Anda di halaman 1dari 9

5.

Gangguan pada sistem sensorik


Gejala sensorik dapat diklasifikasikan dalam 5 golongan, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.

Hilang perasaan kalau di rangsang ( anestesia )


Perasaan terasa berlebihan jika dirangsang (hiperestestesia)
Perasaan yang timbul secara spontan, tanpa adanya perangsangan (parestesia)
Nyeri
Gerakan yang canggung serta simpang siur
Anestesia dapat terjadi kalau reseptor impuls protopatik musnah atau penghantaran

perifer dan sentralnya terhalang atau terputus. Pada kulit yang rusak karena luka bakar,
reseptor impuls protopatik musnah seluruhnya, sehingga kkawasan kulit itu anestetik.
Karena infeksi herpes zoster neuron di ganglion spinale musnah sehingga dermatoma
yang disarafinya menjadi anestetik (Mardjono & Sidharta, 2010).
Somestesia yang berlebihan atau hiperestesia biasanya berupa perasaan tidak enak
dan tidak menyenangkan pada suatu daerah tubuh bila terangsang secara wajar. Jika
reseptor impuls protopatik atau serabut saraf perifer atau lintasan spinotalamiknya
mengalami gangguan sehingga ambang rangsangnya menurun, maka perangsangan yang
wajar menghasilkan persaan yang berlebihan. Gangguan itu dapat bersifat mekanik,
toksik atau vaskular yang ringan (Mardjono & Sidharta, 2010).
Gangguan perasaan protopatik yang timbul spontan, tanpa perangsangan khusus
dinamakan parestesia. Di dalam klinik arti istilah parestesia itu sudah mantap, yakni
perasaan yang dinyatakan sebagai kesemutan. Namun, arti parestesia sesungguhnya ialah
terasanya perasaan pada daerah permukaan tubuh tertentu yang tidak dibangkitkan oleh
perangsangan khusus dunia luar. Tercakup dalam makna parestesia itu ialah perasaan
dingin atau panas setempat, kesemutan, rasa berat atau rasa dirambati sesuatu (Mardjono
& Sidharta, 2010).
Perasaan abnormal pada permukaan tubuh yang dinamakan anestesia dan parestesia
itu dikenal juga sebagai gangguan sensorik negatif. Sebagai tandingannya ialah gangguan
sensorik positif yaitu nyeri, yang merupakan suatu hasil perangsangan terhadap
nosiseptor serta unsur-unsur saraf yang menghantarkan impuls nyeri ke korteks serebri
(Mardjono & Sidharta, 2010).
Gangguan sistem sensorik yang dituturkan oleh pasien sebagai gangguan motoik yang
berupa ataksia adalah gangguan pada lintasan impuls propioseptif. Pada pemeriksaan

akan terungkap bahwa rasa gerak, getar, dan posisi terganggu (Mardjono & Sidharta,
2010).
GANGGUAN SENSORIK NEGATIF
Gangguan sensorik superfisial atau gangguan eksteroseptif yang negatif
merupakan salah satu manifestasi sindrom neurologi. Secara singkat gangguan sensorik
negatif itu disebut defisit sensorik. Tergantung pada kedudukan lesi, apakah di saraf perifer,
di radiks posterior atau di lintasan sentralnya, daerah permukaan tubuh yang anastetik atau
baal dan sebagainya memperlihatkan pola yang khas sesuai dengan penataan anatomi
susunan somestesia (Mardjono & Sidharta, 2010).
Mengenal pola defisit sensorik itu berarti mengetahui lokasi lesi yang mendasarinya.
Untuk mempermudah pembahasan defisit sensorik, maka istilah anestesia dan hipestesia
digunakan secara bebas sebagai sinonim dari defisit sensorik (Mardjono & Sidharta, 2010).
a. Hemihipestesia
Hemihipestesia merupakan hipestesia yang dirasakan sesisi tubuh saja. Ditinjau dari
sudut patofisiologiknya, maka keadaan itu terjadi karena korteks sensorik primer tidak
menerima impuls sensorik dari belahan tubuh kontralateral. Di dalam klinik hemihipestesia
merupakan gejala utama atau gejala pengiring penyakit perdarahan serebral. Infark yang
menduduki seluruh krus posterior kapsula interna sesisi, mengakibatkan hemiplegia
kontralateral yang disertai hemihipestesis kontralateral juga. Pada penyumbatan arteri serebri
anterior tidak dijumpai hemihipestesia kontralateral, melainkan hipestesia yang terbatas pada
kulit tungkai kontralateral yang lumpuh.
b. Hipestesia alternans
Hipestesia alternans merupakan hipestesia pada belahan wajah ipsilateral terhadap lesi
yang bergandengan dengan hipestesia pada belahan badan kontralateral terhadap lesi. Lesi
yang mendasari pola defisit sensorik itu menduduki kawasan jaras spinotalamik dan traktus
spinalis nervi trigemini di medulla oblongata.
c. Hipestesia tetraplegik
Hipestesia tetraplegik ialah hipestesia pada seluruh tubuh kecuali kepala dan wajah.
Defisit sensorik itu timbul akibat lesi transversal yang memotong medulla spinalis di tingkat
servikalis. Jika lesi menduduki segmen medulla spinalis di bawah tingkat T1, maka defisit
sensorik yang terjadi dinamakan hipestesia paraplegi.
d. Hipestesia selangkangan (saddle hipestesia)

Hipestesia selangkangan ialah hipestesi pada daerah kulit selangkangan. Lesi yang
mengakibatkannya merusak kauda ekuina.
e.

Hemihipestesia sindrom brown sequard

Hemihipestesia sindrom brown sequard ialah hemihipestesia pada belahan tubuh


kontralateral terhadap hemilesi di medulla spinalis.
f. Hipestesia radikular atau hipestesia dermatomal
Hipestesia radikular ialah hipestesia yang terjadi akibat lesi di radiks posterior. Dalam
hal itu daerah yang hipestetik ialah dermatome yang disarafi oleh serabut-serabut radiks
posterior yang terkena lesi.
g. Hipestesia perifer
Hipestesia perifer ialah hipestesia pada kawasan saraf perifer yang biasanya
mencakup bagian-bagian beberapa dermatom.

Sindrom defisit sensorik


Sebagaimana sudah disinggung di atas, defisit sensorik dapat menjadi salah satu
gejala suatu sindrom atau manifestasi tunggal suatu proses patologik. Pada umumnya
defisit sensorik ikut menyusun suatu gambaran penyakit (Mardjono & Sidharta,
2010).
a. Defisit sensorik pada sindrom trombosis serebri
Terjadi karena penyumbatan a. Lentikulostriata sesisi pada krus posterior kapsula
interna sehingga melibatkan juga serabut yang mengatur gerak voluntar
kontralateral tidak berfungsi lagi. Jika infark melibatkan ujung belakang krus
posterior, terjadilah hemiplagia dan hemihipestesia kontralateral terhadap infark
(Mardjono & Sidharta, 2010).
b. Defisit sensorik pada sindrom Wallenberg
Penyumbatan terjadi pada a. Serebeli posterior sehingga infark pada korpus
restiforme ipsilateral berikut kawasan lintasan spinotalamik dan traktus spinalis
nervus trigemini. Oleh karena itu hipestesia di temukan pada wajah ipsilateral dan
badan kontralateral (hemihipestesia alterans) (Mardjono & Sidharta, 2010).
c. defisit sensorik pada siringobulbi
Siringobulbi merupakan lubang sempit yang memanjang dari kawsan lintasan
spinotalamikus dan traktus spinalis n. V ke lokasi traktus solitarius di medula
oblongata. Sindromnya menyerupai sindrom Wallenberg. Bedanya, pada
siringobulbi patogenesis sindrom tersebut berlangsung lambat dalam waktu

berbulan-bulan serta berkolerasi dengan proses degeneratif (Mardjono & Sidharta,


2010).
d. Defisit sensorik pada sindrom tetraplegia atau paraplegia
Karena trauma, gangguan spinovaskular, proses auto-imunologik atau pun proses
maligne, satu atau beberapa segmen medula spinalis rusak sama sekali. Lesi yang
seolah-olah memotong medula spinalis dinamakan lesi tranversal (Mardjono &
Sidharta, 2010).
Sindrom ini terjadi akibat lesi tranversal pada servikal atas (C3 atau C4).
Keempat anggota gerak lumpuh dan mulai dari dermatoma C3/C4 ke bawah
naestetik atau hipestetik. Selain itu, perasaan ingin kencing dan buang air besar
serta kekuatan pengosongan kandung kemih serta rektum hilang. Jika lesi di
bawah intumesensia servikobrakialis, yang muncul adalah paralisis kedua tungkai
disertai hipestesia di bawah tingkat lesi (hipestesia paraplegik) (Mardjono &
Sidharta, 2010).
e. Defisit sensorik sindrom Brown Sequard
Pada sindrom ini, lesi hanya meruksa satu sisi dari medula spinalis (hemilesi).
Belahan badan kontralateral di bawah lesi akan kebal terhadap rangsangan
protopatik sedangkan bagian ipsilateral terjadi hilangnya perasaan getaran,
gerakan, dan sikap anggota tubuh. Sementara itu, belahan badan yang lumpuh
juga terdapat gangguan serebelar karena putusnya spinoserebelar dorsalis dan
ventralis di sisi ipsilateral. Namun, tidak tampak karena terjadi pula kelumpuhan
ipsilateral (Mardjono & Sidharta, 2010).
f. Defisit sensorik pada sindrom radikulopati
Radikulopati berati terjadi proses patologis pada radiks posterior dan anterior.
Tergantung proses patologisnya, tarikan, penekanan dan jepitan setempat dapat
menimbulkan nyeri dan kelumpuhan yang dapat diiringi parestesia. Misalnya pada
jepitan radiks L5 sampai S2 pada HNP yang menyebabkan iskiilgia atau stiatika.
Proses imunologis juga bisa berperan seperti pada kasus sindrom guillain barre
yang menyebabkan demielinisasi. Pada kasus ini, terjadi hipestesia atau parestesia
pada bagian distal anggota gerak yang dikenal sebagai hipestesia atau parestesia
akral. Selain itu, terdapat juga kasus saddle anesthesia apabila terdapat penekanan
pada kauda ekuina (Mardjono & Sidharta, 2010).
g. Defisit sensorik akibat lesi di pleksus brakialis
Lesi pleksus brakialis atas berasal dari lesi yang menggangu serabut-serabut saraf
spinal C5 dan c6. Seringkali terjadi karena penarikan leher. Sementara itu, lesi
pleksus brakialis bawah merupakan lesi yang mengganggu saraf spinal C8 dan T1.
Seringkali terjadi karena penarikan lengan yang berlebihan. Pola gangguan

somestesianya berupa anestesi pada kawasan sempit yang membujur dari tepi
ulnar jari kelingking, tangan sampai sepertiga distal lengan bawah (Mardjono &
Sidharta, 2010).
h. Defisit sensorik pada sindrom neuritis/neuropatia
Neuritis berati terjadinya peradangan pada saraf perifer. Biasanya gejala yang
muncul adalah hipestesia/anastesia atau parestesia. Nyeri neuritik bersumber pada
bagian saraf perifer yang terlibat dalam proses patologis pada tempat yang
dilewati saraf perifer yang bersangkutan (Mardjono & Sidharta, 2010).
GANGGUAN SENSORIK POSITIF

Gangguan sensorik positif ialah nyeri. Perangsangan yang menghasilkan nyeri yang
bersifat destruktif terhadap jaringan yang dilengkapi dengan serabut saraf pengantar
impuls nyeri. Jaringan itu dinamakan secara singkat jaringan peka-nyeri. Jaringan atau
bangunan yang tidak dilengkapi dengan serabut nyeri tidak menghasilkan nyeri bilamana
dirangsang, misalnya diskus intervertebral. Jaringan itu tak peka nyeri (Mardjono &
Sidharta, 2010).
Walaupun nyeri pada hakikatnya tidak dapat ditaksirkan dan tidak dapat diukur,
namun yang tidak dapat disangkal ialah, bahwa nyeri merupakan perasaan yang tidak
nyaman dan menyakitkan. Nyeri akibat ditusuk berbeda dengan nyeri akibat ditekan.
Bagaimana seseorang menghayati nyeri tergantung pada jenis jaringan yang dirangsang,
lalu pada jenis serta sifat perangsangan, dan tergantung pula pada kondisi mental dan
fisiknya. Nyeri dapat langsung dirasakan sebagai hasil perangsangan terhadap kulit,
mukosa rongga mulut dan kornea (Mardjono & Sidharta, 2010).
Sumber Nyeri
Nyeri dapat dianggap sebagai ungkapan suaru proses patologik di tubuh kita. Oleh
karena itu setiap pasien dengan keluhan nyeri harus diselidiki secara sistematik menurut
jalur pemikiran anatomik dan patofisiologik. Pengetahuan tentang adanya jaringan yang
peka-nyeri dan yang tak-peka-nyeri rnemberikan pegangan untuk berfikir secara
relevan (Mardjono & Sidharta, 2010).
Setiap jenis nyeri dicoraki oleh modalitasnya, yang berarti bahwa nyerinya dapat
bersifat tajam, difus, atau rnenjemukan. Dengan menggunakan semantik lain, nyeri
dapat dinyatakan sebagai kemeng, ngilu, linu, sengal atau pegal. Nyeri yang bersumber

pada visera bersifat difus, yang berasal dari otot skeletal dapat dinyatakan pegal, yang
osteogenik dituturkannya sebagai kemeng, linu, atau ngilu dan yang bersumber pada
saraf perifer bersifat tajam (Mardjono & Sidharta, 2010).
Nyeri neuromuskuloskeletal non-neurogik
Nyeri yang dirasakan pada anggota gerak dapat disebut nyeri neuromuskulosketetal.
Sebagian dari nyeri itu adalah nyeri yang bangkit akibat proses patologik di jaringan
yang dilengkapi

dengan serabut

nyeri. Contoh-contohnya: artratgia (akibat proses

patologik di persendian), mialgia (akibat proses patologik di otot) dan entesialgia (akibat
proses patologik di tendon, fasia, jaringan miofasial dan periosteum). Dalam pada itu
didapati proses patologik setempat. Sebagian besar proses itu berupa peradangan bakterial,
imunologik, non-infeksi, atau perdarahan dan sekali-sekali proses maligne. Ini berarti
bahwa pada lokasi nyeri didapati tanda-tanda peradangan atau kelainan. Apabila proses
lokalnya

tidak langsung dapat dilhat, dengan menekan pada

lokasi

nyeri dapat

diungkapkan adanya nyeri tekan, dengan menggerakkan bagian anggota gerak secara
isotonik atau isometrif aktif atau pasif dapat terungkap adanya nyeri gerak pasif dan aktif,
atau nyeri gerak isometrik (Mardjono & Sidharta, 2010).
Nyeri tekan dapat terungkap dengan penekanan pada daerah keluhan, terutama
pada bagian miofasial, tuberositas, kapsul persendian, tulang, epikondilus, tempat fraktur
tulang, otot dan berkas saraf (Mardjono & Sidharta, 2010).
Nyeri gerak pasif dan aktif akan timbul apabila persendian yang terkena proses
patologik. Dan nyeri itu terasa pada gerakan ke seluruh penjuru. Tetapi jika hanya satu
tendon saja atau hanya satu berkas otot saja yang dilanda proses patologik, maka pada
gerakan pasif dalam lingkup gerakan otot itu tidak akan bangkit nyeri. Sebaliknya, jika
otot itu harus bergerak secara aktif, maka nyeri akan dihasilkan. Apa yang baru saja
dibahas ialah diferensiasi antara nyeri kapsulogenik dan nyeri miotendinogenik (Mardjono
& Sidharta, 2010).

Nyeri neuromuskuloskeletal neurogenik

Jenis nyeri neuromuskuloskeletal lainnya ialah nyeri akibat iritasi langsung terhadap
serabut sensorik perifer. Nyeri itu dikenal sebagai nyeri neurogenik, yang memiliki dua

ciri khas: (1) nyerinya menjalar sepanjang kawasan distal saraf yang bersangkutan dan
(2) penjalaran nyeri itu berpangkal pada bagian saraf yang mengalami iritasi (Mardjono &
Sidharta, 2010).
Serabut sensorik perifer menyusun radiks posterior, saraf spinal, pleksus, fasikel dan
segenap saraf perifer. Nyeri neurogenik yang timbul akibat iritasi di radiks posterior
dinamakan nyeri radikular. Secara teoretik nyeri neurogenik lainnya dapat disebut secara
berturut-turut nyeri pleksikular, nyeri fasikular dan nyeri neuritik. Akan tetapi di dalam
klinik dibedakan hanya nyeri radikular dan nyeri neuritik (Mardjono & Sidharta, 2010).

Nyeri radikular

Radiks anterior dan posterior


intervertebrale. Berkas

bergabung

menjadi

satu berkas di foramen

itu dinamakan saraf spinal. Baik iritasi pada serabut-serabut

sensorik di bagian radiks posterior maupun dibagian saraf spinal itu membangkitkan nyeri
radikular. Kawasan sensorik setiap radiks posterior adalah dermatoma. Pada permukaan
toraks dan abdomen dermatoma itu selapis demi selapis, sesuai dengan urutan radiks
posterior pada segmen-segmen medula spinalis C3 C4 dan T3 sampai dengan T12.
Tetapi pada permukaan lengan dan tungkai kawasan dermatomal tumpang tindih oleh
karena saraf spinal tidak langsung menuju ke ekstremitas, melainkan menyusun pleksus
dan fasikulus terlebih dahulu kemudian menuju ke lengan dan tungkai. Karena itulah,
maka penataan lamelar dermatoma C.5 T.2 dan L.2 - S.3 menjadi agak kabur (Mardjono
& Sidharta, 2010).
Segala sesuatu yang merangsang serabut sensorik di tingkat radiks dan foramen
intervertebrale dapat menimbulkan nyeri radikular, yaitu nyeri yang terasa berpangkal
pada tingkat tulang belakang tertentu dan menjalar sepanjang kawasan dermatomal radiks
posterior yang bersangkutan. Pada adanya herpes zoster di T.5 misalnya kawasan
dermatoma T.5 itu dapat diungkapkan oleh gelembung-gelembung herpes yang tersebar
pada permukaan kulit. Dalam pada itu, yang dilanda virus herpes zoster ialah ganglion
spinale T.5. Osteofit, penonjolan tulang karena fraktur, nukleus pulposus atau serpihannya,
tumor dan sebagainya dapat merangsang satu atau lebih radiks posterior. Pada tingkat
kauda equina radiks posterior letaknya dekat satu dengan yang lain, sehingga nukleus

pulposus diskus intervertebral antara L.5 dan S.1 dapat mengganggu 3 radiks posterior.
Dalam hal itu nyeri radikular dapat dirasakan pada permukaan kulit yang tercakup oleh 3
dermatoma. Pada umumnya hanya satu radiks saja yang pada permulaan mengalami
iritasi terberat. Kemudian yang kedua lainnya akan mengalami nasib yang sama. Karena
adanya perbedaan derajat

iritasi, selisih waktu dalam penekanan, penjepitan dan

sebagainya, maka nyeri radikular akibat iritasi terhadap 3 radiks posterior itu dapat juga
dirasakan oleh pasien sebagai nyeri neurogenik yang terdiri atas nyeri yang tajam, nyeri
yang menjemukan dan parestesia (Mardjono & Sidharta, 2010).
Nyeri radikular pada spondititis tuberkulosa. Tidak jarang nyeri radikular merupakan
gejala dini spondilitis tuberkulosa. Karena proses itu sering melanda salah satu korpus
vertebrae di antara T.4 T.7, maka nyeri radikular itu dikenal sebagai nyeri interkostal.
Jika nyeri itu luput didiagnose dan hanya pengobatan simptomatik saja yang diberikan
maka proses tuberkulosis akan berjalan terus dan korpus vertebrae akan hancur sehingga
menimbulkan gibus angular yang jelas dan mungkin mengakibatkan kompresi medula
spinalis juga (Mardjono & Sidharta, 2010).
Nyeri radikular pada spondilosis. Sebagai hasil proses menua di samping faktor
keturunan dan faktor eksogenik yang berkaitan dengan pekerjaan dan pengalaman dilanda
penyakit, tulang belakang memperlihatkan osteofit dan sklerosis. Derformitas pada tulang
belakang itulah yang dinamakan spondilosis. Dulu digunakan istilah artrosis deforrnans.
Osteofit yang menyempitkan ruang foramen intervertebrale dapat rnengganggu serabut
sensorik dan motorik sehingga membangkitkan nyeri radikular dan sekaligus
melumpuhkan suatu miotom yang bersangkutan. Oleh karena spondilosis umum pada
orang berusia

lebih dari 45 tahun, maka tidaklah bijaksana untuk terlampau mudah

menyalahkan spondilosis sebagai penyebab suatu sindrom nyeri, bilamana kemungkinan


lain belum diselidiki (Mardjono & Sidharta, 2010).
Bilamana spondilosis servikalis yang dicurigai menyebabkan iritasi terhadap radiks
C.4 atau C.5, maka relevansi antara

rnanifestasi klinis dan data radiologik harus

ditentukan. Pertama, topografi kelainan radiologik itu harus relevan dengan topografi
kawasan nyeri yang dirasakan pasien. Selanjutnya bangkitnya nyeri radikular yang
dikeluhkan oleh pasien itu dapat di provokasi secara klinis. Test provokasi itu dikenal
sebagai test Lhermitte yang mengadakan penekanan pada kepala dengan posisi leher
tegak lurus atau miring sehingga berkas serabut sensorik di foramen intervertebrale yang

diduga terjepit, secala faktual dapat dibuktikan. Jika pasien sedang merasakan nyeri
radikular, pembuktian terhadap adanya penjepitan dapat diberikan dengan tindakan yang
mengurangi penjepitan itu, yakni dengan mengangkat kepala pasien sejenak. Apabila
dengan distraksi itu nyeri radikular mereda atau hilang, maka penjepitan akibat
spondilosis adalah relevan (Mardjono & Sidharta, 2010).
Nyeri radikular pada hernia nukleus pulposus. Hernia nukleus pulposus (HNP) ialah
menjebolnya nukleus pulposus ke dalam kanalis vertebralis akibat degenerasi anulus
fibrosus korpus intervertebral. Yang mengakibatkan HNP pada tingkat lumbosakral itu
ialah gaya yang menekan pada diskus ketika mengangkat benda berat dalam posisi
membungkuk. HNP servikal lebih sering terjadi sehubung dengan trauma leher, dimana
leher terayun ke depan dan ke belakang secara cepat dan berlebihan. Itulah yang dikenal
sebagai trauma "whiplash" (Mardjono & Sidharta, 2010).
Tempat penjebolan mukleus pulposus bervariasi. Karena itu radiks posterior dapat
tertekan dari samping, dari medial atau dari posterior. Manifestasi klinisnya bervariasi
juga antara
Penekanan

nyeri

radikular serta parestesia dan nyeri radikular serta hipestesia.

terhadap radiks posterior yang masih utuh dan berfungsi mengakibatkan

timbulnya nyeri radikular. Jika penekanan sudah menimbulkan pembengkakan radiks


posterior, bahkan kerusakan struktural yang lebih berat, maka gejala yang timbul ialah
hipestesia atau anestesia radikular. Nyeri radikular yang bangkit akibat lesi iritatif di radiks
posterior tingkat servikal dinamakan brakialgia, karena nyerinya dirasakan sepanjang
lengan. Demikian juga nyeri radikular yang dirasakan sepanjang tungkai dinamakan
iskialgia, karena nyerinya menjalar sepanjang perjalanan n.iskiadikus dan lanjutannya ke
perifer (Mardjono & Sidharta, 2010).

Anda mungkin juga menyukai