Anda di halaman 1dari 19

PENYAKIT NEUROMUSKULAR DAN NEUROPATI

Carpal Tunnel Syndrome


Carpal tunnel syndrome adalah keadaan nervus medianus tertekan di daerah pergelangan
tangan sehingga menimbulkan rasa nyeri, parestesia, dan kelelahan otot tangan. Tempat
penekanan nervus medianus lainnya adalah di daerah siku. Ini menyebabkan sindrom pronator,
yaitu pada gerak pronasi lengan bawah secara maksimal akan menimbulkan rasa nyeri.
Etiologi
Sebagian besar kasus CTS (>50%) bersifat idiopatik, tetapi berbagai kondisi dapat berkontribusi
sebagai penyebab, yaitu:
a. Kondisi kesehatan lain seperti artritis reumatoid, kelainan hormonal tertentu seperti
diabetes, kelainan tiroid, menopause, retensi cairan pada kehamilan.
b. Karakteristik fisik. Carpal tunnel seseorang dapat lebih sempit daripada populasi umum
c. Proses penuaan normal dengan peningkatan massa di tenosinovium
d. Tekanan langsung atau lesi desak ruang di dalam carpal tunnel dapat meningkatkan
tekanan pada nervus medianus dan menyebabkan CTS
e. Tenosinovitis,yaitu peradangan membran musin tipis yang menyelimuti tendon
f. Sindrom double crush, kompresi atau iritasi nervus medianus di atas pergelangan tangan
g. Aktifitas yang membutuhkan penggunaan tangan dengan kombinasi gerakan berulang
pergelangan tangan atau jari, dan pekerjaan yang menggunakan alat yang menimbulkan
getaran
h. Faktor keturunan
Gejala Klinis
Carpal tunnel syndrom menimbulkan beragam gejala khas dari gejala sakit sedang hingga gejala
sakit yang berat. Gejala gejala ini akan semakin bertambah berat dan penderita yang telah
didiagnosis dengan carpal tunnel syndrome akan mengeluhkan sensasi mati rasa (numbness),
kesemutan, dan sensasi terbakar pada jari jempol, jari telunjuk dan jari tengah dimana ketiga
jari tersebut diinervasi oleh N. Medianus.2,3 Pada beberapa penderita juga sering mengeluhkan
rasa sakit pada tangan atau pergelangan tangan dan hilangnya kekuatan menggenggam. Rasa
nyeri juga timbul pada lengan dan pundak serta benjolan pada tangan; rasa nyeri ini akan terasa
teramat sakit terutama di malam hari saat tidur.
Mati rasa (numbness) dan kesemutan (paresthesia) pada area yang dipersarafi oleh N. Medianus
merupakan gejala neuropathy akibat sindrom jebakan canalis carpi (carpal tunnel entrapment).
Kelemahan dan atrofi otot otot thenar akan timbul selanjutnya jika kondisi ini semakin tak
terobati.
Patogenesis
Adanya disproporsi antara volume CT dengan isinya, yaitu bertambahnya volume dari isi
carpal Tunnel atau berkurangnya volume dari CT tersebut. Dengan adanya Disproporsi akan
terjadi penekanan pd vasa vasorum dari N. Medianus serta ischemic sehingga akan menekan
syaraf pada pembedahan akan tampak syaraf yang pipih seperti pita.
Bertambahnya volume CT, karena:
Penebalan / fibrosis dari Fleksor sinovialis merupakan penyebab tersering. Hasil biopsi:
RA, inflamasi non spesific kronis, Penyakit degeneratif
Udema di dalam CT , sehingga memberi tekanan dan kompresi pada syaraf, karena
faktor:
a. Hormonal adanya retensi cairan pd jaringan yang ada di CT. misalnya: Menstruasi,
kehamilan, menopouse, diabetes mellitus, disini miksudema pada hipotiroidisme.
b.
Proses radang, misal: RA, osteoarhtritis.
c. Tumor dan keadaan lain yang menambah isi dari CT, misalnya: Ganglion, neuroma,
lipoma, kista sinovitis, hematoma, deposit Calsium, amiloidosis, Chondrocalsinosis.
d. Penyakit Ocupasi adalah penyakit yang disebabkan karena penggunaan tangan
secara berlebihan pada keadaan Hiperekstensi pada pergelangan tangan, sehingga
tekanan CT meningkat dari pada tangan dengan posisi netral.
e. Trauma akan merubah countour normal CT atau pembentukan tulang baru yang
berlebihan pada Colles fracture
Terjadinya Neurophaty saat injuri disebabkan karena fragmen tulang patah atau
ujung ligamentum menekan n. medianus.
f. Infeksi pada tenosinovitis kronis dan tuberkulosa.
g. Kongenital, apabila ada anomali didaerah CT, misal perpanjangan

Muscle Belly dari M. Fleksor digitorum sublimis, atau pembesaran pembuluh darah
sehingga terjadi penekanan terhadap nervus medianus.
h. Vascular Shunt pada renal dialisis yang berulang, pembuatan shunt
didaerah tangan, tetapi hal ini masih dalam perdebatan.
Atau bisa dikatakan umumnya CTS terjadi secara kronis di mana terjadi penebalan fleksor
retinakulum yang menyebabkan tekanan terhadap nervus medianus. Tekanan yang berulangulang dan lama akan mengakibatkan peninggian tekanan intrafasikuler. Akibatnya aliran darah
vena intrafasikuler melambat. Kongesti yang terjadi ini akan mengganggu nutrisi intrafasikuler
lalu diikuti oleh anoksia yang akan merusak endotel. Kerusakan endotel ini akan mengakibatkan
kebocoran protein sehingga terjadi edema epineural. Hipotesa ini menerangkan bagaimana
keluhan nyeri dan sembab yang timbul terutama pada malam/pagi hari akan berkurang setelah
tangan yang terlibat digerak-gerakkan atau diurut (mungkin akibat terjadinya perbaikan
sementara pada aliran darah). Apabila kondisi ini terus berlanjut akan terjadi fibrosis epineural
yang merusak serabut saraf. Lama-kelamaan safar menjadi atrofi dan digantikan oleh jaringan
ikat yang mengakibatkan fungsi nervus medianus terganggu secara menyeluruh
Pada CTS akut biasanya terjadi penekanan yang melebihi tekanan perfusi kapiler
sehingga terjadi gangguan mikrosirkulasi dan timbul iskemik saraf. Keadaan iskemik ini
diperberat lagi oleh peninggian tekanan intrafasikuler yang menyebabkan berlanjutnya
gangguan aliran darah. Selanjutnya terjadi vasodilatasi yang menyebabkan edema sehingga
sawar darah-saraf terganggu. Akibatnya terjadi kerusakan pada saraf tersebut
Tekanan langsung pada safar perifer dapat pula menimbulkan invaginasi Nodus Ranvier
dan demielinisasi lokal sehingga konduksi saraf terganggu.
Akhirnya setelah adanya disproporsi dan kompresi terhadap nervus medianus akan
menimbulkan suatu gejala / simptom. Yaitu nyeri, rasa terbakar dan rasa seperti di tusuk
tusuk pada daerah carpal
Stadium pada kelainan syaraf:
Stadium I:
Timbulnya distensi kapiler intrafasikuler yang menyebabkan meningkatkan tekanan
intrafasikuler. Sehingga keadaan tersebut dapat menimbulkan konstriksi pembuluh darah
kapiler. Keadaan ini yang menyebabkan timbulnya gangguan nutrisi serta akan terjadi
hipereksitabilitas serabut saraf.
Stadium II
Adanya kompresi pada pembuluh kapiler akan menyebabkan anoksia dan kerusakan
endotelium kapiler. Masuknya protein ke dalam jaringan akan menyebabkan edema.
Protein tidak dapat keluar melalui perineurium oleh karena akumulasi dalam
endoneurium yang mana telah menyatu dengan metabolisme serta nutrisi aksonal.
Pada keadaan tersebbut juga diiikuti adanya proliferasi dari fibroblast serta iskemik pada
jaringan ikat yang mengalami konstriksi. Pada tahap akhir dari kompresi saraf, akan
terjadi defek pada motorik maupun sensorik.
Dasar patofisiologi dari penekanan dari saraf ini di awali dengan berkurang nya aliran darah
yang timbul dengan tekanan 20 30 mmHg. Pada penderita CTS tekanan pada terowongan
sedikitnya mencapai 33 mmHg dan bahkan sering mencapai 110 mmHG saat pergelangan
tangan pada dalam posisi ekstensi posisi dorsofleksi ini nampaknya merupakan posisi yang
meningkatkan tekanan intra karpal yang paling tinggi. Tekanan sebesar 50 mmHG selama 2jam
akan menyebabkan oedema epineurium bila tekanan tersebut berlangsung selama 8 jam maka
akan mengakibatkan tekanan cairan endoneurium meningkat sebesar 4 kali dan menghambat
transport aksonal jika trauma ini terus terjadi pada endotel kapiler maka akan semakin banyak
protein yang bocor masuk kedalam jaringan sehingga oedema makin menghebat dengan
demikian lingkaran akan terjadi.
Dampak yang terjadi lebih nyata pada endoneurium, karena lebih banyak eksudat dan
oedema yang menumpuk disana akibat tidak dapat menembus perineurium. Perineurium lebih
tahan terhadap perubahan tekanan karena kelenturan.
Diagnosa
Diagnosa STK ditegakkan selain berdasarkan gejala-gejala di atas juga didukung oleh beberapa
pemeriksaan yaitu :
1. Pemeriksaan fisik
Harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh pada penderita dengan perhatian khusus pada
fungsi, motorik, sensorik dan otonom tangan. Beberapa pemeriksaan dan tes provokasi
yang dapat membantu menegakkan diagnosa CTS adalah 4 :

a. Flick's sign. Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau menggerakgerakkan jari-jarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang akan menyokong
diagnosa CTS. Harus diingat bahwa tanda ini juga dapat dijumpai pada penyakit
Raynaud.
b. Thenar wasting. Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi otototot thenar.
c. Menilai kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan otot secara manual
maupun dengan alat dinamometer. Penderita diminta untuk melakukan
abduksi maksimal palmar lalu ujung jari dipertemukan dengan ujung jari lainnya.
Di nilai juga kekuatan jepitan pada ujung jari-jari tersebut. Ketrampilan/ketepatan
dinilai dengan meminta penderita melakukan gerakan yang rumit seperti menulis
atau menyulam.
d. Wrist extension test. Penderita melakukan ekstensi tangan secara maksimal,
sebaiknya dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga dapat dibandingkan.
Bila dalam 60 detik timbul gejala-gejala seperti CTS, maka tes ini menyokong
diagnosa CTS.
e. Phalen's test. Penderita melakukan fleksi tangan secara maksimal. Bila dalam
waktu 60 detik timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa. Beberapa
penulis berpendapat bahwa tes ini sangat sensitif untuk menegakkan diagnosa
CTS.
f. Torniquet test. Dilakukan pemasangan torniquet dengan menggunakan tensimeter
di atas siku dengan tekanan sedikit di atas tekanan sistolik. Bila dalam 1 menit
timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa.
g. Tinel's sign. Tes ini mendukung diagnosa hila timbul parestesia atau nyeri pada
daerah distribusi nervus medianus kalau dilakukan perkusi pada terowongan
karpal dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi.
h. Luthy's sign (bottle's sign). Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari
telunjuknya pada botol atau gelas. Bila kulit tangan penderita tidak dapat
menyentuh dindingnya dengan rapat, tes dinyatakan positif dan mendukung
diagnosa.
Pemeriksaan sensibilitas. Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik (twopoint discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus medianus, tes
dianggap positif dan menyokong diagnosa.

2. Pemeriksaan neurofisiologi (elektrodiagnostik)


a. Pemeriksaan EMG dapat menunjukkan adanya fibrilasi, polifasik, gelombang positif
dan berkurangnya jumlah motor unit pada otot-otot thenar. Pada beberapa kasus
tidak dijumpai kelainan pada otot-otot lumbrikal. EMG bisa normal pada 31 %
kasus CTS.
b. Kecepatan Hantar Saraf (KHS). Pada 15-25% kasus, KHS bisa normal. Pada yang
lainnya KHS akan menurun dan masa laten distal (distal latency) memanjang,
menunjukkan adanya gangguan pada konduksi safar di pergelangan tangan. Masa
laten sensorik lebih sensitif dari masa laten motorik.
3. Pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan sinar X terhadap pergelangan tangan dapat
membantu melihat apakah ada penyebab lain seperti fraktur atau artritis. Foto palos
leher berguna untuk menyingkirkan adanya penyakit lain pada vertebra. USG, CT scan
dan MRI dilakukan pada kasus yang selektif terutama yang akan dioperasi.
4. Pemeriksaan laboratorium. Bila etiologi CTS belum jelas, misalnya pada penderita
usia muda tanpa adanya gerakan tangan yang repetitif, dapat dilakukan beberapa
pemeriksaan seperti kadar hormon tiroid ataupun darah lengkap.
Terapi / Penatalaksanaan
Nonoperasi
1. Splint (Bidai Immobilisasi)
Splint atau bidai pada pergelangan tangan membantu mengurangi mati rasa
dengan mengurangi fleksi pergelangan tangan. Bidai digunakan pada malam hari untuk
mereposisi tangan, mencegah fleksi atau ekstensi tangan saat tidur yang bisa

meningkatkan tekanan. Bidai biasanya digunakan pada pasien dengangelaja yang ringan
sampai sedang yang berlangsung kurang dari 1 tahun.
2. Peregangan (Stretching)
Beragam gerakan peregangan dapat membantu pencegahan terhadap CTS,
namun banyak orang yang tidak tahu akan kegunaan peregangan otot otot pergelangan
tangan dan tangan. Untuk mengurangi insiden terserang CTS, berikut ini adalah gerakan
peregangan yang bisa dilakukan:
Gerakan 1, Gerakan Mengepal dan Membuka
Kepalkan tangan dengan kencang selama 3 5 detik, lalu lepaskan dan ratakan seluruh
jari jari tangan. Ditahan selama 3 5 detik juga. Ulangi gerakan ini sebanyak 5 kali di tiap
tangan.
Gerakan 2 : Peregangan
Gerakan perengan ini dapat mengurangi rasa sakit dan tekanan yang disebabkan oleh
pergerakan tangan repetitif dalam periode tertentu. Dengan menggunakan salah satu tangan,
jari jari di tangan lain di lebarkan sebisa mungkin tanpa menimbulkan rasa nyeri. Hasil dari
peregangan dapat dirasakan pada telapak tangan dan pergelangan tangan. Tahan posisi
peregangan ini selama 3 5 detik lalu lepaskan. Lakukan gerakan ini sebanyak 5x di tiap tangan
yang telah dilakukan gerak mengepal dan meregang.
3. Injeksi Kortikosteroid Lokal
Injeksi kortikosteroid cukup efektif sebagai penghilang gejala CTS secara temporer
dalam waktu yang singkat. Metilprednisolon atau hidrokortison bisa disuntikkan langsung
ke carpal tunnel untuk menghilangkan nyeri. Injeksi kortikosteroid dapat mengurangi
peradangan, sehingga mengurangi tekanan pada nervus medianus. Pengobatan ini tidak
bersifat untuk dilakukan dalam jangka waktu yang panjang. Pada kebanyakan pasien,
pembedahan merupakan satu satunya pengobatan yang bisa memberikan
penyembuhan permanen.
4. Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID)
Obat-obatan jenis NSAID dapat mengurangi inflamasi dan membantu
menghilangkan nyeri. Pada umumnya digunakan untuk menghilangkan nyeri ringan
sampai sedang. Obat pilihan untuk terapi awal biasanya adalah ibuprofen. Untuk pilihan
lainnya ada ketoprofen dan naproxen.
5. Fisioterapi dan Terapi Okupasi
Prosedur fisioterapi ini harus dilakukan secaraspesifik terhadap pola nyeri/gejala dan
disfungsi yang ditemukan.
Terapi okupasi memberikan penyaranan ergonomik untuk mencegah gejala yang semakin
parah. Terapi okupasi memfasilitasi fungsi tangan melalui terapi adaptif tradisional. Olahraga
dengan gerakan merelaksasi dan meregangkan otot otot lengan dan tangan dapat mengurangi
resiko trauma ganda pada N. Medianus.
Pemijatan merupakan salah satu metode terapi yang sering digunakan untuk mengobati
gejala CTS. Perengangan dan pelepasan myofascial dapat menghilangkan rasa nyeri, mati rasa,
kesemutan dan nyeri terbakar dalam beberapa menit.
Operasi
Pada umumnya, terapi nonoperasi digunakan untuk kasus yang ringan. Jika gejala menetap
maka direkomendasikan untuk operasi. Tujuan dari operasi CTS adalah membelah lapisan
transkutaneus (Transcutaneus Layer/TCL). Pada saat TCL dipotong, maka tekanan nervus di
bawahnya akan berkurang.
Prognosis

Prognosis untuk carpal tunnel syndrome sangat baik.

Kasus ringan dapat merespon perawatan nonsurgical, seperti bracing dan injeksi steroid.

Kasus lanjut dapat diobati secara efektif dengan operasi.


Tarsal Tunnel Syndrome
Tarsal tunnel syndrome merupakan sebuah keadaan yang disebabkan karena adanya kompresi
pada nervus tibialis atau yang berhubungan dengan percabangannya yang melewati bagian
bawah dari flexor retinaculum pada pergelangan kaki atau di bagian distalnya.

Etiologi
Beberapa faktor berhubungan dengan terjadinya tarsal tunnel neuropathy. Soft-tissue
masses dapat menimbulkan compression neuropathy dari bagian saraf tibialis posterior. Contoh
termasuuk lipoma, tendon sheath ganglia, neoplasma pada tarsal canal, nerve sheath dan nerve
tumor, dan vena varicose. Tulang yang menonjol dan exostoses dapat pula menimbulkan
gangguan. Sebuah penelitian dari Daniel dan teman-temannya menunjukkan adanya deformitas
dari valgus pada rearfoot yang menghasilkan neuropathy dengan menigkatnya tensile load pada
saraf tibial.
Manifestasi Klinis
Gejala

Ketika terjadi kompresi saraf, menyebabkan nyeri pergelangan kaki dan sensasi terbakar,
mati rasa dan kesemutan pada telapak kaki.Gejala biasanya unilateral.

Gejala mungkin lebih buruk di malam hari.

Rasa sakit cenderung diperburuk oleh berdiri atau berjalan lama, biasanya memburuk
sebagai hari berlangsung dan biasanya dapat hilang dengan istirahat, elevasi atau pijat.

Nyeri dapat menyebar sepanjang telapak kaki, kadang-kadang sampai ke betis.

Nyeri dapat diperburuk ketika pergelangan kaki ditempatkan di dorsofleksi ekstrim.


Tanda

Pemeriksaan dapat mengungkapkan tanda Tinel (memancar nyeri berikut perkusi saraf di
belakang maleolus medial) atas saraf tibialis di pergelangan kaki. Panduan kompresi untuk
30 detik juga dapat mereproduksi gejala.

Pemeriksaan dapat mengungkapkan atrofi otot intrinsik dalam aspek medial kaki dan
gangguan sensorik atas satu-satunya.

Dua titik diskriminasi pengujian sensorik dapat menunjukkan yang cabang saraf plantar
dikompresi.

Patofisiologi
Sindrom tarsal tunnel adalah kompresi neuropathy dari nervus tibial pada tarsal canal.
Tarsal canal terdiri dari flexor retinaculum, dimana berada posterior dan distal dari maleolus
medial. Gejala dari kompresi dan tension neuropathy adalah mirip; akan tetapi, perbedaan dari
kondisi ini tidaklah semudah dengan mengidentifikasi gejalanya saja. Pada akhir-akhir ini,
kompresi dan tension neuropathy merupakan gejala yang terdapat bersama-sama. Fenomena
double-crush yang dipublikasikan oleh Upton dan McComas pada tahun 1973. Dengan
hipotesanya adalah: kerusakan lokal pada saraf pada satu sisi sepanjang saraf tersebut dapat
cukup merusak dari seluruh fungsi dari sel saraf (axonal flow), dimana sel saraf menjadi lebih
mudah terkena trauma kompresi pada bagian distal. Jaringan saraf mempunyai tanggung jawab
dalam menyalurkan sinyal afferent dan efferent sepanjang saraf tersebut dan mereka juga
mempunyai tanggung jawab dalam penyaluran nutrisi,dimana secara esensial untuk optimalnya
fungsi. Pergerakan dari nutrisi intraselular melewati beberapa tipe dari sitoplasma pada sel saraf
yang dinamakan axoplasma (sitoplasma dari Akson). Axoplasma bergerak bebas sepanjang dari
keseluruhan panjangnya saraf. Jika aliran dari axoplasma (axoplasmic flow) terhalangi, maka
jaringan saraf di bagian distal mengalami penurunan dari nutrisi dan mudah mengalami injury
sebagai akibat dari penekanan tersebut.
Upton dan McComas menemukan (75%) dari pasien-pasien yang mengalami lesi saraf
perifer, kenyataannya didapatkan adanya lesi sekunder. Penulis menyetujui bahwa dengan
adanya lesi-lesi tersebut dapat menimbulkan gejala-gejala pada pasien. Lesi-lesi tersebut telah
dipelajari pada beberapa kasus yang sama sebagai kerusakan dari flexus brachialis dengan
meningkatnya insiden dari carpal tunnel neuropathy. Contoh yang dapat disamakan sebagai
double crush phenomenon yang terjadi pada kaki sebagai akibat kompresi dari cabang nervus
S1, yang dihubungkan dengan compression neuropathy pada kanal tarsal.
Pemeriksaan Fisik
Pasien-pasien umumnya dengan gejala yang tidak jelas pada nyeri kaki, dimana
terkadang dihubungkan dengan plantar fasitis. Adanya nyeri, parestesia, dan rasa tebal
merupakan gejala yang tidak jelas. Pada beberapa kasus, adanya atropi pada otot intrinsik kaki
dapat ditemukan, meskipun secara klinik sulit untuk dapat dipastikan. Eversion dan dorsofleksi
dapat menimbulkan gejala yang bertambah berat.

Tanda Tinel (nyeri yang menyebar dan parestesi sepanjang perjalanan dari saraf) dapat
timbul pada bagian posterior dari maleolus medial. Gejala-gejala tersebut umumnya akan
berkurang saat beristirahat, meskipun tidak semua gejala tersebut hilang seluruhnya. (Perkusi
dari saraf bagian distal dengan manifestasi berupa parestesia dikenal sebagai tanda Tinel. Hal ini
jangan sampai dibingungkan dengan tanda dari Phalen, yaitu kompresi saraf selama 30 detik,
dengan timbulnya kembali gejala-gejala tersebut).
Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya penurunan sensitivitas akan tekanan ringan,
tusukan dengan peniti, dan suhu pada pasien-pasien dengan distal symmetric sensorimotor
neuropathy. Pemeriksaan dengan radiografi pada pasien-pasien dengan gangguan pada anggota
geraknya menunjukkan adanya pengurangan dari densitas tulang, penipisan pada phalang, atau
adanya bukti akan neuropathy (contoh: Charcot disease) pada long-standing neuropathies.
Sebagai tambahan adanya perubahan-perubahan pada anggota tubuh seperti pes cavus, rambut
rontok, dan ulkus. Penemuan-penemuan tersebut sangat berhubungan dengan diabetes,
amyloid neurophaty, leprosy, atau hereditary motor sensory neurophaty (HMSN) disertai dengan
gangguan sensorik. Menipisnya jaringan perineural ditemukan juga pada kasus-kasus leprosy
dan amyloid neuropathy.
PROSEDUR PEMERIKSAAN
Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan Electromyography (EMG) dan nerve conduction velocity (NCV) dapatlah
berguna untuk mengevaluasi penyebab dari tarsal tunnel syndrome dan untuk
memastikan adanya neuropathy. Sebagai tambahan, dapat membedakan dari tipe-tipe
dari jaringan saraf (sensorik, motorik atau keduanya) dan patofisiologi (aksonal vs
demyelinating dan simetrik vs asimetrik) dari pemeriksaan EMG dan/atau NCV. Psikiater
atau neurolog yang telah cukup berpengalaman dalam pemeriksaan ekstremitas dengan
menggunakan pemeriksaan EMG dan NCV akan lebih mendapatkan hasil yang baik pada
pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan EMG menunjukkan fungsi dari saraf tibialis posterior
bagian distal sampai ke otot dari abductor hallucis atau abductor digiti quinti.
Pemeriksaan ini juga dapat disertai dengan adanya penurunan amplitude dari fungsi
motorik atau hilangnya respons dari otot-otot yang diperiksa. Awalnya pada pemeriksaan
sensibilitas bagian medial dan/atau lateral plantar di mana aksi potensial akan
terpengaruhi dengan pemanjangan dari masa laten, lambatnya velocity, dan penurunan
amplitude.
Aksi potensial dari sensorik dapat tidak terdeteksi pada beberapa kasus yang lebih berat
seperti tarsal tunnel syndrome, pemeriksaan dengan jarum (needle) pada otot abductor
hallucis dan/atau abductor digiiti quinti dapat menunjukkan adanya denervation dan
perubahan-perubahan aktif dan/atau kronis. Untuk memastikan hasil penemuanpenemuan tersebut bukanlah suatu lesi pada cabang dari S1, otot dari tibialis posterior
ke bawah dari tarsal tunnel (posterior tibialis) atau otot-otot lainnya dari bagian otot dari
tibialis posterior (extensor digitorum brevis) harus dilakukan pemeriksaan
pembandingnya. Otot-otot dari lumbosacral paraspinal haruslah sensitif terhadap
pemeriksaan EMG dan NCV.
Pemanjangan dari masa laten dari bagian distal motorik:
Terminal latensi dari otot abductor digiti quinti (saraf lateral plantar) yang lebih
dari 7 ms adalah abnormal.
Terminal latensi dari otot abductor hallucis (saraf medial plantar) lebih dari 6,2 ms
adalah abnormal.
Adanya fibrilasi dari otot abductor hallucis juga dapat ditemukan.
Pemeriksaan Imaging
- Magnetic resonance imaging (MRI) dan ultrasonography dapat cukup membantu yang
berhubungan dengan kasus soft-tissue masses dan space-occupying lesion lainnya pada
tarsal tunnel. Sebagai tambahan, MRI berguna dalam menilai suatu flexor tenosynovitis
dan unossified subtalar joint coalitions.
- Plain radiography juga berguna untuk mengevaluasi pasien-pasien dengan dasar kelainan
struktur dari kaki, fraktur, bony masses, osteophytes, dan subtalar joint coalition.
Terapi
Terapi Medik
Terapi medik dari tarsal tunnel syndrome dapat dengan memberikan suntikan lokal
steroid ke dalam tarsal canal. Tindakan konservatif yang dapat diterima pada awal terapi dari

tarsal tunnel neuropathy termasuk penggunaan lokal anestesi dan steroid, dimana dapat
mengurangi nyeri. Terapi ini dapat menghilangkan gejala, tetapi harus diberikan secara
bijaksana, karena dapat menyebabkan kerusakan pada saraf sebagai akibat dari jarum suntikan
tersebut. Physical therapy juga berguna dalam mengurangi local soft-tissue edema, karena
dapat menimbulkan tekanan pada kompartemen tersebut.
Juga pada pasien dengan gejala kontraktur pada otot gastrocnemius dari triceps surae,
stretching exercises berguna untuk meningktakan fleksibilitas dari gastrocnemius. Pada
beberapa kasus tertentu dimana pasien dengan tipe kaki pes planovalgus, diperlukan suatu
desain kaki orthosis untuk mengurangi ketegangan dari nervus tibialis dengan mengurangi
beban pada medial column. Hal ini terbukti dengan memberikan medial longitudinal posting
dengan orthosis pada kedua hindfoot dan forefoot. Penggunaan night splints pada kaki dengan
plantar valgus foot. Penggunaan dalam jangka panjang akan meningkatkan efektivitas, dimana
hal ini terbukti pada penelitian-penelitian saat ini, tetapi hal ini sering kali hanya digunakan pada
clinical practice.
Terapi operasi
Ketika konservatif terapi dinyatakan gagal dalam mengurangi gejala-gejala pada pasien, maka
intervensi operasi dapatlah diperhitungkan. Space-occupaying masses harusnya dihilangkan.
Beberapa didapatkan adanya neurilemoma pada saraf tibial, dimana hal ini juga harus
dihilangkan. Pengetahuan yang cukup akan anatomi haruslah dibutuhkan sebelum dilakukan
tindakan pembebasan tersebut yang nantinya akan mempunyai efek terhadap saraf tersebut.
External neurolysis pada saraf dapatlah dibutuhkan jika tindakan operasi eksplorasi didapatkan
adanya pelekatan atau adanya jaringan parut yang dapat menyebabkan mengenai jaringan
saraf. Terlebih lagi apabila jaringan parut atau entrapment encapsulates mengenai dari jaringan
saraf, maka tindakan external neurolysis dengan membebaskan dari epineurium dapatlah
dipertimbangkan.
Prognosis. Terapi bedah meningkatkan atau menyelesaikan gejala sindrom terowongan tarsal
di 85% sampai 90% kasus.
Peroneal Palsy
Peroneal palsy adalah kelainan yang ditandai dengan penurunan fungsi sensorik dan motorik
pada tungkai bawah dan kaki akibat lesi pada nervus peroneal. Nama lain dari penyakit ini
adalah peroneal neuropati dan peroneal nerve injury. Insidensi Peroneal palsy jarang terjadi
pada anak-anak.
Etiologi
Peroneal nerve palsy paling sering diakibatkan oleh duduk bersilang kaki yang mana
menyebabkan saraf peroneal terjepit antara caput fibula dan condylus femur externa serta
patella pada tungkai yang berlawanan. Kondisi ini lebih sering terjadi pada mereka dengan
penurunan berat badan yang sangat atau pada masa konvalesen dari suatu penyakit atau
tindakan operasi. Hilangnya lemak (fat) yang sangat akan mengurangi proteksi terhadap saraf
tersebut, sedangkan penurunan berat badan memungkinkan pasen merasa enak (comfortable)
dengan duduk bersilang kaki. Kebiasaan duduk bersilang kaki dapat menimbulkan dimple sign
yang terdiri dari daerah pressure atropi berbentuk oval yang mengenai jaringan sampai ke saraf
peroneal di caput fibula. Selain itu beberapa pekerjaan yang memerlukan berjongkok atau
bersujud, seperti bertani, penambang akan meningkatkan tekanan pada saraf terhadap collum
fibula sehingga menyebabkan terjadinya occupational peroneal palsy juga gangguan fungsi
saraf peroneal dapat terjadi setalah mengalami keseleo atau terkilir pada pergelangan kaki.
Mekanisme lain yang diketahui sebagai penyebab peroneal nerve palsy adalah trauma langsung,
dislokasi lutut, fraktur tibia dan fibula, myxedema pretibial, intoksikasi ergot dan malposisi diatas
meja operasi. Lokalisasi lesi sebagian besar ditemukan pada collum fibula tempat saraf tersebut
bercabang menjadi N.Peroneal superficial dan profunda. Pada daerah ini tampaknya saraf
tersebut paling mudah mengalami kompresi atau stretching.
Patofisiologi
N.Peroneus tersusun oleh serabut-serabut fasikel dan dipisahkan oleh jaringan ikat, ruang
interfasikular dan jaringan ikat yang elastis, keadaan ini memberikan bantalan sebagai proteksi

terhadap tekanan. Serabut-serabut saraf yang terletak superfisial terahdap tekanan. Serabutserabut saraf yang terletak superfisial agaknya melindungi serabut-serabut saraf yang letaknya
lebihdalam. Di lain pihak jika tenaga mekanik externa terjadi secara tangensial atau jika ada
cedera terbatas yang disebabkan oleh pergerakan saraf tubuh terhadap permukaan tulang yang
keras, beberapa fasikel dapat terkena, sedangkan lainnya selamat. Saraf-saraf yang
mempersarafi otot adalah lebih rentan dari pada saraf kulit terhadap efek kompresi. Perbedaan
ini mungkin karena adanya perbedaan sifat biokimiawi dan komposisi serabut yang terdapat di
antara otot dan saraf kulit. Kepentingan komposisi serabut saraf dikatakan bahwa serabutserabut tebal yang bermyelin kurang tahan terhadap tekanan daripada serabut yang tipis dan
serabut bermyelin lebih mudah rusak dari pada serabut saraf yang tidak bermyelin dan 75%
serabut saraf kulit adalah tidak bermyelin. Perbedaan dalam komposisi dan kerentanan terhadap
tekanan dapat menpengaruhi efek tekanan secara keseluruhan pada saraf otot dan saraf kulit.
- Meningkatnya kerentanan saraf terhadap cedera tekanan
Sekali saraf tepi itu rusak oleh karena penyakit, maka saraf tersebut menjadi lebih sensitif
terhadap efek tekanan. Jadi pada pasen yang menderita malnutrisi, alkoholisme, diabetes, gagal
ginjal, atau Guillain-Barre Syndrome sering terjadi komplikasi pressure neuropathy. Kelainan
tersebut biasanya tampak pada saraf yang lazim berpeluang terkena tekanan. Penyebab
meningkatnya kerentanan tetap tidak diketahui. Disamping itu faktor genetik juga berperan
sebagai predisposisi timbulnya pressure neuropati.
Manifestasi Klinis
Pasien dengan peroneal palsy sering mengalami drop foot (tidak mampu melakukan
gerakan dorsofleksi). Kram pada malam hari dapat terjadi di anterior tungkai bawah (jika
kompresi yang kronis). Jika kompresi akut, gejala cenderung lebih maksimal di awal. Nyeri bisa
terjadi di lokasi kompresi. Gangguan sensorik (misalnya, kesemutan, mati rasa) di lateral tungkai
bawah dan kaki dapat dicatat.. Untuk gejala klinis pastinya dapat dibedakan menurut lesinya
antara lain:
1. Lesi pada kaput fibula
Sebagian besar kelumpuhan saraf peroneus terjadii pada daerah kaput fibula, dimana saraf
tersebut terletak superfisial dan rentan terhadap cedera
Cabang profunda lebih sering terkena dari pada saraf yang lain
Jika ke 2 cabang terkena (superfisial dan profuna) menimbulkan parese/paralise jari kaki,
dorso fleksi kaki dan jari kaki, serta bagian lateral distal dari tungkai bawah
Jika hanya cabang profunda yang terkena, menimbulkan deep peroneal nerve syndrome
2. Anterior tibial (deep peroneal) nerve syndrome
Saraf ini bisa terkena cedera pada kaput fibula atau lebih distal
Kelainan ini menimbulkan parese/paralise jari kaki dan dorsofleksi kaki
Gangguan sensoris terbatas pada kulit di sela jari-jari antara jari kaki 1 dan 2
Saraf ini dapat juga tertekan pada pergelangan kaki, sehingga menyebabkan anterior
tarsal tunnel syndrome yang menimbulkan gejala parese danatropi pada M.extensor
digitorum brevis. Sedangkan gangguan sensoris bisa terdapat atau tidak pada kulit di sela
jari-jari antara kaki 1 dan 2.
3. Superficial peroneal nerve syndrome
Lesi bisa pada kaput fibula atau lebih distal
Menimbulkan parese dan atropi pada M.Peronei dan gangguan eversi kaki
Gangguan sensoris pada kulit bagian lateral distal tungkai bawah dan dorsum kaki,
sedangkan kulit di sela jari-jari antara jari kaki 1 dan 2 masih baik.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan dengan foto polos pada lutut dan pergelangan kaki harus diperoleh untuk
mengevaluasi adanya fraktur, lesi massa, atau arthritis jika ada riwayat yang menunjukkan salah
satu etiologi tersebut. Selain itu, MRI Lumbal dapat memberikan bukti radikulopati L5 jika
radiografi negatif. MRI pada lutut dan pergelangan kaki dapat lebih menjelaskan lesi tulang atau
menunjukkan ganglia intraneural.
Pada pemeriksaan elektromiografi (EMG) terlihat adanya perubahan amplitudo yang
menunjukkan blok konduksi dan kegagalan kkonduksi saraf, kecepatan hantaran menurun,
latensi distal meningkat dan memperlihatkan tanda-tanda denervasi.
Tatalaksana

Konservatif yaitu dengan mengistirahatkan kaki dan menghindari faktor-faktor kompresi


seperti menyilangkan kaki.
Tindakan bedah diperlukan jika terdapat lesi akibat terdapat suatu masa yang mengkrompresi
saraf, membebaskan saraf yang tertambat atau terjepit, dan jika terjadi trauma terbuka dan
tumpul yang berat dan mengkompresi saraf.

Prognosis
Dekompresi saraf peroneal komunis adalah prosedur yang berguna untuk memperbaiki
sensasi dan kekuatan serta mengurangi nyeri. Sebuah studi retrospektif mengevaluasi faktor
prognostik elektrodiagnostik setelah cedera saraf peroneal pada 39 sunjek penelitian. Hasil ini
dikaitkan dengan potensial aksi respon otot ekstensor digitorum brevis dan tibialis anterior: 81%
subyek dengan respon tibialis anterior dan 94% dengan ekstensor digitorum brevis memiliki
respon yang baik (setidaknya 4 dari 5 pergelangan kekuatan dorsofleksi) dibandingkan dengan
mereka yang tidak berespon baik. Selain itu, semua pasien dengan kompresi nontraumatik
memiliki hasil yang baik.
Guillain Barre Syndrome
Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan tubuh manusia yang
menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan karekterisasi berupa
kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya progresif. Kelainan ini kadang
kadang juga menyerang saraf sensoris, otonom, maupun susunan saraf pusat.
Etiologi
Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena hilangnya myelin,
material yang membungkus saraf. Hilangnya myelin ini disebut demyelinisasi. Demyelinisasi
menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama
sekali. GBS menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang beberapa saraf.
Oleh karena itu GBS disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy
(AIDP).
Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini belum diketahui. Ada
yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit autoimun.
Pada sebagian besar kasus, GBS didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh virus, yaitu
Epstein-Barr virus, coxsackievirus, influenzavirus, echovirus, cytomegalovirus, hepatitisvirus, dan
HIV. Selain virus, penyakit ini juga didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh bakteri seperti
Campylobacter Jejuni pada enteritis, Mycoplasma pneumoniae, Spirochaeta , Salmonella,
Legionella dan , Mycobacterium Tuberculosa.; vaksinasi seperti BCG, tetanus, varicella, dan
hepatitis B ; penyakit sistemik seperti kanker, lymphoma, penyakit kolagen dan sarcoidosis ;
kehamilan terutama pada trimester ketiga ; pembedahan dan anestesi epidural. Infeksi virus ini
biasanya terjadi 2 4 minggu sebelum timbul GBS .
Patofisiologi
Infeksi , baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain memasuki sel
Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. Antigen tersebut mengaktivasi sel limfosit T.
Sel limfosit T ini mengaktivasi proses pematangan limfosit B dan memproduksi autoantibodi
spesifik. Ada beberapa teori mengenai pembentukan autoantibodi , yang pertama adalah virus
dan bakteri mengubah susunan sel sel saraf sehingga sistem imun tubuh mengenalinya sebagai
benda asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut menyebabkan kemampuan
sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri berkurang. Autoantibodi ini yang kemudian
menyebabkan destruksi myelin
bahkan kadang kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon.
Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin disebabkan oleh karena
antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan myelin. Hal ini menyebabkan terjadinya
respon imun terhadap myelin yang di invasi oleh antigen tersebut. Destruksi pada myelin
tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat mengirimkan signal secara efisien, sehingga
otot kehilangan kemampuannya untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih
sedikit impuls sensoris dari seluruh bagian tubuh.
Gejala klinis
GBS merupakan penyebab paralisa akut yang dimulai dengan rasa baal, parestesia pada
bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisa ke empat ekstremitas yang bersifat
asendens. Parestesia ini biasanya bersifat bilateral. Refelks fisiologis akan menurun dan

kemudian menghilang sama sekali. Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas
bawah dan menyebar secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu, ke
ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan saraf motoris ini bervariasi mulai dari
kelemahan sampai pada yang menimbulkan quadriplegia flacid. Keterlibatan saraf pusat ,
muncul pada 50 % kasus, biasanya berupa facial diplegia. Kelemahan otot pernapasan dapat
timbul secara signifikan dan bahkan 20 % pasien memerlukan bantuan ventilator dalam
bernafas. Anak anak biasanya menjadi mudah terangsang dan progersivitas kelemahan dimulai
dari menolak untuk berjalan, tidak mampu untuk berjalan, dan akhirnya menjadi tetraplegia.
Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan dengan kelemahan
pada otot. Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan sensasi getar. Gejala yang dirasakan
penderita biasanya berupa parestesia dan disestesia pada extremitas distal. Rasa sakit dan kram
juga dapat menyertai kelemahan otot yang terjadi. terutama pada anak anak. Rasa sakit ini
biasanya merupakan manifestasi awal pada lebih dari 50% anak anak yang dapat menyebabkan
kesalahan dalam mendiagnosis.
Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian. Kelainan ini dapat
menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi, aritmia bahkan cardiac arrest , facial flushing,
sfincter yang tidak terkontrol, dan kelainan dalam berkeringat. Hipertensi terjadi pada 10 30 %
pasien sedangkan aritmia terjadi pada 30 % dari pasien.
Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat menimbulkan gejala berupa disfagia, kesulitan dalam
berbicara, dan yang paling sering ( 50% ) adalah bilateral facial palsy.
Gejala gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS adalah kesulitan untuk mulai BAK,
inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan menelan dan bernapas, perasaan tidak dapat
menarik napas dalam, dan penglihatan kabur (blurred visions).
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat difus dan
paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi
mengindikasikan adanya kelemahan pada otot otot intercostal. Tanda rangsang meningeal
seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks patologis seperti refleks
Babinsky tidak ditemukan.
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan cairan cerebrospinal didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1
1,5 g / dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oloeh Guillain, 1961, disebut sebagai
disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit
tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu
pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel
yang kurang dari 10 / mm3 pada kultur LCs tidak ditemukan adanya virus ataupun bakteri.
Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan
terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada akhir minggu
ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan.
Pada pemeriksaan EMG minggu pertama dapat dilihat adanya keterlambatan atau
bahkan blok dalam penghantaran impuls , gelombang F yang memanjang dan latensi distal
yang memanjang. Bila pemeriksaan dilakukan pada minggu ke 2, akan terlihat adanya
penurunan potensial aksi (CMAP) dari beberapa otot, dan menurunnya kecepatan konduksi saraf
motorik.
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira kira pada
hari ke 13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran cauda equina yang
bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus GBS. Pemeriksaan serum CK biasanya
normal atau meningkat sedikit. Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium
awal. Pada stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy.
Kriteria diagnostik GBS menurut The National Institute of Neurological and
Communicative Disorders and Stroke (NINCDS)
Gejala utama
1. Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan atau tanpa
disertai ataxia
2. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general
Gejala tambahan
1. Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu

2. Biasanya simetris
3. Adanya gejala sensoris yang ringan
4. Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis bilateral
5. Disfungsi saraf otonom
6. Tidak disertai demam
7. Penyembuhan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4
Pemeriksaan LCS
1. Peningkatan protein
2. Sel MN < 10 /ul
Pemeriksaan elektrodiagnostik
1. Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf
Gejala yang menyingkirkan diagnosis
1. Kelemahan yang sifatnya asimetri
2. Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten
3. Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul
4. Gejala sensoris yang nyata
Diagnosis banding
GBS harus dibedakan dengan beberapa kelainan susunan saraf pusat seperti myelopathy, dan
poliomyelitis. Pada myelopathy ditemukan adanya spinal cord syndrome dan pada poliomyelitis
kelumpuhan yang terjadi biasanya asimetris, dan disertai demam.
GBS juga harus dibedakan dengan neuropati akut lainnya seperti porphyria, diphteria, dan
neuropati toxic yang disebabkan karena keracunan thallium, arsen, dan plumbum
Kelainan neuromuscular junction seperti botulism dan myasthenia gravis juga harus dibedakan
dengan GBS. Pada botulism terdapat keterlibatan otot otot extraoccular dan terjadi konstipasi.
Sedangkan pada myasthenia gravis terjadi ophtalmoplegia .
Myositis juga memberikan gejala yang mirip dengan GBS, namun kelumpuhan yang terjadi
sifatnya paroxismal. Pemeriksaan CPK menunjukkan peningkatan sedangkan LCS normal.
Penatalaksanaan
Pasien pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan observasi
tanda tanda vital. Ventilator harus disiapkan disamping pasien sebab paralisa yang terjadi dapat
mengenai otot otot pernapasan dalam waktu 24 jam. Ketidakstabilan tekanan darah juga
mungkin terjadi. Obat obat anti hipertensi dan vasoaktive juga harus disiapkan .
Pasien dengan progresivitas yang lambat dapat hanya diobservasi tanpa diberikan
medikamentosa.
Pasien dengan progresivitas cepat dapat diberikan obat obatan berupa steroid. 1) Namun
ada pihak yang mengatakan bahwa pemberian steroid ini tidak memberikan hasil apapun juga.
Steroid tidak dapat memperpendek lamanya penyakit, mengurangi paralisa yang terjadi maupun
mempercepat penyembuhan.
Plasma exchange therapy (PE) telah dibuktikan dapat memperpendek lamanya paralisa
dan mepercepat terjadinya penyembuhan. Waktu yang paling efektif untuk melakukan PE adalah
dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Regimen standard terdiri dari 5 sesi ( 40 50 ml / kg
BB) dengan saline dan albumine sebagai penggantinya. Perdarahan aktif, ketidakstabilan
hemodinamik berat dan septikemia adalah kontraindikasi dari PE.
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin ( IV Ig ) dapat menetralisasi autoantibodi
patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut.
IVIg juga dapat
mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian menetralisir antigen dari virus atau bakteri
sehingga T cells patologis tidak terbentuk. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah
gejala muncul dengan dosis 0,4 g / kg BB / hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan
dengan IVIg tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya memberikan PE
atau IVIg.
Fisiotherapy juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas otot
setelah paralisa. Heparin dosis rendah dapat diberikan unutk mencegah terjadinya trombosis.
Prognosis
Pasien Guillain Barre syndrome dapat tetap di rumah sakit selama beberapa bulan dan
pemulihan dapat memakan waktu selama satu tahun atau lebih. Kebanyakan pasien dengan
GBS sembuh sepenuhnya, tetapi beberapa memiliki kelemahan residual, mati rasa, dan nyeri

sesekali. Sejumlah kecil pasien tidak dapat melanjutkan kegiatan normal sehari-hari mereka atau
pekerjaan.
GBS berakibat fatal pada kurang dari 5 % dari kasus. Mereka kematian biasanya terjadi akibat
komplikasi kardiovaskular atau pernapasan. Kematian akibat kronis demielinasi inflamasi
polyradicalneuropathy (CIDP) jarang terjadi.
Miastenia Gravis
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal
dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan
kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic
transmission atau pada neuromuscular junction. Gangguan tersebut akan mempengaruhi
transmisi neuromuscular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang
(volunter). Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan, dan umumnya terjadi
kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial.
Miastenia gravis merupakan sindroma klinis akibat kegagalan transmisi neuromuskuler yang
disebabkan oleh hambatan dan destruksi reseptor asetilkolin oleh autoantibodi. Sehingga dalam
hal ini, miastenia gravis merupakan penyakit autoimun yang spesifik organ. Antibodi reseptor
asetilkolin terdapat didalam serum pada hampir semua pasien. Antibodi ini merupakan antibodi
IgG dan dapat melewati plasenta pada kehamilan.
Etiologi
Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan transmisi pada
neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung akson
motor neuron terdapat partikel -partikel globuler yang merupakan penimbunan asetilkolin (ACh).
Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah dan ACh dibebaskan
yang dapat memindahkan gaya saraf yang kemudian bereaksi dengan ACh Reseptor (AChR)
pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion pada membran serat otot dan
menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi
otot.
Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada Miastenia gravis tidak diketahui. Dulu
dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat kekurangan ACh atau kelebihan kolinesterase, tetapi
menurut teori terakhir, faktor imunologiklah yang berperanan.
Patofisiologi
Sebelum tahun 1973, kelainan transmisi neuromuskuler pada Miastenia gravis dianggap karena
kekurangan ACh. Dengan ditemukan antibodi terhadap AChR (anti-AChR), baru diketahui,
gangguan tersebut adalah suatu proses imunologik yang menyebabkan jumlah AChR pada
membran postsinaptik berkurang. Anti-AChR ditemukan pada 80 - 90% penderita. Adanya proses
imunologik pada Miastenia gravis sudah diduga oleh Simpson dan Nastuk pada tahun 1960.
Selain itu, dalam serum penderita Miastenia gravis juga dijumpai antibodi terhadap jaringan otot
serat lintang 30 - 40% dan antibodi antinuklear 25%. Kadar anti-AChR pada Miastenia gravis
bervariasi antara 2-1000 nMol/L, dan kadar ini berbeda secara individu. Anti-AChR ini akan
mempercepat penghancuran AChR, tetapi tidak menghambat pembentukan AChR baru. Sebagai
akibat proses imunologik, membran postsinaptik mengalami perubahan sehingga jarak antara
ujung saraf dan membran postsinaptik bertambah lebar dengan demikian kolinesterase
mendapat kesempatan lebih banyak untuk menghancurkan Ach . Gejala klinik Miastenia gravis
akan timbul bila 75% AChR tidak berfungsi, atau jumlahnya berkurang 1/3 dari normal.
Manifestasi Klinis (Tanda Dan Gejala)
Miastenia gravis diduga merupakan gangguan autoimun yang merusak fungsi reseptor
asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan neuromuscular. Keadaan ini sering
bermanisfestasi sebagai penyakit yang berkembang progresif lambat. Pada 90 % penderita,
gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang menimbulkan ptosis dan diplopia. Diagnosis
dapat ditegakkan dengan memperhatikan otot-otot levator palpebrae kelopak mata. Bila
penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan
dan tidak akan menyebabkan kematian. Miastenia gravis juga menyerang otot-otot, wajah, dan
laring. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan
(otot-otot palatum), menimbulkan suara yang abnormal atau suara nasal, dan pasien tak mampu
menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang menggantung.

Pada sistem pernapasan, terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang
lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak lagi mampu
membersihkan lender dari trakea dan cabang-cabangnya. Pada kasus yang lebih lanjut, gelang
bahu dan panggul dapat terserang hingga terjadi kelemahan pada semua otot-otot ranka.
Biasanya gejala Miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan dengan memberikan
obat antikolinesterase. Namun gejala-gejala tersebut dapat menjadi lebih atau mengalami
eksaserbasi oleh sebab :
1. Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi selama siklus haid
atau gangguan fungsi tiroid,
2. Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas, dan infeksi yang
disertai diare dan demam,
3. Gangguan emosi atau stres. Kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila mereka
berada dalam keadaan tegang,
4. Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin (suatu obat yang
mempermudah terjadinya kelemahan otot) dan obat-obat lainnya.
Klasifikasi Myasthenia Gravis berdasarkan The Medical Scientific Advisory Board
(MSAB) of the Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) :

Class I Kelemahan otot okular dan Gangguan menutup mata, Otot lain masih normal

Class II Kelemahan ringan pada otot selain okular, Otot okular meningkat kelemahannya

Class IIa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit mempengaruhi otot-otot oropharyngeal

Class IIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, Juga mempengaruhi


ekstrimitas

Class III Kelemahan sedang pada otot selain okuler, Meningkatnya kelemahan pada otot
okuler

Class IIIa Mempengaruhi ektrimitas , Sedikit mempengaruhi otot-otot oropharyngeal

Class IIIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, Juga mempengaruhi


ekstrimitas

Class IV Kelemahan berat pada selain otot okuler, Kelemahan berat pada otot okuler

Class IVa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit pengaruh pada otot-otot oropharyngeal

Class IVb Terutama mempengaruhi otot-otot pernapasan dan oropharyngeal, Juga


mempengruhi otot-otot ekstrimitas

Class V Pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus post-operative)


Penegakan Diagnosis
Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut :
1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan
terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang. Penderita menjadi
anartris dan afonis.
2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama kelamaan
akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka
penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis
juga tidak tampak lagi.
Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes antara lain :
1. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka
disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan
hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang
memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis
itu akan segera lenyap. Pada uiji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat
seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.
2. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara intramuskular (bila
perlu, diberikan pula atropin atau mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia
gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama
kemudian akan lenyap.

3. Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi
(masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis,
maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini,
sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana
terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita miastenia gravis generalisata
dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin
reseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi
false positive anti-AChR antibody.
Antistriated muscle (anti-SM) antibody
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini menunjukkan
hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun.
Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan
hasil positif.
Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (miastenia
gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.
Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibody yang
berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini
bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu
dikaitkan dengan pasien thymoma dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya
titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien
muda dengan miastenia gravis.
Imaging
Chest x-ray (foto roentgen thorak)
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat
diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum.
Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma ukuran
kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma
pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia tua.
MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat
digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.
Penatalaksanaan
Pada pasien dengan Miastenia gravis harus belajar dalam batasan yang ditetapkan oleh penyakit
yang mereka derita ini. Mereka memerlukan tidur selam 10 jam agar dapat bangun dalam
keadaan segar, dan perlu menyelingi kerja dengan istirahat. Selain itu mereka juga harus
menghindari factor-faktor pencetus dan harus minum obat tepat pada waktunya.
Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan
penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada
miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien dengn miastenia gravis generalisata,
perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin. Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang
dikombinasikan dengan pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat
terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis. Pengobatan
ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan
terbukti memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat
mencegah terjadinya kekambuhan.
Secara garis besar, pengobatan Miastenia gravis berdasarkan 3 prinsip, yaitu

1. Mempengaruhi transmisi neuromuskuler


a. Istirahat
Dengan istirahat, banyaknya ACh dengan rangsangan saraf akan bertambah sehingga seratserat otot yang kekurangan AChR di bawah ambang rangsang dapat berkontraksi.
b. Memblokir pemecahan Ach
Dengan anti kolinesterase, seperti prostigmin, piridostigmin, edroponium atau ambenonium
diberikan sesuai toleransi penderita, biasanya dimulai dosis kecil sampai dicapai dosis
optimal. Pada bayi dapat dimulai dengan dosis 10 mg piridostigmin per os dan pada anak
besar 30 mg , kelebihan dosis dapat menyebabkan krisis kolinergik.
2. Mempengaruhi proses imunologik
a. Timektomi
Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari
kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya
adalah kesembuhan yang permanen dari pasien. Timektomi dianjurkan pada MG tanpa
timoma yang telah berlangsung 3-5 tahun. Dengan timektomi, setelah 3 tahun 25%
penderita akan mengalami remisi klinik dan 40-50% mengalami perbaikan.
b. Kortikosteroid
Diberikan prednison dosis tunggal atau alternating untuk mencegah efek samping. Dimulai
dengan dosis kecil, dinaikkan perlahan-lahan sampai dicapai dosis yang diinginkan. Kerja
kortikosteroid untuk mencegah kerusakan jaringan oleh pengaruh imunologik atau bekerja
langsung pada transmisi neromuskuler.
c. Imunosupresif
Yaitu dengan menggunakan Azathioprine, Cyclosporine, Cyclophosphamide (CPM). Namun
biasanya digunakan azathioprin
(imuran) dengan dosis 2 mg/kg BB. Azathioprine
merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara
umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif
lainnya. Perbaikan lambat sesudah 3-12bulan. Kombinasi azathioprine dan kortikosteroid
lebih efektif yang dianjurkan terutama pada kasus-kasus berat.
d. Plasma exchange
Berguna untuk mengurangi kadar anti-AChR; bila kadar dapat diturunkan sampai 50% akan
terjadi perbaikan klinik.
3. Penyesuaian penderita terhadap kelemahan otot
Tujuannya agar penderita dapat menyesuaikan kelemahan otot dengan:
a. Memberikan penjelasan mengenai penyakitnya untuk mencegah problem psikis.
b. Alat bantuan non medikamentosa
Pada Miastenia gravis dengan ptosis diberikan kaca mata khusus yang dilengkapi dengan
pengkait kelopak mata. Bila otot-otot leher yang kena, diberikan penegak leher. Juga dianjurkan
untuk menghindari panas matahari, mandi sauna, makanan yang merangsang, menekan emosi
dan jangan minum obat-obatan yang mengganggu transmisi neuromuskuler seperti B-blocker,
derivat kinine, phenintoin, benzodiazepin, antibiotika seperti aminoglikosida, tetrasiklin dan dpenisilamin.
Prognosis
Mengingat pengobatan saat ini, yang menggabungkan cholinesterase inhibitor, obat
imunosupresif, plasmapheresis, imunoterapi, dan perawatan suportif di unit perawatan intensif
(ICU) pengaturan (jika sesuai), kebanyakan pasien dengan MG memiliki jangka hidup yang
mendekati normal. Kematian sekarang 3-4%, dengan faktor risiko utama yang berusia lebih tua
dari 40 tahun, sejarah singkat penyakit progresif, dan thymoma; sebelumnya, itu setinggi 3040%.
Hasil morbiditas dari kerusakan intermiten kekuatan otot, yang dapat menyebabkan aspirasi,
peningkatan kejadian pneumonia, jatuh, dan bahkan kegagalan pernafasan jika tidak

diobati. Selain itu, obat yang digunakan untuk mengontrol penyakit ini dapat menghasilkan efek
samping.
Hari ini, satu-satunya syarat dikhawatirkan muncul ketika kelemahan melibatkan otot-otot
pernapasan. Kelemahan mungkin menjadi begitu parah untuk memerlukan bantuan
ventilasi. Pasien dikatakan dalam krisis miastenia.
Penyakit ini sering menyajikan (40%) dengan hanya gejala okular. Namun, ekstraokular hampir
selalu terlibat dalam tahun pertama. Pasien yang hanya menampilkan keterlibatan okular pada
awal MG, hanya 16% masih memiliki penyakit eksklusif okular pada akhir 2 tahun.
Pada pasien dengan kelemahan umum, nadir kelemahan maksimal biasanya dicapai dalam 3
tahun pertama dari penyakit. Akibatnya, setengah dari kematian terkait penyakit juga terjadi
selama periode ini. Mereka yang bertahan hidup 3 tahun pertama penyakit biasanya mencapai
keadaan stabil atau membaik. Memburuknya penyakit ini jarang terjadi setelah 3 tahun.
Hasil thymectomy di remisi lengkap penyakit di sejumlah pasien. Namun, prognosis sangat
bervariasi, mulai dari remisi sampai mati.
Sebuah studi retrospektif dari 38 pasien dengan MG menunjukkan bahwa penyakit, terutama
akhir-onset MG, dikaitkan dengan risiko tinggi untuk kanker luar timus, apakah pasien juga,
seperti umum di MG, timoma. Neoplasma Extrathymic terjadi di 12 dari pasien studi; semua
tumor ini adalah padat dan heterogen untuk organ asal mereka. Beberapa tumor didiagnosis
sebelum dan setelah beberapa pasien didiagnosis dengan MG.
Secara keseluruhan tumor diwakili 9 jenis neoplasma, sebagai berikut:

2 masing-masing karsinoma sel skuamosa mulut, kanker kandung kemih invasif, dan
adenokarsinoma prostat
1 masing-masing kanker kulit sel basal; paru-paru, lambung, payudara, dan usus besar
adenokarsinoma; dan kanker sel ginjal

Variabel-satunya yang signifikan secara statistik antara pasien adalah usia, dengan tumor
extrathymic yang hanya ditemukan pada pasien lebih dari 50 tahun. Tak satu pun dari pasien
dengan neoplasma ini memiliki penyakit tiroid atau penyakit autoimun selain MG.

Neuropati
Neuropati berarti kerusakan saraf, biasanya mengacu pada sistem saraf perifer.
Tiga jenis utama dari saraf dapat terlibat dalam neuropati perifer :

Saraf otonom (tidak di bawah kendali sadar, "otomatis" atau "tidak disengaja" saraf)

Saraf motorik

Saraf sensorik.
Saraf otonom mengatur fungsi otomatis tubuh - misalnya, denyut jantung dan tekanan darah ,
keringat, dan sebagainya. Saraf motorik mengendalikan otot-otot tubuh dan berada di bawah
kendali sadar kita. Dan saraf sensorik lulus sensasi dari bagian tubuh ke otak, termasuk
informasi tentang dingin, panas dan nyeri.
Jenis Neuropati

Neuropati perifer: Neuropati perifer adalah ketika masalah saraf mempengaruhi saraf di luar
otak dan sumsum tulang belakang. Saraf ini merupakan bagian dari sistem saraf
perifer. Dengan demikian, neuropati perifer adalah neuropati yang mempengaruhi saraf
extremities- jari kaki, kaki, kaki, jari, tangan, dan lengan. Istilah proksimal neuropati telah

digunakan untuk merujuk pada kerusakan saraf yang secara khusus menyebabkan nyeri di
paha, pinggul, atau bokong.

Neuropati kranial: neuropati kranial terjadi ketika salah satu dari dua belas saraf kranial (saraf
yang keluar dari otak langsung) yang rusak. Dua jenis tertentu neuropati kranial
yang neuropati optik dan neuropati auditori .Neuropati optik mengacu pada kerusakan atau
penyakit saraf optik yang mentransmisikan sinyal visual dari retina mata ke otak. Neuropati
auditori melibatkan saraf yang membawa sinyal dari telinga bagian dalam ke otak dan
bertanggung jawab untuk pendengaran.

Neuropati otonom: neuropati otonom adalah kerusakan saraf dari sistem saraf tak sadar,
saraf yang mengontrol jantung dan sirkulasi (termasuk tekanan darah), pencernaan, usus dan
fungsi kandung kemih, respon seksual, dan keringat. Saraf pada organ lain juga akan
terpengaruh.

Neuropati fokal: neuropati Focal adalah neuropati yang terbatas pada satu saraf atau
kelompok saraf, atau satu area tubuh. Gejala neuropati fokal biasanya muncul tiba-tiba

Penyebab
Kerusakan saraf dapat disebabkan oleh sejumlah penyakit yang berbeda, luka, infeksi, dan
bahkan negara kekurangan vitamin.

Diabetes: Diabetes adalah kondisi yang paling sering dikaitkan dengan neuropati. Gejala
karakteristik neuropati perifer sering terlihat pada orang dengan diabetes kadang-kadang
disebut sebagai neuropati diabetes. Neuropati adalah yang paling umum pada orang yang
telah menderita diabetes selama puluhan tahun dan umumnya lebih parah pada orang-orang
yang memiliki kesulitan mengendalikan diabetes mereka, atau mereka yang kelebihan berat
badan atau mengalami peningkatan lipid darah andhigh tekanan darah.
Kekurangan vitamin: Kekurangan vitamin B12 dan folat serta vitamin B lainnya dapat
menyebabkan kerusakan saraf.
Neuropati autoimun: penyakit autoimun seperti rheumatoid arthritis , systemic lupus,
dan sindrom Guillain-Barre dapat menyebabkan neuropati.
Infeksi: Beberapa infeksi, termasuk HIV / AIDS , penyakit Lyme , kusta, dan sifilis , dapat
merusak saraf.
Pasca-herpes neuralgia: neuralgia pasca herpes, komplikasi herpes zoster (infeksi virus
varicella-zoster) adalah bentuk neuropati.
Neuropati alkohol: Alkoholisme sering dikaitkan dengan neuropati perifer. Meskipun
alasan yang tepat untuk kerusakan saraf yang tidak jelas, mungkin timbul dari kombinasi
kerusakan pada saraf oleh alkohol itu sendiri bersama dengan gizi buruk dan kekurangan
vitamin terkait yang umum pada pecandu alkohol.
Kelainan genetik atau diturunkan: gangguan genetik atau diturunkan dapat
mempengaruhi saraf dan bertanggung jawab untuk beberapa kasus neuropati. Contohnya
termasuk ataksia Friedreich dan penyakit Charcot-Marie-Tooth.
Amiloidosis: Amiloidosis adalah suatu kondisi di mana serat protein abnormal disimpan
dalam jaringan dan organ. Deposito protein ini dapat menyebabkan berbagai tingkat
kerusakan organ dan mungkin menjadi penyebab neuropati.
Uremia: Uremia (konsentrasi tinggi dari produk limbah dalam darah karena gagal ginjal)
dapat menyebabkan neuropati.
Racun dan racun dapat merusak saraf. Contohnya termasuk, senyawa emas, timah,
arsen, merkuri, beberapa pelarut industri, nitrous oxide, dan pestisida organofosfat.

Obat: Obat-obatan tertentu dan obat dapat menyebabkan kerusakan saraf. Contohnya
termasuk
obat
kanker
terapi
sepertivincristine (Oncovin,
Vincasar),
dan antibiotik seperti metronidazol(Flagyl), dan isoniazid (Nydrazid, Laniazid).
Trauma / Cedera: Trauma atau cedera saraf, termasuk tekanan berkepanjangan pada
saraf atau sekelompok saraf, merupakan penyebab umum dari neuropati. Aliran darah
menurun (iskemia) pada saraf juga dapat menyebabkan kerusakan jangka panjang.
Tumor: Tumor jinak atau ganas dari saraf atau struktur di dekatnya dapat merusak saraf
langsung, dengan menyerang saraf, atau menyebabkan neuropati karena tekanan pada
saraf.
Idiopatik: neuropati idiopatik merupakan neuropati yang ada penyebab telah
ditetapkan.

Tanda dan Gejala


Gejala neuropati tergantung pada jenis saraf yang terkena. Kelemahan otot, kram dan kejang
berhubungan dengan kerusakan saraf motorik . Dalam beberapa kasus, neuropati dapat
menyebabkan kehilangan keseimbangan dan koordinasi. Kerusakan saraf sensorik dapat
menghasilkan kesemutan, mati rasa dan nyeri. Rasa sakit yang terkait dengan kerusakan saraf
sensorik adalah berbagai digambarkan sebagai:

Sensasi mengenakan tak terlihat "sarung tangan" atau "kaus kaki"


Terbakar, pembekuan, atau listrik seperti
Sensitivitas ekstrim menyentuh

Jika saraf otonom yang rusak, fungsi tak sadar mungkin akan terpengaruh. Gejala yang dapat
hasil dari jenis kerusakan meliputi:

tekanan darah normal dan denyut jantung


mengurangi kemampuan untuk berkeringat
sembelit
disfungsi kandung kemih (misalnya, inkontinensia )
disfungsi seksual (misalnya, FSD , disfungsi ereksi [impotensi])

Diagnosis
Diagnosis neuropati dan penyebabnya melibatkan riwayat kesehatan menyeluruh dan
pemeriksaan fisik untuk menentukan penyebab dan tingkat keparahan neuropati. Sebuah
pemeriksaan neurologis, menguji refleks dan fungsi saraf sensorik dan motorik, merupakan
komponen penting dari pemeriksaan awal.
Meskipun tidak ada tes darah yang spesifik untuk menentukan apakah tidak neuropati yang
hadir, ketika neuropati dicurigai, tes darah sering digunakan untuk memeriksa adanya penyakit
dan kondisi (misalnya, diabetes atau kekurangan vitamin) yang mungkin bertanggung jawab
untuk kerusakan saraf.
Studi pencitraan seperti X-ray , CT scan, dan MRI scan dapat dilakukan untuk mencari sumbersumber tekanan atau kerusakan saraf.
Tes khusus dari fungsi saraf meliputi:

Elektromiografi (EMG) adalah tes yang mengukur fungsi saraf. Untuk tes ini jarum
yang sangat tipis dimasukkan melalui kulit ke dalam otot.Jarum mengandung elektroda yang
mengukur aktivitas listrik otot.

Sebuah tes kecepatan konduksi saraf (nerve conduction velocity - NCV) mengukur
kecepatan di mana sinyal perjalanan melalui saraf. Tes ini sering dilakukan dengan
EMG. Pada uji NCV, patch yang mengandung elektroda permukaan ditempatkan pada kulit di
atas saraf di berbagai lokasi. Setiap patch memberikan dari impuls listrik yang sangat ringan,
yang merangsang saraf. Aktivitas listrik saraf diukur dan kecepatan impuls listrik antara
elektroda (mencerminkan kecepatan sinyal saraf) dihitung.

Dalam beberapa kasus, biopsi saraf mungkin disarankan. Biopsi adalah operasi
pengangkatan sepotong kecil jaringan untuk pemeriksaan di bawah mikroskop. Prosedur ini

dilakukan dengan menggunakan anestesi lokal. Saraf sural (di pergelangan kaki), atau saraf
radial dangkal (pergelangan) adalah situs yang paling sering digunakan untuk biopsi.

Penatalaksanaan
Dalam banyak kasus, pengobatan penyakit yang mendasari dapat mengurangi atau
menghilangkan gejala neuropati. Beberapa kasus, terutama yang melibatkan kompresi atau
jebakan saraf oleh tumor atau kondisi lain, bisa dihilangkan dengan operasi. Pengendalian
glukosa darah penting dalam pengobatan neuropati diabetes untuk mencegah kerusakan lebih
lanjut untuk saraf.
Obat pereda rasa sakit yang dijual bebas seperti acetaminophen (Tylenol dan lain-lain)
dan ibuprofen (Motrin dan lain-lain) umumnya tidak efektif untuk mengendalikan rasa sakit
neuropati. Obat ini mungkin efektif untuk mengurangi rasa sakit atau kerusakan sendi dan
deformitas terkait dengan neuropati, tetapi mereka harus digunakan dengan hati-hati karena
ada beberapa kekhawatiran bahwa obat ini dapat memperburuk cedera saraf.
Beberapa resep obat telah terbukti membawa bantuan bagi mereka dengan neuropati. Pada
kasus yang parah, kombinasi obat mungkin diperlukan. Obat oral yang telah berhasil digunakan
untuk membantu rasa sakit neuropati meliputi:

Antidepresan : termasuk antidepresan trisiklik amitriptyline (Vanatrip), imipramine


(Tofranil, Tofranil-PM), dan desipramine (Norpramin, Pertofrane) serta antidepresan lain
seperti duloxetine (Cymbalta), venlafaxine (Effexor, Effexor XR), bupropion ( Wellbutrin),
paroxetine (Paxil), dan citalopram(Celexa). Duloxetine telah disetujui oleh Food and Drug
Administration (FDA) khusus untuk mengobati neuropati perifer diabetes.

Antikonvulsan:
Antikonvulsan
seperti
pregabalin
(Lyrica),
gabapentin
(Gabarone,Neurontin), carbamazepine (Carbarol, Equetro, Tegretol, Tegretol XR), dan
lamotrigin (Lamictal). Pregabalin telah disetujui FDA untuk pengobatan neuropati diabetes.

Opioid seperti controlled-release oksikodon dan tramadol (Ultram)


Obat topikal yang dapat membawa bantuan nyeri meliputi capsaicin krim dan patch lidokain
(merek Lidoderm, Lidopain). Terapi alternatif atau komplementer seperti akupunktur,
biofeedback, dan terapi fisik telah terbukti membantu dalam beberapa kasus.
Prognosis
Prognosis untuk neuropati tergantung pada penyebab yang mendasarinya. Sebelumnya
diagnosis dibuat dan pengobatan dimulai, semakin besar kemungkinan bahwa kerusakan saraf
dapat diperlambat atau dibalik dan lebih baik prognosisnya.

Anda mungkin juga menyukai