Anda di halaman 1dari 21

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.

G DENGAN SINDROME NEFROTIK DI


RUANGAN OBSERVASI INTENSIF (ROI) RSUP DR.M DJAMIL PADANG

IIN RAHYUNI, S.Kep

NIM : 02104005

Pembimbing Klinik
Pembimbing Akademik

( )
( Ns. Chici Hafifah T, M.Kep)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

STIKES YPAK PADANG

2021-2022
LAPORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP DASAR SINDROM NEFROTIK


1. Definisi Sindrom Nefrotik
Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh kerusakan
glomerulus karena ada peningkatan permebialitas glomerulus, terhadap protein
plasma menimbulkan proteinuria, hipoalbuminemia, hyperlipidemia, dan edema
(Betz & Sowden, 2012). Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema,
proteinuria, hipoalbuminemia, dan hiperkolestrolemia. Kadang- kadang terdapat
hematuria, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal (Nurarif & Kusuma, 2013).

2. Etiologi Sindrom Nefrotik


Penyebab sindrom nefrotik belum diketahui, akhir- akhir ini dianggap sebagai
suatu penyakit autoimun, yaitu reaksi antigen antibody. Umumnya etiologi dibagi
sebagai berikut:
a. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosom atau karena reaksi matemofetal.
Resisten terhadap suatu pengobatan. Gejala edema pada masa neonates. Pernah
dicoba pencangkokan ginjal pada neonates tetapi tidak berhasil. Prognosis
buruk dan biasanya pasien meninggal pada bulan- bulan pertama
kehidupannya.
b. Sindrom nefrotik sekunder
Disebabkan oleh :
1) Malaria quartana atau parasite lainnya.
2) Penyakit kolagen seperti SLE, purpura anafilaktoid.
3) Glomerulonefritis akut atau glomerulonephritis kronik, thrombosis vena
renalis.
4) Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas,
sengatan lebah, racun otak, air raksa.
5) Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis
membranneproliferatif hipokomplementemik.
c. Sindrom nefrotik idiopatik
Adalah sindrom nefrotik yang tidak diketahui penyebabnya atau juga
disebut sindrom nefrotik primer. Berdasarkan histopatologis yang tampak pada
biopsy gunjal dengan pemeriksaan mikroskopi biasa dan mikroskopi electron,
Churg dkk membagi dalam 4 golongan yaitu kelainan minimal, nefropati
membranosa, glomerulonephritis proliferatif, glomeruloskleorosis fokal
segmental (Nurarif & Kusuma 2013).

Sedangkan menurut Whaley and Wong (1998) membagi tipe-tipe sindrom nefrotik:
a. Sindrom nefrotik lesi minimal (MCNS : Minimal Change Nefrotik Sindrome).
Merupakan kondisi yang tersering yang menyebabkan sindrom nefrotik pada
anak sekolah.
b. Sindom Nefrotik Sekunder. Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler
kolagen, seperti lupus eritematomasus sistemik dan purpura anafilaktoid,
glomerulonephritis, infeksi sistem endokarditis, baktetialis dan neoplasma
limfoproliferatif.
c. Sindrom nefotik kongenital. Faktor heriditer sindrom nefrotik disebabkan oleh
gen resesif autosomal. Bayi yang terkena sindrom nefrotik, usia gestasinya
pendek dan gejala awalnya adalah edema dan proteinuria. Penyakit ini resisten
terhadap semua pengobatan dan kematian dapat terjadi pada tahun-tahun
pertama kehidupan bayi jika tidak dilakukan dialisis.

3. Manifestasi Klinis Sindrom Nefrotik


Tanda dan gejala sindrom nefrotik adalah sebagai berikut:
a. Proteinuria
b. Retensi cairan
c. Edema
d. Berat badan meningkat
e. Edema periorital
f. Edema fasial
g. Asites
h. Distensi abdomen
i. Penurunan jumlah urin
j. Urin tampak berbusa dan gelap
k. Hematuria
l. Nafsu makan menurun
m. wajah tampak pucat
(Hidayat, 2016)

4. Patofisiologi Sindrome Nefrotik


Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh kerusakan
glomerulus. Peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma
menimbulkan protein, hipoalbumin, hyperlipidemia, dan edema. Hilangnya protein
dari rongga vaskuler meyebabkan penurunan tekanan osmotik plasma dan
peningkatan tekanan hidrostatik, yang menyebabkan terjadinya akumulasi cairan
dalam rongga interstitial dan rongga abdomen. Penurunan Volume cairan vaskuler
menstimulasi sistem renin- angiotensin yang mengakibatkan diskresikannya
hormone antidiuretik dan aldosterone. Reabsorbsi tubular terhadap natrium (Na)
dan air mengalami peningkatan dan akhirnya menambah volume intravaskuler.
Retensi cairan ini mengarah pada peningkatan edema. Koagulasi dan thrombosis
vena dapat terjadi karena penurunan volume vaskuler yang mengakibatkan
hemokonsentrasi dan hilangnya urin dari koagulasi protein. Kehilangan
immunoglobulin pada urin dapat mengarah pada peningkatan kerentanan tergapat
infeksi (Betz & Sowden, 2012).

5. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji urin
1) Urinalisis : Proteinuria (dapat mencapai lebih dari 2g/m²/hari), bentuk hialin
dan granular, hematuria
2) Uji dipstick urin : Hasil positif untuk protein dan darah.
3) Berat jenis urin : Meningkat palsu karena proteinuria.
4) Osmolalitas urin : Meningkat
b. Uji darah
1) Kadar albumin serum : Menurun (kurang dari 2 g/dl).
2) Kadar kolestrol serum : Meningkat (dapat mencapai 450 sampai 1000mg/dl).
3) Kadar trigliserid serum : Meningkat
4) Trombosit : Meningkat (mencapai 500.000 sampai 1.000.000/ul).
5) Kadar elektrolit serum : Bervariasi sesuai dengan keadaan penyakit
perorangan.
c. Uji diagnostik
Biopsi ginjal (tidak dilakukan secara rutin).

6. Penatalaksanaan Medis
a. Pemberian kortikosteroid (prednisone atau prednisolon) untuk menginduksi
remisi. Dosis akan diturunkan setelah 4 sampai 8 minggu terapi. Kekambuhan
diatasi dengan kortikosteroid dosis tinggi untuk beberapa hari.
b. Penggantian protein (albumin dari makanan atau intravena).
c. Pengurangan edema
1) Terapi diuretik (diuretik hendaknya digunakan secara cermat untuk

mencegah terjadinya penurunan volume intravaskuler, pembentukan

thrombus, dan atau ketidakseimbangan elektrolit).

2) Pembatasan natrium (mengurangi edema).

d. Mempertahankan keseimbangan elektrolit.

e. Pengobatan nyeri (untuk mengatasi ketidaknyamanan yang berhubungan dengan

edema dan terapi invasif).

f. Pemberian antibiotik (penisilin oral profilaktik atau agens lain).

g. Terapi imunosupresif (siklofosfamid, klorambusil, atau siklosporin) atau anak

yang gagal berespon terhadap steroid (Wong, 2008).

B. KONSEP DASAR HOSPITAL- ACQUIRED PNEUMONIA (HAP)


1. Definisi HAP
Pneumonia adalah infeksi yang menyebabkan paru-paru meradang. Kantong-
kantong udara dalam paru yang disebut alveoli dipenuhi nanah dan cairan sehingga
kemampuan menyerap oksigen menjadi kurang. Kekurangan oksigen membuat sel-
sel tubuh tidak bisa bekerja. Karena inilah, selain penyebaran infeksi ke seluruh
tubuh, penderita pneumonia bisa meninggal.
2. Klasifikasi HAP
HAP (Hospital Acquired Pneumonia) dapat diklasifikasikan berdasarkan
onsetnya, yaitu dibedakan menjadi dua, HAP (Hospital Acquired Pneumonia) onset
awal dan HAP (Hospital Acquired Pneumonia) onset lanjut.
a. HAP (Hospital Acquired Pneumonia) onset awal
HAP (Hospital Acquired Pneumonia) onset awal merupakan pneumonia yang
terjadi sebelum hari kelima rawat inap (ATS, 1995) Pneumonia nosokomial onset
awal dibagi menjadi dua yaitu tanpa pemberian antibiotik sebelumnya dan dengan
pemberian antibiotik sebelumnya. HAP (Hospital Acquired Pneumonia) onset
awal tanpa pemberian antibiotik sebelumnya kemungkinan besar berasal dari
mikroorganisme yang sama dengan pneumonia komunitas dan disebabkan oleh
mikroorganisme bukan resisten seperti Streptococcus pneumonia,
Enterobacteraciea, Haemophilus influenzae, dan methicillin-sensitif
Staphyloccous aureus.
Pada HAP (Hospital Acquired Pneumonia) onset awal dengan pemberian
antibiotik jangka pendek sebelumnya umumnya juga disebabkan oleh
mikroorganisme yang sama dengan pneumonia komuniti ditambah dengan sedikit
penyebab bakteri gram negative.
b. HAP (Hospital Acquired Pneumonia) onset lanjut
HAP (Hospital Acquired Pneumonia) onset lanjut adalah HAP (Hospital
Acquired Pneumonia) yang terjadi pada hari rawat kelima atau lebih. HAP
(Hospital Acquired Pneumonia) onset lanjut dibagi menjadi tanpa pemberian
antibiotik sebelumnya dan dengan pemberian antibiotik sebelumnya.
HAP (Hospital Acquired Pneumonia) onset lanjut tanpa pemberian antibiotik
sebelumnya umumnya yang berasal dari mikroorganisme yang serupa dengan
mikroorganisme pada HAP (Hospital Acquired Pneumonia) onset awal ditambah
dengan bakteri gram negatif yang resisten terhadap cephalosporin generasi
pertama.
Sedangkan HAP (Hospital Acquired Pneumonia) onset lanjut dengan
pemberian antibiotik sebelumnya sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme
yang resisten berbagai antibiotik, misalnya Pseudomonas aeruginosa,
Acinetobacter baumannii, dan gram positif seperti methicillin-resistant
Staphylococcus aureus (MRSA) (Kieninger dan Lipsett, 2009).
3. Etiologi
Infeksi HAP (Hospital Acquired Pneumonia) terjadi ketika pasien di sebuah
rumah sakit tertular infeksi yang berasal dari bakteri. Bakteri tersebut bisa menulari
pasien karena keteledoran staf rumah sakit dan tidak berjalannya prosedur kebersihan
dengan benar.
Kategori bakteri yang paling sering menjadi penyebab terjadinya infeksi HAP
(Hospital Acquired Pneumonia) adalah MRSA, salah satu bakteri gram positif yang
resisten terhadap metisilin (bakteri Staphylococcus aureus) dan Acinetobacter yang
termasuk bakteri gram negatif.
Selain faktor kebersihan, banyak pasien yang rawat inap di rumah sakit
menderita penyakit yang serius dengan sistem kekebalan yang lemah. Oleh karena itu,
pasien rawat jalan bertambah banyak dalam puluhan tahun terakhir. Hal ini membuat
risiko penularan infeksi HAP (Hospital Acquired Pneumonia) ke pasien pada saat ini
lebih tinggi.
Penyebab lainnya adalah, sistem rumah sakit yang membuat staf kesehatan
berganti-ganti dari satu pasien ke pasien lainnya. Jika staf kesehatan tidak menjaga
kebersihan dirinya dengan baik, sistem ini akan menjadikan staf kesehatan sebagai
agen penyebar infeksi.
Beberapa faktor di bawah ini bisa meningkatkan risiko pasien terkena infeksi
HAP (Hospital Acquired Pneumonia) :
a. Berusia di atas 70 tahun
b. Dalam kondisi koma
c. Pernah menjalani terapi antibiotik sebelumnya
d. Dirawat di unit ICU lebih dari tiga hari
e. Gagal ginjal akut
f. Mengalami cidera cukup parah
g. Mengalami syok
h. Menjalani perawatan ventilasi mekanis
i. Sedang dalam pengobatan yang mempengaruhi sistem imun
j. Memakai kateter dalam waktu lama
4. Patofisiologi
HAP (Hospital Acquired Pneumonia) terjadi apabila mikroorganisme
memasuki ke saluran napas bagian bawah. Sistem pernapasan manusia memiliki
berbagai mekanisme pertahanan tubuh seperti barier anatomi, refleks batuk, sistem
imunitas humoral dan seluler yang diperantarai oleh sel seperti fagosit, baik itu
makrofag alveolar maupun neutrofil. Interaksi antara faktor host dan faktor risiko
akan menyebabkan kolonisasi bakteri patogen di saluran napas bagian atas atau di
lambung. Kolonisasi mikroorganisme pada saluran napas bagian atas sebagai titik
awal yang berperanan penting dalam terjadinya HAP (Hospital Acquired Pneumonia).
Apabila bakteri dalam jumlah besar berhasil masuk ke dalam saluran napas bagian
bawah yang steril, maka pertahanan host yang gagal membersihkan inokulum dapat
menimbulkan proliferasi dan inflamasi sehingga terjadi pneumonia.
Mikroorganisme yang berasal dari tubuh (endogen) maupun mikroorganisme
yang berasal dari luar tubuh (eksogen) merupakan penyebab utama HAP (Hospital
Acquired Pneumonia). Mikroorganisme endogen merupakan penyebab tersering HAP
(Hospital Acquired Pneumonia) dibandingkan dengan mikroorganisme eksogen.
HAP (Hospital Acquired Pneumonia) sering diawali dengan kolonisasi
mikroorganisme terutama bakteri gram negatif di saluran pernapasan bagian atas
yiatu (orofaring, nasal, dan sinus) atau di lambung dan selanjutnya bakteri tersebut
akan teraspirasi ke dalam saluran napas bagian bawah. Kolonisasi diawali dengan
perlekatan mikroorganisme pada sel-sel epitel kerana pengaruh virulensi bakteri (vili,
silia, kapsul, atau produksi elastase atau musinase), ataupun pengaruh faktor host
(gangguan mekanisme pembersihan mukosilier akibat gizi buruk, penurunan
kesadaran, atau penyakit kritis), dan juga akibat pengaruh faktor lingkungan
(peningkatan pH lambung dan terdapat musin dalam sekresi pernapasan)
Pada orang normal, dengan pertahanan tubuh yang baik juga dapat ditemukan
bakteri gram negatif dalam jumlah yang sedikit sehingga mekanisme tubuh dapat
mengeliminasi bakteri tersebut. Pada orang dengan penyakit kritis akibat disfungsi
barrier pertahanan lokal ataupun adanya penurunan kesadaran maka akan terjadi
peningkatan kolonisasi mikroorganisme tersebut.
Beberapa patofisiologi terjadinya HAP (Hospital Acquired Pneumonia) ,yaitu
dengan melalui empat rute( Torres.dkk, 2006).
a. Aspirasi, dimana floranya berasal dari orofaring, nasal, sinus dan lambung.
b. Inhalasi, misalnya daripada perlengkapan alatan medik seperti alat bantu nafas
pada pasien ventilator, alat penghisap dan nebulizer ataupun bronkoskopi yang
terkontiminasi.
c. Hematogen, yaitu penyebaran melalui darah dari organ tubuh yang lebih jauh dari
paru.
d. Translokasi langsung dari sisi tubuh

5. Manifestasi Klinis HAP


Kriteria HAP (Hospital Acquired Pneumonia) berat menurut ATS
a. Dirawat di ruang rawat intensif
b. Gagal napas yang memerlukan alat bantu napas atau membutuhkan O2 > 35 %
untuk mempertahankan saturasi O2 > 90 %
c. Perubahan radiologik secara progresif berupa pneumonia multilobar atau kaviti
dari infiltrat paru
d. Terdapat bukti-bukti ada sepsis berat yang ditandai dengan hipotensi dan atau
disfungsi organ yaitu :
a. Syok (tekanan sistolik < 90 mmHg atau diastolik < 60 mmHg)
b. Memerlukan vasopresor > 4 jam
c. Jumlah urin < 20 ml/jam atau total jumlah urin 80 ml/4 jam
d. Gagal ginjal akut yang membutuhkan dialysis

6. Pemeriksaan Penunjang
a. CT Scan (tanpa atau dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
b. MRI : sama dengan CT Scan
c. Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, pendarahan, trauma
d. EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis.
e. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
f. Sinar X : untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur),
pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan) adanya fragmen tulang.
g. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral,
seperti :perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan
trauma.
h. Fungsi Lumbal : CSS, dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan sub
arakhnoid.
i. AGD : untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi perdarahan
sub arakhnoid.
j. Kimia elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam
peningkatan TIK atau perubahan mental.
k. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial

7. Penatalaksanaan HAP
a. Penatalaksanaan Keperawatan
Klien yang mengalami retensi sekresi dan gangguan oksigenasi, seperti
pneumonia membutuhkan bantuan untuk mengencerkan atau mengeluarkan
sekresi. Fisioterapi dada mencakup tiga tehnik; drainase postural, perkusi dada
dan vibrasi. Waktu yang optimal untuk melakukan tehnik ini adalah sebelum
klien makan dan menjelang klien tidur malam.
Pada tehnik drainase postural, klien dibaringkan dalam berbagai posisi spesifik
untuk memudahkan drainase mukus dan sekresi dari bidang paru. Gaya gravitasi
digunakan untuk meningkatkan drainase sekresi. Perkusi dilakukan dengan kedua
telapak tangan anda yang membentuk “setengah bulan” dengan jari-jari tangan
anda rapat satu sama lain. Secara bergantian tepukkan telapak tangan anda
tersebut di atas dada klien. Instruksikan klien untuk membatukan dan
mengeluarkan sekresi. Tehnik vibrasi dilakukan dengan meletakkan telapak
tangan anda dalam posisi rata di atas dada klien dan menggetarkannya (Niluh
Gede Yasmin, 20014).
b. Penatalaksanaan Medis
1) Klien diposisikan dalam keadaan fowler dengan sudut 45°. Kematian sering
kali berhubungan dengan hipotensi, hipoksia, aritmia kordis, dan penekanan
susunan saraf pusat, maka penting untuk dilakukan pengaturan keseimbangan
cairan elektrolit dan asam-basa dengan baik, pemberian O2 di alveoli-arteri,
dan mencegah hipoksia seluler. Pemberian O2 sebaiknya dalam konsentrasi
yang tidak beracun (PO240) untuk mempertahankan PO2arteri sekitar 60-70
mmHg dan juga penting mengawasi pemeriksaan analisa gas darah.
2) Pemberian cairan intravena untuk IV line dan pemenuhan hidrasi tubuh untuk
mencegah penurunan volume cairan tubuh secara umum. Bronkodilator
seperti Aminofilin dapat diberikan untuk memperbaiki drainase sekret dan
distribusi ventilasi. Kadang-kadang mungkin timbul dilatasi lambung
mendadak, terutama jika pneumonia mengenai lobus bawah yang dapat
menyebabkan hipotensi. Jika hipotensi terjadi, segera atasi hipoksemia arteri
dengan cara memperbaiki volume intravaskular dan melakukan dekompresi
lambung. Kalau hipotensi tidak dapat diatasi, dapat dipasang kateter Swan-
Ganz dan  infus Dopamin (2-5µg/kg/menit). Bila perlu dapat diberikan
analgesik untuk mengatasi nyeri pleura.
3) Pemberian antibiotik terpilih, diberikan selama sekurang-kurangnya
seminggu sampai klien tidak mengalami sesak napas lagi selama tiga hari dan
tidak ada komplikasi lain. Klien dengan abses paru dan empiema memerlukan
antibiotik yang lama. Untuk klien yang alergi terdapat Penisilin dapat
diberikan Eritromisin. Tetrasiklin jarang digunakan untuk pneumonia karena
banyak resisten.
4) Pemberian sefalosporin harus hati-hati untuk klien yang alergi terhadap
Penisilin karena dapat menyebabkan reaksi hipersensitif silang terutama dari
tipe anafilaksis. Dalam 12-36 jam, setelah pemberian penisilin, suhu, denyut
nadi, frekuensi pernafasan menurun serta nyeri pleura menghilang. Pada
±20% klien, demam berlanjut sampai lebih dari 48 jam setelah obat
dikonsumsi (Arif Muttaqin, 2008).

C. KONSEP DASAR ANEMIA


1. Definisi Anemia
Anemia adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan kadar hemoglobin
(Hb) atau sel darah merah (eritrosit) sehingga menyebabkan penurunan kapasitas sel
darah merah dalam membawa oksigen (Badan POM, 2011).
Anemia adalah penyakit kurang darah, yang ditandai dengan kadar
hemoglobin (Hb) dan sel darah merah (eritrosit) lebih rendah dibandingkan normal. . 
Anemia adalah gejala dari kondisi yang mendasari, seperti kehilangan komponen
darah, elemen tidak adekuat atau kurang nutrisi yang dibutuhkan untuk pembentukan
sel darah, yang mengakibatkan penurunan kapasitas pengangkut oksigen darah dan
ada banyak tipe anemia dengan beragam penyebabnya (Marilyn E, Doenges, Jakarta,
2012).

2. Etiologi Anemia
Menurut Badan POM (2011), Penyebab anemia yaitu:
a. Kurang mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi, vitamin B12, asam
folat, vitamin C, dan unsur-unsur yang diperlukan untuk pembentukan sel darah
merah.
b. Darah menstruasi yang berlebihan. Wanita yang sedang menstruasi rawan terkena
anemia karena kekurangan zat besi bila darah menstruasinya banyak dan dia tidak
memiliki cukup persediaan zat besi.
c. Kehamilan. Wanita yang hamil rawan terkena anemia karena janin menyerap zat
besi dan vitamin untuk pertumbuhannya.
d. Penyakit tertentu. Penyakit yang menyebabkan perdarahan terus-menerus di
saluran pencernaan seperti gastritis dan radang usus buntu dapat menyebabkan
anemia.
e. Obat-obatan tertentu. Beberapa jenis obat dapat menyebabkan perdarahan
lambung (aspirin, anti infl amasi, dll). Obat lainnya dapat menyebabkan masalah
dalam penyerapan zat besi dan vitamin (antasid, pil KB, antiarthritis, dll).
f. Operasi pengambilan sebagian atau seluruh lambung (gastrektomi). Ini dapat
menyebabkan anemia karena tubuh kurang menyerap zat besi dan vitamin B12.
g. Penyakit radang kronis seperti lupus, arthritis rematik, penyakit ginjal, masalah
pada kelenjar tiroid, beberapa jenis kanker dan penyakit lainnya dapat
menyebabkan anemia karena mempengaruhi proses pembentukan sel darah merah.
h. Pada anak-anak, anemia dapat terjadi karena infeksi cacing tambang, malaria, atau
disentri yang menyebabkan kekurangan darah yang parah.
3. Klasifikasi Anemia
Terdapat beragam jenis pengklasifikasian anemia, pada klasifikasi anemia
menurut morfologi, mikro dan makro menunjukkan ukuran pada sel darah merah
sedangkan kromik menunjukkan warnanya. Secara morfologi, pengklasifikasian
anemia terdiri atas:
a. Anemia normositik normokrom
Patofisiologi anemia ini terjadi karena pengeluaran darah atau destruksi darah
yang berlebih sehingga menyebabkan Sumsum tulang harus bekerja lebih keras
lagi dalam eritropoiesis. Sehingga banyak eritrosit muda (retikulosit) yang terlihat
pada gambaran darah tepi. Pada kelas ini, ukuran dan bentuk sel-sel darah merah
normal serta mengandung hemoglobin dalam jumlah yang normal tetapi individu
menderita anemia. Anemia ini dapat terjadi karena hemolitik, pasca pendarahan
akut, anemia aplastik, sindrom mielodisplasia, alkoholism, dan anemia pada
penyakit hati kronik.
b. Anemia makrositik normokro
Makrositik berarti ukuran sel-sel darah merah lebih besar dari normal tetapi
normokrom karena konsentrasi hemoglobinnya normal. Hal ini diakibatkan oleh
gangguan atau terhentinya sintesis asam nukleat DNA seperti yang ditemukan
pada defisiensi B12 dan atau asam folat. Ini dapat juga terjadi pada kemoterapi
kanker, sebab terjadi gangguan pada metabolisme sel
c. Anemia mikrositik hipokrom
Mikrositik berarti kecil, hipokrom berarti mengandung hemoglobin dalam
jumlah yang kurang dari normal. Hal ini umumnya menggambarkan insufisiensi
sintesis hem (besi), seperti pada anemia defisiensi besi, keadaan sideroblastik dan
kehilangan darah kronik, atau gangguan sintesis globin, seperti pada talasemia
(penyakit hemoglobin abnormal kongenital).

Berikut adalah pengklasifikasian anemia menurut etiologinya:

a. Anemia aplastic
Anemia aplastik adalah suatu gangguan pada sel-sel induk di sumsum tulang
yang dapat menimbulkan kematian, pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang
dihasilkan tidak memadai. Penderita mengalami pansitopenia yaitu kekurangan sel
darah merah, sel darah putih dan trombosit. Secara morfologis sel-sel darah merah
terlihat normositik dan normokrom, hitung retikulosit rendah atau hilang dan
biopsi sumsum tulang menunjukkan suatu keadaan yang disebut “pungsi kering”
dengan hipoplasia yang nyata dan terjadi pergantian dengan jaringan lemak.
Langkah-langkah pengobatan terdiri dari mengidentifikasi dan menghilangkan
agen penyebab. Namun pada beberapa keadaan tidak dapat ditemukan agen
penyebabnya dan keadaan ini disebut idiopatik. Beberapa keadaan seperti ini
diduga merupakan keadaan imunologis.
b. Anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi besi secara morfologis diklasifikasikan sebagai anemia
mikrositik hipokrom disertai penurunan kuantitatif pada sintetis hemoglobin.
Defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia di dunia. Khususnya terjadi
pada wanita usia subur, sekunder karena kehilangan darah sewaktu menstruasi dan
peningkatan kebutuhan besi selama hamil.

4. Manifestasi Klinis Anemia


a. Lemah, letih, lesu dan lelah
b. Sering mengeluh pusing dan mata berkunang-kunang
c. Gejala lanjut berupa kelopak mata, bibir, lidah, kulit dan telapak tangan menjadi
pucat. Pucat oleh karena kekurangan volume darah dan Hb, vasokontriksi
d. Takikardi dan bising jantung (peningkatan kecepatan aliran darah) Angina (sakit
dada
e. Dispnea, nafas pendek, cepat capek saat aktifitas (pengiriman O2 berkurang)
f. Sakit kepala, kelemahan, tinitus (telinga berdengung) menggambarkan
berkurangnya oksigenasi pada SSP
g. Anemia berat gangguan GI dan CHF (anoreksia, nausea, konstipasi atau diare)

5. Patofisiologi Anemia
a. Adanya suatu anemia mencerminkan adanya suatu kegagalan sumsum atau
kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sumsum
(misalnya berkurangnya eritropoesis) dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi,
pajanan toksik, invasi tumor atau penyebab lain yang belum diketahui. Sel darah
merah dapat hilang melalui perdarahan atau hemolisis (destruksi).
b. Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sel fagositik atau dalam
system retikuloendotelial, terutama dalam hati dan limpa.  Hasil samping proses
ini adalah bilirubin yang akan memasuki aliran darah.  Setiap kenaikan destruksi
sel darah merah (hemolisis) segera direfleksikan dengan peningkatan bilirubin
plasma (konsentrasi normal ≤ 1 mg/dl, kadar diatas 1,5 mg/dl mengakibatkan
ikterik pada sclera).
c. Apabila sel darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi, (pada
kelainan hemplitik) maka hemoglobin akan muncul dalam plasma
(hemoglobinemia).  Apabila konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas
haptoglobin plasma (protein pengikat untuk hemoglobin bebas) untuk mengikat
semuanya, hemoglobin akan berdifusi dalam glomerulus ginjal dan kedalam urin
(hemoglobinuria). 
d. Kesimpulan  mengenai apakah suatu anemia pada pasien disebabkan oleh
penghancuran sel darah merah atau produksi sel darah merah yang tidak
mencukupi biasanya dapat diperoleh dengan dasar:1. hitung retikulosit dalam
sirkulasi darah; 2. derajat proliferasi sel darah merah muda dalam sumsum tulang
dan cara pematangannya, seperti yang terlihat dalam biopsi; dan ada tidaknya
hiperbilirubinemia dan hemoglobinemia.

6. Pemeriksaan Penunjang Anemia


a. Kadar Hb, hematokrit, indek sel darah merah, penelitian sel darah putih, kadar
Fe, pengukuran kapasitas ikatan besi, kadar folat, vitamin B12, hitung trombosit,
waktu perdarahan, waktu protrombin, dan waktu tromboplastin parsial. 
b. Aspirasi dan biopsy sumsum tulang. Unsaturated iron-binding capacity serum
c. Pemeriksaan diagnostic untuk menentukan adanya penyakit akut dan kronis serta
sumber kehilangan darah kronis.

7. Penatalaksanaa Anemia
Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk mencari penyebab dan mengganti
darah yang hilang :
a. Anemia aplastik:
1) Transplantasi sumsum tulang
2) Pemberian terapi imunosupresif dengan globolin antitimosit(ATG)
b. Anemia pada penyakit ginjal
1) Pada paien dialisis harus ditangani denganpemberian besi dan asam folat
2) Ketersediaan eritropoetin rekombinan
c. Anemia pada penyakit kronis
Kebanyakan pasien tidak menunjukkan gejala dan tidak memerlukan penanganan
untuk aneminya, dengan keberhasilan penanganan kelainan yang mendasarinya,
besi sumsum tulang dipergunakan untuk membuat darah, sehingga Hb meningkat.
d. Anemia pada defisiensi besi
1) Dicari penyebab defisiensi besi
2) Menggunakan preparat besi oral: sulfat feros, glukonat ferosus dan fumarat
ferosus.
e. Anemia megaloblastik
Defisiensi vitamin B12 ditangani dengan pemberian vitamin B12, bila
difisiensi disebabkan oleh defekabsorbsi atau tidak tersedianya faktor intrinsik
dapat diberikan vitamin B12 dengan injeksi IM. Untuk mencegah kekambuhan
anemia terapi vitamin B12 harus diteruskan selama hidup pasien yang menderita
anemia pernisiosa atau malabsorbsi yang tidak dapat dikoreksi. Anemia defisiensi
asam folat penanganannya dengan diet dan penambahan asam folat 1 mg/hari,
secara IM pada pasien dengan gangguan absorbsi.
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

A. PENGKAJIAN
1. Identitas
Identitas klien meliputi :nama, umur, jeniskelamin, pendidikan, pekerjaan,
agama, suku/bangsa, waktu masuk rumah sakit, waktu pengkajian, diagnosa medis,
nomor MR dan alamat. Identitas penanggung jawab meliputi : nama, umur,
pekerjaan, agama, pendidikan, suku/bangsa, alamat, hubungan dengan klien.
2. Pengkajian Primary
a. Airway Proses jalan nafas yaitu pemeriksaan obstruksi jalan nafas, adanya suara
nafas tambahan adanya benda asing.
b. Breathing Frekuensi nafas, apa ada penggunaan otot bantu nafas, retraksi dada,
adanya sesak nafas, palpasi pengembangan paru, auskultasi suara nafas, kaji
adanya suara nafas tambahan.
c. Circulation Pengkajian mengenai volume darah dan cardiac output serta adanya
perdarahan. pengkajian juga meliputi status hemodinamik, warna kulit, nadi.
d. Disability Pengkajian meliputi tingkat kesadaran compos mentis (E4M6V5)
GCS 15, pupil isokor, muntah tidak ada, ekstremitas atas dan bawah normal,
tidak ada gangguan menelan.
e. Monitor EKG Pemeriksaan ini di lakukan untuk melihat kondisi irama dan
denyut jantung.
3. Pengkajian Sekunder
a. Keluhan utama Keluhan utama yaitu penyebab klien masuk rumah sakit yang
dirasakan saat dilakukan pengkajian yang ditulis dengan singkat dan jelas.
Keluhan klien pada gagal jantung bisa terjadi sesak nafas, sesak nafas saat
beraktivitas, badan terasa lemas, batuk tidak kunjung sembuh berdahak sampai
berdarah, nyeri pada dada, nafsu makan menurun, bengkak pada kaki.
b. Riwayat penyakit sekarang Merupakan alasan dari awal klien merasakan
keluhan sampai akhirnya dibawa ke rumah sakit dan pengembangan dari
keluhan utama dengan menggunakan PQRST.
c. Riwayat penyakit dahulu Tanyakan mengenai masalah-masalah seperti adanya
riwayat penyakit jantung, hipertensi, perokok hebat, riwayat gagal jantung,
pernah dirawat dengan penyakit jantung, kerusakan katub jantung bawaan,
diabetes militus dan infark miokard kronis.
d. Riwayat penyakit keluarga Hal yang perlu dikaji dalam keluarga klien, adakah
yang menderita penyakit sama dengan klien, penyakit jantung, gagal jantung,
hipertensi. 5) Riwayat psikososial spiritual Yaitu respon emosi klien pada
penyakit yang di derita klien dan peran klien di pada keluarga dan masyarakat
serta respon dan pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari dalam keluarga.
e. Pola Aktivitas Sehari-hari
 Pola Nutrisi Kebiasaan makan klien sehari-hari, kebiasaan makan-makanan
yang dikonsumsi dan kebiasaan minum klien sehari-hari, pasien akibat gagal
jantung akan mengalami penurunan nafsu makan, meliputi frekwensi, jenis,
jumlah dan masalah yang dirasakan.
 Pola Eliminasi Kebiasaan BAB dan BAK klien akan berpengaruh terhadap
perubahan sistem tubuhnya.
 Pola Istirahat Tidur Kebiasaan klien tidur sehari-hari, terjadi perubahan saat
gejala sesak nafas dan batuk muncul pada malam hari. Semua klien akibar
gagal jantung akan mengalami sesak nafas, sehingga hal ini dapat
menganggu tidur klien.
 Personal Hygiene Yang perlu di kaji sebelum dan sesudah pada psien
yaitunya kebiasaan mandy, gosok gigi, cuci rambut, dan memotong kuku.t.
e) Pola Aktivitas Sejauh mana kemampuan klien dalam beraktifitas dengan
konsdisi yang di alami pada saat
 Pemeriksaan Fisik Head Toe T

B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko Ketidakseimbangan Cairan berhubungan dengan akumulasi cairan dalam

jaringan dan ruang ketiga

2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan tugor kulit

3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan

4. Defisit Nutrisi berhubungan dengan mual, muntah, dan anoreksia

5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai proses

penyakit
6. Ketakutan anak berhubungan dengan tindakan keperawatan

7. Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya respon imun.

C. Intervensi Keperawatan

SDKI SLKI SIKI


Resiko Keseimbangan Cairan Manajement Cairan
Ketidakseimbangan Setelah dilakukan tindakan Observasi
Cairan keperawatan selama ... maka o Monitor status dehidrasi
keseimbangan cairan o Monitor BB harian
meningkat o Monitor BB sebelum dan
sesudah dialisis
o Monitor hasil pemeriksaan
labaratorium
o Monitor status dinamik
Terapeutik
o Catat intake dan output dan
hitung balance cairan
Kolaborasi
o Kolaborasi pemberian
deuterik jika perlu
Resiko Infeksi Tingkat infeksi Pencegahan infeksi, tindakan
Setelah dilakukan intervensi Observasi
selama . . . . . maka tanda- o Monitor tanda dan gejala
tanda infeksi tidak terlihat infeksi local dan sistemik
dengan kriteria hasil: Teraupeutik
o Demam berkurang o Batasi jumlah pengunjung
o Kemerahan berkurang o Berikan perawatan kulit pada
o Nyeri berkurang area edema
o Kadar sel darah putih o Cuci tangan sebelum dan
normal sesudah kontak dengan pasien
o Nafsu makan meningkat o Pertahankan teknik aseptic
o Kebersihan tangan pada pasien resiko tinggi
meningkat Edukasi
o Latergi berkurang o Jelaskan tanda dan gejala
infeksi
o Ajarkan cara mencuci tangan
yang benar
o Ejarkan etika batuk
o Ajarkan cara memeriksa
konsisi luka atau luka operasi
o Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
o Anjurkan meningkatkan
asupan cairan
kolaborasi
o Kolaborasi pemberian
imunisasi, jika perlu
Defisit nutrisi Setelah dilakukan Manajemen nutrisi
intervensi selama Observasi :
3x24 jam maka o Identifikasi status
status nutrisi nutrisi
membaik dengan o Identifikasi makanan
kriteria hasil : yang disukai
a. Porsi makanan Terapetik :
yang dihabiskan o Monitor asupan
meningkat makanan
b. IMT membaik o Monitor hasil
c. BB membaik pemeriksaan
laboraturium
Kolaborasi :
o Kolaborasi dengan ahli gizi
menentukan jumlah kalori
dan jenis nutrien yang
dibutuhkan
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3. Jakarta:
EGC
Carpenito, L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis, edisi 6. Jakarta:
EGC
Smeltzer & Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: EGC
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7. EGC : Jakarta.
Lackman’s (1996).Care Principle and Practise Of Medical Surgical Nursing, Philadelpia :
WB Saunders Company.
Pasiyan Rahmatullah (1999), Geriatri : Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Editor : R. Boedhi
Darmoso dan Hadi Martono, Jakarta, Balai Penerbit FKUI
Reevers, Charlene J, et all (2000). Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta : Salemba Medica.
Suyono, (2000).Ilmu Penyakit Dalam. Edisi II, Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Anda mungkin juga menyukai