerosis

Atherosclerosis adalah mengerasnya pembuluh darah serta

berkurangnya kelenturan atau elastisitas dinding pembuluh

darah. Manifestasi klinis atherosclerosis bermacam-macam.

Kerusakan dapat terjadi melalui mekanisme berikut :

(A) Lumen arteri menyempit dan mengakibatkan

berkurangnya aliran darah

(B) Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya

thrombosis

(C) Merupakan tempat terbentuknya thrombus, kemudian

melepaskan kepingan thrombus (embolus)

(D) Dinding arteri menjadi lemah dan terjadi aneurisma

kemudian robek dan terjadi perdarahan

(2) Hypercoagulasi pada polycythemia

Darah bertambah kental, peningkatan viskositas atau

hematocrit meningkat dapat melambatkan aliran darah cerebral

(3) Arteritis (radang pada arteri)

b) Emboli

Emboli cerebral merupakan penyumbatan pembuluh darah otak

oleh bekuan darah, lemak, udara. Pada umumnya emboli berasal

dari thrombus di jantung yang terlepas dan menyumbat sistemarteri

cerebral. Emboli tersebut berlangsung cepat dan gejala timbul


12

kurang dari 10 sampai 30 detik. Beberapa keadaan dibawah ini

dapat menimbulkan emboli :

(1) Katup-katup jantung yang rusak akibat Rheumatik Hearth

Disease (RHD)

(2) Myokard infark

(3) Fibrilasi

Keadaan aritmia menyebabkan berbagai bentuk pengosongan

ventrikel sehingga darah terkumpul dan terbentuk gumpalan

kecil dan sewaktu-waktu kosong sama sekali dengan

mengeluarkan embolus-embolus kecil. Endocarditis oleh

bakteri dan non bakteri,

menyebabkan terbentuknya gumpalan-gumpalan pada

endocardium.

c) Hemorhagi

Perdarahan intrakranial atau inta cerebral termasuk perdarahan

dalam ruang subarachnoid atau kedalam jaringan otak sendiri.

Perdarahan ini dapat terjadi karena aterosklerosis dan hipertensi.

Akibat pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan perembesan

darah kedalam parenkhim otak yang dapat mengakibatkan

penekanan, pergeseran dan pemisahan jaringan otak yang

berdekatan sehingga otak akan membengkak, jaringan otak tertekan

sehingga terjadi infark otak, oedema dan mungkin herniasi otak.

Penyebab perdarahan otak yang paling lazim terjadi :

a) Aneurysma Berry. Biasanya efek kongenital


13

b) Aneurysma fusiformis dari Artherosklerosis

c) Aneurysma Myocotik dari vasculitis nekrose dan emboli septis

d) Malformasi Arteriovenous, terjadi hubungan persambungan

pembuluh darah arteri, sehingga darah arteri langsung masuk

vena.

e) Rupture arteriol cerebral, akibat hipertensi yang menimbulkan

penebalan dan degenerasi pembuluh darah

d) Hypoksia Umum

(1)Hipotensi yang parah

(2)Cardiac pulmonary arrest

(3)Cardiac output turun akibat aritmia

e) Hypoksia Setempat

(1)Spasme arteri cerebral yang disertai perdarahan sub Arachnoid

(2)Vasokontriksi arteri otak disertai sakit kepala migrain.

3) Klasifikasi Stroke

1) Stroke Iskemik

Stroke iskemik dapat terjadi akibat penurunan atau

berhentinya sirkulasi darah sehingga neuron-neuron tidak

mendapatkan substrat yang dibutuhkan (Ikawati, 2018). Sekitar

80% kasus stroke adalah stroke iskemik, Stroke iskemik terjadi

ketika arteri ke otak menyempit atau terhambat, menyebabkan


14

aliran darah sangat berkurang (iskemia) (Haryono, 2019). Stroke

iskemik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut :

a) Stroke trombotik

Stroke trombotik terjadi ketika gumpalan darah (thrombus)

terbentuk disalah satu arteri yang memasok darah ke otak.

Gumpalan tersebut disebabkan oleh deposit lemak (plak)

yang menumpuk di arteri dan menyebabkan aliran darah

berkurang (aterosklerosis) atau kondisi arteri lainnya.

b) Stroke embolik

Stroke embolik terjadi ketika gumpalan darah atau debris

lainnya menyebar dari otak dan tersapu melalui aliran darah.

Jenis gumpalan darah ini disebut embolus. Stroke embolik

berkembang setelah oklusi arteri oleh embolus yang

terbentuk di luar otak. Sumber umum embolus yang

menyebabkan stroke adalah jantung setelah infark

miokardium atau fibrilasi atrium, dan embolus yang merusak

arteri karotis komunis atau aorta.

2). Stroke Hemoragik

Stroke hemoragik merupakan stroke perdarahan yang terjadi

karena dinding pembuluh darah otak pecah atau bocor (Irianto,

2018). Perdarahan otak dapat disebabkan oleh banyak kondisi

yang mempengaruhi pembuluh darah, antara lain :

a) Tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol (hipertensi)

b) Overtreatment dengan antikoagulan (pengencer darah)


15

c) Melemahnya dinding pembuluh darah (aneurisma)

Penyebab perdarahan yang kurang umum adalah pecahnya jalinan

abnormal pembuluh darah berdinding tipis (malformasi

arteriovenosa). Jenis stroke hemoragic meliputi :

(1) Perdarahan Intraserebral

Dalam perdarahan intraserebral, pembuluh darah di otak

pecah dan menyebar ke jaringan otak disekitarnya, sehingga

merusak sel-sel otak. Sel-sel otak diluar kebocoran

kekurangan darah dan rusak. Tekanan darah tinggi, trauma,

malformasi vascular, penggunaan obat pengencer darah dan

kondisi lain dapat menyebabkan perdarahan intraserebral

(Haryono & Utami, 2019).

Pembuluh darah otak bisa pecah, terjadi karena

asterosclerossis dan hipertensi. Pecahnya pembuluh darah

otak akan menyebabkan penekanan, pergeseran dan

pemisahan jaringan otak yang berdekatan akibatnya otak

akan bengkak, jaringan otak internal akan tertekan sehingga

menyebabkan infark otak, edema dan terjadi herniasi otak

(Burns, 2019).

Prognosis pasien dengan perdarahan intraserebral sangat

rendah dengan angka kematian 40 sampai 80% pada 30 hari

setelah kejadian dan angka kematian meningkat 50% pada 48

jam pertama setelah serangan. Gejala defisit neurologis dapat

terjadi seperti sakit kepala, mual, muntah, penurunan tingkat


16

kesadaran dan hipertensi. Gejala yang muncul bervariasi

tergantung pada jumlah perdarahan, lokasi perdarahan dan

durasi terjadinya perdarahan (Haryono & Utami, 2019).

(2) Perdarahan Subaraknoid.

Pada pasien dengan PSA didapatkan gejala prodromal berupa

nyeri kepala hebat dan akut. Kesadaran sering terganggu dan

sangat bervariasi (Burns, 2019). Perdarahan subaraknoid

biasanya disebabkan oleh aneurisma serebral atau kelainan

arteri pada dasar otak.

Aneurisma serebral adalah area kecil bulat atau tidak teratur

yang mengalami pembengkakan di arteri. Pembengkakan

yang parah membuat dinding pembuluh darah melemah dan

rentan pecah. Penyebab aneurisma serebral sendiri belum

diketahui. Beberapa penderita aneurisma mengalami kondisi

ini sejak lahir dengan perkembangan yang sangat lambat

(Haryono & Utami, 2019).

3). Serangan Iskemik Transien (TIA)

Transient Ischemic Attack (TIA) adalah periode sementara

dari gejala yang mirip dengan gejala stroke. Penurunan

sementara pasokan darah kebagian otak menyebabkan TIA

dan biasanya berlangsung lebih kurang lima menit. Seperti

stroke iskemik, TIA terjadi ketika bekuan atau debris

menghalangi aliran darah kebagian sistem saraf . namun,

pada kasus TIA tidak ada kerusakan jaringan permanen dan


17

tidak ada gejala menetap. Mengalami TIA membuat

seseorang beresiko lebih besar untuk mengalami stroke yang

sebenarnya dan dapat menyebabkan kerusakan permanen

nantinya. Jika seseorang mengalami TIA, kemungkinan ada

arteri yang tersumbat atau menyempit yang mengarah ke otak

atau sumber gumpalan dijantung (Haryono & Utami, 2019).

4) Patofisiologi Stroke

Patofisiologi utama stroke adalah penyakit jantung atau pembuluh

darah yang mendasarinya. Manifestasi sekunder di otak adalah hasil

dari satu atau lebih penyakit yang mendasari atau faktor resiko.

Patologi utama termasuk hipertensi, aterosklerosis yang mengarah

kepenyakit arteri coroner, dislipidemia, penyakit jantung dan

hyperlipidemia (Haryono & Utami, 2019).

1). Stroke Iskemik

Stroke iskemik terjadi karena tersumbatnya pembuluh darah yang

menyebabkan aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan

terhenti (Burns, 2019). Stroke iskemik atau stroke penyumbatan

disebabkan oleh oklusi cepat dan mendadak pada pembuluh darah

otak sehingga aliran darah terganggu. Jaringan otak yang

kekurangan oksigen selama lebih dari 60-90 detik akan menurun

fungsinya (Haryono & Utami, 2019).

Trombus atau penyumbatan seperti aterosklerosis menyebabkan

iskemia pada jaringan otak dan membuat kerusakan jaringan

neuro sekitarnya akibat proses hipoksia dan anoksia. Sumbatan


18

emboli yang terbentuk didaerah sirkulasi lain dalam sistem

peredaran darah yang biasa terjadi didalam jantung atau sebagai

komplikasi dari fibrilasi atrium yang terlepas dan masuk ke

sirkulasi darah otak, dapat pula mengganggu sistem sirkulasi otak.

Okulasi akut pada pembuluh darah otak membuat darah otak

terbagi menjadi dua daerah keparahan derajat otak, yaitu daerah

inti dan daerah penumbra. Daerah inti adalah daerah atau bagian

otak yang memiliki aliran darah kurang dari 10cc/100g jaringan

otak tiap menit. Daerah ini beresiko menjadi nekrosis dalam

hitungan menit, daerah penumbra adalah daerah otak yang aliran

darahnya terganggu tetapi masih lebih baik daripada daerah inti

karena daerah ini masih mendapat suplai perfusi dari pembuluh

darah lainnya (Haryono & Utami, 2019).

Daerah penumbra memiliki aliran daerah 10-25cc/100g jaringan

otak tiap menit. Daerah penumbra memiliki prognosis lebih baik

dibandingkan dengan daerah inti. Defisit neurologis dari stroke

iskemik tidak hanya bergantung pada luas daerah inti dan

penumbra, tetapi juga pada kemampuan sumbatan menyebabkan

kekuatan pembuluh darah atau vasospasme.

Kerusakan jaringan otak akibat oklusi atau tersumbatnya aliran

darah adalah suatu proses biomolekuler yang bersifat cepat dan

progresif pada tingkat seluler, proses ini disebut dengan kaskade

iskemia (ischemic cascade). Setelah aliran darah terganggu,

jaringan menjadi kekurangan oksigen dan glukosa yang menjadi


19

sumber utama energi untuk menjalankan proses potensi membran.

Kekurangan energi ini membuat daerah yang kekurangan oksigen

dan gula darah tersebut menjalankan metabolisme anaerob.

Metabolisme anaerob ini merangsang pelepasan senyawa glutamat.

Glutamat bekerja pada reseptor di sel-sel saraf (terutama reseptor

NMDA/N-methyl-D-aspartame), menghasilkan influx natrium

dan kalsium. Influks natrium membuat jumlah cairan intraseluler

meningkat dan pada akhirnya menyebabkan edema pada jaringan.

Influks kalsium merangsang pelepasan enzim protoliosis

(protease, lipase, nuclease) yang memecah protein, lemak dan

struktur sel. Influks kalsium juga dapat menyebabkan kegagalan

mitokondria, suatu organel membrane yang berfungsi mengatur

metabolisme sel. Kegagalan-kegagalan tersebut yang membuat sel

otak pada akhirnya mati atau nekrosis (Haryono & Utami, 2019).

2). Stroke Hemoragik

Stroke hemoragik disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah

yang disertai ekstravasasi darah ke parenkim otak akibat

penyebab non traumatis. Stroke perdarahan sering terjadi pada

pembuluh darah yang melemah. Penyebab kelemahan pembuluh

darah yang tersering pada stroke adalah aneurisma dan

malformasi arteriovenomi (AVM). Ekstravasasi darah ke

parenkim otak ini berpotensi merusak jaringan sekitar melalui

kompresi jaringan akibat dari perluasan hematoma.


20

Faktor predisposisi dari stroke hemoragik yang sering terjadi

adalah peningkatan tekanan darah. Peningkatan tekanan darah

adalah salah satu faktor hemodinamika kronis yang menyebabkan

pembuluh darah mengalami perubahan struktur atau kerusakan

vaskular. Perubahan struktur yang terjadi meliputi lapisan elastik

eksternal dan lapisan adventisia yang membuat pembuluh darah

menipis. Peningkatan tekanan darah yang mendadak dapat

membuat pembuluh darah pecah.

Ekstravasasi darah ke parenkim otak bagian dalam

berlangsung selama beberapa jam dan jika jumlahnya besar akan

mempengaruhi jaringan sekitarnya melalui peningkatan tekanan

intracranial. Tekanan tersebut dapat menyebabkan hilangnya

suplai darah ke jaringan yang terkena dan pada akhirnya dapat

menghasilkan infrari. Selain itu, darah yang keluar selama

ekstravasasi memiliki efek toksik pada jaringan otak sehingga

menyebabkan peradangan jaringan otak. Peradangan jaringan

otak ini berkontribusi terhadap cedera otak sekunder setelahnya.

Proses dan onset yang cepat pada stroke perdarahan yang cepat,

penangan yang cepat dan tepat menjadi hal yang penting(Haryono

& Utami, 2019).

5) Gejala Penyakit Stroke

Gejala paling umum timbulnya serangan stroke antara lain, terjadinya

serangan sakit kepala, hilangnya keseimbangan, gangguan

penglihatan, hilangnya kemampuan berbicara dengan jelas atau


21

kemampuan untuk memahami pembicaraan orang lain atau lawan

bicara, salah satu kelopak mata sulit dipejamkan.Serangan kecil atau

serangan awal stroke biasanya diawali dengan daya ingat menurun

dan sering kebingungan tiba-tiba dan kemudian menghilang dalam

waktu 24 jam. Menurut Irianto (2017), tanda dan gejala stroke dapat

diamati dari beberapa hal :

a) Adanya serangan neurologis fokal berupa kelemahan atau

kelumpuhan lengan, tungkai, atau salah satu sisi tubuh

b) Melemahnya otot (hemiplegia), kaku, dan menurunnya fungsi

sensorik

c) Hilangnya rasa atau adanya sensasi abnormal pada lengan atau

tungkai atau salah satu sisi tubuh seperti baal, mati rasa sebelah

badan, terasa kesemutan, perih bahkan seperti rasa terbakar

dibagian bawah kulit

d) Gangguan penglihatan seperti hanya dapat melihat secara parsial

ataupun tidak dapat melihat keseluruhan karena penglihatan gelap

dan pandangan ganda sesaat

e) Berjalan menjadi sulit dan langkahnya tertatih-tatih bahkan

terkadang mengalami kelumpuhantotal

f) Kehilangan keseimbangan, gerakan tubuh tidak terkoordinasi

dengan baik

g) Tidak memahami pembicaraan orang lain, tidak mampu

membaca, menulis dan berhitung dengan baik


22

h) Penurunan kesadaran (konfusi, delirium, letargi, stupor atau

koma), terjadi akibat perdarahan, kerusakan otak kemudian

menekan batang otak atau terjadinya gangguan metabolic otak

akibat hipoksia.

Tabel 2.1 Nilai Glasglow Coma Skale


(Yayasan ambulance Gawat Darurat 118, 2018)

Parameter yang dinilai Nilai Skor


1. Membuka Mata/Eye (E)
 Buka mata spontan 4
 Buka mata terhadap suara 3
 Buka mata terhadap nyeri 2
 Tidak ada respon 1
2. Respon Verbal (V)
 Orientasi baik 5
 Berbicara bingung 4
 Berbicara tidak jelas (hanya kata yang keluar) 3
 Merintih/mengerang 2
 Tidak ada respon 1
3. Respon Motorik
 Bergerak mengikut perintah 6
 Dapat mengalokasi nyeri 5
 Berlawanan dengan rangsangan nyeri 4
 Fleksi abnormal (dekortikasi) 3
 Extensi abnormal (deserebrasi) 2
23

 Tidak ada respon (fasid) 1

9. Adanya gangguan sulit bicara yang ditunjukkan dengan bicara

tidak jelas, gagap, dan berbicara hanya sepatah kata bahkan sulit

memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat

Tabel 2.2 Perbedaan Gejala Stroke Iskemik dengan Stroke


Hemoragik
(Tarwoto, 2013)

Gejala Hemoragik Iskemik


Onset Sangat akut Subakut/akut
Saat terjadinya Waktu aktif Tidak aktif
Nyeri kepala Hebat Ringan/tidak ada
Muntah pada awal Sering Tidak ada
Kaku kuduk Jarang/biasa ada Tidak ada
Kejang Biasa ada Tidak ada
Kesadaran Biasa hilang Dapat hilang

6) Komplikasi Stroke

Stroke dapat menyebabkan cacat sementara atau permanen, tergantung

pada berapa lama otak kekurangan aliran darah dan bagian mana yang

terdampak. Menurut Haryono & Utami (2019) , komplikasi yang bisa

terjadi, antara lain :

a) Kelumpuhan atau hilangnya gerakan otot


24

Penderita stroke bisa menjadi lumpuh disatu sisi tubuh atau

kehilangan kendali atas otot-otot tertentu, seperti otot-otot disatu

sisi wajah atau bagian tubuh lain. Terapi fisik dapat membantu

penderita kembali keaktivitas yang terkena kelumpuhan, seperti

berjalan, makan, dan berdandan. Hemiparesis (kelemahan) dan

hemiplegia (paralisis) pada satu bagian tubuh dapat terjadi setelah

stroke. Hal ini biasanya disebabkan oleh stroke arteri serebral

anterior atau medial yang mengakibatkan infark pada bagian otak

yang mengontrol saraf motorik dari korteks anterior. Hemiparesis

dan hemiplegia biasanya disertai oleh gejala kehilangan sensori

sebagian, tidak bisa melakukan gerakan tertentu, tidak bisa

merasakan atau mengenali sesuatu dan gangguan komunikasi

(Haryono & Utami, 2019).

b) Kesulitan bicara atau menelan

Stroke dapat memengaruhi kontrol otot-otot dimulut dan

tenggorokan, sehingga sulit bagi penderitanya untuk berbicara

dengan jelas (disartria), menelan (disfagia), atau makan. Penderita

stroke juga mengalami kesulitan dengan bahasa (afasia), termasuk

berbicara atau memahami ucapan, membaca, atau menulis. Terapi

dengan ahli bahasa bicara dapat membantu.

c) Kehilangan memori atau kesulitan berpikir

Banyak penderita stroke juga mengalami kehilangan ingatan.

Selain itu, penderita stroke juga dapat mengalami kesulitan

berpikir, membuat penilaian, dan memahami konsep.


25

d) Masalah emosional

Orangyang mengalami stroke lebih sulit mengendalikan emosi

mereka atau mengalami depresi. Perubahan emosional tersebut

dapat memicu terjadinya depresi, frustasi dan perubahan citra

tubuh akibat kehilangan fungsi tubuh, masalah mobilitas dan

komunikasi.

e) Rasa sakit

Nyeri, mati rasa, atau sensasi aneh lainnya dapat terjadi dibagian

tubuh yang terkena stroke. Misalnya stroke dapat menyebabkan

seseorang mati rasa dibagian lengan kirinya, sehingga penderita

tersebut mengembangkan sensasi kesemutan yang tidak nyaman

dilengan tersebut.

f) Orang juga mungkin sensitif terhadap perubahan suhu setelah

stroke, terutama dingin ekstrem. Komplikasi ini dikenal sebagai

nyeri stroke sentral atau sindrom nyeri sentral. Kondisi ini

umumnya berkembang beberapa minggu setelah stroke dan

meningkat seiring waktu. Perubahan perilaku dan kemampuan

perawatan diri. Orang yang mengalami stroke menjadi lebih

menarik diri dan kurang sosial atau lebih impulsive. Mereka

membutuhkan bantuan perawatan dan melakukan pekerjaan

sehari-hari.

7) Penatalaksanaan Stroke
26

Untuk mengobati keadaan akut perlu diperhatikan faktor-faktor kritis,

sepertimenstabilkan tanda-tanda vital dengan mempertahankan

saluran nafas yang paten yaitu lakukan pengisapan lendir yang sering,

oksigenasi, dan trakeostomi jika diperlukan. Mengontrol tekanan

darah berdasarkan kondisi pasien termasuk usaha memperbaiki

hipotensi dan hipertensi.Menempatkan pasien dalam posisi yang tepat,

harus dilakukan secepat mungkin posisi pasien harus dirubah tiap 2

jam dan dilakukan latihan-latihan gerak pasif (Sya’diah, 2018).

1) Pengobatan Konservatif

(1) Pemenuhan cairan dan elektrolit dengan pemasangan infus

(2) Dalam Mencegah peningkatan TIK atau mempertahankan

perfusi ke jaringan otak akibat pembuluh darah yang

tersumbat dan iskemik pemberian terapi trombolisis dapat

diberikan Pemberian trombolitik dapat diberikan dalam 3 jam

pertama setelah timbulnya gejala kecuali bila ada

kontraindikasi. Setelah pemberian trombolitik antikoagulan

dapat diberikan pada stroke iskemik, diazepam bila kejang,

dan manitol untuk mengurangi edema otak (Padila, 2019).

2) Operatif

Apabila upaya menurunkan TIKtidak berhasil maka perlu

dipertimbangkan evakuasi hematom karena hipertensi intracranial

yang menetap akan membahayakan kehidupan klien.Menurut

Padilla (2019), tujuan utama adalah memperbaiki aliran darah

serebral.
27

a) Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis,

yaitu dengan membuka arteri karotis dileher

b) Revaskularisasi terutama tindakan pembedahan dan

manfaatnya paling dirasakan oleh pasien TIA

c) Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut

d) Ugasi arteri karotis komunis dileher khususnya pada

aneurisma

8) Faktor Risiko Stroke

Stroke dapat disebabkan oleh arteri yang tersumbat atau bocor (stroke

iskemik) dan dapat disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah (stroke

hemoragik). Beberapa orang mungkin mengalami gangguan

sementara aliran darah ke otak (transient ischemic attack atau TIA)

yang tidak menyebabkan kerusakan permanen (Haryono & Utami,

2019).Menurut sya’diah (2018), faktor risiko stroke adalah kelainan

atau penyakit yang membuat seseorang lebih rentan terhadap serangan

stroke antara lain :

1) Faktor risiko yang kuat (mayor)

Faktor risiko kuat besar pengaruhnya terhadap kemungkinan

terjadinya stroke :

a) Tekanan darah tinggi (hipertensi)

Hipertensi merupakan faktor risiko yang paling penting yang

dapat dimodifikasi dan merupakan penyebab utama stroke

iskemik di dunia. Peningkatan tekanan darah sistolik dan

diastolik dapat meningkatkan risiko terjadinya stroke.


28

Pengendalian tekanan darah yang adekuat dapat menurunkan

38% kejadian stroke sedangkan dengan pengobatan yang

tepat dapat menurunkan hingga 50% angka kejadian stroke.

b) Penyakit jantung

Penyakit jantung seperti atrial fibrilasi meningkatkan 20%

angka kejadian dari semua tipe stroke. Insidensi atrial

fibrilasi meningkat dengan bertambahnya usia. Penyakit

gangguan sirkulasi seperti penyakit jantung koroner dan

hipertensi merupakan salah satu pemicu utama terjadinya

stroke. Menurut America Heart Association (AHA) dan

America Stroke Association (ASA) (2010) pasien dengan

atrial fibrilasi 4% mengalami stroke setiap tahunnya.

Menurut sya’diah (2018), selain atrial fibrilasi penyakit

jantung dibawah ini juga menjadi faktor terjadinya stroke :

(1) Myokard Infark

(2) Disritmia

(3) Penyakit katup jantung

(4) Gagal jantung kongestif

c) Diabetes mellitus

Pada penderita diabetes mellitus berisiko untuk terjadinya

stroke akibat perubahan makrovaskular. Diabetes dapat

menyebabkan perubahan padapembuluh darah yang

berkontribusi dalam terbentuknya aterosklerosis. Selain itu

pada penderita DM cenderung untuk terjadinya obesitas yang


29

mengakibatkan hipertensi dan tingginya kadar kolesterol.

Kombinasi kedua hal ini merupakan faktor risiko stroke.

2) Faktor risiko yang lemah (minor)

a) Hyperlipidemia

Hyperlipidemia adalah istilah medis untuk kolesterol tinggi.

Terkadang kondisi ini tidak menimbulkan gejala, tetapi bisa

meningkatkan risiko penyakit jantung, penyakit stroke dan

berujung kematian. Hyperlipidemia ditandai dengan

tingginya kadar kolesterol, kolesterol dibagi menjadi dua

jenis, yaitu kolesterol baik (high density lipoprotein atau

HDL) dan kolesterol jahat (low density lipoproteinatau LDL).

Hyperlipidemia disebabkan terlalu banyaknya kolesterol jahat

dalam darah dan tidak memiliki cukup kolesterol baik untuk

membersihkannya.

Kondisi ini kemudian dapat menyebabkan sumbatan atau

plak pada dinding pembuluh darah. Seiring berjalannya

waktu, plak tersebut bisa meluas dan menyumbat arteri

sehingga dapat menyebabkan penyakit stroke.

b) Merokok

Merokok dapat meningkatkan dua kali lipat risiko untuk

terjadinya stroke. Risiko ini secara substansial akan menurun

dari waktu kewaktu setelah perokok berhenti. Setelah lima

sampai sepuluh tahun perokok berhenti risiko untuk

terjadinya stroke sama seperti perokok.


30

c) Obesitas

Obesitas berhubungan dengan hipertensi, peningkatan kadar

gula darah dan kadar lipid darah yang semuanya

meningkatkan risiko stroke. Selain itu edukasi tentang nutrisi

penting bagi individu karena diet tinggi lemak dan kurang

mengkonsumsi buah-buahan serta sayuran meningkatkan

risiko stroke (Sya’diah, 2018)

2. Konsep Mekanisme Koping

a. Definisi

Koping adalah proses dimana seseorang mencoba untuk mengatur

perbedaan yang diterima antara keinginan (demands) dan pendapatan

(resources) yang dinilai dalam suatu keadaan yang penuh tekanan.

Selain digunakan untuk memperbaiki atau menguasai masalah, koping

juga dapat membantu seseorang mengubah persepsinya atas

ketidaksesuaian, menolerir atau menerima bahaya, juga melepaskan

diri atau menghindari situasi stress. Stres diatasi dengan kognitif dan

behavioral transactions melalui lingkungan (Sutejo, 2019).

Menurut Suharso (2018), Mekanisme koping merupakan cara yang

dilakukan seseorang untuk menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri

dengan perubahan, serta respon terhadap situasi yang mengancam, baik

secara kognitif maupun perilaku. Mekanisme koping dapat

didefenisikan melalui respon manifestasi (tanda dan gejala) dan

pernyataan klien dalam wawancara yang dapat dikaji melalui berbagai

aspek, baik fisiologi dan psikologi sosial. Setiap individu yang


31

mengalami stress pasti berusaha untuk mengatasinya. Ketegangan fisik

dan emosional yang menyertai stres menimbulkan ketidaknyamanan.

Sehingga, setiap individu yang mengalami stres perlu melakukan

sesuatu untuk mengurangi stres tersebut. Hal-hal yang dilakukan untuk

mengurangi tingkat stres merupakan bagian dari koping (Sutejo, 2019).

Pengkajian koping yang digunakan pasien penting dilakukan untuk

menilai respons emosi pasien terhadap penyakit yang dideritanya.

Selain itu pengkajian dilakukan guna untuk melihat perubahan peran

pasien dalam keluarga dan masyarakat atau digunakan untuk melihat

pengaruhnya dalam kehidupan hari-hari, baik dalam keluarga maupun

masyarakat (haryono & Utami, 2019).

b. Penggolongan Mekanisme Koping

Menurut Stuart dan Sundeen (dalam Nasir dan Muhith, 2011),

berdasarkan penggolongannya mekanisme koping dibagi menjadi dua,

yaitu :

1) Mekanisme Koping Adaptif

Mekanisme yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan,

belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan

orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi,

latihan seimbang dan aktivitas konstruktif. Disamping usaha juga

berdoa dan merasa yakin bahwa semua akan kembali stabil.

2) Mekanisme Koping Maladaptif

Mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah

pertumbuhan, cenderung menguasai lingkungan dan menghindar.


32

Perilaku mekanisme koping maladaptif antara lain perilaku agresi

dan menarik diri. Perilaku agresif(menyerang) terhadap sasaran

ataupun benda bahkan dirinya sendiri. Perilaku menarik diri yang

dilakukan adalah menggunakan alkohol, obat-obatan, banyak tidur

dan menangis.

Dalam menghadapi mekanisme koping ada dua strategi yang bisa

dilakukan :

a) Koping yang berfokus pada masalah (problem focused coping)

Problem focused coping adalah usaha mengatasi stres dengan

cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan

lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan.

Koping ini ditujukan dengan mengurangi demands dari situasi

yang penuh dengan stress atau memperluas sumber untuk

mengatasinya. Seseorang cenderung menggunakan metode ini

apabila mereka percaya bahwa sumber atau demands dari

situasinya dapat diubah. Strategi yang dipakai dalam problem

focused coping, antara lain :

(1) Confrontative coping, yaitu usaha untuk mengubah keadaan

yang dianggap menekan dengan cara yang agresif, tingkat

kemarahan yang cukup tinggi dan pengambilan risiko

(2) Seeking social support, usaha untuk mendapatkan

kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari orang

lain
33

(3) Planful problem solving, usaha untuk mengubah keadaan

yangdianggap menekan dengan cara yang hati-hati,

bertahap dan analitis

b) Emotional Focused Coping

Emotion Focused Coping adalah usaha mengatasi stress dengan

cara mengatur respons emosional dalam rangka menyesuaikan

diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi

atau situasi yang dianggap penuh tekanan. Koping ini ditujukan

untuk mengontrol respon emosional terhadap situasi stress.

Strategi yang digunakan dalam emotional focused coping, antara

lain :

(1) Self-control, usaha untuk mengatur perasaan ketika

menghadapi situasi yang menekan.

(2) Distancing, usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan,

seperti menghindar seakan tidak terjadi apa-apa, atau

menciptakan pandangan positif, seperti menganggap

masalah sebagai lelucon.

(3) Positive reappraisal, usaha untuk menyadari tanggung

jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapi dan

mencoba menerimanya untuk membuat semua menjadi

lebih baik. Strategi ini baik, terlebih bila masalah terjadi

karena pikiran dan tindakannya sendiri. Namun strategi ini


34

menjadi tidak baik bila individu seharusnya tidak

bertanggung jawab atas masalah tersebut.

(4) Accepting responsibility, usaha untuk menyadari tanggung

jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya

dan mencoba menerimanya untuk membuat semuanya

menjadi lebih baik.

(5) Escapelavoidance, usaha untuk mengatasi situasi menekan

dengan lari dari situasi tersebut atau menghindari dengan

beralih pada hal lain seperti merokok, minum alcohol, dan

menggunakan obat-obatan terlarang.

Individu menggunakan problem-focused coping jika masalah yang

mereka hadapi dapat dikontrol. Sebaliknya, individu cenderung

menggunakan emotion focused coping dalam menghadapi masalah,

jika masalah mereka sulit untuk dikontrol (Sutejo, 2019).

c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mekanisme Koping

Mekanisme koping merupakan usaha individu untuk mengatasi

strespsikologis. Efektifitas mekanisme koping yang digunakan

tergantung pada kebutuhan individu tersebut. Menurut Sutejo (2019),

beberapa faktor yang dapat mempengaruhi individu dalam

menggunakan mekanisme koping adalah:

1) Usia (maturasional)

Stressor bervariasi dalam setiap tahap perkembangan kehidupan.

Hal ini akan mempengaruhi respon individu berespon terhadap

situasi tersebut. Selain itu, dalam rentang usia tertentu, individu


35

mempunyai tugas perkembangan yang berbeda sehingga

mempengaruhi cara berpikir dan kemampuan beradaptasi dengan

situasi disekitarnya. Mekanisme koping yang digunakan akan

berubah sesuai dengan tingkat usia dan menghasilkan reaksi yang

berbeda dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan.

2) Jenis kelamin

Jenis kelamin mempunyai pengaruh yang kuat dalam

responterhadap penyakit, stres dan penggunaan koping. Secara

umum laki-laki dan perempuan memiliki cara yang

berbeda dalam menghadapi suatu masalah. Wanita lebih

memperlihatkan reaksi emosional dibandingkan pria dalam

menghadapi situasi yang penuh tekanan. Secara biologis tubuh

perempuan mempunyai ketahanan yang lebih baik dalam

menghadapi stressor dibandingkan laki-laki.

3) Pendidikan

Individu yang mempunyai pendidikan lebih tinggi mempunyai

perkembangan kognitif yang lebih baik dibandingkan individu

dengan pendidikan rendah. Hal ini akan mempengaruhi individu

tersebut melakukan penilaian yang lebih realistis terhadap masalah

atau stressor yang mereka hadapi, sehingga mekanisme koping

yang digunakan dapat lebih adaptif.

4) Kesehatan

Saat individu sakit dan mengalami kondisi tubuh yang lemah,

makaindividu tersebut tidak memiliki energi yang cukup untuk


36

melakukan mekanisme koping secara efektif terhadap situasi yang

penuh tekanan.

d. Hasil koping (Coping Outcome)

Mekanisme koping pada individu bervariasi bergantung pada persepsi

individu terhadap kejadian yang menimbulkan stres. Mekanisme

koping pada individu dapat berubah dengan penilaian kembali terhadap

situasi yang menimbulkan stres. Biasanya individu akan mengubah

stresor, beradaptasi terhadap stresor atau menghindari stresor. Menurut

Taylor (1991 dalam Nasir &Muhith, 2011) keberhasilan seseorang

dalam memenuhi coping task akan menentukan efektivitas koping

yang digunakan. Coping task merupakan tugas yang harus dilakukan

individu untuk mencapai koping yang efektif meliputi:

c) Kondisi lingkungan yang berbahaya dan meningkatkan prospek

untuk memperbaikinya

d) Menyesuaikan diri dengan kenyataan yang negatif

3) Mempertahankan gambaran diri yang positif

4) Mempertahankan keseimbangan emosional

5) Melanjutkan kepuasan terhadap hubungan dengan orang lain

Bila seseorang telah dapat memenuhi sebagian dari coping task maka akan

terlihat coping outcome yang dialami oleh individu yang merupakan

kriteria keberhasilan koping. Kriteria coping outcome tersebut antara

lain adalah:

b. Koping dinyatakan berhasil dengan melihat ukuran fungsi

fisiologis tubuh. Hal ini dapat dilihat dengan mengurangi indikator


37

seperti terjadinya peurunan tekanan darah, detak jantung, detak

nadi, dan frekuensi pernapasan yang merupakan tanda bila

terjadinya stress

c. Bila seorang individu dapat kembali seperti keadaan sebelum

indivdu tersebut mengalami stres maka koping yang digunakan

dinyatakan berhasil

e) Efektivitas koping baik bila pscychological distress seperti rasa

cemas dan depresi pada individu berkurang

3. Konsep Disabilitas

a. Defenisi

Menurut International classification of Functioning for Disability

and Health, yang kemudian disepakati oleh WHO, disabilitas yaitu

payung terminologi untuk gangguan, keterbatasan aktivitas atau

pembatasan partisipasi. The International Classification of

Functioning Disability and Health (ICF) membagi tiga kriteria

ketidakmampuan fisik yaitu impairment, disabilitydan

handicaps.Impairment adalah hilangnya atau ketidak normalan dari

struktur psikologis, fisiologis dan struktur dan fungsi anatomi.

Disabilitas merupakan hasil dari impairment yaitu beberapa

keterbatasan atau ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara

benar-benar normal sebagai manusia.

Menurut UU NO 8 TAHUN 2016 tentang penyandang disabilitas,

disebutkan penyandang disabilitas adalah setiap orang yang


38

mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental atau sensorik dalam

jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat

mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh

dan efektif. Disabilitas fisik merupakan terganggunya fungsi gerak lain

seperti amputasi, lumpuh payuh atau kaku, paraplegi, celebral palcy

(CP) dan akibat stroke (Syahrus, 2019).

b. Model Penilaian Klasifikasi Disabilitas

Menurut Syahruz (2019), penilaian disabilitas dikembangkan dari

berbagai penilaian sebagai

berikut:

1) Model medis

Model medis berfokus pada kondisi medis individu. Disabilitas

dianggap sebagai masalah individu yang secara langsung

disebabkan oleh penyakit, cedera kondisi kesehatan lain yang

membutuhkan perawatan medis. Perawatan yang dibutuhkan dapat

berupa pengobatan dan rehabilitasi. Model ini mengasumsikan

bahwa dengan pengobatan atau intervensi medis individu dapat

dibantu untuk mengatasi keterbatasan mereka.

2) Model sosial

Model sosial memandang disabilitas dari perspektif yang

berbeda. Pada model ini memandang disabilitas sebagai konstruksi

sosial dan konsekuensi kurangnya kesadaran dan kepedulian dari

masyarakat terhadap orang-orang yang memerlukan beberapa

modifikasi untuk dapat hidup produktif.


39

3) Model rehabilitasi

Model ini berdasarkan pada model medis yang meyakini

bahwa dengan upaya yang memadai pada orang yang mengalami

disabilitas dapat diatasi. Pada model ini individu yang mengalami

disabilitas dianggap gagal jika mereka tidak dapat mengatasi

disabilitasnya. Model rehabilitasi menunjukkan bahwa perawatan

dan dukungan ditentukan oleh para profesional.

4) Model Nagi

Menurut Nagi (1976 dalam BURDIS, 2004), menyatakan

disabilitas terdiri dari empat komponen, yaitu patologi, impairment,

keterbatasan fungsional dan disabilitas. Dalam model ini patologi

merupakan titik awal dari disabilitas model Nagi. Pada usia lanjut

patologi dapat menyebabkan gangguan seperti penurunan kekuatan

otot, gangguan keseimbangan, pemenuhan kebutuhan oksigen yang

rendah. Impairment dapat mempengaruhi keterbatasan fungsional

seseorang seperti penurunan kemampuan berjalan, ketidakmampuan

menggenggam dengan tangan dan disabilitas dapat menyebabkan

kesulitan dalam mobilitas dan perawatan diri.

c. Pengukuran Disabilitas

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menilai disabilitas. Secara

umum disabilitas terdiri dari disabilitas fisik dan disabilitas mental atau
40

psikologis. Tingkat disabilitas fisik dapat diukur berdasarkan

kemampuan individu untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari

secara mandiri. Penilaian dilakukan dengan mengidentifikasi

keterbatasan individu dalam melakukan aktivitas ataumengidentifikasi

keterbatasanindividu untuk menyelesaikan suatu aktivitas tertentu.

Penderita disabilitas menyebabkan mereka tidak mampu untuk

melakukan aktivitas sehari-hari seperti berkomunikasi, berjalan tanpa

bantuan, berpakaian, berpindah tempat, makan, melakukan personal

hygiene secara mandiri seperti buang air dan mandi (Astuti &

Budijanto, 2009).

Salter et al (2013) menyatakan penilaian disabilitas dapat

dilakukan

Menggunakan berbagai instrumen seperti Functional Independence

Measure (FIM), Motor Assessment scale, Barthel Index, Functional

Ambulation Categories. Selain itu, menurut Schiavo Lin Et al(2014)

penilaian tentang disabilitas juga dapat dilakukan dengan menggunakan

instrumen WHO Disability Assessment Schedule versi II Dalam

Riskesdas 2007 penilain disabilitas mengacu pada ICF yang

menggunakan kuesioner WHO Disability Assessment Schedule versi II

(WHODAS versi II). Pada instrumen ini disabilitas diukur berdasarkan

komponen fungsi dan struktur tubuh, komponen partisipasi dan

komponen kontesktual (Sugiharti, 2010).

d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Disabilitas


41

Riskesdas tahun 2013 mencatat prevalensi penduduk yang mengalami

disabilitas sedang hingga berat adalah sebanyak 11%. Hal ini dinilai

dengan menggunakan instrumen WHODAS (WHO Disability

Assessment Schedule) versi II yang terdiri dari 12 pernyataan atau

komponen tentang status disabilitas seseorang. Terjadinya disabilitas

dapat terkait dengan adanya masalah kesehatan dan penyakit baik akut

maupun kronis (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Berikut ini beberapa

faktor yang mempengaruhi terjadinya disabilitas, yaitu:

1) Penyakit kronis

Penyakit merupakan penyebab utama timbulnya gangguan dan

penurunan fungsional yang pada akhirnya dapat menyebabkan

disabilitas. Menurut Thomas (1995 dalam Astuti & Budijanto,

2009) stroke merupakan penyebab keadaan disabilitas yang paling

sering dijumpai pada lanjut usia. Hal ini membutuhkan perawatan

jangka panjang bagi penderita disabilitas dan merupakan tantangan

berat bagi masyarakat dan keluarganya.

2) Aktivitas fisik

Menurut beberapa penelitian, seseorang yang tidak aktif secara fisik

dapat mengalami gangguan fisiologis, sensorik dan motorik pada

saat dilakukan tes dalam kapasitas melakukan aerobik, kekuatan

otot, keseimbangan postur, kecepatan psikomotor dan kandungan

mineral tulang. Menurut Leveille et al (1999 dalam Burden of

Disease Network Project, 2004) seseorang yang aktif secara fisik

dapat mencegah timbulnya disabilitas sampai mereka berusia lanjut.


42

3) Kebiasaan makan

Status gizi dapat meningkatkan terjadinya disabilitas. Kelebihan

berat badan dari normal telah terbukti menjadi risiko jangka panjang

untuk terjadinya disabilitas. Obesitas dapat meningkatkan risiko

disabilitas melalui peningkatan kerentanan terhadap penyakit seperti

diabetes dan stroke. Selain itu obesitas juga dapat memberikan

beban tambahan pada sistem musculoskeletal yang meningkatkan

terjadinya disabilitas (BURDIS, 2004).

4) Merokok

Merokok dapat menyebabkan elastisitas pembuluh darah berkurang.

Hal ini meningkatkan terjadinya pengerasan pada pembuluh darah

sehingga berpeluang untuk terjadinya penyakit jantung koroner.

Penelitian menunjukkan dibandingkan dengan orang yang tidak

pernah merokok, mantan perokok memiliki usia harapan hidup yang

lebih pendek dengan angka disabilitas yang lebih.

5) Status demografi

Status demografi yang berkaitan dengan terjadinya disabilitas

mencakup umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan,

kondisi sosial ekonomi dan tempat tinggal.

4. Konsep Keputusasaan (Hopelessness)

a. Defenisi
43

Keputusasaan (Hopelessness) adalah suatu kondisi emotional subjektif

yang dipertahankan klien karena klien tidak melihat adanya pilihan

pribadi atau pilihan alternatif untuk memecahkan masalah, karena

ketiadaan hasrat dan ketidakmampuan diri untuk memobilisasi

energinya (Sutejo, 2019).Nanda (2016) menyatakan bahwa

keputusasaan adalah keadaan subjektif di mana seseorang melihat

keterbatasan atau tidak melihat adanya alternatif atau pilihan pribadi

yang tersedia dan tidak dapat memobilisasi energi atas nama sendiri.

Keputusasaan berbeda dengan ketidakberdayaan. Hal ini dikarenakan

orang tanpa harapan (putus asa)tidak melihat adanya solusi atau cara

untuk mencapai apa yang diinginkan, meskipun dia merasa dalam

kendali. Sebaliknya orang yang tidak berdaya bisa melihat alternatif

atau jawaban, namun tidak dapat melakukan apapun karena kurangnya

kontrol atau sumber daya. Perasaan ketidakberdayaan bisa

menyebabkan keputusasaan (Carpenito, 2013).

b. Pengkajian Keputusasaan

Menurut Sutejo (2019), pengkajian keputusasaan meliputi :

1) Karakteristik Keputusasaan

Karakteristik keputusasaan terdiri dari karakteristik utama (mayor)

dan karakteristik tambahan (minor).

a) Karakteristik utama (mayor)

Mengungkapkan atau mengekspresikan sikap apatis yang

mendalam, luar biasa, dan bertahan dalam menanggapi situasi

yang dianggap tidak mungkin, seperti pernyataan “Masa


44

depanku tampak gelap bagi ku” (Yip dan Chang, dalam

Carpenito 2013). Batasan karakteristik mayor pada keputusasaan

meliputi:

(1) Fisiologi

(a) Menurunnya respon terhadap rangsangan

(b) Peningkatan jumlah tidur

(c) Kekurangan energi

(2) Emosional

Klien dengan gangguan ketidakberdayaan dan keputusasaan

merasa ;

(a) Tidak memiliki kesempatan dan tidak ada alasan bagi

mereka untuk percaya hari depan.

(b) Ketidakmampuan mencari kemakmuran,

keberuntungan atau nikmat Tuhan

(c) Kurangnya makna atau tujuan dalam hidup

(d) Perasaan kehilangan dan kekurangan

(e) Kosong atau kehilangan fasilitas

(f) Demoralisasi

(g) Tidak berdaya

(h) Tidak kompeten atau terjebak

Klien dengan gangguan ini akan menunjukkan ;

(a) Kepasifan dan kurangnya keterlibatan dalam perawatan

(b) Kemampuan verbal yang menurun

(c) Afek yang menurun


45

(d) Kurangnya ambisi, inisiatif, dan minat

(e) Kompleksnya sikap menyerah

(f) Proses berpikir yang lambat

(g) Perilaku mengisolasi diri

(h) Kelelahan

(3) Kognitif

(a) Fokus pada masa lalu dan masa depan, bukan fokus

pada saat sekarang

(b) Berkurangnya fleksibilitas dalam proses berpikir

(c) Kurangnya imajinasi dan kemampuan berharap

(d) Ketidakmampuan untuk mengidentifikasi atau

mencapai tujuan dan sasaran yang diinginkan

(e) Putus asa

(f) Pikiran bunuh diri

b. Karakteristik tambahan (minor)

Karakter yang meliputi aspek fisiologis dan emosional ini

dimungkinkan hadir pada klien dengan keputusasaan. Batasan

karakteristik minor pada keputusasaan meliputi:

1) Fisiologi, pada individu yang mengalami putus asa biasanya

akan mengalami anoreksi dan penurunan berat badan

2) Emosional, seseorang akan merasa ada sebuah benjolan atau

massa ditenggorokkan, merasa tegang, merasa kecewa,

dibanjiri oleh rasa ketidakmampuan, merasa kewalahan dan

kelelahan, rapuh, kehilangan kepuasan terhadap peran dan


46

hubungan yang dijalani. Klien juga menunjukkan adanya,

kontak mata yang buruk, motivasi yang menurun, regresi,

depresi, pengunduran diri.

Nanda (2016) menyatakan karakteristik keputusasaan pada klien

adalah, gangguan pola tidur, penurunan efek, penurunan nafsu

makan, kurangnya inisiatif, mengurangi respons terhadap

rangsangan (stimulus), penurunan verbalisasi, isyarat putus asa

secara verbal, pasif, rendahnya kontak mata, mengangkat bahu

sebagai respon untuk menanggapi pembicara atau lawan bicara,

berpaling dari pembicara.

c. Intervensi Keputusasaan

1) Membantu klien mengidentifikasi dan mengekspresikan

perasaan, Hal ini dapat dilakukan dengan cara:

a) Mendengarkan secara aktif, memperlakukan klien sebagai

individu dan menerima perasaannya, memperlihatkan rasa

empati agar klien dapat mengekspresikan keraguan,

ketakutan, dan kekhawatiran

b) Memvalidasi dan merefleksikan realitas pasien

c) Mendorong ekspresi tentang harapan yang tidak pasti dan

harapan apa yang telah gagal

2) Menilai dan menggerakkan sumber daya internal klien. Menilai

sumber daya internal yang dimiliki oleh klien dilakukan dengan

cara:

a) Menekankan pada kekuatan bukan pada kelemahan


47

b) Memberikan pujian kepada penampilan atau upaya klien

yangsesuai serta meningkatkan motivasi

c) Mengidentifikasi alasan untuk tetap hidup dan persepsi

harapan klien

d) Mengidentifikasi keberhasilan dimasa lalu untuk

mengembangkan tujuan dengan klien

e) Membantu klien mengidentifikasi hal-hal menyenangkan

yang dapat dilakukan oleh klien dan menggali sumber-

sumber harapan

f) Membantu klien dalam menyesuaikan dan mengembangkan

realitas tujuan jangka pendek dan jangka panjang

3) Membantu klien dengan pendekatan problem solving dan

pengambilan keputusan. Pasien dapat melakukan pengambilan

keputusan yang tepat dengan memberikan bantuan pendekatan

problem solving dengan cara:

a) Menghormati klien sebagai pembuat keputusan yang

kompeten

b) Mendorong klien untuk mengungkapkan tentang persepsi

yang dipilih klien

c) Memperjelas nilai-nilai klien untuk menentukan apa yang

penting

d) Membantu klien mengidentifikasi masalah yang

menimbulkan keputusasaan dan memulai menangani

masalah yang realistis dan penuh harapan


48

e) Membantu klien belajar menggunakan koping yang efektif

d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusasaan

Keputusasaan dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti, nyeri

berkepanjangan, ketidaknyamanan, kelemahan, gangguan kemampuan

fungsional seperti berjalan, eliminasi, makan, berpakaian, mandi,

berbicara dan menulis. Menurut Carpenito (2013) terdapat beberapa

faktor lain yang berhubungan dengan terjadinya keputusasaan, yaitu:

1) Penyakit

Penyakit kronis atau terminal seperti penyakit jantung, diabetes,

penyakit ginjal, kanker dan AIDS dapat menyebabkan atau

berkontribusi terjadinya putus asa. Hal ini berkaitan dengan

kemampuan untuk mengatasi kondisi fisologis yang memburuk,

munculnya tanda-tanda atau gejala dari proses penyakit yang

barudan tidak terduga dari diagnosis sebelumnya. Selain itu nyeri

yang berkepanjangan, kelemahan, gangguan kemampuan fungsional

seperti berjalan, eliminasi, makan, berpakaian, mandi, berbicara,

menulis juga berkontribusi terhadap munculnya keputusasaan.

Pada penderita stroke dapat terjadi kerusakan sel otak yang

menyebabkan gangguan fungsi motorik dan sensorik sehingga

terjadi berbagai disabilitas (Dharma, 2011). Disabilitas merupakan

salah satu faktor yang berkontribusi terhadap keputusasaan.

Disabilitas juga dapat ditemukan pada penderita Congestive Heart

Disease (CHF).

2) Pengobatan
49

Pengobatan mempunyai hubungan dengan terjadinya keputusasaan.

Hal ini berkaitan dengan perawatan jangka panjang seperti

kemoterapi dan radiasi yang menyebabkan nyeri, mual dan

ketidaknyamanan. Faktor lain yang berkontribusi adalah perawatan

yang mengubah citra tubuh seperti pembedahan, pemeriksaan

diagnostik yang berkepanjangan, ketergantungan terhadap peralatan

yang mendukung kehidupan dan fungsi tubuh dalam jangka panjang

seperti dialisis, respiratori dan telemetri.

Pada pasien stroke akan menjalani program rehabilitasi dan lamanya

waktu yang dibutuhkan untuk menjalani rehabilitasi tersebut

tergantung pada tingkat keparahan stroke (Black & Hawks, 2014).

Hal ini menyebabkan hilangnya produktivitas, penurunan kualitas

hidup pasien, waktu dan tenaga yang dicurahkan keluarga untuk

merawat pasien, pembiayaan yang tinggi untuk perawatan dan

pengobatan pasien (Dharma, 2011).

3) Personal dan lingkungan

Keputusasaan dapat terjadi akibat adanya pembatasan dalam

aktivitas sehari hari karena fraktur, cedera tulang belakang serta

tindakan isolasi. Selain itu menurut Brother dan Anderson (2009

dalam Carpenito,2013) pengabaian akibat isolasi juga dapat memicu

terjadinya keputusasaan. Keputusasaan juga berkaitan dengan

ketidakmampuan mencapai tujuan atau penghargaan dalam

kehidupan seperti pernikahan, pendidikan, anak, ketidakmampuan

berpartisipasi dalam kegiatan yang diinginkan seperti berjalan,


50

berolahraga, pekerjaan. Situasi lain yang yang berhubungan dengan

keputusasaan adalah kehilangan sesuatu atau orang yang berharga,

tanggung jawab dalam merawat seseorang dalam jangka waktu yang

lama, stres psikologis, kehilangan nilai kepercayaan, kejadian

berulang dimasyarakat dan bencana alam. Salah satu komponen

personal yang mempengaruhi keputusasaan adalah pendidikan.

4) Usia (maturasi)

Maturasi merupakan faktor yang berkontribusi terhadap

terjadinyakeputusasaan. Dalam hal ini maturasi terbagi atas kategori

pada usia anak, remaja, dewasa dan lanjut usia. Faktor yang

berhubungan dengan maturasi yang dapat memicu terjadinya

keputusasaan adalah:

a) Pada usia anak

Keputusasaan pada anak berkaitan dengan hilangnya otonomi

akibat fraktur, kehilangan fungsi tubuh dan kehilangan

pengasuh, ketidak percayaan, ketidakmampuan mencapai tugas-

tugas perkembangan, penolakan atau ditinggalkan oleh

pengasuh.

b) Pada remaja

Faktoryang berhubungan terjadinya keputusasaan pada remaja

adalah ketidakmampuan mencapai tugas perkembangan,

kehilangan fungsi tubuh, kehilangan seseorang yang berharga

seperti keluarga, kelompok sebaya, penolakan oleh keluarga.

c) Pada usia dewasa


51

Faktoryang memicu munculnya keputusasaan adalah tindakan

aborsi, gangguan fungsi tubuh, kehilangan bagian tubuh

tertentu, gangguan hubungan dengan orang terdekat seperti

perpisahan dan perceraian, ketidakmampuan mencapai tugas-

tugas perkembangan, kehilangan pekerjaan atau orang yang

berarti.

d) Padalanjut usia

Pada lanjut usia dapat terjadi defisit kognitif, ketidakmampuan

mencapai tugas perkembangan, kehilangan kebebasan,

kehilangan orang yang dicintai seperti pasangan, defisit motorik

dan sensorik yang dapat memicu munculnya keputusasaan.

B. KerangkaTeori Penelitian

Faktor risiko minor :


Hyperlipidemia,
merokok, obesitas
Stroke

Faktor risiko mayor :


Hipertensi, penyakit Stroke iskemik Stroke hemoragik
jantung, DM
\

Faktor yang mempengaruhi Hemiplegia, hemiparesis,


keputusasaan : paralisis, gangguan
1. Penyakit mobilitas fisik, gangguan
2. Pengobatan komunikasi
3. Personal dan lingkungan
4. usia Keputusasaan
Disabilitas

Mekanisme Koping
52

Faktor yang mempengaruhi


mekanisme koping:
1. Faktor Internal :
umur, kepribadian, emosi
dan kognitif.
2. Faktor Eksternal : dukungan
sosial, keadaan keuangan, Strategi mekanisme
dan perkembangan penyakit koping:Problem focused
coping, Emotional focused
Klasifikasi mekanisme koping: coping,
1. Adaptif
2. Maladaptif

Skema 2.1. Kerangka Teori Penelitian

C. Kerangka Konsep

Kerangka penelitian yang dikembangkan dalam penelitian ini terdiri dari

variabel independen yaitu mekanisme koping dan disabilitas sedangkan

variabel dependen yaitu keputusasaan. Kerangka konsep dalam penelitian ini

dapat dilihat pada skema sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Mekanisme koping
Keputusasaan pasien stroke

Disabilitas

Skema 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

D. Hipotesa
53

Hipotesis adalah pernyataan yang telah diuji secara statistik mengenai

hubungan antara dua atau lebih variable penelitian (Setiadi, 2013). Hipotesis

dalam penelitian ini adalah:

Ha1: Ada hubungan mekanisme koping dengan keputusasaan pada pasien

stroke di Rumah Sakit Prima Pekanbaru

H01: Tidak ada hubungan mekanisme koping dengan keputusasaan pada

pasien stroke di Rumah Sakit Prima Pekanbaru

Ha2: Ada hubungan disabilitas dengan keputusasaan pada pasien stroke di

Rumah Sakit Prima Pekanbaru

H02: Tidak ada hubungan disabilitas dengan keputusasaan pada pasien stroke

di Rumah Sakit Prima Pekanbaru

Ha3: Ada kontribusi usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, status

perkawinan, lama menderita stroke, mekanisme koping dan disabilitas

terhadap hubungan dengan keputusasaan pada pasien stroke di Rumah

Sakit Prima Pekanbaru

H03: Tidak ada kontribusi usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, status

perkawinan, lama menderita stroke, mekanisme koping dan disabilitas

terhadap hubungan dengan keputusasaan pada pasien stroke di Rumah

Sakit Prima Pekanbaru


54

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan rencana penelitian yang disusun sedemikian

rupa dan digunakan dalam prosedur penelitian sehingga peneliti dapat

memperoleh jawaban terhadap pernyataan penelitian yang dilakukan (Setiadi

2013).

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain

korelasional. Pendekatan dalam penelitian ini adalah cross sectional yang

digunakan untuk mengetahui fenomena suatu penelitian dan menggambarkan

status atau hubungan fenomena penelitian yang dilakukan dalam satu waktu.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara variabel

independen yaitu mekanisme koping dan disabilitas dengan variabel

dependen yaitu keputusasaan pada pasien stroke yang diukur dalam satu kali

pengukuran dengan menggunakan kuesioner.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian
55

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Prima Pekanbaru yang terletak di

Jalan Bima No 1 Kota Pekanbaru.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan November – Desember 2021.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek

yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Setiadi,

2013).

Populasi dalampenelitian ini adalah seluruh pasien stroke yang sedang

dirawat di Rumah Sakit Prima Pekanbaru pada saat dilakukan penelitian

dengan data pada bulan Juni–September2021 sebanyak 64 orang.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari keseluruhan obyek yang diteliti dan

dianggap mewakili seluruh populasi.Dengan kata lain populasi adalah

elemen-elemen populasi yang dipilih berdasarkan karakteristiknya

(Setiadi, 2013).

Pada penelitian ini teknik pengambilan sampel yang digunakanpeneliti

adalah non probability sampling jenis total sampling, dimana semua

anggota populasi yang ditemui akan dijadikan sampel (Setiadi, 2013).

Adapun kriteria sampel penellitian ini adalah :

a. Kriteria Inklusi
56

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyektif penelitian dari

suatu populasi target dan terjangkau yang akan diteliti (Setiadi, 2013).

d. Pasien yang terdiagnosis stroke iskemik yang usia 17-65 tahun,

lama menderita stroke ≤ 2 tahun, mengalami disabilitas, kesadaran

komposmentis dan kooperatif.

e. Pasien yang terdiagnosis stroke iskemik dengan kondisi

hemodinamik stabil, mampu berkomunikasi dan dapat membaca.

f. Pasien yang terdiagnosis stroke iskemik yang bersedia menjadi

responden dengan menandatangani informed consent.

(g) Kriteria eksklusi

Kriteria eklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subyek yang

memenuhi kriteria inklusi dan studi karena berbagai sebab (Setiadi,

2013). Adapun yang menjadi kriteria eklusi dalam penelitian ini

adalah :

1) Pasien stroke iskemik yang tidak mengalami disabilitas dan lama

menderita stroke > 2 tahun.

2) Pasien stroke iskemik yang mengalami nyeri hebat, afasia,

hemodinamik tidak stabil, mengalami afasia dan mendapatkan obat

antidepresan.

A. Etika Penelitian

1. Informed Consent

Merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan responden dengan cara

mengisi lembar persetujuan dan diberikan kepada responden yang

bersedia. Peneliti menjelaskan judul penelitian, manfaat dan tujuan dalam


57

penelitian sehingga responden mengerti maksud dan tujuan penelitian

yang dilakukan serta dampak yang mungkin terjadi selama dan sesudah

pengumpulan data. Peneliti juga menjelaskan bahwa penelitian ini tidak

berisiko bagi individu yang menjadi responden baik fisik maupun

psikologis. Jika responden bersedia diteliti, maka responden harus

menandatangani lembar persetujuan tersebut. Jika responden menolak

untuk diteliti, maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati

hak-hak dan keputusan responden.

2. Anonimity

Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak mencantumkan

nama pada lembar pengumpulan data, cukup dengan memberi kode pada

masing-masing lembar tersebut. Peneliti juga menyampaikan kepada

responden bahwa data yang diperoleh akan dijaga kerahasiaannya dan

hanya digunakan untuk kepentingan penelitian ini.

3. Confidentiality

Kerahasiaan informasi dari responden dijamin oleh peneliti. Kuesioner

yang diberikan yang sudah berisi jawaban dan identitas diri responden

beserta tempat penelitian hanya digunakan untuk kepentingan penelitian

saja. Peneliti juga menerapkan pertimbangan etik yang disesuaikan

dengan prinsip-prinsip dasar etik meliputi:

a. Beneficence

Prinsip ini mengupayakan untuk memaksimalkan manfaat dan

meminimalkan kerugian terhadap responden dalam penelitian (Polit &

Beck, 2012). Pada penelitian ini manfaat penelitian tidak akan


58

dirasakan secara langsung oleh responden, tetapi peneliti

berkewajiban menghindari, mencegah dan meminimalkan kerugian

baik fisik, emosional, sosial maupun finansial bagi responden. Selain

itu peneliti juga berkewajiban untuk tidak menggunakan informasi

yang sudah diberikan oleh responden untuk kepentingan lain di luar

penelitian ini.

b. Respect for Human Dignity

Dalam penelitian ini responden berhak memutuskan secara sukarela

untuk berpartisipasi dalam penelitian. Responden juga berhak

mengajukan pertanyaan, menolak memberikan informasi dan

mendapatkan penjelasan tentang pelaksanaan penelitian.

c. Justice

Prinsip ini menerapkan perlakuan secara adil pada responden penelitian

sebelum, selama dan sesudah partisipasi mereka dalam penelitian.

Pada penelitian ini peserta penelitian dipilih berdasarkan kebutuhan

penelitian dengan mempertimbangkan nilai-nilai budaya yang dianut

peserta. Peneliti tidak melakukan diskriminasi saat memilih

responden penelitian. Responden dipilih berdasarkan kriteria inklusi

yang telah ditetapkan. Saat pemilihan responden, peneliti tidak

memberikan perlakukan yang berbeda dan setiap responden yang

sesuai dengan kriteria inklusi mempunyai hak yang sama untuk

diikutsertakan dalam penelitian ini.

B. Alat Pengumpulan Data


59

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh sendiri oleh peneliti dari hasil

pengukuran, pengamatan, survey dengan acuan angket yang berisi

sejumlah pertanyaan dan pernyataan kepada pihak responden (Setiadi,

2013). Terdiri dari :

a. Bagian pertama berisi data demografi meliputi nama (inisial), usia,

jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, dan lama menderita stroke.

b. Bagian kedua meliputi kuesioner. Kuesioner berupa daftar

pertanyaan yang tersusun dengan baik sehingga responden dengan

mudah memberikan jawaban terhadap pilihan jawaban yang tersedia.

meliputi :

1) Pengumpulan data mekanisme koping dilakukan dengan

menggunakan Instrumen The Brief Cope Inventory yang telah

digunakan dan dikembangkan serta dibuat dalam versi bahasa

yang berbeda (Arfina, 2017). Kuesioner ini terdiri dari 10 item

pernyataan dengan 5 item sub skala yang menilai dimensi koping

yang berbeda.

a) Untuk skor pernyataan positif adalah :

(1) Jawaban Ya =1

(2) Jawaban Tidak =0

b) Untuk skor pernyataan negatif adalah :

(1) Jawaban Ya = 0

(2) Jawaban Tidak = 1


60

2) Pengumpulan data disabilitas menggunakan instrumen WHO

Disability Assessment Schedule 2,0 (WHODAS 2,0) (Arfina,

2017).Instrumen ini terdiri dari 15 item pernyataan kemampuan

responden meliputi, kemampuan dalam melakukan komunikasi,

mobilisasi atau berjalan, merawat diri, berinteraksi dengan orang

lain, melakukan aktivitas shari-hari, kondisi masalah kesehatan

serta partisipasi dalam kegiatan sosial atau masyarakat. Untuk

skor pernyataan disabilitas adalah :

a) Tidak ada :1

b) Ringan :2

c) Sedang :3

d) Berat :4

e) Sangat Berat :5

3) Pengumpulan data keputusasaan menggunakan instrumen yang

dimodifikasi dari Beck Hopelessness Scale(BHS). Kuesioner ini

terdiri dari 20 item pernyataan untuk menilai perasaan putus asa

seseorang khususnya perasaan pesimisme, kehilangan motivasi

dan harapan tentang masa depan. Setiap item terdapat dua pilihan

jawaban dengan menggunakan skala Gutman (Ya dan Tidak).

Total skor dari penilaian keputusasaan adalah 0-20 dengan

interpretasi skor yang lebih tinggi menunjukkan tingkat yang lebih

tinggi dari keputusasaan.

a) Untuk skor pernyataan positif :


61

a. Jawaban Ya :0

b. Jawaban Tidak :1

b) Untuk skor pernyataan negatif :

a. Jawaban Ya : 1

b. Jawaban Tidak :0

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan, baik

dari referensi buku-buku, internet, maupun jurnal keperawatan yang berkaitan

dengan masalah penelitian serta data laporan yang diperoleh dari RS Prima

Pekanbaru mengenai data pasien stroke yang mengalami disabilitas.

C. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data meliputi prosedur administratif dan tekhnis.

1. Prosedur administratif

Penelitian ini akan dilakukan setelah mendapat surat izin penelitian dan

keterangan lolos kaji etik dari Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES

Tengku Maharatu yang ditujukan kepada Direktur RS Prima Pekanbaru,

dr. Irana Oktavia, M.Kes.

2. Prosedur teknis

Prosedur teknis dalam penelitian ini yaitu :

a) Meminta izin kepada kepala ruangan, menyampaikan maksud dan

tujuan penelitian.

b) Mengidentifikasi responden yang memenuhi kriteria inklusi.

c) Peneliti menjelaskan kepada calon responden tentang tujuan, manfaat,

prosedur penelitian, hak untuk menolak dan jaminan kerahasiaan


62

sebagai responden.

d) Peneliti mendatangi setiap calon responden yang memenuhi kriteria

inklusi. Untuk mencegah terjadinya pengambilan sampel yang sama

peneliti membuat daftar responden yang telah berpartisipasi menjadi

responden dalam penelitian ini yang terdiri dari nomor medical record,

nama pasien dan umur pasien. Sebelum pengambilan data peneliti

terlebih dahulu mengklarifikasi kepada calon responden apakah sudah

pernah sebelumnya menjadi responden dalam penelitian ini dan

menyesuaikan keterangannya dengan daftar responden. Jika belum

pernah dan bersedia menjadi responden maka data responden dicatat

dalam daftar responden kemudian responden diminta untuk mengisi

lembar informed consent yang telah dipersiapkan.

e) Data dikumpulkan oleh peneliti dari responden dengan mengisi

kuesioner karakteristik responden, kemudian dilanjutkan dengan

mengisi kuesioner mekanisme koping, disabilitas dan keputusasaan.

Pengumpulan data karakteristik demografi dilakukan dengan

menggunakan kuesioner data demografi pada pasien yang mengalami

stroke. Kuesioner data demografi merupakan kuesioner untuk

mendapatkan gambaran karakteristik responden yang terdiri dari

pertanyaan yang berkaitan dengan usia, jenis kelamin, pekerjaan,

pendidikan, dan lama menderita stroke.

f) Waktu yang dibutuhkan untuk pengumpulan data adalah 15 sampai 30

menit setiap responden. Setelah responden selesai, peneliti akan

mengecek kembali kelengkapan kuesioner. Jawaban yang kurang


63

lengkap diklarifikasi kembali kepada responden. Kuesioner yang telah

diisi dengan lengkap kemudian dikumpulkan dan selanjutnya dilakukan

prosedur pengolahan data.

D. Definisi Operasional

Definisi operasional dalampenelitian ini dapat dilihat pada tabel sebagai

berikut:

Tabel 3.1
Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara Alat Ukur Skala Hail Ukur


Operasional Ukur Ukur
Independen
Mekanisme Cara atau Menyebar Kuesioner Ordinal 1. Koping
koping usaha yang Kuesioner adaptif,
dilakukan jika
oleh penderita jawaban>
stroke dalam dari nilai
menyelesaikan mean
masalah yang 2. Koping
dihadapi, maladaptif,
meliputi : jika
jawaban <
1.Mekanisme dari nilai
koping mean
adaptif
2. Mekanisme (Hidayat,
koping 2009)
maladaptif
Disabilitas Keterbatasan Menyebar Kuesioner Interval Dinyatakan
kemampuan Kuesioner dalam
pasien dalam rentang 0-75
melakukan 1. Tidak
aktivitas Mengalami
sehari-hari disabilitas :
meliputi 0-15
makan, mandi, 2. Disabilitas
merawat diri, ringan :
berpakaian, 16-30
64

eliminasi, 3. Disabilitas
berpindah, sedang :
mobilitas dan 31-45
menggunakan 4. Disabilitas
tangga berat : 46-60
5. Disabilitas
sangat
berat
61-75
Dependen
Keputus- Perasaan Menyebar Kuesioner Interval Dinyatakan
Asaan subjektif dan Kuesioner dalam
emosional dari rentang 0-20
penderita 1. 0-5 :
stroke yang normaL
kehilangan 2. 6-10 :
motivasi dan keputusas
melihat tidak aan
adanya cara ringan
lain untuk 3. 11-15 :
mencapai hal keputusas
yang lebih aan
baik dalam sedang
menghadapai 4. 16-20 :
penyakit. keputusas
(Sutejo, 2019) aan berat.
Confounding
Usia Jumlah tahun Menyebar Kuesioner Interval Usia
hidup pasien Kuesioner dinyatakan
stroke sampai dalam
saat ini rentang
17-65 tahun.

1 : 17-25 thn
2 : 26-35 thn
3 : 36-45 thn
4 : 45-55 thn
5 : 56-65 thn

(Depkes,
2009)

Jenis Gender yang Menyebar Kuesioner Nominal 1 : Laki-laki


kelamin dibawa sejak Kuesioner 2 :Perempuan
lahir pada
pasien yang
dibedakan
antara jenis
65

kelamin laki-
laki dan
perempuan

Pendidikan Jenjang Menyebar Kuesioner Ordinal 1 = Tidak


pendidikan Kuesioner sekolah
formal yang 2 = SD
telah dilalui 3 = SMP
oleh 4 = SMA
responden. 5 = PT

Status Status dari Menyebar Kuesioner Nominal 1 = Menikah


Perkawinan perkawinan Kuesioner 2 = Cerai/
pasien baik Duda/
yang tinggal Janda
bersama 3 = Belum
maupun Menikah
terpisah

Pekerjaan Aktivitas rutin Menyebar Kuesioner Nominal 1 = Tidak


yang Kuesioner bekerja/
dilakukan IRT/
pasien dan Pensiun
mendapatkan 2 = Petani
penghasilan 3 = Buruh
dari aktivitas 4 = Swasta
tersebut. 5 = Wiras-
wasta

6 = PNS/
TNI/
POLRI
Lama Waktu Menyebar Kuesione Ordinal 1 = 0-12
menderita pertama pasien Kuesioner bulan
stroke mengalami 2 = 1-2
stroke sampai tahun
datangnya
serangan
stroke
berikutnya

E. Analisa Data

Setelah seluruh data yang diperlukan dalam penelitian ini terkumpul,

dilakukan pengolahan dan analisis data melalui tahapan sebagai berikut:

1. Pengolahan Data
66

Pengolahan data merupakan bagian yang sangat penting untuk mencapai

tujuan pokok penelitian. Setelah semua data terkumpul peneliti akan

melakukan proses pengolahan data. Data yang telah terkumpul sebelum

dianalis terlebih dahulu akan dilakukan tahap-tahap proses pengolahan

data yaitu:

a. Editing

Melakukan pengecekan ulang terhadap data yang sudah diperoleh.

Menilai apakah data sudah terisi lengkap sesuai dengan yang

diharapkan, tulisan cukup jelas terbaca, jawaban relevan dengan

pertanyaan yang telah diperoleh dan konsisten serta apakah masih

terdapat kekurangan yang mungkin akan menyulitkan dalam

pengolahan data berikutnya. Editing dilakukan langsung setelah

responden selesai mengisi kuesioner. Jika masih terdapat data yang

kurang atau jawaban yang masih kosong maka peneliti meminta

responden untuk memperbaiki atau melengkapi kuesioner kembali.

b. Coding

Merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data

berbentuk angka atau bilangan. Memberi kode terhadap variabel-

variabel yang diperoleh sebelum pengolahan data selanjutnya. Setiap

data diberikan kode-kode tertentu agar memudahkan dalam proses

pengolahan data berdasarkan pada kuesioner yang telah diisi.

c. Entry

Proses memasukkan data ke dalam program komputer untuk

selanjutnya dilakukan analisis dengan menggunakan program yang


67

sesuai. Peneliti akan melakukan proses entry data jika sudah yakin

bahwa data yang diperoleh sudah benar baik dari kelengkapan maupun

pengkodeannya. Setelah itu peneliti akan memasukkan data satu persatu

kedalam program komputer kemudian dilanjutkan dengan proses

pengolahan data.

d. Cleaning

Merupakan kegiatan yang dilakukan untuk melihat atau pengecekan

kembali data yang sudah dimasukkan ke program komputer. Hal ini

dilakukan untuk mengetahui ada atau tidak kesalahan saat memasukkan

data. Setiap ditemukan keanehan data perlu dilakukan pengecekan

kembali pada kuesioner. Setelah peneliti yakin semua data telah

dibersihkan maka akan dilanjutkan dengan memasukkan data ke dalam

komputer dengan menggunakan salah satu program komputer dan

melakukan analisis data.Setelah seluruh data yang diperoleh diolah

kemudian dilakukan analis data. Analisis data dalam penelitian ini

dilakukan secara analisis univariat, bivariat dan multivariat.

2. Analisa Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian (Notoatmodjo, 2018). Statistik

deskriptif yang dianalisis adalah jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan,

status pekerjaan, status perkawinan, lama menderita stroke, jumlah

serangan stroke, mekanisme koping, disabilitas dan keputusasaan pada

pasien stroke. Analisis yang dilakukan terhadap setiap variabel dari hasil
68

penelitian dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Arikunto,

2010) :

F
P= x100%
N

Keterangan :
P : Persentase variabel
F : Frekuensi
N : Jumlah sampel

3. Analisa bivariat

Analisa bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan dan berkorelasi menggunakan data berskala (Notoatmodjo,

2018).Analisa bivariat dalam penelitian ini digunakan untuk menguji

variabel independen yaitu mekanisme koping dan disabilitas serta

variabel dependen yaitu keputusasaan. Jenis data dari masing-masing

variabel merupakan data dengan skala numerik, sehingga analisis bivariat

yang dilakukan menggunakan uji korelasi Pearson (pearson product

moment).

Uji statistic yang digunakan adalah chi square dengan

menggunakantingkat kepercayaan 95% (p<0,05) chi square ini digunakan

untukmenganalisa hubungan variabel kategorik dengan kategorik

padavariabel ini, berdasarkan probabilitas :

1) Jika probabilitas (P) <α (0,05) Ho ditolak

2) Jika probabilitas (P) >α (0,05) Ho diterima atau gagal ditolak


69

Jika nilai P<α (0,05) maka hipotesis penelitian (Ha) diterima, artinyaada

hubungan yang signifikan antara mekanisme koping dan disabilitas

dengan keputusasaan terhadap pasien stroke.Jika nilai P>α (0,05) maka

hipotesis penelitian (Ha) ditolak artinyatidak ada hubungan yang

signifikan antara antara mekanisme koping dan disabilitas dengan

keputusasaan terhadap pasien stroke.

Tabel 3.2
Analisa Bivariat Variabel Independen dan Dependen

No Variabel Variabel Jenis


Dependen Independen Uji Statistik
1 Keputusasaan Mekanisme Koping Korelasi Person

2 Keputusasaan Disabilitas Korelasi Person

Sumber : Arfina (2017)

F. Uji Validitas Dan Reliabilitas

G. Uji Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur yang digunakan

benar-benar mengukur apayang diukur (Notoatmodjo, 2012). Suatu

instrument dikatakan valid apabila korelasi tiap item memiliki nilai positif

dan nilai r hitung > r tabel (Hidayat, 2011).Uji validitas dapat dilakukan

dengan menggunakan Content Validity Index (CVI). CVI menunjukkan

kemampuan item pertanyaan telah mencakup isi dari semua unsur yang

akan diteliti yaitu dengan meminta pendapat ahli (expert) sebagai pakar

penelitian.
70

Instrumen The Brief Cope Inventory merupakan instrumen yang telah

digunakan dan dikembangkan serta dibuat dalam versi bahasa yang berbeda.

Instrumen ini memiliki nilai Internal Consistency atau Cronbach’s alpha

0,50-0,80. Instumen untuk mengukur disabilitas dalam penelitian ini

menggunakan kuesioner WHO Disability Assessment Schedule 2,0, secara

keseluruhan kuesioner WHO Disability Assessment Schedule 2,0 memiliki

nilai Internal Consistencyatau Cronbach’s alpha0,84. Instrumen untuk

mengukur keputusasaan dimodifikasi dariBeck Hopelessness Scale (BHS),

jika dilihat dari nilai Cronbach’s alpha kuesioner ini memiliki nilai 0,91.

Uji validitas kuesioner ini telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya

sehingga tidak dilakukan uji validitas ulang dan kuesioner langsung dapat

digunakan. Berdasarkan hasil uji validitas intrumen yang telah dilakukan

oleh Arfina (2017), dari ketiga expert pada kuesioner The Brief Cope

Inventory, WHO Disability Assessment Schedule 2,0 dan keputusasaan

didapatkan nilai CVI yang dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel 3.3

Hasil Uji Content Validity Index Kuesioner Penelitian

Instumen CVI
The Brief Cope Inventory 0,868
WHO Disability Assessment Schedule2,0 0,860
Keputusasaan 0,866

Tabel 3.1 menunjukkan dari hasil uji CVI yang telah dilakukan oleh

Arfina (2017), dari ketiga expert kuesioner The Brief Cope Inventory, WHO

Disability Assessment Schedule 2,0 dan keputusasaan mempunyai nilai CVI


71

≥ 0,78, hal ini menunjukkan bahwa ketiga instrumen ini dapat digunakan

untuk mengukur mekanisme koping, disabilitas dan keputusasaan dalam

penelitian ini.

H. Reliabilitas

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat

pengukur dapat terpercaya atau dapat diandalkan (Notoatmodjo, 2012).

Instrumen yang reliabel adalah instrumen yang bila digunakan beberapa kali

untuk mengukur objek yang sama, akan menghasilkan data yang sama

(Sugiyono, 2012).Ujireliabilitas dilakukan dengan menggunakan Internal

Consistency yang dilihat dari nilai Cronbach Alpha.

Uji reliabilitas telah dilakukan oleh Arfina (2017) terhadap 30 orang

responden yang mengalami stroke di ruang rawat jalan. Berdasarkan hasil

uji reliabilitas kuesioner didapatkan nilai Cronbach Alphadari hasil uji

reliabilitas

kuesioner yang telah dilakukan diperoleh nilai ≥ 0,70, hal ini menunjukkan

bahwa ketiga kuesioner tersebut reliabel dalam menilai mekanisme koping,

disabilitas dan keputusasaan dalam penelitian ini.


72

BAB IV
HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian tentang hubungan mekanisme koping dan disabilitas dengan

keputusasaan pada pasien stroke iskemik di RS Prima Pekanbarudilakukan pada

tanggal 29 November-29 Desember 2021 terhadap 28 responden, diperoleh hasil

sebagai berikut :

1. Karakteristik Responden

Tabel 4.1
Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin,
Tingkat Pendidikan, Pekerjaan, Status Perkawinan, Dan Lama
Menderita Stroke pada Pasien Stroke Iskemik

NO Karakteristik Frekuensi (f) Persentase (%)


1 Umur
26-35 thn 1 3,6
36-45 thn 6 21,4
45-55 thn 4 14,3
56-65 thn 17 60,7
Total 28 100
2 Jenis Kelamin
Laki-laki 12 42,9
Perempuan 16 57,1
Total 28 100
3 Tingkat Pendidikan
SMP 7 25,0
SMA 13 46,4
Perguruan Tinggi 8 28,6
Total 28 100
4 Pekerjaan
Tidak Bekerja/IRT/Pensiun 7 25,0
Petani 4 14,3
Buruh 1 3,6
Swasta 4 14,3
Wiraswasta 7 25,0
PNS/TNI/POLRI 5 17,9
Total 28 100
5 Status Perkawinan
Menikah 17 60,7
Duda/Janda 4 39,3
Total 28 100
73

6 Lama Menderita Stroke


0-12 bulan 21 75
1-2 tahun 7 25
Total 28 100

Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa mayoritas responden pada

kelompok umur 56-65 tahun sebanyak 17 responden (60,7%). Karakteristik

responden berdasarkan jenis kelamin sebagian besar adalah perempuan sebanyak

16 responden (57,1%). Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan,

responden terbanyak adalah dengan tingkat pendidikan SMA yaitu sebanyak 13

responden (46,4%). Karakteristik responden berdasarkan status pekerjaan,

mayoritas responden adalahtidak bekerja/IRT/pensiun dan wiraswasta yaitu

sebanyak 7 responden (25,0%). Karakteristik responden berdasarkan status

pernikahan, sebagian besar pasien menikah sebanyak 17 responden (60,7%) dan

karakteristik responden berdasarkan lama menderita stroke mayoritas ditemukan

adalah 0-12 bulan sebanyak 21 responden (75%).

2. Analisa Univariat

Analisa univariat merupakan analisa yang dilakukan untuk memperoleh

gambaran dari variabel yang diteliti baik variabel terikat maupun variabel

bebas yang kemudian ditampilkan dalam bentuk distribusi frekuensi.

a. Mekanisme Koping

Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Mekanisme Koping
Pada Pasien Stroke Iskemik

No Mekanisme Koping Frekuensi (f) Persentase (%)


1 Adaptif 15 53,6
2 Maladaptif 13 46,4
Total 28 100
74

Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwabahwa mayoritas pasienstroke

iskemik menggunakan mekanisme koping adaptif sebanyak 15 responden (53,6%)

dan minoritas menggunakan mekanisme koping maladaptif sebanyak 13

responden (46,4%).

b. Disabilitas

Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Tingkat Disabilitas
Pada Pasien Stroke Iskemik

No Disabilitas Frekuensi (f) Persentase (%)


1 Ringan 2 7,1
2 Sedang 8 28,6
3 Berat 5 17,9
4 Sangat Berat 13 46.4
Total 28 100

Berdasarkan tabel 4.3diketahui bahwa mayoritas tingkat disabilitas pasien

stroke iskmemik mayoritas adalah disabilitas sangat berat dengan jumlah 13

responden (46,4%) dan minoritas adalah disabilitas ringan dengan jumlah 2

responden (7,1%).

c. Keputusasaan

Tabel 4.4
Distribusi Frekuensi Tingkat Keputusasaan
Pada Pasien Stroke Iskemik

No Keputusasaan Frekuensi (f) Persentase(%)


1 Normal 7 25,0
2 Ringan 6 21,4
3 Sedang 11 39,3
4 Berat 4 14,3
Total 28 100

Berdasarkan tabel 4.4diketahui bahwa mayoritas tingkat keputusasaan

pasien stroke iskmemik yang terbanyak adalah keputusasaan sedang dengan


75

jumlah 11 responden (39,3%) dan minoritas adalah keputusasaan berat dengan

jumlah 4 responden (14,3%).

3. Analisa Bivariat
Analisa bivariat dilakukan untuk melihat hubungan dua variabel yaitu

hubungan mekanisme koping dan disabilitas dengan keputusasaan pada pasien

stroke iskemik dengan menggunakan uji statistic chi-square.

Hasil penelitian terhadap hubungan mekanisme koping dan disabilitas

dengan keputusasaan pada pasien stroke iskemik di RS Prima Pekanbaru

diuraikan sebagai berikut:

a. Hubungan Karakteristik Responden Dengan Keputusasaan Pada Pasien


Stroke Iskemik Di RS Prima Pekanbaru

Tabel 4.5
Hubungan KarakteristikResponden Dengan Keputusasaan
Pada Pasien StrokeIskemik Di RS Prima Pekanbaru
Krakteristik Keputusasaan
Normal Ringan Sedang Berat Total P-value
Umur n % n % n % n % n %
26-35 thn 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0% 1 3,6% 1 3,6%
36-45 thn 3 10,7% 0 0,0% 1 3,6% 2 7,1% 6 21,4% P=0,025
45-55 thn 1 3,6% 2 7,1% 0 0,0% 1 3,6% 4 14,3% α= 0,05

56-65 thn 3 10,7% 4 14,3% 10 35,7% 0 0,0% 17 60,7%


Total 7 25,0% 6 21,4% 11 39,3% 4 14,3% 28 100%
Jenis
Kelamin
Laki-laki 4 14,3% 5 17,9% 3 10,7% 0 0,0% 12 42,9% P=0,035
Perempuan 3 10,7% 1 3,6% 8 28,6% 4 14,3% 16 57,1% α= 0,05
Total 7 25,0% 6 21,4% 11 39,3% 4 14,3% 28 100%
Pendidikan
SMP 5 17,9% 0 0 ,0% 2 7,1% 0 0,0 % 7 25,0% P=0,035
SMA 1 3,6% 3 10,7% 7 25,0% 2 7,1% 13 46,4% α= 0,05
PT 1 3,6% 3 10,7% 2 7,1% 2 7,1% 8 28,6%
Total 7 25,0% 6 21,4% 11 39,3% 4 14,3% 28 100%
Pekerjaan
Tdk Bekerja
IRT/
Pensiun 2 7,1% 1 3,6% 2 7,1% 2 7,1% 7 25,0%
Petani 0 0,0% 1 3,6% 3 10,7% 0 0,0% 4 14,3% P=0,019
76

Buruh 0 0,0% 1 3,6% 0 0,% 0 0,0% 1 3,6% α= 0,05


Swasta 0 0,0% 2 7,1% 0 0,0% 2 7,1% 4 14,3%
Wiraswasta 5 17,9% 0 0,0% 2 7,1% 0 0,0% 7 25,0%

PNS/TNI/ 0 0,0% 1 3,6% 4 14,3% 0 0,0% 5 17,9%


POLRI
Total 7 25,0% 6 21,4% 11 39,3% 4 14,3% 28 100%
Perkawinan
Menikah 6 21,4% 4 14,3% 3 10,7% 4 14,3% 17 60,7%
Cerai/ 1 3,6% 2 71% 8 28,6% 0 0,0% 11 39,3%
Duda/Janda
Total 7 25,0% 6 21,4% 11 39,3% 4 14,3% 28 100%
Lama
Menderita
Stroke
0-12 bulan 4 14,3% 2 7,1% 11 39,3% 4 14,3% 21 75,0% P=0,008
α= 0,05
1-2 tahun 3 10,7% 4 14,3% 0 0,0% 0 0,0% 7 25,0%
Total 7 25,0% 6 21,4% 11 39,3% 4 14,3% 28 100%

Berdasarkan tabel 4.5 diketahui bahwa hasil uji chi-Square pada kelompok

umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, status perkawinan dan lama

menderita stroke menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan dengan

keputusasaan dimana nilai p-value<0.05, yaitu umur p-value=0,025, jenis kelamin

p-value=0,035, pendidikan p-value=0,035, pekerjaan p-value=0,019, status

perkawinan p-value=0,022.

b. Hubungan Mekanisme Koping Dengan Keputusasaan Pada Pasien


Stroke Iskemik Di RS Prima Pekanbaru

Tabel 4.6
Hubungan Mekanisme Koping Dengan Keputusasaan Pada
Pasien StrokeIskemik Di RS Prima Pekanbaru

Mekanisme Keputusasaan
Koping Normal Ringan Sedang Berat Total
N % n % N % N % N %
Adaptif 6 21,4 5 17,9 3 10,7 1 3,6 15 53,6 P=0,024
Maladaptif 1 3,6 1 3,6 8 28,6 3 10,7 13 46,4 α= 0,05
77

Total 7 25,0 6 21,4 11 39,3 4 14,3 28 100

Berdasarkan tabel 4.5 diketahui bahwa hasil uji chi-Square pada variabel

mekanisme koping adaptif didapatkan mayoritas mengalami keputusasaan

normal sebesar 21,4% padaa variabel mekanisme koping maladaptif mayoritas

mengalami keputusasaan sedang 28,6%.

Hasil uji statistic chi-squarediperoleh nilai p-value=0,024 (p-value<0.05)

maka data Ha1 diterima yang berarti ada hubungan mekanisme koping dengan

keputusasaan pada pasien stroke di Rumah Sakit Prima Pekanbaru.

c. Hubungan Disabilitas Dengan Keputusasaan Pada Pasien Stroke Iskemik


Di RS Prima Pekanbaru

Tabel 4.7
Hubungan Disabilitas Dengan KeputusasaanPada
Pasien StrokeIskemik Di RS Prima Pekanbaru

Keputusasaan
Disabilitas
Normal Ringan Sedang Berat Total
N % N % n % n % N %
Ringan 1 3,6 1 3,6 0 0,0 0 0,0 2 7,1 P=0,024
Sedang 4 14,3 3 10,7 0 0,0 1 3,6 8 28,6 α= 0,05
Berat 1 3,6 1 3,6 1 3,6 2 7,1 5 17,9
Sangat Berat 1 3,6 1 3,6 10 35,7 1 3,6 13 46,4
Total 7 25,0 6 21,4 11 39,3 4 14,3 28 100

Berdasarkan tabel 4.5 diketahui bahwa hasil uji chi-Square pada variabel

Berdasarkan tabel 4.6 menunjukkan hubungan variabel disabilitas dengan

keputusasaan, responden yang mengalami disabilitas sangat berat mengalami

keputusasaan sedang sebesar 35,7%.

Hasil uji statistic chi-squarediperoleh angka signifikan atau nilai

probabilitas (0,024) lebih rendah standart signifikan dari 0,05 (p<α), maka
78

data Ha2 diterima yang berarti ada hubungan disabilitas dengan keputusasaan

pada pasien stroke di Rumah Sakit Prima Pekanbaru.

BAB V
PEMBAHASAN

A. Inteprestasi dan Hasil Diskusi

1. Karakteristik Responden

a) Umur

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas

responden pada kelompok usia 56-65 tahun dengan presentase 60,7%

sebanyak 17 responden. Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah

dilakukan oleh Heri,dkk (2019) terhadap 47 pasien stroke dimana

kelompok usia 55-65 tahun merupakan kelompok usia yang mengalami

insiden stroke paling banyak.

Faktor usia merupakan salah satu yang mempengaruhi terjadinya

stroke. Semakin bertambah tua usia, semakin tinggi risikonya. Hal ini

berkaitan dengan proses generasi yang terjadi secara alamiah pada

lansia, dimana pembuluh darah menjadi lebih kaku karena adanya plak

yang menempel pada pembuluh darah (Burns, 2019). Stroke pada usia

muda juga bisa terjadi yang diakibatkan oleh gaya hidup yang kurang

sehat seperti sering mengkonsumsi makanan siap saji, minuman

berakohol dan kurang olahraga. Pada usia dibawah 40 tahun juga bisa

disebabkan oleh kadar kolesterol yang tinggi, hipertensi serta stress

yang berkepanjangan (Pudiastuti, 2011).


79

b) Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas

responden adalah perempuan dengan presentase 57,1% sejumlah 16

responden. American Heart Association (2020) mengungkapkan bahwa

serangan stroke lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan

perempuan. Laki-laki memiliki risiko yang lebih besar untuk terserang

stroke, hal ini mungkin terkait bahwa laki-laki cenderung lebih banyak

perokok. Merokok dapat merusak lapisan pembuluh darah, dikarenakan

orang yang merokok memiliki kadar fibrinogen darah yang lebih tinggi

dibanding orang yang tidak merokok. Peningkatan kadar fibrinogen

dapat menyebabkan terjadinya penebalan pembuluh darah sehinggga

pembuluh darah menjadi sempit dan menganggu aliran darah darah ke

otak sehinggga terjadinya stroke (sya’diah, 2018).

Namun hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya

yang menyatakan bahwa jenis kelamin laki-laki lebih berisiko terkena

stroke. Hasil penelitian menyatakan mayoritas pasien stroke iskemik

yang ada di RS Prima adalah perempuan yaitu 57,1% dengan jumlah 16

responden. Penelitian yang dilakukan di Inggris dan dirilis dalam jurnal

neurologi (2020) yang melibatkan 1,3 juta wanita di Inggris dengan

rata-rata berusia >57 tahun menyatakan faktor yang bisa meningkatkan

risiko terkena stroke pada wanita adalah wanita lebih rentan terkena

penyakit autoimun, menopause, obesitas, kolesterol tinggi, hipertensi,

kurang olahraga, kualitas tidur, penggunaan alat kontrasepsi yang

berlebihan dan merokok.


80

c) Tingkat Pendidikan

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas tingkat

pendidikan responden adalah SMA dengan presentase 46,4% sejumlah

13 responden. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Wardhani yang menyebutkan bahwa responden dengan tingkat

pendidikan SMA sebanyak 14 orang (63,6%). Penelitian lain yang

dilakukan oleh Heri, dkk (2019) menyebutkan pasien yang mengalami

stroke iskemik paling banyak terjadi pada tingkat SMA dan Perguruan

Tinggi yaitu sebanyak 13 pasien (27,7%). Meskipun hasil tersebut

menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan, tetapi terdapat

kecenderungan bahwa orang dengan tingkat pendidikan rendah akan

berpotensi untuk mengalami stroke.

Seseorang dengan pendidikan tinggi cenderung akan mendapatkan

informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa. Semakin

banyak informasi yang diperoleh semakin banyak pula pengetahuan

yang didapat tentang kesehatan serta akan mempengaruhi pola pikir

seseorang tentang manajemen kesehatannya (Notoatmodjo, 2010).

d) Pekerjaan

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkanbahwa mayoritas status

pekerjaan responden adalah tidak bekerja/IRT/pensiun dan wiraswasta

dengan presentase 25,0% sejumlah 7 responden.Hal ini sejalan dengan

penelitian yang telah dilakukan oleh Arfina (2017) terhadap 142 pasien

stroke dimana status pekerjaan rata-rata responden dalam penelitian ini

adalah tidak bekerja atau ibu rumah tangga (IRT) dan pensiun.
81

Faktor risiko terjadinya stroke salah satunya adalah kurangnya

latihan fisik. Latihan fisik secara teratur dapat membantu mengurangi

timbulnya penyakit jantung dan stroke (sya’diahl, 2018). Pasien yang

tidak memiliki pekerjaan juga memungkinkan mengalami stres yang

lebih berat karena memikirkan tentang bagaimana mendapatkan

penghasilan. Salah satu pemicu stroke seperti stres akan membuat

kalenjar adrenal dan tiroid bekerja lebih keras sehingga kalenjar

tersebut akan meningkatkan produksi hormone adrenalin, tiroksin dan

kortisol sebagai hormone utama stres (Laily, 2016).

e) Status Perkawinan

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas status

perkawinan pasien adalah menikah dengan persentase 60,7% sejumlah

17 responden. Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan

oleh Ardi (2017), proporsi responden yang telah menikah lebih besar

dengan jumlah 63 orang (64,3%).

Meskipun status perkawinan bukan merupakan faktor risiko

terjadinya stroke, namun status perkawinan merupakan bentuk

dukungan sosial terhadap seseorang. Dengan adanya pasangan hidup

dapat memberikan dukungan untuk menjalankan hidup sehat dan

positif.

2. Hubungan Mekanisme Koping Dengan Keputusasaan Pada Pasien


Stroke Iskemik
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa mayoritas mekanisme

koping responden terbanyak yaitu adaptif sebanyak 15 responden dengan

persentase 53,6%). Hasil uji statistic menunjukkan p-value yang diperoleh


82

adalah 0,024 nilai ini menunjukkan bahwa p-value <0,05. Maka dapat

disimpulkan bahwa ada hubungan mekanisme koping dengan

keputusasaan pada pasien stroke iskemik di RS Prima Pekanbaru.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh ajeng

(2017) tentang mekanisme koping pasien stroke yang mengalami

disability, menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki mekanisme

koping adaptif (baik) yaitu sebanyak 21 pasien (70,0%). Hal ini didukung

berdasarkan data yang diperoleh bahwa mayoritas pasien berusaha

mendekatkan diri kepada Tuhan dan berbagi pendapat dengan teman atau

keluarga, tidak menghindar dari masalah dan menganggap masalah yang

ada harus diselesaikan. Hal tersebut sesuai dengan faktor-faktor yang

mempengaruhi strategi koping dalam pembentukan mekanisme koping

diantaranya keyakinan atau tantangan positif terhadap masalah yang

dihadapi, keterampilan dalam memecahkan masalah yang dihadapi, dan

dukungan sosial yang dilakukan oleh keluarga (Nasir dan Muhith, 2011),

Mekanisme koping yang baik tentu mempengaruhi stres. Menurut

Sya’diah (2018) penderita stroke harus menjaga kondisi psikologisnya

sehingga tidak megalami keadaan yang berujung stres yang dapat

menurunkan kesehatan dan dapat menimbulkan serangan stroke.

Terjadinya serangan stroke umumnya dipicu dari psikologis pasien yang

merasa menyerah dan putus asa terhadap penyakit dan kondisi tubuhnya

yang mengalami kecacatan atau kelumpuhan jangka panjang pasca stroke

sehingga penderita tidak dapat melakukan aktifitas seperti sebelumnya.


83

3. Hubungan Disabilitas Dengan Keputusasaan Pada Pasien Stroke

Iskemik

Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa mayoritas tingkat

disabilitas responden terbanyak adalah sangat berat sebanyak 13

responden dengan persentase 36,4%. Hasil uji statistic menunjukkan p-

value yang diperoleh adalah 0,024 nilai ini menunjukkan bahwa p-value

<0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan disabilitas dengan

keputusasaan pada pasien stroke iskemik di RS Prima Pekanbaru.

Disabilitas yang dialami responden pada penelitian ini dapat dikategorikan

menjadi tidak ada, ringan, sedang, berat dan sangat berat. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa 7,1% responden mengalami disabilitas ringan, 28,6%

mengalami disabilitas sedang, 17,9% mengalami disabilitas berat dan

46,4% mengalami disabilitas sangat berat. Penilaian tingkat disabilitas

dalam penelitian ini diukur berdasarkan kognisi, mobilitas, self-care,

berinteraksi, melakukan aktivitas sehari-hari dan kemampuan pasrtisipasi

responden dalam kegiatan sosial.

Salah satu faktor yang mempengaruhi disabilitas adalah usia. Hal ini

sependapat dengan penelitian yang dilakukan oleh Munir (2016) yang

mengemukakan semakin tua penderita stroke maka semakin tinggi tingkat

disabilitas yang dialami. Pasien stroke yang mengalami tingkat disabilitas

tinggi tidak dapat hidup mandiri dan menjadi ketergantungan sehingga

menimbulkan keterbatasan untuk aktivitas sehari-hari dan menimbulkan

rasa keputusasaan dalam menjalani aktivitasnya.

B. Keterbatasan Penelitian
84

1. Sebagian besar pasien mengalami kelemahan pada salah satu

ekstremitas atas sehingga harus dibantu saat pengisian kuesioner.

2. Penurunan fungsi kognitif menyebabkan perlunya dilakukan

pembacaan kuesioner secara berulang-ulang oleh peneliti sehingga

memerlukan waktu yang lebih lama dalam pengisian kuesioner.

3. Ada beberapa pasien yang takut untuk mengisi kuesioner dengan

alasan takut pelayanan yang diberikan akan berubah, sehingga

responden mengisi kuesioner dengan terpaksa dan tidak jujur,

BAB VI
PENUTUP

Hasil penelitian yang telah dilakukan tentang “hubungan mekanisme koping

dan disabilitas dengan keputusasaan pada pasien stroke iskemik di RS Prima


85

Pekanbaru”, dapat disimpulkan bahwa :

A. Kesimpulan

1. Karakteristik responden sebagian besar berjenis kelamin perempuan

(57,1%) dengan rentang usia terbanyak pada kategori 56-65 tahun

(60,7%). Tingkat pendidikan responden terbanyak adalah SMA (46,4%).

Status perkawinan terbanyak menikah (60,7%) dan sebagian besar

responden tidak bekerja (25,0%) dengan lama menderita stroke rata-rata

0-12 bulan.

2. Mekanisme koping responden stroke iskemiksebagian besar adaptif

(53,6%).

3. Tingkat disabilitas respondenstroke iskemik sebagian besar sangat berat

(46,4%).

4. Tingkat keputusasaan responden stroke iskemik sebagian besar sedang

(13,3%)

5. Terdapat hubungan antara mekanisme koping dengan keputusasaan

karena nilai p-value 0,024 < 0,05

6. Terdapat hubungan antara disabilitas dengan keputusasaan karena nilai

p-value 0,024 < 0,05

B. Saran

1. Bagi instansi kesehatan

Diharapkan dapat terus mengembangkan ilmu kesehatan khususnya

keperawatan keluarga dan komunitas dalam memberikan informasi,

edukasi dan meningkatkan promosi kesehatan atau pendidikan kesehatan


86

dalam upaya peningkatkan pengetahuan masyarakat terkait faktor

terjadinya stroke.

2. Bagi perawat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam

memberikan intervensi bagi pasien dan keluarga saat memberiperawatan

kepada pasien stroke iskemik sehingga meningkatkan kualitas hidup dan

semangat agar pasien mampu menerima kondisinya walaupun dengan

keterbatasan fisik.

3. Peneliti selanjutnya

Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai saran dan masukkan

bagi peneliti selanjutnya dengan jumlah responden yang lebih besar serta

pengambilan data yang lebih lengkap yang berhubungan dengan

keputusasaan seperti penyakit penyerta, dukungan keluarga, dan

kepatuhan dalam menjalankan program pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA

Arfina, A (2017). Hubungan mekanisme koping dan disabilitas dengan


keputusasaan pada pasien stroke. Universitas Sumatra Utara, Medan,
Indonesia
Andrytha,G. Budi,T & Jeini Ester,N. (2020). Hubungan antara hipertensi, diabetes
melitus, dan hiperkolesterolemia dengan kejadian stroke iskemik.Volume 1
(1), 1
87

American Heart Association (AHA)/American Stroke Association (ASA). (2021).


Impact of COVID-19 Infection on the Outcome of Patients With Ischemic
Stroke. Diperoleh tanggal 31 agustus 2021 Diakses
darihttps://www.ahajournals.org/doi/abs/10.1161/STROKEAHA.121.03488
3
Burns, D. (2019). Landasan Teori Keperawatan Untuk Pasein Dewasa-
Foundation of Adult Nursing. Yogyakarta : Andi Offset
Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan medikal bedah: Manajemen
klinis untuk hasil yang diharapkan (ed. 8 vol. 3). Singapura: Elsevier.
Dharma, K. K. (2011). Metodologi penelitian keperawatan: Panduan
melaksanakan dan menerapkan hasil penelitian. Jakarta: Trans Info Media.

Dunn, S. L. (2005). Hopelessness as a response to physical illness. Journal of


Nursing Scholarship, 37(2): 148-154. Diperoleh tanggal 31 Agustus 2021
diakses dari http://www.perpusnas.go.id.

Haryono, B dan Utami, Putri M. (2019). Keperawatan Medikal Bedah.


Yogyakarta : Pustaka Buku Press

Heri, P, Kusuma dan Made, O. (2019). Perbedaan kejadian depresi pasca-stroke


pada pasien stroke iskemik lesi hemisfer kiri dan kanan di RSUP Sanglah.
Vol.8, (3)

Ikawati, Z. (2018). Tata Laksana Terapi Penyakit Sistem Syaraf Pusat.


Yogyakarta : Bursa Ilmu

Irianto. (2018). Epidemiologi Penyakit Menular dan Tidak Menular Panduan


Klinis. Bandung : ALFABETA

Javier, F. (2020). Stress perception and Stress causes: Coping support technics
with the Positive Psychology Approach. Vol.5 (3).

Journal Of Translational Neurosciences (2021). Stress perception and Stress


causes: Coping support technics with the Positive Psychology Approach.
Diperoleh tanggal 01 september 2021. Diakes dari
file:///C:/Users/ASUS/Downloads/stress-perception-and-stress-causes-
coping-support-technics-with-the-positive-psychology-approach.pdf

Kemenkes, RI. (2018). Riset kesehatan dasar 2018. Diakses dari


http://www.litbang.depkes.go.id/sites/Riskesdas 2018.
88

Kemenkes, RI. (2018). Profil kesehatan Indonesia 2018. Diakses dari


http://www.depkes.go.id/profil kesehatanIndonesia2018

Laily, SR. (2016). Karakteristik penderita stroke dan hipertensi. Diakses dari
http://ojss.unud.ac.id/

Maria,M & Nang, R. (2019). Disabilitas klien pasca stroke terhadap depresi.10 (3)

Miftahul,R.Irma,F.&Ropika,N.(2019).Hubungan ketidakmampuan fisik dengan


keputusasaan pada paien stroke di rumah sakit stroke nasional bukit tinggi.

Muhammad,A.(2011). Analisis ketidakmampuan fisik dan kognitif dengan


keputusasaan pada pasien stroke di makassar.Universitas Indonesia

Munir, B dan Purnamasari,Y. (2016). Determinan yang mempengaruhi depresi


pada pasien stroke infark di RS Saiful Anwar Malang. Neurologi Journal. 2,
(2), 59-62

Nasir, A dan Abdul, M. (2011). Dasar-dasar Keperawatan Jiwa, Pengantar dan


Teori. Jakarta:Salemba Medika

National Library of Meducine (NIH). (2012). Association of coping style,


cognitive errors and cancer-related variables with depression in women
treated for breast cancer. Diambil pada 2021. Diakses dari
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/22859828/

Padila. (2019). Buku Ajar : Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha


Medika

Pudiastuti. (2011). Penyakit Pemicu Stroke. Yogyakarta : Nuha Medika

Siti,N & Bram, B. (2019). Mekanisme koping dan respon ketidakberdayaan pada
pasien stroke. 11, (1)

Sutejo. (2019). Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Pustaka Buku Press

Setiadi, A. (2013). Kumpulan Kuesioner dan Intrumen Penelitian


kesehatan.Yogyakarta : Nuha Medika

Sya’diah, H. (2018). Keperawatan Lanjut Usia. Sidoarjo : Indomedia Pustaka

Syahrus, Ahmad S. (2019). Altruisme Hukum-Kepedulian Terhadap Penyandang


Disabilitas. Yogyakarta : UII Press

Stroke Association.(2012). Emotional changes after stroke. diakses dari


http://www.stroke.urg.uk
89

Titik, A.Ollyvia F.Erma F. (2020). Identifikasi aktivitas fisik pada pasien pasca
Stroke Identification of Physical Activities in Post Stroke Patients. 11 (1),
91-96
Wardhani, I.O (2017). Hubungan Antara Karakteristik Pasien Stroke Dan
Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Menjalani Rehabilitasi, h.9-12
World Health Organization (WHO). (2018). International classification of
functioning, disability and health. diakses dari
http://cpwg.net/resources/who-2018

Anda mungkin juga menyukai