Anda di halaman 1dari 35

PROPOSAL

REVIEW : HUBUNGAN DEPRESI DENGAN KEJADIAN


HIPERTENSI PADA PASIEN LANJUT USIA
POLIFARMASI

DISUSUN OLEH :
Shinta Yunianti Sapitri
NIM : 203001020016

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS KESEHATAN DAN FARMASI
UNIVERSITAS ADIWANGSA JAMBI
2024
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Depresi merupakan suatu gangguan mental yang sering terjadi pada lansia.
Gejala depresi pada lansia ini sering tertupi oleh fisik. Depresi pada lansia ini
dapat juga di pengaruhi oleh berbagai macam yaitu seperti psokologi dan sosial.
Gangguan mental ini dapat menyebabakan dampak yang besar bagi lansia karena
dapat menurunkan kemampuan lansia dalam melakukan aktivitas sehari - hari,
menurunkan kemandirian, kualitas hidup lansia, dan dapat memberi pengaruh
yang buruk dan negatif pada kualitas hidup (Anissa, 2019).
Angka prevalensi depresi pada lansia di dunia cukup tinggi terutama di
negara berkembang, yakni mencapai 500 juta jiwa lansia dengan rata-rata usia 60
tahun. Survey menunjukkan lansia di dunia yang mengalami depresi yaitu sebesar
13,5% dengan perbandingan laki-laki 8,6% dan perempuan 14,1% (Hariyono,
2021). Angka prevalensi depresi pada lansia sekitar 5-17% berada di pelayanan
kesehatan primer, 25% lansia di komunitas, 25% lansia di rumah sakit dan 40%
lansia di panti jompo (Musmiler, 2020). Data prevalensi depresi pada lansia di
provinsi Jawa Tengah menunjukkan 14,2% terjadi pada usia 55-64 tahun, 18%
pada usia 65-74 tahun dan 28,7% pada usia 75 tahun ke atas (Hariman et al.,
2022).
WHO menyatakan Indonesia menduduki urutan pertama dengan kejadian
depresi lansia tertinggi pada tahun 2020 menggantikan penyakit infeksi yang
terjadi di negara berkembang (Kemenkes RI, 2021). Depresi yang terjadi pada
usia lanjut disebabkan oleh banyak faktor yang saling berkaitan, yakni aspek
biologis, fisik, psikologis dan social. Faktor yang berpengaruh terhadap tingginya
kejadian depresi pada lansia diantaranya jenis kelamin perempuan, kematian
pasangan, penyakit fisik kronis yang dialami, status ekonomi yang rendah, tidak
mendapat perhatian dari keluarga, merasa kesepian, merasa tidak dibutuhkan
sehingga lansia merasa hidupnya tidak berharga, orang lanjut usia yang merasa
tidak optimal dalam menjalankan peran juga mungkin dapat mempengaruhi stress
(Setyarini et al., 2021; Sinaga, 2020; Zanebe et al., 2021).
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, persentase penduduk
lanjut usia (lansia) di Indonesia sebesar 10,48% pada 2022. Angka tersebut turun
0,34% poin dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 10,82%.
Seiring dengan turunnya persentase lansia, rasio ketergantungan mereka pun
berkurang menjadi 16,09 pada 2022. Ini berarti 100 penduduk usia produktif
menanggung 16 penduduk lansia. Adapun, 65,56% lansia merupakan lansia muda
atau berada di rentang usia 60-69 tahun. Sebanyak 26,76% lansia berusia 70-79
tahun atau madya. Sementara, 7,69% sisanya merupakan lansia tua atau berusia
80 tahun ke atas. Berdasarkan jenis kelaminnya, 51,81% lansia merupakan
perempuan. Persentase itu lebih tinggi dibandingkan lansia laki-laki yang sebesar
48,19%. Lebih lanjut, mayoritas provinsi di Indonesia memiliki persentase
penduduk lansia di atas 7%. Bahkan, ada delapan provinsi yang persentase
penduduk lansianya sudah melebihi 10%. Yogyakarta menjadi provinsi dengan
persentase penduduk lansia tertinggi, yakni 16,69%. Jawa Timur, Bali, dan Jawa
Tengah menyusul dengan persentase sekitar 13% ( BPS, 2022).
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah faktor resiko utama yang
terjadinya penyakit kardiovaskular arterosklerotik, gagal jantung, stroke dan gagal
ginjal. Batas tekanan darah yang dianggap normal adalah 140/90 mmHg,
sedangkan tekanan darah >160/95 mmHg dapat dinyatakan sebagai hipertensi.
Peningkatan tekanan darah yang terus berkepanjang dapat merusak pembuluh
darah di organ jantung, ginjal, otak dan mata. Penyakit hipertensi ini termasuk
kedalam masalah penyakit besar dan serius karena sering tidak terdeteksi
meskipun sudah bertahun- tahun. Penyakit hipertensi ini dapat menyebabkan
penyakit degeneratif, hingga kematian maka dari iru penyakit hipertensi ini di
juluki silent killer atau pembunuh diam - diam yang dapat menyerang siapa saja
(Wafiq, 2022).
Berdasarkan data WHO tahun 2021, diperkirakan terdapat 1,28 miliar
orang dewasa di seluruh dunia menderita hipertensi. Sebagian besar kasus berasal
dari negara-negara dengan ekonomi menengah ke bawah. Sedangkan di Asia
Tenggara, angka kejadian hipertensi pada tahun 2020 adalah 39,9%. Sedangkan
menurut Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 prevalensi
hipertensi di Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 260 juta adalah 34,1%.
Provinsi Banten pada tahun 2019, persentase yang mengalami hipertensi sebesar
29,47%. Pada Kabupaten Tangerang pada tahun 2018 jumlah penduduk yang
mengalami hipertensi tercatat sebanyak 274.792 penduduk (Laurensia, 2022).
Menurut Riskesdas dalam (Kemenkes RI, 2021) prevalensi hipertensi di
Indonesia sebesar 34,1%, mengalami peningkatan dibandingkan prevalensi
hipertensi pada Riskesdas Tahun 2013 sebesar 25,8%. Prevalensi Hipertensi tahun
2020 diperoleh dari data Riskesdas Tahun 2018 dimana angka prevalensi Provinsi
Jawa Barat meningkat dari 34,5% menjadi 39,6% (Dinkes Jawa Barat, 2020).
Dinkes Kabupaten Tasikmalaya (2022) menyatakan Jumlah yang terkena
penyakit hipertensi di Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 2021 yaitu 86.176
orang, puskesmas Gunung Tanjung memasuki peringkat 7. Hasil studi
pendahuluan yang dilakukan peneliti di Puskesmas Gunung tanjung menunjukkan
bahwa hipertensi termasuk kedalam 5 besar penyakit yang banyak penderitanya.
Sebanyak 2.893 orang menderita hipertensi pada tahun 2016 sampai tahun 2021,
878 orang berusia 15 - 45 tahun, 1.024 orang beruisia 46 – 69 tahun, dan 991
orang berusia 69 -75 tahun.
Dari prevalensi hipertensi sebesar 34,1% diketahui bahwa sebesar 8,8%
terdiagnosis hipertensi dan 13,3% orang yang terdiagnosis hipertensi tidak minum
obat serta 32,3% tidak rutin minum obat. Sebanyak 58 % Penderita hipretensi
tidak minum obat karena mereka merasa sehat. Hal ini menunjukkan bahwa
sebagian besar penderita Hipertensi tidak memiliki pengetahuan bahwa dirinya
hipertensi sehingga tidak mendapatkan pengobatan (Infodatin, 2019).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan masalah pada
penelitian ini adalah apakah ada hubungan depresi dengan kejadian Hipertensi
pada pasien lanjut usia polifarmasi

1.3 Tujuan penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan depresi dengan
kejadian hipertensi pada lansia polifarmasi berdasarkan Narraative Review

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengidentifikasi kejadian depresi pada lansia berdasarkan Narrative
Review
2. Mengidentifikasi tekanan darah pada lansia berdasarkan Narrative
Review
3. Menganalisa apa ada hubungan antara depresi dengan kejadian
hipertensi pada lansia polifarmasi berdasarkan Narrative Review

1.4 Manfaat Penelitian


Hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi dan dapat bermenfaat bagi
masyarakat sekitar mengenai faktor dan gejala pada Hubungan Depresi dengan
Kejadian Hipertensi pada pasien lanjut usia polifarmasi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lansia
2.1.1 Definisi lansia
Lansia ( lanjut usia) adalah seseorang laki – laki dan perempuan yang telah
memasuki tahap akhir fasse kehidupan. Kelompok yang di kategorikan lansia
ini akan mengalami suatu proses yang bisa di sebut sebagai Aging Procss atau
suatu proses penuaan. Jika telah memasuki masa lansia maka perubahan pada
fisik, stamina dan penampilan akan berubah. Maka hal ini dapat menyebabkan
beberapa orang lansia dapat mengalami depresi atau merasa tidak senang saat
memasuki masa lanjut usia. Menua adalah suatu keadaan yang terjadi dalam
kehidupan. Proses menua juga merupukan proses sepanjang hidup, tidak
hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi di mulai sejak permulaan suatu
kehidupan. Dan menjadi tua merupukan uatu proses alamiah yang berarti
seseorang telah memasuki tiga tahap kehidupan yaitu anak, dewasa dan tua
( Dian, 2021).
Lanjut usia itu adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas,
dimana pada masa ini terjadi perubahan pada fisik, mental, sosial sedikit demi
sedikit sehingga tidak dapat melakukan tugas nya sehari – hari karena
keterbatasan usia (Kholifah, 2017). Faktor resiko peyebab depresi pada lansia
yang sering di temui seperti pada perempuan,tidak menikah, sosial ekonomi
yang rendah, memiliki penyakit kronis, memiliki rasa kesepian, dan riwayat
depresi terhadap keluarga. Depresi pada lansia ini sering dianggap sebagai
bagian yang biasa terjadi dari proses penuaan, karena gejala nya tidak khas
dan sering komorbid dengn penyakt medis lain sehingga lebih menonjol
gejala somatik dari pada gejala depresi nya (Annisa, 2019). Penuaan (aging)
merupakan sebuah proses yang alami dan wajar terjadi sehingga tidak dapat
dihindari pada setiap lansia karena akan ters berjalan dan berksinambungan
dengan seiiring bertambah nya usia ((Binoriang & Pramesti, 2021).
Permasalahn lanjut usia harus menjadi perhatian baik pemerintah, lembaga
masyarakat maupun dari masyarakat itu sendiri. Pemikiran yang selama ini
ada bahwa masyarakat lanjut usia merupakan suatu kelompok rentan yang
hanya akan menjadi tanggungan keluarga, masyarakat dan negara. Dari
pemikiran itu harus di ubah dan harus menjadikan lanjut usia sebagai aset
bangsa yang harus di jaga. Untuk menjadi lanjut usia yang sehat, produktif
dan juga mandiri kita harus memulai dengan hidup sehat, seperti makan –
makanan yang bergizi, olahraga hindari minum alkohol dan merokok.

2.1.2 Batasan Lansia


Batasan usia pada lansia ini berbeda dari waktu ke waktu. Menurut World
Health Organization (WHO) lansia meliputi :
a. Usia Pertengahan (Middle age) antara usia 45 – 59 tahun
b. Lanjut Usia (Elderly) antara usia 60 – 74 tahun
c. Lanjut Usia Tua (Old) antara usia 75 – 90 tahun
d. Usia Sangat Tua (Very old) 90 tahun

Batasan usian pada lansia menurut Depertemen Kesehatan RI (2022)


a. Lansia Pra-Lanjut Usia (Pra-LU), yaitu lansia yang berusia antara 60-69
Tahun
b. Lansia Lanjut Usia (LU), yaitu lansia yang berusia antara 70-79 tahun.
c. Lansia Lanjut Usia Akhir (LUA), yaitu lansia yang berusia 80 tahun ke
atas.

2.1.3 Klasifikasi Lansia


Menurut WHO (2013), klasifikasi lansia adalah sebagai berikut :
a. Usia pertengahan (middle age), yaitu kelompok usia 45-54 tahun.
b. Lansia (elderly), yaitu kelompok usia 55-65 tahun.
c. Lansia muda (young old), yaitu kelompok usia 66-74 tahun.
d. Lansia tua (old), yaitu kelompok usia 75-90 tahun.
e. Lansia sangat tua (very old), yaitu kelompok usia lebih dari 90
tahun.

Berikut menurut kategori umur menurut Depkes RI ( 2019) :


a. Pra lansia : 45 – 59 tahun
b. Lansia : 60 tahun atau lebih
c. Lansia resiko tinggi : 60 tahun atau lebih dengan masalah ksehatan

2.1.4 Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia


Pada proses penuaan dapat di tandai dengan adanya perubahan fisiologis
yang terlihat dan juga tidak terlihat. Pada perubahan fisik yang terlihat seperti
kulit yang mulai mengeriput dan mengendur, rambut yang mulai tumbuh
uban, gigi yang ompong, serta adanya penumpukan lemak pada pinggang dan
juga perut. Sedangkan perubahan fisik yang tidak terlihat seperti perubahan
fungsi organ, contoh seperti penglihatan yang mulai mengabur, pendengaran
yang mulai berkurang, dan kepadatan tulang. Maka dari itu sangat penting
melakukan pengecekan pada kesehatan secara rutin ( Amalia, 2019).

2.1.5 Hal yang mendukung kesehatan lansia


Ada beberapa hal yang dapat mendukung kesehatan pada lansia
diantaranya seperti saran dan pemenuhan kebutuhan fisik yang menunjang
dalam proses penyembuhan lansia. Di samping itu juga perlu di perhatikan
kasih sayang, perhatian dan juga dukungan perawatan dari anggota keluarga
serta perawatan yang di berikan oleh tenaga medis ( Amalia, 2019).
Kesehatan pada lansia juga perlu di perhatikan seperti aktvitas fisik,
aktivitas mental atau psikologis, aktivitas sosial, dukungan sosial, dan juga
fasilitas perawatan ketika sedang sakit. Dalam kesehatan mental lansia yang
paling penting adalah suatu hubungan atau relasi dengan keluarga dan kualitas
komunikasi di dalam lingkungan keluarga. Dan keluarga yang merawat lansia
dapat menunjukan kepedulian, kehangatan, perhatian, cinta, dukungan, serta
pengobatan pada lansia (Amalia, 2019).

2.1.6 Karakteristik Lansia


Menurut pusat data dan informasi, kementrian kesehatan RI (2016),
karakteristik lansia dapat dilihat berdasarkan kelompok berikut ini:
a. Jenis Kelamin
Lansia lebih sering didominasi oleh jenis kelamin perempuan artinya,ini
menunjukkan bahwa harapan hidup yang paling tinggi adalah perempuan.

b. Status perkawinan
Penduduk lansia ditilik dari status perkawinannya sebagian besar berstatus
kawin 60% dan cerai mati 37%.

c. Living Arrangement
Angka beban tanggungan adalah angka yang menunjukkan perbandingan
banyaknnya orang tidak produktif ( umur < 15 tahun dan > 65 tahun)
dengan orang berusia produktif (umur 15-64 tahun). Angka tersebut
menjadi cermin besarnya beban ekonomi yang harus ditanggung
penduduk usia produktif untuk membiayai penduduk usia nonproduktif.
d. Kondisi Kesehatan
Angka kesakitan merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk
mengukur derajat kesehatan penduduk. Angka kesakitan bisamenjadi
indikator kesehatan negatif. Artinya semakin rendah angka kesakitan
menunjukkan derajat kesehatan penduduk yang semakin baik.
2.2 Depresi
2.2.1 Definisi Depresi
Depresi adalah suatu gangguan mental yang sering terjadi pada
masyarakat. Berawalan dari stres yang di hadipi tetapi tidak bisa diatasi
seseorang sehingga jatuh pada fase depresi. Penyakit ini sering kali
terabaikan karena dianggap mampu hilang dengan sendirinya tanpa
pengobatan. (Lubis, 2016), mengatakan umumnya seseorang yang depresi
akan mengalami gangguan mencakup keadaannya dari gerakan tingkah
laku, motivasi, dan fungsional serta kognisinya. Depresi juga suatu
gangguan mood dengan dicirikannya tidak adanya harapan serta patah hati,
selalu tegang, tidak bisa mengambil keputusan untuk memulai suatu
kegiatan, ketidakberdayaan berlebihan, tidak dapat berkonsentrasi, tidak
memiliki semangat untuk hidup, hingga sampai mencoba bunuh diri.
Penanganan depresi pada lansia ini dapat dilakukan terapi non
farmakologis. Salah satu cara terapi non farmakologis yang di anjurkan
untuk mengatasi masalah depresi pada lansia adalah terapi reminiscence.
Terapi reminiscence ini merupakan suatu terapi alternatif yang dapat
digunakan untuk membantu menurunkan tingkat depresi pada lansia. Dan
terapi ini juga dapat membantu lansia untuk mengingat kembali masa lalu
yang menyenangkan dan menggali pengalaman hidup yang dari masa kanak
– kanak hingga pada masa lansia (Cahyono et al., 2021; Hariman et al.,
2022). Terapi ini dapat dilakukan secara individu maupun kelompok, terapi
ini juga bergna untuk meningkatkan kesehatan mntal dan kualitas hidup
pada lansia (Khan et al., 2022;Park et al., 2019).
Tujuan dari terapi reminiscence untuk membantu lansia mencapai
integritas diri yang baik, dalam artian lansia ini mampu menilai kehidupan
yang di jalani nya yang memiliki arti dan diri yang tinggi. Lansia yang tidak
mampu mencapai sebuah integritas pada diri nya akan cenderung merasakan
depresi dan juga putus asa, sehingga pada terapi reminiscence ini lansia
akan di berikan tujuan untuk berbagi atau mengumpulkan lagi memori
masalalu yang menyenangkan sehingga dapat menemukan makna dalam
hidup (Hariman et al., 2022)

2.2.2 Epidemiologi
Depresi dapat terjadi pada setiap orang baik anak-anak, usia dewasa
sampai usia lanjut dengan berbagai macam latar belakang atau pencetus.
Gejala awal depresi yang tidak mudah dikenali menyebabkan meningkatnya
kejadian depresi dengan gejala berat sehingga dapat menimbulkan
disabilitas dalam kehidupan ataupun kejadian bunuh diri. Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) mencatat sekitar 350 juta orang di dunia saat ini
mengalami depresi. Sebagian besar penderita salah satu gangguan kesehatan
jiwa itu adalah perempuan. Hal tersebut merupakan salah satu catatan kritis
WHO dalam rangka Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (yang jatuh pada 10
Oktober 2016. WHO memperkirakan bahwa depresi akan menjadi penyakit
dengan beban global kedua terbesar di dunia setelah penyakit jantung
iskemik pada tahun 2020 (World Mental Health Day 2016).

2.2.3 Etiologi
Depresi dapat disebabkan oleh empat faktor, yakni faktor biologis,
faktor keturunan, faktor psikososial, dan faktor lingkungan atau sosial
kultural. Sembilan belas faktor biologis yang berperan dibagi menjadi dua,
yakni faktor neurotransmitter dan neuroendokrin. Neurotransmitter yang
berperan terhadap terjadinya depresi adalah norepinefrin, serotonin, dan
dopamin. Hipotalamus adalah pusat regulasi neuroendokrin yang menerima
rangsangan neuronal menggunakan neurotransmitter biogenik amin. Banyak
disregulasi endokrin yang dapat dijumpai pada pasien gangguan mood.
Faktor keturunan juga disinyalir berperan terhadap kejadian depresi. Selain
itu, saudara kembar dari penderita depresi kemungkinan berpotensi 40-50%
menderita depresi pula. Dari segi stressor psikososial, anak yang
ditinggalkan orang tuanya berpotensi menderita depresi pada masa yang
akan datang. Sedangkan dari segi sosiokultural antara lain hubungan sosial
yang buruk, beban pikiran, kesendirian atau kesepian, kehilangan sesuatu
yang berharga, dan mengalami peristiwa yang buruk.

2.2.4 Gejala Depresi pada lansia


Gejala depresi pada lansia menurut (Fathur et al, 2019) yaitu :
a. Gangguan afektif
Lansia dengan depresi gangguan afektif mengalami perasaan yang
sedih, perasaan negatif pada diri sendiri, kehilangan minat,
kesenangan, semangat, dan mudah menangis.

b. Gangguan kognitif
Gejala yang muncul pada penderita akan merasakan harga diri dan
kepercayaan diri yang rendah, rasa bersalah dan tidak berharga,
pandangan pesimis dan suram terhadap masa depan, tindakan
melukai diri sendiri, konsentrasi dan perhatian yang buruk seta
merasakan putus asa.

c. Gangguan somatik
Lansia dengan gangguan ini dapat menggalami gangguan tidur dan
insomnia, kehilangan nafsu makan,penurunan energi dan
keterbatasan aktifitas, nyeri kepala, nyeri punggubg, dan gangguan
pada sistem pencernaan.

2.2.5 Faktor penyebab depresi pada lansia


Ada 5 faktor yang dapat menyebabkan depresi pada lansia menurut
(Fathur et al, 2019) yaitu :
1. Faktor demografi
a) Usia
Usia ini adalah rentang perhitungan waktu hidup seseorang
sejak di lahirkan hingga saat ini, usia ini merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan depresi terutama pada seseorang
lansia. Perubahan yang terjadi pada fisik, psikologis, ekonomi,
sosial dan spritual dapat juga mempengaruhi kualitas hidup
pada lansia.

b) Jenis kelamin
Pada lansia perumpuan memiliki tingkat dpresi yang lebih
tinggi dibandingkan dengan lansia laki – laki dengan
perbandingan dua banding satu. Hal ini dapat di sebabkan oleh
beberapa faktor lain seperti kebebasan pasangan hidup, sosial
dan budaya. Selain itu pengaruh dari perubahan fisiologis
akibat perubahan pada hormonal pada perempuan adalah awal
menopause atau pasca menopause. Dengan tanggung jawab
perempuan terhadap urusan rumah tangga, dan perawatan anak
hal tersebut dapat menyebabkan faktor resiko depresi yang
lebih banyak dari pada laki – laki.

c) Status sosial ekonomi


Status sosial ekonomi seseorang yang rendah dapat memiliki
resiko menderuta depresi dibandingkan dengan sosial ekonomi
yang lebih baik. Hal ini di sebabkan karena seseorang dengan
status ekonomi yang rendah menyebabkan kebutuhan shari –
hari menjadi kurang sehingga mudah depresi.

d) Status pernikahan
Pada hal ini dapat bermanfaat baik bagi kesehatan mental laki
– laki dan perempuan karena pernihan bertujuan untuk
mengurangi resiko gangguan psikologis. Bagi pasangan suami
istri yang tidak dapat membina hubungan pernikahan atau
ditinggalakan pasangan karena meninggal dapat memicu
terjadinya depresi.

e) Pendidikan
Pendidikan ini erat kaitan nya dengan kemampuan kognitif,
sehingga jika lansia memiliki tingkat pendidikan yang rendah
maka tingkat depresi lebih tinggi.

2. Faktor dukungan sosial


Lansia secara perlahan akan mengalami penurunan kondisi fisik,
penurunan aktivitas, pemutusan hubangan sosial dan perubahan
posisi di masyarakat dukungan sosial diperlukan seperti perhatian
dan motivasi untuk memperoleh ketenangan.

3. Faktor pengaruh ginetik


Lansia yang mewarisi gen depresi dari orang tua maka resiko
menderita depresi dapat terjadi lebih awaldari pada yang tidak
memiliki gen depresi.

4. Faktor kejadian dalam hidup


Kejadian dalam hidup dapat menyebabkan stres pada lansia dan
jika berkelanjutan dapat menyebab kan depresi, kejadian ini seperti
kehilangan pekerjaan, masalah keuangan, dan kehilangan orang
yang dicintai.
5. Faktor medikasi
Pengobatan yang merupakansalah saru tindakan medis untuk
memulihkan kembali kondisi tubuh, namun beberapa obat yang di
berikan dapat menimbulkan gejala depresi pada lansia seperti
antihipertensi.

2.2.6 Jenis – jenis depresi


Gangguan depresi terdiri dari berbagai jenis menurut (Rochmawati,
2020) yaitu :
a. Depresi mayor
Gejala-gejala dari gangguan depresi mayor berupa perubahan dari
nafsu makan dan berat badan, perubahan pola tidur dan aktivitas,
kekurangan energi, perasaan bersalah, dan pikiran untuk bunuh diri
yang berlangsung setidaknya ± 2 minggu.

b. Depresi dysthmia
Dysthmia bersifat ringan tetapi kronis (berlangsung lama). Gejala-
gejala dysthmia berlangsung lama dari gangguan depresi mayor
yaitu selama 2 tahun atau lebih. Dysthmia bersifat lebih berat
dibandingkan dengan gangguan depresi mayor, tetapi individu
dengan gangguan ini masi dapat berinteraksi dengan aktivitas
sehari-harinya. Gangguan depresi minor, Gejala-gejala dari depresi
minor mirip dengan gangguan depresi mayor dan dysthmia, tetapi
gangguan ini bersifat lebih ringan dan atau berlangsung lebih
singkat.

c. Depresi psikotik
Gangguan depresi berat yang ditandai dengan gejala-gejala, seperti:
halusinasi dan delusi. Gangguan depresi musiman, Gangguan
depresi yang muncul pada saat musim dingin dan menghilang pada
musi semi dan musim panas.

2.2.7 Tata laksana terapi depresi


Anti depresan merupakan obat penenang untuk seseorang yang
menderita depresi. Obat penenang dapat memberikan rasa tenang,
rilks, serta hal – hal yang membuat nyaman jika di gunakan sesuai
dosis. Obat – obat yang digunakan untuk depresi yaitu :
1. Selective Serotonin Reupake Inhibitor (SSRI) merupakan obat
yang bekerja dengan cara menghambat secara selektif reupkate
serotonin (5HT) ke dalam neuron presinaptik. Golongan ini
memiliki efek samping yaitu insomnia, agitasi, sedasi, gangguan
saluran cerna maupun difungsi seksual. Contohnya: escitalopram
(20-60 mg), fluoksetin (10-40 mg), sertralin (50-150 mg) dan
fluvoksamin (150-300mg).
2. Serotonin Norepinephrine Reuptake Inhibitor (SNRI) yang bekerja
sebagai penghambat pengambilan kembali serotonin dan
norepinephrine. Efek samping yang dimiliki berupa sedasi, berat
badan meningkat, hipertensi maupun gangguan saluran cerna.
Contohnya : dulosetin (40-60 mg/hari) dan venlafaksin(150-
375mg/hari).
3. Golongan tetrasiklik seperti mirtazapin (15-45 mg/hari), bekerja
sebagai antagonis reseptor alfa 2 adrenergik atau serotonin di
presinaptik. Efek samping yang ditimbulkan yaitu mual.
4. Golongan trisiklik seperti amitriprilin (75-300 mg/hari), Maprotilin
(100-225 mg/hari) dan Imipramin (75-300 mg/hari), yang memiliki
efek samping antikolinergik. Golongan ini bekerja sebagai
penghambatan pada pengambilan kembali serotonin dan
norepinephrin.
5. Monoamine Oxidase Inhibitor (MAO) bekerja menghambat sistem
enzim monoamin oksidase, yang menyebabkan peningkatan
konsentrasi amin endogen. Contohnya fenelzin dan tranilsipromin.

2.3 Hipertensi
2.3.1 Definisi Hipertensi
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah abnormal yang dapat
menjadi penyebab utama timbulnya penyakit kardiovaskular.Tekanan darah
fase sistolik 140 mmHg menunjukkan fase darah yang sedang di pompa oleh
jantung dan fase diastolik 90 mmHg menunjukkan fase darah yang kembali ke
jantung. Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu kondisi yang kronis
ketika tekanan darah pada dinding arteri ( pembuluh darah bersih)meningkat.
Kondisi ini juga dapat dikenal sebagai “pembunuh diam – diam” karena
penyakit ini jarang memiliki gejala yang jelas. Satu-satunya cara mengetahui
apakah seseoramg itu memiliki hipertensi adalah dengan melakukan
pengukuran tekanan darah (Ansar, 2019, Anies, 2018 ).
Menurut American Heart Association atau AHA dalam Kemenkes
(2018), hipertensi merupakan silent killer dimana gejalanya sangat bermacam-
macam pada setiap individu dan hampir sama dengan penyakit lain. Gejala-
gejala tersebut adalah sakit kepala atau rasa berat ditengkuk. Vertigo, jantung
berdebar-debar, mudah lelah, penglihatan kabur, telinga berdenging atau
tinnitus dan mimisan.
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan hipertensi yaitu antara
lain kebiasaan hidup atau perilaku kebiasaan mengonsumsi natrium yang
tinggi, stres, merokok, minum alkohol dan kurang nya aktivitas fisik yang
dapat meningkatkan resiko hipertensi karena dapat meningkatkan resiko
kelebihan berat badan. Orang yang kurang melakukan kegiatan fisik juga
mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantung
terus bekerja lebih keras untuk memompa darah. Jika aktivitas pada tubuh
kurang maka dapat menyebabkan komplikasi jantung koroner, gangguan
fungsi ginjal, dan stroke ( Riamah, 2019).
Minimnya pengetahuan masyarakat terhadap penyakit hiprtensi dan
informasi mengenai obat menjadi sebuah penghambat keberhasilan
dalamproses penyembuhan. Maka dari itu Gebriet et al., (2017) memaparkan
sebuah tingkat pengetahuan serta pemahaman pasien hipertensi mengenai
penyakitnya dapat menunjang keberhasilan terapi sehingga tekanan darah
pasean dapat di kontrol dengan baik. Jadi semakin pasien dapat memahami
penyakitnya, maka pasien akan sadar dalam menjaga pola hidup dengan baik,
teratur minum obat, dan dengan begitu tingkat kepatuhan pasien menjadi
meningkat.

2.3.2 Klasifikasi Hipertensi


Tekanan darah tinggi dapat di katakan hipertensi stadium I jika
tekanan darah sistole antara 140-159 mmHg dan tekanan darah diastole 90-99
mmHg. Sedangkan hipertensi stadium II adalah jika tekanan darah Sistole
>160 mmHg dan tekanan darah diastole >100 mmHg (Warjiman, 2020).
Selain itu hipertensi dapat di bagi berdasarkan bentuk nya menurut
Kemenkes 2018, yaitu :
a. Hipertensi diastolic
Dimana tekanan diastolic meningkat lebih dari nilai normal.
Hipertensi diastolic terjadi pada anak-anak dan dewasa muda.
Hipertensi jenis ini terjadi apabila pembuluh darah kecil
menyempit secara tidak normal yang berakibat memperbesar
tekanan terhadap aliran darah yang melaluinya dan meningkatkan
tekanan darah diastoliknya. Tekanan diastolic berkaitan dengan
tekanan arteri ketika jantung berada pada kondisi relaksasi.

b. Hipertensi sistolik
Dimana tekanan sistolik meningkat lebih dari nilai normal.
Peningkatan tekanan sistolik tanpa diiringi peningkatan tekanan
distolik dan umumnya ditemukan pada usia lanjut. Tekanan
sistolik berkaitan dengan tingginya tekanan darah pada arteri
apabila jantung berkontraksi. Tekanan ini merupakan tekanan
maksimal dalam arteri dan tercermin pada hasil pembacaan
tekanan darah sebagai tekanan atas yang nilainya lebih besar.

Klasifikasi hipertensi di lihat berdasarkan tekanan pada sistolik dan


tekanan pada diastolik dalam satuan mmHg dan dibagi menjadi beberapa
tingkatan hipertensi seperti berikut :

Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi


Kategori Tekanan Sistolik Tekanan
(mmHg) Diastolik(mmHg)
Normal <120 <80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi Stadium I 140-159 90-99
Hipertensi Stadium II >160 >100
Sumber : Warjiman, 2020

2.3.3 Etiologi Hipertensi


Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam.
Bagi sebagian besar pasien dengan tekanan darah tinggi, penyebabnya tidak
diketahui. Ini diklasifikasikan sebagai hipertensi primer atau esensial. Sebagian
kecil pasien memiliki penyebab spesifik tekanan darah tinggi, yang
diklasifikasikan sebagai hipertensi sekunder. Lebih dari 90% pasien dengan
tekanan darah tinggi memiliki hipertensi primer. Hipertensi primer tidak dapat
disembuhkan, tetapi dapat dikontrol dengan terapi yang tepat (termasuk
modifikasi gaya hidup dan obat-obatan). Faktor genetik dapat memainkan peran
penting dalam pengembangan hipertensi primer. Dimana bentuk tekanan darah
tinggi ini cenderung berkembang secara bertahap selama bertahun-tahun (Kayce
Bell, June Twiggs, 2018).
Kurang dari 10% pasien dengan tekanan darah tinggi memiliki hipertensi
sekunder. Hipertensi sekunder disebabkan oleh kondisi medis atau pengobatan
yang mendasarinya. Mengontrol kondisi medis yang mendasarinya atau
menghilangkan obat-obatan penyebab akan mengakibatkan penurunan tekanan
darah sehingga menyelesaikan hipertensi sekunder. Bentuk tekanan darah tinggi
ini cenderung muncul tiba-tiba dan sering menyebabkan tekanan darah lebih
tinggi daripada hipertensi primer (Kayce Bell, June Twiggs, 2018).

2.3.4 Patofisiologi
Proses utama kenaikan sistolik pada orang lanjut usia sejalan dengan
bertambahnya usia, di mana jantung memompa lebih keras, membawa cairan
yang banyak per detik. Arteri besar menjadi kencang dan kehilangan
elastisitasnya ketika jantung memompa darah melewatinya, yang
mencegahnya mengembang. Tekanan darah Anda meningkat setiap kali
jantung Anda berdetak karena darah harus melewati arteri darah yang lebih
sempit dari biasanya. Ketika dinding arteri menebal dan kaku akibat
arteriosklerosis pada orang tua, inilah yang terjadi.
Vasokonstriksi juga terjadi ketika arteri kecil darah (arteriola) berkontraksi
sementara akibat stimulasi saraf atau hormon. Tekanan darah bisa naik ketika
ada lebih banyak cairan dalam aliran darah. Ini terjadi ketika ginjal tidak dapat
mengeluarkan.garam dan air pada ukuran yang tepat dari tubuh karena
kegagalan fungsinya. Akibatnya, volume darah tubuh meningkat dan juga
meningkatkan tekanan darah.
Di sisi lain, jika jantung berhenti berdetak dengan kuat, arteri melebar, dan
sejumlah besar larutan keluar dari tubuh, tensi.darah hendak turun. Komponen
sistem saraf yang secara otomatis mengelola bermacam fungsi tubuh, seperti
sistem saraf otonom, dan perubahan fungsi ginjal, bertugas menyesuaikan diri
dengan kondisi tersebut. perubahan fungsi ginjal, yang akan memiliki
berbagai efek pada tekanan darah. Jika tekanan dinaikkan, ginjal akan
menggunakan lebih banyak air dan garam, yang akan menurunkan kapasitas
darah serta menyebabkan tensi darah menjadi normal.
Sistem saraf otonom termasuk sistem saraf simpatik. Sistem saraf simpatik
mengeluarkan hormon epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin selama respons
melawan-atau-lari, yang merupakan reaksi fisik tubuh terhadap ancaman
eksternal. Peningkatan tekanan darah sementara, perluasan arteriol di
beberapa area (seperti otot rangka, yang membutuhkan lebih banyak darah),
dan peningkatan tekanan darah adalah efek dari sistem saraf simpatik
(noradrenalin). Stres meningkatkan tekanan darah akibat pelepasan adrenalin
dan norepinefrin ( Bustan, 2018).

2.3.5 Manifestasi klinis


Sebagian besar penderita hipertensi tidak dijumpai kelainan apapun selain
peningkatan tekanan darah yang merupakan satu-satunya gejala. Setelah
beberapa tahun penderita akan mengalami beberapa keluhan seperti nyeri
kepala di pagi hari sebelum bangun tidur, nyeri ini biasanya hilang setelah
bangun. Jika terdapat gejala, maka gejala tersebut menunjukkan adanya
kerusakan vaskuler dengan manifestasi khas sesuai sistem organ yang
divaskularisasi oleh pembuluh darah bersangkutan.
Melalui survey dan berbagai hasil penelitian di Indonesia, menunjukkan
bahwa keluhan penderita hipertensi yang tercatat berupa pusing, telinga
berdengung, cepat marah, sukar tidur, sesak nafas, rasa berat di tengkuk,
mudah lelah, sakit kepala, mata berkunang-kunang, gangguan neurologi,
jantung, gagal ginjal kronik juga tidak jarang dijumpai. Dengan adanya gejala
tersebut merupakan pertanda bahwa hipertensi perlu segera ditangani dengan
baik dan patuh (Setiawan, 2021).

2.3.6 Penyebab Hipertensi


Penyebab hipertensi menurut (Kartika, 2021) dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Hipertensi Esensial atau Primer
Hipertensi primer adalah hipertensi yang belum diketahui penyebabnya.
Diderita oleh sekitar 95% orang. Hipertensi primer diperkirakan
disebabkan oleh fakto keturunan, ciri perseorangan yang mempengaruhi
timbulnya hipertensi adalah umur (jika umur bertambah maka tekanan
darah meningkat), jenis kelamin (pria lebih tinggi dari perempuan) dan ras
(ras kulit hitam lebih banyak dari kulit putih) dan faktor kebiasaan hidup
yang terdiri dari konsumsi garam yangtinggi, kegemukan atau makan
berlebihan, stres, merokok, minum alkohol, minum obat-obatan (efedrin,
prednison, epinefrin).
2. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya dapat
diketahui, antara lain kelainan pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjar
teroid (hiperteroid), penyakit kelenjar adrenal (hiperaldosteronisme).
Golongan terbesar dari penderita hipertensi adalah hipertensi
esensial/primer, maka penyelidikan dan pengobatan lebih banyak
ditunjukan ke penderita hipertensi esensial/primer.

2.3.7 Faktor Resiko Hipertensi


Pada dasarnya hipertensi tidak mempunyai penyebab yang spesifik,
hipertensi terjadi sebagai respon dari peningkatan cardiac output atau
peningkatan tekanan perifer namun ada beberapa faktor yang mempengaruhi
terjadinya hipertensi antara lain :
1. Faktor yang tidak terkontrol
a. Keturunan (Genetik)
Keluarga tertentu akan lebih mungkin mengalami hipertensi karena
variabel tertentu. Menurut sebuah penelitian yang dilakukan di tiga
belas distrik Miyun, Cina, kemungkinan mengembangkan hipertensi
empat kali lebih tinggi bagi orang yang memiliki riwayat penyakit
dengan kondisi tersebut (Kemenkes, 2016).
Riwayat kesehatan juga dapat mengungkapkan kemungkinan yang
disebabkan oleh mutasi gen. Gen, lingkungan, dan cara hidup
semuanya akan sama untuk setiap orang dalam keluarga. Hipertensi
pada lansia sering terkait dengan perubahan struktural dan fungsional
pada sistem kardiovaskular. Perubahan ini termasuk pengerasan
pembuluh darah (aterosklerosis) dan peningkatan ketebalan dinding
arteri (hipertrofi ventrikel kiri). Riwayat penyakit seperti
aterosklerosis, penyakit jantung koroner, atau gagal jantung dapat
mempengaruhi kesehatan pembuluh darah dan jantung, yang pada
akhirnya dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah. Selain itu
tingkat resistensi insulin yang tinggi atau gangguan metabolism
glukosa dapat mempengaruhi keseimbangan hormon dalam tubuh,
termasuk hormon yang mengatur tekanan darah seperti insulin dan
leptin. Kondisi ini dapat menyebabkan perubahan pada pembuluh
darah dan regulasi tekanan darah pada lansia (Kemenkes, 2016).

b. Usia
Dengan bertambah nya usia maka tekanan darah pun meningkat.
Dengan menghilang nya elestisitas atau kelenturan pembuluh darah
dengan bertahap dapat meningkatkan tekanan darah. Seiring dengan
bertambah nya usia, maka tekanan darah akan berubah dengan cara
yang dapat di prediksi. Akibatnya, orang lanjut usia dengan hipertensi
memiliki persyaratan pengobatan yang unik. Seiring bertambahnya
usia, jantung manusia dan pembuluh darahnya berubah struktur dan
fungsinya. Kapasitas kerja arteri berkurang ketika perubahan struktural
pada pembuluh darah membuatnya lebih kaku. Hipertensi disebabkan
oleh ini. Pada usia lanjut tekanan darah sistolik rata-rata naik,
sedangkan pada umur 50 tahun tekanan darah diastolik naik dan
kemudian turun (Kemenkes, 2016).

c. Jenis kelamin
Biasanya, pada jenis kelamin laki – laki lebih cenderung
mempunyai tekanan darah tinggi dibandingkan perempuan. Hal ini
disebabkan bahwa pria lebih mungkin mengalami hipertensi daripada
wanita karena faktor-faktor seperti kelelahan, ketidaknyamanan di
tempat kerja, pengangguran, dan makan yang tidak terkendali. Setelah
menopause, Wanita biasanya memiliki peluang lebih tinggi terkena
hipertensi. Karena pengaruh hormon estrogen, wanita di atas 40 tahun
lebih mungkin terkena hipertensi daripada pria. Ketika ada aktivitas
saraf simpatik sebagai hasil dari peningkatan aktivitas sistem saraf
simpatis, hormon estrogen berkontribusi pada perlindungan tekanan
darah istirahat. akibat nya perempuan menopause akan mengalami
peningkatan prevalensi atau resiko hipertensi.

2. Faktor yang dapat di kontrol


a. Obesitas
Obesitas atau kelebuhan berat badan ini merupakan salah satu
faktor resiko hipertensi pada lansia. Kebutuhan energi yang
meningkat, maka semua organ pada seseorang harus bekerja lebih
keras disaat mereka sangat gemuk, yang sering kali mengakibatkan
tekanan darah tinggi. Karena kadar lemak di dalam tubuh yang
berlebuhan dapat juga menyebabkan kadar lemak darah tinggi,
kemudian menimbulkan hipertensi, serta dapat memaksa jantung
untuk mengarahkan lebih banyak tenaga. Orang dengan
hiperlipidemia, suatu kondisi di mana seseorang memiliki terlalu
banyak lemak, dapat mengalami pembekuan darah. Pasokan nutrisi
dan oksigen tubuh dapat terganggu sebagai akibatnya. Jantung
memompa darah lebih kuat untuk memberi makan jaringan dengan
darah akibat penyempitan lemak dan menyumbat pembuluh darah.
Akibatnya, hipertensi berkembang saat tekanan darah meningkat.

b. Kebiasaan merokok
Merokok setiap hari dapat menimbulkan resiko peningkatan
tekanan darah. Hipertensi dua kali lebih mungkin terjadi pada
seseorang yang menghabiskan rokok melebihi 1 bungkus rokok setiap
harinya dibandingkan pada orang yang tidak. Lapisan arteri dapat
rusak oleh zat yang mempunyai racun semacam karbon monoksida
serta nikotin yang dihirup dari rokok, yang dapat masuk ke peredaran
darah yang menyebabkan vasokonstriksi atau penyempitan pembuluh
darah yang meningkatkan resistensi pembuluh darah dan akhirnya dan
berdampak aterosklerosis serta peningkatan tekanan darah. Setelah
hanya satu isapan, nikotin dalam tembakau menyebabkan peningkatan
tekanan darah secara instan. Arteri darah kecil di paru-paru menyerap
nikotin, bersama dengan senyawa lain yang ditemukan dalam asap
rokok, dan mengirimkannya ke pembuluh darah (Anggraeny dkk,
2021).
Dengan hitungan detik nikotin akan mencapai ke otak. Dan saat
nikotin telah di rasakan oleh otak maka kelenjar adrenal akan
melepaskan adrenalin (epinefrin). Hormon yang kuat ini dapat
menyebabkan arteri darah yang menyempit dan jantung akan
memompa lebih kuat sebagai akibat dari peningkatan tekanan darah.
Setelah 2 batang rokok, maka tensi darah sistolik dan diastolik hendak
bertambah 10 mmHg. Tensi akan menetap dalam level ini hingga 30
menit sesudah menghentikan rokok. Tekanan darah juga perlahan akan
menurun karena efek nikotin dalam tubuh menghilang. Namun
sepanjang hari tekanan darah tinggi biasa terjadi pada orang yang
banyak mengonsumsi rokok (Anggraeny dkk, 2021).

c. Kebiasaan minum kopi


Kopi dapat mempengaruhi tekanan darah karena adanya polifenol,
kalium, dan kafein yang terkandung di dalamnya. Polifenol dan
kalium bersifat menurunkan tekanan darah. Polifenol menghambat
terjadinya atherogenesis dan memperbaiki fungsi vaskuler. Penelitian
di USA yang dilakukan oleh Cuno Uiterwall dkk pada tahun 2007
menunjukkan bahwa subjek yang tidak terbiasa minum kopi memiliki
tekanan darah lebih rendah jika dibandingkan dengan subjek yang
mengkonsumsi kopi 1-3 hari cangkir perhari (Vlachopoulus et al,
2016).
Kategori kebiasaan minum kopi sebagai berikut :
1) Tidak minum sama sekali.
2) Minum kopi 1-2 gelas/hari.
3) Minum kopi 3-4 gelas/hari.
4) Minum kopi 5 gelas/hari

d. Kebiasaan mengkonsumsi alkohol


Tekanan darah akan meningkat dengan signifikan karena
mengkonsumsi alkohol yang berlebihan. Alkohol ini dapat
menyebabkan tekanan darah meningkat akibat daripeningkatan kadar
kortisol, volume sel darah merah yang lebih banyak serta darah yang
lebih kental.aiatem renin- angiotensin aldosterone (RAAS) akan lebih
aktif dan tekanan darah tinggi akan di hasilkan dari efek
mengkonsumsi alkohol pada produksi kortisol dalam darah
(Anggraeny dkk, 2021).
e. Depresi
Dampak yang ditimbulkan oleh depresi pada lansia adalah
gangguan pada sistem cardiovaskuler, yaitu hipertensi. Jika lansia
mengalami depresi maka pembuluh darah otak ini terganggu resiko
terganggunya fungsi otak meningkat dan mempengaruhi seluruh
sistem aliran darah termasuk pembuluh darah yang masuk otak.
Penyakit kardiovaskuler akibat hipertensi dapat menyebabkan masalah
pada kualitas hidup lanjut usia, sehingga kualitas hidup para lanjut usia
akan terganggu dan angka harapan hidup lansia juga akan menurun.

f. Kualitas tidur
Efek dari kualitas tidur terhadap hipertensi telah dipelajari sejak
lama, kebiasaan dari kualitas tidur yang buruk atau durasi tidur yang
singkat dikaitkan dengan resiko tinggi terjadinya hipertensi pada
populasi umum dan kualitas tidur atau durasi tidur yang tepat akan
memberikan faktor perlindungan sebanyak 40% dalam mengurangi
kejadian hipertensi (Lu et al, 2015).

g. Mengkonsumsi garam berlebihan


Konsumsi garam berlebih membuat pembuluh darah pada ginjal
menyempit dan menahan aliran darah. Ginjal memproduksi hormone
rennin dan angiostenin agar pembuluh darah utama mengeluarkan
tekanan darah yang besar sehingga pembuluh darah pada ginjal bisa
mengalirkan darah seperti biasanya. Tekanan darah yang besar dan
kuat ini menyebabkan seseorang menderita hipertensi. Konsumsi
garam per hari yang dianjurkan adalah sebesar 1500-2000 mg atau
setara dengan satu sendok teh. Perlu diingat bahwa sebagian orang
sensitif terhadap garam sehingga mengkonsumsi garam sedikit saja
dapat menaikan tekanan darah. Membatasi konsumsi garam sejak dini
akan membebaskan anda dari komplikasi yang bisa terjadi.

h. Sindrom metabolik
Obesitas merupakan komponen yang utama untuk kejadian SM,
namun mekanisme yang jelas belum diketahui secara pasti.Obesitas
yang diikuti dengan meningkatnya metabolism lemak akan
menyebabkan produksi Reactive Oxygen Species (ROS) meningkat
baik di sirkulasi maupun di sel adiposa. Meningkatnya ROS di dalam
sel adipose dapat menyebabkan keseimbangan reaksi reduksi oksidasi
(redoks) terganggu, sehingga enzim antioksidan menurun di dalam
sirkulasi. Keadaan ini disebut dengan stres oksidatif. Meningkatnya
stres oksidatif menyebabkan disregulasi jaringan adiposa dan
merupakan awal patofisiologi terjadinya SM, hipertensi dan
aterosklerosis.

2.3.8 Tanda dan gejala


Menurut Kemenkes RI, 2018 tidak semua penderita hipertensi memiliki
gejala secara tampak, mayoritas dari penderitanya mengetahui menderita
hipertensi setelah melakukan pemeriksaan pada fasilitas kesehatan baik
primer maupun sekunder. Hal ini pula yang mengakibatkan hipertensi dikenal
dengan sebutan the silent killer. Tetapi pada beberapa penderita memiliki
gejala seperti :
a. Sakit kepala
b. Gelisah
c. Jantung berdebar – berdebar
d. Pusing
e. Penglihatan kabur
f. Rasa sesak didada
g. Mudah lelah

2.3.9 Konsep hipertensi terhadap depresi pada lansia


Hipertensi merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah
diatas normal yang mengakibatkan peningkatan terjadinya morbiditas dan
mortalitas, tekanan yang tinggi pada pembuluh darah menyebabkan
meningkatnya resiko terhadap gagal jantung, stroke, serangan jantung dan
kerusakan ginjal. Selain itu lansia dengan hipertensi juga cendrung mengalami
gejala somatik serta terganggunya peran sosial sehingga membuat mereka
lebih rentan terhadap gangguan psikis yang termasuk didalamnya gangguan
depresi (Ende, 2022).
Hal ini menjadikan lansia dengan penyakit kronis terutama hipertensi
mengalami berbagai masalah keterbatasan dalam melakuakn aktifitas sehingga
lansia tersebut akan mempunyai kebutuhan yang khusus dikarenakan lansia
dengan hipertensi seringkali mengalami masalah pada kesehatan mental yaitu
depresi yang mengakibatkan lansia akan mengalami keadaan suasana hati yang
tertekan dan adanya perasaan takut akan komplikasi. Dimana depresi pada
lansia juga dapat bertindak sebagi penghalang untuk melakukan gaya hidup
sehat dan perawatan akan kesehatannya (Ende, 2022).

2.3.10 Tata laksana terapi Hipetensi


Pada penderita hipertensi tujuan utama terapi hipertensi adalah mencegah
komplikasi, menurunkan kejadian kardiovaskular, serebrovaskular, dan
renovaskular, dengan kata lain menurunkan efek tekanan darah tinggi terhadap
kerusakan organ. Berdasarkan alogaritma yang disusun The Joint National
Committe (JNC) VIII, terapi paling dini adalah mengubah gaya hidup. Jika
hasil yang diinginkan tak tercapai maka diperlukan terapi dengan obat. Secara
umum, golongan obat antihipertensi yang digunakan yaitu, Diuretik, ACE
inhibitor (ACEI), Angiotensin-Receptor Blocker (ARB),Calsium channel
Blocker (CCB), dan Beta Blocker (Salma Nara Fadhilla dkk, 2020).
1. Obat golongan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
bekerja menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II
sehingga bekerja dengan menghambat aktivitas saraf simpatis dengan
menurunkan pelepasan noradrenalin, menghambat pelepasan endotelin,
meningkatkan produksi substansi vasodilatasi seperti NO (nitrogen
monoksida), bradikinin, prostaglandin dan menurunkan retensi sodium
dengan menghambat produksi aldosteron. Efek samping yang mungkin
terjadi adalah batuk batuk, skin rash, hiperkalemia, hepatotoksik,
glikosuria dan proteinuria merupakan efek samping yang jarang.
Contoh golongan ACEI adalah captopril, enlapril dan Lisinopril.

2. Golongan obat Angiotensin Receptor Blocker (ARB) menyebabkan


vasodilatasi, peningkatan ekskresi Na+ dan cairan (mengurangi volume
plasma), menurunkan hipertrofi vaskular sehingga dapat menurunkan
tekanan darah. Efek samping yang dapat muncul meliputi pusing, sakit
kepala, diare, hiperkalemia, rash, batuk-batuk (lebih kurang dibanding
ACE-inhibitor), abnormal taste sensation (metallic taste). Contoh
golongan ARB adalah candesartan, losartan dan valsartan.

3. Golongan obat beta bloker bekerja dengan mengurangi isi sekuncup


jantung, selain itu juga menurunkan aliran simpatik dari SSP dan
menghambat pelepasan rennin dari ginjal sehingga mengurangi sekresi
aldosteron. Efek samping meliputi kelelahan, insomnia, halusinasi,
menurunkan libido dan menyebabkan impotensi. Contoh golongan beta
bloker adalah atenolol dan metoprolol.
4. Golongan obat calcium canal bloker (CCB) memiliki efek vasodilatasi,
memperlambat laju jantung dan menurunkan kontraktilitas miokard
sehingga menurunkan tekanan darah. Efek samping yang mungkin
timbul adalah pusing, bradikardi, flushing, sakit kepala, peningkatan
SGOT dan SGPT, dan gatal gatal juga pernah dilaporkan. Contoh
golongan CCB adalah nifedipine, amlodipine dan diltiazem.

5. Golongan obat diuretic bekerja dengan meningkatkan ekskresi air dan


Na+ melalui ginjal yang menyebabkan berkurangnya preload dan
menurunkan cardiac output. Selain itu, berkurangnya konsentrasi Na+
dalam darah menyebabkan sensitivitas adrenoreseptor–alfa terhadap
katekolamin menurun, sehingga terjadi vasodilatasi atau resistensi
perifer menurun. Efek samping yang mungkin timbum meliputi
peningkatan asam urat, gula darah, gangguan profil lipid dan
hiponatremia. Contoh golongan Thiazid diuretic adalah hidroclorotiazid
dan indapamide.
2.3.11 Kerangka konsep

Depresi pada lansia Kejadian hipertensi


pada lansia

Skala ukur Faktor yang mempengaruhi


hipertensi :
1. Tidak ada depresi atau
normal 1. Keturunan (genetik)
2. Depresi mayor 2. Usia
3. Depresi dysthmia 3. Jenis kelamin
4. Depresi berat psikotik Faktor yang dapat di kontrol

1. Obesitas

Faktor yang mempengaruhi 2. Kebiasaan merokok


depresi 3. Kebiasaan minum kopi
1. Faktor biologis 4. Kebiasaan minum alkohol
2. Faktor psikososial
5. Depresi

6. Kualitas tidur

Tata laksana terapi Depresi 7. Mengkonsumsi garam


berlebih

8. Sindrom metabolit

Tata laksana terapi


Hipertensi
BAB III
METODE
3.1 Pencarian literature

3.1.1 Framework yang di gunakan (PICO(T/S)/SPIDER)

Strategi yang digunakan untuk mencari artikel menggunakan PICOS


framework :

h. Population/problem, populasi atau masalah yang akan di analisis


i. Intervention, suatu tindakan penatalaksanaan terhadap kasus perorangan atau
masyarakat serta pemaparan tentang penatalaksanaan
j. Comparation, penatalaksanaan lain yang digunakan sebagai pembanding
k. Outcome, hasil atau luaran yang diperoleh pada penelitian
l. Study design, desain penelitian yang digunakan oleh jurnal yang akan di
review

3.1.2 Kata kunci yang di gunakan


Pencarian artikel atau jurnal menggunakan keyword dan Boolean operator (
AND, ORNOT or AND NOT ) yang digunakan untuk memperluas atau
memspesifikan pencarian, sehingga mempermudah dalam penentuan artikel atau
jurnal yang digunakan. Kata kunci pencarian yang digunakan dalam penelitian
ini yaitu, “ Hubungan Depresi, Kejadian Hipertensi Pada Lanjut Usia
Polifarmasi”.

3.1.3 Database atau search engine


Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh bukan dari pengamatan langsung, akan tetapi diperoleh dari hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh penelti-peneliti terdahulu. Sumber data
yang didapatkan berupa artikel atau jurnal yang relevan dengan topik dilakukan
menggunakan database melalui Science Direct, Google Scholar, dan E-jurnal.

3.1.4 Analisa
Studi literatur ini dimulai dengan artikel atau jurnal hasil penelitian
terdahulu yang diperhatikan dari yang paling relevan, relevan dan cukup
relevan. Kemudian membaca abstrak setiap jurnal terlebih dahulu untuk
memberikan penilaian apakah permasalahan yang dibahas sesuai dengan tujuan
yang diinginkan. Mencatat poin penting dan referensinya yang sesuai dengan
permasalahan penelitian sehingga tidak terdapat unsur plagiasi. Penulis juga
harus mencatat sumber informasi dan mencantumkan dalam daftar pustaka jika
informasi berasal dari hasil penelitian orang lain. Membuat catatan, kutipan atau
informasi yang disusun secara sistematis sehingga penulis dengan mudah dapat
mencatat kembali jika diperlukan.

3.2 Kriteria Inklusi

Kriteria Inklusi
Population Jurnal nasional dan internasional
yang berhubungan dengan topik
penelitian yaitu : Hubungan Depresi
Dengan Kejadian Hipertensi Pada
Lanjut Usia Polifarmasi
Interventon Geriatric Depressin Scale (GDS),
dan stetokop, HARS (Hamilton
Anxiety Rating Scale) dan tensi.
Comparation Tidak ada faktor pembanding
Outcame Ada Hubungan Depresi Dengan
Kejadian Hipertensi Pada Lanjut Usia
Polifarmasi.
Tidak Ada Hubungan Depresi
Dengan Kejadian Hipertensi Pada
Lanjut Usia Polifarmasi.
Study design Literature review

Tahun terbit Artikel atau jurnal yang di gunakan


terbit mulai dari tahun 2018 sampai
dengan 2023
Bahasa Bahasa indonesia dan bahasa inggris

Anda mungkin juga menyukai