Anda di halaman 1dari 24

1

Kasus 1

Seorang perempuan berusia 42 tahun dibawa keluarganya ke unit gawat


darurat RRS dengan penurunan kesadaran. Sebelumnya pasien mengeluhkan muntah
darah.

metabolic
- ensefalopati
hepatik
- sindrom uremik
- GGK

penurunan
kesadaran dan
muntah darah

Inflamasi
- Pankreatitis

A. Ensefalopati Hepatica
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatri yang dapat
terjadi pada penyakit hati akut dan kronik berat dengan beragam manifestasi,
mulai dari ringan hingga berat, mencakup perubahan perilaku, gangguan
intelektual, serta penurunan kesadaran tanpa adanya kelainan pada otak yang
mendasarinya. Di Indonesia, prevalensi EH minimal (grade 0) tidak diketahui

dengan pasti karena sulitnya penegakan diagnosis, namun diperkirakan terjadi


pada 30%-84% pasien sirosis hepatis (Sudoyo, 2009).
Ensefalopati hepatik menghasilkan suatu spektrum luas manifestasi neurologis
dan psikiatrik nonspesifik. Pada tahap yang paling ringan, EH memperlihatkan
gangguan pada tes psikometrik terkait dengan atensi, memori jangka pendek dan
kemampuan visuospasial. Dengan berjalannya penyakit, pasien EH mulai
memperlihatkan perubahan tingkah laku dan kepribadian, seperti apatis,
iritabilitas dan disinhibisi serta perubahan kesadaran dan fungsi motorik yang
nyata. Selain itu, gangguan pola tidur semakin sering ditemukan. Pasien dapat
memperlihatkan disorientasi waktu dan ruang yang progresif, tingkah laku yang
tidak sesuai dan fase kebingungan akut dengan agitasi atau somnolen, stupor, dan
pada akhirnya jatuh ke dalam koma (Sudoyo, 2009).

Patofisiologi
Beberapa kondisi berpengaruh terhadap timbulnya ensefalopati hepatikum
pada pasien gangguan hati akut maupun kronik, seperti keseimbangan nitrogen
positif dalam tubuh (asupan protein yang tinggi, gangguan ginjal, perdarahan
varises esofagus dan konstipasi), gangguan elektrolit dan asam basa
(hiponatremia, hipokalemia, asidosis dan alkalosis), penggunaan obat-obatan
(sedasi dan narkotika), infeksi (pneumonia, infeksi saluran kemih atau infeksi
lain) dan lain-lain, seperti pembedahan dan alkohol.

Faktor tersering yang

mencetuskan ensefalopati hepatikum pada sirosis hati adalah infeksi, dehidrasi


dan perdarahan gastrointestinal berupa pecahnya varises esofagus (Sudoyo,
2009).
Terjadinya ensefalopati hepatikum didasari pada akumulasi berbagai toksin
dalam peredaran darah yang melewati sawar darah otak. Amonia merupakan

molekul toksik terhadap sel yang diyakini berperan penting dalam terjadinya
ensefalopati hepatikum karena kadarnya meningkat pada pasien sirosis hati.
Beberapa studi lain juga mengemukakan faktor pencetus lain penyebab
ensefalopati hepatikum seperti pada gambar 10.1 berikut (Sudoyo, 2009).

Gambar 1. Patofisiologi Ensefalopati Hepatikum (Sudoyo, 2009).

Gambar 2. Metabolisme amonia (Sudoyo, 2009).

Seperti yang digambarkan pada gambar 10.2

amonia diproduksi oleh

berbagai organ. Amonia merupakan hasil produksi koloni bakteri usus dengan
aktivitas

enzim

urease,

terutama

bakteri

gram

negatif

anaerob,

Enterobacteriaceae, Proteus dan Clostridium. Enzim urease bakteri akan


memecah urea menjadi amonia dan karbondioksida. Amonia juga dihasilkan oleh
usus halus dan usus besar melalui glutaminase usus yang memetabolisme
glutamin (sumber energi usus) menjadi glutamat dan amonia. Pada individu sehat,
amonia juga diproduksi oleh otot dan ginjal. Secara fisiologis, amonia akan
dimetabolisme menjadi urea dan glutamin di hati. Otot dan ginjal juga akan
mendetoksifikasi amonia jika terjadi gagal hati dimana otot rangka memegang
peranan utama dalam metabolisme amonia melalui pemecahan amonia menjadi
glutamin via glutamin sintetase (Sudoyo, 2009).

Ginjal berperan dalam produksi dan eksresi amonia, terutama dipengaruhi


oleh keseimbangan asam-basa tubuh. Ginjal memproduksi amonia melalui enzim
glutaminase yang merubah glutamin menjadi glutamat, bikarbonat dan amonia.
Amonia yang berasal dari ginjal dikeluarkan melalui urin dalam bentuk ion
amonium (NH4+) dan urea ataupun diserap kembali ke dalam tubuh yang
dipengaruhi oleh pH tubuh. Dalam kondisi asidosis, ginjal akan mengeluarkan ion
amonium dan urea melalui urin, sedangkan dalam kondisi alkalosis, penurunan
laju filtrasi glomerulus dan penurunan perfusi perifer ginjal akan menahan ion
amonium dalam tubuh sehingga menyebabkan hiperamonia (Sudoyo, 2009).
Amonia akan masuk ke dalam hati melalui vena porta untuk proses
detoksifiaksi. Metabolisme oleh hati dilakukan di dua tempat, yaitu sel hati
periportal yang memetabolisme amonia menjadi urea melalui siklus KrebsHenseleit dan sel hati yang terletak dekat vena sentral dima- na urea akan
digabungkan kembali menjadi glutamin. Pada keadaan sirosis, penurunan massa
hepatosit fungsional dapat menyebabkan menurunnya detoksifikasi amonia oleh
hati ditambah adanya shunting portosistemik yang membawa darah yang
mengandung amonia masuk ke aliran sistemik tanpa melalui hati. Peningkatan
kadar amonia dalam darah menaikkan risiko toksisitas amonia. Meningkatnya
permebialitas sawar darah otak untuk amonia pada pasien sirosis menyebabkan
toksisitas amonia terhadap astrosit otak yang berfungsi melakukan metabolisme
amonia melalui kerja enzim sintetase glutamin. Disfungsi neurologis yang
ditimbulkan pada EH terjadi akibat edema serebri, dimana glutamin merupakan
molekul osmotik sehingga menyebabkan pembengkakan astrosit. Amonia secara
langsung juga merangsang stres oksidatif dan nitrosatif pada astrosit melalui
peningkatan kalsium intraselular yang menyebabkan disfungsi mitokondria dan
kegagalan produksi energi selular melalui pembukaan pori-pori transisi
mitokondria. Amonia juga menginduksi oksidasi RNA dan aktivasi protein kinase
untuk mitogenesis yang bertanggung jawab pada peningkatan aktivitas sitokin dan

repson inflamasi sehingga meng- ganggu aktivitas pensignalan intraselular


(Sudoyo, 2009).

B. Gagal Ginjal Kronik


Etiologi
Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus tipe
1 dan tipe 2 (44%) dan hipertensi (27%). Diabetes melitus adalah suatu keadaan
dimana terjadi peningkatan kadar glukosa dalam darah sehingga menyebabkan
kerusakan pada organ-organ vital tubuh seperti ginjal dan jantung serta pembuluh
darah, saraf dan mata. Sedangkan hipertensi merupakan keadaan dimana terjadi
peningkatan tekanan darah yang jika tidak terkontrol akan menyebabkan serangan
jantung, stroke, dan penyakit ginjal kronik. Gagal ginjal kronik juga dapat
menyebabkan hipertensi. Kondisi lain yang dapat menyebabkan gangguan pada
ginjal antara lain (Indonesian Renal Registry, 2013):
a. Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis (10%), dapat menyebabkan
inflamasi dan kerusakan pada unit filtrasi ginjal. Merupakan penyakit
ketiga tersering penyebab gagal ginjal kronik
b. Penyakit keturunan seperti penyakit ginjal polikistik (3%) menyebabkan
pembesaran kista di ginjal dan merusak jaringan sekitar, dan asidosis
tubulus.
c. Malformasi yang didapatkan oleh bayi pada saat berada di dalam rahim si
ibu. Contohnya, penyempitan aliran urin normal sehingga terjadi aliran
balik urin ke ginjal. Hal ini menyebabkan infeksi dan kerusakan pada
ginjal.
d. Lupus dan penyakit lain yang memiliki efek pada sistem imun (2%)

e. Penyakit ginjal obstruktif seperti batu saluran kemih, tumor, pembesaran


glandula prostat pada pria danrefluks ureter.
f. Infeksi traktus urinarius berulang kali seperti pielonefritis kronik.
Penggunaan analgesik seperti acetaminophen (Tylenol) dan ibuprofen
(Motrin, Advil) untuk waktu yang lama dapat menyebabkan neuropati
analgesik sehingga berakibat pada kerusakan ginjal.
g. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis dan stenosis arteri
renalis.
h. Penyebab

lainnya

adalah

infeksi

HIV,

penyakit

sickle

cell,

penyalahgunaan heroin, amyloidosis, gout, hiperparatiroidisme dan


kanker.
Faktor Resiko
Faktor resiko gagal ginjal kronik diantara lain : pasien dengan diabetes
melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berusia lebih dari 50 tahun,
individu dengan riwayat diabetes melitus, hipertensi dan penyakit ginjal dalam
keluarga serta kumpulan populasi yang memiliki angka tinggi diabetes atau
hipertensi seperti African Americans, Hispanic Americans, Asian, Pacific
Islanders, dan American Indians (Roesli, 2005).

Gejala Klinis
Pada gagal ginjal kronik, gejala gejalanya berkembang secara perlahan.
Pada awalnya tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal hanya dapat
diketahui dari pemeriksaan laboratorium. Sejalan dengan berkembangnya
penyakit, maka lama kelamaan akan terjadi peningkatan kadar ureum darah
semakin tinggi (uremia). Pada stadium ini, penderita menunjukkan gejala
gejala fisik yang melibatkan kelainan berbagai organ seperti (Roesli, 2005):

a. Kelainan saluran cerna : nafsu makan menurun, mual, muntah dan fetor
uremik
b. Kelainan kulit : urea frost dan gatal di kulit
c. Kelainan neuromuskular : tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya
konsentrasi menurun, insomnia, gelisah
d. Kelainan kardiovaskular : hipertensi, sesak nafas, nyeri dada, edema
e. Gangguan kelamin : libido menurun, nokturia, oligouria
Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan
daya cadang ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah
meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan
fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea
dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60 % pasien masih belum
merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea
dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30 % mulai terjadi keluhan
pada seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan
berat badan. Sampai pada LFG kurang 30 % pasien memperlihatkan gejala
dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah,
gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain
sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih,
infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi
gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolumia, gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah
15 % akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah
memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain
dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai
pada stadium gagal ginjal (Roesli, 2005).

Gambaran Laboratorium

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi (Roesli, 2005):


a) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b) Penurunan fungsi ginjal berupa peningakatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG
c) Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia,
hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis
metabolik
d) Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast,
isostenuria
Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi (Roesli, 2005):
a) Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak
b) Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
c) Pielografi antegrad atau retrograd sesuai indikasi
d) Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista,
massa, kalsifikasi
e) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi
C. Hemolytic uremic syndrome (HUS
Hemolytic uremic syndrome (HUS) adalah sekelompok gangguan heterogen
dengan gejala klinis yang beragam dan berat. Sindrom ini merupakan penyebab
gagal ginjal akut tersering pada anak. Sindrom ini ditandai dengan tiga gejala
klinis yaitu : anemia hemolitik mikroangiopati, trombositopeni dan gagal ginjal
akut. Pada fase akut merupakan penyakit yang serius dan memerlukan
penanganan yang intensif guna mencegah penderita terhindar dari bahaya
kematian atau kerusakan fungsi ginjal. (Sudoyo, 2009).

10

Etiologi
Sindrom ini terjadi secara predominan terjadi pada bayi-bayi yang sehat dan
didahului oleh diare berdarah yang disebabkan oleh berbagai serotipe
Escherichia coli atau Shigella dysenteriae serotype I. (Sudoyo, 2009).
Patofisiologi
Infeksi verotoksin dari E. Coli atau S. dysentriae menghasilkan diare berdarah
1. Penyebaran toksin melalui pembuluh darah dan perlekatan verotoksin ke
endotel sel glomerulus
2. Pembentukan endositosis dan pelepasan fragmen sub unit sentral dari
verotoksin

mengakibatkan

gangguan

sintesis

protein

sehingga

menyebabkan kematian dan kerusakan sel endotel


3. Penempelan fibrin dan mikrotrombus ke sel endotel yang rusak
menghasilkan koagulasi intravaskular lokal dan mikroangiopati
Penyempitan kapiler glomerulus oleh trombus dan fibrin menyebabkan lisis
dan kerusakan sel darah merah yang melewati kapiler. Sehingga menyebabkan
anemia hemolitik mikroangiopati, penurunan laju filtrasi glomerulus dan
insufisiensi renal. (Sudoyo, 2009).

Manifestasi Klinis
Bentuk klasik HUS pada bayi atau anak biasanya didahului oleh masa
prodromal muntah dan diare, dengan atau tanpa darah. Biasanya dapat disertai
nyeri abdomen atau kram hebat sehingga sering didiagnosis sebagai kolitis atau
kegawatan abdomen. Fase prodromal biasanya berlangsung 4 sampai 15 hari
dengan rata rata 7 hari, kemudian muncul trias HUS. (Bahrun, 2002; Greer,
2003).
Ketika gejala HUS muncul, penderita tampak pucat, ikterik, kadang dapat
timbul kejang atau penurunan kesadaran. Namun manifestasi neurologik lbih
sering terjadi pada TTP. Edema, oligouria, hipertensi, kongesti vaskular dapat

11

dijumpai oleh karena beratnya proses penyakit atau kelebihan cairan akibat
kurangnya pengawasan terhadap balans cairan sedang anak biasanya menderita
oligouria. (Bahrun, 2002; Greer, 2003).
Hepar dan limpa dapat teraba membesar. Pada kulit dapat dijumpai petekiae
dan purpura. Perdarahan kulit berupa hematom dan ekimosis sering juga
dijumpai di tempat bekas suntikan. Tekanan darah yang meningkat juga didapat
pada sekitar separuh pasien yang membantu membedakan sindrom ini dari
penyebab gagal ginjal lainnya yang berhubungan dengan diare, seperti dehidrasi
dan renal vein thrombosis. (Bahrun, 2002; Greer, 2003).
Hemolisis dengan fragmentasi sel darah merah ditemukan pada pasien HUS,
pemeriksaan darah tepi perlu dilakukan untuk melihat adanya proses
mikroangiopati. Gambaran darah tepi pada pasien dengan HUS dijumpai
schystocytes, sel helmet dan sel burr. Hemolisis dapat cepat terjadi ditandai oleh
menurunnya kadar hemoglobin dan hematokrit secara drastis. Trombositopenia
dibawah 40.000/mm3 biasanya berlangsung sekitar 7 14 hari disusul dengan
munculnya gejala klinis berupa petekiae, purpura dan hematom di tempat bekas
suntikan. Meningkatnya nilai trombosit menunjukkan pemulihan proses
mikroangiopati. (Bahrun, 2002; Greer, 2003).
Gagal ginjal akut dengan peningkatan serum urea nitrogen dan kreatinin serta
penurunan jumlah urin muncul seiring dengan terjadinya proses hemolisis dan
anemia, derajat insufisiensi ginjal bervariasi secara luas. Penyulit yang
berhubungan dengan gagal ginjal akut adalah gangguan elektrolit, hipertensi,
edema, kongesti vaskular, asidosis metabolik dan hiperurisemia. Gangguan
sistem saraf pusat dapat terjadi berupa iritabilitas, letargi, kejang atau koma.
Keterlibatan SSP disebabkan proses multifaktorial dan berhubungan dengan
mikroangiopati yang terjadi di pembuluh darah otak. Dimana terjadi
pembentukan fibrin dan mikrotrombus yang menyebabkan iskemi serebral.
(Bahrun, 2002; Greer, 2003).
Gejala Klinis HUS
Masa prodromal diare

12

1) Antara 4 15 hari
2) Dengan atau tanpa darah
3) Dapat disertai nyeri perut
Anemia
1) Muncul setelah fase prodromal diare mulai hilang
2) Berhubungan dengan penurunan hematokrit dan trombosit
Insufisiensi renal
1) Oligouria dapat muncul selama 4 12 hari
2) Sering terjadi edema, hipertensi dan edema pulmo bila balans cairan tidak
dilakukan
Pemulihan
1) Peningkatan angka trombosit
2) Peningkatan urin output
3) Peningkatan hematokrit
Temuan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan kadar hemoglobin menurun berkisar
antara 3 -10 gram% dan terdapat gambaran anemia hemolitik mikroangiopati
(Coombs test negatif), Gambaran apusan darah tepi menunjukkan bentuk
abnormal dari sel eritrosit berupa schystocytes, fragmentosit, sel topi, tear drops,
burr cell (Gambar 1). Jumlah leukosit dapat meningkat sampai 20.000/ mm3.
Jumlah retikulosit dapat normal atau meningkat, jumlah trombosit menurun
berkisar antara 20.000 100.000/ mm3. Pada beberapa pasien nilai PT / PTT
biasanya normal dan terdapat peningkatan FDP. (Kasper, 2005).

13

Gambar 3. Gambaran darah tepi terdapat: schystocytes / sel helmet dan


trombositopeni (Sudoyo, 2009)
Kadar elektrolit bervariasi, biasanya kadar kalium rendah oleh karena adanya
kehilangan melalui gastrointestinal yang mengikuti prodromal diare. Tetapi bisa
juga meningkat oleh karena adanya penurunan laju filtrasi glomerulus dan gejala
gagal ginjal akut. Kadar natrium, kalsium, bikarbonat dan albumin serum dapat
rendah. Kadar trigliserida, kolesterol dan fosfolipid dapat meningkat, tetapi
patogenesisnya belum diketahui. Kelainan kimia darah yang sering dijumpai
adalah peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum. Peningkatan kedua kadar
ini dapat dimungkinkan oleh adanya gagal ginjal akut intrinsik atau hipovolemi
yang mengikuti prodromal diare. (Kasper, 2005).
Pada pemeriksaan urin dijumpai oligouria, hematuria dan proteinuria ringan
sampai sedang. Secara mikroskopis urin dijumpai adanya dismorfik sel darah
merah dan adanya cast (seluler, granular, hyaline). (Kasper, 2005).
Kultur feses perlu dilakukan pada setiap penderita dengan diare berdarah
untuk mencari penyebabnya. Biasanya kultur untuk E.coli ditumbuhkan dalam
media agar Mac Conkey Sorbitol. (Kasper, 2005).
Pemeriksaan Laboratorium HUS
Hematologi
1) Trombositopenia
2) Anemia hemolitik (coombs test negatif)
3) Leukosit (PMN) meningkat
4) Retikulosit normal atau meningkat
5) PT/PPT dapat memanjang
6) FDP (fibrinogen degradation product) biasanya menurun
7) Faktor V, VIII, dan fibrinogen plasma dapat normal atau meningkat
8) Plasminogen-activator inhibitor (PAI) dapat meningkat
9) Fibronectin plasma dapat menurun atau meningkat
10) Antithrombin III menurun

14

Kimia darah
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Peningkatan BUN
Peningkatan creatinin
Hipokalemi, Hiponatremi, Hiperurisemia
Penurunan serum protein
Peningkatan fungsi hati
Peningkatan asam urat

Urine
1)
2)
3)
4)
5)

Proteinuria
Hemoglobinuria dan hemosiderinuria
Leukosit esterase positif
Bilirubin positif
Dijumpai cast atau granul (Kasper, 2005).

D. Pankreatitis
Patofisiologi
Timbulnya pankreatitis akut disebabkan oleh auto digesti enzim pankreas.
Duktus pankreatikus dan duktus koledukus bermuara ke tempat yang sama yaitu
ampula vateri, menyumbat aliran getah empedu dari duktus koledukus ke dalam
duktus pankreatikus, dan dengan demikian akan mengaktifkan tripsinogen
menjadi tripsin. Tripsin memegang peranan penting timbulnya pankreatitis akut.
Dengan terjadinya refleks enzim terutama tripsin, ke dalam duktus pankreatikus,
maka akan terjadi edema pada pankreas. Tripsin tidak merusak jaringan, tetapi
mengaktivasi dua macam enzim lain yaitu fosfolipase A dan B, yang pada waktu
sekresi empedu akan mengubah lesitin menjadi lisolesitin. Lisolesitin akan
merusak lapisan membran fosfolipid. Tripsin juga mengaktivasi elestase. Elestase
menyebabkan gangguan vaskularisasi yang hebat sehingga timbul perdarahan
hebat pada pankreas. Tripsin terdapat di dalam duodenum dalam bentuk tidak
aktif yaitu tripsinogen dan baru aktif setelah kontak dengan enterokinase (Price,
2006).
Komplikasi

15

Komplikasi pankreatitis akut dapat timbul pada saat serangan pertama kali atau
selama sakit. Adapun komplikasi yang sering terjadi ialah (Price, 2006):
1. Shock (renjatan)
Renjatan merupakan
menyebabkan

komplikasi

bertambahnya

yang

eksudasi

tersering.
pankreas

Pankreatitis
ke

dalam

akut
ruang

retroperitoneal dan intraperitoneal yang dapat mempengaruhi volume


intravaskuler sehingga timbul hipotensi dan renjatan.
2. Perdarahan gastrointestinal
Perdarahan dapat timbul sebagai akibat terlalu seringnya muntah-muntah
sehingga timbul sindrom Mallory Weiss. Dapat juga terjadi perdarahan difus
di duodenum sebagai akibat rangsangan edema kaput pankreas yang sedang
dalam keadaan inflamasi.
3. Hepatitis
Hepatitis juga dapat timbul pada pankreatitis akut, sebagai akibat proses
kolestasis ekstrahepatik.
4. Obstruksi saluran empedu
Sebagai akibat pankreatitis akut, terjadi edema pada pankreas. Bila edema di
kaput pankreas demikian hebat, maka dapat menyebabkan obstruksi di
saluran empedu. Selain itu obstruksi ini juga dapat timbul karena adanya
batu di duktus koledukus sendiri.
5. Komplikasi di paru
Komplikasi di paru dapat timbul pada waktu serangan pertama pankreatitis
akut, yaitu timbul efusi pleura sebagai akibat ekstravasasi cairan pankreas ke
dalam pleura.
6. Komplikasi pada jantung
Komplikasi pada jantung dapat berupa iskemia, miokarditis, infark miokard.
7. Komplikasi pada kolon
Sebagai akibat eksudasi pankreas, menyebabkan spasme pada kolon
transversum. Pada keadaan penyakitnya bertambah berat, dapat terjadi
stenosis di kolon transversum terutama di dekat fleksura hepatis.
8. Komplikasi pada intestin
Eksudasi pankreas dapat juga mempengaruhi intestin, dan menyebabkan
timbulnya tanda-tanda ileus. Eksudasi pankreas dapat juga melalui
mesentrium dan kemungkinan menyebabkan obstruksi pada duodenum,
sehingga timbul sindrom arteria mesentrika superior.

16

Analisis Masalah
Penurunan kesadaran sejak 1 jam yang lalu, 1 hari yang lalu pasien sering
berbicara kurang jelas seperti berhalusinasi dan hilang ingatan sejak 2 hari yang lalu,
pasien mengalami buang air besar berwarna hitam seperti aspal. Pasien juga
mengeluhkan nyeri perut, mual dan nafsu makan menurun. 1 hari yang lalu pasien
mengalami muntah darah berwarna kecoklatan sebanyak 3 kali sehari dengan volume
seperempat gelas belimbing. 1 minggu yang lalu pasien mengeluhkan perutnya
tampak semakin membesar. Pembesaran perut tanpa diawali bengkak pada tungkai
dan sembab kedua mata pada pagi hari. Buang air kecil pasien seperti the. Pasien
tidak mengeluhkan demam, nyeri kepala dan kelemahan anggota gerak.
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat keluhan yang sama : disangkal
Riwayat kencing manis

: diakui sejak 5 tahun yang lalu dan tidak terkontrol

Riwayat penyakit ginjal

: disangkal

Riwayat penyakit hati

: disangkal

Riwayat tranfusi darah

: diakui (saat mengalami kecelakaan kurang lebih 1

tahun yang lalu


Riwayat penyakit keluarga

: ayah pasien memiliki penyakit hati kronis

Riwayat pribadi

: pasien sering mengkonsumsi jamu dan obat

penghilang nyeri sendi sejak kurang lebih 5 tahun yang lalu.

Pemeriksaan fisik
a.
b.
c.
d.
e.

Keadaan umum
Kesadaran
TB
BB
Tanda vital

: tampak lemah
: apatis
: 150 cm
: 58 kg
: Tekanan darah

: 130/80 mmHg

17

f.
g.
h.
i.
j.

Pemeriksaan mata
Pemeriksaan hidung
Pemeriksaan mulut
Pemeriksaan leher
Pemeriksaan dada
Dinding dada
Pemeriksaan paru

Nadi
: 60 kali / menit
Respirasi
: 24 kali / menit
Suhu
: 37,2o C
: konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (+/+)
: nafas cuping hidung (-), secret (-)
: sianosis (-), mukosa kering (-)
: JVP tidak meningkat. 5+2 cm, pembesaran KGB (-)
: simetris
: Inspeksi : pergerakan dada simetris, spider nevi (+)
Palpasi : taktil fremitus paru kanan-kiri normal
Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : SD vesikuler, Ronkhi (-)
: dalam batas normal

Jantung
k. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi
: cembung distensi (-), venektasi (+), caput medusa (+)
Auskultasi
: bising usus (+) normal
Palpasi
: nyeri tekan (+) umbilicus, hepar/lien sulit diraba,
undulasi (+)
perkusi
: timpani, pekak sisi (+), pekak alih (+)
l. Pemeriksaan ekstremitas
Superior
: akral dingin, CRT < 2 detik, palmar eritema (+)
Inferior
: akral dingin, CRT < 2 detik

Diagnosis Banding
a. Ensefalopati hepatica
b. Sindrom uremik

18

Penatalaksanaan Awal
1. Terapi oksigen dengan menggunakan kanul O2 2-4 L/menit
Terapi oksigen adalah suatu tindakan untuk meningkatkan tekanan
parsial oksigen pada inspirasi, yang dapat dilakukan dengan cara
meningkatkan kadar oksigen inspirasi / FiO2 (Orthobarik), dan meningkatkan
tekanan oksigen (Hiperbarik), tujuan dari terapi oksigen ini adalah untuk
meningkatkan konsentrasi O2 pada darah arteri sehingga masuk ke jaringan
untuk memfasilitasi metabolisme aerob, dan mempertahankan PaO2 > 60
mmHg atau SaO2 > 90 %. Indikasi pemberian terapi oksigen ini adalah pasien
hipoksia, oksigenasi kurang sedangkan paru normal, oksigenasi cukup
sedangkan paru tidak normal, oksigenasi cukup, paru normal, sedangkan
sirkulasi tidak normal, pasien yang membutuhkan pemberian oksigen
konsentrasi tinggi, dan pada pasien dengan tekanan partial karbondioksida
( PaCO2 ) rendah. Tehnik pemberian terapi oksigen ini bisa dengan sistem
aliran rendah seperti, kateter nasal, kanul nasal/kanul binasal/nasal prong,
sungkup muka sederhana, sungkup muka dengan kantong rebreathing, dan
sungkup muka dengan kantong non rebreathing. Bisa juga dengan tekhnik
aliran tinggi seperti, sungkup muka dengan venturi / Masker Venturi (High
flow low concentration), Bag and Mask / resuscitator manual, dan Collar
trakeostomi. Pemberian terapi oksigen dapat mengakibatkan kebakaran, iritasi
saluran pernapasan, keracunan oksigen, kejang bahkan sampai koma.
No

Cara Pemberian

1.

Nasal kateter/Nasal kanul

2.

Simple mask

3.

Masker dengan kantung simpan

Aliran

Oksigen Konsentrasi

(Liter/menit)
1-2
3-4
5-6
5-6
6-7
7-8
6
7
8
9-10

Oksigen (FiO2) (%)


24-28
30-35
38-44
40
50
60
60
70
80
90-99

19

4.
5.
6.
7.
8.

Masker venture
Head box
Ventilator
Mesin anestesi
Inkubator

Aliran tetap
8-10
Bervariasi
Bervariasi
3-8

24-35
40
21-100
21-100
Sampai 40

2. IVFD Nacl 0,9% 50 cc/kgBB/24 jam


Nacl 0,9 % merupakan cairan isotonik digunakan karena cairan infus
yang osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair
dari komponen darah) sehingga terus berada didalam pembuluh darah.
Bermanfaat untuk resusitasi cairan, untuk pasien yang mengalami syok
hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus
menurun). Memiliki resiko terjadinya overload, khususnya pada penyakit
gagal jantung kongestif dan hipertensi. Contoh dari cairan isotonik adalah
Ringer-Laktat (RL), dan normal saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).
a. Kebutuhan cairan
i.
Dewasa
: 50 cc/kgBB/24 jam
ii. Anak 10 kg I
: 100 cc/kgBB/24 jam
iii.
Anak 10 kg II
: 50 cc/kgBB/24 jam
iv. Anak >10 kg
: 20 cc/kgBB/24 jam
b. Tetes/menit
Kebutuhan cairan x faktor tetes
= Jumlah tetes per menit
Jumlah jam x 60 menit
Faktor tetes Otsuka: 1 cc = 15 tetes
Faktor tetes Terumo: 1 cc = 20 tetes
Jika pada kasus wanita tersebut memiliki berat badan 58 kg, maka:
Kebutuhan cairan = 50 cc x 58 kg = 2900 cc/jam
TPM = 2900 x 20
24x 60
TPM = 40 (Terumo)
TPM = 30 (Otsuka)
3. Pemasangan NGT
Pemasangan NGT bertujuan untuk memudahkan pemberian nutrisi
secara enteral karena pada kasus terjadi penurunan kesadaran yang merupakan
salah satu indikasi pemasangan NGT sehingga kebutuhan energi dapat
tercukupi sekaligus memudahkan dalam pemberian obat.
4. Pemasangan kateter urin

20

Pemasangan kateter urin bertujuan untuk memantau pengeluaran urin


dan untuk melihat keseimbangan antara air yang masuk ke dalam dan air yang
keluar dari tubuh. Pada penyakit hati kronik seperti sirosis hati terjadi retensi
natrium sekunder (kompensasi) hal ini dilakukan oleh tubuh untuk memenuhi
volume sirkulasi efektif menjadi normal kembali untuk optimalisasi perfudi
jaringan, sehingga perlu dilakukan pemantauan pengeluaran urin agar tidak
terjadi retensi cairan tubuh.

Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah lengkap
a. Hemoglobin : 9,4 g/dl
b. Hematokrit : 30 %
c. Leukosit
: 4900 /L
d. Eritrosit
: 4,2 juta/ul
e. Trombosit
: 78000 /ul
f. Hitung jumlah leukosit :
- Basophil : 0 %
- Eosinophil : 0 %
- Stab
:2%
- Segmen : 30 %
- Monosit : 0 %
- Limfosit : 68 %
g. MCV : 85 fl
h. MCH : 27 pg
i. MCHC : 36 %
2. Liver function test
a. SGOT
: 112 UI/L
b. SGPT
: 71 UI/L
c. Bilirubin
: 40 mg%
d. Bilirubin direk
: 20 mg%
e. Bilirubin indirek
: 16 mg%
f. Albumin
: 3 gr/dl
g. Alkali fosfatase
: 4 U/L
3. Pemeriksaan ginjal
a. Ureum
: 46 mg/dl

21

b. Kreatinin
: 0,8 mg/menit
4. Pemeriksaan elektrolit
a. Natrium
: 139 mEq/L
b. Kalium
: 1,7 mEq/L
5. Analisis gas darah
a. pH
: 7,43
b. pO2
: 85 mmHg
c. pCO2
: 36 mmHg
d. SaO2
: 95 %
e. HCO3
: 22 mmol/l
f. Ammonia
: 145 ml
6. Pemeriksaan USG abdomen
a. Hepar : Bentuk dan ukuran mengecil, tepi tajam, permukaan tidak rata,
b.
c.
d.
e.
f.

parenkim kasar homogeny


Gall blader : Bentuk dan ukuran normal, isi kosong, dinding tebal
Asites : (+)
Lien : Bentuk membesar, parenkim halus homogeny
Ginjal : Bentuk dan ukuran normal, korteks dan medulla jelas
Kesan : Sirosis hepatis

Diagnosis Kerja
Ensefalopati hepatica e.c ruptur varises esofagus
Penatalaksanaan kausatif
Penurunan kadar amonia merupakan salah satu strategi yang diterapkan dalam
tatalaksana EH Beberapa obat yang digunakan adalah laktulosa, antibiotik, LOrnithine L-Aspartate, probiotik, dan berbagai terapi potensial lainnya (Hasan dan
Araminta, 2014).
1. Non-absorbable Disaccharides (Laktulosa)
Laktulosa merupakan lini pertama dalam penatalaksanaan Ensefalopati
Hepatikum (EH). Sifatnya yang laksatif menyebabkan penurunan sintesis dan
uptake amonia dengan menurunkan pH kolon dan juga mengurangi uptake
glutamin. Selain itu, laktulosa diubah menjadi monosakarida oleh flora normal
yang digunakan sebagai sumber makanan sehingga pertumbuhan flora normal
usus akan menekan bakteri lain yang menghasilkan urease. Proses ini

22

menghasilkan asam laktat dan juga memberikan ion hidrogen pada amonia
sehingga terjadi perubahan molekul dari amonia (NH3) menjadi ion amonium
(NH4+). Adanya ionisasi ini menarik amonia dari darah menuju lumen. Dari
metaanalisis yang dilakukan, terlihat bahwa laktulosa tidak lebih baik dalam
mengurangi amonia dibandingkan dengan penggunaan antibiotik. Akan tetapi,
laktulosa memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mencegah berulangnya
EH dan secara signifikan menunjukkan perbaikan tes psikometri pada pasien
dengan EH minimal. Dosis laktulosa yang diberikan adalah 2 x 15-30 ml sehari
dan dapat diberikan 3 hingga 6 bulan (Hasan dan Araminta, 2014).
2. Antibiotik
Antibiotik yang dapat menurunkan produksi amonia dengan menekan
pertumbuhan bakteri yang bertanggung jawab menghasilkan amonia, sebagai
salah satu faktor presipitasi EH. Selain itu, antibiotik juga memiliki efek antiinflamasi dan downregulation aktivitas glutaminase. Antibiotik yang menjadi
pilihan saat ini adalah rifaximin, berspektrum luas dan diserap secara minimal.
Dosis yang diberikan adalah 2 x 550 mg dengan lama pengobatan 3-6 bulan.
Rifaximin dipilih menggantikan antibiotik yang telah digunakan pada
pengobatan sebelumnya, yaitu neomycin, metronidazole, paromomycin, dan
vancomycin oral karena rifaximin memiliki efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan antibiotik lainnya (Hasan dan Araminta, 2014).
3. L-Ornithine L-Aspartate (LOLA)
LOLA merupakan garam stabil tersusun atas dua asam amino, bekerja
sebagai substrat yang berperan dalam perubahan amonia menjadi urea dan
glutamine. LOLA meningkatkan metabolisme amonia di hati dan otot, sehingga
menurunkan amonia di dalam darah. Selain itu, LOLA juga mengurangi edema
serebri pada pasien dengan EH. LOLA, yang merupakan subtrat perantara pada
siklus urea, menurunkan kadar amonia dengan merangsang ureagenesis. Lornithine dan L-aspartate dapat ditransaminase dengan -ketoglutarate menjadi
glutamat,

melalui

ornithine

aminotransferase

(OAT)

dan

aspartate

aminotransferase (AAT), berurutan. Molekul glutamat yang dihasilkan dapat


digunakan untuk menstimulasi glutamine synthetase, sehingga membentuk

23

glutamin dan mengeluarkan amonia. Meskipun demikian, glutamin dapat


dimetabolisme

dengan

phosphate-activated

glutaminase

(PAG),

dan

menghasilkan amonia kembali. Pemberian LOLA selama 7 hari pada pasien


sirosis dengan EH menurunkan amonia dan memperbaiki status mental. Akan
tetapi, penurunan amonia pada pasien EH yang mendapatkan LOLA
diperkirakan hanya sementara. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan LOLA 20 g/hari secara intravena dapat memperbaiki kadar amonia
dan EH yang ada (Hasan dan Araminta, 2014).
4. Probiotik
Probiotik didefinisikan sebagai suplementasi diet mikrobiologis hidup
yang bermanfaat untuk nutrisi pejamu. Amonia dan substansi neurotoksik telah
lama dipikirkan berperan penting dalam timbulnya EH. Amonia juga dihasilkan
oleh flora dalam usus sehingga manipulasi flora usus menjadi salah satu strategi
terapi EH. Mekanisme kerja probiotik dalam terapi EH dipercaya terkait dengan
menekan substansi untuk bakteri patogenik usus dan meningkatkan produk
akhir fermentasi yang berguna untuk bakteri baik. Liu, et al., melakukan studi
terhadap feses pasien EH minimal dan menemukan pemberian suplementasi
sinbiotik (serat dan probiotik) berhubungan dengan menurunnya jumlah bakteri
patogenik Escherichia coli, Fusobacterium, dan Staphylococcus dengan
peningkatan pada Lactobacillus penghasil nonurease. Penelitian metaanalisis
dari 9 laporan penelitian menunjukkan prebiotik, probiotik dan sinbiotik
mempunyai manfaat pada pasien EH. Meskipun demikian, penelitian lebih
lanjut masih dibutuhkan dalam penggunaan probiotik (Hasan dan Araminta,
2014).
DAFTAR PUSTAKA

1. Bahrun Dahler. Sindrom Hemolitik Uremik. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ;
2002 Jakarta, FK UI.
2. Greer, JP, Foerste J, Lukens J. Wintrobe's Clinical Hematology, 11th Ed. 2003.
New York: Lippincott Williams & Wilkins Publishers.

24

3. Hasan, I dan Araminta A.P. 2014. Ensefalopati Hepatik: Apa, Mengapa dan
Bagaimana?. Medicinus 27 (3): 1-8
4. Indonesian Renal Registry (IRR).2013.5 th Report of Indonesian Renal Registry
5. Kasper, Et Al. 16th Edition Harrisons Principles Of Internal Medicine. 2005.
United State Of America. Mcgraw-Hill Companies, Inc.
6. Price, Sylvia. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses penyakit edisi 6.
Jakarta: EGC
7. Rinaldi, Ikhwan dan Sudoyo Aru W. Anemia Hemolitik non Imun. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Ed. V. 2009. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
8. Roesli. 2005. Gangguan Metabolisme dan Dasar Pengelolaan Nutrisi pada
Penyakit Gagal Ginjal Kronik. Bandung : Asosiasi Dietesien Indonesia
9. Sudoyo, Aru. W,dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5. Jakarta :
Internal Publishing

Anda mungkin juga menyukai