Anda di halaman 1dari 24

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA PASIEN

DENGAN INKONTINENSIA URIN DAN RISIKO JATUH


Dijukan untuk memenuhi salah satu tugas keperawatan Gerontik
Dosen pembimbing Nandang Jamiat, S.Kep., Ners., M. Kep, Sp. Kep. Kom

Disusun oleh:
KELOMPOK 5

Sabrina mulyawati (302018061)


Fikri Nurul Padhli (302018071)
Indah Fitriyani Sahroni (302018073)
Annisa sabila (302018087)
Bangun Gumelar (302018090)
Majid Nugraha (302018069)

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita nikmat yang tiada terhitung
jumlahnya. Tidak lupa shalawat serta salam semoga tercurahkan ke pada Nabi
Muhammad SAW. Khususnya kepada penyusun serta selalu memberikan hidayah
dan inayahnya sehingga penyusun dapat membuat makalah ini dengan penuh rasa
syukur dan dapat mengumpulkan makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah yang penyusun buat ini untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Keperawatan Gerotik. Dalam penyusunanya pun penyusun mendapat dukungan
dari dosen pembimbing, teman-teman, referensi buku, e-book, e-journal serta
dukungan dari pihak lain.
Adapun makalah yang penyusun buat belum sepenuhnya sempurna, sehingga
penyusun dengan lapang dada menerima kritik dan saran dari pembaca yang
bersifat membangun sehingga dikemudian hari penyusun dapat membuat makalah
jauh lebih baik dari makalah ini. Penyusun berharap dengan makalah ini dapat
menambah pengetahuan pembaca serta menjadi inspirasi pembaca.

Bandung, Oktober 2021

KELOMPOK 5
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang Masalah


Lansia adalah seseorang yang mencapai umur >60 tahun (UndangUndang
No.13, 1998, dalam Padila, 2013). Proses penuan dalam perjalanan hidup manusia
merupakan suatu hal yang wajar, dan ini akan dialami oleh semua orang yang
diberikan umur panjang, hanya cepat dan lambatnya proses tersebut bergantung
pada masing-masing individu. Perkembangan manusia dimulai dari masa bayi,
anak, remaja, dewasa, tua dan akhirnya akan masuk pada fase usia lanjut dengan
umur diatas 60 tahun. (Khalid, 2012)
Indonesia menempati urutan kelima dengan jumlah lansia terbanyak
didunia setelah Cina (200 juta jiwa), India (110 juta jiwa), Amerika Serikat (36,9
juta jiwa), dan Jepang dengan (20 juta jiwa) lansia. (Kemenkes RI, 2013).
Berdasarkan hasil Susenas (2016), jumlah lansia di Indonesia mencapai 22,4 juta
jiwa atau 8,69% dari jumlah penduduk di Indonesia. Lalu menurut data Kemenkes
RI (2017), jumlah lansia di Indonesia mencapai 9,03% dari jumlah penduduk di
Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara yang akan
memasuki era penduduk menua (aging population) karena jumlah penduduknya
yang berusia 60 tahun ke atas (penduduk lansia) melebihi angka 7 persen. WHO
tahun 2013 menyebutkan bahwa sekitar 200 juta penduduk di seluruh dunia
mengalami Inkontinensia urin, tetapi angka yang sebenarnya tidak diketahui
karena banyak kasus yang tidak dilaporkan. Di Indonesia jumlah penderita
Inkontinensia urin sangat signifikan. Diperkirakan bahwa 25-35% dari seluruh
orang tua akan mengalami inkontinensia urin selama kejadian seumur hidup
Dibandingkan pada usia produksi (Onat, 2014). Inkontinensia urin akan
bertambah berat saat berumur 65-74 tahun. (Aspiani, 2014)
Pelaporan masalah inkontinensia urin sering tidak diberitahukan oleh
pasien ataupun keluarga karena adanya kepercayaan bahwa masalah tersebut
memalukan untuk diceritakan. Menurut Setiati dan Pramantara (2007),
inkotinensia urin merupakan masalah kesehatan pada lansia yang dapat
diselesaikan. Namun, jika inkotinensia urin sudah berkepanjangan, maka akan
mempengaruhi kehidupan seseorang, mengakibatkan masalah kehidupan baik dari
segi medis, ekonomi, sosial, maupun psikologis (Chesor, 2015). Purnomo (2012)
mengungkapkan inkontinensia urin merupakan keluarnya urin yang tidak
terkontrol yang mengakibatkan gangguan hygiene dan social serta dapat
dibuktikan secara objektif. Sedangkan menurut Menurut Shaw & Wagg (2016),
inkontinensia urine diartikan sebagai keluhan terhadap masalah tidak
terkontrolnya pengeluaran urine.
Jatuh merupakan masalah fisik yang sering terjadi pada lansia, dengan
bertambahnya usia kondisi fisik, mental, dan fungsi tubuh pun menurun. Jatuh
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor intrinsik dimana terjadinya
gangguan gaya berjalan, kelemahan otot ekstremitas bawah, langkah yang
pendek-pendek, kekakuan sendi, kaki tidak dapat menapak dengan kuat, dan
kelambanan dalam bergerak, sedangkan faktor ekstrinsik diantaranya lantai yang
licin dan tidak merata, tersandung oleh benda-benda, kursi roda yang tidak
terkunci, penglihatan kurang, dan penerangan cahaya yang kurang terang
cenderung gampang terpeleset atau tersandung sehingga dapat memperbesar
risiko jatuh pada lansia. (Nugroho, 2012)
Salah satu cara non farmakologis untuk menangani inkontinensia urin
pada lansia adalah dengan latihan kandung kemih (Bladder Training). Bladder
Training adalah latihan kandung kemih yang bertujuan mengembangkan tonus
otot dan spingter kandung kemih supaya berfungsi optimal. Terdapat 3 macam
metode Bladder Training, yaitu kegel exercise, delay urination, serta scheduled
bathroom trips. Kegel exercise merupakan latihan penguatan otot-otot dasar
panggul, delay urination merupakan penundaan dalam berkemih, sedangkan
scheduled bathroom trips yaitu penjadwalan berkemih. (Suharyanto & Madjid,
2009)
b. Rumusan Masalah
c. Tujuan Penulisan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Inkontinensia Urin


1. Pengertian
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai semua jenis gangguan dimana urin
hilang secara tidak terkontrol. Inkontinensia urin adalah masalah dan gangguan
umum diantara pasien geriatri. Diperkirakan bahwa 25-35% dari seluruh orang
tua akan mengalami inkontinensia urin selama kejadian seumur hidup (Onat,
2014).
Inkontinensia urin berdasarkan International Continence Society (ICS)
didefinisikan sebagai kehilangan yang tidak disengaja urin yang 26 dapat
ditunjukkan secara objektif dan masalah sosial dan higienis. Inkontinensia urin
adalah masalah medis yang umum terjadi terlihat pada pasien yang menua,
terutama pada wanita. Masalah ini berdampak serius pada fisik (gangguan tidur
dan hubungan seksual), psikologis (kesedihan, depresi, rasa malu), dan
kesejahteraan sosial (stigma sosial, isolasi sosial) (Chairul Rijal dan Surahman
Hakim, 2014).
2. Etiologi
Inkontinensia urine pada umumnya disebabkan karena adanya kelainan
urologis, fungsional atau neurologis. Inkontinensis urine karena kelainan
urologis disebabkan adanya penyakit lain yang mempengaruhi urologi seperti
adanya tumor, batu, dan peradangan. Adanya kelainan-kelainan tersebut
menimbukan gangguan pada fungsi dan hilangnya sensibilitas pada kandung
kemih (Setiati dan Pramantara, 2007).
Seiring dengan bertambahnya usia, terjadi perubahan fungsi dari organ
kemih karena adanya penurunan esterogen, kebiasaan mengejan yang tidak
benar, dan adanya kelemahan pada otot dasar panggul yang disebabkan oleh
menopause, kegemukan, kehamilan, setelah melahirkan, operasi vagina atau
kurangnya aktivitas. Berat badan yang berlebih dan kehamilan dapat menekan
otot dasar panggul sehingga dapat menimbulkan kelemahan.

3. Klasifikasi
Ada beberapa klasifikasi Inkontinensia Urine diantaranya:
a. Inkontinensia Urgensi
Inkontinensia urgensi adalah keluarnya urin tanpa disadari disertai
dengan keinginan untuk miksi yang kuat dan tiba-tiba. Inkontinensia urgensi
disebabkan oleh destrusor yang overaktif, karena hiperrefleksia,
ketidakstabilan, atau hipertonia, yang menyebabkan peninggian tekanan
intravesikal. Hiperrefleksia dan ketidakstabilan detrusor mempunyai
mekanisme yang mirip dalam mengeluarkan urin yaitu kontraksi detrusor
yang tidak terkendali dan tidak terinhibisi. Hipertonia detrusor
menyebabkan keluarnya urin pada kandung kemih yang tidak dapat
meregang (noncompliant) (Abrahams, dkk, 2013).
b. Inkontinensia Overflow
Inkontinensia overflow adalah keluarnya urin secara tidak disadari
dengan kandung kemih yang mengalami overdistensi. Inkontinensia
overflow disebabkan oleh hipertonia detrusor dan arefleksia yang
menyebabkan retensi urin kronis akibat hilangnya kontraksi detrusor yang
disadari untuk mengevakuasi kandung kemih. Selain itu obstruksi jalan
keluar juga menjadi penyebab inkontinensia overflow karena dapat
menyebabkan retensi urin dan menimbulkan inkontinensia overflow melalui
mekanisme yang serupa dengan yang terjadi pada hipotonia atau arefleksia
detrusor (Abrahams, dkk, 2013).
c. Inkontinensia Stres
Inkontinensia stres adalah keluarnya urin secara tidak disadari selama
pengeluaran tenaga fisik (saat aktif). Volume urin yang keluar bervariasi
dari beberapa tetes sampai jumlah yang massif. Pasien biasanya tidak punya
keluhan urologik lainnya. Pada wanita penyebabnya adalah disfungsi
sfingter, karena kekenduran muskulofasial pelvis dan penurunan resistensi
uretra. Riwayat kehamilan yang disertai inkontinensia urine biasanyaa
berpengaruh pada kekenduran pelvis dan inkontinensia stress. Selain itu
dapat pula disebabkan oleh trauma pada uretra proksimal setelah reseksi
atau insisi, akan menimbulkan devaskularisasi pada uretra, uretritis atropik,
serta paralisis sfingter eksternal. Pada pria biasanya disebabkan karena
uretra membranosa yang defektif atau tidak lentur yang disebabkan arena
traima pelvis atau prostatektomi radikal. Paralisis atau kerusakan sfingter
eksternal juga dapat menyebabkan inkontinensia karena penurunan
resistensi uretra secara total (Abrahams, dkk, 2013).
d. Inkontinensia Fungsional
Inkontinensia fungsional yaitu inkontinensia urin yang terlibat pada
pasien dengan fungsi kandung kemih dan uretra yang normal.Inkontinensia
fungsional disebabkan oleh ketidakmampuan untuk memahami perlunya
miksi atau untuk mengomunikasikan sesuai urgensi atau desakan
miksi.Selain itu, Inkontinensia fungsional juga disebabkan oleh faktor-
faktor selain dari disfungsi sistem urinaria.Struktur sistem urinaria utuh dan
fungsinya normal, tetapi faktor eksternal mengganggu
kontinensia.Demensia, gangguan psikologis lain, kelemahan fisik atau
imobilitas, dan hambatan lingkungan seperti jarak kamar mandi yang jauh
adalah salah satu faktor penyebabnya (Abrahams, dkk, 2013).
e. Inkontinensia Kompleks
Inkontinensia kompleks merupakan inkontinensia sekunder karena
gabungan inkontinensa urgensi dan inkontinensia stress. Gangguan ini
menonjol pada lansia terutama wanita. Inkontinensia kompleks biasanya
disebabkan karena pasien tersebut mempunyai inkontinensia stress yang
ringan atau sedang dan berlangsung lama dengan inkontinensia urgensi pada
mula timbul yang lebih lambat (Abrahams, dkk, 2013).
4. Tanda dan Gejala
a. Inkontinensia Urgensi
Menurut Abrahams, dkk (2013):
1) Waktu miksi tidak dapat diperkirakan
2) Beberapa kasus tidak ada tanda peringatan
3) Biasanya disertai keluhan miksi lainnya, paling sering frekuensi setiap
2 jam atau kurang, nokturia, dan perasaan yang mengganggu di
suprapubik.
4) Disuria jika terjadi infeksi saluran kemih atau peradangan pada
kandung kemih atau uretra.
b. Inkontinensia Overflow
Pada inkontinensia overflow biasanya ditandai oleh keluarnya urine
secara tetap dalam jumlah yang kecil, baik secara berkala maupun terus-
menerus (dribbling incontinence) dengan disertai adanya kandung kemih
yang terdistensi. Inkontinensia overflow (inkontinensia paradoksikal)
dapat menyerupai inkontinensia urgensi yaitu akan sering berkemih
(frekuensi) dan keluarnya sejumlah kecil urine secara sering, biasanya
terjadi pada siang maupun malam hari (Abrahams, dkk, 2013).
c. Inkontinensia Stres
Inkontinensia biasanya berkurang atau menghilang pada malam hari saat
pasien di tempat tidur, sebaliknya pada siang hari saat pasien aktif akan
terjadi inkontinensia. Inkontinensia stres 30 terjadi bersamaan dengan
pengerahan tenaga fisik, seperti batuk atau mengangkat barang
(Abrahams, dkk, 2013).
d. Inkontinensia Fungsional
Sejumlah besar cairan dikeluarkan, dengan pengosongan kandung kemih
yang sempurna dan pada situasi dan lingkungan yang tidak sesuai.
Keluarnya urin ini ada yang disadari ada yang tidak disadari (Abrahams,
dkk, 2013).
e. Inkontinensia Kompleks
Gangguan ini menonjol pada lansia terutama wanita. Keluhan yang
timbul mungkin adalah inkontinensia stress atau inkontinensia urgensi
murni, tetapi gejala yang biasa dari keduanya dapat ditemukan pada
riwayat penyakit. Biasanya pasien mempunyai inkontinensia stress yang
ringan atau sedang dan berlangsung lama, dengan inkontinensia urgrnsi
pada mula timbul yang lebih lambat (Abrahams, dkk, 2013).
5. Komplikasi
Komplikasi pada yang terjadi biasa terjadi diantaranya:
a. Kerusakan Kulit
b. Infeksi saluran kemih
c. Infeksi kulit daerah kemaluan
d. Gangguan tidur
e. Masalah psikososial seperti depresi, mudah marah, dan rasa terisolasi
6. Penatalaksanaan
B. Konsep Risiko Jatuh
1. Pengertian
Risiko adalah kesempatan dari sesuatu yang memiliki dampak pada sesuatu
(Anggraeni, Hakim & Widjiati, 2016). Risiko juga dapat diartikan sebagai
kejadian yang memiliki dampak negatif dan merugikan yang dapat mencegah
terciptanya manfaat atau mengkikis manfaat yang telah ada. Risiko dapat
disimpulkan sebagai kejadian yang belum terjadi dan memiliki dampak negatif
dalam berbagai hal. Menurut Vaughan dan Elliott, Resiko adalah potensi
kerugian, kemungkinan kerugian, ketidakpastian, penyimpangan kenyataan
dari hasil yang diharapkan, dan probabilitas bahwa suatu hasil berbeda dari
yang diharapkan (Budiono, 2017). Menurut (Bandiyah, 2009) usia lanjut
adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh semua orang yang
dikaruniai usia panjang, terjadinya tidak bisa dihindari oleh siapapun, namun
manusia dapat berupaya untuk menghambat kejadiannya. Lansia adalah
periode dimana organisme telah mencapai kemasakan dalam ukuran dan fungsi
dan juga telah menunjukkan kemunduran sejalan dengan waktu (WHO, 2009).
Lansia adalah sesuatu yang harus diterima sebagai kenyataan dan fenomena
biologis. Kehidupan itu akan diakhiri dengan proses penuaan yang berakhir
dengan kematian. Penuaan adalah normal dengan perubahan fisik dan tingkah
laku, terjadi pada semua orang saat mencapai usia perkembangan kronologis
tertentu (Rahayu P, 2014).
Jatuh adalah suatu peristiwa di mana seseorang mengalami jatuh denganatau
tanpa disaksikan oleh orang lain, tidak disengaja/ tidak direncanakan, dengan
arah jatuh ke lantai, dengan atau tanpamencederai dirinya. Pehyebab jatuh
dapat meliputi faktor fisiologis (pingsan) atau lingkungan (Iantai yanglicin).
Risiko jatuh adalah pasien yang berisiko untuk jatuh yang
umumnyadisebabkan oleh faktor lingkungan dan faktor fisiologis yang dapat
berakibat cidera. Faktor risiko jatuh dapat dikelompokkan menjadi 2 kategori:
a. Intrinsik:
Berhubungan dengan kondisi pasien, termasuk kondisipsikologis
b. Ekstrinsik:
Berhubungan dengan lingkungan. Selain itu, faktor risiko juga dapat
dikelompokkan menjadi kategori dapatdiperkirakan (anticipated) dan
tidak dapat diperkirakan tunamicipoteds. Faktor risiko yang dapat
diperkirakan rnerupakan hal-hal yang diperkirakan dapat terjadi sebelum
pasien jatuh.
2. Faktor Penyebab
Ada dua faktor utama penyebab jatuh:
a. Faktor Intrinsik (berasal dari tubuh sendiri)
Misalnya: gangguan gaya berjalan, gangguan penglihatan, kekakuan
sendi, kelemahan otot tungkai bawah, nyeri otot dan sendi, pusing,
vertigo (gangguan keseimbangan) dan sinkop (kehilangan kesadaran
secara tiba -tiba.
b. Faktor Ekstrinsik (berasal dari luar tubuh)
Karena lantai yang licin atau tidak rata, tersandung benda seperti keset
tebal atau barang yang di letakkan di lantai, rel pintu geser, hewan
peliharaan, air yang tergenang, dan lain-lain. Lampu ruangan yang
kurang terang atau terlalu silau, adanya anak tangga, karpet yang tidak
dilem dengan baik, kabel listrik yang tidak diletakkan dengan baik,
sandal atau sepatu dan tongkat yang kurang baik. Semua itu dapat
mempermudah jatuhnya lanisa. Disamping itu, jatuh juga dapat terjadi
akibat penyakit lain, seperti serangan jantung mendadak, stroke, kejang,
penyakit infeksi dengan demam, dan lain sebagainya (Dewi, S.R, 2015).
3. Penilaian Risiko Jatuh
Penilaian resiko jatuh untuk mengurangi tingkat kejadian jatuh di rumah
sakit terdapat 38 alat uji, namun 34 alat uji yang terstandarisasi. MFS, HFS dan
penilain standar termasuk alat penilaian yang memenuhi kriteria dan dirancang
untuk membantu menargetkan pasie yang beresiko jatuh terutama pada usia >
65 tahun.
1. Penilaian MFS (Morse Fall Scale)
Skala MFS dinilai secara menyeluruh berkala, diidentifikasi dari tingkat
jatuh skor >45 resiko tinggi, skor 25-44 resiko sedang, skor 0-24 resiko
ringan dan mewakili enam factor yang berkontribusi signifikan terhadap
kemungkinan pasien jatuh.
2. Penilaian HFS (Hendrich fall scale)
Focus penilaian jatuh pada HFS ditentukan dengan 7 item instrumen
yang telah ditetapkan dengan menilai kondisi pasien dan memberikan
skor sesuai dengan keadaan saat dilakukan observasi.
4. Pencegahan Terhadap Risiko Jatuh
Pencegahan risiko jatuh pada lansia dapat dilakukan dengan cara berikut.
a. Mengidentifikasi factor resiko, penilaian keseimbangan, gaya berjalan,
diberikan latihan fleksibilitas gerakan, latihan keseimbangan fisik,
koordinasi keseimbangan serta mengatasi factor lingkungan. Setiap
lansia harus dievaliasi bagaimana keseimbangan badannya dalam
melakukan gerakan pindah tempat dan pindah posisi. Penilaian goyangan
badan sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh, begitu pula
dengan penilaian apakah kekuatan otot ekstermitas bawah cukup untuk
berjalan tanpa bantuan, apakah lansia menapakkan kakinya dengan baik,
tidak mudah goyang, dan mengangkat kaki dengan benar saat berjalan.
b. Memperbaiki kondisi lingkungan yang dianggap tidak aman misalnya
dengan memindahkan benda berbahaya, peralatan rumah dibuat yang
aman (stabil, ketinggian disesuaikan, dibuat pegangan pada meja dan
tangan) serta lantai yang tidak licin dan penerangan yang cukup.
Menanggapi adanya keluhan pusing, lemas atau penyakit yang baru.
Apabila keadaan lansia lemah atau lemas tunda kegiatan jalan sampai
kondisi memungkinkan dan usahakan pelan-pelan jika merubah posisi
(darmojo 2009).
C. Konsep Asuhan Keperawatan Inkontinensia Urine
D. Konsep Asuhan Keperawatan Risiko Jatuh
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dalam asuhan keperawatan melalui
pendekatan proses keperawatan yang bertujuan untuk pengumpulan data
atau informasi, Analisa data, dan penentuan masalah atau diagnosis
keperawatan. Manfaat pengkajian keperawatan adalah membantu
mengidentifikasi status kesehatan, pola pertahanan klien, kekuatan serta
kebutuhan klien serta merumuskan diagnosa keperawatan, yang terdiri dari
tiga tahap, yaitu pengumpulan, pengelompokan dan pengorganisasian serta
menganalisa dan merumuskan diagnosa keperawatan.
a. Anamnesis Unsur-unsur yang harus diperhatikan dalam anamnesis
sebagai berikut:
1) Meliputi klien Meliputi nama, umur, jenis kelamin, Pendidikan,
alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal masuk panti, nomor
register, dan diagnose medis
2) Alasan datang kepanti Meliputi apakah klien masuk kepanti dengan
alasan sudah tidak mempunyai keluarga atau kemauan klien sendiri
3) Keluhan utama Pada umumnya keluhan utama pada kasus arthritis
rematoid dengan resiko jatuh adalah rasa nyeri yang menyebabkan
jatuh. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri
pasien, digunakan:
a) Provoking incident: apakah ada peristiwayang menjadi factor
presipitasi nyeri
b) Quality of pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan pasien.
Umumnya rasa nyeri yang dirasakan psien seperti tertimpah beban
berat atau seperti tertusuk benda tajam
c) Region radiation: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa saki
menjalar/ menyebar dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (scale of pain): seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
pasien. berdasarkan skala nyeri.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam/siang hari.
4) Data Riwayat Kesehatan
a) Riwayat kesehatan sekarang Meliputi:
1) Sumber kecelakaan: penyebab dari sumber masalah
2) Gambaran yang mendalam bagai mana resiko jatuh itu terjadi:
pasien dapat menceritakan bagai mana ia dapat mengalami jatuh
tersebut
3) Factor yang mungkin berpengaruh seperti alcohol, obatobatan
4) Keadaan fisik disekitar
5) Peristiwa yang terjadi saat belum terjatuh sampai terjadinya
jatuh
6) Beberapa keadaan lain yang memperbeat berjalan
b) Riwayat penyakit dahulu Penting untuk menentukan apakah pasien
mempunyai penyakit yang merubah kemampuan gaya berjalan
yang menyebabkan resiko jatuh pada kelien rematoid atritis
c) Riwayat jatuh Anamesis ini meliputi:
1) Seputar jatuh: mencari penyebab jatuh misalnya terpeleset,
tersandung, berjalan, perubahan posisi badan, waktu mau berdiri
dari jongkok, sedang makan, sedang buang air kecil atau besar,
sedang batuk atau bersin.
2) Gejala yang menyertai: nyeri dada, berdebar-debar, nyeri kepala
tiba-tiba, vertigo, pingsan, lemas, sesak nafas.
3) Kondisi komorbid yang releven: pernah stroke, penyakit jantung,
sering kejang, rematik, depresi, deficit sensorik.
4) Riview obat-obatan yang diminum: antihipertensi, diuretic,
autonomic bloker, antidepresan, hipnotik, anxiolitik, analgetik,
psikotropik
d) Riwayat psikososial dan spiritual Peranan pasien dalam keluarga,
status emosi meningkat, interaksi meningkat, interaksi sosial
terganggu, adanya rasa cemas yang berlebihan, hubungan tetangga
yang tidak harmonis, status dalam berkerja. Dan apakah klien rajin
melakukan ibadah sehari-hari
5) Aktivitas/ istirahat Gejala: nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan,
memburuk dengan stres pada sendi, kekakuan pada pagi hari, biasanya
terjadi bilateral dan simetris. limitasi fungsional yang berpengaruh
pada gaya hidup, waktu senggang, pekerjaan, keletihan.
6) Keamanan (spesifikasi pada lansia dirumah)
Gangguan keamanan berupa jatuh dirumah pada lansia memiliki
insiden yang cukup tinggi, banyak diatara lansia tersebiut yang
akhirnya cidera berat bahkan meninggal. Bahaya yang menyebabkan
jatuh cenderung mudah dilihat tetapi sulit untuk diperbaiki, oleh
karena itu diperlukan pengkajian yang spesifik tentang keadaan rumah
yang terstruktur. Contoh pengkajian checklist pencegahan jatuh pada
lansia yang dilakukan oleh departemen kesehatan dan pelayanan
masyarakat amerika.
7) Pemeriksaan fisik
1) Status mental
a) Kesadaran Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan
respon seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat
kesadaran dibedakan menjadi : composmctis, apatis delirium,
samnolen, stupor, dan coma
b) Glas coma scale Skala yang digunakan untuk menilai kesadaran
pasien. respon yang perlu diperhatikan mancapai tiga hal yaitu
reaksi membuka mata, bicara dan motoric. Hasil pemeriksaaan
gcs disajikan dalam bentuk simbul E, V, M dan selanjutnya nilai
gcs tersebut dijumlahkan.
2) Tanda tanda vital Batas suhu normal suhu saat ini irama dan
frekuensi jantung abdomen tekanan darah abdomen, pernafasan
abdomen
3) Integritas ego Gejala: factor-faktor stres akut/kronis: mis, finansial,
pekerjaan, ketidak mampuan, factor-faktor hubungan, keputusan
dan ketidak berdayaan (situasi ketidak mampuan) ancaman pada
konsep diri, citra tubuh, identitas pribadi (misalnya tergantungan
pada orang lain).
4) Makana/cairan Gejala: ketidak mampuan untuk menghasilkan/
mengkonsumsi makanan/cairan adekuat: mual, anoreksia, kesulitan
untuk mengunyah Tanda: penurunan berat badan, kekeringan pada
membran mukosa .
5) Hygiene Gejala: berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas
perawatan pribadi, ketergantungan.
6) Neurosensory Gejala: kebas, semutan, pada tangan dan kaki,
hilangnya sensasi pada jari tangan Tanda: pembengkakan sendi
simetris
7) Nyeri/kenyamanan Gejala: fase akut dari nyeri (mungkin tidak
disertai oleh pembengkakan jaringan lunak pada sendi).
8) Keamanan Gejala: kulit mengkilat, tegang, nodul sukutan, lesi
kulit, ulkus kaki. Kesulitan dalam ringan dalam menangani
tuga/pemeliharaan rumah tangga. Demam ringan menetap
kekeringan pada mata dan memberan mukosa.
9) Interaksi sosial Gejala: kerusakan interaksi sosial dengan keluarga/
orang lain, perubahan peran, isolasi
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnose keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respon
klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialami baik
yang berlangsung actual maupun potensial. Doagnosa keperawatan
bertujuan untuk mengidentifikasi respon klien individu, keluarga dan
komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan (SDKI, 2016)
Dalam Setandar Keperawatan Indinesia (SDKI) yang diterbitkan pada tahun
2016 oleh PPNI (persatuan perawat nasional Indonesia), muncul diagnose
keperawatan dengan kerusakan fisik, yaitu:
a. Nyeri akut
b. Hambatan mobilits fisik
c. Resiko jatuh
1) Definisi: beriko mengalami kerusakan fisik dengan gangguan
kesehatan akibat terjatuh
2) Etiologi
a) Usia > 65 tahun (pada dewasa) atau <2 tahun (pada anak)
b) Riwayat jatuh
c) Anggota gerak bawah prosthesis ( buatan)
d) Pengguanaan alat bantu berjalan
e) Penurunan tingkat kesadaran
f) Perubahan fungsi kognitif
g) Lingkungan tidak aman (licin, gelap, lingkungan asing)
h) Kondisi paska oprasi
i) Hipotensi ortostatik
j) Perubahan kadar glukosa darah
k) Anemia
l) Kekuatan otot menurun
m) Gangguan pendengaran
n) Gangguan keseimbangan
o) Gangguan penglihatan ( katarak, ablasio retina, neuritis aptikus)
p) Neuropati
q) Efek agen farmakologi ( sedasi, alcohol, anasteri umum)

3) Batasan karakteristik
a) Osteoporosis
b) Kejang
c) Penyakit sebrovaskuler
d) Katarak
e) glukoma
f) demensai
g) hipotensi
h) amputasi
i) intoksisasi

3. Perencanaan Asuhan Keperawatan ( NOC&NIC, 2015)


Perencanaan keperawatan adalah pencatatan tentang kegiatan perencanana
keperawatan ( langkah pemecahan serta urutan proritasnya, perumusan
tujuan, perencanaan tindakan , dan penelitian) yang dapat dipertangguang
jawabkan secara massal, teknis, dan hukum yang bertujan untuk
mengomunikasikan secara tertulis langkah yang perlu diambil serta urutan
proritasnya, tujuan yang ingin dicapai, rencana tindakan pemecahan
masalah klien, dan rencana penilaiannya

a) Resiko jatuh
1). Tujuan: klien terbebas dari jatuh dan klien melakukan tindakan
keamana
2). kriteria hasil
a) klien dapat menggunakan alat bantu dengan benar
b) klien dapat menempatkan penompang untuk mencegah jatuh
c) klien dapat memodifikasi lingkungan untuk mencegah jatuh
d) klien dapat menggunakan fasilitas kesehatan yang ada
e) klien dapat menempatkan susunan pegangan tangan sesuai kebutuhan

b) Intervensi keperawatan
1) Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
2) Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan kondisi fisik
dan fungsi kognitif pasien dan riwayat penyakit dahulu pasien
3) Identifikasi factor lingkungan yang memungkinkan resiko jatuh
( misalnya, lantai licin, karpet yang licin, anak tangga tanpa pegangan ,
jendela, dan kolam renang)
4) Menghindarkan lingkungan yang bahaya ( misalnya: memindahkan
perabotan)
5) Bila diperlukan gunakan reteksi fisik untuk membatasi resiko jatuh
6) Memasang side rail tempat tidur
7) Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
8) Menempatkan saklar lampu ditempat yang mudah dijangkau pasien
9) Memberikan penerangan yang cukup
10) Memindahkan barang-barang yang dapat membahayakan
11) Berikan materi edukasi yang berhubungan dengan strategi dan
tindakan untuk mencegah cedera
4. Penatalaksanaan /Impelementasi Impelementasi keperawatan ditunjukan
untuk meningkatkan dan mempertahankan kemanana klien. Karena
sebagian besar tindakan keperawatan dapat diterapkan pada semua
lingkungan, maka intervensi tersebut harus terdiri dari dua bagian, yaitu:
pertimbangan tahap perkembangan dan pelindungan lingkungan. Katagori
pertama dari intervensi mencangkup intervensi yang spesifik untuk
mengurangi resiko pada setiap kelompok perkembangan usia ( potter dan
perry, 2005)
5. Evaluasi Rencana keperawatan yang dirancang untuk mengurangi resiko
cedera pada klien, di evaluasi dengan cara membandingkan kriteria hasil
dengan tujuan yang diciptakan selama tahap perencanaan. Jika tujuan telah
dicapai, maka intervensi keperawatan dengan efektif dan tepat. Jika tidak
tercapai, maka perawat harus menentukan apakah ada resiko baru yang
berkembang pada klien atau apakah resiko sebelumnya tetap ada. 19
Lingkungan yang aman berperan penting dalam meningkatkan,
mempertahankan dan memulihkan kesehatan. Dengan mengguanakan
proses keperawatan perawat mengkaji klien dan lingkungannya untuk
menentukan factor resiko, mengelompokkan factor-faktor resiko, membuat
diagnose keperawatan, merencanakan intervensi yang spesifik, termasuk
Pendidikan kesehatan ( Potter dan Perry, 2005). Evaluasi hasil: a) Klien
dapat mengidentifikasi perasaan internalnya terhadap ansietas dan
menggunakan tindakan koping
b) Klien dapat menjaga kebersihan dan perawatan diri
c) Klien berkomunikasi tanpa menunjukkan pemikiran disosiasi
d) Klien dapat membedakan antara pikiran danperasaan yang distimulasi
dari dalam dirinya dan yang distimulasi dari luar
e) Klien menunjukkan perbaikan interaksi sosial dengan orang lain
f) Klien menunjukkan efek yang sesuai dengan perasaan, pikiran dan
situasi
BAB III
TELAAH JURNAL

N Jurnal dan Validity Importancy Aplicability Hasil


o sumber
1 Pengaruh Senam Penelitian Ini Untuk peneliti ini Berdasarkan
Kegel Terhadap dilakukan di mengurangi mengajarkan penelitian yang
Inkontinensia Balai Sosial inkontensia urine lansia senam dilakukan di
Urin Pada Lansia Lanjut Usia terhadap lansia kegel Balai Sosial
Di Balai Sosial Mandalika sebanyak 2 Lanjut Usia
Lanjut Usia Mataram pada kali sehari Mandalika
Mandalika bulan dalam 3 kali Mataram
Mataram Desember – pertemuan didapatkan hasil:
Januari, 2018- selama terdapat 26
Sumber: 2019 selama 6 seminggu dan lansia yang
Suhartiningsih et minggu. akan mengalami
al. (2021). Desain diobservasi inkontinensia
Pengaruh Senam Penelitian perubahan urin. Data pre
Kegel Terhadap dalam sampai 6 dan post test
Inkontinensia penelitian ini minggu menunjukkan
Urin Pada Lansia adalah Pra perlakuan. inkontinensia
Di Balai Sosial eksperimental Peneliti juga paling banyak
Lanjut Usia dengan melakukan dialami yaitu
Mandalika rancangan one observasi Inkontinensia
Mataram. JISIP group pretest setiap minggu sedang sebanyak
(Jurnal Ilmu dan post test. dan 16 orang lansia
Sosial dan ditemukan (61%), setelah
Pendidikan), 5(3). hasil diberikan senam
perubahan kegel menjadi 8
mulai terjadi orang lansia
di minggu ke (31%) yang
4, 5 atau 6. mengalami
Hal ini sesuai Inkontinensia
dengan Sedang, Data
pendapat kemudian di
Stanley & analisis
Beare, 2006, menggunakan
Peningkatan Uji wilcoxon
dapat dilihat didapatkan nilai
dalam waktu signifkansi 0.00
4-6 minggu yang artinya ≤
peningkatan 0.05 maka dapat
maksimal. disimpulkan
bahwa ada
pengaruh
pemberian
senam kegel
pada lansia yang
mengalami
inkontinensia
urin
2 Desain Untukmengurangi Dalam Berdasarkan
Pengaruh Latihan penelitian ini resiko jatuh pada penelitian ini hasil analisis uji
Keseimbangan menggunakan lansia dengan latihan Wilcoxon Test
(Forward One Group latian keseimbanga pada responden
Stepping) Pretest- keseimbangan n forward diperoleh nilai
Terhadap Risiko Posttest fisik (forward stepping p-value = 0,000
Jatuh Pada Lansia Design. Enam stepping) dilakukan 3 (p < 0,05),
belas lansia kali seminggu sehingga
Sumber: yang selama 4 disimpulna
Rusminingsih et memenuhi minggu bahwa ada
al. (2021). syarat yaitu dengan durasi perbedaan
Pengaruh Latihan usia diatas 65 waktu 15 tingkat resiko
Keseimbangan tahun, dapat menit setiap jatuh pada lansia
(Forward melakukan satu kali sebelum dan
Stepping) aktifitas latihan. P sesudah
Terhadap Risiko seharihari diberikan latihan
Jatuh Pada secara keseimbangan
Lansia. Urecol mandiri, dan (foward
Journal. Part C: tidak stepping).
Health Sciences, mengalami Penelitian lain
1(1), 22-28. gangguan juga
pendengaran menunjukkan
dan hasil bahwa
penglihatan Latihan Fisik
berpartisipasi Lansia (Lafiska)
dalam yang
penelitian ini. didalamnya
penelitian ini terdapat latihan
menggunakan keseimbangan
skala rasio. selama 10 menit
dari total durasi
waktu 50 menit
latihan dapat
menurunkan
risiko jatuh,
peningkatan
status
keseimbangan,
dan peningkatan
status kesehatan
(nilai P <.0001)
BAB IV
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

Aspiani, R. Y. (2014). Asuhan Keperawatan Gerontik. Jakarta: CV Trans Info


Media.
Khalid, M. (2012). Keperawatan Geriatrik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nugroho, W. (2012). Keperawatan Gerontik & Geriatrik, edisi ke-3. Jakarta:
EGC.
Rusminingsih, E., Sawitri, E., & Cahyani, A. D. (2021). The Effect of Balance
Exercise ( Forward Stepping ) on The Risk of Falling in the Elderly
Pengaruh Latihan Keseimbangan ( Forward Stepping ). Urecol Journal. Part
C: Health Sciences, 1(1), 24–29.
Suhartiningsih, S., Cahyono, W., & Egho, M. (2021). Pengaruh Senam Kegel
Terhadap Inkontinensia Urin Pada Lansia Di Balai Sosial Lanjut Usia
Mandalika Mataram. JISIP (Jurnal Ilmu Sosial Dan Pendidikan), 5(3), 268–
273. https://doi.org/10.36312/jisip.v5i3.2170
Suharyanto, T., & Madjid, A. (2009). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Perkemihan (A. Wijaya (ed.); Jakarta). TIM.

Anda mungkin juga menyukai