Kasus 1
metabolic
- ensefalopati
hepatik
- sindrom uremik
- GGK
penurunan
kesadaran dan
muntah darah
Inflamasi
- Pankreatitis
A. Ensefalopati Hepatica
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatri yang dapat
terjadi pada penyakit hati akut dan kronik berat dengan beragam manifestasi,
mulai dari ringan hingga berat, mencakup perubahan perilaku, gangguan
intelektual, serta penurunan kesadaran tanpa adanya kelainan pada otak yang
mendasarinya. Di Indonesia, prevalensi EH minimal (grade 0) tidak diketahui
Patofisiologi
Beberapa kondisi berpengaruh terhadap timbulnya ensefalopati hepatikum
pada pasien gangguan hati akut maupun kronik, seperti keseimbangan nitrogen
positif dalam tubuh (asupan protein yang tinggi, gangguan ginjal, perdarahan
varises esofagus dan konstipasi), gangguan elektrolit dan asam basa
(hiponatremia, hipokalemia, asidosis dan alkalosis), penggunaan obat-obatan
(sedasi dan narkotika), infeksi (pneumonia, infeksi saluran kemih atau infeksi
lain) dan lain-lain, seperti pembedahan dan alkohol.
molekul toksik terhadap sel yang diyakini berperan penting dalam terjadinya
ensefalopati hepatikum karena kadarnya meningkat pada pasien sirosis hati.
Beberapa studi lain juga mengemukakan faktor pencetus lain penyebab
ensefalopati hepatikum seperti pada gambar 10.1 berikut (Sudoyo, 2009).
berbagai organ. Amonia merupakan hasil produksi koloni bakteri usus dengan
aktivitas
enzim
urease,
terutama
bakteri
gram
negatif
anaerob,
lainnya
adalah
infeksi
HIV,
penyakit
sickle
cell,
Gejala Klinis
Pada gagal ginjal kronik, gejala gejalanya berkembang secara perlahan.
Pada awalnya tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal hanya dapat
diketahui dari pemeriksaan laboratorium. Sejalan dengan berkembangnya
penyakit, maka lama kelamaan akan terjadi peningkatan kadar ureum darah
semakin tinggi (uremia). Pada stadium ini, penderita menunjukkan gejala
gejala fisik yang melibatkan kelainan berbagai organ seperti (Roesli, 2005):
a. Kelainan saluran cerna : nafsu makan menurun, mual, muntah dan fetor
uremik
b. Kelainan kulit : urea frost dan gatal di kulit
c. Kelainan neuromuskular : tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya
konsentrasi menurun, insomnia, gelisah
d. Kelainan kardiovaskular : hipertensi, sesak nafas, nyeri dada, edema
e. Gangguan kelamin : libido menurun, nokturia, oligouria
Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan
daya cadang ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah
meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan
fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea
dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60 % pasien masih belum
merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea
dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30 % mulai terjadi keluhan
pada seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan
berat badan. Sampai pada LFG kurang 30 % pasien memperlihatkan gejala
dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah,
gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain
sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih,
infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi
gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolumia, gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah
15 % akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah
memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain
dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai
pada stadium gagal ginjal (Roesli, 2005).
Gambaran Laboratorium
10
Etiologi
Sindrom ini terjadi secara predominan terjadi pada bayi-bayi yang sehat dan
didahului oleh diare berdarah yang disebabkan oleh berbagai serotipe
Escherichia coli atau Shigella dysenteriae serotype I. (Sudoyo, 2009).
Patofisiologi
Infeksi verotoksin dari E. Coli atau S. dysentriae menghasilkan diare berdarah
1. Penyebaran toksin melalui pembuluh darah dan perlekatan verotoksin ke
endotel sel glomerulus
2. Pembentukan endositosis dan pelepasan fragmen sub unit sentral dari
verotoksin
mengakibatkan
gangguan
sintesis
protein
sehingga
Manifestasi Klinis
Bentuk klasik HUS pada bayi atau anak biasanya didahului oleh masa
prodromal muntah dan diare, dengan atau tanpa darah. Biasanya dapat disertai
nyeri abdomen atau kram hebat sehingga sering didiagnosis sebagai kolitis atau
kegawatan abdomen. Fase prodromal biasanya berlangsung 4 sampai 15 hari
dengan rata rata 7 hari, kemudian muncul trias HUS. (Bahrun, 2002; Greer,
2003).
Ketika gejala HUS muncul, penderita tampak pucat, ikterik, kadang dapat
timbul kejang atau penurunan kesadaran. Namun manifestasi neurologik lbih
sering terjadi pada TTP. Edema, oligouria, hipertensi, kongesti vaskular dapat
11
dijumpai oleh karena beratnya proses penyakit atau kelebihan cairan akibat
kurangnya pengawasan terhadap balans cairan sedang anak biasanya menderita
oligouria. (Bahrun, 2002; Greer, 2003).
Hepar dan limpa dapat teraba membesar. Pada kulit dapat dijumpai petekiae
dan purpura. Perdarahan kulit berupa hematom dan ekimosis sering juga
dijumpai di tempat bekas suntikan. Tekanan darah yang meningkat juga didapat
pada sekitar separuh pasien yang membantu membedakan sindrom ini dari
penyebab gagal ginjal lainnya yang berhubungan dengan diare, seperti dehidrasi
dan renal vein thrombosis. (Bahrun, 2002; Greer, 2003).
Hemolisis dengan fragmentasi sel darah merah ditemukan pada pasien HUS,
pemeriksaan darah tepi perlu dilakukan untuk melihat adanya proses
mikroangiopati. Gambaran darah tepi pada pasien dengan HUS dijumpai
schystocytes, sel helmet dan sel burr. Hemolisis dapat cepat terjadi ditandai oleh
menurunnya kadar hemoglobin dan hematokrit secara drastis. Trombositopenia
dibawah 40.000/mm3 biasanya berlangsung sekitar 7 14 hari disusul dengan
munculnya gejala klinis berupa petekiae, purpura dan hematom di tempat bekas
suntikan. Meningkatnya nilai trombosit menunjukkan pemulihan proses
mikroangiopati. (Bahrun, 2002; Greer, 2003).
Gagal ginjal akut dengan peningkatan serum urea nitrogen dan kreatinin serta
penurunan jumlah urin muncul seiring dengan terjadinya proses hemolisis dan
anemia, derajat insufisiensi ginjal bervariasi secara luas. Penyulit yang
berhubungan dengan gagal ginjal akut adalah gangguan elektrolit, hipertensi,
edema, kongesti vaskular, asidosis metabolik dan hiperurisemia. Gangguan
sistem saraf pusat dapat terjadi berupa iritabilitas, letargi, kejang atau koma.
Keterlibatan SSP disebabkan proses multifaktorial dan berhubungan dengan
mikroangiopati yang terjadi di pembuluh darah otak. Dimana terjadi
pembentukan fibrin dan mikrotrombus yang menyebabkan iskemi serebral.
(Bahrun, 2002; Greer, 2003).
Gejala Klinis HUS
Masa prodromal diare
12
1) Antara 4 15 hari
2) Dengan atau tanpa darah
3) Dapat disertai nyeri perut
Anemia
1) Muncul setelah fase prodromal diare mulai hilang
2) Berhubungan dengan penurunan hematokrit dan trombosit
Insufisiensi renal
1) Oligouria dapat muncul selama 4 12 hari
2) Sering terjadi edema, hipertensi dan edema pulmo bila balans cairan tidak
dilakukan
Pemulihan
1) Peningkatan angka trombosit
2) Peningkatan urin output
3) Peningkatan hematokrit
Temuan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan kadar hemoglobin menurun berkisar
antara 3 -10 gram% dan terdapat gambaran anemia hemolitik mikroangiopati
(Coombs test negatif), Gambaran apusan darah tepi menunjukkan bentuk
abnormal dari sel eritrosit berupa schystocytes, fragmentosit, sel topi, tear drops,
burr cell (Gambar 1). Jumlah leukosit dapat meningkat sampai 20.000/ mm3.
Jumlah retikulosit dapat normal atau meningkat, jumlah trombosit menurun
berkisar antara 20.000 100.000/ mm3. Pada beberapa pasien nilai PT / PTT
biasanya normal dan terdapat peningkatan FDP. (Kasper, 2005).
13
14
Kimia darah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Peningkatan BUN
Peningkatan creatinin
Hipokalemi, Hiponatremi, Hiperurisemia
Penurunan serum protein
Peningkatan fungsi hati
Peningkatan asam urat
Urine
1)
2)
3)
4)
5)
Proteinuria
Hemoglobinuria dan hemosiderinuria
Leukosit esterase positif
Bilirubin positif
Dijumpai cast atau granul (Kasper, 2005).
D. Pankreatitis
Patofisiologi
Timbulnya pankreatitis akut disebabkan oleh auto digesti enzim pankreas.
Duktus pankreatikus dan duktus koledukus bermuara ke tempat yang sama yaitu
ampula vateri, menyumbat aliran getah empedu dari duktus koledukus ke dalam
duktus pankreatikus, dan dengan demikian akan mengaktifkan tripsinogen
menjadi tripsin. Tripsin memegang peranan penting timbulnya pankreatitis akut.
Dengan terjadinya refleks enzim terutama tripsin, ke dalam duktus pankreatikus,
maka akan terjadi edema pada pankreas. Tripsin tidak merusak jaringan, tetapi
mengaktivasi dua macam enzim lain yaitu fosfolipase A dan B, yang pada waktu
sekresi empedu akan mengubah lesitin menjadi lisolesitin. Lisolesitin akan
merusak lapisan membran fosfolipid. Tripsin juga mengaktivasi elestase. Elestase
menyebabkan gangguan vaskularisasi yang hebat sehingga timbul perdarahan
hebat pada pankreas. Tripsin terdapat di dalam duodenum dalam bentuk tidak
aktif yaitu tripsinogen dan baru aktif setelah kontak dengan enterokinase (Price,
2006).
Komplikasi
15
Komplikasi pankreatitis akut dapat timbul pada saat serangan pertama kali atau
selama sakit. Adapun komplikasi yang sering terjadi ialah (Price, 2006):
1. Shock (renjatan)
Renjatan merupakan
menyebabkan
komplikasi
bertambahnya
yang
eksudasi
tersering.
pankreas
Pankreatitis
ke
dalam
akut
ruang
16
Analisis Masalah
Penurunan kesadaran sejak 1 jam yang lalu, 1 hari yang lalu pasien sering
berbicara kurang jelas seperti berhalusinasi dan hilang ingatan sejak 2 hari yang lalu,
pasien mengalami buang air besar berwarna hitam seperti aspal. Pasien juga
mengeluhkan nyeri perut, mual dan nafsu makan menurun. 1 hari yang lalu pasien
mengalami muntah darah berwarna kecoklatan sebanyak 3 kali sehari dengan volume
seperempat gelas belimbing. 1 minggu yang lalu pasien mengeluhkan perutnya
tampak semakin membesar. Pembesaran perut tanpa diawali bengkak pada tungkai
dan sembab kedua mata pada pagi hari. Buang air kecil pasien seperti the. Pasien
tidak mengeluhkan demam, nyeri kepala dan kelemahan anggota gerak.
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat keluhan yang sama : disangkal
Riwayat kencing manis
: disangkal
: disangkal
Riwayat pribadi
Pemeriksaan fisik
a.
b.
c.
d.
e.
Keadaan umum
Kesadaran
TB
BB
Tanda vital
: tampak lemah
: apatis
: 150 cm
: 58 kg
: Tekanan darah
: 130/80 mmHg
17
f.
g.
h.
i.
j.
Pemeriksaan mata
Pemeriksaan hidung
Pemeriksaan mulut
Pemeriksaan leher
Pemeriksaan dada
Dinding dada
Pemeriksaan paru
Nadi
: 60 kali / menit
Respirasi
: 24 kali / menit
Suhu
: 37,2o C
: konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (+/+)
: nafas cuping hidung (-), secret (-)
: sianosis (-), mukosa kering (-)
: JVP tidak meningkat. 5+2 cm, pembesaran KGB (-)
: simetris
: Inspeksi : pergerakan dada simetris, spider nevi (+)
Palpasi : taktil fremitus paru kanan-kiri normal
Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : SD vesikuler, Ronkhi (-)
: dalam batas normal
Jantung
k. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi
: cembung distensi (-), venektasi (+), caput medusa (+)
Auskultasi
: bising usus (+) normal
Palpasi
: nyeri tekan (+) umbilicus, hepar/lien sulit diraba,
undulasi (+)
perkusi
: timpani, pekak sisi (+), pekak alih (+)
l. Pemeriksaan ekstremitas
Superior
: akral dingin, CRT < 2 detik, palmar eritema (+)
Inferior
: akral dingin, CRT < 2 detik
Diagnosis Banding
a. Ensefalopati hepatica
b. Sindrom uremik
18
Penatalaksanaan Awal
1. Terapi oksigen dengan menggunakan kanul O2 2-4 L/menit
Terapi oksigen adalah suatu tindakan untuk meningkatkan tekanan
parsial oksigen pada inspirasi, yang dapat dilakukan dengan cara
meningkatkan kadar oksigen inspirasi / FiO2 (Orthobarik), dan meningkatkan
tekanan oksigen (Hiperbarik), tujuan dari terapi oksigen ini adalah untuk
meningkatkan konsentrasi O2 pada darah arteri sehingga masuk ke jaringan
untuk memfasilitasi metabolisme aerob, dan mempertahankan PaO2 > 60
mmHg atau SaO2 > 90 %. Indikasi pemberian terapi oksigen ini adalah pasien
hipoksia, oksigenasi kurang sedangkan paru normal, oksigenasi cukup
sedangkan paru tidak normal, oksigenasi cukup, paru normal, sedangkan
sirkulasi tidak normal, pasien yang membutuhkan pemberian oksigen
konsentrasi tinggi, dan pada pasien dengan tekanan partial karbondioksida
( PaCO2 ) rendah. Tehnik pemberian terapi oksigen ini bisa dengan sistem
aliran rendah seperti, kateter nasal, kanul nasal/kanul binasal/nasal prong,
sungkup muka sederhana, sungkup muka dengan kantong rebreathing, dan
sungkup muka dengan kantong non rebreathing. Bisa juga dengan tekhnik
aliran tinggi seperti, sungkup muka dengan venturi / Masker Venturi (High
flow low concentration), Bag and Mask / resuscitator manual, dan Collar
trakeostomi. Pemberian terapi oksigen dapat mengakibatkan kebakaran, iritasi
saluran pernapasan, keracunan oksigen, kejang bahkan sampai koma.
No
Cara Pemberian
1.
2.
Simple mask
3.
Aliran
Oksigen Konsentrasi
(Liter/menit)
1-2
3-4
5-6
5-6
6-7
7-8
6
7
8
9-10
19
4.
5.
6.
7.
8.
Masker venture
Head box
Ventilator
Mesin anestesi
Inkubator
Aliran tetap
8-10
Bervariasi
Bervariasi
3-8
24-35
40
21-100
21-100
Sampai 40
20
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah lengkap
a. Hemoglobin : 9,4 g/dl
b. Hematokrit : 30 %
c. Leukosit
: 4900 /L
d. Eritrosit
: 4,2 juta/ul
e. Trombosit
: 78000 /ul
f. Hitung jumlah leukosit :
- Basophil : 0 %
- Eosinophil : 0 %
- Stab
:2%
- Segmen : 30 %
- Monosit : 0 %
- Limfosit : 68 %
g. MCV : 85 fl
h. MCH : 27 pg
i. MCHC : 36 %
2. Liver function test
a. SGOT
: 112 UI/L
b. SGPT
: 71 UI/L
c. Bilirubin
: 40 mg%
d. Bilirubin direk
: 20 mg%
e. Bilirubin indirek
: 16 mg%
f. Albumin
: 3 gr/dl
g. Alkali fosfatase
: 4 U/L
3. Pemeriksaan ginjal
a. Ureum
: 46 mg/dl
21
b. Kreatinin
: 0,8 mg/menit
4. Pemeriksaan elektrolit
a. Natrium
: 139 mEq/L
b. Kalium
: 1,7 mEq/L
5. Analisis gas darah
a. pH
: 7,43
b. pO2
: 85 mmHg
c. pCO2
: 36 mmHg
d. SaO2
: 95 %
e. HCO3
: 22 mmol/l
f. Ammonia
: 145 ml
6. Pemeriksaan USG abdomen
a. Hepar : Bentuk dan ukuran mengecil, tepi tajam, permukaan tidak rata,
b.
c.
d.
e.
f.
Diagnosis Kerja
Ensefalopati hepatica e.c ruptur varises esofagus
Penatalaksanaan kausatif
Penurunan kadar amonia merupakan salah satu strategi yang diterapkan dalam
tatalaksana EH Beberapa obat yang digunakan adalah laktulosa, antibiotik, LOrnithine L-Aspartate, probiotik, dan berbagai terapi potensial lainnya (Hasan dan
Araminta, 2014).
1. Non-absorbable Disaccharides (Laktulosa)
Laktulosa merupakan lini pertama dalam penatalaksanaan Ensefalopati
Hepatikum (EH). Sifatnya yang laksatif menyebabkan penurunan sintesis dan
uptake amonia dengan menurunkan pH kolon dan juga mengurangi uptake
glutamin. Selain itu, laktulosa diubah menjadi monosakarida oleh flora normal
yang digunakan sebagai sumber makanan sehingga pertumbuhan flora normal
usus akan menekan bakteri lain yang menghasilkan urease. Proses ini
22
menghasilkan asam laktat dan juga memberikan ion hidrogen pada amonia
sehingga terjadi perubahan molekul dari amonia (NH3) menjadi ion amonium
(NH4+). Adanya ionisasi ini menarik amonia dari darah menuju lumen. Dari
metaanalisis yang dilakukan, terlihat bahwa laktulosa tidak lebih baik dalam
mengurangi amonia dibandingkan dengan penggunaan antibiotik. Akan tetapi,
laktulosa memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mencegah berulangnya
EH dan secara signifikan menunjukkan perbaikan tes psikometri pada pasien
dengan EH minimal. Dosis laktulosa yang diberikan adalah 2 x 15-30 ml sehari
dan dapat diberikan 3 hingga 6 bulan (Hasan dan Araminta, 2014).
2. Antibiotik
Antibiotik yang dapat menurunkan produksi amonia dengan menekan
pertumbuhan bakteri yang bertanggung jawab menghasilkan amonia, sebagai
salah satu faktor presipitasi EH. Selain itu, antibiotik juga memiliki efek antiinflamasi dan downregulation aktivitas glutaminase. Antibiotik yang menjadi
pilihan saat ini adalah rifaximin, berspektrum luas dan diserap secara minimal.
Dosis yang diberikan adalah 2 x 550 mg dengan lama pengobatan 3-6 bulan.
Rifaximin dipilih menggantikan antibiotik yang telah digunakan pada
pengobatan sebelumnya, yaitu neomycin, metronidazole, paromomycin, dan
vancomycin oral karena rifaximin memiliki efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan antibiotik lainnya (Hasan dan Araminta, 2014).
3. L-Ornithine L-Aspartate (LOLA)
LOLA merupakan garam stabil tersusun atas dua asam amino, bekerja
sebagai substrat yang berperan dalam perubahan amonia menjadi urea dan
glutamine. LOLA meningkatkan metabolisme amonia di hati dan otot, sehingga
menurunkan amonia di dalam darah. Selain itu, LOLA juga mengurangi edema
serebri pada pasien dengan EH. LOLA, yang merupakan subtrat perantara pada
siklus urea, menurunkan kadar amonia dengan merangsang ureagenesis. Lornithine dan L-aspartate dapat ditransaminase dengan -ketoglutarate menjadi
glutamat,
melalui
ornithine
aminotransferase
(OAT)
dan
aspartate
23
dengan
phosphate-activated
glutaminase
(PAG),
dan
1. Bahrun Dahler. Sindrom Hemolitik Uremik. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ;
2002 Jakarta, FK UI.
2. Greer, JP, Foerste J, Lukens J. Wintrobe's Clinical Hematology, 11th Ed. 2003.
New York: Lippincott Williams & Wilkins Publishers.
24
3. Hasan, I dan Araminta A.P. 2014. Ensefalopati Hepatik: Apa, Mengapa dan
Bagaimana?. Medicinus 27 (3): 1-8
4. Indonesian Renal Registry (IRR).2013.5 th Report of Indonesian Renal Registry
5. Kasper, Et Al. 16th Edition Harrisons Principles Of Internal Medicine. 2005.
United State Of America. Mcgraw-Hill Companies, Inc.
6. Price, Sylvia. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses penyakit edisi 6.
Jakarta: EGC
7. Rinaldi, Ikhwan dan Sudoyo Aru W. Anemia Hemolitik non Imun. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Ed. V. 2009. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
8. Roesli. 2005. Gangguan Metabolisme dan Dasar Pengelolaan Nutrisi pada
Penyakit Gagal Ginjal Kronik. Bandung : Asosiasi Dietesien Indonesia
9. Sudoyo, Aru. W,dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5. Jakarta :
Internal Publishing