perifer dan sentralnya terhalang atau terputus. Pada kulit yang rusak karena luka bakar,
reseptor impuls protopatik musnah seluruhnya, sehingga kkawasan kulit itu anestetik.
Karena infeksi herpes zoster neuron di ganglion spinale musnah sehingga dermatoma
yang disarafinya menjadi anestetik (Mardjono & Sidharta, 2010).
Somestesia yang berlebihan atau hiperestesia biasanya berupa perasaan tidak enak
dan tidak menyenangkan pada suatu daerah tubuh bila terangsang secara wajar. Jika
reseptor impuls protopatik atau serabut saraf perifer atau lintasan spinotalamiknya
mengalami gangguan sehingga ambang rangsangnya menurun, maka perangsangan yang
wajar menghasilkan persaan yang berlebihan. Gangguan itu dapat bersifat mekanik,
toksik atau vaskular yang ringan (Mardjono & Sidharta, 2010).
Gangguan perasaan protopatik yang timbul spontan, tanpa perangsangan khusus
dinamakan parestesia. Di dalam klinik arti istilah parestesia itu sudah mantap, yakni
perasaan yang dinyatakan sebagai kesemutan. Namun, arti parestesia sesungguhnya ialah
terasanya perasaan pada daerah permukaan tubuh tertentu yang tidak dibangkitkan oleh
perangsangan khusus dunia luar. Tercakup dalam makna parestesia itu ialah perasaan
dingin atau panas setempat, kesemutan, rasa berat atau rasa dirambati sesuatu (Mardjono
& Sidharta, 2010).
Perasaan abnormal pada permukaan tubuh yang dinamakan anestesia dan parestesia
itu dikenal juga sebagai gangguan sensorik negatif. Sebagai tandingannya ialah gangguan
sensorik positif yaitu nyeri, yang merupakan suatu hasil perangsangan terhadap
nosiseptor serta unsur-unsur saraf yang menghantarkan impuls nyeri ke korteks serebri
(Mardjono & Sidharta, 2010).
Gangguan sistem sensorik yang dituturkan oleh pasien sebagai gangguan motoik yang
berupa ataksia adalah gangguan pada lintasan impuls propioseptif. Pada pemeriksaan
akan terungkap bahwa rasa gerak, getar, dan posisi terganggu (Mardjono & Sidharta,
2010).
GANGGUAN SENSORIK NEGATIF
Gangguan sensorik superfisial atau gangguan eksteroseptif yang negatif
merupakan salah satu manifestasi sindrom neurologi. Secara singkat gangguan sensorik
negatif itu disebut defisit sensorik. Tergantung pada kedudukan lesi, apakah di saraf perifer,
di radiks posterior atau di lintasan sentralnya, daerah permukaan tubuh yang anastetik atau
baal dan sebagainya memperlihatkan pola yang khas sesuai dengan penataan anatomi
susunan somestesia (Mardjono & Sidharta, 2010).
Mengenal pola defisit sensorik itu berarti mengetahui lokasi lesi yang mendasarinya.
Untuk mempermudah pembahasan defisit sensorik, maka istilah anestesia dan hipestesia
digunakan secara bebas sebagai sinonim dari defisit sensorik (Mardjono & Sidharta, 2010).
a. Hemihipestesia
Hemihipestesia merupakan hipestesia yang dirasakan sesisi tubuh saja. Ditinjau dari
sudut patofisiologiknya, maka keadaan itu terjadi karena korteks sensorik primer tidak
menerima impuls sensorik dari belahan tubuh kontralateral. Di dalam klinik hemihipestesia
merupakan gejala utama atau gejala pengiring penyakit perdarahan serebral. Infark yang
menduduki seluruh krus posterior kapsula interna sesisi, mengakibatkan hemiplegia
kontralateral yang disertai hemihipestesis kontralateral juga. Pada penyumbatan arteri serebri
anterior tidak dijumpai hemihipestesia kontralateral, melainkan hipestesia yang terbatas pada
kulit tungkai kontralateral yang lumpuh.
b. Hipestesia alternans
Hipestesia alternans merupakan hipestesia pada belahan wajah ipsilateral terhadap lesi
yang bergandengan dengan hipestesia pada belahan badan kontralateral terhadap lesi. Lesi
yang mendasari pola defisit sensorik itu menduduki kawasan jaras spinotalamik dan traktus
spinalis nervi trigemini di medulla oblongata.
c. Hipestesia tetraplegik
Hipestesia tetraplegik ialah hipestesia pada seluruh tubuh kecuali kepala dan wajah.
Defisit sensorik itu timbul akibat lesi transversal yang memotong medulla spinalis di tingkat
servikalis. Jika lesi menduduki segmen medulla spinalis di bawah tingkat T1, maka defisit
sensorik yang terjadi dinamakan hipestesia paraplegi.
d. Hipestesia selangkangan (saddle hipestesia)
Hipestesia selangkangan ialah hipestesi pada daerah kulit selangkangan. Lesi yang
mengakibatkannya merusak kauda ekuina.
e.
somestesianya berupa anestesi pada kawasan sempit yang membujur dari tepi
ulnar jari kelingking, tangan sampai sepertiga distal lengan bawah (Mardjono &
Sidharta, 2010).
h. Defisit sensorik pada sindrom neuritis/neuropatia
Neuritis berati terjadinya peradangan pada saraf perifer. Biasanya gejala yang
muncul adalah hipestesia/anastesia atau parestesia. Nyeri neuritik bersumber pada
bagian saraf perifer yang terlibat dalam proses patologis pada tempat yang
dilewati saraf perifer yang bersangkutan (Mardjono & Sidharta, 2010).
GANGGUAN SENSORIK POSITIF
Gangguan sensorik positif ialah nyeri. Perangsangan yang menghasilkan nyeri yang
bersifat destruktif terhadap jaringan yang dilengkapi dengan serabut saraf pengantar
impuls nyeri. Jaringan itu dinamakan secara singkat jaringan peka-nyeri. Jaringan atau
bangunan yang tidak dilengkapi dengan serabut nyeri tidak menghasilkan nyeri bilamana
dirangsang, misalnya diskus intervertebral. Jaringan itu tak peka nyeri (Mardjono &
Sidharta, 2010).
Walaupun nyeri pada hakikatnya tidak dapat ditaksirkan dan tidak dapat diukur,
namun yang tidak dapat disangkal ialah, bahwa nyeri merupakan perasaan yang tidak
nyaman dan menyakitkan. Nyeri akibat ditusuk berbeda dengan nyeri akibat ditekan.
Bagaimana seseorang menghayati nyeri tergantung pada jenis jaringan yang dirangsang,
lalu pada jenis serta sifat perangsangan, dan tergantung pula pada kondisi mental dan
fisiknya. Nyeri dapat langsung dirasakan sebagai hasil perangsangan terhadap kulit,
mukosa rongga mulut dan kornea (Mardjono & Sidharta, 2010).
Sumber Nyeri
Nyeri dapat dianggap sebagai ungkapan suaru proses patologik di tubuh kita. Oleh
karena itu setiap pasien dengan keluhan nyeri harus diselidiki secara sistematik menurut
jalur pemikiran anatomik dan patofisiologik. Pengetahuan tentang adanya jaringan yang
peka-nyeri dan yang tak-peka-nyeri rnemberikan pegangan untuk berfikir secara
relevan (Mardjono & Sidharta, 2010).
Setiap jenis nyeri dicoraki oleh modalitasnya, yang berarti bahwa nyerinya dapat
bersifat tajam, difus, atau rnenjemukan. Dengan menggunakan semantik lain, nyeri
dapat dinyatakan sebagai kemeng, ngilu, linu, sengal atau pegal. Nyeri yang bersumber
pada visera bersifat difus, yang berasal dari otot skeletal dapat dinyatakan pegal, yang
osteogenik dituturkannya sebagai kemeng, linu, atau ngilu dan yang bersumber pada
saraf perifer bersifat tajam (Mardjono & Sidharta, 2010).
Nyeri neuromuskuloskeletal non-neurogik
Nyeri yang dirasakan pada anggota gerak dapat disebut nyeri neuromuskulosketetal.
Sebagian dari nyeri itu adalah nyeri yang bangkit akibat proses patologik di jaringan
yang dilengkapi
dengan serabut
patologik di persendian), mialgia (akibat proses patologik di otot) dan entesialgia (akibat
proses patologik di tendon, fasia, jaringan miofasial dan periosteum). Dalam pada itu
didapati proses patologik setempat. Sebagian besar proses itu berupa peradangan bakterial,
imunologik, non-infeksi, atau perdarahan dan sekali-sekali proses maligne. Ini berarti
bahwa pada lokasi nyeri didapati tanda-tanda peradangan atau kelainan. Apabila proses
lokalnya
lokasi
nyeri dapat
diungkapkan adanya nyeri tekan, dengan menggerakkan bagian anggota gerak secara
isotonik atau isometrif aktif atau pasif dapat terungkap adanya nyeri gerak pasif dan aktif,
atau nyeri gerak isometrik (Mardjono & Sidharta, 2010).
Nyeri tekan dapat terungkap dengan penekanan pada daerah keluhan, terutama
pada bagian miofasial, tuberositas, kapsul persendian, tulang, epikondilus, tempat fraktur
tulang, otot dan berkas saraf (Mardjono & Sidharta, 2010).
Nyeri gerak pasif dan aktif akan timbul apabila persendian yang terkena proses
patologik. Dan nyeri itu terasa pada gerakan ke seluruh penjuru. Tetapi jika hanya satu
tendon saja atau hanya satu berkas otot saja yang dilanda proses patologik, maka pada
gerakan pasif dalam lingkup gerakan otot itu tidak akan bangkit nyeri. Sebaliknya, jika
otot itu harus bergerak secara aktif, maka nyeri akan dihasilkan. Apa yang baru saja
dibahas ialah diferensiasi antara nyeri kapsulogenik dan nyeri miotendinogenik (Mardjono
& Sidharta, 2010).
Jenis nyeri neuromuskuloskeletal lainnya ialah nyeri akibat iritasi langsung terhadap
serabut sensorik perifer. Nyeri itu dikenal sebagai nyeri neurogenik, yang memiliki dua
ciri khas: (1) nyerinya menjalar sepanjang kawasan distal saraf yang bersangkutan dan
(2) penjalaran nyeri itu berpangkal pada bagian saraf yang mengalami iritasi (Mardjono &
Sidharta, 2010).
Serabut sensorik perifer menyusun radiks posterior, saraf spinal, pleksus, fasikel dan
segenap saraf perifer. Nyeri neurogenik yang timbul akibat iritasi di radiks posterior
dinamakan nyeri radikular. Secara teoretik nyeri neurogenik lainnya dapat disebut secara
berturut-turut nyeri pleksikular, nyeri fasikular dan nyeri neuritik. Akan tetapi di dalam
klinik dibedakan hanya nyeri radikular dan nyeri neuritik (Mardjono & Sidharta, 2010).
Nyeri radikular
bergabung
menjadi
sensorik di bagian radiks posterior maupun dibagian saraf spinal itu membangkitkan nyeri
radikular. Kawasan sensorik setiap radiks posterior adalah dermatoma. Pada permukaan
toraks dan abdomen dermatoma itu selapis demi selapis, sesuai dengan urutan radiks
posterior pada segmen-segmen medula spinalis C3 C4 dan T3 sampai dengan T12.
Tetapi pada permukaan lengan dan tungkai kawasan dermatomal tumpang tindih oleh
karena saraf spinal tidak langsung menuju ke ekstremitas, melainkan menyusun pleksus
dan fasikulus terlebih dahulu kemudian menuju ke lengan dan tungkai. Karena itulah,
maka penataan lamelar dermatoma C.5 T.2 dan L.2 - S.3 menjadi agak kabur (Mardjono
& Sidharta, 2010).
Segala sesuatu yang merangsang serabut sensorik di tingkat radiks dan foramen
intervertebrale dapat menimbulkan nyeri radikular, yaitu nyeri yang terasa berpangkal
pada tingkat tulang belakang tertentu dan menjalar sepanjang kawasan dermatomal radiks
posterior yang bersangkutan. Pada adanya herpes zoster di T.5 misalnya kawasan
dermatoma T.5 itu dapat diungkapkan oleh gelembung-gelembung herpes yang tersebar
pada permukaan kulit. Dalam pada itu, yang dilanda virus herpes zoster ialah ganglion
spinale T.5. Osteofit, penonjolan tulang karena fraktur, nukleus pulposus atau serpihannya,
tumor dan sebagainya dapat merangsang satu atau lebih radiks posterior. Pada tingkat
kauda equina radiks posterior letaknya dekat satu dengan yang lain, sehingga nukleus
pulposus diskus intervertebral antara L.5 dan S.1 dapat mengganggu 3 radiks posterior.
Dalam hal itu nyeri radikular dapat dirasakan pada permukaan kulit yang tercakup oleh 3
dermatoma. Pada umumnya hanya satu radiks saja yang pada permulaan mengalami
iritasi terberat. Kemudian yang kedua lainnya akan mengalami nasib yang sama. Karena
adanya perbedaan derajat
sebagainya, maka nyeri radikular akibat iritasi terhadap 3 radiks posterior itu dapat juga
dirasakan oleh pasien sebagai nyeri neurogenik yang terdiri atas nyeri yang tajam, nyeri
yang menjemukan dan parestesia (Mardjono & Sidharta, 2010).
Nyeri radikular pada spondititis tuberkulosa. Tidak jarang nyeri radikular merupakan
gejala dini spondilitis tuberkulosa. Karena proses itu sering melanda salah satu korpus
vertebrae di antara T.4 T.7, maka nyeri radikular itu dikenal sebagai nyeri interkostal.
Jika nyeri itu luput didiagnose dan hanya pengobatan simptomatik saja yang diberikan
maka proses tuberkulosis akan berjalan terus dan korpus vertebrae akan hancur sehingga
menimbulkan gibus angular yang jelas dan mungkin mengakibatkan kompresi medula
spinalis juga (Mardjono & Sidharta, 2010).
Nyeri radikular pada spondilosis. Sebagai hasil proses menua di samping faktor
keturunan dan faktor eksogenik yang berkaitan dengan pekerjaan dan pengalaman dilanda
penyakit, tulang belakang memperlihatkan osteofit dan sklerosis. Derformitas pada tulang
belakang itulah yang dinamakan spondilosis. Dulu digunakan istilah artrosis deforrnans.
Osteofit yang menyempitkan ruang foramen intervertebrale dapat rnengganggu serabut
sensorik dan motorik sehingga membangkitkan nyeri radikular dan sekaligus
melumpuhkan suatu miotom yang bersangkutan. Oleh karena spondilosis umum pada
orang berusia
ditentukan. Pertama, topografi kelainan radiologik itu harus relevan dengan topografi
kawasan nyeri yang dirasakan pasien. Selanjutnya bangkitnya nyeri radikular yang
dikeluhkan oleh pasien itu dapat di provokasi secara klinis. Test provokasi itu dikenal
sebagai test Lhermitte yang mengadakan penekanan pada kepala dengan posisi leher
tegak lurus atau miring sehingga berkas serabut sensorik di foramen intervertebrale yang
diduga terjepit, secala faktual dapat dibuktikan. Jika pasien sedang merasakan nyeri
radikular, pembuktian terhadap adanya penjepitan dapat diberikan dengan tindakan yang
mengurangi penjepitan itu, yakni dengan mengangkat kepala pasien sejenak. Apabila
dengan distraksi itu nyeri radikular mereda atau hilang, maka penjepitan akibat
spondilosis adalah relevan (Mardjono & Sidharta, 2010).
Nyeri radikular pada hernia nukleus pulposus. Hernia nukleus pulposus (HNP) ialah
menjebolnya nukleus pulposus ke dalam kanalis vertebralis akibat degenerasi anulus
fibrosus korpus intervertebral. Yang mengakibatkan HNP pada tingkat lumbosakral itu
ialah gaya yang menekan pada diskus ketika mengangkat benda berat dalam posisi
membungkuk. HNP servikal lebih sering terjadi sehubung dengan trauma leher, dimana
leher terayun ke depan dan ke belakang secara cepat dan berlebihan. Itulah yang dikenal
sebagai trauma "whiplash" (Mardjono & Sidharta, 2010).
Tempat penjebolan mukleus pulposus bervariasi. Karena itu radiks posterior dapat
tertekan dari samping, dari medial atau dari posterior. Manifestasi klinisnya bervariasi
juga antara
Penekanan
nyeri