Anda di halaman 1dari 39

PERUBAHAN FISIK PADA LANSIA DENGAN SISTEM URINARIA

DISUSUN OLEH :

AFIFAH AWALIYAH

FEBRIANI

GABRIELLA INTAN

GIRI NUGRAHA

RAHMADANIL PUTRA

RADIATAN KHLILA

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak
akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Keperawatan Gerontik “Asuhan
Keperawatan Lansia Berhubungan dengan Sistem Kemih”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang
lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Jakarta, 23 September 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada masa lanjut usia secara bertahap seseorang mengalami berbagai kemunduran,
baik kemunduran fisik, mental, dan sosial (Azizah, 2011). Perubahan fisik yang terjadi
pada setiap lanjut usia sangat bervariasi, perubahan ini terjadi dalam berbagai sistem,
yaitu sistem integumen, sistem kardiovaskuler, sistem gastrointestinal, sistem reproduksi,
sistem muskuloskeletal, sistem neurologis, dan sistem urologi. Semua perubahan
fisiologis ini bukan merupakan proses patologis, tetapi perubahan fisiologis umum yang
perlu diantisipasi (Potter & Perry, 2005).

Pada lanjut usia sering terjadi masalah “empat besar” yang memerlukan perawatan
segera, yaitu : imobilisasi, ketidakstabilan, gangguan mental, dan inkontinensia. Bagi
lanjut usia masalah inkontinensia merupakan masalah yang tidak menyenangkan
(Watson, 2003). Masalah inkontinensia tidak disebabkan langsung oleh proses penuaan,
pemicu terjadinya inkontinensia pada lanjut usia adalah kondisi yang sering terjadi pada
lanjut usia yang dikombinasikan dengan perubahan terkait usia dalam sistem urinaria
(Stanley & Beare, 2007).

Masalah yang sering dijumpai pada lanjut usia adalah inkontinensia urin.
Inkontinensia urin merupakan keluarnya urin yang tidak terkendali dalam waktu yang
tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya yang akan
menyebabkan masalah sosial dan higienis penderitanya. Selain masalah sosial dan
hieginis inkontinensia urin mempunyai komplikasi yang cukup serius seperti infeksi
saluran kemih, kelainan kulit, gangguan tidur, problem psikososial seperti depresi, mudah
marah dan terisolasi (Setiati, dkk, 2007). Inkontinensia urin merupakan masalah yang
belum terselesaikan pada lanjut usia. Inkontinensia urin pada lanjut usia dapat
menimbulkan masalah baru bagi lanjut usia, oleh karena itu inkontinensia memerlukan
penatalaksanaan tersendiri untuk dapat diatasi (Purnomo, 2008).

Terapi inkontinensia urin secara dini dan efektif diperlukan untuk mengembalikan
fungsi fisik dan emosional bagi lanjut usia yang mengalami inkontinensia urin. Adapun
penatalaksanaan nonfarmakologi dari inkontinensia urin adalah dengan latihan bladder
training yang merupakan terapi yang paling efektif. Tujuan dari terapi ini untuk
memperpanjang interval berkemih yang normal dengan teknik distraksi atau teknik
relaksasi sehingga frekuensi berkemih hanya 6-7 kali per hari atau 3-4 jam sekali. Teknik
ini terbukti bermanfaat pada inkontinensia urgensi dan stress, namun untuk itu diperlukan
motivasi yang kuat untuk berlatih menahan keluarnya urin dan hanya berkemih pada
interval waktu tertentu saja. Latihan kandung kemih (bladder training) lebih mudah dan
lebih cocok untuk dilakukan oleh lansia dibandingkan terapi nonfarmakologi lainnya,
seperti latihan otot dasar panggul, habit training, promted voiding, terapi biofeedback,
stimulasi elektrik, neuromodulasi, penggunaan kateter menetap (indwelling catheter)
(Setiati, dkk, 2007).

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan lansia (lanjut usia)?
2. Apa yang dimaksud dengan inkontinensia?
3. Bagaimana penanganan inkontinensia?
4. Adakah jenis dari inkontinensia?
5.

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian lanjut usia
2. Mengetahui tentang inkontinensia
3. Mengetahui cara mengatasi inkontinensia
4. Mengetahui jenis-jenis inkontinensia
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Lanjut Usia (Lansia)

Menurut UU No. 4 tahun 1969 yang termuat dalam pasal 1 seseorang dikatakan lansia
setelah 55 tahun, tidak mampu atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan
hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain (Nugroho, 1955). Menurut
organisasi kesehatan dunia dan undang-undang No. 13 tahun 1998 seseorang dikatakan
lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas bisa disebutkan bahwa yang disebut lansia
adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas. Dimana pada masa ini seseorang
mengalami kemunduran fisik, mental, sosial dan spiritual yang akan mempengaruhi semua
aspek kehidupan yang akan dialami oleh semua orang karena lansia merupakan tahapan dari
hidup manusia yaitu lanjutan dari usia dewasa.

Berbagai masalah fisik / biologis dan sosial akan muncul pada lanjut usia sebagai proses
menua atau penyakit degenerative yang muncul seiring dengan menuanya seseorang. Menua
merupakan proses yang alamiah yang akan dialami oleh setiap individu. Hal ini ditandai
dengan penurunan kemampuan tubuh dalam penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan
terkait usia. Perubahan-perubahan terkait usia meliputi perubahan fisik, perubahan mental,
perubahan psikososial, dan pekembangan spiritual (Nugroho, 2000).

A. Mekanisme Berkemih

Proses berkemih yang normal adalah suatu proses dinamik yang secara fisiologik
berlangsung di bawah kontrol dan koordinasi sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi di
daerah sakrum. Saat periode pengeisian kandung kemih, tekanan didalamnya tetap rendah
(dibawah 15 mmH2O).
Sensasi pertama ingin berkemih biasanya timbul pada saat volume kandung kemih
normal bervariasi sekitar 300-600 ml. umumnya kandung kemih dapat menampung urin
sampai lebih kurang 500 ml tanpa terjadi kebocoran.

Bila proses berkemih terjadi, otot-otot destrusor dari kandung kemih berkontraksi,
diikuti relaksasi dari sfringter dan uretra (Van der Cammen, dkk). Secara sederhana dapat
digambarkan, saat proses berkemih dimulai tekanan dari otot-otot destrusor kandung
kemih meningkat melebihi tahanan dari muara uretra dan urin akan memancar keluar
(Reuben, dkk).

Secara garis besar, proses berkemih diatur oleh pusat refleks kemih di daerah
sacrum. Jaras eferen lewat persarafan somatic dan otonom, membawa informasi tentang
isi kandung kemih ke medulla spinalis sesuai pengisian kandung kemih.

Tonus simpatik akan menyebabkan penutupan kandung kemih dan menghambat


tonus parasimpatik. Pada saat proses berkemih belangsung, tonus simpatik menurun dan
peningkatan rangsang parasimpatik mengakibatkan kontraksi kandung kemih. Semua
proses ini berlangsung di bawah koordinasi dari pusat yang lebih tinggi pada batang otak,
otak kecil dan korteks serebri. Sehingga proses patologik yang mengenai pusat-ousat ini
misalnya stroke, sinreoma Parkinson, demensia dapat menyebabkan inkontinensia.

B. Mekanisme Detrusor

Otot destrusor kandung kemih merupakan otot-otot yang berayaman dan bersifat
kontraktril. Mekanisme detrusor melibatkan otot detrusor, persyarafan pelvis, medulla
spinalis dan pusat-pusat di otak yang mengatur proses berkemih. Bila kandung kemih
makin terisi dengan urin, sensasi syaraf diteruskan lewat persyarafan pelvis dan medulla
spinalis ke pusat-pusat sub-kortikal dan korteks. Pusat sub-kortikal di ganglia basalis
pada serebellum memerintahkan kandung kemih untuk relaksasi; dengan demikian proses
pengisian berlanjut tanpa rang mengalami sensasi untuk berkemih. Bila pengisian
berlanjut, perasaan regangan kandung kemih mencapai pusat kesadaran.
Selanjutnya pusat di korteks dilobus frontalis akan mengatur untuk menunda
berkemih. Gangguan pada pusat-pusat di korteks atau sub-kortikal ini akibat penyakit
atau obat-obatan yang dapat menurunkan kemampuan untuk menunda berkemih.

Bila dikehendaki untuk berkemih, rangsang dari korteks diteruskan lewat medulla
spinalis dan persyarafan pelvis mengakibatkan kontraksi dari otot-ototdetrusor. Kerja
kolinergik dari persyarafan pelvis mengakibatkan kontraksi dari otot-otot detrusor.
Gangguan pada aktifitas kolinergik daro persyarafan pelvis ini mengakibatkan penurunan
kontraktilitas otot-otot detrusor. Otot-otot ini juga mempunyai reseptor untuk
prostaglandin, sehingga obat-obat yang menghambat prostaglandin dapat mengganggu
kerja detrusor. Kontraksi kandung kemih juga tergantung pada kerja ion kalisium,
sehingga penghambat kalsium juga dapat mengganggu kontraksi kandung kemih.

C. Mekanisme Sfingter

Inervasi dari sfingter interna dan eksterna juga kompleks. Walaupun demikian,
untuk memberikan obat yang tepat dibutuhkan pemahaman dari persyarafan adregenik
dari sfingter-sfingter ini serta hubungan anatomic dari urethra dan kandung kemih.

Aktifitas alfa adregenik meyebabkan sfingter urethra berkontarksi. Karenanya


obat-obat yang bersifat alfa adregenik agonis, misalnya pseudoefedrin, dapat memperkuat
kontraksi sfingter. Sedangkan obat-obat penghambat alfa misalnya terazozin dapat
mempengaruhi penutupan sfingter. Inervasi beta adrenergic menyebabkan relaksasi dari
sfingter urethra dan mengakibatkan aktifitas kontraksi dari obat-obat alfa adrenergic tidak
ada yang menghambat.

Komponen lain dari mekanisme sfingter adalah hubungan anatomik antara urethra
dengan kandung kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter yang terkendali
membutuhkan sudut yang tepat antara urethra dan kandung kemih. Fungsi sfingter yang
normal juga tergantung dari posisi yang tepat dari urethra, sehingga peningkatan tekanan
intar-abdominal dapat secara efektif di teruskan ke urethra. Bila urethra dalam posisi
yang tepat, urin tidak akan keluar dengan mengejan, batuk, dan lain-lain gerakan yang
meningkatkan tekanan dalam perut.
Secara umum, dengan bertambahnya usia, kapasitas kandung kemih menurun.
Sisa urin dalam kandung kemih, setiap selesai berkemih, cenderung meningkat dan
kontraksi otot-otot kandung kemih yang tidak teratur makin sering terjadi. Kontraksi-
kontraksi involunter ini ditemukan pada 40-75% orang lanjut usia yang mengalami
inkontinensia (Reuben, dkk).

Pada wanita, menjadi lanjut usia juga berakibat menurunnya tahanan pada urethra
dan muara kandung kemih. Ini berkenaan dengan berkurangnya kadar estrogen dan
melemahnya jaringan/otot-otot panggul karena proses melahirkan, apalagi bila disertai
tindakan-tindakan berkenaan dengan persalinan tersebut.

Menurunnya pengaruh dari estrogen pada lanjut usia, juga dapat meyebabkan
vaginitis atropi dan trehritis sehingga terjadi keluhan-keluhan disuri misalnya polakisuri
dan dapat mencetuskan inkontinensia.

Pada pria, pembesaran kelenjar prostat pada saat lanjut usia, mempunyai potensi
untuk mnyebabkan inkontinensia (Kane, dkk).

D. Penyebab dan Tipe Inkontinensia

Mengetahui penyebab inkontinensia sangat penting untuk pengelolaan yang tepat.


Pertama-tama harus diusahakan membedakan apakah penyebab inkontinensia berasal
dari: (Whitehead, Fonda)

a. Kelainan urologic; misalnya radang, batu, tumor, divertikel


b. Kelainan neurologic; misalnya stroke, trauma pada medulla spinalis, demesia, dll
c. Lain-lain; misalnya hambatan mobilitas, situasi tempat berkemih yang tidak
memadai/jauh dan sebagainya.

Kemudian harus diteliti lagi, apakah: (Kane, dkk.: Reuben, dkk)

1. Inkontinensia terjadi secara akut, yang biasanya reversible. Inkontinensia yang


terjadi secara akut ini, terjadi secara mendadak, biasanya berkaitan dengan sakit
yang sedang diderita atau masalah obat-obatan yang digunakan (iatrogenic).
Inkontinensia akan membaik, bila penyakit akut yang diderita sembuh atau obat
penyebab dihentikan.
2. Inkontinensia yang menetap/kronik/persisten, tidak berkaitan dengan
penyakit-penyakit akut maupun obat-obatan, dan inkontinensia ini berlangsung
lama.
E. Inkontinensia Akut

Untuk memudahkan mengingat mavam inkontinensia yang akut dan biasanya


reversible, antara lain dapat memanfaatkan akronim DRIP, yang merupkan kependekan
dari: (Kane, dkk)

D: Delirium

R: Retriksi mobilitas, retensi

I: Infeksi, inflamasi, impaksi fets

P: Pharmasi (obat-obatan), poliuri

Penggunaan kata DIAPPERS juga dapat membantu mengingat sebaigan besar


dari penyebab inkontinensia ini.

Delirium: kesadaran yang merunun berpengaruh pada tanggapan rangsang berkemih,


serta mengetahui tempat berkemih. Delirium merupakan penyebab utama dari
inkontinensia bagi mereka yang dirawat di Rumah Sakit, bila delirium membaik,
inkontinensia pulih juga.

Infection: infeksi saluran kemih sering berakibat inkontinensia; tidak demikian denga
bakteriuri yang asimtomatik.

Atrophic vaginitis dan atrophic urethritis: pada umumnya atropic vaginitis dan disertai
atrophic urethritis dan keadaan ini menyebabkan inkontinensia pada wanita. Biasanya ada
respons yang baik dengan sediaan estrogen oral setelah beberapa bulan pemakaian.
Penggunaan topical kurang nyaman dan lebih mahal.
Pharmaceuticals: obat-obatan merupakan salah satu penyebab utama dari inkontinensia
yang sementara, misalnya diuretika, antikolinergik, psikotropik, analgesic opioid, alfa
bloker pada wanita, alfa agonis pada pria, dan penghambat kalsium.

Psychologic factors: depresi berat dengan retardasi psikomotor dapat menurunkan


kemampuan atau motivasi untuk mencapai tempat berkemih.

Excess urine output: pengeluaran urin berlebihan dapat melampaui kemampuan orang
usia lanjut usia lanjut mencapai kamar kecil. Selain obat-obat diuretika, penyebab lain
yang sering misalnya pengobatan gagal jantung, gangguan metabolic seperti
hiperglikemia ataupun terlalu banyak minum.

Restricted mobility: hambatan mobilitas untuk mencapai tempat berkemih. Bila mobilitas
belum dapat ditingkatkan, penyediaan urinal atau komodo, dapat memperbaiki
inkontinensia.

Stool impaction: impaksi feses juga merupakan penyebab yang sering dari inkontinensia
pada mereka yang dirawat atau immobile. Bila obstipasi diatasi, akan memulihkan
kontinens lagi.

F. Inkontinensia yang Menetap

Penyebab dari inkontinensia yang menetap (persisten) harus dicari, setelah


penyebab dari inkontinensia yang sementara sudah diobati dan disingkirkan. Secara
umum penyebab inkontinensia yang menetap adalah akibat:

1. Aktifitas detrusor berlebihan (Over Active Bladder, inkontinensia tipe urgensi): aktifitas otot
detrusor yang berlebihan menyebabkan kontraksi yang tidak terkendali dari kandung kemih
dan berakibat keluarnya urin. Kelainan ini merupakan penyebab utama dari inkontinensia
urin pada lanjut usia, mencapai 2/3 nya.
2. Aktifitas detrusor yang menurun (inkontinensia tipe overflow/luapan): inkontinensia ini
paling jarang dijumpai. Dapat idiopatik, atau akibat gangguan persyarafan sacrum.
(neurogenic bladder). Bila mengakibatkan inkontinensia, ditandai dengan sering berkemih,
malam hari lebih sering, dengan jumlah urin sedikit-sedikit/kecil. Sisa urin residu setelah
berkemih (biasanya sekitar 450 cc) membedakannya dari inontinensia tipe urgensi dan tipe
stress.
3. Kegagalan urethra (inkontinensia tipe stress): penyebab utama nomor dua setelah aktifitas
detrusor yang berlebihan, terutama pada wanita lanjut usia. Inkontinensia ini ditandai dengan
kebocoran urin pada saat aktifitas. Urin dapat keluar saat tertawa, bersin, batuk atau
mengangkat benda berat. Keluarnya urin ini lebih mencolok pada siang hari, kecuali terdapat
bersama-sama inkontinensia urgensi yang sering ada bersamaan.
4. Obstruksi urethra: pembesaran kelenjar prostat, striktura urethra, kanker prostar adalah
penyebab yang biasa didapatkan dari inkontinensia pada pria lanjut usia. Dpat tampak urin
menetes saat berkemih.

G. Tipe Fungsional

Cara sederhana untuk mencari penyebab dari inkontinensia pada usia lanjut
adalah dengan memperhatikan tiga hal yang berkemih secara normal, yaitu:

1. Tahu dimana tempat berkemih


a. Dapat mencapai tempat tersebut
2. Dapat menahan untuk tidak berkemih sebelum sampai tempatnya

Inkontinensia urin tipe fungsional ditandai dengan keluarnya urin secara dini, akibat
ketidakmampuan menncapai tempat berkemih secara gangguan fisik atau kognitif
maupun macam-macam hambatan situasi/lingkungan yang lain, sebelum siap untuk
berkemih. Faktor-faktor psikologi seperti marah, depresi juga dapat menyebabkan
inkontinensia tipe fungsional ini.

H. Pengelolaan Inkontinensia Urin


1. Teknik Latihan Perilaku (Behavioral Treatments)

Teknik latihan ini membutuhkan instruksi yang cermat pada penderita.


Edukasi pada penderita meliputi latihan kandung kemih, latihan menahan
dorongan untuk berkemih dan latihan dasar panggul.

a. Latihan kandung kemih (bladder training)


Latihan kandung kemih mengikuti suatu jadwal yang ketat untuk ke kamar
kecil/berkemih. Jadwal dimulai dengan ke kamar kecil tiap dua jam, dan
waktunya makin ditingkatkan. Makin lama waktu yang dicapai untuk
berkemih, makin memberikan peningkatan control terhadap kandung kemih.
Latihan kandung kemih terbukti efektif baik untuk inkontinensia tipe stress
maupun urgensi. Latihan kandung kemih ini mempunyai sasaran:

 Memperpanjang waktu untuk ke kamar kecil


 Meningkatkan jumlah urin ya ng ditahan oleh kandung kemih
 Meningkatkan control pada dorongan/rangsangan berkemih menurut
jadwa;, dan tidak begitu saja dorongan berkemih datang
 Mengurangi atau menghilangkan inkontinensia.

Cara melakukan latihan kandung kemih:

 Dimulai dengan membuat catatan harian untuk berkemih. Catat kunjungan


ke kamar kecil dan kebocoran urin selama satu minggu. Sedapatnya ukur
urin yang keluar, ini dapat menggambarkan jumlah urin yang dapat
ditahan.
 Pada minggu 1 gunakan kamar kecil ketat menurut jadwal.

Bila datang dorongan untuk berkemih, pakai cara teknik menahan rangsangan tersebut,
dan sampai jadwal berikutnya untuk berkemih, silahkan berkemih tetapi peristiwa ini
dicatat pada jadwal berkemih.

 Tiap minggu, tingkatkan jadwal berkemih 15 sampai 30 menit sesuai yang


dapat di toleransi. Seiring dengan perbaikan inkontinensia, jadwal terus di
tingkatkan. Untuk kebanyakan orang, kunjungan ke kamar kecil tiap 3-6
jam sangat diharapkan, biarpun sekitar 3 jam sudah cukup baik.
 Catat jumlah urin yang bocor, berapa jumlahnya, banyak atau beberapa
tetes. Saat sedang datang dorongan untuk berkemih, dapat menggoda
seseorang untuk tergesa-gesa ke kamar kecil guna mencegah
inkontinensia. Respon ini dapat lebih merugikan, karena kandung kemih
dapat lebih terangsang dengan gerakan tergesa-gesa ke kamar ekcil tadi.
b. Latihan menahan dorongan untuk berkemih.
Untuk mendapatkan control atas kandung kemih, cara berikut dapat
dipakai saat sedang datang dorongan berkemih
 Berdiri tenang atau duduk diam, lebih baik jika kaki disilangkan. Tindakan
ini mencegah rangsang berlebihan dari kandung kemih.
 Tarik nafas teratur dan rileks.
 Kontraksikan otot-otot dasar panggul beberapa kali. Ini akan membantu
menutup urethradan menenangkan kandung kemih.
 Alihkan pikiran ke hal lain, untuk menjauhkan perhatian dari dorongan
berkemih.
 Bila rangsang berkemih sudah menurun, jangan ke toilet sebelum jadwal
berkemih.
c. Latihan otot dasar panggul (Sandvik, H:2004)
Tahun 1948, Arnold Kegel melaporkan perbaikan/kesembuhan sampai
84% dengan latihan otot dasar panggul untuk wanita dengan macam-macam
tipe inkontinensia. Otot pelvis, seperti otot-otot yang lain, dapat menjadi
lemah. Latihan otot-otot pelvis memperkuat otot-otot yang lemah sekitar
kandung kemih. Untuk identifikasi otot yang tepat, bayangkan kita sedang
menahan untuk tidak flatus. Otot yang dipakai untuk menahan flatus adalah
otot yang ingin kita latih.
 Lakukan latihan otot dasar panggul beberapa kali sehari sekitar sepuluh
menit
 Praktekan setiap waktu dan tempat. Paling baik saat berbaring ditempat
tidur. Setelah menguaisai metodenya, lakukan juga duduk dan berdiri.
 Jangan memakai oto-otot perut, paha dan betis saat latihan dan
bernapaslah biasa saja.

Setelah 4-6 minggu melakukan latihan ini dengan teratur, akan terasa
berkurangnya kebocoran urin.
Semua latihan diatas akan memberikan control yang baik terhadap kandung
kemih. Biarpun memekan waktu dan kesabaran, hasilnya cukup memuaskan.

2. Obat

Terapi dengan menggunakan obat obatan diberikan apabila masalah akut sebagai pemicu
timbulnya Inkontinensia urine telah diatasi dan berbagai upaya bersifat non farmakologi telah
dilakukan tetapi tetap tidak berhasil mengatasi masalah Inkontinensia tersebut. Pemberian obat
pada Inkontinensia urine disesuaikan dengan tipe Inkontinensia urinenya. Obat-obatan yang bisa
digunakan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Obat Obat untuk Mengobati Inkontenensia Urine ( Reuben et al, 1996)

Jenis Obat Mekanisme Tipe Efek samping Nama Obat dan


Inkontinensi Dosis
a
Antikolirgeni Meningkatka Urgensi atau Mulut kering , Oksibutinin : 2,5-5
k dan n kapasitas stress penglihatan kabur, mg
antispasmodi vsika urinria. dengan peningkatan TIO, Toiterodine : 2mg
c Mengurangi instabilitas konstipasi dan delirium bid
involunter detrusor atau Propanthelin : 15 –
vesikaurinaria hiperrefleksi 30 mg tid
. a Dicyclomine : 10 –
20mg
Imipramine : 10 – 50
mg tid
ꭤ- Meningkatka Tipe stress Sakit kepala, takikkardi, Pseudofedrin 15 –
Adrenergik n kontraksi dengan peningkatan tekanan 30 mg tid
agonis otot polos kelemahan darah Phenylpropanolamin
urethra sphineter e : 75 mg bid
Imipramine : 10 -50
mg tid
Estrogen Meningkatka Tipe stress, Kanker endometria, Oral : 0,625 mg/hr
agonis n aliran darah tipe urgensi peningkatan TD, batu Topical : 0,5 – 1,0 gr
periurethra yang saluran kemih per aplikasi
berhubungan
dengan
vaginitis
atropi
Kolinergik Menstimulasi Tipr luapan Bradikardi, Bethanechol : 10 –
agonis kontraksi atau hipotensi,bronkokontriks 30 mg tid
vesica overflow i,
urinaria engan vesika Sekresi asam lambung
urinaria
atonik
ꭤ- Merelaksasi Tipe luapan Hipotensi postural Terasozine : 1- 10
Adrenergik otot polos dan urgensi mg/hari
antagonis urethra dank yang
kapsul prostat berhubungan
dengan
pembesaran
prostat

3. Pembedahan

Pembedahan merupakan pilihan terakhir untuk masalah Inkontinensia yang tidak berhasil diatasi
dengan teknik latihan perilaku, obat-obatan ataupun dengan memanfaatkan alat alat bantu untuk
meminimalkan problem Inkontinensia. Dapat juga merupakan pilihan penderita sendiri walaupun
hampir semua penderita tidak menyukai tindakan pembedahan. Beberapa tindakan pembedahan
a.l. spincterectomi, operasi prostat atau operasi pada porlaps Rahim.

Untuk kasus-kasus tertentu, dibutuhkan konsultasi dengan bidang ilmu khusus misalnya bagian
Kebidanan dan Penyakit Kandungan bagian bedah urologi dan lain-lain. (kane dkk; Reuben dkk)
Perhatian khusus harus diberikan pada pengelolaan Inkontinensia akut yang biasa didapatkan
pada penderita yang dirawat di Bangsal Akut. Inkontinensia ini biasanya hanya sementara bila
dikelola dengan baik. Sebaliknya pengelolaan yang tidak tepat dapat menyebabkan Inkontinensia
menjadi menetap (kane dkk)

Yang sering dikerjakan pada penderita lanjut usia dengan Inkontinensia adalah memasang
kateter secara menetap. Untuk beberapa pertimbangan, misalnya memantau produksi urine dan
keperluan mengukur Balance cairan hal ini masih dapat diterima. Tetapi sering alasan
pememasang kateter ini tidak jelas dan mengundang resiko untuk terjadi komplikasi umumnya
adalah infeksi. ( kane dkk)

Ada tiga macam cara kateterisasi pada Inkontinensia urine (Reuben Dkk) :

a. Kateterisasi luar :

Terutama pada pria dengan memakai sistem kateter kondom. Efek samping yang terutama
adalah iritasi pada kulit, dan sering lepas. Tetapi ada juga laporan yang menunjukkan
insiden infeksi saluran kemih meningkat dengan kateterisasi macam ini. Metode ini hanya
dianjurkan pada pria yang tidak menderita retensio urine dan mobilitasnya masih cukup
baik. Kateter eksternal semacam ini untuk wanita mulai diperkenalkan, tetapi manfaatnya
masih belum memuaskan.

b. Kateterisasi intermiten

Kateterisasi secara intermiten dapat dicoba, terutama pada wanita lanjut usia yang menderita
Inkontinensia. Frekuensi pemasangan nya 2 hingga 4 kali sehari, dengan sangat
memperhatikan sterilitas dan teknik prosedurnya.

c. Kateterisasi secara menetap : (chronic indwelling catheter)

Pemasangan kateter secara menetap harus benar-benar dibatasi pada indikasi yang tepat.
Misalnya, untuk ulkus decubitus yang terganggu penyembuhannya karena adanya
inkontinensia urin ini. Komplikasi dari kateterisasi secara terus menerus ini disamping
infeksi, juga mungkin menyebabkan batu kandung kemih, abses ginjal dan bahkan proses
dari keganasan dari saluran kemih.

Lebih rumit dan membutuhkan biaya serta tenaga untik memakai pembalut khusus serta alas
tempat tidur dengan bahan yang baik daya serapnya, dan memprogramkan penderita untuk
berkemih. Untuk jangka Panjang, diharapkan risiko morbiditas yang menurun, dan dengan
begitu juga berpengaruh pada penurunan biaya perawatan. (Kane, dkk).

Produk untuk inkontinensia dapat diberikan untuk meningkatkan kenyamanan dan percaya
diri. Memilih produk merupakan hal tidak mudah. Aneka produk yang mengikuti
perkembangan teknologi, kadang tidak diserta dengan petunjuk untuk memakainya. Factor
yang mempengaruhi pemilihan produk antara lain tingkat keparahan inkontinensia,
efektivitas, pola hidup, penampilan, harga, kemudahan cara pakai dan penyediaannya.
Produk untuk inkontinensia dibagi menjadi beberapa jenis:

1. Penyerapan
2. Drainase/penyalur urin
3. Penyekat urin
4. Alat bantu berkemih di kamar kecil
5. Alat pelengkap untuk terapi perilaku
6. Alat perawatan kulit

Contoh produk yang tersedia untuk membantu penderita dengan inkontinensia urin:

a. Produk penyerap gunanya untuk menyerap dan menampung ke bocoran urin. Produk ini
membantu untuk kontinens social: ada dua macam
 Penyerapan di tempat tidur
 Dipakai sebagai pakaian dalam

Produk ini terdiri dari 3 lapisan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Urin dijauhkan
dari kulit dan diserap lapisan penyerap sehingga kulit tetap kering. Jenis penyerapan ada
yang sekali pakai atau digunakan lagi, ada juga penggunaannya siang atau malam. Hal yang
harus diperhatikan adalah menjaga kesehatan kulit, jangan sampai terjadi dermatitis atau
kerusakan kulit. Factor yang menganggu system pertahanan kulit adalah over hidrasi dan
peningkatan temperature kulit. Ini bisa disebabkan penyerapan yang dipakai untuk
menghindarkan ini jangan terlalu erat pemakainnya. Untu pendeita stroke dengan kelemahan
sesisi, lebih sesuai memakai penyerap yang dapat dibuka dengan satu tangan.

 Simulasi eletrik
 Dipakai suatu probe lewat anal atau rektal untuk merangsang syaraf pudendus,
mengakibatkan kontraksi maksimal otot dasar panggul dan relaksasi otot detrusor. Ini
dapat menolong penderita dengan kelemahan otot dasar panggul yang berat atau aktifitas
berlebihan dari otor kandung kemih yang tidak respons terhadap terapi perilaku atau
obat-obatan.
 Pessarium

Pessarium ada beberapa ukuran dan bentuk, ditempatkan di vagina untuk


mengurangi/mencega prolapse Rahim

 Klem penis

Untuk penderita sehabis operasi prostat dan masih ada kebooran urun saat aktifitas. Klem
dibuka saat mau berkemih dan waktu tidur.

 Kateter

Penggunaan kateter menyebabkan morbiditas yang meningkat. Dapat terjadi bakteri


polimikrobial, panas, nefrolotasis, batu kandung kemih dan pielonefritis. Kondom kateter juga
dapat menyebabkan bakteri, infeksi, selulitis dan nekrosis, retensi urin dengan hidronefrosis.
Mengganti kateter tiap 7-10 hari mengurangi risiko. Bila semuanya baik mungkin kateter
dapat dipertahankan sampai 30 hari. Kateterisasi intermittent membutuhkan keterampilan dan
kemauan penderita, serta kebersihan dan dekontiminasi/antiseptic regular jangka pendek bila
retensi urin tidak dapat diatasi dengan obat-obatan, bila dibutuhkan agar luka yang ada kering,
atau penderita dengan sakit terminal yang tidak dapat terlalu sering diganti pakaiannya.

4. Perubahan Terkait Usia Pada Sistem Urinaria

Penyimpanan dan pengeluaran urine dalam interval yang sesuai adalah suatu pr.oses koordinasi
volunteer dan involunter yang rumit. Sistem tersebut harus untuk secara fisik dan neurologis dan
harus terdapat kesadaran kognitif dari keinginan untuk berkemih dan tempat serta situasi yang
tepat untuk melakukannya.

Kandung kemih diisi dengan kecepatan 2mL/menit. Otot kandung kemih (detrusot) relaksasi
untuk mengakomodasi peningkatan volume. Ketika sfingter eksternal pada otot-otot dasar
panggul konstriksi sehingga kebocoran tidak terjadi. Kapasitas kandung kemih yang normal
sekitar 300-600mL, dengan sensasi keinginan untuk berkemih diantara 150 dan 350mL.
berkemih dapat ditunda 1 sampai 2 jam sejak keinginan berkemih dirasakan. Ketika berkemih
atau miksi terjadi, otot detrusor kontraksi dan sfingter internal dan eksternal relaksasi, yang
membuka utera. Pada orang dewasa muda, hampir semua urine dikeluarkan dalam proses ini.
Pada lansia, tidak semua urine dikeluarkan , tetapi residu urine dengan volume 50mL atau
kurang dianggap adekuat. Jumlah yang lebih dari 100mL mengindikasikan adanya retensi urine
secara signifikan.

Secara neurologi, jalur untuk relaksasi dan kontraksi adalah dalam medulla spinalis pada pusat
miksi sakral (S2-S4) dan dalam T11 sampai L2. Pengendalian yang terlokalisasi digantikan oleh
pusat kendali kandung kemih dalam kortek selebral dan oleh batang otak. Gangguan pada titik
apapun dari sistem ini memiliki konsekuensi untuk kontinensia. Sebagai contoh, pasien demensia
dengan kehilangan kognitif tidak lagi mengalami hambatan social dalam berkemih di koridor
ruangan dengan adanya orang lain di sekitarnya.

Perubahan yang pada umumnya menyertai penuaan, termasuk kapasitas kandung kemih yang
lebih kecil, peningkatan volume residu dan kontraksi kandung kemih yang tidak disadari. Pada
wanita lansia, penurunan produksi esterogen menyebabkan atrofi jaringan uretra dan efek akibat
melahirkan dapat dilihat pada melemahnya otot-otot dasar panggul. Pada pria lansia, hipertrofi
prostat menyebabkan tekanan pada leher kandung kemih dan uretra. Penurunan waktu reaksi
dapat juga mempengaruhi pengendalian neurologis pada kandung kemih. Atroffi otot-otot akibat
penurunan secara umum mempengaruhi otot-otot kandung kemih, sehingga kontraksi tidak
sekuat pada saat usia muda.
Perubahan struktur dan fungsi pada penuaan sistem renal dan urinaria dalam tabel :

Perubahan struktur Perubahan fungsi


Membrana basalis glomelurus menebal. GFR sering menurun.
Total permukaan glomerular berkurang. Kemampuan konsentrasi menurun.
Nokturia sering terjadi.
Panjang dan volume tubulus proksimal Serum kreatinin tetap sama.
menurun. Kecendrungan kehilangan garam telah
Pada tubulus distal berkembang divertikula. diketahui.
Sirkulasi renal berubah atau berkurang Metabolisme kalsium dan vitamin D mungkin
terpengaruh.
Kapasitas kandung kemih menurun Mekanisme homeostatis berubah dan menjadi
Volume residual meningkat. lebih sulit.
Terjadi kontraksi kandung kemih secara Frekuensi meningkat, interval antara keinginan
involunter (detrusor). dan berkemih menurun.

Perubahan normal pada sistem renal dan urinaria akibat penuaan dirangkum dalam tabel :

Perubahan normal terkait usia Implikasi klinis


Penebalan dasar membrane Filtrasi darah kurang efisien
Penurunan area permukiman glomerular
Penurunan panjang dan volume tubulus
proksimal
Penurunan aliran darah vaskular
Penurunan massa otot yang tidak berlemak Penurunan total cairan tubuh
Peningkatan total lemak tubuh Resiko dehidrasi
Penurunan cairan intrasel
Penurunan sensasi haus
Penurunan kemampuan untuk memekatkan
urine
Penurunan hormone yang penting untuk Peningkatan resiko osteoporosis
absorpsi kalsium dari saluran gastrointestinal
Penurunan kapasitas kandung kemih Peningkatan resiko inkontinensia
Peningkatan volume residu
Peningkatan kontraksi kandung kemih yang
tidak disadari
Atropi pada otot kandung kemih secara umum

Kandung kemih diisi dengan urine yang dikeluarkan dari ureter dengan kecepatan 2mL/menit.
Otot kandung kemih (detrusor) relaksasi untuk mengakomodasi peningkatan volume ketika
sfingter eksternal pada otot-otot dasar panggul konstriksi sehingga kebocoran tidak terjadi.
Kapasitas kandung kemih yang normal sekitar 300-600 mL, dengan sensasi keinginan untuk
berkemih di antara 150dan 350 mL. berkemih dapat ditunda 1-2 jam sejak keinginan berkemih
dirasakan. Ketika berkemih atau miksi terjadi, otot detrusor kontraksi dan sfinter internal dan
ekternal relaksasi, yang membuka uretra. Pada lansia, tidak semua urine dikeluarkan, tetapi
residu urine dengan volume 50 mL atau kurang dianggap adekuat. Jumlah yang lebih dari 100
mL mengindikasikan adanya retensi urine secara signifikan.

Secara neurologi, jalur untuk relaksasi dan kontraksi adalah dalam medulla spinalis pada pusat
miksi sacral atau berkemih (S2-S4) dan dalam T11-L2. Gangguan pada titik apapun dari system
ini memiliki akibat untuk kontinensia. Perubahan umum urinary terkait usia yaitu kapasitas
kandung kemih yang lebih kecil, pengingkatan volume residu dan kontraksi kandung kemih yang
tidak disadari.

Pada wanita lansia, penurunan hormone ekstrogen menyebabkan atrofi jaringan uretra dan efek
akibta melahirkan dapat dilihat pada melemahnya otot-otot dasar panggul. Pada pria lansia,
hipertrofi prostat menyebabkan tekanan pada leher kandung kemih dan uretra. Penurunan waktu
reaksi dapat juga memengaruhi pengendalian neurologis pada kandung kemih. Atrofi otot-otot
akibat penuaan secara umum memengaruhi otot-otot kandung kemih, sehingga kontraksi tidak
sekuat pada saat muda
5. Manifestasi klinis

Sebagian besar perubahan pada sistem Renal tidak memiliki manifestasi klinis langsung
observasi pada lansia yang sehat. 2 parameter , Glomerular Filtration Rate pengukuran tidak
langsung dan mengindikasikan keefektifan fungsi ginjal pada lansia.

Perubahan akibat penuaan pada sistem urinaria secara potensial memiliki tingkat kepentingan
yang lebih besar nokturia sering terjadi dan Inkontinensia dapat dipicupada derajat yang lebih
besar lebih kecil sangat menghabiskan biaya dalam arti baik konsekuensi secara fisik sosial bagi
pasien maupun dampak ekonomi yang sangat besar bagi masyarakat diperkirakan sekitar 13%
penduduk pria dan wanita yang berusia 75 tahun atau lebih mengalami Inkontinensia hampir
34% terjadi pada laki-laki dan pada wanita yang berusia di atas 75 tahun pada institusi perawatan
mengalami Inkontinensia dan sekitar 50% pria dan wanita dalam panti jompo mengalami
inkontinensia. untuk lansia Inkontinensia mungkin hanya merupakan gangguan pada waktu
waktu tertentu atau yang lebih signifikan adalah yang menyebabkan terjadinya depresi dan
isolasi sosial

6. Laju Filtrasi Glomerular

Filtrasi glomerulus terjadi dengan kecepatan 125 mL/menit pada orang dewasa muda dan dapat
diukur secara klinis melalui serum Kreatinin atau klirens kreatinin. Studi longitudinal pada
subjek lansia yang sehat telah menunjukkan reduksi kecepatan klirens kreatinin yang signifikan
dari waktu ke waktu, sehingga pada usia 80 tahun, rata-rata penurunan Glomerular filtration rate
(GFR)sampai 97 mL/menit. Namun pada kelompok subjek yang sama sekitar satu pertiga
menunjukkan tidak ada pengurangan GFR pada sebagian kecil orang bahkan menunjukkan
perbaikan. Bukti yang terbaru menunjukkan bahwa orang-orang dengan tekanan darah normal
dan asupan protein normal dapat mempertahankan kemampuan fungsional ginjal. GFR
diperkirakan melalui penentuan serum Kreatinin atau klirens Kreatinin. Produksi kreatinin secara
langsung berhubungan dengan massa otot. Karena massa otot secara normal berkurang pada
lansia dan karena Kreatinin adalah suatu produk tambahan dari metabolisme otot, hanya sedikit
Kreatinin yang diproduksi pada saat seseorang tua. Jika ginjal memenuhi tugas pembersihan
yang secara adekuat, kadar Kreatinin serum harus lebih rendah untuk mencerminkan
pengurangan pada massa otot. Oleh karena itu, kadar serum Kreatinin yang berada dalam batas
normal atau sedikit di atas batas normal mungkin mencerminkan penurunan GFR yang signifikan
pada lansia dan merupakan indikasi untuk evaluasi lebih lanjut. GFR 60 mL/menit atau kurang
ditemukan secara signifikan pada sejumlah subjek yang sehat dan dapat melakukan ambulasi
dengan kadar serum Kreatinin atau urea nitrogen darah (blood urea nitrogen (BUN)) yang
normal. Oleh karena itu pengukuran klirens Kreatinin dianggap merupakan indikator GFR yang
akurat daripada pengukuran serum Kreatinin atau BUN pada lansia. Klirens Kreatinin dapat
dikaji melalui pengumpulan urine 24 jam atau perkiraan secara matematis Melalui penggunaan
rumus Cockcroft-Gault untuk kadar Kreatinin. suatu penelitian pada subjek lansia melaporkan
suatu hubungan sebesar 0,73 antara klirens kreatinin 24 jam dan rumus Cockcroft-Gault. Seperti
ditunjukkan pada Gambar 17 -1, Rumus Cockcroft-Gault memasukan faktor usia, massa otot (
seperti yang ditunjukkan oleh berat badan), dan perbedaan gender. Hal yang telah disarankan
adalah bahwa koreksi untuk wanita tidak digunakan untuk lansia yang sehat. Karena tingkat
kesalahan dapat sangat substansial dalam proses pengumpulan urine untuk periode 24 jam, tidak
ada keuntungan yang jelas untuk memperkirakan GFR yang telah dibentuk untuk kedua metode
tersebut.

7. Mekanisme Konsentrasi dan Dilusi

Penuaan normal pada ginjal menghasilkan perubahan dalam mekanisme konsentrasi dan dilusi
dalam sistem tubullar nefron. Ketidakmampuan lansia untuk memekatkan urine berhubungan
dengan penurunan jumlah nefron total. Apakah disebabkan oleh peningkatan aliran darah pada
nefron yang tersisa, hasilnya lebih encer, kurang pekat sehingga urine berwarna kuning muda.

Rumus Cockcroft-Gault

Klirens kreatinin mL/menit = (140 – Usia) X berat badan (kg)

72 x Kreatinin serum (mg/dl) x 0,8 untuk wanita

8. Nokturia
Nokturia yang sering terjadi pada lansia dihubungkan dengan penurunan kemampuan untu
memekatkan urine, untuk lebih memperkecil kapasitas kandung kemih ( sehingga urine tidak dapat
disimpan untuk waktu yang lama), dan untuk meningkatkan perfusi renal pada malam hari.
Diperkirakan, 75% lansia yang tinggal dikomunitas bangun sedikitnya satu kali selama malam hari
untuk berkemih dan 25% yang lain harus bangun dua kali. Hal ini mempengaruhi pola tidur yang
memang telah berubah, berpengaruh terhadap keletihan pada siang hari, dan potensial menyebabkan
jatuh cedera.

9. Inkontinensia
Inkontinensia tidak dianggap sebagai perubahan normal terkait usia, proses penuaan dan kondisi
penyakit dapat bergabung sehingga mengakibatkan inkontinensia. Inkontinensia jangka panjang
disebut inkontinensia menetap, persisten atau kronis. Inkontinensia dengan durasi yang lebih
pendek disebut transien atau akut. Case-Gamble berpendapat bahwa penanganan dari penyebab
inkontinensia biasanya menyebuhkan inkontinensia sementara.

Terdapat 4 jenis inkontinensia, yaitu :

Jenis Penyebab Gejala


Stres Hilangnya tonus otot dasar panggul Kebocoran sejumlah kecil
Prolaps pelvis urine ketika batuk, bangun
Prostatektomi dari duduk, dll.
Urgensi Ketidakstabilan otot detrusor Interval yang sangat
pendek antara kebutuhan
untuk berkemih yang
dirasakan dengan
terjadinya berkemih
Aliran berlebih Kandung kemih mengalami distensi Menetes, penurunan
berlebihan tetapi detrusor tidak pancaran
berkontraksi
Fungsional Faktor-faktor eksternal terhadap Kebocoran atau interval
sistem urinaria itu sendiri seperti toilet normal, jumlah, dan aliran.
yang terlalu jauh atau gangguan
kognitif
Pada lansia, yang memiliki lebih dari satu jenis, disebut inkontinensia campuran, mungkin
terjadi. Inkontinensia stress terjadi dengan peningkatan tekanan intraabdomen secara tiba-tiba
yang menambah tekanan yang memang telah ada pada kandung kemih. Oleh karena itu, bersin,
batuk, tertawa, latihan/olahraga, atau perubahan posisi dengan bangun dari kursi roda atau
berbalik dapat menyebabkan kehilangan sejumlah kecil urine tanpa disadari. Hal tersebut lebih
sering terjadi pada wanita karena kehilangan tonus otot dasar panggul yang dihubungkan dengan
melahirkan anak, prolapse pelvis seperti sistokel, uretra yang lebih pendek secara anatomis, dan
kelemaha sfingter; pada priam prostatektomi adalah salah satu penyebab.

Inkontinensia urgensi dihubungkan dengan keinginan yang kuat dan mendesak untuk berkemih
dengan kemampuan yang kecil untuk menunda berkemih. Pada inkontinensia urgensi, kandung
kemih hampir penuh sebelum kebutuhan untuk berkemih dirasakan dan, sebagai akibatnya,
sejumlah kecil sampai sedang urine keluar sebelum dapat mencapai toilet. Sensasi urgensi
tersebut dirsertai dengan frekuensi. Penyebabnya dihubungkan dengan ketidakstabilan otot
detrusor (aktivitas yang berlebihan) oleh otot itu sendiri atau yang dihubungkan dengan kondisi
seperti sistitis, obstruksi aliran keluar, cedera spinal pada bagian suprasakral, dan stoke. Antara
40% dan 70% inkontinensia pada lansia adalah jenis inkontinensia urgensi.

Inkontinensia karena aliran yang berlebihan (overflow) adalah hilangnya urine yang terjadi
dengan distensi kandung kemih secara berlebihan yang terjadi pada 7% sampai 11% pasien
inkontinensia. Kapasitasnya berlebihan, yang menyebabkan tekanan kandung kemih lebih besar
daripada tekanan resistensi sfingter uretra. Karena otot detrusor tidak berkontraksi, terjadi urine
yang menetes dan penurunan pancaran urine saat berkemih. Inkontinensia karena aliran yang
berlebihan disebabkan oleh gangguan transmisi saraf dan oleh adanya obstruksi pada saluran
keluarnya urine seperti yang terjadi pada pembesaran prostat atau impaksi fekal. Hal ini disebut
hipotonik atau atonik kandung kemih. Residu urine setelah berkemih lebih dari 150 sampai
dengan 200 ml.

Inkontinensia fungsional disebabkan oleh faktor-faktor selain dari disfungsi sistem urinaria.
Stuktur sistem urinaria utuh dan fungsinya normal, tetapi faktor eksternal mengganggu
kontinensia. Demensia, gangguan psikologis lain, kelemahan fisik atau imobilitas, dan hambatan
lingkungan seperti jarak kamar mandi yang jauh menjadi salah satu faktor.
10. Pencegahan primer

Fokus pencegahan primer untuk fungsi renal dan unirania pada lansia termasuk termasuk
pengkajian,pemantauan,dan aktivitas edukasi kperawatan. Sepert yang telah disebutkan
sebelumnya, fungsi ginjal tetap normal walaupun terdapat perubahan-perubahan terkait usia.
Namun, kemampuan renal berkurang, sehingga tuntutan kebutuhan fisiologis yang tidak biasa
dan penyakit minor kurang dapat dikomodasi. Faktor yang secara potensial dapat menyebabkan
masalah kontinensia mungkin muncul dengan satu derajat atau lainnya.

Adapun keperawatan primer diarahkan untuk meminamalkan potensi untuk yang melebihi
kapasitas kekuatan renal dan pengurangan risiko yang berhubungan dengan perkembangan
intokenensia. Pengkajian dan pemantauan keseimbangan cairan dan kebiasaan makan sangat
pening dilakukan.

11. Pengkajian keperawatan

 Pengkajian untuk ketidakseimbangan cairan dan elektrolit


Pengkajian turgot kulit sebagai indikator untuk defisit cairan dapat tidak akurat pada
lansia karena elastisitas kulit pada kelompok usia ini biasanya telah berkurang. Mencubit
kulit pada bagian dahi atau sternum dianjurkan sebagai pengganti karena setidaknya
penurunan elastisitas pada daerah ini. Tanda-tanda kelebihan cairan secara bersamaan
lebih mudah untuk dikaji pada lansia. Hilangnya elastisitas kulit dan pengurangan masa
otot membuat edema tampak lebih jelas dan distensi pada vena dileher dan tangan lebih
mudah untuk dikaji.

 Pengkajian nokturia
Pengkajian untuk mengetahui adanya frekuensi nokturia rutin dilakukan. Membedakan
antara nokturia yang berhubungan dengan penuaan, nokturia yang dipicu oelh
pengobatan, atau penyebab lain memberikan infoemasi yang penting untuk menentukan
apakah intervensi di perlukan.

 Pengkajian status mental


Pengkajian terhadap perubahan status mental pada lansia memberikan tanda peringatan
awal untuk kemungkinan adanya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit serta delerium,
depresi, dan demensia yang berpengaruh terhadap terjadinya inkontenensia. Awitan
konfusi atau disorientasi yang tiba-tiba pada lansia yang sehat harus segera
memperingatkan perawat untuk mengkaji status hidrasi dan untuk mangantisipasi
inkonentisia fungsional.

 Pengkajian diet
Pengkajian nutrisi untuak mengetahui asupan kalsium yang adekuat adalah penting dalam
mencegah osteoporosis. Pada saat indikator klinis seperti kifosis atau fraktur multpel
terjadi.

a. Pemantauan latihan fisik

Sebagai tindakan pencegahn rutin , lansia dapat di ajarkan untuk mewaspadai cairan yang dapat
keluar ketika melakukan aktifitas fisik seperti bermain dengan keponakan dan lain-lain. Waspada
terhadap defisit cairan terutama sangat penting dalam cuaca panas dan lembap. Penggantian
cairan harus merupakan tindakan yang disadari dan tidak tergesa-gesa. Lansia harus diajarkan
untuk mengganti cairan dalam jumlah kecil dengan sering daripada minum benyak cairan yang
terpisah dalam interval yang lama.

b. Pemantaun penyakit minor

Episode diare atau muntah, pilek dengan disertai demam, dan penyakit viral daan infeksi, yang
biasanya dianggap sebagai penyakit ringan yang dapat ditangani dirumah, dapat dengan cepat
menjadi kritis jika terjadi defisit cairan berat. Lansia harus diajarkan untuk memantau
keseimbangan cairan secara seksama dalam kondisi ini sehingga asupan cairan minimal setiap
harinya dapat dipertahankan.

c. Pemantauan diet

Seorang lansia dapat secara mandiri dapat membatasi natrium tanpa bimbingan untuk mencegah
atau mengatasi hipertensi. Jika hipertensi didiagosis dan diet rendah garam secara moderat dapat
dianjurkan, orang tersebut mungkin membatasi natrium dengan sangat ketat dengan keyakinan
bahwa hal ini dapat akan menyebabkan penurunan tekanan darah yang sangat besar.

Lansia cenderung mengalami penurunan asupan diet kalsium. Pengkajian keadekuatan jumlah
mineral ini dan vitamin D pada diet lansia perlu dilakukan. Banyak dokter saat ini
merekomendasikan suplemen kalsium untuk wanita masa pascamenpause karena diet mereka
juaga tidak adekuat.

d. Pemantauan asupan cairan

Pada orang dewasa, minimal asupan cairan adalah 1500 ml/hari, dengan rentang yang lebih
adekuat antara 2500 dan 3500 ml/hari. Dengan asumsi tidak ada kondisi kontraindikasi.
Penggantian kehilangan cairan pada lansia harus dilakukan secara hati-hati. Hipervolemia atau
tidak keseimbangan hipo-osmular dapat menjadi akibat lanjutan dan sebagai penggantian yang
agresif.
Lansia yang kontinen dapat membatasi asupan cairan secara tidak tepat untuk mencegah
kejadian-kejadian yang memalukan. Pengurangan ataupun cairan sebelum malam hari, tetapi
cairan harus diminum lebih banyak selama siang hari sehingga total asupan cairan setiap harinya
tetap sama.

e. Pemantauan nokturia

Nokturia adalah perubahan yang telah diperkirakan akan terjadi seiring penuaan dan hal itu
sendiri bukan merupakan masalah. Namun , bila terjadi, pencegahan jatuh secara merupakan
prioritas. Penggunaan lampu malam dan memastikan jalan menuju kamar mandi yang tidak
terhambat sangat penting.

f. Pemantauan Penyakit Minor

Diare,muntah, pilek disertai demam dan penyakit infeksi yang dianggap penyakit ringan yang
bisa ditangani dirumah dapat menjadi kritis jika tidak ditangani segera bila terjadi defisit cairan
berat. Lansia pun harus diajarkan untuk memantau keseimbangan cairannya agar optimal cairan
dipertahankan serta konsultasi ke kesehatan untuk mencegah dehidrasi.

12. Pencegahan Sekunder

Masalah renal dan urinaria sering terjadi pada lansia disebabkan oleh obat-obatan,
infeksi,hipertensi, dan inkontinensia. Penatalaksanaan keperawatan dalam mencegah sekunder
diklasifikasikan menjadi 3 area besar : pencegahan komplikasi iatrogenik yang terjadi baik dalam
penanganan penyakit atau sistem organ lain. Kedua penyakit secara lanngsung memengaruhi
penuaan sistem renal menyebabkan gagal ginjal. Ketiga, penatalakssanaan keperawatan
inkontinnsia.

13. Penatalaksanaan Keperawatan Untuk Komplikasi Itrogenik


a. Farmakoterapeutik

Obat-obat diberikan bisa menimbulkan rusaknya luas pada lansia. Absorbsi,


metabolisme,distribusi dan ekskresi obat-obatan mengalami perubahan. Sejumlah obat dieskresi
melalui ginjal dan perubahan fisiologis penuaan sistem renal memerlukan penyesuaian dosis.
Jika sejumlah obat digunakan terus menerus, akan menjadi toksisitas. Penurunan GFR
memengaruhi ekskresi obat larut dalam air dan hasilnya kadar serum meningkat. Kategori obat
telah diidentifikasi sebagai penyebab nekrosis tubular akut nefrotoksis tersering. Termasuk
antibiotiktetrasiklin, vankomisin, prokainamid, simetidin dan sefaloporine. Obat-obatan yang
berkaitan potensi ADH diidentifikasi sebagai penyebab masalah. Akibat sindrom tidak sesuainya
sekresi ADH adalah hiponatremi , ketidakseimbangan hipo-osmolar.termasuk
psikotropika,klorpropamid,karbamazepin, aspirin, barbiturat, haloperidol, vinkistin, dan diuretik.
Diuretik meningkatn volume urine dan frekuensi berkemih yang memperburuk inkontinensia.
Sedatif menghambat kondisi terbangun, urgensi lebih besar terjadi saat ke kamar mandi.

Secara umum obat yang digunakan merupakan jenis yang menimbulkan perubahan pada fungsi
ginjal.

b. Pemberian Cairan Parenteral

Kondisi akut terjadi pada lansia memerlukan pemberian cairan parenteral. Didalam larutan ini
juga dapat menjadi sumber kesulitan. Karena lansia rentan terhadap perubahan status cairan,
perawat harus hati-hati. Kecepatan aliran intravena mengakibatkan ketidakseimbangan volume
karena penundaan ekskresi cairan yang berlebih dan hiponatremia dapat terjadi.

c. Uji Diagnostik

Terdiri dari pembatasan cairan, prosedur pembersihan usus, atau agen kontras radiografis
menimbulkan masalah bagi lansia. Pembatasan cairan yang dikombinasikan enema pada pasien
mengalami dehidrasi ringan memicu ketidakseimbangan osmolar dan hipovolemia. Penggunaan
ultrasonografi renal untuk mendiagnosis sebagai pengganti pyelogram intravena telah
mengurangi rsiko renal berhubungan dengan prosdur tersebut.

d. Penatalaksanaan Keperawatan Untuk Sistem Renal

Lansia dengan masalah ginjal melaporkan gejala yang tidak spesifik. Proteinuria dihubungkan
dengan penyebab lain selai patologi renal, pyuria, dan hematuria biasanya mengindikasikan
masalah yang berasal dari renal. Gangguan sistem renal diantaranya : pnyakit glomerular,
tubulointerstisial, vaskular, dan penyakit obstruksi. Studi menyebutkan 363 orang berusia diatas
65 tahun menjalani biopsi ginjal menunjukkan 75% mengalami penyakit glomerular, 11%
penyakit renovaskular,7% penyakit tubulointerstisal, 5% kronis tubular akut dan 2% penyakit
lain.

14. Penyakit Glomerular

Glomerulonefritis akut pernah dianggap jarang terjadi pada lansia. Penyebab glomerulonefritis
akut pada lansia meliputi penyakit sistemik seperti lupus eritematosus sistemik; penyakit pasca
infeksi seperti terjadi setelah infeksi virus, pneumokokkus, bahkan infeksi kulit atau penyakit
glomerular primer.

Walau gejala penyakit ini hampir sama semua dengan kelompok umur (awalnya berupa
anoreksia, mual, muntah, dan nyeri otot berkembang menjadi hematuria, proteinuria, azotemia,
dan hipertensi) pada lansia, sering dikaitkan dengan adanya infeksi atau eksaserbasi penyakit
kardio seperti CHF yang menyebabkan diagnosa terhambat atau tidak ada sama sekali sampai
kematian. Prognosis yang buruk terjadi pada lansia.

Sindrom nefrotik ditandai dengan gejala yang disebutkan sebelumnya, semua terjadi akibat
meningkatnya permeabilitas membran glomerulus. Pada lansia terjadi sindrom nefrotik akibat
dari DM walau sebagai konsekuensi dari penyakit sistemik.

15. Penyakit Tubulointestial

Penyakit tubulointestial (pielonefritis) dapat akut maupun kronis pada lansia, memengaruhi
tubulus renal dan jaringan intertisial ginjal. Pielonegritis dianggap sebagai bentuk penyakit renal
yang paling sering terjadi pada lansia dan paling sering disebabkan oleh nakteri gram negative
pada pasien yang memasuki institusi perawatan akut. Melemahnya respons imun dan lebih
rendahnya resistensi terhadap infeksi turut berperan terhadap penigkatan insidensi penyakit ini
pada lansia. Pielonefritis kronis sering tanpa disertai gejala pada lansia, yang menyebabkan
terlambatnya diagnosis penyakit bila uremia terlanjur terjadi.

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah potensial penyebab pielonefritis yang lain pada lansia.
Penyebab bakteremia yang paling sering pada lansia adalah ISK,kateter menetap, inkontenesia
akibat aliran yang berlebihan pada diabetes melitus atau gangguan neurologis, penyakit prostat,
dan imobilitas juga memiliki implikasi terhadap perkembangan pielonefritis.

16. Penyakit Vaskuler Renal

Arteriosclerosis yang terjadi secara umum sering ditemukan pada lansia yang meluas pada arteri
renalis ginjal. Adanya hipertensi pada saat yang bersamaan semakin menambah berat gangguan
aliran darah yang telah ada. Akibatnya adalah nefrosklerosis, dengan kerusakan akhir pada
glomeruli dan iskemia renalis.

Emboli arteri renalis dan trombosis adalah komplikasi vaskuler lainyang mengganggu aliran
darah ke ginjal. Hipertensi, infark miokardium, fibrialis atrium, dan operasi jantung adalah
penyebab-penyebab yang potensial.
17. Penyakit Obstruktif

Penyebab penyakit ginjal obstruktif yang paling sering pada pria lansia adalah hipertrofi prostat
benigna atau keganasan prostat. Pada wanita lansia, prolapse uterus,tumor fibroid, atau
keganasan telah diidentifikasi sebagai penyebab obstruksi.

Batu ginjal(nefrolitiasis) sering terjadi diantara pria lansia dari pada wanita lansia. Insidensi batu
ginjal pada pria telah meninglat secara dramatis karena harapan hidup semakin memanjang.

18. Gagal Ginjal Akut

Komplikasi iatrogonik,penyakit ginjal,penyakit sistemik lain, pembedahan,obstruksi urinaria,


dan bahkan penyakit ringan dengan kehilangan cairan dapat mejadi faktor presipitasi gagal ginjal
akut (GGA) pada lansia. Mereka yang menggunakan inhibitor ACE dan lansia. Mereka yang
menggunakan inhibitor ACE dan NSAID terutama beresiko mengalami GGA. GGA lebih sering
terjadi daripada gagal ginjal kronis (GGK) pada kelompok usia ini karena derajat insufisiensi
ringan atau sedang mungkin telah ada dan karena peningkatan penyakit secara umum, prevalensi
penyakit system urinaria obstruktif, dan kecendrungan lebih banyak pengobatan yang digunakan.

Lansia dapat mencapai kembali fungsi ginjal setelah GGA, walaupun penyembuhannya mungkin
memerlukan waktu lebih panjang dan tidak sempurna. Mortalitas gagal ginjal akut lebih tinggi
pada lansia, tetapi usia tidak mencapai signifikansi secara statistik pada suatu studi, yang
membawa penulis untuk merekomendasikan bahwa usia tidaka perlu dipertimbangkan dalam
menentukan keputusan keperawatan. Patofisiologi GGA dan pembagian penyebab ke dalam
kategori prerenal,renal, dan pascarenal sama pentingnya untuk setiap kelompok usia.

Namun, seperti yang diperkirakan, penatalaksanaan terhadap GGA pada lansia lebih kompleks.
Khususnya pemantauan keseimbangan cairan secara ketat dianjurkan untuk menghindari gagal
jantung kongestif. Pada lansia dengan penurunan massa otot atau mereka yang menjalani dialisis,
suplementasi nutrisi oral atau parental dimulai lebih awal. Infeksi, terutama pneumonia, sering
terjadi pada lansia denga GGA. Baik hemodialisis maupun dialisis peritoneal harus digunakan
secara agresif pada lansia karena hasil akhir dalam menggunakan metode ini dapat sangat
mendukung.
Sebagai bukti, tindakan keperawatan pertama kali harus diarahkan pada pencegahan melalui
perhatian yang cermat pada berbagai potensial penyebab GGA dan kewaspadaan terhadap gejala
pasien yang tidak tampak signifikan dan juga terhadap gejala-gejala penyakit ginjal yang lebih
jelas. Homeostatis sulit dicapai pada penuaan gginjal bahkan ketika insufisiensi renal tidak
terjadi.GGA dapat dipicu dengan sangat mudah. Pemantauan obat-obatan yang digunakan,
pengkajian aktivitas fisik, perhatian pada serangkaian penyakit umum seperti pilek,menentukan
kemampuan lansia untuk menangani aktivitas higine harian sehingga bakteri tidak masuk melalui
uretra, dan pemantauan penyakit jantung atau penyakit lain yang sering terjadi pada lansia sangat
penting. Tanda-tanda gagal ginjal yang jelas tidak terjadi sampai akhir dari proses tersebut.
Potensial gagal ginjal harus dipertimbangkan pada setiap pengkajian yang dilakukan baik pada
lansia yang bertempat tinggal di komonitas maupun institusi, tanpa memperhatikan status
kesehatan saat ini atau penyakit yang ada.

PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN UNTUK INKONTINENSIA

Masalah inkotinensia dapar terjadi tanpa dikenali karena kengganan lansia untuk mendiskusikan
maslah yang sangat pribadi dan intim seperi fungsi urinaria. Pertanyaan harus diarahkan secara
langsur pada sasaran. Observasi perilaku nonverbal arau kegelisahan dalam menjawab dan
memberikan petunjuk untuk memenuhi kebutuhan elaborasi lebih lanjut. Pada kenyataan sikap
perawat, dengan satu atau dua komentar tentang prevalensi masalalh pada lansia ini, akan
memberikanrkan banyak hal untuk meningkatkant untuk kenyamanan pasien.

Pengumpulan riwayat secara seksama, ialah hal awal yang paling penting untuk dilakukan.
Riwayat ini meliputi tanggal awitan, pengobatan yang gunakan baik yang diresepkan atau yang
dibeli sendiri, diagnosis lain yang ada termasuk pembedahan, diet,paritas jika wanita, keteraturan
fungsi pencernaan, dan dampak gaya hidup. Kemungkinan awitan penyakit baru seperti diabetes
melitus juga harus dipertimbangkan.riwayat pola berkemih termasuk kapan terjadi
inkontinensia,frekuensi terjadinya,dan apakah terdapat keinginan berkemih dan adanya tetesan
urine sebelum berkemih dan setelah berkemih, nyeri saat berkemih, hematuria, volume urine
yang dikeluarkan banyak atau sedikit, aliran lemah, dan terdapat urgensi. Jika jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan tersebut tampak tidak jelas,mintalah catatan berkemih yang dilakukan
selama satu minggu, hal ini akan menambah dan mengklarifikasi data awal. Informasi yang
dicatat termasuk jumlah cairan yang diminum dan beberapa kali meminumnya serta waktu,pola,
dan hal-hal yang berkaitan dengan berkemih.

Pemeriksaan fisik termasuk pengkajian untuk mengetahui adanya nyeri tekan pada abdomen,
nyeri tekan pada angulus kostovertebral, distensi kandung kemih, impaksi fekal, edem, bau
genitourinaria, obstruksi rektal untuk pria,dan pemeriksaan pelvis untuk wanita. adanya kesulitan
dalam defisit mobilitas yang dapat diamati pada pemeriksaan neurologis, memerlukan
pengkajian lebih lanjut yang lebih rinci. Urinalisis dilakukan. Ouslander merekomendasikan
bahwa pemeriksaan kateterisasi atau ultrasonografi untuk mengetahui residu urine dimasukkan
dalam pengkajian awal.pemeriksaan urodinamik lebih jauh dapat dilakukan sambil menunggu
hasil dari pengkajian pengkajian ini.

Pengkajian pada pasien dengan gangguan kognitif lebih sulit dilakukan.riwayat verbal biasanya
ditambah dengan observasi secara seksama dalam catatan yang tersimpan.pemeriksaan status
mental ditambah dengan pemeriksaan fisik untuk mengindikasikan apa yang dapat atau tidak
dapat diharapkan dari pasien tersebut. Lingkungan harus dikaji. Lokasi kamar mandi, ruangan
toilet terutama jika tongkat atau Walker digunakan, ketinggian tempat duduk toilet, pegangan
pada dinding untuk berdiri atau turun,dan privasi semuanya sangat penting dalam memfasilitasi
kontinensia.

Intervensi untuk inkontinensia termasuk latihan pelvis, manuver crede, blender training, toileting
secara terjadwal, penggunaan alat-alat eksternal, kateterisasi secara intermittent, modifikasi
lingkungan, pengobatan dan pembedahan. Pilihan bergantung pada jenis inkontinensia, tetapi
kombinasi dari pilihan-pilihan tersebut biasanya digunakan.

latihan pelvis kegel dianjurkan untuk mereka yang mengalami inkontinensia stress.otot-otot yang
terlibat dapat diidentifikasi secara memberitahukan pasien untuk menghentikan aliran urin pada
pertengahan pancaran.otot-otot yang digunakan untuk melakukan hal ini adalah otot-otot yang
akan diperkuat. Tujuannya adalah untuk mencapai 40 sampai 60 kali pengurangan selama 10
detik setiap harinya.Melakukan 15 kali latihan pada waktu makan dan waktu tidur merupakan
jadwal yang mudah diingat.Peningkatan dapat dilihat dalam waktu 4 sampai 6 minggu, dengan
peningkatan maksimal selama 3 bulan. Menggunakan peralatan biofeedback yang mencatat
perubahan dalam tekanan dan aktivitas listrik meningkatkan keefektifan latihan. Tingkat
penyembuhan dengan menggunakan latihan-latihan ini telah diperkirakan sebesar 77%.walaupun
latihan pelvis biasanya disarankan hanya untuk mereka yang mengalami inkontinensia stress.
Latihan tersebut mungkin juga efektif bagi mereka dengan inkontinensia urgensi.temuan-temuan
yang membentuk suatu penelitian terbaru pada 37 lansia yang bertempat tinggal di komunitas
yang mengalami inkontinensia urgensi atau gabungan dari inkontinensia stress dan inkontinensia
urgensi menunjukkan keberhasilan yang signifikan dalam menggunakan latihan pelvis sebagai
satu-satunya intervensi perilaku.

Manuver crede melibatkan penggunaan tekanan diatas regio suprapubik untuk secara manual
menekan kandung kemih selama berkemih, manuver valsava dilakukan pada waktu yang sama.
Case gamble menyarankan dua prosedur berkemih. Di sini pasien berkemih, kemudian
berkembang lagi beberapa menit kemudian dengan menggunakan manuver crede, metode-
metode ini digunakan untuk inkontinensia akibat aliran yang berlebihan (overflow).

Bladder training adalah penanganan tradisional untuk inkontinensia urgensi. Bladder training
meliputi berkemih dengan jadwal yang telah ditentukan selama atau dengan pengaturan waktu
setiap 30 sampai 60 menit tanpa memperhatikan kebutuhan. Jika urgensi untuk berkembang
menjadi muncul lebih cepat, pasien disarankan untuk menahan urine sampai waktu yang telah
dijadwalkan. 30 menit ditambahkan untuk interval berkemih setiap minggunya sampai interval 3
sampai 4 jam tercapai. Seperti yang telah dibahas sebelumnya,latihan televisi tanpa bladder
training telah efektif untuk sekelompok kecil pasien yang mengalami inkontinensia urgensi.

penjadwalan atau toileting langsung digunakan untuk pasien pasien yang mengalami gangguan
kognitif. Pasien dibawa ke toilet atau ditempatkan pada sebuah pispot setiap 2 jam. Pengkajian
awal tentang frekuensi dan waktu episode inkontinensia diikuti dengan toileting.

Berdasarkan pola inkontinensia individu dapat meningkatkan keberhasilan. Pasien yang mampu
untuk merespon dapat ditanya secara teratur tentang keinginan berkemih.

alat-alat eksternal termasuk teknik pengumpulan urine seperti kateter kondom yang dihubungkan
pada kantong tungkai, celana inkontinensia, alas, kommode,urinal jika fasilitas toilet tidak dapat
dicapai oleh pasien.
Kateterisasi lurus yang intermiten lebih disarankan daripada kateter menetap. Intervensi ini
mungkin diperlukan untuk mereka yang mengalami inkontinensia karena aliran yang berlebih
atau inkontinensia fungsional. teknik bersih dapat diterima bagi mereka yang melakukan
katerisasi sendirian. Teknik besi dapat juga digunakan di lingkungan institusional.namun dalam
hal ini ketelitian perhatian pada kebersihan diperlukan dalam mencuci tangan juga dalam
membersihkan dan menyimpan karena adanya bahaya infeksi nosokomial.

modifikasi lingkungan di indikasikan untuk mereka dengan gangguan mobilitas atau defisit
neurologis. Pengkajian individual mengindikasikan apa yang diperlukan.peningkatan tinggi
tempat duduk toilet di rumah mungkin mencukupi atau commode yang diletakkan di dekat
tempat tidur dapat digunakan dalam lingkungan institusional. Privasi sangat penting.

Pengobatan diberikan berdasarkan diagnosis spesifik, adrenergik agonis dan estrogen dapat
membantu mengatasi inkontinensia stress. Relaxant kandung kemih, antidepresan trisiklik,dan
antikolinergik meningkatkan kapasitas kandung kemih sehingga dapat mengatasi inkontinensia
urgensi.penelitian terbaru menunjukkan bahwa oksibutinin yang dikombinasikan dengan bladder
training lebih efektif daripada hanya bladder training dalam mengurangi inkontinensia pada
lansia.

Intervensi bedah termasuk prostatektomi untuk pria dan perbaikan dasar panggul, sistokel, atau
rektokel untuk wanita. Prosedur untuk setiap kategori ini berbeda-beda.prosedur yang baru
dengan menggunakan otot paha yang dibungkus di sekitar uretra juga menunjukkan keberhasilan
yang sama.

Tiga pencegahan tersier

GGK jarang terjadi pada kelompok lansia daripada kelompok usia yang lebih muda.penyebab
ggk yang paling sering pada lansia adalah penyakit vaskuler. Glomerulonefritis kronis dan
pielonefritis, diabetes melitus, myeloma multiple, dan pembesaran prostat secara progresif.GGK
akhirnya berkembang ke arah penyakit ginjal tahap akhir. Seperti dalam kasus pada orang yang
lebih muda, gejala awalnya tidak spesifik dan GFR dapat sebanyak 8 sampai 10 ml per menit
sebelum dialisis dilakukan.nilai serum kreatinin tidak meningkat sebanyak yang terjadi pada
lansia karena penurunan massa otot dan karena defisit nutrisi yang menyertainya GGK. Dialisis
transplantasi ginjal adalah 2 pilihan untuk lansia dengan ESRD.suatu penelitian melaporkan
bahwa lansia lebih memilih diam daripada transplantasi ginjal.

Inkontinensia jangka panjang,terutama pada pasien yang mengalami gangguan kognitif atau
gangguan motorik, menjadi masalah bagi klien dan memberi perawatan.intervensi yang agresif
dengan menggunakan terapi modalitas yang tepat dan kombinasi modalitas harus dimulai dan
dikaji keefektifannya.waktu dan kesabaran sangat penting sehingga keefektifan dapat dievaluasi
secara kritis. Masalah kulit merupakan konsekuensi dari inkontinensia jangka panjang.Mungkin
yang lebih penting adalah masalah psikososial yang merupakan akibat pada lansia yang masih
sadar. Inkontinensia berpengaruh terhadap depresi dan isolasi sosial.Orang-orang seperti itu
dapat menghindari rasa malu dengan tetap di rumah dan jauh dari orang lain, tetapi kesepian juga
merupakan penyebab depresi.

Ouslander berkomentar bahwa inkontinensia urine dapat disembuhkan pada banyak lansia,atau
setidaknya ditangani dengan cukup baik untuk kenyamanan pasien dan mengurangi beban
pemberi perawatan. Kualitas kehidupan dapat ditingkatkan secara signifikan dengan hanya
menggunakan penanganan konservatif.inkontinensia tidak boleh diterima sebagai hal yang
normal oleh pasien maupun oleh perawat.
BAB III

PENUTUP

Inkontinensia urin merupakan keluhan yang banyak di jumpai pada lanjut usia. Prevelensinya
meningkat dengan bertambahnya umur, lebih banyak didapatkan pada wanita dan pada
penderita-penderita lanjut usia yang dirawat di bangsal akut.

Definisi dari inkontinensia adalah pengeluaran urin (atau feses) tanpa dosadari, dalam jumlah
dan frekuensi yang cukup untuk mengakibatkan masalah gangguan kesehatan atau sosial (Kane,
dkk). Menjadi lanjut usia tidak menyebabkan inkontinensia, tetapi beberapa perubahan berkaitan
dengan proses isia lanjut dan keadaan patologik yang sering terjadi pada lanjut usia dapat
mendukung terjadinya inkontinensia. Neuro-fisiologik dari proses berkemih secara normal
merupakan peristiwa yang rumit dan belum sepenuhnya diketahui.

Inkontinensia urin mempunyai kemungkinan besar untuk disembuhkan, terutama pada penderita
dengan mobilitas dan status mentalyang cukup baik. Bahkan bila tidak dapat diobati sempurna,
inkontinensia selalu dapat dipayakan lebih baik, sehingga kualitas hidup penderita meningkat
dan meringankan beban yang merawat. Karena umumnya orang lanjut usia merasa segan dan
frustasi serta malu untuk membicarakan inkontinensia yang diderita, penting ditanyakan secara
khusus dalam setiap asesmen dan bila ada, dimasukkan sebagai problem medic yang potensial
untuk dapat diatasi.

Pengelolaan dari inkontinensia urin dimulai antara lain dengan membedakan apakah secara garis
besar penyebabnya dari segi urologic atau masalah neurologic. Kemudian penting untuk
diketahui apakah inkontinensia tadi secara akut atau kronik/persisten. Inkontinensia akut biasa
reversible, berhubungan dengan penyakit-penyakit akut yang sedang diderita, dan akan baik lagi
bila penyakit-penyakit akut tersebut sudah disembuhkan. Sedang pengobatan yang optimal dari
inkontinensia yang persisten tergantung pada tipe inkontinensia yang diderita
BAB IV

KESIMPULAN

Didapatkan 3 (tiga) tema pengalaman lansia terhadap penanganan inkontinensia urine.

Kata kunci : pengalaman, penanganan inkontinensia urine. Pengetahuan perawat


mengenai keunikan proses penuaan yang terjadisecara fisik, psikososial, legal,
etik dan ekonomi tentang proses penuaan akan membantu perawat dalam
memberikan pelayanan keperawatan yang tepat pada lansia.Salah satu masalah
kesehatan yang terjadi pada lansia adalah gangguan pada system urinarius yaitu
inkontinensia urine. Inkontinensia urine adalah pengeluaran urine dari kandung
kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan mengalami inkontinensia
urin. Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak
yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah
terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat
menimbulkan rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera
ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin.
Ketidaktahuan partisipan tentang perawatan inkontinensia urine disebabkan karena
mereka tidak terpapar informasi baik dari petugas kesehatan yang seharusnya
memberikan pengetahuan atau pendidikan kesehatanten tang masalah kesehatan
yang dialami oleh partisipan. Pada akhirnya apa yang dilakukan oleh partisipan
hanyalah merawat lansia berdasarkan pengalaman yang diperoleh oleh partisipan
saat merawat orang lain yang mengalami inkontinensia urine. Berdasarkan temuan-
temuan dari penelitian ini diperoleh simpulan bahwa tanda dan gejala
inkontinensia urine yaitu buang air kecil di sembarang tempat. Tidak ada pencegahan
khusus untuk menangani inkontinensia urine. Tidak ada penanganan secara medis dan
konservatif yang dilakukan dan petugas kesehatan tidak pernah memberi tahu
tentang perawatan inkontinensia urine.
DAFTAR PUSTAKA

Utama, Hendra.2011. Buku Ajar Geriatrik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Stanley, Mickey dan Patricia Gauntlett Beare. 2012. BUKU AJAR KEPERAWATAN GERONTIK
Ed.2. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai