Oleh :
KELOMPOK 6/ KELAS D 2022
Oleh:
Puspita Restu Mahalia 222310101045
Silviana Dewi Susilowati 222310101046
Muhammad Raffi Alauddin 222310101053
Futuwwah Sotya Cahyani 222310101128
Sheila Anugrah Liandini 222310101141
Rahmad Nurhassan M. 222310101189
Anggun Chrissalys Y. 222310101196
1.2 Tujuan
1. Mempelajari pengkajian keperawatan penyakit inkontinensia urin pada
lansia dan implementasi bladder training menggunakan model precede-
proceed.
2. Mempelajari fase-fase model precede-proceed yang diterapkan dalam
penanganan penyakit inkontinensia urin
1.3 Implementasi Model Precede-Proceed
1.3.1 Diagnosis Sosial
Pada kelompok lanjut usia seseorang akan cenderung mengalami
penurunan dari fungsi organ tubuh yang bisa berakibat pada penurunan
kesehatan, salah satunya terjadi inkontinensia urin. Faktor umum yang
dapat mempengaruhi terjadinya inkontinesia urin adalah adanya
perubahan pada anatomi dan fungsi dari organ kemih oleh kelompok
lansia, obesitas, menopause, dan lanjut usia. Menurut International
Continence Society inkontinensia urin dapat menimbulkan masalah
sosial, seperti rasa malu untuk bersosialisasi dengan lansia lain karena
inkontinensia urin dapat berdampak pada masalah hygiene seperti
penyakit kulit yang secara objektif Nampak nyata. Bukan hanya itu
masalah sosial dari penyakit inkontinensia urin dapat berupa perasaan
malu sehingga penderita mengisolasi diri dari pergaulannya dan
mengurung diri di rumah. Pemakaian diapers atau perlengkapan lain
guna menjaga supaya tidak selalu basah oleh urin, memerlukan biaya
yang tidak sedikit.
1.3.2 Diagnosis Epidemiologi
Berdasarkan data di Amerika Serikat memperkirakan 10-12 juta
orang dewasa menderita inkontinensia urin. Seiring bertambahnya usia
dan paritas, keparahannya ikut meningkat. Tingkat kejadiannya
mencapai 10% untuk mereka yang berusia 15 tahun ke atas dan 12%
untuk mereka yang berusia 35-65 tahun. Prevalensi meningkat menjadi
16% pada wanita di atas usia 65 tahun. Pada multipara, insidennya
mencapai 5%, 10% pada wanita dengan satu anak dan 20% pada wanita
dengan 5 anak (Collein, I. 2012).
Di Indonesia, jumlah penderita inkontinensia urin sangat tinggi.
Diperkirakan sekitar 5,8% penduduk menderita inkontinensia urin pada
tahun 2005, namun pengobatan tetap tidak adekuat. Hal ini disebabkan
oleh kurangnya pemahaman tentang inkontinensia urin di kalangan
tenaga kesehatan dan kurangnya tempat pengobatan yang tepat di
masyarakat.
Pada tahun 2008, Dr. Soetomo, RSU, Departemen Urologi
Universitas Airlangga menemukan bahwa pada 793 pasien, kejadian
inkontinensia urin sebesar 3,02% pada pria dan 6,79% pada wanita
(Angelita, 2012). Di provinsi Gorontalo, 2.371 lansia dirawat di rumah
sakit karena inkontinensia urin pada tahun 2013, menurut data dari dinas
kesehatan provinsi.
Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang dilakukan pada 8 April
2016 oleh peneliti, jumlah lansia di Desa Sumberdem Kecamatan
Wonosari Kabupaten Malang sebanyak 70 orang. Wawancara yang
dilakukan peneliti menunjukkan bahwa 60% (42) mengalami
inkontinensia urin dan 40% (28) lainnya tidak mengalami inkontinensia
urin.
1.3.3 Diagnosis Perilaku dan Lingkungan
Inkontinensia urin pada lansia terjadi karena faktor usia yang
mempengaruhi penurununan fungsi tubuh. Lansia pada umumnya
akan mengalami atau menjadi ketergantungan kepada orang lain
karena keterbatasannya dalam mengurus diri sendiri seperti
contohnya mengenai inkontinensia urin. Selain itu inkontinensia urin
pada lansia juga dapat disebabkan perilaku atau gaya hidup sehat
yang tidak baik, yang dapat menyebabkan obesitas dan gangguan
kesehatan lainnya. Lingkungan keluarga yang sehat dapat
mempengaruhi bagaimana keluarga menjaga dan mengurus lansia
yang menderita inkontinensia urin dengan baik. Lingkungan keluarga
yang tidak sehat akan berdampak pada semakin memburuknya
kondisi inkontinensia urin lansia karena tidak adanya penanganan
dan perhatian lebih lanjut terhadap kesehatan lansia.