Disusun Oleh :
NIM : 19216224
YATSI TANGERANG
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
2
semakin bertambah umur semakin berkurang fungsi-fungsi organ tubuh
(Taat Sumedi, 2016)
Salah satu masalah pada perubahan fisik yang banyak dialami
lansia yaitu pada sistem urinaria, antara lain adalah inkontinensia urine.
Lansia yang mengalami inkontinensia urine kebanyakan akan menarik diri
karena malu dengan hal tersebut, tidak mau menceritakan / melaporkan
apa yang dialaminya, dengan menarik diri karena malu dan takut
menggangu kenyamanan orang lain. Faktor-faktor pencetus inkontinensia
urine adalah proses menua, infeksi saluran kemih, obat-obatan, imobilisasi.
Proses menua memang menyebabkan perubahan-perubahan organ tubuh,
termasuk organ berkemih yang menyebabkan lansia mudah mengalami
problem inkontinensia urine ( Ulfah Agus Sukrillah, 2016)
Inkontinensia urine adalah pengeluaran urine secara spontan pada
sembarang waktu diluar kehendak (invonlunter). Keadaan ini umumnya
dijumpai pada lansia (Agoes dalam Milya Novera 2017). Terjadinya
kelemahan atau penurunan otot dasar panggul inilah yang memicu
terjadinya inkontinensia urine yaitu buang air kecil berkali-kali lebih dari 8
kali perhari (Junita dalam Milya Novera 2017). Fungsi normal buang air
kecil 3 jam sekali dan tidak lebih dari 8 kali sehari (Padila, 2013).
Menurut data dari WHO, 200 juta penduduk di dunia yang
mengalami inkontinensia urine. Menurut National Kidney and Urologyc
Disease Advisory Board di Amerika serikat, jumlah penderita
inkontinensia mencapai 13 juta dengan 85% diantaranya perempuan.
Jumlah ini sebenarnya masih sangat sedikit dari kondisi sebenarnya, sebab
masih banyak kasus yang tidak dilaporkan (Maas et all dalam Julianti
2017). Di Indonesia jumlah penderita inkontinensi urine sangat signifikan.
Pada tahun 2006 diperkirakan sekitar 5,8% dari jumlah penduduk yang
mengalami inkontinensia urine, tetapi penanganannya masih sangat
kurang. Hal ini disebabkan karena masyarakat belum tahu tempat yang
tepat untuk berobat disertai kurangnya pemahaman tenaga kesehatan
tentang inkontinensia urine (Depkes, 2012)
3
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017 lansia di
daerah perkotaan provinsi Banten berdasarkan jenis kelamin laki-laki
adalah 5,10% dan jenis kelamin perempuan adalah 5,32%, lalu lansia di
daerah pedesaan provinsi Banten 6,62% dan jenis kelamin perempuan
7,22%. Sedangkan inkotinensia urine banyak dialami oleh lansia jenis
kelamin perempuan. Kelainan inkotinensia urine ini tidak akan
mengancam jiwa pada lansia tetapi berpengaruh pada kualitas hidup yang
disebabkan oleh faktor gangguan psikologis dan faktor sosial yang sulit
diatasi.
Tingginya angka kejadian inkontinensia urine yang menyebabkan
perlunya penangganan yang sesuai, karena jika tidak segera ditanggani
maka akan terjadi berbagai komplikasi seperti infeksi saluran kemih atas,
infeksi kulit daerah kemaluan, gangguan tidur, dekubitus, dan gejala ruam.
Selain itu, masalah psikososial seperti dijauhi orang lain karena berbau
pesing, tidak percaya diri, dan mudah marah, hal ini akan berakibat pada
psikososial lansia, bisa terjadi depresi dan isolasi sosial.
kandung kemih. Kegel exercise adalah latihan otot kandung kemih dengan
cara mengencangkan dan merelaksasikan otot sehingga otot kandung
kemih menjadi kuat. (Stang dalam Ernawati, 2016).
4
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Milya Novera pada
tahun 2015 di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai hasil penelitian
didapatkan bahwa frekuensi bak inkontinensia urine pada lansia sesudah
dilakukan senam kegel memiliki rerata 8.00 dan terdapat pengaruh
inkontinensia urine sebelum dan sesudah dilakukan senam kegel pada
lansia. Penelitian Sutarni pada tahun 2013 di Unit Rehabilitasi Margo
Mukti Rembang disimpulkan bahwa kegel exercise berpengaruh terhadap
penurunan frekuensi inkontinensia urine pada lansia. Penelitian Uswatun
Insani pada tahun 2015 di Panti Purbo Yowono Klampok Brebes
didapatkan hasil adanya pengaruh latihan kegel sebanyak 86,84% dengan
adanya penurunan inkontinensia urine pada lansia. Sedangkan dari hasil
riset terkait yang dilakukan oleh Dewi Hartinah pada tahun 2016 di Desa
Undaan Lor Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus adanya pengaruh kegel
exercise terhadap penurunan inkontinensia urine pada lansia.
B. Rumusan Masalah
Menurut Adioetomo dalam Howell dan Priebe (2013) presentase
lansia Indonesia diperkirakan akan mencapai 23% pada tahun 2050.
Selain itu, kurang dari lima tahun terhitung dari sekarang, indonesia
bersiap menghadapi penuaan penduduk yang ditandai dengan persentase
penduduk lansia yang mencapai 10%. Meningkatnya presentasi lansia
5
yang didapat dari sumber UN, Departement and Social Affairs, Population
Division (2017), berdasarkan data proyeksi penduduk, diperkirakan tahun
2017 terdapat 23,66 juta jiwa penduduk lansia di Indonesia (9,03%).
Diprediksi jumlah penduduk lansia tahun 2020 (27,08 juta), tahun 2025
(33,69 juta), tahun 2030 (40,95 juta) dan tahun 2035 (48,19 juta). Untuk
itu penanggangan promotif, preventif, dan rehabilitatuf oleh tenaga
kesehatan dan bekerja sama dengan Departement Kesehatan antara lain :
dengan memberikan pembinaan kesehatan lansia untuk menggali potensi
yang ada pada lansia yang aktif. Lansia juga berpotensi untuk terjadinya
masalah kesehatan fisik yaitu terjadinya inkontinensia urine yang bisa
berpengaruh terhadap psikis lansia atau terjadi komplikasi pada sistem
perkemihan lansia. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
pengaruh kegel exercise terhadap frekuensi inkontinensia urine pada lansia
di Panti Werdha Bina Bhakti Serpong?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh kegel exercise
pada lansia yang mengalami inkontinensia urine
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui frekuensi inkontinensia urine sebelum dilakukan kegel
exercise pada kelompok intervensi
b. Mengetahui frekuensi inkontinensia urine sesudah dilakukan kegel
exercise pada kelompok intervensi
c. Mengetahui frekuensi inkontinensia urine sebelum dilakukan kegel
exercise pada kelompok kontrol
d. Mengetahui frekuensi inkontinensia urine sesudah dilakukan kegel
exercise pada kelompok kontrol
e. Mengetahui frekuensi inkontinensia urine sebelum dan sesudah
dilakukan kegel exercise pada kelompok intervensi
f. Mengetahui frekuensi inkontinensia urine sebelum dan sesudah
dilakukan kegel exercise pada kelompok kontrol
6
g. Mengetahui perbedaan sebelum dan sesudah dilakukan kegel
exercise pada kelompok inteversi dan kelompok kontrol
D. Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut :
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan,
pemahaman dan sebagai dasar pengembangan teori keperawatan
khususnya tentang kegel exercise dalam perawatan lansia.
2. Manfaat bagi responden
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan klien
tentang pentingnya kegel exercise dalam menangani inkontinensia
urine.
3. Manfaat bagi tempat penelitian
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan positif dalam
meningkatkan pelayanan khususnya pada program promosi kesehatan
terkait proses keperawatan di panti atau di masyarakat.
4. Manfaat bagi perawat
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan positif dalam modifikasi
intervensi asuhan keperawatan untuk memberikan terapi alternatif non
farmakologi dalam mengatasi inkontinesia urine pada lansia.
5. Manfaat bagi peneliti
Penelitian ini merupakan satu penerapan dari teori-teori dan ilmu yang
diperoleh peneliti selama masa kuliah, sehingga diharapkan penelitian
ini untuk kedepannya dapat menjadi model peneliti untuk memberikan
informasi kepada keluarga khususnya keluarga yang mempunyai lansia
yang mengalami inkontinensia urine agar dapat memberikan suatu
dukungan kepada lansia dalam melalui masa tuanya, penelitian ini juga
diharapkan dapat menjadi bahan bagi peneliti selanjutnya.
7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
I. Landasan Teori
A. Konsep Lanjut Usia
1. Definisi Lansia
Menurut Organisasi kesehatan dunia World Health
Organization (WHO) seseorang disebut lanjut usia (elderly) jika
berumur 60 – 74 tahun. Lanjut usia dikatakan sebagai tahap akhir
perkembangan pada daur kehidupan manusia. Sedangkan menurut
Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan
dikatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia
lebih dari 60 tahun (Nurhandayani, 2016).
Lanjut Usia (lansia) merupakan tahap akhir dari siklus
kehidupan manusia, dimana lansia mengalami proses berkurangnya
daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun
dari luar (Nugroho dalam Uswatun Insani 2018).
2. Proses Menua
Menjadi tua (menua) adalah suatu keadaan yang terjadi
didalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses
sepanjang hidup yang tidak hanya di mulai dari suatu waktu tertentu,
tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan
proses alamiah yang berarti seseorang telah mulai tahap – tahap
kehidupannya, yaitu neonates, toddler, pra school, school, remaja,
dewasa dan lansia. Tahap berbeda ini dimulai baik secara biologis
maupun psikologis (Padila, 2013:6).
Menurut WHO dan Undang – Undang No 13 Tahun 1998
tentang kesejahteraan lanjut usia pada pasal 1 ayat 2 yang
menyebutkan bahwa umur 60 tahun adalah usia permulaan tua. Menua
bukanlah suatu penyakit, akan tetapi merupakan proses yang berangsur
8
– angsur mengakibatkan perubahan yang kumulatif, merupakan proses
menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari
dalam dan luar tubuh yang berakhir dengan kematian (Padila, 2013:6).
3. Batasan Lanjut Usia
Usia yang dijadikan patokan untuk lanjut usia berbeda – beda
umumnya berkisar antara 60 – 65 tahun. Ada beberapa pendapat
tentang batasan usia adalah sebagai berikut:
a. Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), ada empat
tahapan yaitu: (Padila, 2013:4)
1) Usia pertengahan (middle age) usia 45 – 59 tahun.
2) Lanjut usia (elderly) usia 60 – 74 tahun.
3) Lanjut usia tua (old) usia 75 – 90 tahun.
4) Usia sangat tua (very old) usia >90 tahun.
b. Menurut Burnsie (1979): (Padila, 2013:5)
1) Young Old (usia 60 – 69 tahun).
2) Middle Age Old (70 – 79 tahun).
3) Old – old (usia 80 – 89 tahun).
4) Very Old – old (usia > 90 tahun).
c. Menurut Departemen Kesehatan RI membagi lansia sebagai
berikut:
1) Kelompok menjelang usia lanjut (45 – 54 tahun)
sebagai masa fertilitas.
2) Kelompok usia lanjut (55 – 64 tahun) sebagai
presenium.
3) Kelompok usia lanjut (lebih dari 65 tahun) sebagai
senium.
9
4. Perubahan–Perubahan Yang Terjadi Pada Lanjut Usia
Perubaha– perubahan yang lazim terjadi pada lanjut usia di
bedakan menjadi dua, yaitu perubahan fisik/ biologis (fisiologis) dan
perubahan fisik/ biologis patologis.
a. Perubahan Fisik/ Biologis (Fisiologis)
Menjadi tua atau menua membawa pengaruh serta
perubahan menyeluruh baik fisik, social, mental, dan norma
spiritual, yang keseluruhannya saling kait mengait antara
satu bagian dengan bagian lainnya.
Secara umum, menjadi tua ditandai oleh kemunduran
biologis yang terlihat sebagai gejala – gejala kemunduran
fisik, antara lain:
1) Kulit mulai mengendur dan wajah mulai keriput serta
garis – garis yang menetap.
2) Rambut kepala mulai memutih atau beruban.
3) Gigi mulai lepas (ompong).
4) Penglihatan dan pendengaran berkurang.
5) Mudah lelah dan mudah jatuh.
6) Mudah terserang penyakit.
7) Nafsu makan menurun.
8) Penciuman mulai berkurang.
9) Gerakan menjadi lamban dan kurang lincah.
10) Pola tidur berubah (Padila, 2013:49-50).
b. Perubahan Fisik/ Biologis Patologis
Nina kamalasari dari divisi Geriatri, Departemen
Ilmu Penyakit Dalam RS Cipto Mangunkusumo, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia dalam suatu pelatihan di
kalangan kelompok peduli lansia, menyampaikan beberapa
masalah yang kerap terjadi pada usia lanjut, yang
disebutnya sebagai a series of I’s. Mulai dari immobility
(imobilisasi), instability (instabilitas dan jatuh),
incontinence (inkontinensia), intellectual impairment
10
(gangguan intelektual), infection (infeksi), impairment of
vision and hearing (gangguan penglihatan dan
pendengaran), isolation (depresi), inantion (malnutrisi),
insomnia (gangguan tidur), hingga immune deficiency
(menurunnya kekebalan tubuh).
B. Konsep Inkontinensia Urine
1. Definisi Inkontinensia Urine
Inkontinensia urine adalah kondisi keluarnya urine tanpa terkendali
yang dapat didemonstrasikan secara objektif dan menimbulkan
gangguan sosial dan higiene. Proses menua memang menyebabkan
perubahan-perubahan organ tubuh, termasuk organ berkemih yang
menyebabkan lansia mudah mengalami problem inkontinensia urine,
perubahan-perubahan tersebut yaitu sebagai berikut:
a. Melemahnya otot dasar panggul yang menyangga kandung kemih
dan pintu/sfingter saluran kemih oleh karena proses melahirkan
yang berkali-kali dan akibat menurunnya estrogen.
b. Timbul kontraksi-kontraksi abnormal pada kandung kemih yang
menimbulkan rangsangan untuk berkemih sebelum waktunya.
c. Pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna dan
meninggalkan residu air seni dalam kandung kemih, sehingga
dengan pengisian sedikit saja sudah merangsang berkemih
d. Hipertrofi prostat yang dapat mengakibatkan banyaknya sisa air
seni di kandung kemih akibat pengosongan yang tidak sempurna.
(Ulfah Agus Sukrillah,2016: 83)
2. Klasifikasi Inkontinensia Urine
Klasifikasi berdasarkan penyebabnya adalah :
Penyebab akut, biasanya dapat teratasi, bersifat akut, terjadi mendadak
atau sementara, seperti:
a. Delirium
Kesadaran terganggu/menurun. Klien dengan delirium tentu tidak
akan menyadari akan rasa ingin berkemih/tidak mampu untuk ke
toilet, bila delirium teratasi maka inkontinensia juga teratasi.
11
b. Restricted Mobility (Gerak akibat penyakit)
Semua kondisi yang membatasi mobilitas dapat mencetuskan
terjadinya inkontinensia urine fungsional/memburuk inkontinensia
persisten, antara lain fraktur, stroke, atritis.
c. Infeksi Saluran Kemih
Dapat menyebabkan inkontinensia urine, keadaan inflamasi seperti
vaginitis atrofik/uretritis.
d. Pharaceutical (obat-obatan)
Seperti diuretik, antidepresant, dan sebagainya. Dengan
menghentikan obat tersebut biasanya inkontinensia urine akan
teratasi (Ulfah Agus Sukrillah, 2016:84)
Penyebab kronis, bersifat menetap, tidak dapat dihilangkan 100%,
tetapi dapat dikontrol/dikurangi gejalanya. Penyebabnya antara lain
kelemahan otot dasar panggul/instabilitas otot kandung kemih, adanya
gangguan neurology (stroke, penyakit parkinson). Inkontinensia
dengan penyebab kronis, dibedakan menjadi:
a. Inkontinensia Fungsional
Tanpa gangguan pada sistem saluran kemih, akibat
ketidakmampuan klien mencapai toilet sehingga tidak dapat
berkemih secara normal. Penyebabnya adalah dimensia berat,
gangguan musculoskletal, imobilitas, lingkungan tidak
mendukung, sehingga sulit untuk mencapai kamar mandi, adanya
faktor psikologis seperti depresi.
b. Inkontinensia urgensi
Akibat ketidakmampuan menunda berkemih begitu sensasi untuk
berkemih muncul, jumlah urine sedikit, frekuensi kemih yang
sangat sering. Masalah neurologik sering berhubungan dengan
inkontinensia tipe ini (stroke, dimensia, penyakit parkinson). Tipe
ini adalah tipe yang paling sering dijumpai lansia
12
c. Inkontinensia Stres
Urine keluar ketika tekanan intra abdomen meningkat. Seperti
pada batuk, bersin, tertawa/latihan. Hal ini disebabkan oleh
melemahnya otot dasar panggul.
d. Inkontinensia Overflow
Dikaitkan dengan menggelembungnya kandung kemih. Biasanya
terjadi pada laki-laki karena sumbatan anatomis (Hipertropi
Prostat, DM, Obat-obatan). Inkontinensia tipe ini tidak terjadi bila
pengisian kandung kemih melebihi kapasitas kandung kemih itu
sendiri. Pada wanita biasanya terjadi akibat melemahnya otot
dektrusor akibat trauma medulla spinalis dan obat-obatan. Klien
biasanya mengeluh adanya sedikit urine keluar tanpa adanya
sensasi kandung kemih sudah penuh.
e. Inkontinensia Campuran
Merupakan kombinasi inkontinensia tipe urgensi dan stres yang
sering terjadi pada lansia. (Ulfah Agus Sukrillah, 2016:84-85)
3. Penyebab Inkontinensia Urine
Menurut Wahyudi dalam Amilia 2018 Terdapat beberapa masalah
sehingga timbulnya inkontinensia urine, yaitu
1) Perubahan struktur pada sistem urinaria
2) Melemahnya otot dasar panggul
3) Penurunan kapasitas kandung kemih
Menurut Darmojo & Martono dalam Septiana, 2010
1) Kelainan Urologik : radang, batu, divertikel
2) Kelainan Neurologik : stroke, trauma pada medulla spinalis,
demensia dll
3) Lain-lainnya : hambatan mobilitas, situasi tempat berkemih yang
tidak memadai/jauh dan sebagainya.
4. Penatalaksanaan Inkontinensia Urine
Penatalaksanaan inkontinensia urine dilakukan dengan mengoreksi
penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia. Berdasarkan
penyebab dan berat ringannya inkontiensia dapat dipilih berbagai
13
terapi nonfarmakologis, yang dikenal sebagai behavioral therapis,
yaitu berbagai intervensi yang diajarkan untuk memodifikasi perilaku
kesehatan penderita terhadap kontrol kandung kemih. Behavioral
therapis atau terapi perilaku ini termasuk:
a. Pengaturan diet dan menghindari makanan/minuman yang
mempengaruhi pola berkemih
b. Program latihan berkemih, yaitu:
1) Bantuan Toileting/Jadwal Berkemih
Jadwal berkemih, jadwal direkomendasikan disusun untuk satu
hari penuh. Dengan menggunakan jadwal berkemih klien
diharapkan lebih patuh terhadap waktu berkemih yang telah
disepakati. Interval berkemih pada umumnya setiap 2 jam
2) Latihan fungsi kandung kemih (Bladder Training) dan program
katerisasi
Dengan menunda berkemih sampai dengan batas waktu yang
telah ditentukan untuk melatih fungsi bladder dalam
menampung urin sesuai ukuran normal. Dalam penelitian
terdapat perbaikan pada klien inkontinensia urine dengan
bladder training sebesar 10-15%
3) Latihan otot dasar panggul (Kegel Exercise)
Latihan ini sangat berpengaruh dalam memperbaiki stress
inkontinensia. Tujuan latihan ini adalah untuk meningkatkan
kekuatan otot dasar pelvis. Dalam beberapa penelitian terdapat
perbaikan pada klien inkontinensia urine dengan kegel exercise
sebesar 30-40% ( Doughty, Hay Smith et all dalam Dina Dewi,
2013)
5. Alat Ukur Frekuensi Inkontinensia Urine
Lembar observasi berupa angka yang menunjukkan berapa banyak
frekuensi berkemih pada lansia, angka tersebut mulai dari 1 sampai
dengan 15. Jika lansia tersebut mengalami frekuensi berkemih >8 kali
per hari maka sudah dikategorikan mengalami inkontinensia urine.
14
Terjadinya kelemahan atau penurunan otot dasar panggul inilah yang
memicu terjadinya inkontinensia urine yaitu buang air kecil berkali-
kali lebih dari 8 kali perhari (Junita dalam Milya Novera 2017). Fungsi
normal buang air kecil 3 jam sekali dan tidak lebih dari 8 kali sehari
(Padila, 2013).
C. Kegel Exercise
1. Definisi Kegel Exercise
Kegel exercis merupakan latihan otot kandung kemih dengan cara
mengencangkan dan merelaksasikan otot, sehingga otot kandung
kemih menjadi kuat (Stang dalam Ernawati 2012). Tujuan mendasar
dilakukannya kegel exercise adalah untuk meningkatkan kekuatan otot
dasar panggul (Lestari, 2011). Kegel exercise adalah latihan yang
bertujuan untuk memperkuat otot-otot dasar panggul terutama otot
pubococcygeal sehingga seorang wanita dapat memperkuat otot-otot
saluran kemih (Anggriyana, 2010:55)
2. Cara Melakukan Kegel Exercise
Tekhnik Kegel Exercise yang paling sederhana dan mudah dilakukan
adalah dengan seolah-olah menahan kencing (pada wanita dan pria).
Kencangkan atau kontraksikan otot seperti menahan kencing,
pertahankan selama 5 detik, kemudian relaksasikan (kendurkan).
Ulangi lagi latihan tersebut setidaknya lima kali berturur-turut. Secara
bertahap tingkatkan lama menahan kencing 15-20 detik, lakukanlah
secara serial setidaknya 6-12 kali tiap latihan. Kegel exercise dapat
dilakukan di kursi sambil duduk, saat mengendarai mobil bahkan
ketika berada di kamar kecil, bila kegel exercise dilakukan secara
teratur , dalam waktu 8 hingga 12 minggu maka sudah dapat dirasakan
manfaatnya. (Anggriyana, 2010:66)
3. Tekhnik Kegel Exercise
Tekhnik kegel exercise dapat dilakukan selama 6 detik , dan anda
dapat menghitung 1,2,3, sampai 6 detik untuk menghitung saat
melakukan latihan ini:
15
1) Pasien menempatkan tangan di peruT
2) Kontraksi perlahan (hitung 1 detik)
3) Tetap kontraksi (detik ke 2)
4) Tetap kontraksi (detik ke 3)
5) Tetap kontraksi (detik ke 4)
6) Kontraksikan sekuat mungkin (detik ke 5)
7) Rileks (detik ke 6) sebelum mulai langkah pertama kembali
Lakukan langkah tersebut selama kurang lebih 20 menit setiap hari.
Dan alternatif lain yang lebih efektif dengan tahapan langkah
tambahan sebagai berikut:
1-5 sama seperti diatas
8) Rileks 5 detik
9) Kontraksikan dengan cepat dan keras
10) Rilek (cepat)
11) Kontraksi (cepat)
12) Rileks (cepat)
13) Kontraksi (cepat)
14) Rileks beberapa detik dan mulai lagi pada nomor 1
(Anggriyana,2010:66)
4. Manfaat Kegel Exercise
a. Keuntungan kegel exercise pada pria
Pada pria, latihan ini dapat menigkatkan kemampuan mengontrol
dan mengatasi ejakulasi dini, ereksi lebih kuat dan meningkatkan
kepuasan seksual saat orgasme (Anggriyana, 2010: 59)
b. Keuntungan kegel exercise pada wanita
1) Lebih mudah mencapai orgasme
2) Vagina akan lebih sensitif dan peka rangsang, memudahkan
peningkatan kepuasan seksual
3) Menyembuhkan ketidakmampuan menahan kencing
(inkontinensia urine)
4) Mempercepat pemulihan kondisi vagina setelah melahirkan
5) Mencegah ambeien/wasir
16
6) Mencegah ngompol kecil saat bersin dan batuk
(Anggriyana:2010:59)
Faktor Penyebab :
Kegel Exercise
Sumber: (Wahyudi dalam Amilia, 2018) (Darmojo & Martono dalam Septiana,
2010) (Ulfah Agus Sukrillah, 2016) (Anggriyana, 2010)
17
BAB III
A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka
hubungan antara konsep – konsep yang ingin diamati atau diukur melalui
penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo, 2010).
Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau
ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang
sesuatu konsep pengertian tertentu. Variabel Independent adalah variabel
risiko atau sebab sedangkan variabel dependent adalah variabel akibat atau
efek (Notoatmodjo, 2010).
Berdasarkan tinjauan kepustakaan, tujuan penelitian dan
kerangka teori mengenai pengaruh kegel exercise, maka dikemukakan
beberapa variabel, yaitu sebagai berikut:
Keterangan:
Dihubungkan
Diteliti
18
B. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah uraian tentang variabel atau tentang
apa yang diukur oleh variabel yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2010).
19
menimbulkan
gangguan sosial
dan higiene.
C. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah suatu penelitian berarti jawaban sementara
penelitian, patokan duga, atau dalil sementara, yang kebenarannya akan
dibuktikan dalam penelitian tersebut (Notoatmodjo, 2010).
Jenis rumusan hipotesis salah satunya adalah hipotesis nol atau
hipotesis statistik yaitu apabila hipotesis nol diuji dengan metode statistika
akan tampak apabila rumusan hiopotesis dapat diterima, dapat
disimpulkan sebagaimana hipotesisnya tetapi bila rumusannya ditolak
maka hipotesis alternatifnya diterima, itulah sebabnya maka setiap
rumusan hipotesis nol dipertentangkan dengan rumusan hipotesis
alternatif. Hipotesis nol biasanya menggunakan rumusan Ho (misalnya Ho
: X = Y), sedangkan hipotesis alternatif menggunakan simbol Ha
20
DAFTAR PUSTAKA
Dewi Dina (2013). Aspek Keperawatan Pada Inkonteinesi Urin. Jurnal Ilmu
Keperawatan-Volume 1, No.1 Mei 2013
21
Insani Uswatun, dkk. (2018). Efektivitas Latihan Kegel Dalam Penurunan
Kejadian Inkontinensia Urin Pada Lansia di Unit Pelayanan Sosial
Lansia Purbo Yuwono Klampok Brebes. Jurnal Ilmu Keperawatan Medikal
Bedah 1 (2), 1-5
iii
22