Anda di halaman 1dari 21

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembahasan tentang proses menua semakin sering muncul dengan
beratambahnya populasi usia lanjut di berbagai belahan dunia. Telah banyak
dikemukaan bahwa proses menua amat dipengaruhi oleh interaksi faktor genetik dan
lingkunganseharusnya dianggap sebagai suatu proses normal dan tidak selalu
menyebabkan gangguan fungsi atau penyaki. Proses penuaan secara umum terdapat
kecenderungan menurunnya kapasitas fungsional baik pada tingkat selular maupun
pada tingkat oragan sejalan dengan proses menua. Akibat penurunan kapasitas
fungsional tersebut, orang lanjut usia biasanya tidak berespon pada berbagai
rangsangan, baik internal maupun eksternal, sesensitif yang dapat dilakukan orang
yang lebih muda. Menurunnya respon tersebut cenderung membuat oarng usia lanjut
sulit untuk memelihara kestabilan homeostatis tubuh.
Salah satunya adalah inkontinensia urin dimana terjadi ketidakmampuan
seseorang dalam menahan air kencingnya. Inkontinensia urin merupakan salah satu
keluhan utama pada penderita lanjut usia, batasan inkontinensia adalah pengluaran
urin tanpa disadari, dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan
masalah gangguan kesehatan atau sosial.
1.2 Rumusan Masalah
1.1. Apa definisi dari inkontinensia urin?
1.2. Bagaimana epidemiologi inkontinensia urin pada lansia?
1.3. Apa etiologi yang menyebabkan inkontinensia urin pada lansia?
1.4. Bagaimana fisiologi berkemih dan patofisiologi inkontinensia urin pada lansia?
1.5. Bagaimana cara diagnosis inkontinensia urin pada lansia?
1.6. Apa saja komplikasi yang mungkin terjadi pada inkontinensia urin lansia?
1.7. Bagaimana tatalaksana inkontinensia urin pada lansia?
1.8. Bagaimana prognosis inkontinensia urin pada lansia?

2

1.3 Tujuan
1.1. mengetahui definisi dari inkontinensia urin
1.2. mengetahui epidemiologi inkontinensia urin pada lansia
1.3. mengetahui etiologi yang menyebabkan inkontinensia urin pada lansia
1.4. mengetahui fisiologi berkemih dan patofisiologi inkontinensia urin pada lansia?
1.5. mengetahui cara diagnosis inkontinensia urin pada lansia
1.6. mengetahui komplikasi yang mungkin terjadi pada inkontinensia urin lansia?
1.7. mengetahui tatalaksana inkontinensia urin pada lansia
1.8. mengetahui prognosis inkontinensia urin pada lansia

1.4 Manfaat
1.4.1 Penulis
Penulis dapat mengenali, mencegah, dan mengedukasi mengenai dampak yang
terjadi pada inkontinensia urin lansia.
1.4.2 Pembaca
Pembaca diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai
inkontinensia urin pada lansia.
1.4.3 Akademik
Dalam bidang akademik, penulis berharap supaya referat ini dapat digunakan
sebagai salah satu bahan pembelajaran bagi mahasiswa atau orang yang tertarik
pada inkontinensia urin pada lansia.








3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi
Menurut International Continence Society, inkontinensia urin didefinisikan
sebagai keluhan berkemih secara involunter (di luar kesadaran).

2.2 Epidemiologi
Perempuan lebih sering mengalami inkontinensia urin daripada laki-laki
dengan perbandingan 1,5:1 . Survei yang dilakukan oleh Divisi Geriatri Bagian Ilmu
Penyakit Dalam RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo di Poliklinik Geriatri RSUPN
Dr. Cipto Mangunkusumo (2003) terhadap 179 pasien geriatri mendapatkan angka
kejadian inkontinensia urin tipe stres pada laki-laki sebesar 20,5% dan perempuan
sebesar 32,5%. Sedangkan hasil penelitian di India terhadap 3000 wanita berbagai
umur menunjukkan bahwa prevalensi inkontinensia urin sebesar 21,8% dan 42,8%
nya memiliki usia 61-70 tahun
1,2
2.3 Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, terjadi beberapa perubahan pada anatomi
dan fungsi organ untuk berkemih, antara lain melemahnya otot dasar panggul akibat
multigravida, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan
seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi abnormal dari
dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah
menimbulkan rasa ingin berkemih.

Penyebab inkontinensia urin antara lain terkait dengan gangguan di saluran
kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya
gangguan kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah
bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah
terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan
terapi estrogen topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani
prostatektomi. Inkontinensia urin juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih
4

karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang
harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa
diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin
meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke
toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk
mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan
substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus
disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang tepat. Pasien
lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang dideritanya
yang menjadi faktor pencetus inkontinensia urin. Jika kondisi ini yang terjadi, maka
penghentian atau penggantian obat jika memungkinkan, penurunan dosis atau
modifikasi jadwal pemberian obat.
Golongan obat yang berkontribusi pada inkontinensia urin, antara lain,
diuretika, antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic
adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan psikotropika seperti
antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil dalam
inkontinensia urin. Kafein dan alkohol juga berperan dalam terjadinya inkontinensia
urin. Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urin juga terjadi akibat
kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan
(obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan
berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar
panggul karena tertekan selama masa mengandung.

Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat
regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat
meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urin. Dengan menurunnya kadar
hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi
penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga
menyebabkan terjadinya inkontinensia urin. Faktor risiko yang lain adalah obesitas
atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko
mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan
mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan
otot dasar panggul.

5

2.4 Fisiologi dan Patofisiologi
2.3.1 Fisiologi berkemih
Pusat pengaturan refleks berkembih diatur di medula spinalis segmen sakral.
Proses berkemih dibagi menjadi 2 fase yaitu fase pengisian dan fase pengosongan.
Pada fase pengisian kandung kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom
simpatis yang menyebabkan penutupan katup leher kandung kemih, relaksasi dinding
kandung kemih, serta penghambatan saraf parasimpatis. Pada fase pengosongan,
aktifitas simpatis dan somatik menutun, sedangkan parasimpatis meningkat sehingga
terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher kandung kemih.


Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan
rangkaian koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi menjadi
2 fase yaitu, fase pengisisan, dengan kandung kemih berfungsi sebagai reservoar
urine yang masuk secara berangsur-angsur dari ureter, dan fase miksi dengan
kandung kemih befungsi sebagai pompa serta menuangkan urin melalui uretra dalam
waktu relatif singkat.


Pada keadaan normal selama fase pengisian tidak terjadi
6

kebocoran urin, walaupun kandung kemih penuh atau tekanan intraabdomen
meningkat seperti sewaktu batuk, meloncat-loncat atau kencing. Peningkatan isi
kandung kemih memperbesar keinginan ini dan pada keadaan normal tidak terjadi
kebocoran di luar kesadaran. Pada fase pengosongan, isi seluruh kandung kemih
dikosongkan sama sekali. Orang dewasa dapat mempercepat atau memperlambat
miksi menurut kehendaknya secara sadar, tanpa dipengaruhi kuatnya rasa ingin
kencing. Cara kerja kandung kemih yaitu sewaktu fase pengisian otot kandung kemih
tetap relaksasi sehingga meskipun volume kandung kemih meningkat, tekanan di
dalam kandung kemih tetap rendah. Sebaliknya otot-otot yang merupakan
mekanisme penutupan selalu dalam keadaan kontraksi untuk menutup aliran ke
uretra. Sewaktu miksi, tekanan di dalam kandung kemih meningkat karena kontraksi
aktif otot-ototnya, sementara terjadi relaksasi mekanisme penutup di dalam uretra.
Uretra membuka dan urin memancar keluar. Ada semacam kerjasama antara otot-otot
kandung kemih dan uretra, baik semasa fase pengisian maupun sewaktu fase
pengeluaran. Pada kedua fase itu urin tidak boleh mengalir balik ke dalam ureter
(refluks).

Proses berkemih normal melibatkan mekanisme volunter dan involunter.
Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada dibawah kontrol volunter dan
disuplai oleh saraf pudenda, sedangkan m. detrusor kandung kemih dan sfingter
uretra internal berada di bawah kontrol sistem safar otonom, yang mungkin
dimodulasi oleh korteks otak. Kandung kemih terdiri atas 4 lapisan, yakni lapisan
serosa, lapisan otot detrusor, lapisan submukosa dan lapisan mukosa.

7



Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung kemih terjadi dan bila otot
kandung kemih berkontraksi pengosongan kandung kemih atau proses berkemih
berlangsung. otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan
kandung kemih. Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor, saraf pelvis, medula
spinalis dan pusat saraf yang mengontrol berkemih. Ketika kandung kemih seseorang
mulai terisi oleh urin, rangsangan saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medula
spinalis ke pusar saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal
dan serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi sehingga dapat mengisi
tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian
kandung kemih berlanjut, rasa penggebungan kandung kemih disadari, dan pusat
kortikal (pada lobus frontal), bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada
pusat kortikal dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi
kemampuan menunda pengeluaran urin. Komponen penting dalam mekanisme
sfingter adalah hubungan urethra dengan kandung kemih dan rongga perut.
Mekanisme sfingter berkemih memerlukan agulasi yang tepat antara urethra dan
kandung kemih. Fungsi sfingter urethra normal juga tergantung pada posisi yang
tepat dari urethra sehiingga dapat meningkatkan tekanna intraabdomen secara efektif
8

ditrasmisikan ke ureter. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin tidak akan keluar
pada saat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intraabdomen. Mekanisme
dasar proses berkemih diatur oleh refleks-refleks yang berpusat di medula spinalis
segmen sakral yang dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian kandung
kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan
penutupan leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih serta
penghambatan aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inversi somatik pada otot
dasar panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun,
sedangkan parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan
pembukaan leher kandung kemih. Proses reflek ini dipengaruhi oleh sistem saraf
yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan serebelum.

2.3.2 Proses Menua dan Inkontinensia Urin
Inkontinensia pada usia lanjut bukan merupakan kondisi normal , namun
merupakan faktor predisposisi terjadinya inkontinensia urin. Berbagai perubahan
anatomis dan fisiologis terjadi pada orang tua. Perubahan-perubahan tersebut
berkaitan dengan penurunan kadar estrogen pada perempuan dan hormon androgen
pada lak-laki.
Pada dinding kandung kemih terjadi peningkatan fibrosis dan kandungan kolagen,
sehingga mneyebabkan fungsi kontraktil tidak efektif lagi, dan mudah terbentuk
trabekulasi sampai divertikel. Selain itu juga terjadi atrofi mukosa, perubahan
vaskularisasi submukosa, dan menipisnya lapisan otot uretra, sehingga terjadi
penurunan tekanan penutupan uretra .
Dasar panggul mempunyai peran penting dalam mempertahankan miksi.
Melemahnya fungsi dasar panggul disebabkan berbagai faktor fisiologis dan
patologis (trauma, operasi). Perbahan fisiologis dasar panggul tercantum pada tabel
di bawah ini
Perubahan-perubahan fisiologik terkait Proses Menua pada Saluran Kemih Bawah
Kandung kemih Perubahan Morfologis
Trabekulasi
Fibrosis
9

Saraf otonom
Pembentukan divertikula
Perubahan Fisiologis
Kapasitas
Kemampuan menahan kemcing
Kontraksi involunter
Volume residu setelah berkemih
Uretra Perubahan Morfologis
Komponen seluler
Deposit kolagen
Perubahan Fisiologis
Tekanan penutupan
Prostat Hiperplasia dan membesar
Vagina Komponen seluler
Mukosa atrofi
Dasar Panggul Deposit kolagen
Rasio jaringan ikat-otot
Otot melemah


Secara keseluruhan perubahan akibat proses menua pada sistem urogenital
menyebabkan posisi kandung kemih prolaps sehingga melemahkan tekanan akhiran
kemih keluar.
1


10

Pada usia lanjut biasanya ada beberapa jenis inkontinensia urin yaitu ada
inkontinensia urin tipe stress, inkontinensia tipe urgensi, tipe fungsional dan tipe
overflow. Patofisiologi yang akan dibahas adalah inkontinensia urin tipe stress
dimana inkontinensia urin tipe stres merupakan inkontinensia urin yang paling
banyak dijumai pada perempuan. Ada sebuah penelitian yang melaporkan bahwa
inkontinensia urin stres ternyata tidak hanya disebabkan oleh kegagalan penyokong
ureter tetapi juga karena penutupan leher vesika yang tidak adekuat dan gangguan
pada sestem kendali kontinensia urin (neuromuskular). Pemahaman itu memicu
kesimpulan bahwa tatalaksana yang diberikan pada perempuan dengan inkontinensia
urin harus disesuaikan dengan jenis inkontinensia urin dan penyebab kerusakan;
sebaiknya tatalaksana ini tidak disamaratakan untuk semua kasus inkontinensia urin.
Untuk lebih memahami patofisiologinya, inkontinensia urin akan dibahas dengan
pendekatan anatomi dan fisiologi.

Gambar 1. Tampak lateral mekanisme kontinensia yang memperlihatkan pendesakan
fasia endopelvis menuju fascia arkus tendinosus pelvis dan otot levator ani.

Irisan lateral organ panggul pada gambar 1 menunjukkan anatomi yang
berkaitan dengan sistem kendali kontinensia. Beberapa komponen penting yang
berperan ialah otot levator ani yang berjalan dari tulang pubis menuju ke sfingter ani
dibalik rectum untuk menyokong organ pelvis. Otot itu berjalan disebelah lateral
fascia arkus tendinosus pelvis yang merupakan fasia endopelvis yang
menghubungkan tulang pubis dengan spina isiadika. Fasia tersebut cenderung
berperan pasif dalam mekanisme kontinensia tetapi hubungan fascia itu dengan otot
levator ani merupakan elemen penting dalam sistem kendali in. Hubungan tersebut
memungkinkan kontraksi aktif otot pelvis untuk memicu elevasi leher vesika.
11

Aktivitas konstn normal otot levator ani menyokong leher vesika dalam proses miksi
normal.
Salah satu pertanyaan penting ialah bagaimana aparatus itu dapat menjaga
uretra tertutup rapat walaupun tekanan dalam vesika meningkat pada waktu batuk
keras tanpa dapat mendesak urin keluar melalui uretra. Pada model konseptul
dijelaskan bahwa stabilitas lapisan penyokong cenderung lebih mempengaruhi
terjadinya kontinensia dibandingkan dengan tinggi uretra. Individu dengan lapisan
penyokong yang kuat, uretra akan ditekan antara tekanan abdominal dan fasia pelvis
pada arah yang sama. Kondisi tersebut diibaratkan saaat seseorang dapat
menghentikan aliran air yang melalui selang taman dengan menginjak selang dan
menekan ke arah lantai keras yang mendasari. Jika lapisan dibawah uretra tidak stabil
dan tidak memberikan tahanan yang kokoh terhadap tekanan abdominal yang
menekan uretra, maka tekanan yang berlawanan akan menyebabkan hilangnya
penutupan dan kerja oklusi akan berkurang. Kondisi yang terjadi selanjutnya dapat
diibaratkan seperti saat seseorang mencoba menghentikan aliran air melalui selang
taman dengan menginjak selang yang berada di atas tanah liat.
Analog tersebut juga dapat menjelaskan mengapa pada inkontinensia urin dapat
terbentuk sistoureterokel yang besar dan pada pasien dengan uretra yang terletak jauh
dibawah posisi normal sering kali tidak dapat menjalankan fungsi kontinensia dengan
baik. Jika lapisan suburetral dapat mempertahankan stabilitasnya maka mekanisme
itu dipertahankan efektif (gambar 2).

12

Gambar 2. A. tekanan abdominal medesak uretra terhadap penyokong uretra. B. Pada
gambar ini, jaringan penyokong tidak stabil sehingga tidak membentuk jaringan yang
kokoh saat uretra ditekan. C. Sistouretrokel terbentuk saat uretra terletak lebih rendah
dari normal tetapi memiliki lapisan penyokong kuat yang memungkinkan kompresi
uretra.


2.5 Diagnosis
2.5.1. Anamnesis
Pada inkontinensia urin, pasien datang dengan keluhan sering tidak dapat
menahan kencing sehingga sering kencing dicelana sebelum sampai ke kamar
mandi. Passien juga mengatakan kadang saat tertawa terbahak, tanpa sadar
terkencing-kencing. Sedangkan penyakit jantung, darah tinggi, kencing manis
sebelumnya tidak ada.
2.5.2. Pemeriksaan Fisik
3-6

Tujuan pemeriksaan fisik adalah mengenali pemicu inkontinensia urin dan
membantu menetapkan patofisiologinya. Selain pemeriksaan fisik umum yang
selalu harus dilakukan, pemeriksaan terhadap abdomen, genitalia, rectum,
fungsi neurologis, dan pelvis (pada wanita) sangat diperlukan.
Pemeriksaan abdomen harus mengenali adanya kandung kemih yang penuh,
rasa nyeri, massa, atau riwayat pembedahan.
Kondisi kulit dan abnormalitas anatomis harus diidentifikasi ketika
memeriksa genitalia.
Pemeriksaan rectum terutama dilakukan untuk medapatkan adanya obstipasi
atau skibala, dan evaluasi tonus sfingter, sensasi perineal, dan refleks
bulbokavernosus. Nodul prostat dapat dikenali pada saat pemeriksaan rectum.
Pemeriksaan pelvis mengevaluasi adanya atrofi mukosa, vaginitis atrofi,
massa, tonus otot, prolaps pelvis, dan adanya sistokel atau rektokel.
Evaluasi neurologis sebagian diperoleh saat pemeriksaan rectum ketika
pemeriksan sensasi perineum, tonus anus, dan refles bulbokavernosus.
Pemeriksaan neurologis juga perlu mengevaluasi penyakit-penyakit yang
dapat diobati seperti kompresi medula spinalis dan penyakit parkinson.
13

Pemeriksaan fisik seyogyanya juga meliputi pengkajian tehadap status
fungsional dan kognitif, memperhatikan apakah pasien menyadari keinginan
untuk berkemih dan mengunakan toilet.
2.5.3. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Ouslander, tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk
mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan inkontinensia,
mengidentifikasi kebutuhan klien dan menentukan tipe inkontinensia.
Mengukur sisa urin setelah berkemih, dilakukan dengan cara setelah buang air
kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau
menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti
pengosongan kandung kemih tidak adekuat.
2.5.3.1. Urinalisis
Dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi
adanya faktor yang berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin
seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes
diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis
belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah:
2.5.3.2. Laboratorium tambahan
Kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa sitologi.
2.5.3.3. Tes urodinamik
Untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawah.
2.5.3.4. Tes tekanan urethra
Mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat dianmis.
2.5.3.5. Radiologi
Imaging --> tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.

2.6 Klasifikasi Inkontinensia Urin
Inkontinensia Transien
Inkontinensia transien memiliki onset yang mendadak, biasanya dihubungkan dengan
penggunaan obat-obatan atau penyakit akut.
Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet
sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia urin
14

umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat
memicu timbulnya inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia
persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya.
Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula
menyebabkan inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis
dan urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga sering
menyebabkan inkontinensia akut.
Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya
inkontinensia urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena
dapat menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya
inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan terjadinya
inkontinensia urin seperti Calcium Channel Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesic
narcotic, psikotropik, antikolinergik dan diuretic.
Untuk mempermudah mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible
dapat menggunakan akronim (Resnick 1984) di bawah ini :
D : Delirium
I : Infection of urinary tract or other infection
A : Atrophic urethritis and vaginitis
P : Pharmaceutical (diuretics, anticholinergic, antihistamine, Ca channel
blocker)
P : Psychological Problems, especially depression
E : Excess urine output (eg. congestive heart failure, hyperglycaemia)
R : Restricted mobility
S : Stool impaction
Inkontinensia Urin Persisten
Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, meliputi
anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinis lebih
bermanfaat karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis.

15


Kategori klinis meliputi :
a. Inkontinensia urin stress (stres inkontinence)
Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan intraabdominal, seperti
pada saat batuk, bersin atau berolah raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot
dasar panggul, merupakan penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia di bawah 75
tahun. Lebih sering terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-laki akibat
kerusakan pada sfingter urethra setelah pembedahan transurethral dan radiasi. Pasien
mengeluh mengeluarkan urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang
keluar dapat sedikit atau banyak.

b. Inkontinensia urin urgensi (urgency inkontinence)
Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan
berkemih. Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak
terkendali (detrusor overactivity). Masalah-masalah neurologis sering dikaitkan dengan
inkontinensia urin urgensi ini, meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia dan cedera
medula spinalis. Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet setelah timbul
keinginan untuk berkemih sehingga timbul peristiwa inkontinensia urin. Inkontinensia
tipe urgensi ini merupakan penyebab tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun.
Satu variasi inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan kontraktilitas
yang terganggu. Pasien mengalami kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan
kandung kemih sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urin stress,
overflow dan obstruksi. Oleh karena itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena
dapat menyerupai ikontinensia urin tipe lain sehingga penanganannya tidak tepat.

c. Inkontinensia urin luapan / overflow (overflow incontinence)
Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi kandung kemih
yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat,
faktor neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang menyebabkan
berkurang atau tidak berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-faktor obat-obatan.
16

Pasien umumnya mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa kandung
kemih sudah penuh.

d. Inkontinensia urin fungsional
Memerlukan identifikasi semua komponen tidak terkendalinya pengeluaran urin
akibat faktor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab tersering adalah demensia berat,
masalah muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang menyebabkan kesulitan untuk
pergi ke kamar mandi, dan faktor psikologis.
2.7 Komplikasi

Inkontinensia urin dapat menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, lecet
pada area bokong sampai dengan ulkus dekubitus karena selalu lembab, serta jatuh dan
fraktur akibat terpeleset oleh urin yang tercecer.
2.8 Penatalaksanaan

Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi. Akan tetapi
pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi konservatif. Latihan otot
dasar panggul adalah terapi non operatif yang paling populer, selain itu juga dipakai obat-
obatan, stimulasi dan pemakaian alat mekanis.
Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor
resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi
lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.
Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia
urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan
lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah:
Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih)
dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari.
Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum
waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-
17

mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin
berkemih setiap 2-3 jam.
Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan
kebiasaan lansia.
Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi
berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila
ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif
(berpikir).
Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar
panggul secara berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar
panggul tersebut adalah dengan cara :
Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian
pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri 10 kali, ke depan ke belakang 10
kali, dan berputar searah dan berlawanan dengan jarum jam 10 kali.
Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan
10 kali.
Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup
dengan baik.
Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik
seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine.
Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine
untuk meningkatkan retensi urethra.
Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau
alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi
diberikan secara singkat.

Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila
terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow
18

umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi
ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic
(pada wanita).
Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan
inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami
inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti
urinal, komod dan bedpan.
Pampers
Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana pengobatan
sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urin. Namun pemasangan pampers juga
dapat menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung
pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu dapat
menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi.

Kateter
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena dapat
menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu. Selain
kateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan alat yang secara rutin
digunakan untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini digunakan pada
pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini juga
beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih.

Alat bantu toilet
Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjut yang
tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebut akan
menolong lansia terhindar dari jatuh serta membantu memberikan kemandirian
pada lansia dalam menggunakan toilet.

19

2.9 Prognosis

Inkontinensia urin tipe sterss biasanya dapat diatasi dengan latihan otot dasar
panggul, prognesia cukup baik.
Inkontinensia urin tipe urgensi atau overactive blader umumnya dapat diperbaiki
dengan obat obat golongan antimuskarinik, prognosis cukup baik.
Inkontinensia urin tipe overflow, tergantung pada penyebabnya (misalnya dengan
mengatasi sumbatan / retensi urin).















20

BAB III
KESIMPULAN
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan kencing. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang baik, dengan beberapa prosedur diagnostik yang diperlukan
mempunyai hasil yang baik untuk menegakkan diagnosis gangguan ini. Jenis
inkontinensia urine yang utama yaitu inkontinensia stres, urgensi, luapan dan fungsional.
Inkontinensia pada usia lanjut bukan merupakan kondisi normal , namun
merupakan faktor predisposisi terjadinya inkontinensia urin. Berbagai perubahan
anatomis dan fisiologis terjadi pada orang tua. Perubahan-perubahan tersebut berkaitan
dengan penurunan kadar estrogen pada perempuan dan hormon androgen pada lak-laki.
Pada dinding kandung kemih terjadi peningkatan fibrosis dan kandungan kolagen,
sehingga mneyebabkan fungsi kontraktil tidak efektif lagi, dan mudah terbentuk
trabekulasi sampai divertikel. Selain itu juga terjadi atrofi mukosa, perubahan
vaskularisasi submukosa, dan menipisnya lapisan otot uretra, sehingga terjadi penurunan
tekanan penutupan uretra .
Penatalaksanaan konservatif dilakukan pada kasus inkompeten sfingter uretra
sebelum terapi bedah. Bila dasar inkontinensia neurogen atau mental maka pengobatan
disesuaikan dengan faktor penyebab.








21

DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati S dan Pramantara IDP. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam .Sudoyo AW et al.
editor. Jakarta : Interna Pulishing ;2009 : 865-875

2. Urol IJ. Prevalence and risk factors of urinary incontinence in Indian women: A
hospital-based survey. Indian Journal of Urology. 2013; 29(1): 3136
3. Santoso BI. Inkontinensia urin pada perempuan. MKI. 2008 Juli; vol 58(no.7):
258-64
4. Setiati S, Pramantara IDP. Buka ajar ilmu penyakit dalam. Inkontinensia urin dan
kandung kemih hiperaktif. Jilid I. Edisi ke-5. Jakarta: InternaPublishing; 2009: hal
86575.
5. Ocallaghan CA. The renal system at a glance. 2nd ed. Jakarta: erlangga; 2006.
6. Baradero M, Dayrit MW, Siswadi Y. Klien gangguan ginjal: seri asuhan
keperawatan. Jakarta: EGC; 2005.
7. Kong TK. Clinical Guidelines on Geriatric Urinary Incontinence. Desember 2003.
8. Abrams P, et al. Guidelines on Urinary Incontinence. European Association of
Urology. 2006.
9. Abrams P, Cardozo L, Fall M, et al: The standardization of terminology of lower
urinary tract infection: Report from the Standardization Sub-committee of the
International Continence Society. Neurourol Urodyn 2002; 21:167-178.

Anda mungkin juga menyukai