Anda di halaman 1dari 4

MASALAH

(“ HUBUNGAN INKONTINENSIA URIN DENGAN TINGKAT DEPRESI PADA


LANSIA ”)

Oleh :

Nama : Siti Nurbaiti

Nim : 143502719

Kelas :B

Semester : VI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MARANATHA

PRODI S1 ILMU KEPERAWATAN

KUPANG

2022
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Inkontinensia urin merupakan keluarnya urin tidak disadari dan pada waktu yang tidak
diinginkan (tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlah) yang mengakibatkan masalah sosial dan
higienisitas penderitanya. Inkontinensia urin merupakan salah satu masalah kesehatan yang
sering dijumpai pada lansia. Hal tersebut jarang disampaikan oleh pasien maupun keluarga
karena dianggap memalukan (tabu) atau wajar terjadi pada lansia sehingga tidak perlu diobati.
Inkontinensia urin dinilai bukan sebagai penyakit, melainkan suatu gejala yang dapat
menimbulkan berbagai gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta dapat menurunkan kualitas
hidup (juananda, 2017).

World Health Organization (WHO) tahun 2019 menyebutkan bahwa sekitar 20 juta
penduduk di dunia mengalami inkontinensia urin, tetapi angka sebenarnya tidak diketahui karena
banyak kasus yang tidak dilaporkan. Lebih dari 12 juta orang diperkirakan mengalami
inkontinensia urin di Amerika, hal ini dapat dialami pada semua usia oleh pria dan wanita dari
semua status sosial. Sekitar 15-30% individu yang mengalami inkontinensia urin diperkirakan
berusia lebih dari 60 tahun.

Survei di 11 negara Asia termasuk Indonesia ditemukan 5.052 perempuan menderita


masalah inkontinensia urin. Indonesia sebagai salah satu negara di Asia merupakan negara yang
mengalami peningkatan penduduk lansia yang sangat pesat. Pada tahun 1971, penduduk lanjut
usia (lansia) berjumlah 5,3 juta atau 4,48% dan pada tahun 1990 meningkat menjadi 12,7 juta
(6,56%). Sejak tahun 2002, proporsi penduduk lansia di Indonesia telah mencapai di atas 7%.
(Fatmawati dan Agustina 2018).

Indonesia sendiri sekitar 5,8% penduduk menderita inkontinensia urin. Pada tahun 1950,
di Asia terdapat 55 juta laki-laki dan perempuan yang berusia 65 ke atas. Sedangkan pada tahun
2000, jumlahnya meningkat menjadi 207 juta dan menurut proyeksi jumlah tersebut akan
meningkat lagi pada tahun 2050 menjadi 865 juta orang atau sekitar 20% dari penduduk dewasa
(Ulya, 2010, dalam Fatmawati, 2018). Data dari Dinkes Kota Jambi di 20 puskesmas Kota Jambi
pada tahun 2014 jumlah kunjungan lansia perempuan berdasarkan umur dengan jumlah 53319
orang. Dari data 20 puskesmas tersebut bahwa Puskesmas Putri Ayu Kota Jambi memegang
urutan pertama terbanyak. Dengan diketahui jumlah lansia di Puskesmas Putri Ayu pada tahun
2014 yang berumur 45-59 tahun sebanyak 5498, umur 60-69 tahun sebanyak 2833 dan umur >70
tahun sebanyak 1450.

Prevalensi inkontinensia meningkat seiring bertambahnya usia dan kerentaan, serta 1,3
hingga 2 kali lebih banyak pada perempuan dibandingkan laki-laki. Populasi di atas usia 65
tahun akan mengalami peningkatan kejadian inkontenensia urin mulai 13% pada tahun 2010 dan
diperkirakan dapat mencapai 20,2% pada tahun 2050.4 Diperkirakan inkontenensia urin dialami
oleh hampir 60% lansia di panti rawat (nursing home), 25–30% lansia berusia lebih dari 65 tahun
yang baru pulang dari perawatan rumah sakit karena penyakit akut, serta 10–15% laki-laki dan
20–35% perempuan berusia lebih dari 60 tahun yang masih ambulatori di komunitas.

Inkontensia urin merupakan sebuah gejala,bukan sebuah penyakit. Kondisi tersebut dapat
memberi dampak bermakna dalam kehidupan klien,menciptakan masalah fisik,seperti
Kerusakan kulit dan kemungkinan menyebabkan masalah psikososial seperti rasa, malu, dari segi
medis, sosial, ekonomi maupun psikologis ( Setiati dan Pramantara, 2017 ). Inkontinensia urin
mempunyai dampak medik, psikososial dan ekonomik. Beberapa kondisi yang sering menyertai,
antara lain kelainan kulit dan gangguan tidur, hingga dampak psikososial dan ekonomik, mudah
marah, terisolasi, hilang percaya diri, pembatasan aktifitas sosial, seperti depresi (Juananda,
2017).

Inkontinensia urin seringkali tidak dilaporkan oleh pasien ataupun keluarganya, hal ini
mungkin dikarenakan adanya anggapan bahwa masalah tersebut merupakan hal yang memalukan
atau tabu untuk diceritakan. Inkontinensia urin berkepanjangan yang tidak tertangani dengan
baik secara tidak langsung akan mempengaruhi kualitas hidup seseorang, menimbulkan
problematika kehidupan baik ( Setiati,2007) dalam (Devrisa 2021).

Depresi merupakan salah satu bentuk gangguan jiwa pada alam perasaan (afektif, mood)
yang ditandai kemurungan, kesedihan, kelesuan, kehilangan gairah hidup, tidak ada semangat,
dan merasa tidak berdaya, perasaan bersalah atau berdosa, tidak berguna dan putus asa Yosep
(2007) dalam Dirgayunita (2016). Depresi merupakan salah satu penyebab utama kejadian bunuh
diri ( suicide ). Sebanyak 40% penderita depresi mempunyai ide untuk bunuh diri, dan hanya
lebih kurang 15% saja yang sukses melakukannya.

Depresi pada lansia disebabkan oleh perasaan malu yang dirasakan oleh lansia penderita
inkontinensia, ditambah penolakan dari orang lain. Sehingga lansia yang menderita inkontinensia
merasa tidak berdaya, sedih, pesimis bahkan dapat mengakibatkan lansia penderita inkontinensia
menjadi mudah marah (Maas, dkk, 2011) dalam (Rompas, 2017).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang maka rumusan masalah ini yaitu “ Apakah Ada
Hubungan Inkontinensia Urin Dengan Tingkat Depresi Pada Lansia.”

1.3 Tujuan

1. Teridentifikasinya karakteristik lansia (Usia, Jenis kelamin, Pendidikan, Riwayat Penyakit).


2. Teridentifikasinya Inkontinensia Urin Pada Lansia.
3. Teridentifikasinya Tingkat Depresi Pada Lansia.
4. Teranalisisnya Hubungan Inkontinensia Urin Dengan Tingkat Depresi Pada Lansia.

Anda mungkin juga menyukai