Anda di halaman 1dari 44

PAPER

PERUBAHAN FISIOLOGIS PADA LANSIA

(INKONTINENSIA URINE)

DISUSUN OLEH

JUVITA EKA SAFITRI

211314201830

PRODI ALJ

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIDYAGAMA


HUSADA

2022
1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latarbelakang

Lansia menurut Undang-Undang RI Nomor 13 tahun 1998 adalah


seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Dilihat dari segi
kesehatan, sekelompok lanjut usia akan mengalami penurunan didalam hal
kesehatan baik itu secara alamiah ataupun akbat dari sebuah penyakit.
(Infodatin. 2016). Proses penuaan akan ditandai dengan adanya perubahan
fisik-biologis mental ataupun psikosoial. Perubahan fisiologis yang terjadi
diantarnya penurunan sistem persyarafan, pendengaran, penglihatan,
kardiovaskuler, pengaturan temperatur tubuh, respirasi, endokrin, kulit,
perkemihan,serta sistem moskulokeletal (S.R Maryam, dkk dalam Relida &
Ilona, 2020).

Dengan bertambahnya usia, fungsi fisiologis seseorang akan mengalami


kemunduran akibat dari proses penuaan, yang akan menimbulkan masalah
kesehatan salah satu masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia yaitu
terjadinya inkontinensia urin hal tersebut sangatlah lazim terjadi pada kalangan
lansia. Inkontinensia urin adalah pengeluaran urin yang tanpa disadari dalam
jumlah banyak dan frekuensi yang cukup sehingga berdampak pada gangguan
kesehatan, sosial psikososial dan ekonomi (Darmojo, B, 2015 dalam Relida &
Ilona, 2020). Perubahan sistem perkemihan pada lansia terjadi pada ginjal.
Dimana ginjal mengalami pengecilan dan nefron menjadi atrofi. Aliran ginjal
menurun sehingga fungsi tubulus menurun yang mengakibatkan BUN meningkat.
Otot-otot kandung kemih melemah menyebabkan kapasitas kandung kemih
menurun hingga 200 ml yang mengakibatkan frekuensi berkemih meningkat.(S.R
Maryam, dkk dalam Relida & Ilona, 2020).
2
Perkembangan populasi penduduk lansia di dunia yang berusia 60 tahun
lebih berjumlah 901 juta orang atau sekitar 12% dari jumlah populasi dunia. Di
Indonesia saat ini mengalami peningkatan dua kali lipat jumlah penduduk lansia.
Di tahun 2019 persentase lansia mencapai 9,60% atau sekitar 25,64 juta
jiwa. Adapun persentase lansia di Indonesia didominasi oleh lansia muda
(umur 60-69 tahun) dengan persentase 63,82%, lansia madya (70-79 tahun)
dengan persentase 27,68% dan lansia tua (80+ tahun) sebesar 8,50%.
Sedangkan persentase penduduk lansia di Jawa Timur sebesar 13,06%. (Badan
Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur, 2019). WHO menyatakan bahwa
inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan yang cukup besar, dan
diperkirakan lebih dari 200 juta jiwa didunia mengalami masalah perkemihan
ini (Fakhrizal Edy, 2016). Di indonesia penderita inkontinensia mencapai 4,7%
atau sekitar 5-7% juta penduduk dan 60 % diantaranya ialah wanita (Collein
dalam Wilis Neva, 2018).

Inkontinensia urine merupakan salah satu masalah yang paling banyak


muncul pada kalangan lanjut usia dan perlu menjadi perhatian khusus. Akan
timbul banyak permasalahan jika inkontinensia urine tidak dilakukan pengobatan
antara lain: hygiene, gangguan pesikologis, dan gangguan sosial, ekonomi. Ada
kemungkinan timbul komplikasi yang diakibatkan dari inkontinensia urine yaitu
terjadinya infeksi saluran kemih, gangguan tidur, penyakit kulit (Kargar Jahromi,
Talebizadeh and Mirzaei, 2015). Penyebab dari inkontinensia urin sendiri antara
lain disebabkan oleh adanya perubahan anatomi dan fungsi organ kemih lansia,
proses persalinan juga merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya
inkontinensia urin dikarenakan saat proses persalinan otot-otot dasar panggul
mengalami kerusakan akibat regangan otot serta robekan jalan lahir. Selain itu
jenis kelamin juga ikut berperan dalam terjadinya inkontinensia terutama pada
wanita dikarenakan memasuki usia menopause akan terjadi penurunan tonus

3
otot vagina dan otot pintu saluran kemih (Moa, Milwa ti and Sulasmini, 2017).
Beberapa studi epidemiologi menyatakan bahwa inkontinensia urin lebih tinggi
terjadi pada perempuan yang pernah melahirkan dibandingkan dengan
perempuan yang belum pernah melahirkan (MacLennan dalam Fakhrizal Edy,
2016).

Penatalaksanaan inkontinensia urine dapat dilakukan secara surgical,


tetapi lansia akan merasa takut dalam menghadapinya. Sehingga terapi yang
tepat yang dapat diberikan pada kondisi inkontinensia urin pada lansia adalah
terapi non-surgical yaitu senam kegel yang terbukti dapat menguatkan otot dasar
panggul (Park & Kang. 2014 dalam Amilia et al. 2018). Metode lain yang dapat
diberikan untuk dapat meminimalisir kejadian inkontinensia urin baik secara non
surgical yaitu pijat perinium, yang merupakan manipulasi eksternal yang dapat
menjadikan otot lebih fleksibel dan elastis dan mampu meningkatkan fungsi
kontraktil otot serta dapat memulihkan kembali otot pada kondisi normal (Jayanti,
2015). Latihan Bladder Training juga merupakan metode yang dapat
diaplikasikan pada penderita inkontinensia urine, tujuan dari bladder training
yaitu memperpanjang interval berkemih yang normal dengan teknik distraksi
relaksasi sehingga frekuensi berkemih dapat berkurang menjadi 6-7 kali
perhari atau 3-4 jam sekali (Sutiyarsih et al., 2016).

Berdasarkan uraian diatas saya ingin membuat makalah tentang


perubahan fungsi fisiologis pada lansia khususnya di sistem perkemiha
(inkontinensia urine).

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana perubahan Fisiologis pada Lansia dengan Gangguan Sistem


Perkemihan (Inkontinensia Urine)?

4
1.3 Manfaat

1.3.1 Bagi Penulis

Dapat menambah wawasan dan pengetahuan terkait perubahan fisiologis pada


lansia dengan Inkontinensia Urine.

1.3.1 Bagi Masyarakat

Diharapkan dapat memberikan informasi kepada lansia tentang perubahan


fisiologis yang terjadi pada sistem perkemihan, sehingga para lansia dapat
mengantisipasi terjadinya inkontinensia urine.

1.3.3 Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan makalah ini dapat digunakan sebagai salah satu referensi bagi
institusi keperawatan maupun mahasiswa untuk menambah literasi tentang
perubahan fisiologis pada lansia dengan Inkontinensia Urine.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Inkontinensia Urine

Inkontinensia urin merupakan pengeluaran urin yang tidak terkendali


pada waktu yang tidak dikehendaki dan tidak melihat jumlah maupun
frekuensinya, keadaan ini dapat menyebabkan masalah fisik, emosional, sosial
dan kebersihan (Kurniasari, 2016). Proses berkemih yang normal adalah suatu
proses dinamik yang secara fisiologik berlangsung dibawah kontrol dan
koordinasi sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi di daerah sacrum. Sensasi
pertama ingin berkemih biasanya timbul pada saat volume kandung kemih
mencapai 150–350 ml. Umumnya kandung kemih dapat menampung urin sampai
kurang lebih 500 ml tanpa terjadi kebocoran. Frekuensi berkemih yang normal
adalah tiap 3 jam sekali atau tidak lebih dari 8 kali sehari (Wahab, 2016).
Inkontinensia urine adalah pengeluaran urine involunter atau kebocoran urine
yang sangat nyata dan menimbulkan masalah sosial atau higienis (Karjoyo,
Pangemanan and Onibala, 2017).

Inkontinensia urin adalah pengeluaran urin yang tanpa disadari dalam


jumlah banyak dan frekuensi yang cukup sehingga berdampak pada gangguan
kesehatan, sosial psikososial dan ekonomi (Darmojo, B, 2015 dalam Relida &
Ilona, 2020). Perubahan sistem perkemihan pada lansia terjadi pada ginjal.
Dimana ginjal mengalami pengecilan dan nefron menjadi atrofi. Aliran ginjal
menurun sehingga fungsi tubulus menurun yang mengakibatkan BUN meningkat.
Otot-otot kandung kemih melemah menyebabkan kapasitas kandung kemih

6
menurun hingga 200 ml yang mengakibatkan frekuensi berkemih meningkat.(S.R
Maryam, dkk dalam Relida & Ilona, 2020).

2.2 Klasifikasi Inkontinensia Urine

Menurut Camero (2013) dalam Amirulloh (2021) inkontinensia urin dapat


dibedakan menjadi:

a. Inkontinensia urge
Keadaan otot detrusor kandung kemih yang tidak stabil, di mana
otot ini bereaksi secara berlebihan. Inkontinensia urin ini ditandai dengan
ketidakmampuan menunda berkemih setelah sensasi berkemih muncul,
manifestasinya dapat berupa perasaan ingin berkemih yang mendadak
(urge), berkemih berulang kali (frekuensi) dan keinginan berkemih di
malam hari (nokturia). Menurut (Aspiani, 2014) gejala dari inkontinensia
urge adalah tingginya frekuensi berkemih (lebih sering dari 2 jam sekali).
Spasme kandung kemih atau kontraktur berkemih dalam jumlah sedikit
(kurang dari 100 ml) atau dalam jumlah besar (lebih dari 500 ml).

b. Inkontinensia stress
Inkontinensia urin ini terjadi apabila urin dengan secara tidak
terkontrol keluar akibat peningkatan tekanan di dalam perut, melemahnya
otot dasar panggul, operasi dan penurunan estrogen. Pada gejalanya
antara lain keluarnya urin sewaktu batuk, mengedan, tertawa, bersin,
berlari, atau hal yang lain yang meningkatkan tekanan pada rongga perut.

c. Inkontinensia overflow
Pada keadaan ini urin mengalir keluar dengan akibat isinya yang
sudah terlalu banyak di dalam kandung kemih, pada umumnya akibat otot

7
detrusor kandung kemih yang lemah. Biasanya hal ini bisa dijumpai pada
gangguan saraf akibat dari penyakit diabetes, cedera pada sumsum
tulang belakang, dan saluran kemih yang tersumbut. Gejalanya berupa
rasanya tidak puas setelah berkemih (merasa urin masih tersisa di dalam
kandung kemih), urin yang keluar sedikit dan pancarannya lemah.

d. Inkontinensia reflex
Hal ini terjadi karena kondisi sistem saraf pusat yang terganggu,
seperti demensia. Dalam hal ini rasa ingin berkemih dan berhenti
berkemih tidak ada.

e. Inkontinensia fungsional
Dapat terjadi akibat penurunan yang berat dari fungsi fisik dan
kognitif sehingga pasien tidak dapat mencapai ke toilet pada saat yang
tepat. Hal ini terjadi pada demensia berat, gangguan neurologi, gangguan
mobilitas dan psikologi.

2.3 Etiologi Inkontinensia Urine

Menurut Soeparman & Wapadji Sarwono, (2001) dalam Amirulloh (2021) faktor
penyebab inkontinensia urin antara lain :

a. Poliuria: poliuria merupakan kelainan frekuensi buang air kecil karena


kelebihan produksi urin. Pada poliuria volume urin dalam 24 jam
meningkat melebihi batas normal karena gangguan fungsi ginjal dalam
mengonsentrasi urin.
b. Nokturia: kondisi sering berkemih pada malam hari. Nokturia merupakan
salah satu indikasi adanya prolaps kandung kemih.

8
c. Faktor usia: inkontinensia urin lebih banyak ditemukan pada usia >50
tahun karena terjadinya penurunan tonus otot pada saluran kemih.
d. Penurunan produksi estrogen (pada wanita): penurunan produksi
estrogen dapat menyebabkan atropi jaringan uretra sehingga uretra
menjadi kaku dan tidak elastis.
e. Operasi pengangkatan Rahim: pada wanita, kandung kemih dan rahim
didukung oleh beberapa otot yang sama. Ketika rahim diangkat, otot-otot
dasar panggul tersebut dapat mengalami kerusakan, sehingga memicu
inkontinensia.
f. Frekuensi melahirkan: melahirkan dapat mengakibatkan penurunan otot-
otot dasar panggul.
g. Merokok: merokok dapat menyebabkan kandung kemih terlalu aktif
karena efek nikotin pada dinding kandung kemih.
h. Konsumsi alkohol dan kafein: mengonsumsi alkohol dan kafein dapat
menyebabkan inkontinensia urin karena keduanya bersifat diuretik
sehingga dapat meningkatkan frekuensi berkemih.
i. Obesitas: berat badan yang berlebih meningkatkan resiko terkena
inkontinensia urin karena meningkatnya tekanan intra abdomen dan
kandung kemih. Tekanan intra abdomen menyebabkan panjang uretra
menjadi lebih pendek dan melemahnya tonus otot.
j. Infeksi saluran kemih: gejala pada orang yang mengalami infeksi saluran
kemih biasanya adalah peningkatan frekuensi berkemih. Frekuensi
berkemih yang semakin banyak akan menyebabkan melemahnya otot
pada kandung kemih sehingga dapat terjadi inkontinensia urin.

Beberapa kondisi yang dapat menjadi penyebabnya ialah sebagai berikut


(Fadhila, 2019) :

1. Gagal jantung
9
2. Penyakit ginjal kronik
3. Diabetes
4. Penyakit paru obstruktif kronik
5. General cognitive impairment
6. Gangguan tidur, misalnya sleep apnea
7. Penyakit neurologis, misalnya stroke dan sclerosis multiple
8. Obesitas

2.4. Patofisiologi Inkontinensia Urine

Inkontinensia urin dapat terjadi karena beberapa penyebab, antara lain:

a. Perubahan terkait usia pada sistem perkemihan

Menurut Stanley M & Beare G Patricia, (2006) dalam Amirulloh


(2021) kapasitas kandung kemih (vesiko urinaria) yang normal sekitar
300-600 ml. Dengan sensasi atau keinginan berkemih di antara 150-350
ml. Berkemih dapat ditunda 1-2 jam sejak keinginan berkemih
dirasakan. Keinginan berkemih terjadi pada otot detrusor yang kontraksi
dan sfingter internal serta sfingter eksternal relaksasi, yang membuka
uretra. Pada orang dewasa muda hampir semua urin dikeluarkan saat
berkemih, sedangkan pada lansia tidak semua urin dikeluarkan. Pada
lansia terdapat residu urin 50 ml atau kurang dianggap adekuat. Jumlah
residu lebih dari 100 ml mengindikasikan retensi urin. Perubahan lain
pada proses penuaan adalah terjadinya kontraksi kandung kemih tanpa
disadari. Pada seorang wanita lanjut usia terjadinya penurunan hormon
estrogen mengakibatkan atropi pada jaringan uretra dan efek dari
melahirkan menyebabkan lemahnya otot-otot dasar panggul.

10
b. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi
kandung kemih
Menurut Aspiani, (2014) dalam Amirulloh (2021) adanya
hambatan pengeluaran urin karena pelebaran kandung kemih, urin
terlalu banyak dalam kandung kemih sehingga melebihi kapasitas normal
kandung kemih. Fungsi sfingter yang terganggu mengakibatkan kandung
kemih mengalami kebocoran ketika bersin atau batuk.

Secara umum penyebab terjadinya inkontinensia urin adalah kelainan


urologis dan neurologis atau fungsional. Kelainan urologis pada inkontinensia
urine bida disebabkan karena radang, batu, tumor, dan dive rtikel. Sedangkan
pada kelainan neurologis, seperti pada pasien stroke, trauma pada medulla
spinalis, dimenisa dll (Darmojo dalam Relida and Ilona, 2020).

Sedangkan proses berkemih yang normal terjadi karena interaksi


kompleks antara otot detrusor dan sistem persarafan. Urine keluar dari
vesika urinaria melewati uretra karena tekanan intra vesika yang lebih tinggi
daripada tekanan penutupan uretra. Tekanan intra vesika ditentukan oleh
tekanan otot detrusor dan tekanan abdomen. Tekanan penutupan uretra
ditentukan oleh faktor intrinsik, yaitu mukosa dan submukosa uretra dan faktor
ekstrinsik, yaitu mukosa dan submukosa uretra dan. Dalam keadaan kandung
kemih yang kontinen, tekanan intra vesika selalu lebih rendah posisinya
daripada tekanan penutup uretera, sehingga tidak terjadi keluarnya urin yang tak
terkendali. Pada inkontinensia urine yang sering terjadi atau inkontinensia urine
tipe stress, tekanan vesika melebihi tekanan penutupan uretra yang diakibatkan
oleh peningkatan mendadak tekanan intra abdomen tanpa adanya kontraksi otot
detrusor. Dalam kondisi normal, tekanan penutupan uretra pada perempuan
sekitar 60-90 cm. Tekanan ini akan makin berkurang kekuatanya atau menjadi
semakin rendah dengan semakin tuanya umur tersebu sehingga akan terjadi
11
perubahan pada penyangga yang merupakan penyebab dari terjadinya
inkontinensia urine (Putra, 2017).

2.5. Komplikasi Inkontinensia Urine

Menurut (Jahromi, Telebizadeh, & Mirzaei dalam Amilia, Warjiman and Ivana,
2018) menyebutkan beberapa komplikasi yang terjadi pada lanisa yang
menderita inkontiensia urine :

1. Gangguan tidur, karena lanisa akan sering terbangun karena sering ke


kamar mandi.
2. Gangguan hygiene.
3. Penyakit kulit : terdapat ruam, infeksi kulit, ulkusdecubitus pada area
kemaluan akibat dari kulit yang selalu basah dengan urine atau karena
penggunaan popok.
4. Infeksi saluran kemih.
5. Gangguan psikologis, menajadi tidak percaya diri dan akan lebih
mengisoalsi diri di dalam rumah karena malu dengan kondisinya.
6. Masalah ekonomi, berupa pemakaian diapers yang terus menerus
akan memerlukan biaya yang tidak sedikit (Moa, Milwati and Sulasmini,
2017).

2.6 Penatalaksanaan Inkontinensia Urine

Menurut (Widajanti, 2019) management inkontinensia urine bisa dilakukan


dengan :

1. Latihan dasar otot panggul (kegel exercise)


Latihan secara berulang antara kontraksi dan relaksasi otot dasar
panggul. Tujuan dari latihan ini adalah untuk menguatkan otot dasar

12
panggul. Latihan ini dapat dilakukan secara berulang-ulang (hingga 40
latihan/hari), direkomendasikan latihan ini dilakukan secara intensif minimal
3 bulan.

Kontraksi otot dasar panggul yang benar yaitu :

1) pasien diminta seolah-olah akan flatus, kemudian mencoba menahan


agar angin tidak keluar.
2) Lakukan stop test yaitu membayangkan pasien sedang berkemih dan
seketika menghentikan pancaran urin.
3) Pasien diminta merasakan bahwa dua kegiatan tersebut seolah-olah
otot-otot dasar panggul berkumpul di tengah serta anus terangkat dan
masuk kedalam.
4) Ajarkan pasien untuk merasakan gerakan tersebut sehingga pasien
yakin gerakannya benar.

2. Bladder Training
Dapat dilakukan dengan membuat catatan berkemih. Meningkatkan
jadwal berkemih secara progresif tiap minggu disertai tehnik menghambat
keinginan kuat berkemih (urge) dengan afirmasi, distraksi dll.
3. Catatan Berkemih

13
( Widajanti, 2019)

4. Caregiver Dependent
1) Seheduled toileting: pasien diminta berkemih setiap interval waktu
tertentu secara rutin dan teratur, tiap 2 jam pada siang hari dan tiap 4 jam
pada sore hari dan malam hari.
2) Habit training: Dibuat jadwal berkemih berdasarkan pola kebiasaan
berkemih sesuai catatan harian.
3) Promted voiding: pasien ditawarkan minuman secra rutin dan ditawarkan
untuk berkemih setiap 2 jam sepanjang siang, namun ke toilet hanya bila
pasien menginginkan.

5. Terapi Farmakologis
1) Anticholinergik/antimuskarinik, obat ini digunakan untuk meningkatkan
kapasitas kandung kemih, mengurangi kontraksi involunter kandung
kemih. Contohnya: darifenacin, fesoterodine, oxybutinin, patch,
oxybutynin gel dll.
14
2) Beta 3 Agonist, obat ini berfungsi untuk menghambat kontraksi kandung
kemih. Contohnya : mirabegron.
3) Esterogen (khusus wanita), berfungsi untuk memperkuat jaringan
periurethral dan mengurangi peradangan akibat vaginitis atrofi.
Contohnya : topikal, vaginal ring (estring).
4) Alpha-adrenergik antagonist (khusus pria), obat ini berfungsi untuk
merelaksasikan otot polos uretra dan kapsul prostat. Contohnya :
alfuzosin/uroxatral, doxazosin/cardura, prazonin/minipress dll.
5) Alpha reductase inhibitor, berfungsi sebagai penghambat reduktase 5-
alpha tipe II, mengganggu konversi testosteron menjadi 5-alfa-
dihidrotestosteron. Contohnya : dutasteride, finasteride.

Jika tindakan diatas tidak berhasil maka bisa dilakukan prosedur operasi
(Divisi Urologi, 2019), tujuan dari tindakan operasi yaitu memperkuat
kemampuan otot dasar panggul dan saluran kemih. Adapun operasi yang sering
dilakuakan oleh dokter pada penderita inkontiensia urin operasi pemasangan
pita yaitu untuk mengobati inkontinensia urin akibat tekanan. Caranya dokter
akan memasang pita dalam tubuh pasien pada bagian tengah saluran kemih,
yang akan meningkatkan kemampuan pasien dalam berkemih. Jenis operasi lain
yang dilakukan yaitu:

1. Pita Vagina Pelepas Tekanan / Tension-free Vaginal Tape


Keuntungan dari operasi ini ialah operasi dilakukan lebih cepat
dalam waktu sekitar 30 menit dan lebih sederhana, waktu penyembuhan
yang relatif lebih cepat, serta luka bekas operasi yang kecil dan rasa
nyeri minimal.
2. Suntikan Agen Pengembang ke dalam Saluran Kemih
Prosedur yang akan dilakukan dalam operasi ini dokter akan
menyuntikan agen pengembang yang dapat hancur secara alami ke
15
bagian lapisan mukosa saluran kemih untuk membuat gumpalan yang
apat meningkatkan kekuatan saluran kemih. Komplikasi dari tindakan
operatif ini adalah : obstruksi jalan keluarnya urin dari kandung kemih,
menyebabkan kesulitan berkemih dan iritasi (E. suparman, 2008) dalam
Krisnawati (2021).

2.7 Pemeriksaan Diagnostik Inkontinensia Urine

1. Tes diagnostik pada inkontinensia urine


a. Kultur urin : untuk menyingkirkan infeksi.
b. IVU : untuk menilai saluran bagian atas dan obstruksi atau fistula.
c. Urodinamik:
1) Uroflowmetri : mengukur kecepatan aliran.
2) Sistrometri : menggambarkan kontraksi detrusor.
3) Sistometri video: menunjukkan kebocoran urin saat mengejan
pada pasien dengan inkontinensia stres.
4) Flowmetri tekanan udara : mengukur tekanan uretra dan
kandung kemih saat istirahat dan selama berkemih.
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa
dalam urine.
b. Uroflowmeter digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan
menunjukkan obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur
laju aliran ketika pasien berkemih.
c. Cysometry digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung
kemih dengan mengukur efisiensi refleks otot destrusor, tekanan dan
kapasitas intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan
panas.

16
d. Urografi Ekskretorik bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran
ketika pasien berkemih. Disebut juga pielografi intravena, digunakan
untuk mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter dan kandung kemih.
e. Kateterisasi Residu Pascakemih digunakan untuk menentukan luasnya
pengosongan kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam
kandung kemih setelah pasien berkemih.
3. Laboratorium
Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk
menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria.
Menurut National Women’s Health Report, diagnosis dan terapi
inkontinensia urine dapat ditegakkan oleh sejumlah pemberi pelayanan
kesehatan, termasuk dokter pada pelayanan primer, perawat, geriatris,
gerontologis, urologis, ginekologis, pedriatris, neurologis, fisioterapis,
perawat kontinensia, dan psikolog. Pemberi pelayanan primer dapat
mendiagnosis inkontinensia urine dengan pemeriksaan riwayat medis
yang lengkap dan menggunakan tabel penilaian gejala.
Tes yang biasanya dilakukan adalah urinealisa (tes urine untuk
menetukan apakah gejalanya disebabkan oleh inkontinensia urine, atau
masalah lain, seperti infeksi saluran kemih atau batu kandung kemih).
Bila urinealisa normal, seorang pemberi pelayanan primer dapat
menentukan untuk mengobati pasien atau merujuknya untuk pemeriksaan
gejala lebih lanjut. Pada beberapa pasien, pemeriksaan fisik yang
terfokus pada saluran kemih bagian bawah, termasuk penilaian
neurologis pada tungkai dan perineum, juga diperlukan. Sebagai
tambahan, pasien dapat diminta untuk mengisi buku harian kandung
kemih (catan tertulis intake cairan, jumlah dan seringnya buang air kecil,
dan sensasi urgensi) selama beberapa hari untuk mendapatkan data
mengenai gejala. Bila setelah langkah tadi diagnosis definitif masih belum
17
dapat ditegakkan, pasien dapat dirujuk ke spesialis untuk penilaian
urodinamis. Tes ini akan memberikan data mengenai tekanan/volume dan
hubungan tekanan/aliran di dalam kandung kemih. Pengukuran tekanan
detrusor selama sistometri digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis
overaktifitas detrusor.

18
2.8 Pathway Inkontinensia Urine

19
2.9 Manifestasi Klinis Inkontinensia Urine

Gejala yang terjadi pada inkontinensia urine antara lain :

1. Sering Berkemih: merupakan gejala urinasi yang terjadi lebih sering dari
normal bila di bandingkan dengan pola yang lazim di miliki seseorang atau
lebih sering dari normal yang umumnya di terima, yaitu setiap 3-6 jam sekali.
2. Frekuensi berkemih amat sering, dengan jumlah lebih dari 8 kali dalam
waktu 24 jam.
3. Nokturia: malam hari sering bangun lebih dari satu kali untuk berkemih.
20
4. Urgensi keinginan yang kuat dan tiba-tiba untuk berkemih walaupun
penderita belum lama sudah berkemih dan kandung kemih belum terisi
penuh seperti keadaan normal.
5. Urge Inkontinensia dorongan yang kuat sekali unuk berkemih dan tidak
dapat ditahan sehingga kadang–kadang sebelum sampai ke toilet urine telah
keluar lebih dulu.Orang dengan inkontinensia urine mengalami kontraksi
yang tak teratur pada kandung kemih selama fase pengisian dalam siklus
miksi. Urge inkontinensia merupakan gejala akhir pada inkontinensia urine.
Jumlah urine yang keluar pada inkontinensia urine biasanya lebih banyak
dari pada kapasitas kandung kemih yang menyebabkan kandung kemih
berkontraksi untuk mengeluarkan urine. Pasien dengan inkontinensia urine
pada mulanya kontraksi otot detrusor sejalan dengan kuatnya keinginan
untuk berkemih, akan tetapi pada beberapa pasien mereka menyadari
kontraksi detrusor ini secara volunter berusaha membantu sfingter untuk
menahan urine keluar serta menghambat kontraksi otot detrusor, sehingga
keluhan yang menonjol hanya urgensi dan frekuensi yaitu lebih kurang 80 %.
Nokturia hampir ditemukan 70 % pada kasus inkontinensia urine dan
simptom nokturia sangat erat hubungannya dengan nokturnal enuresis.
Keluhan urge inkontinensia ditemukan hanya pada sepertiga kasus
inkontinensia urine.

2.10 Kompikasi Inkontinensia Urine

Penderita dengan penyakit inkontinensia urine biasanya dapat menyebabkan


antara lain (Fadhila, 2019) :

1. Infeksi saluran kemih.


2. Ulkus pada kulit.
3. Problem tidur.

21
4. Depresi dan kondisi medis lainnya.

22
BAB III

ASUHAN KEPERAWAATAN INKONTINENSIA URINE

1. Pengkajian
Pengkajian merupakan catatan hasil pengkajian yang dilakukan untuk
mengumpulkan informasi dari pasien, membuat data dasar tentang klien,
dan membuat catatan respon kesehatan klien. Catatan tersebut
dilakukan dengan menggunakan metode seperti observasi (data yang
dikumpulkan berasal dari pengamatan), wawancara (mendapatkan data
dari respon pasien melalui tatap muka), konsultasi, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratarium ataupun pemeriksaan tambahan (Hidayat,
2021).
a. Identitas
Identitas klien yang biasa dikaji pada penyakit sistem perkemihan
adalah usia, karena ada beberapa penyakit perkemihan banyak
terjadi pada klien diatas usia 60 tahun.
b. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering ditemukan pada klien dengan
inkontinensia urine adalah klien mengeluh sering BAK lebih dari 8
kali/24 jam, sering BAK pada malam hari, tidak dapat menahan
keinginan BAK dan ngompol.
c. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat kesehatan saat ini berupa uraian mengenai penyakit yang
diderita oleh klien dari mulai timbulnya keluhan yang dirasakan
sampai klien dibawa ke Rumah Sakit, dan apakah pernah
memeriksakan diri ke tempat selain Rumah Sakit Umum serta

23
pengobatan apa yang pernah diberikan dan bagaimana
perubahannya dan data yang didapatkan saat pengkajian.
d. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat kesehatn yang lalu seperti riwayat penyakit hematologi
sebelumnya, riwayat pekerjaan pada pekerja yang berhubungan
dengan riwayat penyakit Infeksi yang berkaitan dengan sistem
perkemihan, riwayat penyakit yang berhubungan dengan sisitem
persyarafan, riwayat, penggunaan obat-obatan, riwayat
mengkonsumsi alkohol dan merokok. Pada wanita di kaji juga riwayat
kehamilan, melahirkan, dan menoupusnya.
e. Riwayat penyakit keluarga
Yang perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang menderita
penyakit yang sama karena faktor genetik atau keturunan.
f. Pola kebiasaan sehari-hari
Yang perlu dikaji adalah aktivitas apa saja yang biasa dilakukan
sehubungan dengan kebiasaan berkemihnya.
g. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum
Keadaan umum klien lansia yang mengalami inkontensia urine
bisa lemah atau tidak tergantung apa penyebab inkontinensia
urinenya.
2. Kesadaran
Kesadaran klien biasanya Composmentis , Apatis sampai
Somnolen.
3. Tanda-tanda vital:
Terdiri dari pemeriksaan: Suhu normalnya (37oC) pada pasien
yang mengalami infeksi bisa terjadi demam, Nadi meningkat ( N:

24
70-82x/ Menit), Tekanan darah bisa normal atau tidak,
Pernapasan biasanya mengalami normal atau meningkat
4. Pemeriksaan Review Of Sistem (ROS)
a. Sistem Pernapasan (B1: Breathing)
Dapat ditemukan peningkatan frekuensi napas atau masih
dalam batas normal.
b. Sistem Sirkulasi (B2: Bleeding)
Kaji adanya penyakit jantung, frekuensi nadi apical, sirkulasi
perifer, warna dan kehangatan.
c. Sistem Persarafan (B3: Brain)
Kaji adanya hilang gerakan, spasme otot, terlihat
kelemahan/hilang fungsi. Pergerakan mata atau kejelasan
melihat, dilatasi pupil. Agitasi (mungkin berhubungan dengan
nyeri atau ansietas).
d. Sistem perkemihan (B4: Bleder)
Perubahan pola berkemih, seperti inkontinensia urin, dysuria,
distensi kandung kemih, warna dan bau urin, dan
kebersihannya.
e. Sistem pencernaan (B5: Bowel)
Konstipasi, konsisten feses, frekuensi eliminasi, auskultasi
bising usus, anoreksia, adanya distensi abdomen, nyeri tekan
abdomen.
f. Sistem musculoskeletal (B6: Bone)
Kaji adanya nyeri berat tiba-tiba, dapat berkurang pada saat
imobilisasi, kontrafaktur atrofi otot, laserasi kulit dan
perubahan warna.
h. Pola Fungsi Kesehatan
1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
25
Menggambarkan persepsi, pemeliharaan dan penanganan
kesehatan.
2. Pola nutrisi
Menggambarkan masukan nutrisi, balance cairan dan
elektrolit, nafsu makan, pola makan, diet, kesulitan menelan,
mual/muntah, dan makanan kesukaan.
3. Pola eliminasi
Menjelaskan pola fungsi ekskresi, kandung kemih, ada
tidaknya masalah defekasi, masalah nutrisi dan penggunaan
kateter, nokturia,ngompol.
4. Pola tidur dan istirahat
Menggambarkan pola tidur, istirahat, dan persepsi terhadap
energi, jumlah jam tidur siang dan malam, masalah tidur dan
insomnia.
5. Pola aktivitas dan istirahat
Menggambarkan pola latihan, aktivitas, fungsi pernapasan
dan sirkulasi, riwayat penyakit jantung, frekuensi, irama dan
kedalaman pernapasan.
6. Pola hubungan dan peran
Menggambarkan dan mengetahui hubungan dan peran klien
terhadap anggota keluarga dan masyarakat tempat tinggal,
pekerjaan, tidak punya rumah dan masalah keuangan.
2. Diagnosa Keperawatan

Diagnose keperawatan yang bisa muncul pada klien inkontinensia urine


(Fadhila, 2019)

1. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi

26
2. Inkontinensia urine berlanjut berhubungan dengan kerusakan reflex
kontraksi detrusor
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan hambatan lingkungan
4. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan
mobilitas, kelembapan
5. Resiko infeksi berhubungan dengan imobilitas
6. Deficit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan
7. Isolasi sosial berhubungan dengan perubahan status mental

27
3. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa (SDKI) Kriteria Hasil (SLKI) Intervensi (SIKI)


1. Ansietas berhubungan Tingkat ansietas menurun Reduxi ansietas (I.09314)
dengan kurang terpapar (L.09093) Observasi
informasi (D. 0080)  Verbalisasi kebingunan  Identifikasi saat tingkat anxietas berubah (mis.
menurun Kondisi, waktu, stressor)
 Verbalisasi khawatirr akibat  Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
kondisi yang dihadapi  Monitor tanda anxietas (verbal dan non
menurun verbal)
 Perilaku gelisah menurun Terapeutik
 Perilaku tegang menurun  Ciptakan suasana terapeutik untuk
 Keluhan pusing menurun menumbuhkan kepercayaan
 Konsentrasi membaik  Temani pasien untuk mengurangi kecemasan

28
 Pola tidur membaik , jika memungkinkan
 Persaan keberdayaan  Pahami situasi yang membuat anxietas
membaik  Dengarkan dengan penuh perhatian
 Pola berkemih membaik  Gunakan pedekatan yang tenang dan
meyakinkan
 Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu
kecemasan
 Diskusikan perencanaan realistis tentang
peristiwa yang akan datang
Edukasi
 Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang
mungkin dialami
 Informasikan secara factual mengenai
diagnosis, pengobatan, dan prognosis

29
 Anjurkan keluarga untuk tetap bersama
pasien, jika perlu
 Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak
kompetitif, sesuai kebutuhan
 Anjurkan mengungkapkan perasaan dan
persepsi
 Latih kegiatan pengalihan, untuk mengurangi
ketegangan
 Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri
yang tepat
 Latih teknik relaksasi
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian obat anti anxietas, jika
perlu

30
2. Inkontinensia urine berlanjut Eliminasi Urine membaik (L. Manajemen Eliminasi Urine [I.04152]
berhubungan dengan 04034) Observasi
kerusakan reflex kontraksi  Sensasi berkemih  Monitor eliminasi urin (mis frekuensi,
detrusor (D.0042) meningkat konsistensi, volume)
 Desakan berkemih  Identifikasi tanda dan gejala retensi /
(urgensi) menurun inkontinensia urin
 Berkemih tidak tuntas  Identifikasi faktor yang menybabkan retensi
menurun
 Volume residu urine Terapeutik
menurun  Catat waktu dan haluaran urin
 Nokturia menurun  Batasi asupan cairan
 Mengompol menurun  Ambil sample urin tengah (midstream) atau
 Enuresis menurun kultur
 Frekuensi BAK membaik  Berikan penutup mata bayi

31
Edukasi
 Ajarkan tanda dan gejala infeksi saluran
kemih
 Ajarkan mengukur asupan cairan dan
haluaran urin
 Ajarkan mengenali tanda berkemh dan waktu
yang tepat untuk berkemih
 Ajarkan terapi modalitas penguatan otot-otot
panggul atau berkemih
 Ajarkan minum yang cukup. Bila tidak ada
kontraindikasi
 Anjurkan mengurangi minum menjelang tidur
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian obat supositoria uretra,

32
jika perlu dan indirek
3. Gangguan pola tidur Pola tidur membaik (L.05045) Edukasi Aktivitas dan Istirahat (I.12362)
berhubungan dengan  Kesulitan tidur menurun Observasi
hambatan lingkungan  keluhan sulit terjaga  Identifikasi kesiapan dan kemampuan
(D.0055) menurun menerima informasi
 keluhan tidak puas tidur Terapeutik
menurun  Sediakan materi dan media pengaturan
 keluhan pola tidur berubah aktivitas dan istirahat
menurun  Jadwalkan pemberian Pendidikan Kesehatan
 keluhan istirahat tidak sesuai kesepakatan
cukup menurun  Berikan kesempatan kepada pasien dan
 kemampuan beraktivitas keluarga untuk bertanya
meningkat Edukasi
 Jelaskan pentingnya melakukan aktivitas

33
fisik/olahraga secara rutin
 Anjurkan terlibat dalam aktivitas kelompok,
aktivitas bermain atau aktivitas lainnya
 Anjurkan menyusun jadwal aktivitas dan
istirahat
 Ajarkan cara mengidentifikasi kebutuhan
istirahat (mis: kelelahan, sesak napas saat
aktivitas)
 Ajarkan cara mengidentifikasi target dan jenis
aktivitas sesuai kemampuan
4. Resiko kerusakan integritas Integritas kulit dan jaringan PERAWATAN INTEGRITAS KULIT (I.11353)
kulit berhubungan dengan meningkat (L.14125) Observasi
penurunan mobilitas,  Kerusakan jaringan  Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
kelembapan (D.0139) menurun (mis. Perubahan sirkulasi, perubahan status

34
 kerusakan lapisan kulit nutrisi, peneurunan kelembaban, suhu
menurun lingkungan ekstrem, penurunan mobilitas)
 nyeri menurun Terapeutik
 Ubah posisi setiap 2 jam jika tirah baring
 Lakukan pemijatan pada area penonjolan
tulang, jika perlu
 Bersihkan perineal dengan air hangat,
terutama selama periode mengompol
 Gunakan produk berbahan ringan/alami dan
hipoalergik pada kulit sensitif
Edukasi
 Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
 Anjurkan meningkat asupan buah dan sayur
5. Resiko infeksi berhubungan Tingkat Infeksi (L.14137) 1.12406 Edukasi Pencegahan Infeksi

35
dengan imobilitas (D.0142)  Kebersihan tangan Observasi :
meningkat  Periksa kesiapan dan kemampuan menerima
 kebersihan badan informasi
meningkat Terapeutik
 nafsu makan meningkat  Siapkan materi, media tentang faktor-faktor
 demam menurun penyebab, cara identifikasi dan pencegahan
 nyeri menurun risiko infeksi di rumah sakit maupun di rumah
 bengkak menurun  Jadwalkan waktu yang tepat untuk
 kadar sel darah putih memberikan pendidikan kesehatan sesuai
membaik kesepakatan dengan pasien dan keluarga
 Berikan kesempatan untuk bertanya Edukasi
 Jelaskan tanda dan gejala infeksi lokal dan
sistemik
 Anjurkan mengikuti tindakan pencegahan

36
sesuai kondisi
 Ajarkan cara merawat kulit pada area yang
luka
 Ajarkan cara memeriksa kondisi luka
 Anjurkan kecukupan nutrisi, cairan, dan
istirahat
 Anjurkan kecukupan mobilisasi dan olahraga
sesual kebutuhan
 Ajarkan cara mencuci tangan
6. Deficit perawatan diri Perawatan Diri meningkat Dukungan Perawatan Diri: BAB/BAK (I.11349)
berhubungan dengan (L.11103) Observasi
kelemahan (D.0109)  Kemampuan mandi  Identifikasi kebiasaan BAB/BAK sesuai usia
meningkat  Monitor integritas kulit pasien
 Kemampuan mengenakan Terapeutik

37
pakaian meningkat  Buka pakaian yang diperlukan untuk
 Kemampuan ketoilet memudahkan eliminasi
(BAB/BAK) meningkat  Dukung penggunaan
 Verbalisasi keinginan toilet/commode/pispot/urinal secara konsisten
melakukan perawatan diri  Jaga privasi selama eliminasi
meningkat  Ganti pakaian pasien setelah eliminasi, jika
 Minat melakukan perlu
perawatan diri meningkat  Bersihkan alat bantu BAK/BAB setelah
 Mempertahankan digunakan
kebersihan diri meningkat  Latih BAK/BAB sesuai jadwal, jika perlu
 Sediakan alat bantu (mis. kateter eksternal,
urinal), jika perlu
Edukasi
 Anjurkan BAK/BAB secara rutin

38
 Anjurkan ke kamar mandi/toilet, jika perlu
7. Isolasi sosial berhubungan Keterlibatan sosial (L.13116) Promosi sosialisasi (I.13498)
dengan perubahan status  Minat Interaksi meningkat Observasi:
mental (D.0121)  Verbalisasi tujuan yang  Identifikasi kemampuan melakukan interaksi
jelas meningkat dengan orang lain
 Minat terhadap aktivitas  Identifikasi hambatan melakukan interaksi
meningkat dengan orang lain
 Verbalisasi isolasi menurun Terapeutik:
 Perilaku menarik diri  Motivasi meningkatkan keterlibatan dalam
menurun suatu hubungan
 Verbalisasi perasaan  Motivasi kesabaran dalam mengembangkan
berbeda dengan orang lain suatu hubungan
menurun  Motivasi berpartisipasi dalam aktivitas baru
 Tugas perkembangan dan kegiatan kelompok

39
sesuai usia membaik  Motivasi berinteraksi diluar lingkungan
(mis.jalan-jalan, ketoko buku)
 Diskusikan kekuatan dan keterbatasan dalam
berkomunikasi dengan orang lain
 Diskusikan perencanaan kegiatan dimasa
depan
 Berikan umpan balik positif dalam perawatan
diri
 Berikan umpan balik positif pada setiap
peningkatan kemampuan
Edukasi
 Anjurkan berinteraksi dengan orang lain
secara bertahap
 Anjurkan ikut serta kegiatan social dan

40
kemasyarakatan
 Anjurkan berbagi pengalaman dengan orang
lain
 Anjurkan meningktakan kejujuran diri dan
menghormati hak orang lain
 Anjurkan penggunaan alat bantu
(mis.kacamata dan alat bantu dengar,
pempers)

3. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan catatan tentang tindakan yang diberikan perawat ke pasien. Dokumentasi ini
mencatat semua pelaksanan rencana keperawatan, pemenuhan kriteria hasil dan tindakan keperawatan baik mandiri
maupun kolaboratif. Tindakan mandiri merupakan tindakan yang dilakukan perawat secara mandiridan bukan pesanana tim

41
kesehatan lain. Sedangkan tindakan kolaboratif merupakan tindakan yang dilakukan oleh perawat dari hasil kolaborasi
dengan tim kesehatan lain (Hidayat, 2021).

4. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan catatan tentang kemajuan atau perkembangan pasien terhadap tujuan dari rencana
keperawatan. Tujuan catatan ini untuk menilai efektifitas perawatan serta mengkomunikasikan status perkembangan pasien
dari hasil tindakan keperawatan (Hidayat, 2021)

42
Daftar Pustaka

Amirulloh, Fikri. (2021). Perubahan Frekuensi Inkontinensia Urine dengan Pemberian Latihan Kegel Pada Lansia.
Jember. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas DR. Soebandi Jember.
Krisnawati. (2021). Pengaruh Senam Kegel Terhadap Inkontinensia Urine Pada Lanjut Usia di UPT Pelayanan Sosial
Tresna Werdha Magetan. Ponorogo. Fakultas Ilmu kesehatan Universitas Muhammadiyah Ponorogo.
Fadhila, Alfin. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Inkontinensia Urine
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur. (2019). Profil Penduduk Lanjut Usia Provinsi Jawa Timur 2019.
Surabaya : Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur.
PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
43
44

Anda mungkin juga menyukai