Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN DESIMINASI ILMU: PEMBERIAN REBUSAN DAUN PEPAYA

TERHADAP KONSTIPASI PADA LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA


SABAI NAN ALUIH SICINCIN 2021

Oleh :

Alfajri Aulia Putra (02104001)


Dozi Rianza (02104002)
Erni Rahayu (02104003)
Fadilla Suci Amanda (02104004)
Iin Rahyuni (02104005)
Meiky Sundari (02104006)
Nurlatifah (02104007)

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

(Ns. Rika Syafitri, M. Kep) (Ns. Shuci Putri Hayu, S. Kep)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI


ILMU KESEHATAN YPAK PADANG
2021-2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kelompok sampaikan kepada Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kelompok dapat menyelesaikan
desiminasi ilmu ini yang berjudul “Pemberian Rebusan Daun Pepaya Terhadap
Konstipasi Pada Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin”
Desiminasi Ilmu ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan
kompetensi Praktek Keperawatan Gerontik pada Program Studi Profesi Ners STIKes
YPAK Padang.

Kelompok menyadari bahwa dalam penulisan Desiminasi Ilmu ini masih jauh dari
kesempurnaan. Tetapi berkat usaha bersama dan dukungan dari berbagai pihak, dengan
ini kelompok mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. Syahbana selaku Kepala Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih
Sicincin Kabupaten Padang Pariaman.
2. Bapak/ ibu pejabat struktual Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin
Kabupaten Padang Pariaman.
3. Bapak/ ibu pegawai dan pengasuh Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih
Sicincin Kabupaten Padang Pariaman.
4. Bapak/ibu lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Kabupaten
Padang Pariaman.
5. Ibu Ns. Shuci Putri Hayu, S. Kep selaku Pembimbing Klinik di Panti Sosial Tresna
Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Kabupaten Padang Pariaman.
6. Ibu Ns. Rika Syafitri, M. Kep selaku pembimbing akademik STIKes YPAK
PADANG

Kab. Padang Pariaman, 24 Juni 2022

Kelompok
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut WHO lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berumur 60 tahun atau lebih.
Batasan usia lansia yaitu, lansia usia pertengahan (middle age 45-59 tahun), usia lanjut
(elderly 60-74 tahun) usia lanjut tua (old 75-90 tahun), usia sangat tua (very old, diatas 90
tahun). Secara global pada tahun 2013 proporsi dari populasi penduduk berusia lebih dari 60
tahun adalah 11,7% dan diperkirakan jumlah tersebut akan terus meningkat seiring dengan
peningkatan usia harapan hidup (WHO, 2015).
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Administration of Aging dalam Fadila
(2013) diperoleh bahwa populasi lansia usia enam puluh tahun ke atas akan melambat di
negara-negara maju namun akan tetap meningkat di negara berkembang. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa pada tahun 2000 jumlah orang berusia 60 tahun ke atas diperkirakan sekitar
605 juta jiwa . selanjutnya, akan terjadi peningkatan pada tahun 2050 yang untuk pertama
kalinya dipekirakan jumlah lansia di dunia akan melampaui jumlah populasi anak-anak
berusia 14 tahun ke bawah (Holdsworth, 2014). Di Indonesia sendiri jumlah lansia pada
tahun 2013 yaitu 8,9% dengan usia harapan hidup 770,8 tahun dan pada tahun 2050
diperkirakan jumlah lansia di Indonesia 21,4% dari total populasi. Sementara di Sumatera
Barat merupakan provinsi urutan ke-7 dengan jumlah lansia terbanyak di Indonesia
(Kementrian Kesehatan RI, 2015).
Lansia merupakan peroses penuaan dengan bertambahnya usia individu yang ditandai
dengan penurunan fungsi organ tubuh seperti otak, jantung, hati, ginjal serta peningkatan
kehilangan jaringan aktif tubuh berupa otot-otot tubuh. Penurunan fungsi organ tubuh pada
lansia akibat dari berkurangnya jumlah kemampuan sel tubuh, sehingga kemampuan jaringan
tubuh untuk mempertahankan fungsi secara normal menghilang, sehingga tidak dapat
bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Fatimah, 2014).
Masalah kesehatan terbanyak yang dialami lansia adalah penyakit degenerative atau tidak
menular yang sering terjadi akibat gaya hidup yang tidak sehat pada lansia (Kementrian
kesehatan RI, 2015). Berdasarkan data Kementrian Kesehatan RI, (2013), 1,53% lansia di
Indonesia mengalami masalah pada system eliminasi. Konstipasi merupakan masalah
eliminasi yang sering dialami karena asupan serat yang telampau lama (kurun waktu lama)
mengakibatkan konstipasi (Soelistijani, 2002).
Masalah kesehatan yang dialami lansia sering berbeda dengan dewasa muda, karena
penyakit pada lansia merupakan gabungan dari kelainan-kelainan yang timbul akibat
penyakit dan proses penuaan, yaitu menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan
untuk memperbaiki diri atau mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi. Salah
satu perubahan yang terjadi pada proses penuaan yaitu perubahan pada system
gastrointestinal. Perubahan-perubahan yang terjadi pada system gastrointestinal tersebut
yaitu termasuk perubahan struktur dan fungsi usus besar. Pada lansia sendiri terjadi
perubahan dalam usus besar termasuk penurunan sekre mucus, elastisitas dinding rectum,
peristaltic kolon yang melemah, dan gagal mengosongkan rektum yang dapat menyebabkan
konstipasi (Leueckenotte, 2000). Hal inilah yang menjadi dasar bahwa konstipasi merupakan
masalah kesehatan pada lansia.
Pada umumnya, lansia menganggap konstipasi sebagai hal yang biasa. Sekitar 30–40%
orang diatas usia 65 tahun di Inggris mengeluh konstipasi, 30% penduduk diatas usia 60
tahun merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat pencahar. Sekitar 20% populasi
diatas 65 tahun di Australia, mengeluh menderita konstipasi (Siswono, 2003). Namun jika
tidak diatasi, konstipasi dapat menimbulkan situasi yang lebih serius seperti impaksi (feses
menjadi keras dan kering) dan obstruksi. Konstipasi kronis dapat mengakibatkan
divertikulosis, kanker kolon dan terjadinya hemoroid (Sudoyo, dkk, 2006 dalam Mulyani
2012).
Laporan Riset Kesehatan Dasar (2015), menunjukkan sebagian besar penduduk Indonesia
masih kurang konsumsi serat dari sayur dan buah, kurang olahraga dan bertambah makan
makanan yang mengandung pengawet. Keadaan ini tentu saja menimbulkan gangguan dalam
pencernaan dengan keluhan yang sering timbul antara lain kembung dan tidak dapat buang
air besar secara lancar atau konstipasi.
Kasus konstipasi umumnya diderita masyarakat umum sekitar 4-30% pada kelompok usia
60 tahun ke atas atau lansia. Insiden konstipasi meningkat seiring bertambahnya umur,
terutama usia 65 tahun ke atas Pada suatu penelitian pada orang berusia usia 65 tahun ke atas,
terdapat penderita konstipasi sekitar 34 persen wanita dan pria 26 persen (Wahyu, 2012).
Semua orang dapat mengalami konstipasi terlebih pada lanjut usia akibat gerakan
peristaltik lebih lambat. Konstipasi terjadi jika makan kurang berserat, kurang minum, dan
kurang olahraga. Kasus konstipasi umumnya diderita masyarakat umum sekitar 4-30 persen
pada kelompok usia 60 tahun ke atas. Konsumsi serat yang cukup dapat memperlancar proses
defekasi. . Serat ini akan mengikat lemak sehingga lemak tidak akan diserap oleh tubuh
melainkan akan dikeluarkan dari tubuh bersama feses. Salah satu serat yang dapat
mempermudah proses defekasi terdapat pada daun pepaya. Daun pepaya mengandung enzim
papain. Enzim proteolytic dan serat kasar tinggi yang dapat melancaran defekasi. Daun
papaya mengandung selulosa untuk merangsang otot-otot usus (Abdul Ghofar, 2012 dalam
Najma, 2017).
Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan mengkonsumsi makanan
tinggi serat, salah satunya air rebusan daun pepaya dan banyak minum air putih, terutama
ketika lambung dalam keadaan penuh. Mengkonsumsi air daun pepaya ketika lambung terasa
penuh dapat merangsang gerak peristatik usus, Jika lansia sudah mengalami dorongan maka
segeralah untuk buang air besar agar tidak terjadi konstipasi (Wayu, 2012).
Penelitian tentang air rebusan daun papaya ini sangat bermanfaat untuk dunia
keperawatan guna memperkaya praktek pendidikan keperawatan yang professional dalam hal
ini dapat membantu perawat meningkatkan pemahaman khususnya tentang pencegahan
konstipasi, sehingga perawat dapat memberikan pelayanan keperawatan yang tepat pada
masyarakat untuk mencegah terjadinya konstipasi dengan cara memberikan informasi dan
pendidikan kesehatan terhadap masyarakat sebagai upaya pencegahan konstipasi.

B. Tujuan Desiminasi
1. Tujuan Umum
Setelah dilakukan desiminasi ilmu diharapkan audience(Pegawai atau pengasuh) dapat
menerapkan pemberian rebusan daun papaya terhadap konstipasi lansia di Panti Sosial
Tresna Werdha (PSTW) Sabai Nan Aluih Sicincin
2. Tujuan Khusus
Setelah mengikuti desiminasi ilmu diharapakan audience (Pegawai atau pengasuh) dapat
memahami dan menerapkan tentang :
a. Konsep tentang konstipasi
b. Manfaat pemberian rebusan daun papaya terhadap konstipasi pada lansia di Panti
Sosial Tresna Werdha (PSTW) sabai Nan Aluih

C. Manfaat Desiminasi
1. Bagi pegawai atau pengasuh Di PSTW Sabai Nan Aluih Sicincin
Diharapkan dengan adanya desiminasi ilmu ini dapat memberikan tambahan
pengetahuan kepada pengasuh dan pegawai untuk mampu menerapkan pemberian daun
papaya terhadap penurunan konstipasi pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha
(PSTW) Sabai Nan Aluih Sicincin
2. Bagi Mahasiswa Keperawatan
Diharapakan dapat dijadikan sebagai referensi dan ilmu pengetahuan dalam
menangani lansia yang mengalami konstipasi dengan memberikan rebusan daun papaya
di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Sabai Nan Aluih Sicincin
3. Bagi Lansia
Diharapkan dapat dijadikan pengobatan alternatif untuk mencegah dan
meminimalisir komplikasi yang akan terjadi pada lansia yang terkena konstipasi
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Lanjut Usia (Lansia)

1. Defenisi Lansia

Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan

manusia. Sedangkan menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) undang-undang no 13 tahun 1998

tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia

lebih dari 60 tahun (Maryam dkk, 2008).

Berdasarkan defenisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia (lansia)

apabila usianya 60 tahun keatas. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap

lanjut dari semua proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh

untuk beradaptasi dengan stress lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh

kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stress

fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta

peningkatan kepekaan secara individual ( Efendi, 2009).

2. Batasan Umur Lanjut Usia

Menurut pendapat berbagai ahli dalam efendi (2009) batasan-batasan umur yang

mencakup batasan umur lansia adalah sebagai berikut :

a. Menurut undang-undang No 13 tahun 1998 dalam bab 1 pasal 1 ayat 2 yang

berbunyi “ lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas”.

b. Menurut Whorld Health Organization (WHO), usia lanjut dibagi menjadi 4

kriteria berikut: usia pertengahan (midle age) ialah 45-59 tahun, lanjut usia

(elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia sangat tua

(very old) ialah 90 tahun.


c. Menurut Dra. Jos Masdani (psikolog UI) terdapat 4 fase yaitu: pertama (fase

inventus) ialah 25-40 tahun, kedua (fase firilities) ialah 40-55 tahun, ketiga (fase

presenium) ialah 55-65 tahun, keempat (fase senium) ialah 65 hingga tutup usia.

d. Menurut Prof. Dr. Koesoemato setyonegoro masa lanjut usia (geriatric) dibagi

menjadi tiga batasan umur, yaitu young old (70-75 tahun), old (75-80 tahun), very

old (> 80 tahun) (Efendi, 2009)

1. Proses Menua

Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi didalam kehidupan

manusia. Proses menua merupakan proses epanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu

waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses

alamiah, yang berarti seseorang telah memulai kehidupannya yaitu anak, dewasa dan tua.

Tiga tahapan ini berbeda, baik secara biologis maupun psikologis (Fadila, 2013).

Teori-teori yang menjelaskan bagaimana dan mengapa penuaan terjadi biasanya

dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar, yaitu teori biologis dan teori psikologis.

Penelitian yang terlihat dengan jalur biologi memusatkan perhatian pada indikator yang

dapat melihat dengan jelas pada proses penuaan, banyak pada tingkat seluler, sedangkan

ahli teori psikososial mencoba untuk menjelaskan bagaiaman proses tersebut dipandang

dalam kaitan dengan kepribadian dan prilaku (Stanley and Beare, 2006).

a. Teori Biologis

Teori biologis menjelaskan proses fisik penuaan, termasuk perubahan fungsi

dan struktur, pengembangan, panjang usia dan kematian. Perubahan-perubahan dalam

tubuh termasuk perubahan mulekular dan seluler dalam sistem organ utama dan

kemampuan organ tubuh untuk berfungsi secara adekuat dan melawan penyakit.
Teori biologis juga menjelaskan mengapa orang mengalami penuaan dengan

cara berbeda dari waktu ke waktu dan faktor apa yang mempengaruhi umur panjang,

perlawanan terhadap organisme, dan kematian atau perubahan seluler. Suatu

pemahaman tentang perspektif bilogi dapat memberikan pengetahuan pada perawat

tentang faktor spesifik dihubungkan dengan penuaan dan bagaimana orang dapat

membantu untuk meminimalkan atau menghindari resiko dan memaksimalkan

kesehatan (Fadila, 2013)

b. Teori Genetika

Teori genetika terdiri dari teori asam deoksiri bonukleat (DNA), teori ketepatan

dan kesalahan mutasi seomatik dan teori glukogen. Teori ini menyatakan bahwa

proses replikasi pada tingkatan seluler menjadi tidak teratur karena adanya informasi

tidak sesuai yang diberikan dari inti sel. Molekul DNA menjadi saling bersilangan

(kroslink) dengan unsur yang lain sehingga merubah informasi genetik. (Fadila, 2013)

c. Teori Wear-And-Tear

Teori Wear-and-tear (diapakai dan rusak) mengusulkan bahwa akumulasi

sampai metabolik atau zat nutrisi dapat merusak sintesis DNA, sehingga mendorogng

mal fungsi molekuler dan akhirnya malfungsi organ tubuh. Pendukung teori ini

percaya bahwa tubuh akan mengalami kerusakan berdasarkan suatu jadwal. (Fadila,

2013)

d. Teori Imunitas

Teori imunitas menggambarkan suatu kemunduran dalam sistem imun yang

berhubungan dengan penuaan. Ketika orang bertambah tua, pertahanan mereka


terhadap organisme asing mengalami penurunan, sehingga mereka lebih rentan untuk

menderita kanker dan infeksi. (Fadila, 2013)

e. Teori Neuro Endokrin

Penuaan terjadi karena adanya suatu perlambatan dalam sekresi hormon

tertentu yang mempunyai suatu dampak pada reaksi yang diatur oleh sistem saraf. Hal

ini lebih jelas ditunjukkan dalam kelenjer hipfisis tiroid, adrenal dan reproduksi.

Salah satu area neurologi yang mengalami gangguan scara universal akibat penuaan

adalah waktu reaksi yang diperlukan untuk menerima, memproses dan bereaksi

terhadap perintah. Dikenal sebagai perlambatan tingkah laku, respon ini kadang-

kadang di interprestasikan sebagai tindakan melawan, ketulian atau kurangnya

pengetahuan. (Fadila, 2013)

f. Teori Psikososial

Teori psikososial memusatkan perhatian pada perubahan sikap dan prilaku

yang menyerta peningkatan usia, sebagai lawan dari implikasi biologi dan kerusakan

anatomi. Perubahan sosiologis atau non fisik dikombinasikan dengan perubahan

psikologis. (Fadila, 2013)

g. Teori kepribadian

Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Teori ini

menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seorang lanjut usia sangat

dipengaruhi oleh tipe personalitas yang dimilikinya. Teori ini mengemukakan adanya

keseimbangan dalam siklus kehidupan lanjut usia. Dengan demikian, pengalaman

hidup seseorang pada suatu saat merupakan gambaran kelak pada saat ia menjadi

lanjut usia. (Fadila, 2013)


h. Teori Tugas Perkembangan

Teori tugas perkembangan adalah aktifitas dan tantangan yang harus dipenuhi

oleh seseorang pada tahapan-tahapan spesifik dalam kehidupannya untuk mencapai

penuaan sukses. Tugas utama lansia adalah mampu melihat kehidupan seseorang

sebagai kehidupan yang dijalani dan integritas. Pada kondisi tidak adanya pencapaian

perasaan bahwa ia telah menikmati kehidupannya yang baik, maka lansia tersebut

beresiko untuk disibukkan dengan rasa penyesalan atau putus asa. (Fadila, 2013)

i. Teori disangagament

Teori ini membahas putusnya pergaulan atau hubungan dengan masyarakat dan

kemunduran individu dengan individu lainnya. Dengan bertambah lanjutnya usia,

apalagi ditambah dengan adanya kemiskinan, lanjut usia secara berangsur-angsur

mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan

sekitarnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun, baik

secara kualitas maupun kuantitas sehingga lanjut usia sering mengalami kehilangan

ganda (triple loss) yaitu kehilangan peran hambatan kontak sosial dan berkurangnya

komitmen. (Fadila, 2013)

j. Teori Aktivitas

Teori ini menyatakan bahwa lanjut usia yang sukses adalah mereka yang aktif

dan banyak ikut serta dalam kegiatan sosial. Lanjut usia akan merasakan kepuasan

bila dapat melakukan aktifitas dan mempertahankan aktifitas tersebut selama

mungkin. Selain itu, pentingnya aktifitas mental dan fisik yang berkesinambungan

untuk mencegah kehilangan dan pemeliharaan kesehatan sepanjang masa kehidupan

manusia. (Fadila, 2013)


k. Teori Kontinuitas

Teori ini juga dikenal dengan teori pertimbangan, dimana teori ini

menekankan pada kemampuan koping individu selamanya dan kepribadian sebagai

dasar untuk memprediksi bagaimana seseorang akan mendapat menyesuaikan diri

terhadap perubahan akibat penuaan. Ciri kepribadian dasar dikatakan tetap tidak

berubah walaupun usia lanjut. Selanjutnya, ciri kepribadian secara khas menjadi lebih

jelas pada saat orang tersebut bertambah tua (stanley and Beare, 2006).

2. Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia

Menurut Nugroho (2008), perubahan yang terjadi pada lansia adalah sebagai

berikut :

a. Perubahan-perubahan fisik

Meliputi perubahan dari tingkat sel sampai semua sistem organ tubuh

antaranya sistem pernapasan, pendengaran, penglihatan, kardiovaskuler, sistem

pengaturan temperatur tubuh, sistem respirasi, muskuloskeletal, gastrointestinal,

genitaurinaria, endokrin dan integumen (Nugroho, 2008)

b. Perubahan-perubahan mental

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental yaitu pertama-tama

perubahan fisik, khusunya organ perasa, kesehatan umum, tingkat pendidikan,

keturunan dan lingkungan. Sedangkan perubahan mental yang terjadi pada lansia

adalah :
a). Kenangan (Memori)

Kenangan jangka panjang, beberapa jam sampai beberapa hari yang lalu

dan mencakup beberapa perubahan, kenangan jangka pendek atau seketika (0-10

menit) dan kenangan buruk (bisa kearah demensia).

b). Intelegentia Quotion (IQ)

IQ tidak berubah dengan informasi matematika dan perkataan verbal. Penampilan,

persepsi dan ketrampilan, psikomotor brkurang. Terjadi perubahan pada daya

membayangkan karena tekanan faktor waktu.

c). Perubahan Psikososial

Nilai seseorang bisa diukur melalui produktifitasnya dan identitasnya

dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila mengalami pensiun (purna

tugas), seseorang akan mengalami kehilangan, antara lain:

1. Kehilangan finansial (pendapatan berkurang)

2. Kehilangan status (dulu mempunyai jabatan atau posisi yang cukup tinggi,

lengkap dengan semua fasilitas)

3. Kehilangan teman, kenalan atau relasi

4. Kehilangan pekerjaan

d). Perkembangan spiriual

1. Agama atau kepercayaan semakin terintegrasi dalam kehidupannya

2. Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini terlihat

dalam berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari.


A. Konsep Anatomi & Fisiologi Eliminasi Fekal

Menurut Mubarak dan Chayatin (2007), saluran pencernaan bawah meliputi usus halus

dan usus besar. Usus halus terdiri atas tiga bagian yaitu duodenum, jejenum, dan ileum.

Sedangkan usus besar terdiri atas empat bagian yaitu sekum, kolon, apendiks, dan rektum.

Panjang jejunum dan ileum bervariasi antara 300 dan 900 cm. Jejunum berukuran lebih

besar, memiliki dinding yang tebal, lipatan membran mukosa yang lebih banyak, dan plak

penyeri lebih sedikit.

Gambar 2.2 Usus Halus

1. Usus besar (kolon)

Usus besar adalah sebuah saluran otot yang dilapisi oleh membran mukosa. Serat

otot berbentuk sirkular dan longitudinal, yang memungkinkan usus besar berkontraksi

melebar dan memanjang. Fungsi utama usus besar (kolon) adalah absorpsi air dan zat

gizi, perlindungan mukosa dinding usus, dan eliminasi fekal.

Gambar 2.3 Usus Besar


Fisiologi defekasi menurut Mubarak dan Chayatin (2007), yaitu sewaktu makanan

masuk ke lambung terjadi gerakan massa di kolon yang disebabkan oleh refleks gastrokolon.

Ketika gerakan massa di kolon mendorong isi kolon ke dalam rektum, terjadi peregangan

rektum yang memicu refleks defekasi.

Menurut Tarwoto dan Wartonah (2003), dalam proses defekasi terjadi dua macam

refleks, yaitu :

a. Reflek defekasi instrinsik

Refleks ini berasal dari feses yang masuk ke rectum sehingga terjadi distensi

rectum, yang kemudian menyebabkan rangsangan pada fleksus mesentrikus dan

terjadilah gerakan peristaltik. Setelah feses tiba di anus secara sistematis spinkter interna

relaksasi maka terjadilah defekasi.

b. Reflek defekasi parasimpatis

Feses yang masuk ke rektum akan merangsang saraf rectum yang kemudian

diteruskan ke spinal cord. Dari spinal cord kemudian dikembalikan ke kolon desenden,

sigmoid, dan rectum yang menyebabkan intensifnya peristaltik dan relaksasi spinkter

interna, maka terjadilah defekasi.

Selain itu dorongan feses juga dipengaruhi oleh kontraksi otot abdomen, tekanan

diafragma dan kontraksi otot elevator ani. Defekasi juga dipermudah oleh fleksi otot

femur dan posisi jongkok


Gambar 2.1 Sistem Pencernaan

2. Usus halus

Usus halus merupakan lumen muskular yang dilapisi membran mukosa yang

terletak di antara lambung dan usus besar. Sebagian besar proses pencernaan dan

penyerapan makanan berlangsung di sini.

Usus halus terdiri atas :

a. Duodenum adalah saluran berbentuk C dengan panjang sekitar 25 cm yang

terletak di bagian belakang abdomen.

b.   Jejunum dan ileum


B. Konsep Konstipasi

1. Definisi Konstipasi

Menurut Pratice Guideline untuk menatalaksanaan kostipasi pada orang dewasa,

konstipasi adalah pengeluaran sejumlah kecil feses keras dan kering kurang dari tiga kali

dalam seminggu atau perubahan signifikan kebiasaan buang air besar seseorang, yaitu

yang diikuti mengedan, dan perasaan begah, atau pertut terasa penuh.gejala yang menetap

selama tiga bulan atau lebih disebut kostipasi kronik (Folden, 2002).

2. Etiologi Konstipasi

Menurut Dudek (Setiadi, 2018),kejadian konstipasi pada lansia dapat dipengaruhi

oleh beberapa hal yaitu :

1. Asupan serat

Konsumsi serat makanan, khususnya serat tak larut (tak dapat dicerna dan tak larut

air panas) menghasilkan kotoran yang lembek.Insoluble fibre (serat tidak larut)

bersifat menahan air pada fragmen serat sehingga menghasilkan tinja yanglebih

banyak dan berair. Akibatnya akan terjadi stimulasi gerakan peristaltik, mempercepat

waktu transit kolon, peningkatan frekuensi defekasi, dan penurunan tekanan di dalam

kolon.

2. Intake cairan

Intake cairan berpengaruh pada eliminasi fekal. Kolon menggunakan banyak

air untuk memecah makanan padat. Bahan sisa metabolisme dalam saluran cerna

akan membawa sejumlah air yang telah digunakan untuk mencairkan makanan, dan

hal ini tergantung pada ketersediaan air di dalam tubuh. Air yang membawa sisa

metabolisme akan bertindak sebagai pelumas untuk membantu sisa metabolisme ini
bergerak di sepanjang kolon. Semakin tubuh membutuhkan air, semakin besar

usahanya untuk menyerap kembali air yang tersedia di dalam usus. Proses ini

memberikan tekanan besar pada sisa metabolisme agar airnya dapat diabsorbsi

kembali oleh mukosa atau dinding selaput dari kolon. Dampaknya tinja menjadi lebih

kering dari normal, menghasilkan feses yang keras.

3. Aktivitas fisik

Mempertahankan mobilisasi optimal sangat penting untuk kesehatan mental

dan fisik semua lansia. Pada umumnya, para lansia akan mengalami penurunan

aktifitasfisik. Salah satu faktor penyebabnya adalah pertambahan usia yang dapat

menyebabkan terjadinya kemunduran biologis. Kondisi ini setidaknya akan

membatasi aktifitas yang menuntut ketangkasan fisik. Aktivitas fisik juga

merangsang terhadap timbulnya peristaltik. Penurunan aktivitas fisik dapat

mengakibatkan terjadinya penurunan gerak peristaltik dan dapat menyebabkan

melambatnya feses menuju rectum dalam waktu lama dan terjadi reabsorpsi cairan

feses sehingga feses mengeras. Aktivitas fisik juga membantu seseorang untuk

mempertahankan tonus otot. Tonus otot yang baik dari otot-otot abdominal, otot

pelvis dan diafragma sangat penting bagi defekasi.

4. Gangguan metabolik

Hiperkalsemia mengacu pada kelebihan kalsium dalam plasma. Secara umum,

gejala-gejala hiperkalsemia adalah sebanding dengan tingkat kenaikan kadar kalsium

serum. Hiperkalsemia mengurangi eksitabilitasneuromuskular karena hal ini

menekan aktivitas pertemuan mioneural. Gejala-gejala seperti kelemahan muskular,

inkoordinasi, anoreksia, dan konstipasi dapat karena penurunan tonus pada otot lurik
dan polos. Hipotiroid yaitu dimana produksi hormon pada kelenjar tiroid mengalami

penurunan sehingga kecepatan metabolismetubuh terganggu, sehingga ketika proses

metabolisme makanan dalam tubuh terhambat maka proses pengeluarannya pun juga

lebih lambat.

5. Obstruksi mekanik

Kanker Kolon adalah tumor ganas yang berasal dari mukosa kolon.Kanker yang

berada pada kolon kiri cenderung mengakibatkan perubahan pola defekasi sebagai

akibat iritasi dan respon refleks, perdarahan, mengecilnya ukuran feses, dan

konstipasi karena lesi kolon kiri yang cenderung melingkar mengakibatkan obstruksi.

6. Penggunaan obat-obatan

Obat penenang, opiat, antikolinergik, zat besi (zat besi mempunyai efek menciutkan

dan kerja yang lebih secara lokal pada mukosa usus untuk menyebabkan konstipasi.

Zat  besi juga mempunyai efek mengiritasi dan dapat menyebabkan diare pada

sebagian orang), diuretik, antasid dalam kalsium atau aluminium, dan obat-obatan

antiparkinson dapat menyebabkan konstipasi.

7. Lansia mengalami perlambatan peristaltic, kehilangan elastisitas otot abdomen, dan

penurunan sekresi mukosa usus. Lansia sering mengonsumsi makanan rendah serat.
3. Manifestasi Klinis

Tabel 2.1 Manifestasi Klinis

No
Subyektif : Objektif
.

 Nyeri abdomen  Tampilan atipikal pada lansia

 Nyeri tekan pada (misalnya, perubahan status mental,

abdomen dengan atau inkontinensia urine, jatuh tanpa

tanpa resistansi otot sebab jelas, dan peningkatan suhu

yang dapat di palpasi tubuh )

 Anoreksia  Darah merah segar menyertai

 Perasaan penuh atau pengeluaran feses

tekanan pada rectum  Perubahan pada suara abdomen

 Kelelahan umum (borborigmi)

 Sakit kepala  Penurunan frekuensi

 Meningkatan tekanan  Penurunan volume feses

abdomen  Distensi abdomen

 Indigesti  Feses yang kering, keras, dan padat

 Mual  Bising usus hipoaktif dan hiperaktif

 Pengeluaran feses cair

 Masa abdomen dapat dipalpasi


 Masa rectal dapat dipalpasi

 Bunyi pekak pada perkusi abdomen

Sumber : (Setiadi, 2018)

4. Patofisiologi

Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang

menyertakan kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan perifer,

koordinasi dari sistem refleks, kesadaran yang baik dan kemampuan fisis untuk mencapai

tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan pengelolaan dari konstipasi adalah karena

banyaknya mekanisme yang terlibat pada proses BAB normal (Dorongan untuk defekasi

secara normal dirangsang oleh distensi rektal melalui empat tahap kerja, antara lain:

rangsangan refleks  penyekat rektoanal, relaksasi otot sfingter internal, relaksasi otot

sfingter external dan otot dalam region pelvik, dan peningkatan tekanan intra-abdomen).

Gangguan dari salah satu mekanisme ini dapat berakibat konstipasi.

Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus  besar yang menghantarkan feses

ke rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula dari rektum diikuti

relaksasi dari sfingter anus interna. Untuk meghindarkan pengeluaran feses yang spontan,

terjadi refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang

depersarafi oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan

sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum mengeluarkan

isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding  perut. kontraksi ini akan menaikkan
tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot elevator ani. Baik persarafan simpatis

maupun parasimpatis terlibat dalam proses BAB (Setiadi,2018).

1. Komplikasi

Menurut Setiadi, 2017, terdapatnya komplikasi pada lansia yang mengalami

konstipasi :

a). Hipertensi arterial

b). Infeksi fekal

c). Hemoroid dan fisura anal

d). Ca colon

3. Penatalaksanaan

Menurut Setiadi, 2017, terdapatnya penatalaksanaan pada lansia yang mengalami

konstipasi :

a. Pengobatan non-farmakologis

1. Latihan usus besar : melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku

yang disarankan pada penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya.

Penderita dianjurkan mengadakan waktu secara teratur setiap hari untuk

memanfaatkan gerakan usus besarnya. dianjurkan waktu ini adalah 5-10

menit setelah makan, sehingga dapat memanfaatkan reflex gastro-kolon untuk

BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita tanggap

terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk BAB, dan tidak menahan atau

menunda dorongan untuk BAB ini.


2. Diet : peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama pada golongan

usia lanjut. Data epidemiologis menunjukkan bahwa diet yang mengandung

banyak serat mengurangi angka kejadian konstipasi dan macam-macam

penyakit gastrointestinal lainnya, misalnya divertikel dan kanker kolorektal.

Serat meningkatkan massa dan berat feses serta mempersingkat waktu transit

di usus. untuk mendukung manfaa serat ini, diharpkan cukup asupan cairan

sekitar 6-8 gelas sehari, bila tidak ada kontraindikasi untuk asupan cairan.

3. Olahraga : cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu mengatasi

konstipasi jalan kaki atau lari-lari kecil yang dilakukan sesuai dengan umur

dan kemampuan pasien, akan menggiatkan sirkulasi dan perut untuk

memeperkuat otot-otot dinding perut, terutama pada penderita dengan atoni

pada otot perut.

a. Pengobatan farmakologis

Jika modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan terapi farmakologis,

dan biasanya dipakai obat-obatan golongan pencahar. Ada 4 tipe golongan obat pencahar,

(Setiadi, 2017):

1. Memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain : Cereal, Methyl selulose,

Psilium.

2. Melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan tegangan

permukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air. Contohnya : minyak

kastor, golongan dochusate.

3. Golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan,

misalnya pada penderita gagal ginjal, antara lain : sorbitol, laktulose, gliserin
4. Merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan

ini yang banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bisa

dipakai untuk jangka panjang, dapat merusak pleksusmesenterikus dan berakibat

dismotilitas kolon. Contohnya : Bisakodil, Fenolptalein.

A. Konsep Daun Pepaya

1. Definisi Daun Pepaya

Daun pepaya adalah daun bertulang menjalar (Palmineus) dengan warna hijau tua

pada bagian atasnya dan hijau muda pada bagian mudanya. Daun papaya mengandung

sejumlah komponen aktif yang dapat meningkatkan kekuatan total antioksidan didalam

darah dan menurunkan level perooxidation level, seperti papain, chymopapain, cystain,

flavonoid, cyanogenic glucosides dan glucosinolates. Daun papaya mengandung enzim

papain, alkaloid karpain, lisozim, khimoprotein untuk melancarkan system pencernaan

(Najma, 2017).

Gambar 2.4 Daun Pepaya


2. Kandungan dan manfaat daun papaya

2.2 Kandungan Daun Pepaya

No. Kandungan Gizi Manfaat

1. Protein (gram) Untuk membangun, memperkuat dan memperbaiki

atau mengganti jaringan tubuh, membuat hormon yang

berfungsi membantu sel mengirim pesan dan

mengkoordinasikan fungsi sel dan organ di dalam

tubuh, membuat antibodi untuk sistem kekebakan

tubuh

2. Lemak (gram) Untuk membantu tubuh menyerap Vit A, D dan E,

sumber energi bagi tubuh.

3. Karbohidrat Untuk menyediakan energi yang disimpan dan sebagai

sumber energi

4. Kalsium (mg) Untuk Membentuk memperkuat tulang dan gigi,

berperan penting dalam kontraksi dan relaksasi otot,

membenatu menjaga struktur rangka

5. Fosfor (mg) Untuk membantu kerja ginjal, pembentukan DNA,

mempertahankan keseimbangan asam basa tubuh

6. Fe (mg) Untuk Mengoptimalkan metabolisme tubuh

7. Vitamin A (SI/mg) Untuk membantu mencegah kanker dan membangun

kekebalan tubuh

8. Vitamin B (mg) Mampu memperbaiki pencernaan dan produksi asam


klorida (Hcl) yang berfungsi memecah lemak protein

dan karbohidrat

9. Vitamin C (mg) Umtuk daya tahan tubuh

Sumber : Najma, 2017

1. Pengaruh air rebusan daun papaya dengan konstipasi pada lansia

Daun pepaya memiliki getah bewarna putih yang mengandung enzim pemecah protein

atau yang biasa disebut dengan enzim proteolitik. Enzim ini berperan dalam meningkatkan

nafsu makan. Daun pepaya juga mengandung enzim papain yang memiliki fungsi

melancarkan buang air besar. Enzim papain juga memiliki peran dalam memecah protein

menjadi arginin. Arginin adalah salah satu asam amino yang dalam kondisi normal tidak

dapat diproduksi oleh tubuh. Papain terbentuk di seluruh bagian buah papaya, baik kulit,

daging buah, maupun bijinya, namun kandungan enzim papain dalam daun papaya lebih besar

(Mangan, 2009 & Rizky, 2013 dalam Najma, 2017).

2. Alat ukur konstipasi

Sistem penilaian konstipasi

No Kriteria sistem frekuensi Skoring

1. Frekuensi Buang Air Besar 1-2 kali per 1-2 hari 0

2 kali seminggu 1

Sekali dalam seminggu 2

Kurang dari sekali 3


perminggu

Kurang dari sekalisebulan 4

2. Evakuasi sulit atau menyakitkan Tidak pernah 0

Jarang 1

Kadang-kadang 2

Biasa Saja 3

Selalu 4

3. Merasa evakuasi tidak lengkap Tidak pernah 0

Jarang 1

Kadang-kadang 2

Biasa saja 3

Selalu 4

4. Nyeri perut Tidak pernah 0

Jarang 1

Kadang-kadang 2

Biasa saja 3

Selalu 4

5. Berapa lama ditoilet 5 – 10 menit 0

10 – 20 menit 1

20 – 30 menit 2

Lebih dari 30 menit 3

6. Bantuan untuk melancarkan BAB Tidak ada di beri apa-apa 0

Menggunakan pencahar 1
Bantuan Secara Digital 2

7. Upaya yang dilakukan berhasil Tidak Pernah 0

dalam 24 jam 1–3 1

3-6 2

6-9 3

More than 9 4

8. Sejarah sembelit atau durasi 0 tahun 0

1 hingga 5 tahun 1

5 sehingga 10 tahun 2

10 hingga 20 tahun 3

Lebih dari 20 tahun 4

Sumber : Wirjatmadi, 2016

Keterangan :

Konstipasi : > 15

Tidak Konstipasi : < 15

B. Kontraindikasi

Tidak diperbolehkan untuk lansia yang mengalami diare, karena air rebusan daun

papaya memiliki getah bewarna putih yang mengandung enzim pemecah protein atau yang

biasa disebut dengan enzim papain yang berfungsi mengandung serat tinggi sehingga

tambah meningkatkan gerakkan peristaltic pada usus (Najma, 2017).


C. Indikasi

Diperbolehkan untuk lansia yang mengalami konstipasi, karena air rebusan daun

papaya memiliki getah bewarna putih yang mengandung enzim pemecah protein atau yang

biasa disebut dengan enzim papain yang berfungsi mengandung serat tinggi sehingga

meningkatkan gerakkan peristaltic pada usus (Najma, 2017)

D. Cara Pembuatan/racikan Air Rebusan Daun Pepaya

Air rebusan daun papaya ialah hasil dari rebusan daun papaya dengan air. Metode air

rebusan daun papaya, yaitu (Najma, 2017) :

1. Ambil 4 lembar daun papaya (100 gr)

2. Kemudian dicuci bersih

3. Potong-potong dan rendam dengan air sekitar 2 lietr air didalam panci.

4. Rebusan air dn daun papaya, dan didihkan tanpa ditutup sampai air rebusan

berkurang setengahnya.

5. Lalu saring air rebusan, dan simpan ke dalam teko.

E. Cara Penyajian Air Rebusan Daun Pepaya

Menurut Najma, 2017 cara penyajian air rebusan daun papaya, yaitu :

1. Tuangkan air rebusan daun pepaya kedalam gelas sebanyak 100 ml

2. Kemudian diseduh saat air masih terasa hangat kuku.

3. Diminum 3 hari secara berturut-turut


DAFTAR PUSTAKA

Akmal, M. Zely, I. (2010). Ensiklopedi kesehatan untuk umum. Jogjakarta: Arruzz Media.

Almatsier, S. (2005). Prinsip Dasar Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Audrey B., Shirlee J., Barbara K., et al., (2009). Pengkajian Kesehatan Pada Orang
Dewasa. Jakarta : EGC.

Darmojo, R.B & Martono, H.H. (2006). Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut (Edisi
Ketiga).Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Hidayat, A.A. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep dan Proses
Keperawatan Buku 1, Jakarta: Salemba Medika.

Juniarti N. (2008) .Gambaran Jenis dan Tingkat Kesepian Pada Lansia di Balai Panti
Sosial Tresna Werdha Pakuntandang Ciparay Bandung.

LeMone, P. Burke, Karen, (2008). Medical Surgical Nursing.Critical Thinking in Client


Care (4th Edition), New Jersey: Prentice Hall Health.

Lucknotte, AG. (2000). Gerontologic Nursing (2nd). St Louis: Mosby.

Herbal Treatment used to heal indigestion. (2014)


http://www.thecompleteherbalguide.com. (diakses 20 November 2014).

Metode perebusan air daun papaya (2014) http://www.carakhasiatmanfaat.com/arti kel/


khasiatmanfaat-daunpepaya.html#sthash.lhndlDdL.dpuf (diakses 20 Desember 2014).

Sembelit. (2014). http://id.wikipedia.org/wiki/Sembelit (diakses 6 Februari 2014).

Anda mungkin juga menyukai