Anda di halaman 1dari 10

PENDIDIKAN DAN PROMOSI KESEHATAN

IMPLEMENTASI MODEL PRECEDE-PROCEED


DALAM PROMOSI KESEHATAN MENGENAI INKONTINENSIA URIN

Oleh :
KELOMPOK 6/ KELAS D 2022

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN


TEKNOLOGI
UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS KEPERAWATAN
APRIL, 2023
PENDIDIKAN DAN PROMOSI KESEHATAN

IMPLEMENTASI MODEL PRECEDE-PROCEED


DALAM PROMOSI KESEHATAN MENGENAI INKONTINENSIA URIN
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan dan Promosi Kesehatan
dengan dosen pembimbing Hanny Rasni. S.Kp, M.Kep

Oleh:
Puspita Restu Mahalia 222310101045
Silviana Dewi Susilowati 222310101046
Muhammad Raffi Alauddin 222310101053
Futuwwah Sotya Cahyani 222310101128
Sheila Anugrah Liandini 222310101141
Rahmad Nurhassan M. 222310101189
Anggun Chrissalys Y. 222310101196

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN


TEKNOLOGI
UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS KEPERAWATAN
APRIL, 2023
1.1 Latar Belakang
Retensi urin atau inkontinensia urin adalah kondisi dimana seseorang tidak
mampu dalam mengeluarkan urin sesuai dengan keinginan, sehingga urin yang
terkumpul pada buli-buli melampaui batas maksimal (Potter & Perry dalam
Waicang, 2022). Inkontinensia urin merupakan urin yang keluar dalam
keadaan tidak terkontrol sehingga mengakibatkan gangguan hygiene dan
sosial (Anggellita dalam Moa et al., 2017). Inkontinensia urin didefinisikan
sebagai keluarnya urin secara involunter yang dapat menimbulkan masalah
sosial seperti adanya rasa malu dalam bersosialisasi dengan para lansia lain
karena adanya masalah inkontinensia yang diderita oleh para lansia dan
masalah hygiene yang dapat berdampak pada komplikasi pada kulit yang dapat
menyebabkan penyakit kulit secara objektif yang tampak nyata (ICS dalam
Moa et al., 2017). Inkontinensia urin secara umum disebabkan oleh perubahan
pada anatomi dan fungsi organ kemih lansia, obesitas, menopause, dan usia
lanjut. Pada komunitas lansia Wanita maupun pria ini berhubungan dengan
depresi, menurunnya aktivitas fisik, jauh dari pergaulan sosial, dan
menurunnya kualitas hidup (Onat Et al dalam Moa et al., 2017).

Bladder Training merupakan Latihan yang bertujuan untuk


mengembalikan fungsi berkemih secara normal, dengan cara memberikan
anjuran pada penderita inkontinensia urine untuk menahan urin sampai waktu
yang ditentukan (Roach dalam Moa et al., 2017). Bladder Training merupakan
upaya mengembalikan pola buang air kecil dengan menghambat atau
merangsang keinginan buang air kecil dengan cara mengembangkan tonus otot
dan spingter kandung kemih supaya fungsinya optimal. Metode ini bermanfaat
untuk mengurangi frekuensi dari inkontinensia. Latihan bladder training ini
sangat efektif dan memiliki efek samping yang minimal dalam menangani
masalah inkontinensia urin. Terdapat tiga macam metode bladder training,
yaitu kagel exercises atau Latihan pengencangan atau penguatan otot-otot
dasar panggul, Latihan ini merupakan Latihan aktivitas fisik yang tersusun
dalam suatu program yang dilakukan secara berulang-ulang guna
meningkatkan kebugaran tubuh seperti meningkatkan mobilitas kandung
kemih dan bermanfaat untuk menurunkan gangguan pemenuhan kebutuhan
eliminasi urin. Metode kedua yakni Delay urination, metode ini merupakan
Latihan menunda untuk berkemih. Metode ketiga adalah scheduled bathroom
trips atau dapat disebut metode dengan mengatur jadwal berkemih.

Secara umum, jumlah penduduk lansia di Indonesia sebanyak 18,4 juta


orang atau 7,59% dari keseluruhan penduduk, jumlah penduduk lansia
perempuan yakni 9,75 juta orang yang lebih banyak dari jumlah penduduk
lansia laki-laki yakni sebanyak 8,29 juta. Sebaran lansia jauh lebih banyak
pada daerah perdesaan yakni sebanyak 10,36 juta dibandingkan dengan daerah
perkotaan yang sebanyak 7,69 juta orang (BPS dalam Moa et al., 2017).
Jumlah penderita inkontinensia urin di Indonesia sangat signifikan. Diperoleh
sebanyak 5,8% dari jumlah penduduk pada tahun 2005 mengalami
inkontinensia, namun penanganannya masih kurang. Hal ini dikarenakan
masyarakat masih belum mengetahui tempat yang tepat untuk menangani
inkontinensia urin dan. Selain itu, pemahaman tenaga Kesehatan juga kurang
tentang inkontinensia urin (Moa et al., 2017). Berdasarkan data bahwa jumlah
lansia pada daerah perdesaan yang berjumlah 10,36 juta ini menunjukkan
bahwa para lansia penderita inkontinensia urin relative berasal dari bidang
agroindustrial. Dengan begitu, solusi agronursing merupakan hal yang tepat
untuk dilaksanakan. Berdasarkan data di atas, maka kami akan melakukan
pengkajian dan diagnosis mengenai penyakit inkontinensia urin dan pengaruh
bladder training terhadap inkontinensia urin pada lansia menggunakan model
precede-proceed.

1.2 Tujuan
1. Mempelajari pengkajian keperawatan penyakit inkontinensia urin pada
lansia dan implementasi bladder training menggunakan model precede-
proceed.
2. Mempelajari fase-fase model precede-proceed yang diterapkan dalam
penanganan penyakit inkontinensia urin
1.3 Implementasi Model Precede-Proceed
1.3.1 Diagnosis Sosial
Pada kelompok lanjut usia seseorang akan cenderung mengalami
penurunan dari fungsi organ tubuh yang bisa berakibat pada penurunan
kesehatan, salah satunya terjadi inkontinensia urin. Faktor umum yang
dapat mempengaruhi terjadinya inkontinesia urin adalah adanya
perubahan pada anatomi dan fungsi dari organ kemih oleh kelompok
lansia, obesitas, menopause, dan lanjut usia. Menurut International
Continence Society inkontinensia urin dapat menimbulkan masalah
sosial, seperti rasa malu untuk bersosialisasi dengan lansia lain karena
inkontinensia urin dapat berdampak pada masalah hygiene seperti
penyakit kulit yang secara objektif Nampak nyata. Bukan hanya itu
masalah sosial dari penyakit inkontinensia urin dapat berupa perasaan
malu sehingga penderita mengisolasi diri dari pergaulannya dan
mengurung diri di rumah. Pemakaian diapers atau perlengkapan lain
guna menjaga supaya tidak selalu basah oleh urin, memerlukan biaya
yang tidak sedikit.
1.3.2 Diagnosis Epidemiologi
Berdasarkan data di Amerika Serikat memperkirakan 10-12 juta
orang dewasa menderita inkontinensia urin. Seiring bertambahnya usia
dan paritas, keparahannya ikut meningkat. Tingkat kejadiannya
mencapai 10% untuk mereka yang berusia 15 tahun ke atas dan 12%
untuk mereka yang berusia 35-65 tahun. Prevalensi meningkat menjadi
16% pada wanita di atas usia 65 tahun. Pada multipara, insidennya
mencapai 5%, 10% pada wanita dengan satu anak dan 20% pada wanita
dengan 5 anak (Collein, I. 2012).
Di Indonesia, jumlah penderita inkontinensia urin sangat tinggi.
Diperkirakan sekitar 5,8% penduduk menderita inkontinensia urin pada
tahun 2005, namun pengobatan tetap tidak adekuat. Hal ini disebabkan
oleh kurangnya pemahaman tentang inkontinensia urin di kalangan
tenaga kesehatan dan kurangnya tempat pengobatan yang tepat di
masyarakat.
Pada tahun 2008, Dr. Soetomo, RSU, Departemen Urologi
Universitas Airlangga menemukan bahwa pada 793 pasien, kejadian
inkontinensia urin sebesar 3,02% pada pria dan 6,79% pada wanita
(Angelita, 2012). Di provinsi Gorontalo, 2.371 lansia dirawat di rumah
sakit karena inkontinensia urin pada tahun 2013, menurut data dari dinas
kesehatan provinsi.
Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang dilakukan pada 8 April
2016 oleh peneliti, jumlah lansia di Desa Sumberdem Kecamatan
Wonosari Kabupaten Malang sebanyak 70 orang. Wawancara yang
dilakukan peneliti menunjukkan bahwa 60% (42) mengalami
inkontinensia urin dan 40% (28) lainnya tidak mengalami inkontinensia
urin.
1.3.3 Diagnosis Perilaku dan Lingkungan
Inkontinensia urin pada lansia terjadi karena faktor usia yang
mempengaruhi penurununan fungsi tubuh. Lansia pada umumnya
akan mengalami atau menjadi ketergantungan kepada orang lain
karena keterbatasannya dalam mengurus diri sendiri seperti
contohnya mengenai inkontinensia urin. Selain itu inkontinensia urin
pada lansia juga dapat disebabkan perilaku atau gaya hidup sehat
yang tidak baik, yang dapat menyebabkan obesitas dan gangguan
kesehatan lainnya. Lingkungan keluarga yang sehat dapat
mempengaruhi bagaimana keluarga menjaga dan mengurus lansia
yang menderita inkontinensia urin dengan baik. Lingkungan keluarga
yang tidak sehat akan berdampak pada semakin memburuknya
kondisi inkontinensia urin lansia karena tidak adanya penanganan
dan perhatian lebih lanjut terhadap kesehatan lansia.

1.3.4 Diagnosis Pendidikan dan Organisasi


Pada fase diagnosis pendidikan dan organisasi, metode penelitian
ini menggunakan teknik pengumpulan data dengan melakukan
wawancara disertai dengan kuisioner yang dilakukan oleh peneliti
dengan responden. Sedangkan sampel pada penelitihan ini
merupakan para lansia yang tinggal di Desa Sumbermendem. Setelah
peneliti melakukan penyeleksian, didapatkan sebanyak 26 lansia
yang tinggal di Desa Sumbermendem mengalami inkontinensia urin
kriteria inklusi. Karena kurangnya pengetahuan serta informasi
penduduk Desa, maka dilakukan pengujian Paired Samples Test yang
menghasilkan adanya pengaruh bladder training terhadap
inkontinensia urin pada lansia
1.3.5 Diagnosis Kebijakan dan Administrasi
Perencanaan Bladder Training merupakan sekumpulan Tindakan
keperawatan yang ditentukan oleh perawat untuk mengembalikan
fungsi berkemih secara normal. Latihan ini sangat efektif bagi lansia
yang menderita inkontinensia urin tipe urgensi. Bladder training
dilakukan dengan cara memberikan anjuran kepada penderita
inkontinensia urin untuk menahan urin sampai waktu yang telah
ditentukan (Roach,2007 dalam Moa et al., 2017). Motivasi dari dalam
diri lansia dan dukungan dari orang lain disekitar mempengaruhi
tingkat keberhasilan bladder training. Sumber daya perawat dalam
program ini telah mencukupi, karena setelah diberikan bladder
training, frekuensi berkemih para lansia berkurang dengan interval
waktu 3-4. Tidak terdapat hambatan selama pelaksanaan program ini,
para responden mengikuti Langkah-langkah yang diberikan waktu
diberikan Latihan bladder training, lansia melakukannya secara rutin
di rumah. (Moa et al., 2017). Pemerintah mendukung program bladder
training terhadap inkontinensia urin pada lansia di posyandu desa
sumberdem kabupaten malang ini, karena di Indonesia jumlah
penderita urin sangat signifikan, diperkirakan tahun 2005 sebanyak
5.8% dari jumlah penduduk mengalami inkontinensia urin. Hal ini
disebabkan karena masyarakat belum mengetahui tempat yang tepat
untuk berobat (Angelita,2012 dalam Moa et al., 2017). Oleh karena itu,
pemerintah mendukung program bladder training untuk menangani
inkontinensia urin pada lansia.
1.3.6 Implementasi
Hal pertama yang di lakukan adalah perawat dapat melakukan
evaluasi terhadap pasien di daerah tersebut melakukan pemeriksaan
fisik,laboratorium dan wancara seberapa parah tingkat inkontinensia
urin pada lanjut usia. Setelah melakukan evaluaisi perawat dapat
merencanakan perawatan yang sesuai dengan kebutuhan
pasien,memberikan pendidikan terhadap pasien dan keluarga pasien
tentang kondisi inkontinensia urin dan cara mengatasi masalah
tersebut hal ini meliputi latihan kandung kemih, latihan otot
panggul,dan diet seimbang untuk mengatasi inkotinensia urin. Perawat
juga dapat membantu pasien dalam memilih dan menggunakan alat
bantu seperti kantong urine, pelindung celana dalam, dan kateter.
Perawat juga harus bisa memberikan pendidikan bagaimana cara
membersihakan dan merawat alat bantu. Perawat harus mengetahui
tentang pengobatan farmakologis agar bisa digunakan untuk
mengatasi inkontinensia urin pada lanjut usia. Pengobatan ini harus
diberikan sesuai dengan resep dokter dan dengan melihat efek
samping yang bisa muncul. Kemudian lakukan pengkajian ulang
pasien tersebut hal hal tersebut efektif dan efesiensi dari hal
tersebut.Dalam hal ini untuk mengatasi masalah inkontinensia urin
pada lanjut usia, perawat harus bisa melakukan implementasi tersebut
dan tidak lupa perawat harus mengingatkan bahwa keluarga memeliki
peran dalam masalah pasien agar terjadi kolaborasi yang baik antara
perawat,keluarga, dan pasien dalam menangani penyakit tersebut.
1.3.7 Evaluasi Proses
Evaluasi proses biasanya dilakukan untuk menilai kegiatan
tersebut apakah sudah berjalan dengna lancar sesuai planning, sehingga
memberikan arti jelas bahwa penelitian ini memang dilakukan dengan
benar-benar dan dapat dipertanggung jawabkan dari segala sisi.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apakah bladder training
memberikan dampak bagi penderita ikontinensia urin utamanya para
lansia yang dilaksanakan di Posyandu Lansia RT 01 RW 02 Desa
Sumberdem Kecamatan Wonosari Malang. Dilaksanakan mulai tanggal
20 Agustus – 20 September 2016. Dengan sampel dari 42 orang lansia
26 diantaranya mengalami ikontinensia urin. Teknik pengumpulan data
yang dilakukan adalah menggunakan kuesioner, peneliti melakukan
wawancara pada responden. Kegiatan atau terapi yang dilakukan
kepada para lansia adalah dengan melakukan bladder trining yang
dipandu oleh petugas pelayanan kesehatan dengan memberikan
pelatihan selama kurang lebih 2 minggu kepada para lansia. Dari
pemberian terapi tersebut petugas kesehatan telah berhasil
melaksanakan terapi tersebut kepada lansia dengan baik dan lancer.
1.3.8 Evaluasi Dampak
Evaluasi dampak dilakukan untuk mengevaluasi dan menilai
pengaruh dari penelitian yang telah dilakukan. Dari peneletian tersebut
memperoleh hasil sebelum pemberian intervensi terbanyak frekuensi
berkemih 2 orang (7,7%), berkemih lancar 13 orang (50%), berkemih
tuntas 13 orang (50%). Setelah pemberian intervensi terbanyak
frekuensi berkemih 23 orang (88,5%), berkemih lancar 20 orang
(76,9%), berkemih tuntas 20 orang (76,9%). Intinya sebelum diberikan
bladder training pada lansia terjadi masalah ikontinensia urin,
kemudian setelah diberikan terapi bladder trainingI frekuensi
berkemih 6-7 x / hari dengan interval waktu 3-4 jam yang artinya ada
pengaruh terhadpa pemberina terapi tersebut terhadap inkontinensia
urin pada lansia di POsyandu Lansia RT 01 RW 02 Desa Sumberdem
Kecamatan Wonosari. Dari perolehan hasil tersebut pemberian terapi
bladder trining memberikan dampak yang positif dibuktikan dengan
penurunannya proses berkemih oleh para lansia.
1.3.9 Evaluasi Hasil
Evaluasi hasil merupakan evaluasi menyeluruh yang mencakup
hasil dari tujuan awal progam kegiatan yang diselenggarakan. Menurut
data pada penelitian, penelitian ini menggunakan cara pre eksperimen
one group pre-post tes design, pada penelitihan ini terdapat 42 orang
yang merupakan populasi dan sebanyak 26 orang pada penelitihan ini
menggunakan teknik purposive sampling dengan sampel. Data yang
terkumpul dapat dianalisa dengan menggunakan uji Paired Samples
Test. Pada pengujian tersebut, hasil penelitian sebelum pemberian
intervensi terbanyak frekuensi berkemih 2 orang (7,7%), berkemih
lancar 13 orang (50%), berkemih tuntas 13 orang (50%). Setelah
pemberian intervensi terbanyak frekuensi berkemih 23 orang (88,5%),
berkemih lancar 20 orang (76,9%), berkemih tuntas 20 orang (76,9%).
Analisis uji Paired Samples Test emberikan hasil yang menunjukan
nilai sig 2 tailed 0,006 < α (0,05) yang dimana H1 diterima, maka
bladder training memiliki pengaruh terhadap lansia yang mengidap
inkontinensia.
1.4 Kesimpulan
Inkontinensia urin menyebabkan permasalahan medik, sosial, dan ekonomi.
Tingginya kasus inkontinensia urin pada lansia disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan perawat terhadap inkontinensia urin dan kurangnya pengetahuan
lansia tentang tempat berobat untuk penyakit inkontinensia. terdapat pengaruh
bladder training terhadap inkontinensia urin pada lansia karena pada pre test
belum ada penurunan pada inkontinensia urin, hal itu terlihat bahwa masih ada
24 orang lanjut usia yang frekuensi berkemih nya masih belum mengalami
perubahan, karena lanjut usia belum melakukan bladder training. Setelah
melakukan blader training, terdapat perubahan pada inkontinensia urin, hal ini
terlihat ada 23 orang lanjut usia mengalami penurunan pada frekuensi berkemih,
peningkatan kelancaran proses berkemih lanjut usia mengalami perubahan yaitu
76,9%. peningkatan ketuntasan proses berkemih lanjut usia mengalami
perubahan yaitu 79,9%.
1.5 Saran
Untuk mengurangi angka inkontinensia urin pada lansia, pemerintah
hendaknya terus mendukung program-program Kesehatan yang dilaksanakan
pada fasilitas Kesehatan guna mengurangi kasus inkontinensia urin, serta
perawat hendaknya meningkatkan pengetahuan mengenai inkontinensia urin
supaya dapat menangani dengan maksimal.

Anda mungkin juga menyukai