Anda di halaman 1dari 71

BLOK GASTROENTEROHEPATOLOGI Makassar, 27 desember 2018

MODUL 2
KULIT KUNING

Tutor : dr. Sri Wahyuni Gayatri


KELOMPOK 13
Anggota:
M.FAUZAN FAHMY 110 2015 0127
FATHANNIA RIZKY DIENNILLAH 110 2015 0131
MUSDALIFAH 110 2012 0112
NOVIA DAMAYANTI KAPRAWI 110 2017 0124
NURUL HIDAYAH 110 2017 0026
MOH. ADREZKI M. YUSUF 110 2017 0143
RISKI AMALIAH H.R 110 2017 0033
M. ABRAR NAUFAL H.Z.A 110 2017 0101
HERNITA 110 2017 0152
ANDI SAFA FAUZIAH 110 2017 0062

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2018
SKENARIO 1

Seorang laki-laki berusia 25 tahun datang dengan keluhan BAK seperti the
sejak 3 hari yang lalu. Keluhan itu disertai lemas, mual, mata kuning dan
muntah. Satu minggu yang lalu pasien mengalami demam selama 3 hari tapi
sekarang sudah tidak lagi. Tidak didapatkan keluhan gatal dan BAB normal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan mata kuning dan nyeri tekan perit kanan atas.
Selain itu semuanya normal.

 Kata sulit
-
 Kata/Kalimat kunci
1. Laki-laki 25 tahun
2. BAK berwarna seperti teh
3. Lemas
4. Mual
5.Muntah
6. mata kuning
7. demam 3 hari satu minggu yang lalu
8. nyeri tekan perut kanan atas
 Pertanyaan penting
1. Jelaskan anatomi dan fisiologi dari organ yang terkait dengan skenario
2. Apa penyebab urine pasien berwarna seperti teh dan mata berwarna kuning
3. Jelaskan jenis – jenis ikterus
4. Jelaskan penyebab nyeri tekan perut bagian kanan atas yang dialami pasien
5. Jelaskan penyebab pasien mengalami demam
6. Jelaskan penyebab pasien mengalami lemas
7. Jelaskan penyebab pasien mengalami mual, dan muntah
8. Jelaskan langkah – langkah diagnosis
9. Jelaskan diagnosis banding pada scenario
10. Perspektif islam terkait scenario
Jawab :
1. Anatomi dan fisiologi organ yang terkait dengan scenario.

HATI
Anatomi hati

Hati adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau
kurang lebih 25% berat badan orang dewasa yang menempati sebagian besar
kuadran kanan atas abdomen dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan
fungsi yanf sangat kompleks. Batas atas hati berada sejajar dengan ruang
intercostal V kanan dan batas bawah menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga
VIII kiri. Permukaan posterior hati berbentuk cekung dan terdapat celah
transversal sepanjang 5 cm dari sistem porta hepatis. Omentum minor terdapat
mulai dari sistem porta yang mengandung arteri hepatica, vena porta dan duktus
koledokus. Sistem porta terletak didepan vena cava dan dibalik kandung
empedu.
Permukaan anterior yang cembung dibagi menjadi 2 lobus oleh adanya
perlekatan ligamentum falciform yaitu lobus kiri dan lobus kanan yag berukuran
kira-kira 2 kali lebih besar dari lobus kiri. Pada daerah antara ligamentum
falciform dengan kandung empedu di lobus kanan kadang-kadang dapat
ditemukan lobus kuadratus dan sebuah daerah yang disebut sebagai lobus
kaudatus yang biasanya tertutup oleh vena kava inferior dan ligamentum
venosum pada permukaan posterior. Hati terbagi menjadi 8 segmen dan fungsi
yang berbeda. Pada dasarny, garis Cantlie yang terdapat mulai dari vena kava
sampai kandung empedu telah membagi hati menjadi 2 lobus fungsional, dan
dengan adanya daerah dengan veskularisasi yang relative sedikit, kadang-kadang
dijadikan batas reseksi. Pembagian lebih lanjut menjadi 8 segmen didasarkan
pada aliran cabang pembuluh darah san saluran empedu yang dimiliki masing-
masing segmen.

Histologi hati

Bagian hepar yang disebut lobulus dipisahkan oleh jaringan ikat dan
pembuluh darah. Pembuluh darah pada hepar terdapat pada sudut-sudut lobulus,
yang akhirnya membentuk bangunan yang disebut trigonum Kiernan atau area
portal. Pada area portal dapat ditemukan cabang arteri hepatica, cabang vena
porta, dan duktus biliaris.

Struktur dari lobulus hepar pada potongan melintang akan terlihat


sebagai struktur yang berderet dan radier, dengan pusatnya vena sentralis,
dipisahkan oleh sebuah celah atau sinusoid hepar.
Pada gambaran mikroskopik, di sinusoid hepar terdapat sel Kupffer. Sel
ini memiliki fungsi untuk memfagosit eritrosit tua, hemoglobin dan mensekresi
sitokin.

Dapat ditemukan juga sel-sel hepar atau yang biasa disebut hepatosit.
Hepatosit berbentuk polyhedral dengan 6 permukaan atau lebih, memiliki batas
yang jelas, dan memiliki inti yang bulat di tengah.

Sitoplasma pada hepatosit berwarna eosinofilik, hal ini disebabkan


karena hepatosit memiliki banyak mitokondria dan reticulum endoplasma halus.
Pada sitoplasma hepatosit terdapat lisosom, peroksisom, butir glikogen dan
dapat pula ditemukan tetesan lemak yang akan muncul setelah puasa atau setelah
makan makanan berlemak.

Bagian fungsional dari hepar disebut sebagai lobulus portal, yang terdiri
dari 3 lobulus klasik (unit terkecil hepar atau lobulus hepar) dan ditengahnya
terdapat duktus interlobularis. Pada hepar terdapat unit fungsional terkecil yang
disebut asinus hepar. Asinus hepar adalah bagian dari hepar yang terletak
diantara vena sentralis. Asinus hepar memiliki cabang terminal arteri hepatica,
vena porta dan system duktus biliaris.
Fisiologi hati

Hepar menghasilkan empedu setiap harinya. Empedu penting dalam


proses absorpsi dari lemak pada usus halus. Setelah digunakan untuk membantu
absorpsi lemak, empedu akan di reabsorpsi di ileum dan kembali lagi ke hepar.
Empedu dapat digunakan kembali setelah mengalami konjugasi dan juga
sebagian dari empedu tadi akan diubah menjadi bilirubin.

Metabolisme lemak yang terjadi di hepar adalah metabolisme kolesterol,


trigliserida, fosfolipid dan lipoprotein menjadi asam lemak dan gliserol. Selain
itu, hepar memiliki fungsi untuk mempertahankan kadar glukosa darah
selalu dalam kondisi normal. Hepar juga menyimpan glukosa dalam bentuk
glikogen.

Metabolisme protein di hepar antara lain adalah albumin dan faktor


pembekuan yang terdiri dari faktor I, II, V, VII, VIII, IX, X. Selain metabolisme
protein tadi, juga melakukan degradasi asam amino, yaitu melalui proses
deaminasi atau pembuangan gugus NH2.
Hepar memiliki fungsi untuk menskresikan dan menginaktifkan
aldosteron, glukokortikoid, estrogen, testosteron dan progesteron.

Bila terdapat zat toksik, maka akan terjadi trasnformasi zat-zat berbahaya
dan akhirnya akan diekskresi lewat ginjal. Proses yang dialami adalah proses
oksidasi, reduksi, hidrolisis dan konjugasi. Pertama adalah jalur oksidasi yang
memerlukan enzim sitokrom P-450. Selanjutnya akan mengalami proses
konjugasi glukoronide, sulfat ataupun glutation yang semuanya merupakan zat
yang hidrofilik. Zat-zat tersebut akan mengalami transport protein lokal di
membran sel hepatosit melalui plasma, yang akhirnya akan diekskresi melalui
ginjal atau melalui saluran pencernaan.

Fungsi hepar yang lain adalah sebagai tempat penyimpanan vitamin A,


D, E, K, dan vitamin B12. Sedangkan mineral yang disimpan di hepar antara lain
tembaga dan besi.

Menurut Guyton & Hall (2008), hati mempunyai beberapa fungsi yaitu:

a. Metabolisme karbohidrat
Fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat adalah menyimpan glikogen
dalam jumlah besar, mengkonversi galaktosa dan fruktosa menjadi
glukosa, glukoneogenesis, dan membentuk banyak senyawa kimia yang
penting dari hasil perantara metabolisme karbohidrat.
b. Metabolisme lemak
Fungsi hati yang berkaitan dengan metabolisme lemak, antara lain:
mengoksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi fungsi tubuh yang
lain, membentuk sebagian besar kolesterol, fosfolipid dan lipoprotein,
membentuk lemak dari protein dan karbohidrat.
c. Metabolisme protein
Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah deaminasi asam amino,
pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh,
pembentukan protein plasma, dan interkonversi beragam asam amino dan
membentuk senyawa lain dari asam amino.
d. Lain-lain
Fungsi hati yang lain diantaranya hati merupakan tempat penyimpanan
vitamin, hati sebagai tempat menyimpan besi dalam bentuk feritin, hati
membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah dalam jumlah
banyak dan hati mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon
dan zat lain.

2. Penyebab urine berwarna seperti teh dan mata berwarna kuning

Icterus adalah perubahan warna kulit, sclera mata atau jaringan lainnya
(membrane mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang
meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Bilirubin di bentuk sebagai
akibat pemecahan cincin hem, biasanya sebagai akibat metabolism sel darah
merah.

Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang


berlangsung dalam 3 fase; prehepatik, intra hepatic, dan pascahepatik masih
relevan, walaupun diperlukan penjelasan akan adanya fase tambahan dalam
tahapan metabolisme bilirubin.

FASE PRAHEPATIK

1. Pembentukan bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4 mg


per kg berat badan terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel
darah merah yang matang. Sedangkan sisanya 20-30% (early labelled bilirubin)
dating dari protein hem lainnya yang berada terutama didalam sumsum tulang
dan hati. Sebagian dari protein hem dipecah menjadi besi dan produk antara
biliverdin dengan perantaraan enzim hemeoksigenase. Enzim lain, biliverdin
reduktase, mengubah biliverdinmenjadi bilirubin. Tahapan ini terjadi terutama
dalam system retikuloendotelial (mononuklir fagositosis). Peningkatan hemolisis
sel darah merah merupakan penyebab utama peningkatan pembentukan
bilirubin. Pembentukan early labelled bilirubin meningkat pada beberapa
kelainan dengan eritropoiesis yang tidak efektif namun secara klinis kurang
penting.
2. Transport plasma. Bilirubin tak larut dalam air, karena bilirubin tak tergonjugasi
ini transportnya dalam plasma yang terikat dengan albumin dan tidak dapat
melalui membrane glomerulus, karenanya tidak muncul dalam air seni. Ikatan
melemah dalam beberapa keadaan seperti asidosis, dan beberapa bahan seperti
antibiotika tertentu, salisilat berlomba pada tempat ikatan dengan albumin.

FASE INTRAHEPATIK

1. Liver uptake. Proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati secara
rinci dan pentingnya protein pengikat seperti ligandin atau protein Y, belum
jelas. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan cepat,
namun tidak termasuk pengambilan albumin.
2. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami
konjugasi dengan asam glukuroniik membentuk bilirubin diglukuronida atau
bilirubin konjugasi atau bilirubin direk. Reaksi ini yang dikatalisasi oleh enzim
microsomal glukorinil transferase menghasilkan bilirubin yang larut dalam air.
Dalam beberapa keadaan reaksi ini hanya menghasilkan bilirubin
monoglukuronida, dengan bagian asam glukuronik kedua ditambahkan dalam
saluran empedu melalui system enzim yang berbeda., namun reaksi ini tidak
dianggap fisiologik. Bilirubin konjugasi lainnya selain diglukuronid juga
terbentuk namun kegunaannya tidak jelas.
FASE PASCAHEPATIK

Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus


bersama bahan lainnya. Anion organic lainnya atau obat dapat mempengaruhi
proses yang kompleks ini. Di dalam usus flora bakteri mendekonjugasi dan
mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian
besar kedalam tinja yang memberi warna coklat . sebagian diserap dan
dikeluarkan kembali ke dalam empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai air
seni sebagai urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan diglukuronida tetapi tidak
bilirubin unkonjugasi. Hal ini menerangkan warna air seni yang gelap yang khas
pada gangguan hepatoselular atau kolestasis intrahepatik. Bilirubin tak
terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam lemak. Karenanya
bilirubin tak terkonjugasi dapat melewati berier darah-otak atau masuk ke dalam
plasenta. Dalam sel hati, bilirubin tak terkonjugasi mengalami proses konjugasi
dengan gula melalui enzim glukuroniltransferase dan larut dalam empedu cair.

Pada kasus kolestasis intrahepatik, aliran empedu dapat terganggu pada


tingkat mana saja dari mulai sel hati (kanalikulus), sampai ampulla vater.
Penyebab paling sering kolstatik intragepatik adalah hepatitis, keracunan obat,
penyakit hati karena alcohol dan penyakit hepatitis autoimun.

Virus hepatitis, alcohol, keracunan obat (drug induced hepatitis), dan


kelainan autoimun merupakan penyebab tersering. Peradangan intra hepatik
megganggu transport bilirubin terkonjugasi dan menyebabkan icterus. Hepatitis
A merupakan penyakit self limited dan dimanifestasikan dengan adanya icterus
yang timbul secara akut. Hepatitis B dan C akut sering tidak menimbulkan
icterus pada tahap awal, tetapi bias berjalan kronik dan menahun dan
mengakibatkan gejala hepatitis menahun atau bahkan sudah menjadi sirosis hati.

Kolestasis ekstrahepatik. Penyebab paling sering pada kolestasis


ekstrahepatik adalah batu duktus koledokus pan kanker pancreas.kolestasis
mencerminkan kegagalan sekresi empedu. Mekanismenya sangat kompleks,
bahkan juga pada obstruksi mekanis empedu.
Efek patofisiologi mencerminkan efek backup konstituen empedu (yang
terpenting bilirubin, garam empedu, dan tipid) kedalam sirkulasi sistemik dan
kegagalannya untuk masuk ke usus halus untuk ekskresi. Retensi bilirubin
menghasilkan campuran hiperbilirubinemia dengan kelebihan bilirubin
konjugasi masuk kedalam urin. Tinja sering berwarna pucat karena karena lebih
sedikit yang bias mencapai saluran cerna usus halus. Peningkatan garam empedu
dalam sirkulasi selalu diperkirakan sebagai penyebab keluhan gatal, walaupun
sebenarnya hubungannya belum jelas sehingga patogenesis gatal masih belum
bias diketahui dengan pasti.

Referensi : Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.2015. Jilid II. Edisi VI. Jakarta

3. Jenis-jenis icterus
Ikterus dibagi menjadi ikterus fisiologis dan patologis (Ngastiyah,1997).
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah
Ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut (Hanifa, 1987, Ngastiyah, ):
 Timbul pada hari ke2 dan ke-3 dan tampak jelas pada hari ke-5 dan ke-6.
 Kadar Bilirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada
neonatuscukup bulan dan 10 mg % per hari pada kurang bulan.
 Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari
 Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %
 Ikterus hilang pada 10 hari pertama
 Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis tertentu

2. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia
Adalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai
yang mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak
ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang
patologis.
Karakteristik ikterus patologis (Ngastiyah,1997 ) sebagai berikut :
 Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama kehidupan. Ikterus menetap sesudah bayi
berumur 10 hari ( pada bayi cukup bulan) dan lebih dari 14 hari pada bayi baru
lahir BBLR.
 Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mg % pada bayi kurang bulan (BBLR)
dan 12,5 mg% pada bayi cukup bulan.
 Bilirubin direk lebih dari 1mg%.
 Peningkatan bilirubin 5 mg% atau lebih dalam 24 jam.
 Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim
G-6-PD, dan sepsis).
Ada juga pendapat ahli lain tentang hiperbilirubinemia yaitu Brown menetapkan
Hiperbilirubinemia bila kadar Bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan,
dan 15 mg % pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.

Referensi : Kaamani Suframanyan.2014.Gambaran Karakteristik Neonatus


Dengan Hiperbilirubinemia.Medan.FK.Universitas Sumatera Utara
4. Apa yang menyebabkan terjadinya nyeri pada quadran kanan atas pada
abdomen.

Berdasarkan letak anatomi dari organ di rongga abdomen dapat dibagi menjadi 4
quadran

a. Kuadran Kanan Atas


Terdiri atas : Hepar , Kandung empedu , Pilorus , Duodenum -,Kaput pankreas ,
Fleksura hepatika kolon , Sebagian kolon asendens dan Kolon tranversum
b. Kuadran Kiri Atas
terdiri atas: Lobus kiri hepar , gaster, Korpus pankreas ,Fleksura lienalis kolon
,Sebagian kolon tranversum dan Kolon desenden.
c. Kuadran kanan bawah
Terdiri atas: Saekum dan appendiks , Sebagian kolon assenden
d. Kuadran kiri bawah
Terdiri atas : Kolon sigmoid dan Sebagian kolon desenden.

Maka diketahui nyeri abdomen bagian kuadran kanan atas tersebut dapat
disebabkan karena adanya gangguan dari organ-organ yang letaknya berada pada
bagian kuadran kanan atas seperti hepar,kantong empedu, pylorus, Duodenum
,Kaput pankreas , Fleksura hepatika kolon , Sebagian kolon asendens dan Kolon
tranversum.

Gangguan penyakit pada kuadran kanan atas abdomen yang ditandai


dengan adanya icterus adalah gangguan pada organ hepar. Misalnya hepatitis
Hepatitis A merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis A
,virus hepatitis b virus hepatitis ,c, virus hepatitis d, dan virus hepatitis e yang
biasanya menular melewati fecal oral demikian pula dengan air dan makanan
yang terkontaminasi. Infeksi virus hepatitis A akut menyebabkan proses
nekroinflamasi akut pada hati yang bormalnya akan sembuh spontan tampa
sekuele kronik. Gejala prodromal pada hepatitis akut adalah lemas, cepat lelah,
anoreksia, muntah, rasa tidak nyaman pada abdomen atau nyeri abdomen diare,
dan pada stadium lanjutan dan tidak umum dapat dijumpai demam.

Gejala tersering pasien infeksi virus hepatitis A akut yaitu


gejala Angka kejadian (%)

ikterus 40-80

Urin berwarna seperti teh 68-94

Mudah lelah 52-91

Anoreksia 42-90

Nyeri/rasa tidak nyaman pada 37-65


abdomen
Feses berwarna dempul 52-58

Mual dan muntah 16-87

Demam atau menggigil 32-73

Sakit kepala 26-73

artralgia 11-40

Mialgiaa 15-52

Diare 16-25
Nyeri tenggorokan 0-20

Berdasarkan tebel ditas maka dapat dikatakan bahwa nyeri perut


kuadran kanan atas dapat diakibatkan oleh adanya gangguan fungsi atau suatu
penyakit pada hepar serta pada table ditas juga dapat dilihat adanya urin yang
berwarna seperti the, mual muntah dan adanya nyeri atau rasa tidaknyaman pada
abdomen sesuai dengan gejala yang ditimbukan pada scenario.

Referernsi : Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid II.edisi VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014

5. Penyebab pasien mengalami demam

Demam adalah kenaikan suhu tubuh yang ditandai oleh kenaikan


titik ambang regulasi panas hipotalamus. Pusat regulasi/pengatur panas
hipotalamus mengendalikan suhu tubuh dengan menyeimbangkan sinyal dari
reseptor neuronal perifer dingin dan panas (Arvin, 2000).

Demam terjadi bila berbagai proses infeksi dan non-infeksi


berintraksi dengan mekanisme pertahanan hospes. Demam kebanyakan
disebabkan oleh agen mikrobiologi yang dapat dikenali dan demam menghilang
sesudah masa yang pendek (Arvin, 2000). Batasan nilai atau derajat demam
dengan pengukuran di berbagai bagian tubuh sebagai berikut: suhu aksila/ketiak
diatas 37,2°C, suhu oral/mulut diatas 37,8°C, suhu rektal/anus diatas 38,0°C,
suhu dahi diatas 38,0°C, suhu di membran telinga diatas 38,0°C. Sedangkan
dikatakan demam tinggi apabila suhu tubuh diatas 39,5°C dan hiperpireksia bila
suhu diatas 41,1°C (Bahren, et al., 2014).

Secara garis besar, ada dua kategori demam yang seringkali


diderita anak yaitu demam non-infeksi dan demam infeksi (Widjaja, 2008). 11
1) Demam Non-infeksi
Demam non-infeksi adalah demam yang bukan disebabkan oleh
masuknya bibit penyakit ke dalam tubuh. Demam ini jarang diderita oleh
manusia dalam kehidupan sehari-hari. Demam non-infeksi timbul karena adanya
kelainan pada tubuh yang dibawa sejak lahir, dan tidak ditangani dengan baik.
Contoh demam non-infeksi antara lain demam yang disebabkan oleh adanya
kelainan degeneratif atau kelainan bawaan pada jantung, demam karena stres,
atau demam yang disebabkan oleh adanya penyakit-penyakit berat misalnya
leukimia dan kanker.
2) Demam Infeksi
Demam infeksi adalah demam yang disebabkan oleh masukan
patogen, misalnya kuman, bakteri, viral atau virus, atau binatang kecil lainnya ke
dalam tubuh. Bakteri, kuman atau virus dapat masuk ke dalam tubuh manusia
melalui berbagai cara, misalnya melalui makanan, udara, atau persentuhan
tubuh. Imunisasi juga merupakan penyebab demam infeksi karena saat
melalukan imunisasi berarti seseorang telah dengan sengaja memasukan bakteri,
kuman atau virus yang sudah dilemahkan ke dalam tubuh balita dengan tujuan
membuat balita menjadi kebal terhadap penyakit tertentu. Beberapa penyakit
yang dapat menyebabkan infeksi dan akhirnya menyebabkan demam pada anak
antara lain yaitu tetanus, mumps atau parotitis epidemik, 12 morbili atau measles
atau rubella, demam berdarah, TBC, tifus dan radang paru-paru (Widjaja, 2008).

6. Penyebab pasien mengalami lemas!


Hati terus menyekresikan empedu, bahkan di antara waktu makan. Lubang
duktus biliaris ke dalam duodenum dijaga oleh sfringter oddi, yang mencegah
empedu masuk ke duodenum kecuali sewaktu pencernaan makanan.

Ketika sfingter ini tertutup, empedu yang disekresikan oleh hati menabrak
sfingter yang tertutup dan dialihkan balik ke dalam kandung empedu, suatu
struktur kecil berbentuk kantong yang terselip di bawah tetapi tidak langsung
berhubungan dengan hati. Karena itu, empedu tidak diangkut langsung dari hati
ke kandung empedu. Empedu kemuadian disimpan dan dipekatkan di kandung
empedu di antara waktu makan. Transpor aktif garam di luar kandung empedu,
yang diikuti air secara osmosis, menghasilkan konsentrasi konstituen organik
yang 5-10 kali lebih besar.

Empedu mengandung beberapa konstituen organik, yaitu garam empedu,


kolesterol, lesitin (suatu fosfolipid), dan bilirubin (semua berasal dari aktivitas
hepatosit) dalam suatu cairan encer alkalis (ditambahkan oleh sel duktus) yang
serupa dengan sekresi NaHCO3 pankreas. Meskipun empedu tidak mengandung
enzim pencernaan apapun, bahan ini penting dalam pencernaan dan penyerapan
lemak, terutama melalui aktivitas garam empedu.

Garam empedu membantu pencernaan lemak melalui efek emulsifikasi dan


mempermudah penyerapan lemak dengan ikut serta dalam pembentukan misel.
Kemampuan garam empedu inilah yang berfungsi untuk mengubah globulus
lemak besar menjadi emulsi lemak yang terdiri dari banyak butiran lemak yang
membentuk suspensi di dalam kimus cair.

Dengan menguraikan globulus berukuran besar menjadi kecil, butiran-


butiran yang telah stabil meningkatkan luas permukaan yang tersedia untuk
tempat kerja lipase pankreas. Untuk mencerna lemak, lipase harus berkontak
langsung dengan molekul trigliserida cenderung menggumpal menjadi butir-
butir besar dalam lingkungan usus halus yang banyak mengandung air.

Jika garam empedu tidak mengemulsifikasi gumpalan besar lemak ini,


lipase hanya dapat bekerja pada permukaan gumpalan besar tersebut dan
pencernaan lemak akan sangat lama. Hal tersebut juga dapat terjadi apabila
terjadi obstruksi saluran empedu dalam lumen intestinal yang akan membuat
berkurangnya garam empedu bahakan tidak adanya garam empedu dalam lumen
intestinal kemudian terjadi malabsorbsi lemak dan vitamin larut lemak (A, D, E,
K). Sehingga kebutuhan energi tidak adekuat yang membuat berkurangnya
kekuatan otot dan membuat tubuh terasa lemas.

Referensi: Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Edisi 8.


Penerbit Buku kedokteran: EGC.
7. Penyebab mual dan muntah

Penyakit Intraperitonoum

Obitruksi visera dan peradangan organ berongga dapat menyebabkan


muntah sebagai gejala utama. Obstruksi lambung disebabkan oleh penyakit
tukak dan keganasan, sementara obstruksi usus halus dan kolon teriadi akibat
perlekatan, tumor jinak atau ganas, volvulus, intususepsi, atau penyakit inflamasi
misalnya penyakit Crohn. Sindrom arteri mesenterika superior yang timbul
setelah penurunan berat atau tirah baring berkepanjangan, terjadi ketika
duodenum tertekan oleh arteri mesenterika superior yang terletak di atasnya.
Iradiasi abdomen mengganggu fungsi kontraktitl usus dan memicu striktur.
Kolik empedu menyebabkan mual melalui aktivitas saraf aferen visera. Muntah
pada pankreatitis, dan apendisitis disebabkan oleh iritasi visera lokal dan induksi
ileus. Infeksi usus oleh virus atau bakteri, misalnya staphylococcus aureus dan
Bacillus cereue sering menjadi penyebab muntah akut, terutama pada anak
Infeksi oportunistik, misalnya sitomegalovirus atau herpes simpleks memicu
muntah pada orang dengan gangguan imunitas

Gangguan fungsi sensorimotorik usus juga sering menyebabkan mual


dan muntah Gastroparests didefinisikan sebagai tertundanya pengosongan
makanan dari lambung dan terjadi setelah vagotomi, pada adenokarsinoma
pankreas, pada insufisiensi pembuluh darah mesenterium atau pada penyakit
sistemik, misalnya diabetes, skleroderma, dan amyloidosis. Gastroparesis
idiopatik yang terjadi tanpa penyakit sistemik mungkin timbul setelah suatu
prodroma virus, menunjukkan etiologi infeksi. Pseudoobstruksi usus ditandai
oleh gangguan aktivitas motorik usus dan kolon yang menyebabkan retensi sisa
makanan dan sekresi, pertumbuhan bakteri yang berlebiban malabsorpsi nutrien
dan gejala mual muntah, kembung, nyeri, dan gangguan defekasi.
Pseudoobstruksi usus dapat bersifat idiopatik atau diwariskan sebagai suatu
miopati atau neuropati viseral familial, atau dapat timbul akibat penyakit
sistemik atau sebagai komplikasi paraneoplastik keganasan misalnya karsinoma
sel kecil paru. Pasien dengan refluks gastroesofagus mungkin mengeluh mual
dan muntah, demikian juga sebagian orang dengan dispepsia fungsional dan
sindrom usus iritatif.

Terdapat tiga gangguan fungsional lain tanpa kelainan organik yang


terjadi pada orang dewasa Mual idiopatik kronik didefinisikan sebagai mual
tanpa muntah yang terjadi beberapa kali dalam seminggu, sedangkan muntah
fungsional didefinisikan sebagai serangan muntah yang terjadi satu kali atau
lebih setiap minggu tanpa gangguan makan ataupun kejiwaan. Sindrom
mualmuntah siklik adalah suatu penyakit yang jarang terjadi dan etiologinya
belum diketahui yang menyebabkan serangan berkala mual dan muntah hebat.
Sindrom ini memperlihatkan keterkaitan erat dengan nyeri kepala migren, yang
menunjukkan bahwa sebagian kasus mungkin merupakan varian migren Muntah
siklik paling sering terjadi pada annk meskipun kasus dewasa juga pernah
dilaporkan dan berkaitan dengan pengosongan lambung yang cepat dan
pemakaian kanabis kronik.

Penyakit Ekstraperitoneum

Infark miokard dan gagal jantung kongestif merupakan penyehab mual


dan muntah akibat jantung. Muntah pascaoperasi terjadi setelah 25 %
pembedahan, terutama laparotomi dan bedah ortopedik, dan lebih sering pada
wanita. Meningkatnya tekanan intrakranial akibat tumor, perdarahan, abses, atau
obstruksi aliran keluar cairan serebrospinal menyebalbkan muntah hebat dengan
atau tanpa mual. Mabuk gerak, labirintitis, dan penyakit Ménière memicu gejala
melalui jalur labirintin. Pasien dengan penyakit kejiwaan termasuk anoreksia
nervosa, bulimia nervosa, ansietas, dan depresi mungkin mengeluh mual hebat
yang mungkin berkaitan dengan keterlambatan pengosongan lambung.

Obat dan Gangguan Metabolik

Obat memicu muntah melalui efek pada lambung (analgesik, eritromisin)


atau area postrema (digoksin, opiat, obat anti- Parkinson). Obat emetogenik
meliputi antibiotik, antiaritmia jantung, antihipertensi, hipoglikemik oral, dan
kontrasepsi. Kemoterapi kanker menyebabkan muntah yang bersifat akut (dalam
beberapa jam setelah pemberian), lambat (setelah hari atau lebih), atau
antisipatorik. Emesis akut akibat obat emetogenik kuat, misalnya sisplatin
diperantarai oleh jalur 5-HTy sementara muntah yang tertunda tidak bergantung
pada jalur 5-HT, Mual antisipatorik sering berespons lebi baik terhadap terapi
ansiolitik daripada antiemetik.

Beberapa gangguan metabolik memicu mual dan muntah. Kehamilan


merupakan penyebab mual akibat endokrinologik tersering , terjadi pada 70 %
wanita pada trimester pertama. Hiperemesis gravidarum adalah bentuk mual
yang parah pada kehamilan dan dapat menyebabkan kehilangan cairan dan
gangguan elektrolit yang bermakna. Uremia, ketoasidosis, dan insufisiensi
adrenal, serta penyakit paratiroid dan tiroid, adalah penyebab metabolik lain
pada muntah.

Toksin dalam darah memicu gejala melalui efek pada area postrema.
Toksin endogen terbentuk pada gagal hati fulminan, sedangkan enterotoksin
eksogen mungkin dihasilkan oleh infeksi bakteri usus. Intoksikasi etanol
merupakan etiologi toksik mual dan muntah yang sering dijumpai.

Referensi : Dan L. Longo . Anthony s. Fauci , 2014 , Gastroenterologi &


hepatologi , Jakarta , EGC halaman 32-33.
8. Jelaskan langkah-langkah diagnosis yang sesuai dengan skenario!
A. Anamnesis
Pada Anamnesis pemeriksa harus bersikap cukup terbuka dan tidak
terburu-buru,mengajukan pertanyaan yang tepat dan mendengarkan.
Hal yang harus ditanyakan pemeriksa meliputi identitas pasien,
menanyakan keluhan utama, kemudian khusus pada sistem gastrointestinal
pemeriksa menanyakan mengenai nafsu makan defekasi, mual, muntah, diare,
kostipasi, hematemesis, melena, hematokezia dan hemoroid. Menggali riwayat
penyakit pasien saat ini maupun riwayat penyakit terdahulu, menanyakan
keluhan pada sistem yang meliputi riwayat demam, sakit kepala, penurunan
berat badan dan nyeri dada.
Pada kasus nyeri abdomen menggali informasi mengenai lokasi
nyeri dapat membantu mempersempit diagnosis banding, misalnya pada nyeri
abdomen pada lokasi kuadran kanan bawah yaitu Apendisitis, Salpingitis, Hernia
Inguinalis, Nefrolitiasis dan limfadenitis mesenterium. Daerah di luar abdomen
yang mungkin menjadi penyebab nyeri abdomen juga perlu diperhatikan dengan
seksama, riwayat haid yang akurat penting pada pasien wanita. Pada pasien
dengan keluhan mual dan muntah, dengan anamnesis dapat menentukan etiologi
mual dan muntah, obstruksi pylorus dan gastroparesis menimbulkan mual dan
muntah dalam waktu 1 jam setelah makan.
Hematemesis menimbulkan kecurigaan adanya tukak, keganasan,
atau robekan mallory-weiss, sementara muntahan yang “sangat kotor” terjadi
pada obstruksi usus distal dan kolon.berkurangnya nyeri abdomen oleh muntah
merupakan tanda obstruksi usus halus,sementara muntah tidak berpengaruh pada
nyeri pankreatitis atau kolesistitis.penurunan berat badan yang mencolok
menimbulkan kecurigaan akan keganasan atau obstruksi. Demam menandakan
adanya peradangan.
B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik abdomen yaitu pemeriksaan daerah abdomen
atau perut di bawah arkus kosta kanan-kiri sampai garis lipat paha atau daerah
inguinal.
Pembagian regional abdomen
Ada beberapa cara untuk membagi permukaan dinding perut dalam
beberapa regio
1. Dengan menarik garis tegak lurus terhadap garis median melalui
umbilikus.dengan cara ini dinding depan abdomen terbagi atas 4 kuadran.

Atau yang disebut sebagai a). Kuadran kanan atas, b). Kuadran kiri
atas, c). Kuadran kiri bawah, d). Kuadran kanan bawah.
2. Pembagian yang lebih rinci atau lebih spesifik yaitu dengan menarik dua garis
sejajar dengan garis median dan dua garis transversal yaitu yang
menghubungkan dua titik paling bawah dari arkus kosta dan satu garis lagi
menghubungkan kedua spina iliaka anterior superior (SIAS).Berdasarkan
pembagian yang lebih rinci tersebut permukaan depan abdomen terbagi atas 9
regio.
Secara garis besar organ-organ di dalam abdomen dapat
diproyeksikan pada permukaan abdomen antara lain :
a. Hepar berada di daerah epigastrium dan di daerah hipokondrium kanan
b. Lambung berada di daerah epigastrium
c. Limpa berada di daerah hipokondrium kiri
d. Vesika felea seringkali berada pada perbatasan daerah hipokondrium kanan dan
epigastrium.
e. Kandung kencing yang penuh dan uterus pada orang hamil dapat teraba di
daerah hipogastrium.
f. Apendiks berada di daerah antara daerah iliaka kanan,lumbal kanan dan bagian
bawah daerah umbilikal.
Selain peta regional tersebut terdapat beberapa titik dan garis yang
sudah disepekati:
1. Titik Mc burney : yaitu titik pada dinding perut kuadran kanan bawah yang
terletak pada 1/3 lateral dari garis yang menghubungkan SIAS dengan
umbilicus. Titik mc burney tersebut dianggap lokasi apendiks yang akan terasa
nyeri tekan bila terdapat apendisitis.
2. Garis schuffner.yaitu garis yang menghubungkan titik pada arkus kosta kiri
dengan umbilikalis (dibagi 4 dan garis ini diteruskan sampai SIAS kanan yang
merupakan titik VIII. Garis ini digunakan untuk menyatakan pembesaran limpa.

Pemeriksaan abdomen
Pemeriksaan ini dilakukan dengan posisi pasien terientang kepala rata atau
dengan satu bantal dengan kedua tangan disisi kanan-kirinya. Usahakan
semuabagian abdornen dapat diperiksa termasuk xiphisternum dan mulut hernia.
Sebaiknya kandung kencing dikosongkan dulu sebelum pemeriksaan dilakukan.
Pemeriksaan abdomen ini terdiri 4 tahap yaitu inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi.
Pemeriksaan Inspeksi

Pemeriksaan ini dilakukan dengan melihat abdomen baik bagian depan


ataupun belakang (pinggang). Inspeksi ini dilakukan dengan penerangan cahaya
yang cukup sehingga dapat dicermati keadaan abdomen seperti simetris atau
tidak, bentuk atau kontur, ukuran, kondisi dinding perut (kulit, vena, umbilikus,
striae alba) dan pergerakan dinding abdomen. Pada pemeriksaan tahap awal ini
diperhatikan secara visual kelainan-kelainan yang terlihat pada abdomen seperti
jaringan parut karena pembedahan, asimetri abdomen yang menunjukkan adanya
masa tumor, striae, vena yang berdilatasi, caput medusae atau obstruksi vena
kava inferior, peristalsis usus, distensi dan hernia.

Pada keadaan normal terlentang, dinding abdomen terlihat simetris. Bila


ada tumor atau abses atau pelebaran setempat lumen usus membuat abdomen
terlihat tidak simetris. Pada keadaan normal dan fisiologis, pergerakan dinding
usus akibat peristaltik usus tidak terlihat. Bila terilhat gerakan peristaltik usus
maka dapat dipastikan adanya hiperperistaltik dan dilatasi sebagai akibat
obstruksi lumen usus. Obstruksi Iumen usus ini dapat disebabkan macam-
macam kelainan antara lain tumor, perlengketan, strangulasi dan skibala.

Abdomen yang membuncit dalam keadaan normal dapat terjadi pada


pasien gernuk. Pada keadaan patologis, abdomen membuncit disebabkan oleh
ileus paralitik, ileus obstruktif, meteorismus, asites, kistoma ovar, dan
kehamilan. Tonjolan setempat menunjukkan adanya kelainan organ di
bawahnya, misal tonjolan regio suprapubis terjadi karena pembesaran uterus
pada wanita atau terjadi karena retensi urin pada pria tua dengan hipertrofi
prostat atau wanita dengan kehamilan muda. Pada stenosis pilorus, lambung
dapat menjadi besar sekali sehingga pada abdomen terlihat pembesaran
setempat.

Pada kulit abdomen perlu diperhatikan adanya sikatriks akibat uIserasi


pada kulit atau akibat operasi atau luka tusuk. Adanya garis-garis putih sering
disebut striae alba yang dapat terjadi setelah kehamilan atau pada pasien yang
mulanya gernuk atau bekas asites.

Striae kemerahan dapat terlihat pada sindrom chusing. Kuilt abdornen


menjadi kuning pada berbagai macam ikterus. Adakah ditemukan garis-garis
bekas garukan yang menandakan pruritus karena ikterus atau diabetes melitus.
Pelebaran vena terjadi pada hipertensi portal Pelebaran disekitar umbilikus
disebut kaput medusae yang terclapat pada sindrom Banti. Pelebaran vena akibat
obstruksi vena kava inferior terlihat sebagai pelebaran vena dari daerah inguinal
ke umbilikus, sedang akibat obstruksi vena kava superior aliran vena ke distal

Pemeriksaan Auskultasi

Perneriksaan ini dilakukan untuk memeriks:

 suara/bunyi usus: frekuensi dan pitch meningkat pada obstruksi, menghilang


pada ileus paralitik.
 Succussion splash untuk mendeteksti obstruksi lambung
 Bruit arterial
 Venous hum pada kaput medusa.

Dalam keadaan normal bising usus terdengar lebih kurang 3 kali permenit.
Jika terdapat obstruksi usus, suara peristaltik usus ini akan meningkat, lebih lagi
pada saat timbul rasa sakit yang bersifat kolik. Peningkatan suara usus ini
disebut borborigmi. Pada keadaan kelumpuhan usus (paralisis) misal pada
pasien pasca-operasi atau pada keadaan peritonitis umum, suara ini sangat
melemah dan jarang bahkan kadang-kadang menghilang. Keadaan ini juga bisa
terjadi pada tahap lanjut dari obstruksi usus dimana usus sangat melebar dan
atoni. Pada ileus obstruksi kadang terdengar suara peristaltik dengan nada yang
tinggi dan suara logam (metallic sound).
Pemeriksaan Palpasi

Palpasi dilakukan secara sistematis dengan seksama, pertama kali tanyakan


apakah ada daerah-daerah yang nyeri tekan. Perhatikan ekspresi wajah pasien
selama pemeriksaan palpasi. Kemudian cari apakah ada pembesaran massa
tumor, apakah hati, limpa dan kandung empedu membesar atau teraba. Pada
pemeriksaan ginjal, dilakukan pemeriksaan ballotement (periksa apakah ginjal,
ballottement positif atau negatif). Palpasi dilakukan dalam 2 tahap yaitu palpasi
permukaan (superficial) dan palpasi dalam (deep palpation). Palpasi dapat
dilakukan dengan satu tangan dapat pula dua tangan (bimanual) terutama pada
pasien gemuk.

Palpasi permukaan

Posisi tangan menempel pada dinding perut. Umumnya penekanan


dilakukan oleh ruas terakhir dan ruas tengah jari-jari, bukan dengan ujung jari.
Sistematika palpasi dilakukan dengan hati-hati pada daerah nyeri yang
dikeluhkan oleh pasien.

Palpasi dalam

Palpasi dalam dipakai untuk identifikasi kelainan/rasa nyeri yang tidak


didapatkan pada palpasi permukaan dan untuk palpasi Iebih menegaskan
kelainan yang didapat pada permukaan dan yang terpenting yaitu untuk palpasi
organ secara spesifik misalnya palpasi hati, limpa, dan ginjal. Palpasi dalam
juga penting pada pasien yang gernuk atau pasien dengan otot dinding yang
tebal.

Perinci nyeri tekan abdomen antara lain, berat ringannya, lokasi nyeri yang
maksimal, apakah ada tahanan (peritonitis), apakah ada nyeri "rebound" bila tak
ada tahanan. Perinci massa tumor yang ditemukan antara lain, lokasi, dan ukuran
(diukur dalam cm), bentuk, permukaan (rata atau ireguler), konsistensi (lunak
atau keras), pinggir (halus atau ireguler), nyeri tekan, melekat pada kulit atau
tidak, melekat pada jaringan dasar atau tidak, berpulsasi (misal aneurisma aorta),
terdapat lesi-lesi satelit yang berhubungan (misal metastasis), transiluminasi
(misal kista berisi cairan) dan adanya bruit. Pada palpasi hati, mulai dari fosa
iliaka kanan dan bergerak ke atas pada tiap respirasi, jari-jari harus mengarah
pada dada pasien. Pada palpasi kandung empedu, kandung empedu yang teraba
biasanya selaiu abnormal. Pada keadaan ikterus, kandung empeduyang teraba
berarti bahwa penyebabnya bukan hanya batu kandung empedu tapi juga harus
dipikirkan karsinoma pankreas. Pada palpasi limpa, mulai dekat umbilikus, raba
limpa pada tiap inspirasi, bergerak secara bertahap ke atas dan kiri setelah tiap
inspirasi dan jika tidak teraba, ulangi pemeriksaan pasien dengan posisi
menyamping ke kiri dengan pinggul kiri dan lutut kiri ditekuk. Pada palpasi
palpasi bimanual dan pastikan dengan pemeriksaa ballottement.

Pemeriksaan Perkusi

Perkusi abdomen dilakukan dengan cara tidak langsung sama seperti pada
perkusi di rongga toraks tetapi dengan lebih ringan dan ketokan yang Iebih
penekanan yang perlahan. Pemeriksaan ini digunakan untuk:

 mendeteksi kandung empedu atau vesika urinaria, dimana suaranya redup/pekak


 menentukan ukuran hati dan limpa secara kasar
 menentukan penyebab distensi abdomen: penuh gas (timpani), massa tumor
(redup-pekak) dan asites.
 Perkusi abdomen sangat membantu dalam menentukan apakah rongga abdomen
berisi lebih banyak cairan atau udara. Dalam keadaan normal suara perkusi
abdomen adalah timpani, kecuali di daerah hati suara perkusinya adalah pekak.
Hilangnya sama sekali daerah pekak hati dan bertambahnya bunyi timpani di
seluruh abdomen harus dipikirkan akan kemungkinan adanya udara bebas
didalam rongga perut, misal pada perforasi usus. Dalam keadaan adanya asites/
cairan bebas di dalam rongga abdomen, perkusi di atas dinding perut mungkin
timpani dan di sampingnya pekak. Dengan memiringkan pasien ke satu sisi,
suara pekak ini akan berpindah-pindah (shifting dullness). Pemeriksaan shifting
dullness sangat patognomonis dan lebih dapat dipercaya dari pada memeriksa
adanya gelombang cairan. Suatu keadaan yang disebut fenomenapapan catur
(chessboard phenomen) dimana pada perkusi dinding perut ditemukan bunyi
timpani dan redup yang berpindah-pindah, sering ditemukan pada peritonitis
tuberkulosa.

Pemeriksaan jasmani organ abdomen

Hati

Pada inspeksi harus diperhatikan apakah terdapat penonjolan pada regio


hipokondrium kanan. Pada keadaan pembesaran hati yang ekstrim (misal pada
tumor hati) akan terlihat permukaan permukaan abdomen yang asimetris antara
daerah hipokondrium kanan dan kiri.

Berikut ini adalah langkah-langkah pemeriksaan hati:

a. Posisi pasien berbaring terlentang dengan kedua tungkai kanan dilipat agar
dinding abdomen lebih lentur.dinding abdomen dilemaskan dengan cara
menekuk kaki sehingga membentuk sudut 45-60º
b. Pasien diminta untuk menarik nafas panjang.
c. Pada saat ekspirasi maksimal jari ditekan ke bawah,kemudian pada awal
inspirasi jari bergerak ke kranial dalam arah parabolik.
d. Diharapkan, bila hati membesar akan terjadi sentuhan antara jari pemeriksa
dengan hati pada saat inspirasi maksimal. Palpasi dikerjakan dengan
menggunakan sisi palmar radial jari tangan kanan (bukan ujung jari) dengan
posisi ibu jari terlipat di bawah palmar manus. Lebih tegas lagi bila arah jari
membentuk 45º dengan garis median. Ujung jari terletak pada bagian lateral
muskulus rektus abdominalis dan kemudian pada garis median untuk memeriksa
hati lobus kiri.
Palpasi dimulai dari regio iliaka kanan menuju ke tepi lengkung iga kanan.
Dinding abdomen ditekan ke bawah dengan arah dorsal dan kranial sehingga
akan dapat menyentuh tepi anterior hati. Gerakan ini dilakukan berulang dan
posisinya digeser 1-2 jari ke arah lengkung iga.penekanan dilakukan pada saat
pasien sedang inspirasi. Bila pada palpasi kita dapat meraba adanya pembesaran
hati, maka harus dilakukan deskripsi sebagai berikut:

 Berapa lebar jari tangan di bawah lengkung iga kanan


 Bagaimana keadaan tepi hati.misalnya tajam pada hepatitis akut atau tumpul
pada tumor hati?
 Bagaimana konsistensinya, kenyal (normal) keras (pada tumor hati)
 Bagaimana permukaannya
 Apakah terdapat nyeri tekan.
Pada keadaan normal, hati tidak akan teraba pada palpasi kecuali pada beberapa
kasus dengan tubuh yang kurus (sekitar 1 jari). Terabanya hati 1-2 jari dibawah
lengkung iga harus dikonfirmasi apakah hal tersebut memang suatu pembesaran
hati atau karena adanya perubahan bentuk diafragma (misal emfisema paru).
Untuk menilai adanya pembesaran lobus kiri hati dapat dilakukan palpasi pada
daerah garis tengah abdomen ke arah epigastrium. Batas atas hati sesuai dengan
pemeriksaan perkusi batas paru hati (normal pada sela iga 6). Pada beberapa
keadaan patologis misal emfisema paru,batas ini akan lebih rendah sehingga
besar hati yang normal dapat teraba tepinya pada waktu palpasi.
Perkusi batas atas dan bawah hati (perubahan suara dari redup ke timpani)
berguna untuk menilai adanya pengecilan hati (misal sirosis hati). Pekak hati
menghilang bila terjadi udara bebas dibawah diafragma karena perforasi.suara
bruit dapat terdengar pada pembesaran hati akibat tumor hati yang besar.

Pemeriksaan laboratorium

- Pemeriksaan urin secara makroskopik (warna)


Warna urin Penyebab

Kuning hijau Bilirubin teroksidasi


menjadi biliverdin

Kuning coklat Biliverdin

orange Bilirubin

- Uji carik celup urin

Reaksi bilirubin dengan senyawa diazotized dichloroaniline dalam suasana


asam kuat akan menghasilkan suatu kompleks yang berwarna coklat muda
hingga merah coklat.adanya bilirubin dalam urin menunjukkan adanya
kerusakan hati, obstruksi saluran empedu. Sedangkan urobilinogen menunjukkan
adanya kerusakan hati, hemolisis, porfirinuria.

Referensi :
Longo,D.L dan Fauci S.Anthony. 2013. Harrison gastroenterologi &
Hepatologi .Jakarta: EGC ,hal 5,6 & 33.
Setiati,siti dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi VI.
Jakarta: EGC
9. Diagnosis banding

HEPATITIS AKUT

a. Infeksi virus hepatitis A akut

Epidemiologi

Angka kejadia hepatitis A akut diseluruh dunia adalah 1,5 juta kasus
pertahun, dimana diperkirakan jumlah kasus yang dilaporkan adalah 80%.
Perkiraan dari global bunder of disease (GBD) dari WHO diperkirakan terdapat
puluhan juta individu terinfeksi pertahunnya diseluruh dunia. Infeksi virus
hepatitis A yang endemis tinggi terdapat pada negara dengan sanitasi yang burk
dan kondiisi si=osial ekonomi yang rendah, dimana infeksi biasanya terjadi pada
usia kurang dari 5 tahun. Infeksi virus hepatitis A tersebar diseluruh dunia,
dengan angka endemisitas terklasifikasi menjadi sangat rendah (estimasi indens
kurang dari 5 kasus per 10%), rendah (5-15 kasus per 105), intermediet (15-150
kasus per 105) dan tinggi (lebih dari 150 kasus per 105).

Perubahan epidemiologi infeksi virus hepatitis A mengalami perubahan, dimana


pada Negara berkembang, infeksi terjadi pada usia anak-anak, remaja, hingga
dewasa, sedangkan pada Negara maju, dengan endemisitas rendah, infeksi virus
hepatitis A pada umumnya terjadi pada usiadewasa (30 tahun keatas). Meskipun
demikian, case fatality rate pasien dewasa dengan hepatitis A lebih tinggi bila
dibandingkan dengan usia yang lebih muda.

Pathogenesis

Infeksi virus hepatitis A terutama menularmelalui jalur fekal-oral,


demikian pula dengan air dan makanan yang terkontaminasi. Kerang-kerangan
mempunyai kemampuan mencerna dan menghasilkan virus hepatits A yang
terkonsentrasi, sehingga dapat menjadi sumber penularan virus. Transmisi
terjadi terutama melalui kejadian luar biasa (transmisi melalu makanan dan
minuman) dan kontak dari orang ke orang. Pada cairan tubuh, virus hepatitis A
terkonsentrasi sebagian besar pada feses, serum dan air liur. Virus hepatitis A
sangat jarang ditransmisikan oleh produk darah atau prosedur medirs. Virus
hepatitis A terdapat feses selama 3-6 minggu selama masa inkubasi, dapat
memanjang pada fase kerusakan hepatoselular pada pasien yang simptomatik
maupun yang asimptomatik. Penempelan virus paling maksimal terjadi pada saat
kerusakan hepatoselular, selama periode dimana individu yang terinfeksi berada
pada fase yang paling infeksius.

Virus hepatitis A sangat stabil pada lingkungan dan bertahan hidup pada
suhu 60 derajat selama 60 menit, tetapi menjadi tidak aktif pada suhu 81 derajat
setelah pemanasan 10 menit. Virus hepatitis A dapat bertahan hidup pada feses,
tanah, makanan dan air terkontaminasi. Virus hepatitis A resisten terhadap
detergen dan pH yang rendah selama transisi menuju lambung. Selama dicerna
disaluran pencernaan, virus hepatitis A berpenetrasi kedalam mukosa lambung
dan mulai bereplikasi di kripti sel epitel intestine dan mencapai hati melalui
pembuluh darah portal.

Sebagian kultur sel yang mengandung strain virus hepatitis A


menunjukkan strain virus hepatitis A yang sitopatik, tetapi virus hepatitis A
wild-type bersifat non-sitopatik pada hepatosit manusia yang terinfeksi.
Mekanisme interaksi antara sel virus dengan pejamu belum sepenuhnya
diketahui. Studi lainnya menunjukkan virus hepatitis A masuk ke hepatosit
sebagai kompleks virus- IgA melalui reseptor asialoglikoprotein hepatoselular.
Setelah masuk ke dalam sitoplasma hepatosit, virus tersebut bereplikasi di hati
dan menempel pada feses melalui kanalikuli bilier dan dalam aliran darah dalam
jumlah yang lebih sedikit.

Infeksi virus hepatitis A berhubungan dengan respon imun selular, yang


berperan dalam imunopatogenesis infeksi virus hepatitis A dan induksi
kerusakan hepatosit. Kerusakan hepatosit terjadi melalui melalui aktivasi sel T
sitotoksik spesifik terhada virus hepatitis A. dari hasil hepatosit yang terinfeksi,
yang didapatkan dari biopsi, menunjukkan adanya sel T CD8+ yang secera
spesifik dapat melisiskan virus hepatitis A. terbatasnya bukti keterlibatan system
imun alami (innate immunity) pada infeksi virus hepatitis A menunjukkan
sekresi interferon gamma melalui sel T yang teraktivasi, yang memfasilitasi
ekspresi HLA kelas I determinan pada permukaan hepatosit yang terinfeksi.
Epitope sel T sitolitik pada protein structural virus hepatitis A dapat terlibat pada
proses sitolitik hepatosit yang terinfeksi virus hepatitis A.

Gambaran klinis

Masa inkubasi virus hepatitis A biasanya 14-28 hari, bahkan sampai 50


hari. Gejalanya muncul selama virus hepatitis A akut berhubungan dengan usia
pasien. Gejala prodromal hepatitis akut adalah lemas, cepat lelah, anoreksia,
muntah, rasa tidak nyaman pada abdomen, diare, dan pada stadium lanjutan dan
tidak umum, dapat dijumpai demam, sakit kepala, arthralgia, dan mialgia. Gejala
prodromal biasanya hilang seiring dengan munculnya icterus.

Lima pola klinis infeksi hepatitis A adalah: 1. Infeksi hepatitis A asimptomatik,


biasanya terjadi pada anak- anak usia dibawah 5-6 tahun; 2. Infeksi virus
hepatitis A simptomatik dengan urine berwarna seperti teh dan feses berwarna
dempul, biasanya disertai icterus; 3. Hepatitis kolestasis yang ditandai dengan
pruritus, peningkatan jangka panjang dan alkaline fosfatase, gamma glutamyl
transpeptidase, hiperbilirubinemia dan penurunan berat badan; 4. Hepatitis A
relaps yang bermanifestasi kembali munculnya sebagian atau seluruh tanda
klinis, penanda biokimia virus dan penanda serologi infeksi virus hepatitis A
akut setelah resolusi inisial; 5. Hepatitis fulminant yang jarang terjadi dan dapat
hilang spontan, tetapi juga dapat fatal bahkan sampai membutuhkan
transplantasi hati. Pola klinis infeksi hepatitis A berupa kelostasis, relaps dan
fulminant merupakan pola klinis yang jarang terjadi.

Berdasarkan beberapa sumber, tanda paling sering yang ditemukan pada


pemeriksaan fisik adalah hepatomegali (78%) dan icterus (71%) pada pasien
dewasa yang simptomatik.

Tata laksana infeksi hepatitis A akut

Terapi simptomatik dan hidrasi yang adekuat sangat penting pada penata
laksanaan infeksi hepatitis A akut. Penggunaan obat yang potensial bersifat
hepatotoksik sebaiknya dihindari, misalnya parasetamol. Pencegahan penulasan
penyakit infeksi virus hepatitis A dapat dilakukan dalam beberapa cara, yaitu
pemberian immunoglobulin, vaksinasi, kondisi higienis yang baik, seperti cuci
tangan dan desinfeksi.

Sampai saat ini pemberian immunoglobulin merupakan cara utama untuk


mencegah infeksi virus hepatitis A pada individu yang sangat rentan dengan
paparan, maupun orang yang baru terkena paparan infeksi virus hepatitis A.
Imunisasi ini bermanfaat untuk pencegahan infeksi pada orang yang bepergian,
pekerja militer, bahkan profilaksis pasca paparan virus hepatitis A.

Pemberian immunoglobulin hepatitis A direkomendasikan untuk


individu pasca paparan virus hepatitis A dan individu yang belum divaksin
hepatitis A yang berisiko terpapar virus hepatitis A selama kurang dari dua
inggu. Immunoglobulin juga direkomendasikan sebagai profilaksis untuk
individu yang belum terpapar, dimana individu tersebut tidak dapat menerima
vaksin akibat alergi terhadap komponen vaksin.

Profilaksis pasca paparan direkomendasikan untuk individu yang


terpapar dalam waktu kurang dari 2 minggu sebelum imunisasi. Kontak personal
yang erat dengan pasien yang diduga dalam masa inkubasi infeksi hepatitis A
juga merupakan indikasi pemberian profilaksis.

Immunoglobulin diberikan secara intramuscular dosis tunggal sebanyak


0,02-0,06% ml/kg. dosis yang rendah efektif untuk proteksi selama 3 bulan,
sedangkan pada dosis yang lebh tinggi efektif selama 6 bulan. Hasil pemberian
immunoglobulin adalah serokonfersi, yang didefinisikan sebagai terbentuknya
antibody yang bersifat protektif setelah pemberian immunoglobulin. Pada
umumnya, kadar yang dianggap protektif adalaj 10-20 mIU, yang biasanya
timbul setelah 2 bulan pasca pemberian.

Contoh vaksin yang tersedia dipasaran saat ini adalah vaksin yang
diproduksi oleh Glaxo Smith Kline (Havrix) dan Merck yang memproduksi
Vaqta. Kedua vaksin tersebut diproduksi dari virus yang menginfeksi fibroblast.
Vaksin diberikan dalam 2 dosis secara intramuscular dengan selang waktu 6-18
bulan. Pemberian Havrix dosis tunggal dapat memberikan efek proteksi sampai
1 tahun, tetapi proteksi permanen diperoleh dengan memberikan vaksin dosis
kedua dalam 6-12 bulan. Efek samping yang dapat timbul meliputi nyeri pada
tempat suntikan (terjadi pada 50% kasus) dan sakit kepala (6-16%). Efek
samping yang berat dapat berupa reaksi anafilaksis dan Sindrom Guilain- Barre.

Kadar antibibodi yang dihasilkan dari imunisasi biasanya 10-100 kali


lebih rendah daripada pasca infeksi alamiah dan dapat lebih rendah daripada
batas ambang pemeriksaan diagnostic. Namun Havrix dan Vaqta memberikan
antibody lebih dari 10-20 mIU/ml. efek proteksi dibentuk dibentuk dalam 1
bulan setelah pemberian dosis inisial pada 90-100% individu dan hamper semua
individu mencapai kadar antibody yang protektif satu bulan setelah pemberian
dosis kedua.

Kontra indikasi pemberian vaksin hepatitis A adalah individu dengan


alergi terhadap vaksin atau komponen dari vaksin. Perhatian khusus perlu
dipertimbangakan pada individu dengan penyakit akut derajat sedang dan berat,
serta pada kehamilan karena sampai saat ini keamanan vikasin hepatitis A untuk
ibu hamil belum dapat dibuktikan.

b. Infeksi virus hepatitis B akut

Infeksi virus hepatitis B merupakan masalah kesehatan kesehatan di


dunia. Sebanyak 2 juta orang di dunia terinfeksi virus ini, dengan 450 juta
mengalami infeksi kronik. Sebanyak 1 juta sampai 500 juta pasien dengan
hepatitis B meninggal setiap tahunnya. Hepatitis Bmenyumbang 80% penyebab
terjadinya karsinoma hepatoseluler primer dan menduduki peringkat kedua
setelah rokok sebagai penyebab kanker.

Pathogenesis

Selain transmisi vertical, virus hepatitis B dapat di transmisikan dengan


efektif melalui cairan tubuh, perkutan, dan melalui membrane mukosa. Hepatitis
B terkonsentrasi dalam jumlah tinggi dalam cairan tubuh berupa darah, serum,
dan eksudat luka. Sementara itu konsentrasi yang sedang terdapat pada seme,
cairan vagina dan air liur. Konsentrasi yang rendah/tidak ada dijumpai pada urin,
feses, keringat, air mata dan ASI.

Penularan yang lebih rendah dapat terjadi melalui kontak dengan karier
hepatitis B, hemodialysis, paparan terhadap pekerja kesehatan yang terinfeksi,
alat tato, alat tindik, hubungan seksual, dan inseminasi buatan. Selain itu
penularan juga dapat terjadi melalui transfuse darah dan donor organ. Hepatitis
Bdapat menular dapat menular melalui pasien dengan HBsAg yang negative
tetapi anti–HBc positif, karena adanya kemungkinan DNA virus hepatitis B yang
bersirkulasi, yang dapat dideteksi dengan PCR (10-20% kasus). Virus hepatitis
B 100x lebih infeksius pada pasien denga infeksi HIV dan 10x lebih infeksius
pada pasien hepatitis C. adanya HBeAg yang positif mengindikasikan resiko
transmisi virus yang tinggi.

Pathogenesis infeksi virus hepatitis melibatkan respon imun humoral dan


seluler. Virus bereplikasi di dalam hepatosit, dimana virus tersebut tidak bersifat
sitopatik, sehingga yang membuat kerusakan sel hati dan manifestasi klinis
bukan disebabkan oleh virus yang menyerang hepatosit, tatapi oleh karena
respon imun yang dihasilkan oleh tubuh. Respon antibodi terhadap antigen
permukaan berperan dalam eliminasi virus. Respon sel T terhadap selubung,
nukleokapsid, dan antigen polymerase berperan dalam eliminasi sel yang
terinfeksi.

Gambaran klinis dan penunjang infeksi virus hepatitis B akut

Masa inkubasi virus hepatitis B adalah 1-4 bulan. Setelah masa inkubasi,
pasien masuk kedalam periode prodromal, dengan gejala konstitusional berupa
malaise, anoreksia, mual, muntah, myalgia, dan mudah lelah. Pasien dapat
mengalami perubahan rasa pada indera pengecap perubahan sensasi bau-bauan.
Sebagian pasien dapat mengalami nyeri abdomen kuadran kanan atau nyeri
epigastrium intermiten yang ringan sampai moderat.
Demam lebih jarang terjadi pada pasien dengan infeksi hepatitis B dan
D, bila dibandingkan dengan infeksi hepatitis A dan E. namun demam dapat
terjadi pada pasien dengan serum sickness like syndrome, dengan gejala berupa
demam, kemerahan pada kulit, arthralgia, dan artritis. Serum sickness-like
syndrome terjadi pada 10-20% pasien. Gejala diatas terjadi pada umumnya 1-2
minggu sebelum terjadi icterus. Sekitar 70% pasien mengalami hepatitis
subklinis atau hepatitis anikterik. Hanya 30% pesien yang mengalami hepatitis
dengan icterus. Pasien dapat mengalami ensefalopati hepatikum dan kegagalan
multiorgan bila terjadi gagal hati fulminan.

Tata laksana

Infeksi virus hepatitis B tidak membutuhkan terapi antiviral. Terapi yang


diberikan hanya terapi suportif dan simptomatik karena sebagian besar infeksi
hepatitis B akut pada dewasa dapat sembuh spontan. Pencegahan terhadap
infeksi virus hepatitis B dilakukan melalui vaksinasi. Pencegahan infeksi
menggunakan imunisasi pasif yaitu pemberian immunoglobulin tidak mencegah
infeksi, melainkan mengurangi frekuensi penyakit klinis.

Pemberian vaksinasi dibedakan menjadi pencegahan sebelum pajanan


dan setelah pajanan. Profilaksis sebelum pajanan terhadap infeksi hepatitis B
pada umumnya diberikan kepada pekerja kesehatan, pasien hemodialisis dan staf
yang bertugas, penggunaan obat-obatan jarum suntik, pasien dengan partner
seksual yang lebih dari satu, pasien yang tinggal di area yang sangat endemik,
maupun yang berumur dibawah 18 tahun yang belum mendapatkan vaksinasi.

Pemberian yang dilakukan secara intramuscular di daerah deltoid


sebanyak 3 kali pada 0, 1, dan 6 bulan, dengan dosis bervariasi, tergantung jenis
vaksinasi. Pemberian vaksin dimulai dari anak-anak di daerah hiperendemis
seperti Asia, menurunkan 10-15 tahun infeksi hepatitis B dan komplikasinya.
Vaksinasi hepatitis B melindung 80-90% pasien selama sekurangnya 5 tahun
dan 60-80% selama 10 tahun.
Vaksinasi pasca pajanan tehadap hepatitis B merupakan kombinasi
antara HBIG (Hepatitis B immunoglobulin G) dan vaksin hepatitis B. keduanya
memiliki tujuan masing-masing yaitu HBIG untuk mencapai titer anit-HBs yang
tinggi dan vaksin hepatitis B untuk mencapai imunitas yang tahan lama.
Pemberian HBIG diberika single dose 0,06 ml/kgBBdan diberikan secara
intramuscular dalam waktu maksimal 14 hari setelah pajanan. Pemberian
vaksinasi dan HBIG dapat dilakukan bersamaan namun pada tempat yang
berbeda.

c. Infeksi virus hepatitis C akut

Infeksi virus hepatitis C pertama kali ditemukan pada tahun 1980-an.


Data publikasi pertama diterbitkan pada tahun 1989, dimana pasien yang
terinfeksi virus hepatitis non-A, non-B, terinfeksi oleh virus hepatitis C. data
WHO pada tahun 2004 menunjukkan bahwa 2,2% penduduk dunia terinfeksi
virus hepatitis C. sampai saat ini terdapat 6 genotipe hepatitis C dan lebih dari 50
subgenotipe telah teridentifikasi.

Gambaran klinis dan penunjang infeksi virus hepatitis C akut

Setelah paparan perkutan virus hepatitis C, viremia terjadi pada sebagian


besar kasus dalam hitungan hari. Sebagian pasien dapat mengalami gejala
prodromal tipikal berupa flu-like syndrome, tetapi sebagian besar kasus
asimptomatik. Sebagian kasus dapat mengatasi infeksi tanpa anti HCV atau
respon kuat dari sel-T. biasanya respon sel T lebih kuat pada pasien infeksi virus
hepatitis C yang dapat mengeredikasi virus secara spontan.

Infeksi virus hepatitis C yang baru paling baik di identifikasi melalui


surveilans orang dengan resiko terjadinya infeksi virus hepatitis C akut karena
sebagian besar pasien yang mengalami gejala, atau icterus, atau keduanya
selama infeksi akut.

Penyembuhan spontan dalam waktu 6 bulan terjadi pada 20-50% pasien.


Penyembuhan spontan tersebut juga berhubunga dengan penemuan klinis,
dimana pasien dengan icterus biasanya lebih mudah sembuh spontan. Kekuatan
respon imun terhadap hepatitis C berperan dalam control infeksi.

Tata laksana infeksi virus hepatitis C akut

Seperti halmya infeksi virus hepatitis lainnya, tata laksana infeksi hepatitis C
akut adalah suppportif dan simptomatik.

d. Infeksi Virus Hepatitis D Akut

Epidemiologi

Infeksi virus hepatitis D endemik pada tahun 1980 pada banyak area di
dunia. Frekunsi yang lebih tinggi terjadi pada area tropis dan subtropis yang
mempunyai prevalensi infeksi virus hepatitis b. Karena dalam 20 tahun terakhir
infeksi virus hepatitis B mulai dapat ditanggulangi, maka infeksi hepatitis D juga
menurun secara signifikan.

Patogenesis infeksi virus hepatitis D akut

Virus hepatitis D ditransmisikan dengan bantuan virus hepatitis B. Virus


hepatitis D paling banyak ditransmisikan melalui penggunaan obat- obatan
intravena dengan jarum yang tidak steril.Efisiensi trnsmisi virus hepatitis D
terutama bergantung pada status HbsAg carrier dan individu yang ditularkan
pada orang normal (HbsAg negatif), infeksi virus hepatitis D tidak dapat
ditransmisikan, kecuali pada pasien sebelumnya telah terinfeksi virus hepatitis
B. Pada keadaan ini infeksi hepatitis D terjadi simultan bersamaan dengan
infeksi virus hepatitis D . efisiensi dari transmisi tergantung pada titer infeksius
dari hepatitis B. Pada pasien dengan HbsAg positif, adanya infeksi hepatitis B
tersebut akan mempermudah aktivasi virus hepatitis D, dan infeksi tersebut akan
terjadi dengan cepat , hal tersebut dinamakan superinfeksi virus hepatitis D pada
infeksi virus hepatitis B. Carrier virus hepatitis B dapat juga menjadi carrier
hepatitis D.

Gambaran klinis dan penunjang infeksi virus hepatitis D akut

Adanya papara virus hepatitis D pada pasien yang imunokompeten, pasien


tersebut akan meningkatkan konsentrasi antibodi Ig G terhadap HDAg (anti-HD)
respons antibodi tersebut dapat berkurang pada pasien yang imunokompromais,
terutama pada pasien dengan infeksi HIV deteksi anti- HD merupakan langkah
pertama dalam diagnosis infeksi hepatits D, deteksi anti – HD tersebut sebaiknya
dilakukan pada pasien carrier HBsAg dengan gangguan hati.

Deteksi HDAg intrahepatik melalui pemeriksaan


imunohistokimiamerupakan standar awal untuk diagnosis pemeriksaan tersebut
terbatas karena pada biopsi hati hanya bisa terdeteksi pada 50 % pasien yang
mengalami infeksi virus hepatitis D selain itu, pemeriksaan tersebut tidak
terdeteksi pada pasien fibrosis hati lanjut.

Adanya HDV-RNA pada serum menggunakan PCR merupakan


pemeriksaan yang paling sensitif dan paling spesifik hepatitis D. Namun, kadar
viremia hepatitis D tidak berkolerasi dengan beratnya penyakit hepatitis D.
Pemeriksaan real-time PCR kuantitatif digunakan untuk pasien yang menjalani
terapi, dimana penurunan kadar HDV-RNA (dan HBsAg) selama awal terapi
dapat memprediksi respon terhadap terapi interferon.

Bila pemeriksaan HDV-RNA sulit dilakukan, maka pemeriksaan IgM anti-


HDV dapat digunakan untuk pemantauan infeksi hepatitis D. Antibodi tersebut
meningkat dengan titer tingi bersamaan dengan anti- HD selama infeksi hepatits
D akut ,kemudian menurun dalam beberapa minggu pada pasien yang
mengalami perbaikan infeksi, sementara antibodi Ig G dapat bertahan selama
beberapa waktu.Ig M anti HDV tetap berada pada titer tinggi bersama dengan
antibodi IgG pada pasien hepatitis D yang progresif menjadi infeksi
kronik.turunnya titer IgM anti-HD berkolerasi dengan respon terhadap antivirus.
Antibodi IgG terhadap HDAg dapat bertahan di serum sebagai penanda serologi
pada infeksi virus hepatitis D di masa lalu, pada pasien dengan HBsAg positif
maupun HBsAg negatif.

Tata laksana infeksi virus hepatitis D akut

Masalah yang dijumpai pada terapi infeksi virus hepatitis D adalah tidak
adanya fungsi enzimatik spesifik pada virus yang dapat menjadi target
terapi.virus hepatitis d bergantung pada HbsAg dan bukan terhadap replikasi
virus hepatitis B. Sehingga sintesisnya tidak dipengaruhi oleh kadar HBV-DNA
dalam serum. Sekresi virus hepatitis D in vitro dan kadar HBV-RNA in vivo
berkolerasi langsung dengan kadar HBsAg serum, bukan dengan titer HBV-
DNA.

Interaksi antara virus hepatitis B dan hepatitis D dan adanya fakta bahwa
sebagian pasien yang terinfeksi hepatitis D mempunyai virus hepatitis B yang
secara spontan mengalami represi, menjelaskan mengapa antivirus sintetik
terhadap virus hepatitis B tidak bermanfaat.

Tidak terdapat perbaikan klinis dan virologis pada pasien yang terinfeksi
virus hepatitis D yang mendapatkan terapi famciclovir , lamivudin, adefovir, dan
ribavirin, baik berupa monoterapi maupun terapi kombinasi dengan interferon,
pada infeksi hepatitis D kronik, terapi yang digunakan adalah inteferon.
Vaksinasi hepatitis B dapat mencegah infeksi hepatitis D. Sampai saat ini vaksin
hepatitis D belum ditemukan.

e. Infeksi Virus Hepatitis E Akut

Epidemiologi infeksi virus hepatitis E akut

Infeksi virus hepatitis E merupakan virus RNA yang menyebabkan


infeksi yang bersifat akut, dapat sembuh spontan pada pasien yang
imunokompeten, tetpi dapat juga menyebabkan infeksi kronik pada pasien yang
imunokompromais.jalur penularan infeksi virus hepatitis E adalah melalui jalur
enteral. Laporan pertama kejadian infeksi virus hepatitis E dimulai dari india
pada tahun 1955-1956.
Patogenesis infeksi virus hepatitis E akut

Infeksi virus hepatitis E dapat ditularkan melalui 4 jalur transmisi: (1)


melalui air: (2) melalui makanan, konsumsi daging yang mentah atau kurang
matang, yang berasal dari hewan yang terinfeksi; (3) transmisi melalui darah
atau parenteral; (4) transmisi vertikal dari ibu ke janin.

Infeksi virus hepatitis E dapat ditularkan melalui jalur fekal


oral.transmisi infeksi virus hepatitis E dari orang ke orang, baik pada kasus
epidemik maupun sporadis jarang terjadi, namun, penyebab hal tersebut belum
diketahui. Transmisi virus hepatitis E dari ibu ke janin telah dilaporkan.

Patogenesis infeksi virus hepatitis E dibagi menjadi masa inkubasi, fase


replikasi, fase progresivitas penyakit. Masa inkubasi dari onset paparan sampai
muncul gejala klinis kurang lebih 28- 40 hari. Pada studi eksperimental transmisi
virus hepatitis E pada manusia, enzim hati meningkat mencapai puncak pada 42-
46 hari setelah masuknya virus ke dalam tubuh.

Pengetahuan tentang replikasi virus hepatitis E terbatas karena


kurangnya sistem kultur sel untuk virus, karena virus hepatitis E tidak dapat
bereplikasi baik dalam kultur sel, mekanisme patogenesis dan replikasi virus
hepatitis E kurang dipahami. Target utama virus hepatitis E adalah hepatosit.
Virus hepatitis E ditemukan di dalam plasma dalam jumlah kecil selama infeksi,
empedu merupakan sumber utama ditemukannya virus hepatitis E di feses

Masa nikubasi pada manusi setelah paparan virus hepatitis E melalui


jalur oral adalah 4-5 minggu.virus hepatitis E pertama kali dideteksi di feses
kurang lebih 1 minggu sebelum onset penyakit dan bertahan selama beberapa
minggu,pada sebagian pasien dapat bertahan selama 52 hari. HEV-RNA yang
positif pada serum ditemukan antara 4- 16 minggu. Infeksi melalui jalur
parenteral mempunyai titer virus yang lebih tinggi dibandingkan transmisi per
oral.
Ekspresi antigen hepatitis E (HEAg) di hepatosit menunjukkan adanya
replikasi virus, yang muncul pada 7 hari setelah infeksi. HEAg dapat ditemukan
secara simultan di hepatosit,empedu, dan feses selama minggu kedua atau ketiga
setelah inokulasi, dan sebelum atau bersamaan dengan peningkatan kadar ALT
dan perubahan histopatologi pada hati. Antigen dapat dideteksi pada 70-90 %
hepatosit pada puncak ekspiresi dan mulai turun setelah aktivitas puncak ALT
telah tercapai.

Puncak penempelan virus ke dalam darah dan empedu terjadi sebelum


onset klinis muncul. Onset gambaran klinis biasanya muncul secara kebetulan
bersamaan dengan munculnya respon imun humoral pertama kali terdeteksi,
menurunnya replikasi virus dan mulainya resolusi dari infeksi. Baik IgG anti-
HEV dan IgM anti-HBE biasanya dapat dideteksi pada saat saat enzim hati
mulai meningkat dan patologi hati dapat diidentifikasi.

Antibodi IgG muncul sesaat setelah munculnya IgM dan titernya


meningkat selama fase akut sampai fase konvalesens, bertahan tinggi sejak 1-5
tahun setelah penyakit mengalami resolusi. Kadar IgG berkurang lebih cepat
dibandingkan kadar antibodi terhadap hepatitis A. Anti HEV telah dideteksi
sampai 13-14 tahun setelah infeksi, namun adanya kemungkinan paparan ulang
tidak boleh diabaikan.Ig A anti- HEV dapat dideteksi pada 50 % serum pasien
yang terinfeksi secara alami. Kadar antibodi ini sangat cepat menurun sampai
kadar yang tidak terdeteksi. Namun, peran antibodi ini belum diketahui. Karena
imunisasi pasif dengan Ig G sudah cukup untuk proteksi, nampaknya Ig A
menjadi tidak esensial.

Infeksi virus hepatitis E dapat sembuh sendiri tanpa sekuele kronik.


namun, laporan akhir-akhir ini menunjukkan adanya bukti infeksi hepatitis E
kronik pada pasien yang menjalani transplantasi.mortalitas infeksi hepatitis E
berkisar 0,2 – 1 % pada populasi umum. Peningkatan morbiditas dan mortalitas
terjadi pada pasien hepatitis E ysng mengalami superinfeksi dengan penyakit
hati kronik lainnya.
Gambaran klinis

Gambaran yang paling sering dijumpai adalah akut yang ikterik, yang
terdiri dari dua fase: (1) fase prodromal dan fase preikterik, (2) fase ikterik. Fase
prodromal berlangsung selama 1-4 hari, yang mempunyai gejala flu-like
symptoms, yang terdiri dari demam, menggigil,nyeri
abdomen,anoreksia,mual,muntah,diare,artralgia,astenia, dan ruam urtikaria.
Gejala- gejala tersebut diikuti dengan keluhan ikterus dalam waktu beberapa
hari, fase ikterus biasanya dimulai dengan adanya urin yang berwarna coklat
seperti teh,yang dapar disertai pruritus atau warna feses yang menjadi pucat.
Pada onset terjadinya ikterus, demam dan gejala lainnya berkurang, bahkan
dapat sembuh sempurna , kecuali untuk gejala gastrointestinal biasanya masih
menetap.pada pemeriksaan fisis ditemukan adanya ikterus,hepatomegali ringan,
dan pada 25 % kasus dapat ditemukan splenomegali.

Sebagian pasien yang terinfeksi hepatitis E akut dapat mempunyai gejala


yang non spesifik,yang mirip dengan pasien dengan demam akibat infeksi virus
lainnya tanpa ikterus(hepatitis anikterik).

Tatalaksana infeksi virus hepatitis E akut

Seperti halnya infeksi virus hepatitis akut lainnya, tata laksana infeksi
hepatitis E akut adalah suportif dan simptomatik.

SIROSIS HATI

DEFINISI

Sirosis hati merupakan tahap akhir proses difus fibrosis hati progresif
yang ditandai oleh distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul regeneratif.
Gambaran morfologi dari SH me!iputi fibrosis difus, nodul regeneratif,
perubahan arsitektur lobular dan pembentukan hubungan vaskular intrahepatik
antara pembuluh darah hati aferen (vena porta dan arteri hepatika) dan eferen
(vena hepatika).
Secara klinis atau fungsional SH dibagi atas :1. Sirosis hati kompensata
dan 2. Sirosis hati dekompensata, disertai dengan tanda-tanda kegagalan
hepatoselular dan hipertensi porta.

EPIDEMIOLOGI

Sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada penderita


yang berusia 45- 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskular dan kanker).
Diseluruh dunia SH menempati urutan ketujuh penyebab kematian. Penderita
SH lebih banyak jika dibandingkan dengan wanita rasionya sekitar 1,6 : 1. Umur
rata-rata penderitanya terbanyak golongan umur 30 - 59 tahun dengan
puncaknya sekitar umur 40 - 49 tahun. Insidens SH di Amerika diperkirakan 360
per-100.000 penduduk, Penyebab SH sebagaian besar adalah penyakit hati
alkoholik dan non alkoholik steatohepatitis serta hepatitis C. Di Indonesia data
prevalensi penderita SH secara keseluruhan belum ada. Di daerah Asia
Tenggara, penyebab utama SN adalah hepatitis (HBV) dan C (HCV). Angka
kejadian SH di Indonesia akibat hepatitis B berkisar antara 21,2-46,9% dan
hepatitis C berkisar 38,7 73,9%.

PATOGENESIS

Sirosis hepatis terjadi akibat adanya cidera kroniki-reversibel pada


parenkim hati disertai timbulnya jaringan ikat difus (akibat adanya cidera
fibrosis), pembentukan nodul degeneratif ukuran mikronodul sampai
makronodul. Hal ini sebagai akibat adanya nekrosis hepatosit, kolapsnya
jaringan penunjang retikulin, disertai dengan deposit jaringan ikat, distorsi
jaringan vaskular berakibat pembentukan vaskular intra hepatik antara pembuluh
darah hati eferen ( vena porta dan arteri hepatika) dan eferen (vena hepatika),dan
regenerasi nodular parenkim hati sisanya. Terjadinya fibrosis hati disebabkan
adanya aktivasi dari sel stellate hati. Aktivasi ini dipicu oleh faktor pelepasan
yang dihasilkan hepatosit dan sel Kupffer. Sel stellate merupakan sel penghasil
utama matrix ekstraselular (ECM) setelah terjadi cedera pada hepar.
Pembentukan ECM disebabkan adanya pembentuk jaringan mirip fibroblast
yang dihasilkan sel stellate dan dipengaruhi oleh beberapa sitokin seperti
transforming growth factor p (TGF- β) dan tumor necrosis factors (TN F α).

Deposit ECM di space of Disse akan menyebabkan perubahan bentuk


dan memacu kapilarisasi pembuluh darah. Kapilarisasi sinusoid kemudian
mengubah pertukaran normal aliran vena porta dengan hepatosit, sehingga
material yang seharusnya dimetabolisasi oleh hepatosit akan langsung masuk ke
aliran darah sistemik dan menghambat material yang diproduksi hati masuk ke
darah. Proses ini akan menimbulkan hipertensi portal dan penurunan fungsi
hepatoselular.

PENYEBAB

Penyebab SH bermacam-macam, kadang lebih dari satu sebab ada pada


satu penderita. Di negara barat alkoholisme kronik bersama virus hepatitis C
merupakan penyebab yang sering dijumpai .

Penyebab SH :

 Penyakit hati alkoholik (alcoholic Liver disease/ALD)


 Hepatitis C kronik
 Hepatitis B kronik dengan/atau tanpa hepatitis Steato hepatitis non alkoholik
(NASH), hepatitis tipe ini dikaitkan dengan DM, malnutrisi protein, obesitas,
penyakit arteri koroner, pemakaian obat kortikosteroid.
 Sirosis bilier primer
 Kolangitis sklerosing primer
 Hepatitis autoimun
 Hernokromatosis herediter
 Penyakit Wilson
 Defisiensi Alpha 1-antitrypsin
 Sirosis Kardiak
 Galaktosemia
 Fibrosis kistik
 Hepatotoksik akibat obat atau toksin
 Infeksi parasit tertentu (Schistomiosis)

MANIFESTASI KLINIS

Perjalanan penyakit SH lambat, asimtomatis dan seringkali tidak


dicurigai sampai adanya komplikasi penyakit hati. Banyak penderita ini sering
tidak terdiagnosis sebagai SH sebelumnya dan sering ditemukan pada waktu
autopsi. Diagnosis SH asimtomatis biasanya dibuat secara insidental ketika tes
pemeriksaan fungsi hati (transaminase) atau penemuan radiologi , sehingga
kemudian penderita melakukan pemeriksaan lebih lanjut dan biopsi hati.
Sebagian besar penderita yang datang ke klinik biasanya sudah dalam stadium
dekompensata, disertai adanya komplikasi seperti perdarahan varises, peritonitis
bakterial spontan, atau ensefalopati hepatis. Gambaran kiinis dari penderita SH
adalah mudah lelah, anoreksi, berat badan menurun, atropi otot, ikterus, spider
angiomata, spienomegali, asites, caput medusae, palmar eritema, white
nalls,ginekomasti, hilangnya rambut pubis dan ketiak pada wanita, asterixis
(flapping tremor), foetor hepaticus, dupuytren's contracture (sirosis akibat
alkohol) .

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium

Tes laboratorium pada Sirosis Hati


Jenis pemeriksaan Hasil
Aminotransferase: ALT dan AST Normal atau sedikit meningkat
AST Alkali fosfatase /ALP Sedikit meningkat
Gamma-glutamil transferase: yGT Korelasi dengan ALP, spesifik khas akibat
alkohol sangat meningkat
Bilirubin Meningkat pada SH lanjut prediksi penting
mortalitas
Albumin Menurun pada SH lanjut
Globulin Meningkat terutama IgG
Waktu Prothrombin Meningkat / penurunnan produksi faktor
V/VII dari hati
Natrium darah Menurun akibat peningkatan ADH dan
aldosteron
Trombosit Menurun (hipersplenism)
Lekosit dan netrofil Menurun (hipersplenism)
Anemia Makrositik, normositik dan mikrositik

Pemeriksaan laboratorium lain untuk mencari penyebabnya :

 Serologi virus hepatitis


- HBV : HbSAg, HBeAg, Anti- HBc, HBV-DNA
- HCV : Anti- HCV, HCV-RNA
 Auto antibodi (ANA, ASM, Anti-LKM) untuk autoimun hepatitis
 Saturasi transferin dan feritinin untuk hemokromatosis
 Ceruloplasmin dan Copper untuk penyakit Wilson
 Alpha 1-antitrypsin
 AMA untuk sirosis bilier primer
 Antibodi ANCA untuk kolangitis sklerosis primer
2. Radiologi
 Ultrasonografi (USG) untuk mendeteksi SH kurang sensitif namun cukup
spesifik bila penyebabnya jelas.Gambaran USG memperlihatkan ekodensitas
hati meningkat dengan ekostruktur kasar homogen atau heterogen pada sisi
superficial, sedang pada sisi profunda ekodensitas menurun. Dapat dijumpai pula
pembesaran lobus caudatus, splenomegali, dan vena hepatika gambaran
terputus-putus. Hati mengecil dan dijumpai splenomegali, asites tampak sebagai
area bebas gema (ekolusen) antara organ intra abdominal dengan dinding
abdomen.
 Pemeriksaan MRI dan CT konvensional bisa digunakan untuk menentukan
derajat beratnya SH, misal dengan menilai ukuran lien, asites dan kolateral
vascular.

3. Endoskopi

Gastroskopi dilakukan untuk memeriksa adanya varises di esofagus dan gaster


pada penderita SH. Selain untuk diagnostik juga, dapat pula digunakan untuk
pencegahan dan terapi perdarahan Varises.

PENANGANAN SIROSIS HATI

Sirosis hati secara klinis fungsional dibagi atas :

1. Sirosis hati kompensata


2. Sirosis hati dekompensata, disertai dengan tanda-tanda kegagalan hepatoselular
dan hipertensi portal.

Penanganan SH kompensata ditujukan pada penyebab hepatitis kronis. Hat


ini ditujukan untuk mengurangi progresifitas penyakit SH agar tidak semakin
lanjut dan menurunkan terjadinya karsinoma hepatoselular. Di Asia Tenggara
penyebab yang tersering adalah HBV dan HCV. Untuk HBV kronis bisa
diberikan preparat interferon secara injeksi atau secara oral dengan preparat
analog nukleosida jangka panjang. Preparat nukleosida analog ini juga bisa
diberikan pada SH dekompensata akibat HBV kronis selain penanganan untuk
komplikasinya. Sedang untuk SH akibat HCV kronis bisa diberikan preparat
Interferon. Namun pada SH dekompensata pemberian preparat interferon ini
tidak direkomendasikan

KOMPLIKASI

Komplikasi SH yang utama adalah hipertensi portal, asites, peritonitis


bakterail spontan, perdarahan varises esofagus, sindroma hepatorenal,
ensefalopati hepatikum, dan kanker hati.
PROGNOSIS

Perjalanann alamiah SH tergantung pada sebab dan penanganan etiologi


yang mendasari penyakit. Beberapa sistem skoring dapat digunakan untuk
menilai keparahan SH dan menentukan prognosisnya. Sistem skoring ini antara
lain skor Child Turcotte Pugh (CTP) dan Model end stage liver Disease
(MELD), yang digunakan untuk evaluasi pasien dengan rencana transplantasi
hati.

Penderita SH dikelompokkan menjadi CTP-A (5-6 poin), CTP-B (7-9 poin)


dan CTP-C (10-15 poin). Penderita SH dengan CTP kelas A menunjukkan
penyakit hatinya terkompensasi baik, dengan angka kesintasan berturut-turut 1
tahun dan 2 tahun sebesar 100%, dan 85%. Sedang CTP kelas B angka
kesintasan berturut-turut 1 tahun dan tahunnya sebesar 81% dan 60%.
Kesintasan penderita SH dengan Child-Turcott-Pugh kelas C 1 tahun dan 2
tahun berturut-turut adalah 45% dan 35%.

KOLESISTISIS AKUT

DEFINISI

radang kantung empedu adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung


empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan demam.

EPIDEMIOLOFI DAN PATOGENESIS

Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah statis


cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab
utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90 %) yang terletak di
duktus sistikus yang menyebabkan statis cairan empedu,sedangkan sebagian
kecil kasus timbul tanpa adanya batu empedu.

Bagaimana statis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut ,


masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor yang berpengaruh, seperti
kepekatan cairan empedu, kolesterol, lipolestisin dan prostaglandin yang
merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi
dan supurasi.

Kolesistitis akut akalkulus dapat timbul pada pasien yang dirawat cukup
lama dan mendapat nutrisi secara parenteral, pada sumbatan karena keganasan
kandung empedu, batu di saluran empedu atau merupakan salah satu komplikasi
penyakit lain seperti demam tifoid dan diabetes melitus.

GEJALA KLINIS

Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut
di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan kenaikan suhu tubuh. Kadang-
kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung
sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi
tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangren
atau perforasi kandung empedu.

Pada pemeriksaan fisis teraba massa kandung empedu, nyeri tekan disertai
tanda- tanda peritonitis lokal (tanda murphy).

Ikterus dijumpai pada 20 % kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin <4,0


mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di
saluran empedu ekstra hepatik.

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya leukositosis serta


kemungkinan peninggian serum transaminase dan fosfatase alkali. Apabila
keluhan nyeri bertambah hebat disertai suhu tinggi dan menggigil serta
leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi kandung empedu
perlu dipertimbangkan.
DIAGNOSIS

Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis akut,


hanya pada 15 % pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang (
radiopak) karena mengandung kalsium cukup banyak.

Pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin dan


sangat bermanfaat untuk memperlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding
kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik.nilai kepekaan dan
ketepatan USG mencapai 90-95 %.

Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 99n


Tc6 iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi
teknik ini tidak mudah. Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya
gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau scintigrafi
sangat menyokong kolesistitis akut.

Pemeriksaan CT scan abdomen kurang sensitif dan mahal tapi mampu


memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin
tidak terlihat pada pemeriksaan USG.

Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan atas yang tiba- tiba perlu
dipikirkan sepeti penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan organ di bawah
diafragma seperti apendiks yang retrosekal, sumbatan usus, perforasi ulkus
peptikum, pankreatitis akut dan infark miokard.

PENGOBATAN

Pengobatan umum termasuk istirahat total, pemberian nutrisi parenteral,diet


ringan, obat penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodik.
Pemeberian antibiotik pada fase awal sangat penting untuk mencegah
komplikasi peritonitis, kolangitis, dan septisemia. Golongan ampisilin,
sefalosporin dan metroniadzol cukup memadai untuk mematikan kuman- kuman
yang umum terdapat pada kolesistitis akut seperti E.coli, strep.faecalis dan
Klebsiella.

Waktu pelaksanaan kolesistektomi masih diperdebatkan, apakah sebaiknya


dilakukan secepatnya ( 3 hari) atau ditunggu 6-8 minggu setelah terapi
konservatif dan keadaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 % kasus akan
membaik tanpa tindakan bedah.

Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan, timbulnya gangren dan
komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan, lama perawatan di
rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya dapat ditekan. Sementara yang tidak
setuju menyatakan, operasi dini akan menyebabkan penyebaran infeksi ke
rongga peritoneum dan teknik operasi lebih sulit karena proses inflamasi ke
rongga peritoneum dan teknik operasi lebih sulit karena proses inflamasi akut di
sekitar duktus akan mengaburkan anatomi.

KOLESISTISIS KRONIK

Kolesistitis kronik lebih sering dijumpai di klinis, dan sangat erat


hubungannya dengan litiasis dan lebih sering timbul secara perlahan- lahan.

GEJALA KLINIS

Diagnosis kolesistitis kronik sering sulit ditegakkan oleh karena


gejalanya sangat minimal dan tidak menonjol seperti dispepsia, rasa penuh di
epigastrium dan nausea khususnya setelah makan makanan berlemak tinggi,
yang kadan- kadang hilang setelah bersendawa. Riwayat penyakit batu empedu
di keluarga, ikterus dan kolik berulang, nyeri lokal di daerah kandung empedu
disertai tanda Murphy positif, dapat menyokong menegakkan diagnosis.

DIAGNOSIS

Pemeriksaan kolesistografi oral, ultrasonografi dan kolangiografi dapat


memperlihatkan kolelitiasis dan afungsi kandung empedu. Endoscopic
retrograde choledocho- pancreaticography (ERCP) sangat bermanfaat untuk
memperlihatkan adanya batu di kandung empedu dan duktus koledokus.

PENGOBATAN

Pada sebagian besar pasien kolesistitis kronik dengan atau tanpa batu
kandung empedu yang simtomatik, dianjurkan untuk kolesistektomi. Keputusan
untuk kolesistektomi agak sulit untuk pasien dengan keluhan minimal atau
disertai penyakit lain yang mempertinggi risiko operasi.

CHOLELITHIASIS (BATU EMPEDU)


EPIDEMIOLOGI

Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang penting


di negara Barat sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian di klinis,
sementara publikasi penelitian batu empedu masih terbatas.

Batu empedu umumnya ditemukan di dalam kandung empedu, tetapi batu


tersebut dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu
menjadi batu saluran empedu dan disebut sebagai batu saluran empedu sekunder.

Di negara Barat 10-15% pasien dengan batu kandung empedu juga disertai
batu saluran empedu. Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat
terbentuk primer di dalam saluran empedu intra-atau ekstra-hepatik tanpa
melibatkan kandung empedu. Batu saluran empedu primer lebih banyak
ditemukan pada pasien di wilayah Asia dibandingkan dengan pasien di negara
Barat.

Perjalanan batu saluran empedu sekunder belum jelas benar, tetapi


komplikasi akan lebih sering dan berat dibandingkan batu kandung empedu
asimtomatik.
PATOGENESIS DAN TIPE BATU EMPEDU

Menurut gambaran makroskopik dan komposisi kimianya, batu saluran


empedu dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori mayor, yaitu: 1) Batu
kolesterol di mana komposisi kolesterol melebihi 70%, 2) Batu pigmen coklat
atau batu calcium bilirubinate yang mengandung Ca-bilirubinate sebagai
komponen utama, dan 3) Batu pigmen hitam yang kaya akan residu hitam tak
terekstraksi.

Di masyarakat Barat komposisi utama batu empedu adalah kolesterol,


sedangkan penelitian di Jakarta pada 51 pasien didapatkan batu pigmen pada
73% pasien dan batu kolesterol pada 27% pasien.

Ada tiga faktor penting yang berperan dalam patogenesis batu kolesterol:
1) Hipersaturasi kolesterol dalam kandungan empedu, 2) Percepatan terjadinya
kristalisasi kolesterol dan 3) Gangguan motilitas kandung empedu dan usus.

Patogenesis batu pigmen melibatkan infeksi saluran empedu, stasis


empedu, malnutrisi, dan faktor diet. Kelebihan aktivitas enzim β-glucuronidase
bakteri dan manusia (endogen) memegang peran kunci dalam patogenesis batu
pigmen pada pasien di negara Timur. Hidrolisis bilirubin oleh enzim tersebut
akan membentuk bilirubin tak terkonjugasi yang akan mengendap sebagai
calcium bilirubinate. Enzim β-glucuronidase bakteri berasal dari kuman E. coli
dan kuman lainnya di saluran empedu. Enzim ini dapat dihambat oleh
glucarolactone yang kadarnya meningkat pada pasien dengan diet rendah
protein dan rendah lemak.

GEJALA BATU KANDUNG EMPEDU

Sebagian besar (80%) pasien dengan batu empedu tanpa gejala baik waktu
diagnosis maupun selama pemantauan. Studi perjalanan penyakit dari 1307
pasien dengan batu empedu selama 20 tahun memperlihatkan bahwa sebanyak
50% pasien tetap asimtomatik, 30% mengalami kolik bilier, dan 20% mendapat
komplikasi.

Gejala batu empedu yang dapat dipercaya adalah kolik bilier. Keluhan ini
didefinisikan sebagai nyeri di perut atas berlangsung lebih dari 30 menit dan
kurang dari 12 jam. Biasanya lokasi nyeri di perut atas atau epigastrium tetapi
bisa juga di kiri dan prekordial.

DIAGNOSIS

Pada satu studi di Jakarta yang melibatkan 325 pasien dengan dugaan
penyakit bilier, nilai diagnostik ultrasound dalam mendiagnosis batu saluran
empedu telah dibandingkan dengan endoscopic retrograde cholangio
pancreatography (ERCP) sebagai acuan metode standar kolangiografi direk.
Secara keseluruhan akurasi ultrasound untuk batu saluran empedu adalah sebesar
77%.

ERCP sangat bermanfaat dalam mendeteksi batu saluran empedu dengan


sensitivitas 90%, spesivitas 98%, dan akurasi 96%, tetapi prosedur ini invasif
dan dapat menimbulkan komplikasi pankreatitis dan kolangitis yang dapat
berakibat fatal.

 Endoscopic Ultrasonography (EUS)

EUS adalah suatu metode pemeriksaan dengan memakai instrumen


gastroskop dengan echoprobe di ujung sekop yang dapat terus berputar.
Dibandingkan dengan ultrasound teransabdominal, EUS akan memberikan
gambaran pencitraan yang jauh lebih jelas sebab echoprobe-nya ditaruh di dekat
organ yang diperiksa.

Pada satu studi, sensitivitas EUS dalam mendeteksi batu saluran empedu
adalah sebesar 97% dibandingkan dengan ultrasound yang hanya sebesar 25%,
dan CT 75%. Selanjutnya EUS mempunyai nilai prediktif negatif sebesar 97%
dibandingkan dengan sebesar 56% US dan sebesar 75% untuk CT.
Beberapa studi memperlihatkan EUS dan ERCP tidak menunjukkan
perbedaan dalam hal nilai sensitivitas, spesivitas, nilai prediktif negatif maupun
positif. Secara keseluruhan, akurasi EUS dan ERCP untuk batu saluran empedu
juga tidak memperlihatkan perbedaan bermakna.

Walaupun demikian, angka kejadian komplikasi ERCP lebih tinggi


bermakna dibandingkan dengan EUS. Kesulitan pemeriksaan EUS dapat terjadi
bila ada struktur pada saluran cerna bagian atas atau pasca reseksi gaster.
Sayangnya teknik pencitraan ini belum banyak diikuti oleh praktisi kedokteran
di Indonesia sebab hal ini berhubungan dengan masalah latihan, pengalaman,
dan tersedianya instrumen EUS.

 Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP)

MRCP adalah teknik pencitraan dengan gema magnet tanpa menggunakan


zat kontras, instrumen, dan radiasi ion. Pada MRCP saluran empedu akan
terlihat sebagai struktur terang karena mempunyai intensitas sinyal tinggi,
sedangkan batu saluran empedu akan terlihat sebagai intensitas sinyal rendah
yang dikelilingi empedu dengan sinyal tinggi, sehingga metode ini cocok untuk
mendiagnosis batu saluran empedu.

Studi terkini MRCP menunjukkan nilai sensitivitas antara 91% sampai


dengan 100%, nilai spesivitas antara 92% sampai dengan 100% dan nilai
prediktif positif antara 93% sampai dengan 100% pada keadaan dengan dugaan
batu saluran empedu. Nilai diagnostik MRCP yang tinggi membuat teknik ini
makin sering dikerjakan untuk diagnosis atau eksklusi batu saluran empedu
khusunya pada pasien dengan kemungkinan kecil mengandung batu.

MRCP mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan ERCP. Salah


satu manfaat yang besar adalah pencitraan saluran empedu tanpa resiko yang
berhubungan dengan instrumentasi, zat kontras dan radiasi. Sebaliknya MRCP
juga mempunyai limitasi mayor yaitu bukan merupakan modalitas terapi dan
aplikasinya bergantung pada operator, sedangkan ERCP dapat berfungsi sebagai
sarana diagnostik dan terapi pada saat yang sama.
PENANGANAN BATU KANDUNG EMPEDU

Penanganan profilaktik untuk batu empedu asimtomatik tidak dianjurkan.


Sebagian besar pasien dengan batu asimtomatiktidak akan mengalami keluhan
dan jumlah, besar, dan komposisi batu tidak berhubungan dengan timbulnya
keluhan selama pemantauan. Kalaupun nanti timbul keluhan umumnya ringan
sehingga penanganan dapat elektif.

Untuk batu kandung empedu simtomatik, teknik kolesistektomi


laparoskopik yang diperkenalkan pada akhir dekade 1980 telah menggantikan
teknik operasi kolesistektomi terbuka pada sebagian besar kasus. Kolesistektomi
terbuka masih dibutuhkan bila kolesistektomi laparoskopik gagal atau tidak
memungkinkan.

Kolesistektomi laparoskopik adalah teknik pembedahan invasif minimal


di dalam rongga abdomen dengan menggunakan pneumoperitoneum, sistem
endokamera dan instrumen khusus melalui layar monitor tanpa melihat dan
menyentuh langsung kandung empedunya. Sejak pertama kali diperkenalkan,
teknik bedah laparoskopik ini telah memperlihatkan keunggulan yang bermakna
dibandingkan dengan teknik bedah konvensional.

Dewasa ini di beberapa rumah sakit, kolesistektomi laparoskopik telah


menjadi prosedur baku untuk pengangkutan kandung empedu simtomatik.
Kelebihan yang diperoleh pasien dengan teknik ini meliputi luka operasi kecil
(2-10 mm) sehingga nyeri pasca bedah minimal. Selain itu, dari segi kosmetik
luka parut yang kecil yang akan tersembunyi di daerah umbilikus telah membuat
bedah laparoskopik dianggap sebagai bedah yang lebih bersahabat kepada
pasien.

Komplikasi cedera saluran empedu dari teknik ini yang umumnya terjadi
pada tahap belajar dapat diatasi pada sebagian besar kasus dengan pemasangan
stent atau kateter nasobilier dengan ERCP.
PENATA LAKSANAAN BATU KANDUNG EMPEDU

ERCP terapeutik dengan melakukan sfingterotomi endoskopik untuk


mengeluarkan batu saluran empedu tanpa opersi pertama kali dilakukan tahun
1974. Sejak itu teknik ini telah berkembang pesat dan menjadi standar baku
terapi non-operatif untuk batu saluran empedu.

Selanjutnya batu di dalam saluran empedu dikeluarkan dengan basket


kawat atau balon ekstraksi melalui muara yang sudah besar tersebut menuju
lumen duodenum sehingga batu dapat keluar bersama tinja atau dikeluarkan
melalui mulut bersama skopnya.

Pada awalnya sfingterotomi endoskopik hanya diperuntukkan pada


pasien usisa lanjut yang mempunyai batu saluran empedu residif atau tertinggal
pasca kolesistektomi atau mereka yang mempunyai resiko tinggi untuk
mengalami komplikasi operasi saluran empedu.

Pada kebanyakan senter besar ekstraksi batu dapat dicapai pada 80-90%
dengan komplikasi dini sebesar 7-10% dan mortalitas 1-2%. Komplikasi penting
dari sfingterotomi dan ekstraksi batum meliputi pankreatitis akut, perdarahan,
dan perforasi.

Keberhasilan sfingterotomi yang begitu mengesankan ini dan kehendak


pasien yang kuat telah mendorong banyak senter untuk memperluas indikasi
sfingterotomi endoskopik terhadap orang dewasa muda dan bahkan pasien
dengan kandung empedu utuh dengan masalah klinis batu saluran emepdu.

KOMPLIKASI

 Kolesistitis Akut

Kurang lebih 15% pasien dengan batu simtomatik mengalami kolesistitis


akut. Gejalanya meliputi nyeri perut kana atas dengan kombinasi mual, muntah
dan panas.
Pada pemeriksaan fisis ditemukan nyeri tekan pada perut kanan atas dan
sering teraba kandung empedu yang membesar dan tanda-tanda peritonitis.
Pemeriksaan laboratorium akan menunjukkan selain lekositosis kadang-kadang
juga terdapat kenaikan ringan bilirubin dan faal hati kemungkinan akibat
kompresi lokal pada saluran empedu.

Patogenesis kolesistitis akut akibat tertutupnya duktus sistikus oleh batu


terjepit. Kemudian terjadi hidrops dari kandung empedu. Penambahan volume
kandung empedu dan edema kandung empedu menyebabkan iskemi dari dinding
kandung empedu yang dapat berkembang ke proses nekrosis dan perforasi. Jadi
pada permulaannya terjadi peradangan steril dan baru pada tahap kemudian
terjadi superinfeksi bakteri.

Kolesistitis akut juga dapat disebabkan lumpur batu empedu (kolesistitis


akalkulus). Komplikasi lain juga seperti ikterus, kolangitis, dan pancreatitis.

ABSEB HATI AMUBA

DEFINISI

Abses hati amuba adalah penimbunan atau akumulasi debris nekro-


inflamatori purulen di dalam parenkim hati yang disebabkan oleh amuba,
terutama entamoeba hystolitica

EPIDEMIOLOGI

Amubasis terjadi pada 10 % dari populasi dunia dan paling umum di


daerah tropis dan subtropik.Penyakit ini serig diderita orang muda dan sering
pada etnik Hispanik dewasa ( 92 % ) Terjadi 10 kali lebih umum pada pria
seperti pada wanita dan jarang terjadi pada anak-anak. Amebiasis merupakan
infeksi tertinggi ketiga penyebab kematian setelah schistosomiasis dan malaria.
Daerah endemisnya meliputi Afrika, Asia Tenggara, Meksiko, Venezuela, dan
Kolombia. Insiden abses hati amuba di Amerika Serikat mencapai 0,05 %
sedangkan di India dan Mesir mencapai 10 % -30 % pertahun dengan
perbandingan laki-laki : perempuan sebesar 3:1 sampai dengan 22:1 .
PATOGENESIS

Selama siklus hidupnya, Entamoeba histolytica dapat berbentuk sebagai


trophozoite atau bentuk kista. Setelah menginfeksi, kista amuba melewati
saluran pencernaan dan menjadi trophozoit di usus besar, trophozoit kemudian
melekat ke sel epitel dan mukosa kolon dengan Gal/ GalNAc dimana mereka
menginvasi mukosa.Lesi awalnya berupa mikroulserasi mukosa caecum, kolon
sigmoid dan rektum yang mengeluarkan eritrosit, sel inflamasi dan sel epitel.
Ulserasi yang meluas ke submukosa menghasilkan ulser khas berbentuk termos
(flask-shaped) yang berisi trophozoit dibatas jaringan mati dan sehat. Organisme
dibawa oleh sirkulasi vena portal ke hati, tempat abses dapat berkembang.

Entamoeba histolytica sangat resisten terhadap lisis yang dimediasi


komplemen, oleh karena itu dapat bertahan di aliran darah. Terkadang
organisme ini menginvasi organ selain hati dan dapat membuat abses dalam
paru-paru atau otak. Pecahnya abses hati amuba kedalam pleura, perikard dan
ruang peritoneal juga dapat terjadi.Di dalam hati, E. histolytica mengeluarkan
enzinm proteolitik yang berfungsi melisiskan jaringan pejamu.Lesi pada hati
berupa "well demarcated abscess" mengandung jaringan nekrotik dan biasanya
mengenai lobus kanan hati. Respon awal pejamu adalah migrasi sel-sel
PMN.Amuba juga memiliki kemampuan melisiskan PMN dengan enzim
proteolitiknya, sehingga terjadilah destruksi jaringan. Abses hati mengandung
debris aselular, dan tropozoit hanya dapat ditemukan pada tepi lesi.

GEJALA DAN TANDA

Abses hati amuba lebih seringdikaitkan dengan presentasi klinis yang akut
dibandingkan abses piogenik hati. Gejala telah terjadi rata-rata dua minggu pada
saat diagnosis dibuat. Dapat terjadi sebuah periode laten antara infeksi hati usus
dan selanjutnya sampai bertahun-tahun, dan kurang dari 10 % pasien
melaporkan riwayat diare berdarah dengan disentri amuba.

Nyeri perut kanan atas dirasakan pada 75-90 % pasien, lebih berat
dibandingkan piogenik terutama di kuadran kanan atas. Kadang nyeri disertai
mual, muntah, anoreksia, penurunan berat badan, kelemahan tubuh, dan
pembesaran hati yang jugaterasa nyeri. Nyeri spontan jika perut kanan atas
disertai dengan jalan membungkuk ke depan dengan kedua tangan diletakkan di
atasnya merupakan gambaran klinis khas yang sering dijumpai. Dua puluh
persen penderita dengan kecurigaan abses amuba hati amuba mempunyai
riwayat penyakit diare atau disentri

Demam umum terjadi,tetapi mungkin pula polanya intermiten. Malaise,


mialgia, artralgia umum terjadi. Ikterus jarang ditemukan dan bila ada
menandakan dan prognosis yang buruk. Gejala dan tanda paru dapat diinter
terjadi, tetapi pericardial rub dan peritonitis jarang ditemukan. Kadang-kadang
friction rub terdengar di hati. Gambaran laboratorium mirip dengan yang
ditemukan di abses piogenik. Koinfeksi dengan bakteri patogen jarang
ditemukan. Komplikasi yang jarang terjadi adalah pecah di intra-peritoneal,
intratorakal, dan perikardial serta kegagalan multiorgan.

ETIOLOGI

Parasit amuba, yang tersering yaitu Entamoeba histolytica

DIAGNOSIS

Anamnesis dan pemeriksaan fisik memberikan petunjuk penting dalam


menegakkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan yaitu
laboratoriu, tes serologi (amuba), kultur darah, kultur cairan aspirasidan
pencitraan (USG, CT scan).

Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan temperatur, pembesaran


hati dan nyeri tekan. Jaundice cukup jarang didapatkan, tetapi jika didapatkan
maka harus diduga adanya obstruksi traktus biliaris atau sudah terdapat penyakit
hati kronik sebelumnya. Organisme diisolasi dari tinja pada 50 % pasien .
Aspirasi pada abses amuba harus dilakukan jika diagnosis masih belum jelas
dengangambaran pasta coklat kemerahan dan berbau sedikit.Trophozoit hanya
didapatkan pada 20 % aspirasi . Hasil foto thoraks abnormal didapatkan pada 50-
80 % pasien dengan gambaran atelektasis paru lobus kanan bawah, efusi pleura
kanan dan kenaikan hemidiafragma kanan.

USG abdomen merupakan pilihan utama untuk tes awal, karena non
invasif dan sensitivitasnya tinggi (80-90%) untuk mendapatkan lesi hipoechoic
dengan internal echoes. CT scan kontras digunakan terutama untuk
mendiagnosis abses yang lebih kecil, dapat melihat seluruh kavitas peritoneal
yang mungkin dapat memberikan informasi tentang lesi primer. MRI tidak
memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan CT scan, tetapi berguna
jika hasil masih meragukan, diagnosis membutuhkan potongan koronal atau
sagital dan untuk pasien yang intoleran terhadap kontras. Pencitraan hepar tidak
bisa membedakan abses hatiamuba dengan piogenik. Abses amuba umumnya
menyerang lobus kanan hepar dekat dengan diafragma dan biasanya tunggal

Tes serologi yang bisa digunakan meliputi ELISA indirect


hemagglutination, cellulose acetate precipitin counterimmunoelectrophoresis,
immufluorescent antibody dan tes rapid latex agglutinotion. Hasil tes serologi
harus diinterpretasikan dengan klinis pasien karena kadar serum antibodi
mungkin masih tinggi selama beberapa tahun setelah perbaikan atau
penyembuhan. Sensitivitas tes 95 % dan spesifitasnya lebih dari 95 % . Hasil
negatif palsu mungkin terjadi dalam 10 hari pertama infeksi.Tes berbasis PCR
untuk mendeteksi DNA amuba dan pemeriksaan ELISA untuk mendeteksi
antigen amuba pada serum sudah sering dilakukan pada penelitian.

Sherlock (2002) membuat kriteria diagnosis abses hati amuba:

1. Adanya riwayat berasal dari daerah endemik

2. Pembesaran hati pada laki-laki muda

3. Respons baik terhadap metronidazole

4. Lekositosis tanpa anemia pada riwayat sakit yang tidak lama dan lekositosis
dengan pada riwayat sakit yang lama.
5. Ada dugaan amubiasis pada pemeriksaan foto toraks PA dan lateral

6. Pada pemeriksaan scan didapatkan filling defect

7. Tes fluorescen antibodi amuba positif

Bila ke-7 kriteria ini dipenuhi maka diagnosis abses hati ameba sudah
hampir pasti dapat ditegakkan. ningkatan .

Diagnosis Banding

1. Kista hepar

2. Keganasan pada hati

3. Abses hati piogenilk

PENATALAKSANAAN

Medikamentosa

 Jika didapatkan pasien muda yang telah melakukan perjalanan ke daerah


endemik, pada pencitraan didapatkan lesi tunggal, pasien tidak terlihat toksik,
dengan dugaan kuat abses amuba, maka pemeriksaan feses harus dilakukan
untuk mencari kista dan trophozoit amuba dan serum harus diperiksa antibodi E.
Histolitica.
 Terapi dimulai dengan Metronidazole 3 x 750 mg per oral selama 7-10 hari
(Guardino, 2008) atau nitoimidazole kerja panjang (Tinidazole 2 gram PO dan
ornidazole 2 gram PO) dilaporkan efektif sebagai terapi dosis tunggal. Terapi
kemudian dilanjutkan dengan preparat lumenalamubisida untuk eradikasi kista
dan mencegah transmisi lebih lanjut, yaitu lodoquinol 3x 650 mg selama 20 hari,
Diloxanide furoate 3 x 500 mg selama 10 hari, Aminosidine (Paromomcin 25-35
mg/kg perhari TID selama 7-10 hari ( Kim , 2011 ) . Lebih dari 90 % pasien
mengalami respons yang dramatis dengan terapi metronidazole, baik berupa
penurunan nyeri maupun demam dalam 72 jam (Reed, 2010)
 Paromomycin 25-35 mg/kg/hari per oral terbagi dalam 3 dosis selama 7 hari atau
lini kedua Diloksanide furoate 3 x 500 mg per oral selama 10 hari .
 Emetine dan chloroquine dapat digunakan sebagai alternative tetapi sebaiknya
dihindari sebisa mungkin karena efek kardiovaskular dan gastrointestinal, selain
karena tingginya angka relaps. Chloroquine phosphate1000 mg (Chloroquine
base 600 mg) diberikan oral selama 2 hari dan dilanjutkan dengan 500 mg
(Chloroquine base 300 mg)diberikan oral selama 2-3 minggu, perbaikan klinis
diharapkan dalam 3 hari (Raiford, 2010; Reed, 2010).
Aspirasi Jarum Perkutan

Indikasi aspirasi jarum perkutan:

 Risiko tinggi untuk terjadinya ruptur abses yang didefinisikan dengan ukuran
kavitas lebih dari 5 cm .
 Abses pada lobus kiri hati yang dihubungkan dengan mortalitas tinggi dan
frekuensi tinggi bocor ke peritoneum atau perikardium .
 Tak ada respons klinis terhadap terapi dalam 3-5 hari.
 Untuk menyingkirkan kemungkinan abses piogenik, khususnya pasien dengan
lesi multipel.
Drainase Perkutan

Drainase perkutan abses dilakukan dengan tuntunan USG abdomen atau


CT scan abdomen. Penyulit yang dapat terjadi : perdarahan, perforasi organ intra
abdomen, infeksi, ataupun terjadi kesalahan dalam penempatan kateter untuk
drainase.

Drainase Secara Operasi

Tindakan ini sekarang jarang dikerjakan kecuali pada kasus tertentu


seperti abses dengan ancaman ruptur atau secara teknis susah dicapai atau gagal
dengan aspirasi biasa drainase perkutan.
Reseksi Hati

Pada abses hati piogenik multipel kadang diperlukan reseksi hati.


Indikasi spesifik jika didapatkan abses hati dengan karbunkel (liver carbuncle)
dan disertai dengan hepatolitiasis, terutama pada lobus kiri hati.

Berdasarkan kesepakatan PEGI (Perhimpunan Endoskopi


Gastrointestinal Indonesia) dan PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia) di
Surabaya pada tahun 1996:

 Abses hati dengan diameter 1-5 cm: terapi medikamentosa, bila respon negative
dilakukan aspirasi.
 Abses hati dengan diameter 5-8 cm: terapi aspirasi berulang
 Abses hati dengan diameter lebih atau sama dengan 8 cm: drainase perkutan
KOMPLIKASI

Tanpa terapi, abses akan membesar, meluas ke diafragma atau ruptur ke


kavitas peritoneal:

1. Ruptur abses ke dalam:

 Regio toraks, menyebabkan:


- Fistula hepatobronkial
- Abses paru Empiema ameba ( 20-30 % )
 Perikardium, menyebabkan
- gagal jantung

- perikarditis

- tamponade jantung
 Peritoneum, menyebabkan:
- peritonitis
- asites
2. Infeksi sekunder (biasanya bersifat iatrogenik setelah tindakan aspirasi)
3. Lain-lain (jarang):
- gagal hati fulminan
- hemobilia
- obstruksi vena kava inferior ble liver and b Edition. M & Sherlock S
- Sindrom Budd-Chiari
- Abses cerebri ( penyebaran hematogen ) : 0,1 %
PENCEGAHAN
Infeksi Amuba disebarkan melalui konsumsi makanan atau air yang
tercemar dengan kista. Karena pembawa asimtomatik dapat mengeluarkan
hingga 15 juta kista per hari,pencegahan infeksi membutuhkan sanitasi yang
memadai dan pemberantasan pembawa kista. Pada daerah berisiko tinggi, infeksi
dapat diminimalkan dengan menghindari konsumsi buah dan sayuran yang tidak
dikupas dan penggunaan air kemasan. Karena kista tahan terhadap klor,
desinfeksi oleh iodine dianjurkan. Sampai saat ini tidak ada pofilaksis yang
efektif.

PROGNOSIS
 Abses hati amuba merupakan penyakit yang sangat "treatable"
 Angka kematiannya < 1 % bila tanpa penyulit
 Penegakan diagnosis yang terlambat dapat memberikan penyulit abses ruptur
sehingga kematian:
- ruptur ke dalam peritoneum, angka kematian 20 %
- ruptur ke dalam perikardium, angka kematian 32-100 %

Referensi : Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.2015. Jilid II. Edisi VI. Jakarta
10. Perspektif islam
” Dan makanlah makanan yang halal lagi baik (thayib) dari apa yang telah di
rizkikan kepadamu dan bertakwalah kepada Allah dan kamu beriman kepada-
Nya” (QS. Al- Maidah:88)
DAFTAR PUSTAKA

H.A Sulaiman HA, LA Lesmana, HMS Noer, Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati.
2007. Edisi 1. Jakarta: Jayaabadi

Guyton & Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC.
2008

Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.2015. Jilid II. Edisi VI. Jakarta

Longo,D.L dan Fauci S.Anthony.2013.Harrison gastroenterologi &


Hepatologi.EGC:jakarta,hal 5,6 & 33.

Setiati,siti dkk.2014.buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 1 edisi VI.interna


publishing:jakarta.

Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Penerbit


Buku kedokteran: EGC.

Kaamani Suframanyan.2014.Gambaran Karakteristik Neonatus Dengan


Hiperbilirubinemia.Medan.FK.Universitas Sumatera Utara

Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid II.edisi VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014

Anda mungkin juga menyukai