Anda di halaman 1dari 12

Intususepsi Usus: Etiologi, Diagnosis dan Terapi

Abstrak

Intususepsi didefinisikan sebagai invaginasi satu segmen usus ke dalam segmen usus
tepat di sebelahnya. Intususepsi ileocolic idiopatik adalah tipe paling sering pada anak
dan biasanya penanganannya dengan reduksi non operatif melalui enema hidrostatik
dan/atau pneumatik. Pada populasi dewasa, intususepsi jarang ditemui dan terjadi lebih
sering di usus halus daripada colon. Intususepsi berhubungan dengan lead point
pathology pada sebagian besar kasus simtomatis berupa obstruksi usus. Ketika ada lead
point pathology pada intususepsi usus halus orang dewasa, biasanya sifatnya jinak,
meski kadang ganas yang sering diakibatkan oleh penyakit metastasis difus, misalnya,
melanoma. Sebaliknya, lead point pathology intususepsi ileocolic dan colonic dewasa
paling sering berupa adenokarsinoma primer jika maligna. Penegakan diagnosis
biasanya dilakukan secara intraoperatif atau melalui pencitraan potong-lintang. Seiring
meningkatnya CT/MRI abdomen dewasa pada era saat ini, intususepsi transien dan/atau
asimtomatis makin banyak ditemukan dan sering bisa diobservasi saja tanpa intervensi.
Ketika dilakukan intervensi pada populasi dewasa, biasanya reseksi usus onkologis
dilakukan akibat kaitannya dengan lead point pathology.

Intususepsi didefinisikan sebagai invaginasi satu segmen usus ke dalam segmen tepat di
sebelahnya. Intussusceptum merujuk pada segmen proksimal yang masuk ke segmen
distal, atau intussuscipiens (segmen resipien). Intususepsi biasanya lebih sering
melibatkan usus halus dan jarang melibatkan usus besar serta memiliki riwayat berupa
obstruksi usus halus, meski makin banyak kasus intususepsi transien, asimtomatis di era
CT scan abdomen seperti saat ini. Riwayat alami intususepsi diawali dengan lead point,
biasanya neoplastik (seperti limfadenopati, polip atau kanker) yang bekerja sebagai area
traksi fokal yang menarik usus proksimal ke dalam usus distal. Gejala terjadi akibat
kontraksi peristaltik kontinyu dari segmen intususepsi terhadap obstruksi. Dengan
berlanjutnya invaginasi yang menimbulkan edema, akhirnya aliran darah ke usus
menjadi terganggu, menimbulkan iskemia ke segmen yang terkena dan jika dibiarkan
bisa menimbulkan nekrosis dan perforasi.
Pada populasi pediatri, intususepsi ileocolic adalah tipe tersering. Etiologi
intususepsi pada anak biasanya idiopatik, sering dipengaruhi oleh faktor-faktor anatomi
atau infeksius (Tabel 1). Diagnosis dan manajemen populasi ini baisanya diawali
dengan reduksi intussusceptum nonoperatif menggunakan enema udara atau kontras.

Pada populasi dewasa, intususepsi sering akibat dari sebuah lead point
pathology, yang bisa bersifat intraluminal, mural, atau ekstramural. Berbeda dengan
populasi pediatri, terapi intususepsi yang menyebabkan obstruksi pada orang dewasa
biasanya melibatkan pembedahan, seringnya dengan reseksi usus.

Etiologi

Intususepsi diakibatkan dari perubahan peristalsis normal oleh lesi di dinding usus yang
menimbulkan invaginasi. Bisa terjadi dimanapun baik di usus besar maupun halus.
Nomenklatur intususepsi menyerminkan lokasi intussusceptum dan intussuscipiens
dalam usus: enteroenterik, apendikal, apendikal-ileokolik, colocolic, rektoanal dan
intususepsi stoma. Untuk tujuan artikel ini, intususepsi rektoanal dan stoma tidak akan
dibahas karena mereka lebih khas sebagai sebuah prolaps (ekstrakorporeal). Struktur
gastrointestinal atas, khususnya esofagus, lambung, dan duodenum, jarang terlibat
dalam intususepsi karena kurang mobilitas, redundansi dan fiksasi anatomis yang khas.
Terlebih lagi, lokasi tersering adalah tautan antara segmen yang bergerak bebas dan area
yang terfiksasi, seperti retroperitoneum (misal, ileum yang mobile dan berada di
peritoneum masuk ke dalam cecum yang terfiksasi dan retroperitoneal) atau melalui
adesi.

Etiologi pediatri

Intususepsi paling sering ditmeukan pada anak dan dilaporkan sebagai emergensi
abdomen tersering pada anak dan penyebab tersering kedua dari obstruksi usus setelah
stenosis pylorus. Usia rata-rata intususepsi pada anak adalah 6 sampai 18 tahun,
didominasi oleh laki-laki. Insidensi intususepsi menurun dengan usia – hanya 30% dari
semua kasus terjadi pada anak di atas 2 tahun. intususepsi ileocolic adalah tipe
intususepsi tersering pada anak.

Etiologi intususepsi pediatri biasanya idiopatik, dengan hanya 10% kasus


memilii lesi yang bisa diidentifikasi. Beberapa faktor predisposisi diduga berkontribusi
terhadap patofisiologi intususepsi pediatri (Tabel 1).

Fitur anatomi tertentu pada saluran gastrointestinal bisa mempredisposisi usus


anak terhadap intususepsi, termasuk insersi anterior ileum terminal dengan cecum,
menurunkan rigiditas cecum akibat tidak ada atau sedikit taeniae coli, dan kurangnya
partisipasi matur dari serabut otot longitudinal colon di tingkat katup ileocecal. Variasi
ini diidentifikasi oleh Scheye et al dalam sebuah evaluasi postmortem 15 spesimen
otopsi, dengan 3 spesimen digunakan untuk evaluasi detail dari anatomi katup ileocecal.
Oleh karena itu, timbulnya intususepsi bisa diakibatkan dari invaginasi katut ileocecal
muskuler ke dalam cecum akibat penurunan rigiditas dinding cecum yang disebabkan
oleh pausitas perkembangan taenia coli.

Etiologi infeksius yang menimbulkan limfadenopati mesenterik merupakan


kausa intususepsi pediatri yang cukup sering. Hipertrofi plak Peyer pada kasus penyakit
virus seperti adenovirus dan rotavirus bisa berujung pada intususepsi. Buettcher et al.
menemukan variasi intususepsi musiman yang berhubungan dengan variasi
gastroenteritis viral musiman. Sekitar 30% pasien telah mengalami penyakit virus
sebelum onset intususepsi.

Intususepsi juga bisa disebabkan oleh etiologi noninfeksius, seperti alergi usus,
Celiac disease, dan penyakit Crohn. Serupa dengan penyakit infeksius, hipertrofi plak
Peyer dan/atau limfadenopati mesenterika bisa bekerja sebagai lead point. Tidak seperti
populasi dewasa, neoplasia merupakan etiologi langka intususepsi pada anak; tapi jika
ada etiologi neoplastik, limfoma merupakan yang paling sering pada populasi pediatri,
sementara adenokarsinoma pada dewasa.

Selain itu, perubahan peristalsis pada area fokal dinding usus yang berujung
pada segmen aperistaltik yang masuk ke area peristaltik, seperti pada perdarahan
submukosa pada HSP, akan memungkinkan terjadinya intususepsi. Gangguan usus
fungsional, dan gangguan neuroenterik yang belum begitu dipahami seperti
pseudoobstruksi usus halus. Bisa mengubah peristalsis dan menimbulkan intususepsi
dengan cara serupa. Segmen aperistaltik bisa dikonseptualisasi sebagai lead point.

Meski mayoritas kasus pediatri tidak memiliki etiologi yang bisa diidentifikasi,
pada sekitar 10% akan ditemukan lead point atau kausa yang mendasari. Abnormalitas
saluran gastrointestinal kongenital seperti divertikulum Meckel, duplikasi usus, atau
adanya lesi seperti polip, hamartoma atau malignansi (limfoma, karsinoma akibat
juvenile polyposis syndrome) semuanya bisa menimbulkan intususepsi. Pada pasien
pediatri dengan fibrostik kistik, benda asing, dan parasit usus bisa berujung pada lead
points di ileum yang menyebabkan intususepsi ileocolic. Seiring bertambahnya usia,
kecenderungan teridentifikasinya kausa intususepsi akan meningkat.

Malrotasi merupakan etiologi intususepsi lainnya pada kondisi yang dinamakan


sindroma Waugh. Patofisiologinya melibatkan prolaps regio ileocolic ke dalam colon
asendens yang tak terfiksasi di midabdomen pada anak dengan malrotasi. Karena colon
asendens tidak terfiksasi ke retroperitoneum, intussusceptum sering berlanjut ke dalam
colon desendens dan rectum tanpa mengganggu vaskularisasi usus. Di waktu operasi
pada malrotasi dan intususepsi, diagnosis biasanya dibuat dan dikonfirmasi melalui
lokasi cecum dan keberadaan patognomonik peritoneal bands dari colon asendens di
sepanjang duodenum. Karena reduksi nonoperatif adalah praktik umum untuk
intususepsi pediatri, klinisi praktisi harus waspada akan kemungkinan sindroma Waugh.

Etiologi Dewasa

Intususepsi dewasa sangat langka, 1 hingga 5% dari semua kasus obstruksi usus. Kausa
intususepsi usus dewasa nonidiopatik ditampilkan pada Tabel 2. Rata-rata usia
intususepsi pada dewasa adalah 50 tahun tanpa predominansi jenis kelamin. Berbeda
dengan etiologi pediatri, intususepsi dewasa berhubungan dengan kausa yang dapat
diidentifikasi pada 90% kasus simtomatis dengan kausa idiopatik hanya pada 10%
kasus.

Neoplasma jinak atau ganas menyebabkan dua pertiga kasus dengan lead point;
kasus sisanya disebabkan oleh infeksi, adesi paska operasi, granuloma Crohn, ulkus
intestinal (Yersinia), dan kelainan kongenital seperti divertikulum Meckel. Dari kasus-
kasus yang disebabkan oleh neoplasma, 50% diantaranya bersifat ganas. Prediktor
malignansi independen meliputi intususepsi colon dan anemia (hemoglobin <12
mg/dL).

Sebagian besar intususepsi dewasa berasal dari usus halus, dan sebagian besar
lesi bersifat jinak dengan tingkat 50-75% pada sebagian besar seri. Lesi tersering adalah
divertikulum Meckel dan adesi. Tumor jinak meliputi hiperplasia limfoid, lipoma,
leiomyoma, hemangioma dan polip. Kondisi lain yang mempredisposisi terhadap
intususepsi usus halus meliputi anoreksia, nervosa dan sindroma malabsorbsi, karena
peningkatan flasiditas dinding usus akan memfasilitasi invaginasi. Terapi antikoagulasi
supraterapetik bisa menyebabkan perdarahan mukosa yang bisa berujung pada
intususepsi.

Meski jarang, tumor maligna bisa bekerja sebagai lead point dengan penyakit
metastasis (misal karsinomatosis) yang paling sering. Pada beberapa laporan, sekitar
50% lesi maligna yang menyebabkan intususepsi usus halus adalah melanoma
metastatik (milier). Kausa intralumen maligna pada intususepsi usus halus meliputi
leiomyosarcoma primer, adenokarsinoma, tumor GIST, tumor karsinoid, tumor
neuroendokrin dan limfoma.

Intususepsi dewasa lebih jarang terjadi di colon daripada usus halus dan
mencakup sekitar 20-25% dari semua intususepsi pada sebagian besar laporan kasus.
Kausa maligna tersering pada intususepsi colon adalah adenokarsinoma colon primer
dan kausa benigna tersering adalah lipoma colon. Berbeda dengan usus halus, beberapa
laporan mengindikaiskan bahwa intususepsi colon memiliki lead point maligna akibat
peningkatan prevalensi malignansi di colon dibandingkan dengan usus halus. Namun,
penelitian lain bertentangan dengan hal ini dan menyebukan jumlah lesi jinak dan ganas
yang menyebabkan intususepsi colon ternyata serupa dengan intususepsi usus halus.
Intususepsi ileocolic pada dewasa merupakan varian unik di mana hampir 100% kasus
memiliki lead point maligna, yakni, cecal adenocarcinoma yang melibatkan ileocecal
valve.
Etiologi intususepsi dewasa yang disebutkan sebelumnya lebih banyak
ditemukan di negara maju di Barat. Di Afrika Tengah dan Barat, intususepsi dewasa
primer dikenal sebagai “intususepsi Ibadan” atau “intususepsi tropis” dan seringnya
berupa cecocolic. Variasi geografis pada patologi ini berhubungan dengan kandungan
diet, kebiasaan makanan, genetik dan komposisi mikroba usus.

Presentasi Klinis

Presentasi klinis intususepsi sangat bervariasi tapi umumnya ditandai dengan nyeri
perut dan tanda-tanda obstruksi usus. Pada populasi pediatri, ini merupakan emergensi
abdominal tersering. Anak usia kurang dari 2 tahun biasanya datang dengan nyeri kolik
abdomen onset akut, lutut tertarik ke dada, dengan iritabilitas dan menangis yang
berlebihan. Anak bisa kembali beraktivitas biasa jika gejala reda, atau mereka bisa
terlihat lemah dan letargis seiring nyeri semakin intens. Sesaat setelah onset nyeri,
muntah bisa terjadi. Hampir setengah kasus didapati feses bercampur darah dan lendir,
dinamakan gambaran “currant jelly”. Pemeriksaan fisik bisa memperlihatkan “massa
berbentuk sosis” yang palpabel di kuadran kanan atas atau regio epigastrium abdomen,
tapi massa hanya terdeteksi pada sekitar 60% kasus. Trias klasik pada pediatri yakni
nyeri perut, massa abdominal yang palpabel dan feses berdarah memang cukup langka,
hanya ada pada kurang dair 15% kasus.

Pada dewasa, presentasi klinis intususepsi bisa nonspesifik, jarang berupa trias
klasik nyeri perut, massa palpabel dan feses berdarah. Malahan, sering berupa gejala
obstruksi usus halus atau besar. Gejala tersering adalah nyeri perut, dengan gejala
penyerta yang mengarah ke obstruksi: mual, muntah, obstipasi, perdarahan
gastrointestinal, perubahan kebiasaan usus, konstipasi atau perut membesar. Wang et al
menemukan nyeri kram perut pada sekitar 80% pasien sebagai gejala utama; namun,
massa abdomen palpabel hanya ditemukan pada kurang dari 9%. Gejala biasanya akut,
berlangsung selama berhari-hari atau minggu, tapi meski langka kadang bisa kronis
hingga bertahun-tahun. onset dan durasi gejala klinis secara signifikan lebih lama pada
penyakit usus besar daripada usus halus, masing-masing 62,5 % vs 35,7%.
Pemeriksaan fisik menunjukkan distensi abdomen, dengan nyeri mulai dari
ringan hingga berat (konsisten dengan iritasi peritoneum parietal). Bising usus menurun
atau hilang, guaiac-positive stool, dan massa abdominal bisa ada. Jika datang terlambat
pada perjalanan penyakit, pasien bisa datang dengan tanda-tanda peritonitis atau
iskemia usus dengan nyeri melebihi temuan pemeriksaan fisik. Selain itu, tanda-tanda
syok seperti hipotensi dan takikardi bisa ada. sifat temuan ini yang nonspesifik,
digabungkan dengan langkanya insidensi intususepsi pada dewasa, bisa berujung pada
banyaknya diagnosis diferensial dan mungkin tidak menyertakan intususepsi. Nilai
laboratorium biasanya menunjukkan kenaikan hitung sel darah putih dan marker
inflamasi nonspesifik/reaktan fase akut seperti trombositosis dan kenaikan CRP. Tabel 3
merangkum serial kasus yang baru-baru ini dipublikasikan tentang intususepsi dewasa
terkait gejala yang ada, diagnosis dan patologi akhir.

Evaluasi pasien

Asesmen intususepsi berbeda pada pediatri dan dewasa. Pada anak, intususepsi biasanya
idiopatik dan jinak, dan diagnosis bisa diperkuat dengan memiliki tingkat kecurigaan
yang tinggi. Pada dewasa, ini biasanya menandakan obstruksi dari sebuah etiologi yang
berpotensi maligna. Pada kasus apapun, pendekatan yang cepat, non invasif dan murah
akan dipakai dalam penegakan diagnosis. Evaluasi sering diawali dengan foto polos
abdomen (seri abdomen akut). Foto polos biasanya akan menunjukkan tanda-tanda
obstruksi usus atau perforasi, yang bisa meliputi distensi lengkung usus dengan
hilangnya udara usus, begitu juga informasi mengenai lokasi obstruksi di saluran
gastrointestinal. Temuan radiografi tambahan meliputi target sign, terdiri atas dua
lingkaran radiolusen konsentris yang superimpos di ginjal kanan yang mewakili lemak
peritoneal mengelilingi intususepsi.; batas liver yang tak jelas; atau penurunan udara
cecum, sehingga mempersulit visualisasi. Disaat foto polos dianggap berguna dalam
diagnosis obstruksi, mereka kurang sensitif dan spesifik untuk mendiagnosis
intususepsi. Penelitian 72 pasien intususepsi di tahun 2008 menemukan bahwa foto
polos hanya sedikit bahkan sama sekali tidak berguna dalam menegakkan diagnosis,
dengan tingkat deteksi 0%. Baru-baru ini, sebuah penelitian yang menganalisis temuan
klinis dan radiologis, lebih dari 20% pasien dengan intususepsi hasil foto polosnya
negatif. Meski mereka tidak bisa membantu dalam diagnosis, mereka jelas berperan
dalam menemukan tanda obstruksi usus dan adanya pneumoperitoneum.

Tidak seperti foto polos, sensitivitas dan spesifisitas USG dalam diagnosis
intususepsi mendekati hampir 100% di tangan yang berpengalaman, khususnya pada
anak. Karena sifat USG yang noninvasif, ini merupakan modalitas pemeriksaan pada
anak, dan merupakan prosedur skrining yang sensitif dan cepat dalam asesmen
intususepsi. Fitur klasik adalah target atau doughnut sign yang disebabkan oleh
edematous intussuscipiens yang membentuk cincin eksternal disekeliling intussuceptum
di sentral. Namun, pada dewasa USG tampak kurang akurat daripada anak, tapi masih
memperlihatkan fitur klasik target atau doughnut sign pada aspek transversal dan
pseudo-kidney pada aspek longitudinal. Doppler berwarna bisa digunakan untuk
memperlihatkan penurunan aliran darah ke intussuceptum jika usus mengalami iskemia.
Keterbatasan akurasi USG meliputi udara masif pada kasus distensi usus atau obesitas
morbid, keduanya bisa berujung pada penurunan tingkat deteksi dan diagnosis
intususepsi.

Pada dewasa, karena sifat presentasi klinis yang nonspesifik dan diagnosis
diferensial yang luas, pemilihan modalitas pencitraan penting untuk mencapai diagnosis
dengan cepat. Pada sebuah serial kasus yang dilaporkan oleh Guillen Paredes et al,
pemeriksaan diagnostik yang digunakan untuk menilai 12 kasus intususepsi dewasa
meliputi, X-ray, USG, CT, pre-op kolonoskopi dan enema opak. Temuan yang
mendukung urutan akurasi diagnostik adalah sebagai berikut: CT (8 dari 10 pasien),
diikuti dengan USG (6 dari 12 pasien), enema opak (2 dari 4 tes yang dilakukan) dan
kolonoskopi (2 dari 5 tes yang dilakukan); tidak ada yang menyebutkan akurasi X-ray
abdomen. Akurasi diagnostik CT ditemukan mencapi 58-100% pada laporan lain. Baru-
baru ini, Ciftci menemukan dalam sebuah studi kecil enam pasien bahwa CT ideal
untuk diagnosis intususepsi. Pada penelitan tersebut, USG kurang berguna dalam
diagnosis intususepsi. Ini karena adanya faktor penghambat seperti edema dinding usus
dan volvulus sigmoid, yang tampak pada USG layaknya target dan ox eye sign seperti
pada intususepsi. Selain itu, penurunan reliabilitas juga didapatkan akibat air level di
usus, sejumlah besar feses di colon dan malrotasi. Serupa dengan hal ini, Guillen
Paredes et al menemukan bahwa terlepas dari fakta bahwa USG lebih sering digunakan,
ia tidak menjamin diagnosis pada sebagian besar kasus dan CT abdomen adalah yang
direkomendasikan. Temuan klasik pada CT meliputi “target”, “bull’s eye” atau lesi
berbentuk sosis sebagai cincin ganda hiperdens konsentris, fitur yang tampak akibat
konfigurasi anatomi dari intussuscipiens luar dan intussusceptum sentral yang
menciptakan gambaran usus dalam usus (Gambar 1-4).

Selain itu, pembuluh darah mesenterika dalam lumen usus merupakan


karakteristik pada CT, menunjukkan gangguan perfusi vaskuler dalam hal stasis vena,
edema, dan udara di dinding usus akibat nekrosis atau gangren. Terlepas dari manfaat
CT, Martin-Lorenzo et al menemukan bahwa sementara CT sangat sensitif untuk
mendeteksi intususepsi tapi terbatas karena kurangnya aksesibilitas, eksplorasi bidang
yang tunggal dan statis, radiasi dan terakhir kontras oral dan IV akan semakin menunda
pemeriksaan termasuk diagnosis. Dengan demikian, CT dianggap paling baik digunakan
pada kasus kronis, dan USG di tangan ahli radiologi berpengalaman akan memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang mendekati CT. Pertimbangan lain harus ada: dengan
CT scan yang lebih modern dan mencapai 65 potongan cepat, intususepsi segmen-
pendek transien non-patologis akan banyak ditemukan; namun fenomena ini harus
disesuaikan dengan konteks klinis dan biasanya bisa diabaikan.

Modalitas pencitraan tambahan juga bisa berguna pada evaluasi intususepsi.


Enema Barium atau kontras larut air (Gastrografin) bisa berguna pada pasien dewasa
dengan intususepsi colonic atau ileocolic, memperlihatkan karakteristik “cup-shaped”
filling defect, disaat juga memiliki efek terapeutik. Pada populasi pediatri, enema
hidrostatik atau pneumatik terbatas pada aplikasi terapeutik. Pemeriksaan Barium
dikontraindikasikan jika ada kemungkinan perforasi usus atau iskemia akibat risiko
peritonitis barium. Kolonoskopi adalah metode lain yang berguna dalam evaluasi
intususepsi, terutama ketika gejalanya berupa obstruksi usus besar; metode ini
memungkinkan lesi didiagnosis dan dibiopsi. Namun harus hati-hati, karena
peningkatan risiko perforasi akibat iskemia jaringan kronis, gangguan pembuluh darah
dan potensi nekrosis. Fenomena transien lain adalah inverted appendix, yang bisa sering
ditemukan setelah menyingkirkan kemungkinan lesi massa lain melalui cross-sectional
imaging. Dengan kondisi ini, pasien biasanya akan asimtomatis. MRI tidak digunakan
secara rutin pada populasi pediatri atau dewasa dalam diagnosis intususepsi, tapi
sensitivitasnya menyerupai CT, khususnya ketika menggunakan protokol enterografi
(Gambar 5).

Terapi

Pada populasi pediatri, terapi bergantung pada tipe intususepsi. Intususepsi ileocolic,
tipe tersering pada anak, membutuhkan reduksi melalui enema pneumatik atau
hidrostatik dengan panduan USG atau fluoroskopi, dan berhasil pada 85-90% kasus.
Dibutuhkan observasi ketat akibat meningkatnya kemungkinan rekurensi dalam 24 jam
pertama. intususepsi usus halus yang jarang pada anak biasanya bisa dimonitor saja
dengan aman dan akan terjadi reduksi spontan tanpa pembedahan. Namun, intususepsi
usus halus persisten diketahui berhubungan dengan lead point atau nekrosis usus, dan
biasanya akan membutuhkan intervensi pembedahan. Apapun tipe intususepsi,
pembedahan diindikasikan ketika reduksi enema atau observasi ketat mengalami
kegagalan.

Selain itu, pembedahan dibutuhkan jika ada tanda-tanda nekrosis usus. Dahulu,
intususepsi dewasa dioperasi karena kaitannya dengan patologi yang beperan sebagai
lead point. Namun kini, meluasnya pemakaian CT/MRI berjung pada peningkatan
frekuensi diagnosis intususepsi secara radiografi – ini mungkin berhubungan dengan
gejala gastrointestinal ekuivokal atau tidak sama sekali. Dengan demikian, pemeriksaan
retrospektif telah menunjukkan keberhasilan manajemen nonoperatif pada sebanyak
82% intususepsi radiografi, bahkan pada kasus gejala gastrointestinal. Ini memunculkan
beberapa derajat kontroversi terkait manajemen optimal pasien.

Beberapa kondisi klinis dan temuan kunci pada pemeriksaan radiologi bisa
membantu dokter bedah menghadapi intususepsi dewasa dengan percaya diri yang
dilanjutkan dengan eksplorasi operasi: (1) intususepsi dengan tanda atau gejala penyerta
obstruksi klinis, (2) intususepsi dengan massa lead point yang ditemukan pada
pemeriksaan cross sectional imaging dan (3) intususepsi colocolonic atau ileocolic
karena tingginya kaitannya dengan malignansi pada banyak kasus ini, khususnya
ileocolic. Pada kondisi intususepsi colocolonic atau ileocolic, kolonoskopi preoperatif
bisa dilakukan untuk mengkonfirmasi adanya patologi dan/atau malignansi. Pada
mayoritas intususepsi entero-enterik tanpa lead point mass dan segmen pendek –
didefinisikan sebagai kurang dari 3,5-3,8 cm pada beberapa seri – manajemen bisa
dilakukan dengan evaluasi klinis dan pencitraan serial seuai kebutuhan untuk
memastikan resolusi.

Ketika diindikasikan, pembedahan bisa dilakukan secara laparoskopi atau


terbuka, tergantung dari keahlian dan pengalaman dokter bedah. Apapun
pendekatannya, intususepsi harus berhasil diidentifikasi dan kemudian dengan hati-hati
direduksi (pada anak) atau direseksi (pada dewasa). Ketika kolonoskopi preoperatif,
pemeriksaan pencitraan atau gambaran intraoperatif dengan kuat mengarah akan adanya
malignansi, atau dokter bedah mencurigai adanya iskemia di mana reduksi akan
membuka segmen gangren dengan risiko perforasi bahkan dengan manipulasi lembut,
reduksi sangat tidak disarankan dan keseluruhan segmen sebaiknya direseksi. Pada
kasus-kasus ini, usahakan untuk mereseksi intususepsi yang tak direduksi menggunakan
prinsip onkologi untuk meminimalisir risiko tumpahan dan kontaminasi cavum
abdomen dengan sel kanker; limfadenektomi pembuluh besar sebaiknya dilakukan
untuk mendapatkan ≥12 nodus limfe untuk memfasilitasi prognosis yang baik dan
rekomendasi terapi kemoterapetik. Umumnya, reseksi segmen usus patologis dan/atau
iskemik dengan pembuatan anastomosis primer bisa dilakukan pada intususepsi entero-
enterik dan intususepsi ileocolic atau colocolonic sisi kiri. Pada kasus intususepsi
colonic sisi kiri dengan disertai obstruksi, reseksi dengan prosedur Hartmann biasanya
merupakan pendekatan yang direkomendasikan, meski baik anastomosis primer maupun
anastomosis primer dengan proximal diverting loop ileostomy bisa dipertimbangkan
tergantng pada situasi dan faktor risiko kebocoran anastomosis. Adanya steroid dosis
tinggi, kemoterapi dan imunosupresif kuat lainnya, malnutrisi dan merokok semuanya
faktor kuat dibuat anastomosis primer bahkan di usus halus.

Apapun pendekatan operasinya, untuk kasus terbuka (misal laparotomi) teknik


operasi standar adalah dengan menggunakan insisi midline dan pelindung luka dengan
atau tanpa fixed retracting system (yakni, Book-Walter). Meski kasus ini sering bersifat
urgensi atau emergensi, langkah pencegahan infeksi (misal pemilihan antibiotik optimal
dan re-dosing, irigasi antibiotik luka dan cavum peritoneum, mengganti sarung tangan,
suction dan Bovie tip untuk penutupan) sebaiknya digunakan.
Untuk kasus-kasus laparoskopi, kami menerapkan insisi awal berbentuk “tanda
tanya: di periumbilikal sepanjang 4 cm, dengan pelindung luka kecil; insisi ini nantinya
akan digunakan untuk ekstraksi spesimen dan konstruksi anastomosis ekstrakorporeal.
Sebuah sleeve sepanjang 12 mm, dengan alat laparoskopi, akan difiksasi dengan Teflon.
Pneumoperitoneum akan diidentifikasi, dan dipasang dua port 5mm tambahan, satu di
kuadran kiri bawah dan lainnya di suprapubis (pada kasus intususepsiileocolic atau
enteroenterik). Pemasangan port ini memungkinkan akses yang baik menuju
keseluruhan usus halus, cecum, colon asendens dan colon transversusm setengah
proksimal dan radiks dari mesenterik usus halus. Semua empat kuadran abdomen dan
pelvis akan dieksplorasi secara menyeluruh. Cairan mencurigakan akan disampel untuk
kultur dan lesi mencurigakan akan dibiopsi. Port lain akan dipasang sesuai kebutuhan
tergantung dari lokasi patologi. Atraumatic grasper (seperti endo-Babcok graspers)
digunakan di usus halus secara retrograde mulai di ileocecal valve, dan menggunakan
teknik hand-over-hand untuk memegang ujung mesenterik dengan hati-hati, bukan
dinding usus. Setelah segmen patologis ditemukan, bisa direseksi secara intrakorporeal
menggunakan stapling device untuk usus dan stapler atau energy device untuk
mesenterik, atau dieviserasi dan ditangani secara ekstrakorporeal. Pada kasus
intususepsi pediatri, hanya port 5 mm yang digunakan dan reduksi bisa dilakukan
seluruhnya secara intrakorporeal.

Anda mungkin juga menyukai