Anda di halaman 1dari 71

BLOK GASTROENTEROHEPATOLOGI Makassar, 18 desember 2018

MODUL 2
KULIT KUNING

Tutor : dr. Sri Wahyuni Gayatri


KELOMPOK 13
Anggota:
M.FAUZAN FAHMY 110 2015 0127
FATHANNIA RIZKY DIENNILLAH 110 2015 0131
MUSDALIFAH 110 2012 0112
NOVIA DAMAYANTI KAPRAWI 110 2017 0124
NURUL HIDAYAH 110 2017 0026
MOH. ADREZKI M. YUSUF 110 2017 0143
RISKI AMALIAH H.R 110 2017 0033
M. ABRAR NAUFAL H.Z.A 110 2017 0101
HERNITA 110 2017 0152
ANDI SAFA FAUZIAH 110 2017 0062

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2018
SKENARIO 1

Seorang laki-laki berusia 25 tahun datang dengan keluhan BAK seperti the sejak
3 hari yang lalu. Keluhan itu disertai lemas, mual, mata kuning dan muntah. Satu
minggu yang lalu pasien mengalami demam selama 3 hari tapi sekarang sudah
tidak lagi. Tidak didapatkan keluhan gatal dan BAB normal. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan mata kuning dan nyeri tekan perit kanan atas. Selain itu
semuanya normal.

 Kata sulit
-
 Kata/Kalimat kunci
1. Laki-laki 25 tahun
2. BAK berwarna seperti teh
3. Lemas
4. Mual
5.Muntah
6. mata kuning
7. demam 3 hari satu minggu yang lalu
8. nyeri tekan perut kanan atas
 Pertanyaan penting
1. Jelaskan anatomi dan fisiologi dari organ yang terkait dengan skenario
2. Apa penyebab urine pasien berwarna seperti teh dan mata berwarna kuning
3. Jelaskan jenis – jenis ikterus
4. Jelaskan penyebab nyeri tekan perut bagian kanan atas yang dialami pasien
5. Jelaskan penyebab pasien mengalami demam
6. Jelaskan penyebab pasien mengalami lemas
7. Jelaskan penyebab pasien mengalami mual, dan muntah
8. Jelaskan langkah – langkah diagnosis
9. Jelaskan diagnosis banding pada scenario
10. Perspektif islam terkait scenario
Jawab :
1. Anatomi dan fisiologi organ yang terkait dengan scenario.

HATI
Anatomi hati

Hati adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg


atau kurang lebih 25% berat badan orang dewasa yang menempati
sebagian besar kuadran kanan atas abdomen dan merupakan pusat
metabolisme tubuh dengan fungsi yanf sangat kompleks. Batas atas hati
berada sejajar dengan ruang intercostal V kanan dan batas bawah
menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri. Permukaan posterior
hati berbentuk cekung dan terdapat celah transversal sepanjang 5 cm dari
sistem porta hepatis. Omentum minor terdapat mulai dari sistem porta
yang mengandung arteri hepatica, vena porta dan duktus koledokus.
Sistem porta terletak didepan vena cava dan dibalik kandung empedu.
Permukaan anterior yang cembung dibagi menjadi 2 lobus oleh
adanya perlekatan ligamentum falciform yaitu lobus kiri dan lobus kanan
yag berukuran kira-kira 2 kali lebih besar dari lobus kiri. Pada daerah
antara ligamentum falciform dengan kandung empedu di lobus kanan
kadang-kadang dapat ditemukan lobus kuadratus dan sebuah daerah yang
disebut sebagai lobus kaudatus yang biasanya tertutup oleh vena kava
inferior dan ligamentum venosum pada permukaan posterior. Hati terbagi
menjadi 8 segmen dan fungsi yang berbeda. Pada dasarny, garis Cantlie
yang terdapat mulai dari vena kava sampai kandung empedu telah
membagi hati menjadi 2 lobus fungsional, dan dengan adanya daerah
dengan veskularisasi yang relative sedikit, kadang-kadang dijadikan batas
reseksi. Pembagian lebih lanjut menjadi 8 segmen didasarkan pada aliran
cabang pembuluh darah san saluran empedu yang dimiliki masing- masing
segmen.

Histologi hati

Bagian hepar yang disebut lobulus dipisahkan oleh jaringan ikat dan
pembuluh darah. Pembuluh darah pada hepar terdapat pada sudut-sudut lobulus,
yang akhirnya membentuk bangunan yang disebut trigonum Kiernan atau area portal.
Pada area portal dapat ditemukan cabang arteri hepatica, cabang vena porta, dan
duktus biliaris.

Struktur dari lobulus hepar pada potongan melintang akan terlihat sebagai
struktur yang berderet dan radier, dengan pusatnya vena sentralis, dipisahkan oleh
sebuah celah atau sinusoid hepar.

Pada gambaran mikroskopik, di sinusoid hepar terdapat sel Kupffer. Sel ini
memiliki fungsi untuk memfagosit eritrosit tua, hemoglobin dan mensekresi sitokin.

Dapat ditemukan juga sel-sel hepar atau yang biasa disebut hepatosit.
Hepatosit berbentuk polyhedral dengan 6 permukaan atau lebih, memiliki batas yang
jelas, dan memiliki inti yang bulat di tengah.

Sitoplasma pada hepatosit berwarna eosinofilik, hal ini disebabkan karena


hepatosit memiliki banyak mitokondria dan reticulum endoplasma halus. Pada
sitoplasma hepatosit terdapat lisosom, peroksisom, butir glikogen dan dapat pula
ditemukan tetesan lemak yang akan muncul setelah puasa atau setelah makan
makanan berlemak.

Bagian fungsional dari hepar disebut sebagai lobulus portal, yang terdiri dari
3 lobulus klasik (unit terkecil hepar atau lobulus hepar) dan ditengahnya terdapat
duktus interlobularis. Pada hepar terdapat unit fungsional terkecil yang disebut asinus
hepar. Asinus hepar adalah bagian dari hepar yang terletak diantara vena sentralis.
Asinus hepar memiliki cabang terminal arteri hepatica, vena porta dan system duktus
biliaris.
Fisiologi hati

Hepar menghasilkan empedu setiap harinya. Empedu penting dalam


proses absorpsi dari lemak pada usus halus. Setelah digunakan untuk membantu
absorpsi lemak, empedu akan di reabsorpsi di ileum dan kembali lagi ke hepar.
Empedu dapat digunakan kembali setelah mengalami konjugasi dan juga sebagian
dari empedu tadi akan diubah menjadi bilirubin.

Metabolisme lemak yang terjadi di hepar adalah metabolisme kolesterol,


trigliserida, fosfolipid dan lipoprotein menjadi asam lemak dan gliserol. Selain itu,
hepar memiliki fungsi untuk mempertahankan kadar glukosa darah selalu
dalam kondisi normal. Hepar juga menyimpan glukosa dalam bentuk glikogen.
Metabolisme protein di hepar antara lain adalah albumin dan faktor
pembekuan yang terdiri dari faktor I, II, V, VII, VIII, IX, X. Selain metabolisme
protein tadi, juga melakukan degradasi asam amino, yaitu melalui proses deaminasi
atau pembuangan gugus NH2.
Hepar memiliki fungsi untuk menskresikan dan menginaktifkan aldosteron,
glukokortikoid, estrogen, testosteron dan progesteron.

Bila terdapat zat toksik, maka akan terjadi trasnformasi zat-zat berbahaya dan
akhirnya akan diekskresi lewat ginjal. Proses yang dialami adalah proses oksidasi,
reduksi, hidrolisis dan konjugasi. Pertama adalah jalur oksidasi yang memerlukan
enzim sitokrom P-450. Selanjutnya akan mengalami proses konjugasi glukoronide,
sulfat ataupun glutation yang semuanya merupakan zat yang hidrofilik. Zat-zat
tersebut akan mengalami transport protein lokal di membran sel hepatosit melalui
plasma, yang akhirnya akan diekskresi melalui ginjal atau melalui saluran
pencernaan.

Fungsi hepar yang lain adalah sebagai tempat penyimpanan vitamin A, D, E,


K, dan vitamin B12. Sedangkan mineral yang disimpan di hepar antara lain tembaga
dan besi.
2. Penyebab urine berwarna seperti teh dan mata berwarna kuning

Icterus adalah perubahan warna kulit, sclera mata atau jaringan lainnya
(membrane mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang
meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Bilirubin di bentuk sebagai
akibat pemecahan cincin hem, biasanya sebagai akibat metabolism sel darah
merah.

Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang


berlangsung dalam 3 fase; prehepatik, intra hepatic, dan pascahepatik masih
relevan, walaupun diperlukan penjelasan akan adanya fase tambahan dalam
tahapan metabolisme bilirubin.

FASE PRAHEPATIK

1. Pembentukan bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4


mg per kg berat badan terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari
pemecahan sel darah merah yang matang. Sedangkan sisanya 20-30%
(early labelled bilirubin) dating dari protein hem lainnya yang berada
terutama didalam sumsum tulang dan hati. Sebagian dari protein hem
dipecah menjadi besi dan produk antara biliverdin dengan perantaraan
enzim hemeoksigenase. Enzim lain, biliverdin reduktase, mengubah
biliverdinmenjadi bilirubin. Tahapan ini terjadi terutama dalam system
retikuloendotelial (mononuklir fagositosis). Peningkatan hemolisis sel
darah merah merupakan penyebab utama peningkatan pembentukan
bilirubin. Pembentukan early labelled bilirubin meningkat pada beberapa
kelainan dengan eritropoiesis yang tidak efektif namun secara klinis
kurang penting.
2. Transport plasma. Bilirubin tak larut dalam air, karena bilirubin tak
tergonjugasi ini transportnya dalam plasma yang terikat dengan albumin
dan tidak dapat melalui membrane glomerulus, karenanya tidak muncul
dalam air seni. Ikatan melemah dalam beberapa keadaan seperti asidosis,
dan beberapa bahan seperti antibiotika tertentu, salisilat berlomba pada
tempat ikatan dengan albumin.

FASE INTRAHEPATIK

1. Liver uptake. Proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati


secara rinci dan pentingnya protein pengikat seperti ligandin atau protein
Y, belum jelas. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan
berjalan cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin.
2. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami
konjugasi dengan asam glukuroniik membentuk bilirubin diglukuronida
atau bilirubin konjugasi atau bilirubin direk. Reaksi ini yang dikatalisasi
oleh enzim microsomal glukorinil transferase menghasilkan bilirubin yang
larut dalam air. Dalam beberapa keadaan reaksi ini hanya menghasilkan
bilirubin monoglukuronida, dengan bagian asam glukuronik kedua
ditambahkan dalam saluran empedu melalui system enzim yang berbeda.,
namun reaksi ini tidak dianggap fisiologik. Bilirubin konjugasi lainnya
selain diglukuronid juga terbentuk namun kegunaannya tidak jelas.

FASE PASCAHEPATIK

Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus


bersama bahan lainnya. Anion organic lainnya atau obat dapat mempengaruhi
proses yang kompleks ini. Di dalam usus flora bakteri mendekonjugasi dan
mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar
kedalam tinja yang memberi warna coklat . sebagian diserap dan dikeluarkan
kembali ke dalam empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai air seni sebagai
urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan diglukuronida tetapi tidak bilirubin
unkonjugasi. Hal ini menerangkan warna air seni yang gelap yang khas pada
gangguan hepatoselular atau kolestasis intrahepatik. Bilirubin tak terkonjugasi
bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam lemak. Karenanya bilirubin tak
terkonjugasi dapat melewati berier darah-otak atau masuk ke dalam plasenta.
Dalam sel hati, bilirubin tak terkonjugasi mengalami proses konjugasi dengan
gula melalui enzim glukuroniltransferase dan larut dalam empedu cair.

Pada kasus kolestasis intrahepatik, aliran empedu dapat terganggu pada


tingkat mana saja dari mulai sel hati (kanalikulus), sampai ampulla vater.
Penyebab paling sering kolstatik intragepatik adalah hepatitis, keracunan obat,
penyakit hati karena alcohol dan penyakit hepatitis autoimun.

Virus hepatitis, alcohol, keracunan obat (drug induced hepatitis), dan


kelainan autoimun merupakan penyebab tersering. Peradangan intra hepatik
megganggu transport bilirubin terkonjugasi dan menyebabkan icterus. Hepatitis A
merupakan penyakit self limited dan dimanifestasikan dengan adanya icterus yang
timbul secara akut. Hepatitis B dan C akut sering tidak menimbulkan icterus pada
tahap awal, tetapi bias berjalan kronik dan menahun dan mengakibatkan gejala
hepatitis menahun atau bahkan sudah menjadi sirosis hati.

Kolestasis ekstrahepatik. Penyebab paling sering pada kolestasis


ekstrahepatik adalah batu duktus koledokus pan kanker pancreas.kolestasis
mencerminkan kegagalan sekresi empedu. Mekanismenya sangat kompleks,
bahkan juga pada obstruksi mekanis empedu.

Efek patofisiologi mencerminkan efek backup konstituen empedu (yang


terpenting bilirubin, garam empedu, dan tipid) kedalam sirkulasi sistemik dan
kegagalannya untuk masuk ke usus halus untuk ekskresi. Retensi bilirubin
menghasilkan campuran hiperbilirubinemia dengan kelebihan bilirubin konjugasi
masuk kedalam urin. Tinja sering berwarna pucat karena karena lebih sedikit yang
bias mencapai saluran cerna usus halus. Peningkatan garam empedu dalam
sirkulasi selalu diperkirakan sebagai penyebab keluhan gatal, walaupun
sebenarnya hubungannya belum jelas sehingga patogenesis gatal masih belum
bias diketahui dengan pasti.

Referensi : Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.2015. Jilid II. Edisi VI. Jakarta
3. Jenis-jenis icterus
Ikterus dibagi menjadi ikterus fisiologis dan patologis (Ngastiyah,1997).
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah
Ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut (Hanifa, 1987,
Ngastiyah, ):
 Timbul pada hari ke2 dan ke-3 dan tampak jelas pada hari ke-5
dan ke-6.
 Kadar Bilirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15
mg% pada neonatuscukup bulan dan 10 mg % per hari pada
kurang bulan.
 Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg %
per hari
 Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %
 Ikterus hilang pada 10 hari pertama
 Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis
tertentu

2. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia
Adalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin dalam darah mencapai suatu
nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau
tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan
keadaan yang patologis.
Karakteristik ikterus patologis (Ngastiyah,1997 ) sebagai berikut :
 Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama kehidupan. Ikterus
menetap sesudah bayi berumur 10 hari ( pada bayi cukup bulan)
dan lebih dari 14 hari pada bayi baru lahir BBLR.
 Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mg % pada bayi kurang
bulan (BBLR) dan 12,5 mg% pada bayi cukup bulan.
 Bilirubin direk lebih dari 1mg%.
 Peningkatan bilirubin 5 mg% atau lebih dalam 24 jam.
 Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah,
defisiensi enzim G-6-PD, dan sepsis).
Ada juga pendapat ahli lain tentang hiperbilirubinemia yaitu Brown
menetapkan
Hiperbilirubinemia bila kadar Bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup
bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg%
dan 15 mg%.

Referensi : Kaamani Suframanyan.2014.Gambaran Karakteristik Neonatus


Dengan Hiperbilirubinemia.Medan.FK.Universitas Sumatera Utara
4. Apa yang menyebabkan terjadinya nyeri pada quadran kanan atas pada
abdomen.

Berdasarkan letak anatomi dari organ di rongga abdomen dapat dibagi menjadi 4
quadran

a. Kuadran Kanan Atas


Terdiri atas : Hepar , Kandung empedu , Pilorus , Duodenum -,Kaput
pankreas , Fleksura hepatika kolon , Sebagian kolon asendens dan Kolon
tranversum
b. Kuadran Kiri Atas
terdiri atas: Lobus kiri hepar , gaster, Korpus pankreas ,Fleksura lienalis
kolon ,Sebagian kolon tranversum dan Kolon desenden.
c. Kuadran kanan bawah
Terdiri atas: Saekum dan appendiks , Sebagian kolon assenden
d. Kuadran kiri bawah
Terdiri atas : Kolon sigmoid dan Sebagian kolon desenden.

Maka diketahui nyeri abdomen bagian kuadran kanan atas tersebut dapat
disebabkan karena adanya gangguan dari organ-organ yang letaknya berada pada
bagian kuadran kanan atas seperti hepar,kantong empedu, pylorus, Duodenum
,Kaput pankreas , Fleksura hepatika kolon , Sebagian kolon asendens dan Kolon
tranversum.
Gangguan penyakit pada kuadran kanan atas abdomen yang ditandai
dengan adanya icterus adalah gangguan pada organ hepar. Misalnya hepatitis

Hepatitis A merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis A


,virus hepatitis b virus hepatitis ,c, virus hepatitis d, dan virus hepatitis e yang
biasanya menular melewati fecal oral demikian pula dengan air dan makanan yang
terkontaminasi. Infeksi virus hepatitis A akut menyebabkan proses
nekroinflamasi akut pada hati yang bormalnya akan sembuh spontan tampa
sekuele kronik. Gejala prodromal pada hepatitis akut adalah lemas, cepat lelah,
anoreksia, muntah, rasa tidak nyaman pada abdomen atau nyeri abdomen diare,
dan pada stadium lanjutan dan tidak umum dapat dijumpai demam.

Gejala tersering pasien infeksi virus hepatitis A akut yaitu


gejala Angka kejadian (%)

ikterus 40-80

Urin berwarna seperti the 68-94

Mudah lelah 52-91

Anoreksia 42-90

Nyeri/rasa tidak nyaman pada 37-65


abdomen
Feses berwarna dempul 52-58

Mual dan muntah 16-87

Demam atau menggigil 32-73

Sakit kepala 26-73

artralgia 11-40

Mialgiaa 15-52
Diare 16-25

Nyeri tenggorokan 0-20

Berdasarkan tebel ditas maka dapat dikatakan bahwa nyeri perut kuadran
kanan atas dapat diakibatkan oleh adanya gangguan fungsi atau suatu penyakit
pada hepar serta pada table ditas juga dapat dilihat adanya urin yang berwarna
seperti the, mual muntah dan adanya nyeri atau rasa tidaknyaman pada abdomen
sesuai dengan gejala yang ditimbukan pada scenario.

Referernsi : Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid II.edisi VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014
5. Penyebab pasien mengalami demam

Demam adalah kenaikan suhu tubuh yang ditandai oleh kenaikan titik
ambang regulasi panas hipotalamus. Pusat regulasi/pengatur panas hipotalamus
mengendalikan suhu tubuh dengan menyeimbangkan sinyal dari reseptor neuronal
perifer dingin dan panas (Arvin, 2000).

Demam terjadi bila berbagai proses infeksi dan non-infeksi berintraksi


dengan mekanisme pertahanan hospes. Demam kebanyakan disebabkan oleh agen
mikrobiologi yang dapat dikenali dan demam menghilang sesudah masa yang
pendek (Arvin, 2000). Batasan nilai atau derajat demam dengan pengukuran di
berbagai bagian tubuh sebagai berikut: suhu aksila/ketiak diatas 37,2°C, suhu
oral/mulut diatas 37,8°C, suhu rektal/anus diatas 38,0°C, suhu dahi diatas 38,0°C,
suhu di membran telinga diatas 38,0°C. Sedangkan dikatakan demam tinggi
apabila suhu tubuh diatas 39,5°C dan hiperpireksia bila suhu diatas 41,1°C
(Bahren, et al., 2014).

Secara garis besar, ada dua kategori demam yang seringkali diderita anak
yaitu demam non-infeksi dan demam infeksi (Widjaja, 2008). 11

1) Demam Non-infeksi
Demam non-infeksi adalah demam yang bukan disebabkan oleh
masuknya bibit penyakit ke dalam tubuh. Demam ini jarang diderita oleh
manusia dalam kehidupan sehari-hari. Demam non-infeksi timbul karena
adanya kelainan pada tubuh yang dibawa sejak lahir, dan tidak ditangani
dengan baik. Contoh demam non-infeksi antara lain demam yang
disebabkan oleh adanya kelainan degeneratif atau kelainan bawaan pada
jantung, demam karena stres, atau demam yang disebabkan oleh adanya
penyakit-penyakit berat misalnya leukimia dan kanker.
2) Demam Infeksi
Demam infeksi adalah demam yang disebabkan oleh masukan
patogen, misalnya kuman, bakteri, viral atau virus, atau binatang kecil
lainnya ke dalam tubuh. Bakteri, kuman atau virus dapat masuk ke dalam
tubuh manusia melalui berbagai cara, misalnya melalui makanan, udara,
atau persentuhan tubuh. Imunisasi juga merupakan penyebab demam infeksi
karena saat melalukan imunisasi berarti seseorang telah dengan sengaja
memasukan bakteri, kuman atau virus yang sudah dilemahkan ke dalam
tubuh balita dengan tujuan membuat balita menjadi kebal terhadap penyakit
tertentu. Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan infeksi dan akhirnya
menyebabkan demam pada anak antara lain yaitu tetanus, mumps atau
parotitis epidemik, 12 morbili atau measles atau rubella, demam berdarah,
TBC, tifus dan radang paru-paru (Widjaja, 2008).
6. Penyebab pasien mengalami lemas!
Hati terus menyekresikan empedu, bahkan di antara waktu makan. Lubang duktus
biliaris ke dalam duodenum dijaga oleh sfringter oddi, yang mencegah empedu masuk ke
duodenum kecuali sewaktu pencernaan makanan.

Ketika sfingter ini tertutup, empedu yang disekresikan oleh hati menabrak sfingter
yang tertutup dan dialihkan balik ke dalam kandung empedu, suatu struktur kecil
berbentuk kantong yang terselip di bawah tetapi tidak langsung berhubungan dengan hati.
Karena itu, empedu tidak diangkut langsung dari hati ke kandung empedu. Empedu
kemuadian disimpan dan dipekatkan di kandung empedu di antara waktu makan.
Transpor aktif garam di luar kandung empedu, yang diikuti air secara osmosis,
menghasilkan konsentrasi konstituen organik yang 5-10 kali lebih besar.

Empedu mengandung beberapa konstituen organik, yaitu garam empedu, kolesterol,


lesitin (suatu fosfolipid), dan bilirubin (semua berasal dari aktivitas hepatosit) dalam
suatu cairan encer alkalis (ditambahkan oleh sel duktus) yang serupa dengan sekresi
NaHCO3 pankreas. Meskipun empedu tidak mengandung enzim pencernaan apapun,
bahan ini penting dalam pencernaan dan penyerapan lemak, terutama melalui aktivitas
garam empedu.

Garam empedu membantu pencernaan lemak melalui efek emulsifikasi dan


mempermudah penyerapan lemak dengan ikut serta dalam pembentukan misel.
Kemampuan garam empedu inilah yang berfungsi untuk mengubah globulus lemak besar
menjadi emulsi lemak yang terdiri dari banyak butiran lemak yang membentuk suspensi
di dalam kimus cair.

Dengan menguraikan globulus berukuran besar menjadi kecil, butiran-butiran yang


telah stabil meningkatkan luas permukaan yang tersedia untuk tempat kerja lipase
pankreas. Untuk mencerna lemak, lipase harus berkontak langsung dengan molekul
trigliserida cenderung menggumpal menjadi butir-butir besar dalam lingkungan usus
halus yang banyak mengandung air.

Jika garam empedu tidak mengemulsifikasi gumpalan besar lemak ini, lipase hanya
dapat bekerja pada permukaan gumpalan besar tersebut dan pencernaan lemak akan
sangat lama. Hal tersebut juga dapat terjadi apabila terjadi obstruksi saluran empedu
dalam lumen intestinal yang akan membuat berkurangnya garam empedu bahakan tidak
adanya garam empedu dalam lumen intestinal kemudian terjadi malabsorbsi lemak dan
vitamin larut lemak (A, D, E, K). Sehingga kebutuhan energi tidak adekuat yang
membuat berkurangnya kekuatan otot dan membuat tubuh terasa lemas.

Referensi: Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Edisi 8.


Penerbit Buku kedokteran: EGC.
7. Penyebab mual dan muntah

Penyakit Intraperitonoum

Obitruksi visera dan peradangan organ berongga dapat menyebabkan


muntah sebagai gejala utama. Obstruksi lambung disebabkan oleh penyakit tukak
dan keganasan, sementara obstruksi usus halus dan kolon teriadi akibat
perlekatan, tumor jinak atau ganas, volvulus, intususepsi, atau penyakit inflamasi
misalnya penyakit Crohn. Sindrom arteri mesenterika superior yang timbul setelah
penurunan berat atau tirah baring berkepanjangan, terjadi ketika duodenum
tertekan oleh arteri mesenterika superior yang terletak di atasnya. Iradiasi
abdomen mengganggu fungsi kontraktitl usus dan memicu striktur. Kolik empedu
menyebabkan mual melalui aktivitas saraf aferen visera. Muntah pada
pankreatitis, dan apendisitis disebabkan oleh iritasi visera lokal dan induksi ileus.
Infeksi usus oleh virus atau bakteri, misalnya staphylococcus aureus dan Bacillus
cereue sering menjadi penyebab muntah akut, terutama pada anak Infeksi
oportunistik, misalnya sitomegalovirus atau herpes simpleks memicu muntah pada
orang dengan gangguan imunitas

Gangguan fungsi sensorimotorik usus juga sering menyebabkan mual dan


muntah Gastroparests didefinisikan sebagai tertundanya pengosongan makanan
dari lambung dan terjadi setelah vagotomi, pada adenokarsinoma pankreas, pada
insufisiensi pembuluh darah mesenterium atau pada penyakit sistemik, misalnya
diabetes, skleroderma, dan amyloidosis. Gastroparesis idiopatik yang terjadi tanpa
penyakit sistemik mungkin timbul setelah suatu prodroma virus, menunjukkan
etiologi infeksi. Pseudoobstruksi usus ditandai oleh gangguan aktivitas motorik
usus dan kolon yang menyebabkan retensi sisa makanan dan sekresi, pertumbuhan
bakteri yang berlebiban malabsorpsi nutrien dan gejala mual muntah, kembung,
nyeri, dan gangguan defekasi. Pseudoobstruksi usus dapat bersifat idiopatik atau
diwariskan sebagai suatu miopati atau neuropati viseral familial, atau dapat timbul
akibat penyakit sistemik atau sebagai komplikasi paraneoplastik keganasan
misalnya karsinoma sel kecil paru. Pasien dengan refluks gastroesofagus mungkin
mengeluh mual dan muntah, demikian juga sebagian orang dengan dispepsia
fungsional dan sindrom usus iritatif.

Terdapat tiga gangguan fungsional lain tanpa kelainan organik yang terjadi
pada orang dewasa Mual idiopatik kronik didefinisikan sebagai mual tanpa
muntah yang terjadi beberapa kali dalam seminggu, sedangkan muntah fungsional
didefinisikan sebagai serangan muntah yang terjadi satu kali atau lebih setiap
minggu tanpa gangguan makan ataupun kejiwaan. Sindrom mualmuntah siklik
adalah suatu penyakit yang jarang terjadi dan etiologinya belum diketahui yang
menyebabkan serangan berkala mual dan muntah hebat. Sindrom ini
memperlihatkan keterkaitan erat dengan nyeri kepala migren, yang menunjukkan
bahwa sebagian kasus mungkin merupakan varian migren Muntah siklik paling
sering terjadi pada annk meskipun kasus dewasa juga pernah dilaporkan dan
berkaitan dengan pengosongan lambung yang cepat dan pemakaian kanabis
kronik.

Penyakit Ekstraperitoneum

Infark miokard dan gagal jantung kongestif merupakan penyehab mual


dan muntah akibat jantung. Muntah pascaoperasi terjadi setelah 25 %
pembedahan, terutama laparotomi dan bedah ortopedik, dan lebih sering pada
wanita. Meningkatnya tekanan intrakranial akibat tumor, perdarahan, abses, atau
obstruksi aliran keluar cairan serebrospinal menyebalbkan muntah hebat dengan
atau tanpa mual. Mabuk gerak, labirintitis, dan penyakit Ménière memicu gejala
melalui jalur labirintin. Pasien dengan penyakit kejiwaan termasuk anoreksia
nervosa, bulimia nervosa, ansietas, dan depresi mungkin mengeluh mual hebat
yang mungkin berkaitan dengan keterlambatan pengosongan lambung.

Obat dan Gangguan Metabolik

Obat memicu muntah melalui efek pada lambung (analgesik, eritromisin)


atau area postrema (digoksin, opiat, obat anti- Parkinson). Obat emetogenik
meliputi antibiotik, antiaritmia jantung, antihipertensi, hipoglikemik oral, dan
kontrasepsi. Kemoterapi kanker menyebabkan muntah yang bersifat akut (dalam
beberapa jam setelah pemberian), lambat (setelah hari atau lebih), atau
antisipatorik. Emesis akut akibat obat emetogenik kuat, misalnya sisplatin
diperantarai oleh jalur 5-HTy sementara muntah yang tertunda tidak bergantung
pada jalur 5-HT, Mual antisipatorik sering berespons lebi baik terhadap terapi
ansiolitik daripada antiemetik.

Beberapa gangguan metabolik memicu mual dan muntah. Kehamilan


merupakan penyebab mual akibat endokrinologik tersering , terjadi pada 70 %
wanita pada trimester pertama. Hiperemesis gravidarum adalah bentuk mual yang
parah pada kehamilan dan dapat menyebabkan kehilangan cairan dan gangguan
elektrolit yang bermakna. Uremia, ketoasidosis, dan insufisiensi adrenal, serta
penyakit paratiroid dan tiroid, adalah penyebab metabolik lain pada muntah.

Toksin dalam darah memicu gejala melalui efek pada area postrema.
Toksin endogen terbentuk pada gagal hati fulminan, sedangkan enterotoksin
eksogen mungkin dihasilkan oleh infeksi bakteri usus. Intoksikasi etanol
merupakan etiologi toksik mual dan muntah yang sering dijumpai.

Referensi : Dan L. Longo . Anthony s. Fauci , 2014 , Gastroenterologi &


hepatologi , Jakarta , EGC halaman 32-33.
8. Jelaskan langkah-langkah diagnosis yang sesuai dengan skenario!
A. Anamnesis
Pada Anamnesis pemeriksa harus bersikap cukup terbuka dan tidak
terburu-buru,mengajukan pertanyaan yang tepat dan mendengarkan.
Hal yang harus ditanyakan pemeriksa meliputi identitas pasien,
menanyakan keluhan utama, kemudian khusus pada sistem gastrointestinal
pemeriksa menanyakan mengenai nafsu makan defekasi, mual, muntah, diare,
kostipasi, hematemesis, melena, hematokezia dan hemoroid. Menggali riwayat
penyakit pasien saat ini maupun riwayat penyakit terdahulu, menanyakan keluhan
pada sistem yang meliputi riwayat demam, sakit kepala, penurunan berat badan
dan nyeri dada.
Pada kasus nyeri abdomen menggali informasi mengenai lokasi nyeri
dapat membantu mempersempit diagnosis banding, misalnya pada nyeri abdomen
pada lokasi kuadran kanan bawah yaitu Apendisitis, Salpingitis, Hernia Inguinalis,
Nefrolitiasis dan limfadenitis mesenterium. Daerah di luar abdomen yang
mungkin menjadi penyebab nyeri abdomen juga perlu diperhatikan dengan
seksama, riwayat haid yang akurat penting pada pasien wanita. Pada pasien
dengan keluhan mual dan muntah, dengan anamnesis dapat menentukan etiologi
mual dan muntah, obstruksi pylorus dan gastroparesis menimbulkan mual dan
muntah dalam waktu 1 jam setelah makan.
Hematemesis menimbulkan kecurigaan adanya tukak, keganasan, atau
robekan mallory-weiss, sementara muntahan yang “sangat kotor” terjadi pada
obstruksi usus distal dan kolon.berkurangnya nyeri abdomen oleh muntah
merupakan tanda obstruksi usus halus,sementara muntah tidak berpengaruh pada
nyeri pankreatitis atau kolesistitis.penurunan berat badan yang mencolok
menimbulkan kecurigaan akan keganasan atau obstruksi. Demam menandakan
adanya peradangan.
B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik abdomen yaitu pemeriksaan daerah abdomen atau perut
di bawah arkus kosta kanan-kiri sampai garis lipat paha atau daerah inguinal.
Pembagian regional abdomen
Ada beberapa cara untuk membagi permukaan dinding perut dalam
beberapa regio
1. Dengan menarik garis tegak lurus terhadap garis median melalui
umbilikus.dengan cara ini dinding depan abdomen terbagi atas 4
kuadran.

Atau yang disebut sebagai a). Kuadran kanan atas, b). Kuadran kiri atas,
c). Kuadran kiri bawah, d). Kuadran kanan bawah.
2. Pembagian yang lebih rinci atau lebih spesifik yaitu dengan menarik dua
garis sejajar dengan garis median dan dua garis transversal yaitu yang
menghubungkan dua titik paling bawah dari arkus kosta dan satu garis lagi
menghubungkan kedua spina iliaka anterior superior (SIAS).Berdasarkan
pembagian yang lebih rinci tersebut permukaan depan abdomen terbagi atas 9
regio.
Secara garis besar organ-organ di dalam abdomen dapat diproyeksikan
pada permukaan abdomen antara lain :
a. Hepar berada di daerah epigastrium dan di daerah hipokondrium kanan
b. Lambung berada di daerah epigastrium
c. Limpa berada di daerah hipokondrium kiri
d. Vesika felea seringkali berada pada perbatasan daerah hipokondrium
kanan dan epigastrium.
e. Kandung kencing yang penuh dan uterus pada orang hamil dapat teraba
di daerah hipogastrium.
f. Apendiks berada di daerah antara daerah iliaka kanan,lumbal kanan dan
bagian bawah daerah umbilikal.
Selain peta regional tersebut terdapat beberapa titik dan garis yang sudah
disepekati:
1. Titik Mc burney : yaitu titik pada dinding perut kuadran kanan bawah
yang terletak pada 1/3 lateral dari garis yang menghubungkan SIAS
dengan umbilicus. Titik mc burney tersebut dianggap lokasi apendiks
yang akan terasa nyeri tekan bila terdapat apendisitis.
2. Garis schuffner.yaitu garis yang menghubungkan titik pada arkus kosta
kiri dengan umbilikalis (dibagi 4 dan garis ini diteruskan sampai SIAS
kanan yang merupakan titik VIII. Garis ini digunakan untuk
menyatakan pembesaran limpa.

Pemeriksaan abdomen
Pemeriksaan ini dilakukan dengan posisi pasien terientang kepala rata atau
dengan satu bantal dengan kedua tangan disisi kanan-kirinya. Usahakan
semuabagian abdornen dapat diperiksa termasuk xiphisternum dan mulut hernia.
Sebaiknya kandung kencing dikosongkan dulu sebelum pemeriksaan dilakukan.
Pemeriksaan abdomen ini terdiri 4 tahap yaitu inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi.

Pemeriksaan Inspeksi

Pemeriksaan ini dilakukan dengan melihat abdomen baik bagian depan


ataupun belakang (pinggang). Inspeksi ini dilakukan dengan penerangan cahaya
yang cukup sehingga dapat dicermati keadaan abdomen seperti simetris atau
tidak, bentuk atau kontur, ukuran, kondisi dinding perut (kulit, vena, umbilikus,
striae alba) dan pergerakan dinding abdomen. Pada pemeriksaan tahap awal ini
diperhatikan secara visual kelainan-kelainan yang terlihat pada abdomen seperti
jaringan parut karena pembedahan, asimetri abdomen yang menunjukkan adanya
masa tumor, striae, vena yang berdilatasi, caput medusae atau obstruksi vena kava
inferior, peristalsis usus, distensi dan hernia.

Pada keadaan normal terlentang, dinding abdomen terlihat simetris. Bila


ada tumor atau abses atau pelebaran setempat lumen usus membuat abdomen
terlihat tidak simetris. Pada keadaan normal dan fisiologis, pergerakan dinding
usus akibat peristaltik usus tidak terlihat. Bila terilhat gerakan peristaltik usus
maka dapat dipastikan adanya hiperperistaltik dan dilatasi sebagai akibat obstruksi
lumen usus. Obstruksi Iumen usus ini dapat disebabkan macam-macam kelainan
antara lain tumor, perlengketan, strangulasi dan skibala.

Abdomen yang membuncit dalam keadaan normal dapat terjadi pada


pasien gernuk. Pada keadaan patologis, abdomen membuncit disebabkan oleh
ileus paralitik, ileus obstruktif, meteorismus, asites, kistoma ovar, dan kehamilan.
Tonjolan setempat menunjukkan adanya kelainan organ di bawahnya, misal
tonjolan regio suprapubis terjadi karena pembesaran uterus pada wanita atau
terjadi karena retensi urin pada pria tua dengan hipertrofi prostat atau wanita
dengan kehamilan muda. Pada stenosis pilorus, lambung dapat menjadi besar
sekali sehingga pada abdomen terlihat pembesaran setempat.

Pada kulit abdomen perlu diperhatikan adanya sikatriks akibat uIserasi


pada kulit atau akibat operasi atau luka tusuk. Adanya garis-garis putih sering
disebut striae alba yang dapat terjadi setelah kehamilan atau pada pasien yang
mulanya gernuk atau bekas asites.

Striae kemerahan dapat terlihat pada sindrom chusing. Kuilt abdornen


menjadi kuning pada berbagai macam ikterus. Adakah ditemukan garis-garis
bekas garukan yang menandakan pruritus karena ikterus atau diabetes melitus.
Pelebaran vena terjadi pada hipertensi portal Pelebaran disekitar umbilikus
disebut kaput medusae yang terclapat pada sindrom Banti. Pelebaran vena akibat
obstruksi vena kava inferior terlihat sebagai pelebaran vena dari daerah inguinal
ke umbilikus, sedang akibat obstruksi vena kava superior aliran vena ke distal

Pemeriksaan Auskultasi

Perneriksaan ini dilakukan untuk memeriks:

 suara/bunyi usus: frekuensi dan pitch meningkat pada obstruksi,


menghilang pada ileus paralitik.
 Succussion splash untuk mendeteksti obstruksi lambung
 Bruit arterial
 Venous hum pada kaput medusa.

Dalam keadaan normal bising usus terdengar lebih kurang 3 kali permenit.
Jika terdapat obstruksi usus, suara peristaltik usus ini akan meningkat, lebih lagi
pada saat timbul rasa sakit yang bersifat kolik. Peningkatan suara usus ini disebut
borborigmi. Pada keadaan kelumpuhan usus (paralisis) misal pada pasien pasca-
operasi atau pada keadaan peritonitis umum, suara ini sangat melemah dan jarang
bahkan kadang-kadang menghilang. Keadaan ini juga bisa terjadi pada tahap
lanjut dari obstruksi usus dimana usus sangat melebar dan atoni. Pada ileus
obstruksi kadang terdengar suara peristaltik dengan nada yang tinggi dan suara
logam (metallic sound).

Pemeriksaan Palpasi

Palpasi dilakukan secara sistematis dengan seksama, pertama kali tanyakan


apakah ada daerah-daerah yang nyeri tekan. Perhatikan ekspresi wajah pasien
selama pemeriksaan palpasi. Kemudian cari apakah ada pembesaran massa
tumor, apakah hati, limpa dan kandung empedu membesar atau teraba. Pada
pemeriksaan ginjal, dilakukan pemeriksaan ballotement (periksa apakah ginjal,
ballottement positif atau negatif). Palpasi dilakukan dalam 2 tahap yaitu palpasi
permukaan (superficial) dan palpasi dalam (deep palpation). Palpasi dapat
dilakukan dengan satu tangan dapat pula dua tangan (bimanual) terutama pada
pasien gemuk.

Palpasi permukaan

Posisi tangan menempel pada dinding perut. Umumnya penekanan dilakukan


oleh ruas terakhir dan ruas tengah jari-jari, bukan dengan ujung jari. Sistematika
palpasi dilakukan dengan hati-hati pada daerah nyeri yang dikeluhkan oleh pasien.

Palpasi dalam

Palpasi dalam dipakai untuk identifikasi kelainan/rasa nyeri yang tidak


didapatkan pada palpasi permukaan dan untuk palpasi Iebih menegaskan kelainan
yang didapat pada permukaan dan yang terpenting yaitu untuk palpasi organ
secara spesifik misalnya palpasi hati, limpa, dan ginjal. Palpasi dalam juga
penting pada pasien yang gernuk atau pasien dengan otot dinding yang tebal.

Perinci nyeri tekan abdomen antara lain, berat ringannya, lokasi nyeri yang
maksimal, apakah ada tahanan (peritonitis), apakah ada nyeri "rebound" bila tak
ada tahanan. Perinci massa tumor yang ditemukan antara lain, lokasi, dan ukuran
(diukur dalam cm), bentuk, permukaan (rata atau ireguler), konsistensi (lunak atau
keras), pinggir (halus atau ireguler), nyeri tekan, melekat pada kulit atau tidak,
melekat pada jaringan dasar atau tidak, berpulsasi (misal aneurisma aorta),
terdapat lesi-lesi satelit yang berhubungan (misal metastasis), transiluminasi
(misal kista berisi cairan) dan adanya bruit. Pada palpasi hati, mulai dari fosa
iliaka kanan dan bergerak ke atas pada tiap respirasi, jari-jari harus mengarah pada
dada pasien. Pada palpasi kandung empedu, kandung empedu yang teraba
biasanya selaiu abnormal. Pada keadaan ikterus, kandung empeduyang teraba
berarti bahwa penyebabnya bukan hanya batu kandung empedu tapi juga harus
dipikirkan karsinoma pankreas. Pada palpasi limpa, mulai dekat umbilikus, raba
limpa pada tiap inspirasi, bergerak secara bertahap ke atas dan kiri setelah tiap
inspirasi dan jika tidak teraba, ulangi pemeriksaan pasien dengan posisi
menyamping ke kiri dengan pinggul kiri dan lutut kiri ditekuk. Pada palpasi
palpasi bimanual dan pastikan dengan pemeriksaa ballottement.

Pemneriksaan Perkusi

Perkusi abdomen dilakukan dengan cara tidak langsung sama seperti pada
perkusi di rongga toraks tetapi dengan lebih ringan dan ketokan yang Iebih
penekanan yang perlahan. Pemeriksaan ini digunakan untuk:

 mendeteksi kandung empedu atau vesika urinaria, dimana suaranya


redup/pekak
 menentukan ukuran hati dan limpa secara kasar
 menentukan penyebab distensi abdomen: penuh gas (timpani), massa
tumor (redup-pekak) dan asites.
 Perkusi abdomen sangat membantu dalam menentukan apakah rongga
abdomen berisi lebih banyak cairan atau udara. Dalam keadaan normal
suara perkusi abdomen adalah timpani, kecuali di daerah hati suara
perkusinya adalah pekak. Hilangnya sama sekali daerah pekak hati dan
bertambahnya bunyi timpani di seluruh abdomen harus dipikirkan akan
kemungkinan adanya udara bebas didalam rongga perut, misal pada
perforasi usus. Dalam keadaan adanya asites/ cairan bebas di dalam
rongga abdomen, perkusi di atas dinding perut mungkin timpani dan di
sampingnya pekak. Dengan memiringkan pasien ke satu sisi, suara pekak
ini akan berpindah-pindah (shifting dullness). Pemeriksaan shifting
dullness sangat patognomonis dan lebih dapat dipercaya dari pada
memeriksa adanya gelombang cairan. Suatu keadaan yang disebut
fenomenapapan catur (chessboard phenomen) dimana pada perkusi
dinding perut ditemukan bunyi timpani dan redup yang berpindah-pindah,
sering ditemukan pada peritonitis tuberkulosa.

Pemeriksaan jasmani organ abdomen

Hati

Pada inspeksi harus diperhatikan apakah terdapat penonjolan pada regio


hipokondrium kanan. Pada keadaan pembesaran hati yang ekstrim (misal pada
tumor hati) akan terlihat permukaan permukaan abdomen yang asimetris antara
daerah hipokondrium kanan dan kiri.

Berikut ini adalah langkah-langkah pemeriksaan hati:

a. Posisi pasien berbaring terlentang dengan kedua tungkai kanan dilipat agar
dinding abdomen lebih lentur.dinding abdomen dilemaskan dengan cara
menekuk kaki sehingga membentuk sudut 45-60º
b. Pasien diminta untuk menarik nafas panjang.
c. Pada saat ekspirasi maksimal jari ditekan ke bawah,kemudian pada awal
inspirasi jari bergerak ke kranial dalam arah parabolik.
d. Diharapkan, bila hati membesar akan terjadi sentuhan antara jari
pemeriksa dengan hati pada saat inspirasi maksimal. Palpasi dikerjakan
dengan menggunakan sisi palmar radial jari tangan kanan (bukan ujung
jari) dengan posisi ibu jari terlipat di bawah palmar manus. Lebih tegas
lagi bila arah jari membentuk 45º dengan garis median. Ujung jari terletak
pada bagian lateral muskulus rektus abdominalis dan kemudian pada garis
median untuk memeriksa hati lobus kiri.
Palpasi dimulai dari regio iliaka kanan menuju ke tepi lengkung iga kanan.
Dinding abdomen ditekan ke bawah dengan arah dorsal dan kranial
sehingga akan dapat menyentuh tepi anterior hati. Gerakan ini dilakukan
berulang dan posisinya digeser 1-2 jari ke arah lengkung iga.penekanan
dilakukan pada saat pasien sedang inspirasi. Bila pada palpasi kita dapat
meraba adanya pembesaran hati, maka harus dilakukan deskripsi sebagai
berikut:

 Berapa lebar jari tangan di bawah lengkung iga kanan


 Bagaimana keadaan tepi hati.misalnya tajam pada hepatitis akut atau
tumpul pada tumor hati?
 Bagaimana konsistensinya, kenyal (normal) keras (pada tumor hati)
 Bagaimana permukaannya
 Apakah terdapat nyeri tekan.
Pada keadaan normal, hati tidak akan teraba pada palpasi kecuali pada
beberapa kasus dengan tubuh yang kurus (sekitar 1 jari). Terabanya hati
1-2 jari dibawah lengkung iga harus dikonfirmasi apakah hal tersebut
memang suatu pembesaran hati atau karena adanya perubahan bentuk
diafragma (misal emfisema paru). Untuk menilai adanya pembesaran
lobus kiri hati dapat dilakukan palpasi pada daerah garis tengah abdomen
ke arah epigastrium. Batas atas hati sesuai dengan pemeriksaan perkusi
batas paru hati (normal pada sela iga 6). Pada beberapa keadaan patologis
misal emfisema paru,batas ini akan lebih rendah sehingga besar hati yang
normal dapat teraba tepinya pada waktu palpasi.
Perkusi batas atas dan bawah hati (perubahan suara dari redup ke
timpani) berguna untuk menilai adanya pengecilan hati (misal sirosis
hati). Pekak hati menghilang bila terjadi udara bebas dibawah diafragma
karena perforasi.suara bruit dapat terdengar pada pembesaran hati
akibat tumor hati yang besar.

Pemeriksaan laboratorium

- Pemeriksaan urin secara makroskopik (warna)


Warna urin Penyebab

Kuning hijau Bilirubin teroksidasi


menjadi biliverdin

Kuning coklat Biliverdin

orange Bilirubin

- Uji carik celup urin

Reaksi bilirubin dengan senyawa diazotized dichloroaniline dalam suasana


asam kuat akan menghasilkan suatu kompleks yang berwarna coklat muda hingga
merah coklat.adanya bilirubin dalam urin menunjukkan adanya kerusakan hati,
obstruksi saluran empedu. Sedangkan urobilinogen menunjukkan adanya
kerusakan hati, hemolisis, porfirinuria.

Referensi :
Longo,D.L dan Fauci S.Anthony. 2013. Harrison gastroenterologi &
Hepatologi .Jakarta: EGC ,hal 5,6 & 33.
Setiati,siti dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi VI. Jakarta:
EGC
9. Diagnosis banding

HEPATITIS AKUT

Infeksi virus hepatitis A akut

Epidemiologi

Angka kejadia hepatitis A akut diseluruh dunia adalah 1,5 juta kasus
pertahun, dimana diperkirakan jumlah kasus yang dilaporkan adalah 80%.
Perkiraan dari global bunder of disease (GBD) dari WHO diperkirakan terdapat
puluhan juta individu terinfeksi pertahunnya diseluruh dunia. Infeksi virus
hepatitis A yang endemis tinggi terdapat pada negara dengan sanitasi yang burk
dan kondiisi si=osial ekonomi yang rendah, dimana infeksi biasanya terjadi pada
usia kurang dari 5 tahun. Infeksi virus hepatitis A tersebar diseluruh dunia, dengan
angka endemisitas terklasifikasi menjadi sangat rendah (estimasi indens kurang
dari 5 kasus per 10%), rendah (5-15 kasus per 105), intermediet (15-150 kasus per
105) dan tinggi (lebih dari 150 kasus per 105).

Perubahan epidemiologi infeksi virus hepatitis A mengalami perubahan, dimana


pada Negara berkembang, infeksi terjadi pada usia anak-anak, remaja, hingga
dewasa, sedangkan pada Negara maju, dengan endemisitas rendah, infeksi virus
hepatitis A pada umumnya terjadi pada usiadewasa (30 tahun keatas). Meskipun
demikian, case fatality rate pasien dewasa dengan hepatitis A lebih tinggi bila
dibandingkan dengan usia yang lebih muda.

Pathogenesis

Infeksi virus hepatitis A terutama menularmelalui jalur fekal-oral,


demikian pula dengan air dan makanan yang terkontaminasi. Kerang-kerangan
mempunyai kemampuan mencerna dan menghasilkan virus hepatits A yang
terkonsentrasi, sehingga dapat menjadi sumber penularan virus. Transmisi terjadi
terutama melalui kejadian luar biasa (transmisi melalu makanan dan minuman)
dan kontak dari orang ke orang. Pada cairan tubuh, virus hepatitis A
terkonsentrasi sebagian besar pada feses, serum dan air liur. Virus hepatitis A
sangat jarang ditransmisikan oleh produk darah atau prosedur medirs. Virus
hepatitis A terdapat feses selama 3-6 minggu selama masa inkubasi, dapat
memanjang pada fase kerusakan hepatoselular pada pasien yang simptomatik
maupun yang asimptomatik. Penempelan virus paling maksimal terjadi pada saat
kerusakan hepatoselular, selama periode dimana individu yang terinfeksi berada
pada fase yang paling infeksius.

Virus hepatitis A sangat stabil pada lingkungan dan bertahan hidup pada
suhu 60 derajat selama 60 menit, tetapi menjadi tidak aktif pada suhu 81 derajat
setelah pemanasan 10 menit. Virus hepatitis A dapat bertahan hidup pada feses,
tanah, makanan dan air terkontaminasi. Virus hepatitis A resisten terhadap
detergen dan pH yang rendah selama transisi menuju lambung. Selama dicerna
disaluran pencernaan, virus hepatitis A berpenetrasi kedalam mukosa lambung
dan mulai bereplikasi di kripti sel epitel intestine dan mencapai hati melalui
pembuluh darah portal.

Sebagian kultur sel yang mengandung strain virus hepatitis A


menunjukkan strain virus hepatitis A yang sitopatik, tetapi virus hepatitis A wild-
type bersifat non-sitopatik pada hepatosit manusia yang terinfeksi. Mekanisme
interaksi antara sel virus dengan pejamu belum sepenuhnya diketahui. Studi
lainnya menunjukkan virus hepatitis A masuk ke hepatosit sebagai kompleks
virus- IgA melalui reseptor asialoglikoprotein hepatoselular. Setelah masuk ke
dalam sitoplasma hepatosit, virus tersebut bereplikasi di hati dan menempel pada
feses melalui kanalikuli bilier dan dalam aliran darah dalam jumlah yang lebih
sedikit.

Infeksi virus hepatitis A berhubungan dengan respon imun selular, yang


berperan dalam imunopatogenesis infeksi virus hepatitis A dan induksi kerusakan
hepatosit. Kerusakan hepatosit terjadi melalui melalui aktivasi sel T sitotoksik
spesifik terhada virus hepatitis A. dari hasil hepatosit yang terinfeksi, yang
didapatkan dari biopsi, menunjukkan adanya sel T CD8+ yang secera spesifik
dapat melisiskan virus hepatitis A. terbatasnya bukti keterlibatan system imun
alami (innate immunity) pada infeksi virus hepatitis A menunjukkan sekresi
interferon gamma melalui sel T yang teraktivasi, yang memfasilitasi ekspresi
HLA kelas I determinan pada permukaan hepatosit yang terinfeksi. Epitope sel T
sitolitik pada protein structural virus hepatitis A dapat terlibat pada proses sitolitik
hepatosit yang terinfeksi virus hepatitis A.

Gambaran klinis

Masa inkubasi virus hepatitis A biasanya 14-28 hari, bahkan sampai 50


hari. Gejalanya muncul selama virus hepatitis A akut berhubungan dengan usia
pasien. Gejala prodromal hepatitis akut adalah lemas, cepat lelah, anoreksia,
muntah, rasa tidak nyaman pada abdomen, diare, dan pada stadium lanjutan dan
tidak umum, dapat dijumpai demam, sakit kepala, arthralgia, dan mialgia. Gejala
prodromal biasanya hilang seiring dengan munculnya icterus.

Lima pola klinis infeksi hepatitis A adalah: 1. Infeksi hepatitis A asimptomatik,


biasanya terjadi pada anak- anak usia dibawah 5-6 tahun; 2. Infeksi virus hepatitis
A simptomatik dengan urine berwarna seperti teh dan feses berwarna dempul,
biasanya disertai icterus; 3. Hepatitis kolestasis yang ditandai dengan pruritus,
peningkatan jangka panjang dan alkaline fosfatase, gamma glutamyl
transpeptidase, hiperbilirubinemia dan penurunan berat badan; 4. Hepatitis A
relaps yang bermanifestasi kembali munculnya sebagian atau seluruh tanda klinis,
penanda biokimia virus dan penanda serologi infeksi virus hepatitis A akut setelah
resolusi inisial; 5. Hepatitis fulminant yang jarang terjadi dan dapat hilang
spontan, tetapi juga dapat fatal bahkan sampai membutuhkan transplantasi hati.
Pola klinis infeksi hepatitis A berupa kelostasis, relaps dan fulminant merupakan
pola klinis yang jarang terjadi.

Berdasarkan beberapa sumber, tanda paling sering yang ditemukan pada


pemeriksaan fisik adalah hepatomegali (78%) dan icterus (71%) pada pasien
dewasa yang simptomatik.

Tata laksana infeksi hepatitis A akut

Terapi simptomatik dan hidrasi yang adekuat sangat penting pada penata
laksanaan infeksi hepatitis A akut. Penggunaan obat yang potensial bersifat
hepatotoksik sebaiknya dihindari, misalnya parasetamol. Pencegahan penulasan
penyakit infeksi virus hepatitis A dapat dilakukan dalam beberapa cara, yaitu
pemberian immunoglobulin, vaksinasi, kondisi higienis yang baik, seperti cuci
tangan dan desinfeksi.

Sampai saat ini pemberian immunoglobulin merupakan cara utama untuk


mencegah infeksi virus hepatitis A pada individu yang sangat rentan dengan
paparan, maupun orang yang baru terkena paparan infeksi virus hepatitis A.
Imunisasi ini bermanfaat untuk pencegahan infeksi pada orang yang bepergian,
pekerja militer, bahkan profilaksis pasca paparan virus hepatitis A.

Pemberian immunoglobulin hepatitis A direkomendasikan untuk individu


pasca paparan virus hepatitis A dan individu yang belum divaksin hepatitis A
yang berisiko terpapar virus hepatitis A selama kurang dari dua inggu.
Immunoglobulin juga direkomendasikan sebagai profilaksis untuk individu yang
belum terpapar, dimana individu tersebut tidak dapat menerima vaksin akibat
alergi terhadap komponen vaksin.

Profilaksis pasca paparan direkomendasikan untuk individu yang terpapar


dalam waktu kurang dari 2 minggu sebelum imunisasi. Kontak personal yang erat
dengan pasien yang diduga dalam masa inkubasi infeksi hepatitis A juga
merupakan indikasi pemberian profilaksis.

Immunoglobulin diberikan secara intramuscular dosis tunggal sebanyak


0,02-0,06% ml/kg. dosis yang rendah efektif untuk proteksi selama 3 bulan,
sedangkan pada dosis yang lebh tinggi efektif selama 6 bulan. Hasil pemberian
immunoglobulin adalah serokonfersi, yang didefinisikan sebagai terbentuknya
antibody yang bersifat protektif setelah pemberian immunoglobulin. Pada
umumnya, kadar yang dianggap protektif adalaj 10-20 mIU, yang biasanya timbul
setelah 2 bulan pasca pemberian.

Contoh vaksin yang tersedia dipasaran saat ini adalah vaksin yang
diproduksi oleh Glaxo Smith Kline (Havrix) dan Merck yang memproduksi
Vaqta. Kedua vaksin tersebut diproduksi dari virus yang menginfeksi fibroblast.
Vaksin diberikan dalam 2 dosis secara intramuscular dengan selang waktu 6-18
bulan. Pemberian Havrix dosis tunggal dapat memberikan efek proteksi sampai 1
tahun, tetapi proteksi permanen diperoleh dengan memberikan vaksin dosis kedua
dalam 6-12 bulan. Efek samping yang dapat timbul meliputi nyeri pada tempat
suntikan (terjadi pada 50% kasus) dan sakit kepala (6-16%). Efek samping yang
berat dapat berupa reaksi anafilaksis dan Sindrom Guilain- Barre.

Kadar antibibodi yang dihasilkan dari imunisasi biasanya 10-100 kali lebih
rendah daripada pasca infeksi alamiah dan dapat lebih rendah daripada batas
ambang pemeriksaan diagnostic. Namun Havrix dan Vaqta memberikan antibody
lebih dari 10-20 mIU/ml. efek proteksi dibentuk dibentuk dalam 1 bulan setelah
pemberian dosis inisial pada 90-100% individu dan hamper semua individu
mencapai kadar antibody yang protektif satu bulan setelah pemberian dosis kedua.

Kontra indikasi pemberian vaksin hepatitis A adalah individu dengan


alergi terhadap vaksin atau komponen dari vaksin. Perhatian khusus perlu
dipertimbangakan pada individu dengan penyakit akut derajat sedang dan berat,
serta pada kehamilan karena sampai saat ini keamanan vikasin hepatitis A untuk
ibu hamil belum dapat dibuktikan.

Infeksi virus hepatitis B

Infeksi virus hepatitis B merupakan masalah kesehatan kesehatan di dunia.


Sebanyak 2 juta orang di dunia terinfeksi virus ini, dengan 450 juta mengalami
infeksi kronik. Sebanyak 1 juta sampai 500 juta pasien dengan hepatitis B
meninggal setiap tahunnya. Hepatitis Bmenyumbang 80% penyebab terjadinya
karsinoma hepatoseluler primer dan menduduki peringkat kedua setelah rokok
sebagai penyebab kanker.

Pathogenesis

Selain transmisi vertical, virus hepatitis B dapat di transmisikan dengan


efektif melalui cairan tubuh, perkutan, dan melalui membrane mukosa. Hepatitis
B terkonsentrasi dalam jumlah tinggi dalam cairan tubuh berupa darah, serum,
dan eksudat luka. Sementara itu konsentrasi yang sedang terdapat pada seme,
cairan vagina dan air liur. Konsentrasi yang rendah/tidak ada dijumpai pada urin,
feses, keringat, air mata dan ASI.

Penularan yang lebih rendah dapat terjadi melalui kontak dengan karier
hepatitis B, hemodialysis, paparan terhadap pekerja kesehatan yang terinfeksi, alat
tato, alat tindik, hubungan seksual, dan inseminasi buatan. Selain itu penularan
juga dapat terjadi melalui transfuse darah dan donor organ. Hepatitis Bdapat
menular dapat menular melalui pasien dengan HBsAg yang negative tetapi anti–
HBc positif, karena adanya kemungkinan DNA virus hepatitis B yang
bersirkulasi, yang dapat dideteksi dengan PCR (10-20% kasus). Virus hepatitis B
100x lebih infeksius pada pasien denga infeksi HIV dan 10x lebih infeksius pada
pasien hepatitis C. adanya HBeAg yang positif mengindikasikan resiko transmisi
virus yang tinggi.

Pathogenesis infeksi virus hepatitis melibatkan respon imun humoral dan


seluler. Virus bereplikasi di dalam hepatosit, dimana virus tersebut tidak bersifat
sitopatik, sehingga yang membuat kerusakan sel hati dan manifestasi klinis bukan
disebabkan oleh virus yang menyerang hepatosit, tatapi oleh karena respon imun
yang dihasilkan oleh tubuh. Respon antibodi terhadap antigen permukaan
berperan dalam eliminasi virus. Respon sel T terhadap selubung, nukleokapsid,
dan antigen polymerase berperan dalam eliminasi sel yang terinfeksi.

Gambaran klinis dan penunjang infeksi virus hepatitis B akut

Masa inkubasi virus hepatitis B adalah 1-4 bulan. Setelah masa inkubasi,
pasien masuk kedalam periode prodromal, dengan gejala konstitusional berupa
malaise, anoreksia, mual, muntah, myalgia, dan mudah lelah. Pasien dapat
mengalami perubahan rasa pada indera pengecap perubahan sensasi bau-bauan.
Sebagian pasien dapat mengalami nyeri abdomen kuadran kanan atau nyeri
epigastrium intermiten yang ringan sampai moderat.

Demam lebih jarang terjadi pada pasien dengan infeksi hepatitis B dan D,
bila dibandingkan dengan infeksi hepatitis A dan E. namun demam dapat terjadi
pada pasien dengan serum sickness like syndrome, dengan gejala berupa demam,
kemerahan pada kulit, arthralgia, dan artritis. Serum sickness-like syndrome
terjadi pada 10-20% pasien. Gejala diatas terjadi pada umumnya 1-2 minggu
sebelum terjadi icterus. Sekitar 70% pasien mengalami hepatitis subklinis atau
hepatitis anikterik. Hanya 30% pesien yang mengalami hepatitis dengan icterus.
Pasien dapat mengalami ensefalopati hepatikum dan kegagalan multiorgan bila
terjadi gagal hati fulminan.

Tata laksana

Infeksi virus hepatitis B tidak membutuhkan terapi antiviral. Terapi yang


diberikan hanya terapi suportif dan simptomatik karena sebagian besar infeksi
hepatitis B akut pada dewasa dapat sembuh spontan. Pencegahan terhadap infeksi
virus hepatitis B dilakukan melalui vaksinasi. Pencegahan infeksi menggunakan
imunisasi pasif yaitu pemberian immunoglobulin tidak mencegah infeksi,
melainkan mengurangi frekuensi penyakit klinis.

Pemberian vaksinasi dibedakan menjadi pencegahan sebelum pajanan dan


setelah pajanan. Profilaksis sebelum pajanan terhadap infeksi hepatitis B pada
umumnya diberikan kepada pekerja kesehatan, pasien hemodialisis dan staf yang
bertugas, penggunaan obat-obatan jarum suntik, pasien dengan partner seksual
yang lebih dari satu, pasien yang tinggal di area yang sangat endemik, maupun
yang berumur dibawah 18 tahun yang belum mendapatkan vaksinasi.

Pemberian yang dilakukan secara intramuscular di daerah deltoid


sebanyak 3 kali pada 0, 1, dan 6 bulan, dengan dosis bervariasi, tergantung jenis
vaksinasi. Pemberian vaksin dimulai dari anak-anak di daerah hiperendemis
seperti Asia, menurunkan 10-15 tahun infeksi hepatitis B dan komplikasinya.
Vaksinasi hepatitis B melindung 80-90% pasien selama sekurangnya 5 tahun dan
60-80% selama 10 tahun.

Vaksinasi pasca pajanan tehadap hepatitis B merupakan kombinasi antara


HBIG (Hepatitis B immunoglobulin G) dan vaksin hepatitis B. keduanya
memiliki tujuan masing-masing yaitu HBIG untuk mencapai titer anit-HBs yang
tinggi dan vaksin hepatitis B untuk mencapai imunitas yang tahan lama.
Pemberian HBIG diberika single dose 0,06 ml/kgBBdan diberikan secara
intramuscular dalam waktu maksimal 14 hari setelah pajanan. Pemberian
vaksinasi dan HBIG dapat dilakukan bersamaan namun pada tempat yang
berbeda.

Infeksi virus hepatitis C akut

Infeksi virus hepatitis C pertama kali ditemukan pada tahun 1980-an. Data
publikasi pertama diterbitkan pada tahun 1989, dimana pasien yang terinfeksi
virus hepatitis non-A, non-B, terinfeksi oleh virus hepatitis C. data WHO pada
tahun 2004 menunjukkan bahwa 2,2% penduduk dunia terinfeksi virus hepatitis
C. sampai saat ini terdapat 6 genotipe hepatitis C dan lebih dari 50 subgenotipe
telah teridentifikasi.

Gambaran klinis dan penunjang infeksi virus hepatitis C akut

Setelah paparan perkutan virus hepatitis C, viremia terjadi pada sebagian


besar kasus dalam hitungan hari. Sebagian pasien dapat mengalami gejala
prodromal tipikal berupa flu-like syndrome, tetapi sebagian besar kasus
asimptomatik. Sebagian kasus dapat mengatasi infeksi tanpa anti HCV atau
respon kuat dari sel-T. biasanya respon sel T lebih kuat pada pasien infeksi virus
hepatitis C yang dapat mengeredikasi virus secara spontan.

Infeksi virus hepatitis C yang baru paling baik di identifikasi melalui


surveilans orang dengan resiko terjadinya infeksi virus hepatitis C akut karena
sebagian besar pasien yang mengalami gejala, atau icterus, atau keduanya selama
infeksi akut.

Penyembuhan spontan dalam waktu 6 bulan terjadi pada 20-50% pasien.


Penyembuhan spontan tersebut juga berhubunga dengan penemuan klinis, dimana
pasien dengan icterus biasanya lebih mudah sembuh spontan. Kekuatan respon
imun terhadap hepatitis C berperan dalam control infeksi.

Tata laksana infeksi virus hepatitis C akut


Seperti halmya infeksi virus hepatitis lainnya, tata laksana infeksi hepatitis C
akut adalah suppportif dan simptomatik.

Infeksi Virus Hepatitis D Akut

EPIDEMIOLOGI INFEKSI VIRUS HEPATITIS D AKUT

Infeksi virus hepatitis D endemik pada tahun 1980 pada banyak area di
dunia. Frekunsi yang lebih tinggi terjadi pada area tropis dan subtropis yang
mempunyai prevalensi infeksi virus hepatitis b. Karena dalam 20 tahun terakhir
infeksi virus hepatitis B mulai dapat ditanggulangi, maka infeksi hepatitis D juga
menurun secara signifikan.

Patogenesis infeksi virus hepatitis D akut

Virus hepatitis D ditransmisikan dengan bantuan virus hepatitis B. Virus


hepatitis D paling banyak ditransmisikan melalui penggunaan obat- obatan
intravena dengan jarum yang tidak steril.Efisiensi trnsmisi virus hepatitis D
terutama bergantung pada status HbsAg carrier dan individu yang ditularkan pada
orang normal (HbsAg negatif), infeksi virus hepatitis D tidak dapat
ditransmisikan, kecuali pada pasien sebelumnya telah terinfeksi virus hepatitis B.
Pada keadaan ini infeksi hepatitis D terjadi simultan bersamaan dengan infeksi
virus hepatitis D . efisiensi dari transmisi tergantung pada titer infeksius dari
hepatitis B. Pada pasien dengan HbsAg positif, adanya infeksi hepatitis B
tersebut akan mempermudah aktivasi virus hepatitis D, dan infeksi tersebut akan
terjadi dengan cepat , hal tersebut dinamakan superinfeksi virus hepatitis D pada
infeksi virus hepatitis B. Carrier virus hepatitis B dapat juga menjadi carrier
hepatitis D.

Gambaran klinis dan penunjang infeksi virus hepatitis D akut


Adanya papara virus hepatitis D pada pasien yang imunokompeten, pasien
tersebut akan meningkatkan konsentrasi antibodi Ig G terhadap HDAg (anti-HD)
respons antibodi tersebut dapat berkurang pada pasien yang imunokompromais,
terutama pada pasien dengan infeksi HIV deteksi anti- HD merupakan langkah
pertama dalam diagnosis infeksi hepatits D, deteksi anti – HD tersebut sebaiknya
dilakukan pada pasien carrier HBsAg dengan gangguan hati.

Deteksi HDAg intrahepatik melalui pemeriksaan


imunohistokimiamerupakan standar awal untuk diagnosis pemeriksaan tersebut
terbatas karena pada biopsi hati hanya bisa terdeteksi pada 50 % pasien yang
mengalami infeksi virus hepatitis D selain itu, pemeriksaan tersebut tidak
terdeteksi pada pasien fibrosis hati lanjut.

Adanya HDV-RNA pada serum menggunakan PCR merupakan


pemeriksaan yang paling sensitif dan paling spesifik hepatitis D. Namun, kadar
viremia hepatitis D tidak berkolerasi dengan beratnya penyakit hepatitis D.
Pemeriksaan real-time PCR kuantitatif digunakan untuk pasien yang menjalani
terapi, dimana penurunan kadar HDV-RNA (dan HBsAg) selama awal terapi
dapat memprediksi respon terhadap terapi interferon.

Bila pemeriksaan HDV-RNA sulit dilakukan, maka pemeriksaan IgM anti-


HDV dapat digunakan untuk pemantauan infeksi hepatitis D. Antibodi tersebut
meningkat dengan titer tingi bersamaan dengan anti- HD selama infeksi hepatits
D akut ,kemudian menurun dalam beberapa minggu pada pasien yang mengalami
perbaikan infeksi, sementara antibodi Ig G dapat bertahan selama beberapa
waktu.Ig M anti HDV tetap berada pada titer tinggi bersama dengan antibodi IgG
pada pasien hepatitis D yang progresif menjadi infeksi kronik.turunnya titer IgM
anti-HD berkolerasi dengan respon terhadap antivirus. Antibodi IgG terhadap
HDAg dapat bertahan di serum sebagai penanda serologi pada infeksi virus
hepatitis D di masa lalu, pada pasien dengan HBsAg positif maupun HBsAg
negatif.

Tata laksana infeksi virus hepatitis D akut


Masalah yang dijumpai pada terapi infeksi virus hepatitis D adalah tidak
adanya fungsi enzimatik spesifik pada virus yang dapat menjadi target terapi.virus
hepatitis d bergantung pada HbsAg dan bukan terhadap replikasi virus hepatitis B.
Sehingga sintesisnya tidak dipengaruhi oleh kadar HBV-DNA dalam serum.
Sekresi virus hepatitis D in vitro dan kadar HBV-RNA in vivo berkolerasi
langsung dengan kadar HBsAg serum, bukan dengan titer HBV-DNA.

Interaksi antara virus hepatitis B dan hepatitis D dan adanya fakta bahwa
sebagian pasien yang terinfeksi hepatitis D mempunyai virus hepatitis B yang
secara spontan mengalami represi, menjelaskan mengapa antivirus sintetik
terhadap virus hepatitis B tidak bermanfaat.

Tidak terdapat perbaikan klinis dan virologis pada pasien yang terinfeksi
virus hepatitis D yang mendapatkan terapi famciclovir , lamivudin, adefovir, dan
ribavirin, baik berupa monoterapi maupun terapi kombinasi dengan interferon,
pada infeksi hepatitis D kronik, terapi yang digunakan adalah inteferon. Vaksinasi
hepatitis B dapat mencegah infeksi hepatitis D. Sampai saat ini vaksin hepatitis D
belum ditemukan.

Infeksi Virus Hepatitis E Akut

Epidemiologi infeksi virus hepatitis E akut

Infeksi virus hepatitis E merupakan virus RNA yang menyebabkan infeksi


yang bersifat akut, dapat sembuh spontan pada pasien yang imunokompeten, tetpi
dapat juga menyebabkan infeksi kronik pada pasien yang imunokompromais.jalur
penularan infeksi virus hepatitis E adalah melalui jalur enteral. Laporan pertama
kejadian infeksi virus hepatitis E dimulai dari india pada tahun 1955-1956.

Patogenesis infeksi virus hepatitis E akut

Infeksi virus hepatitis E dapat ditularkan melalui 4 jalur transmisi: (1)


melalui air: (2) melalui makanan, konsumsi daging yang mentah atau kurang
matang, yang berasal dari hewan yang terinfeksi; (3) transmisi melalui darah atau
parenteral; (4) transmisi vertikal dari ibu ke janin.

Infeksi virus hepatitis E dapat ditularkan melalui jalur fekal oral.transmisi


infeksi virus hepatitis E dari orang ke orang, baik pada kasus epidemik maupun
sporadis jarang terjadi, namun, penyebab hal tersebut belum diketahui. Transmisi
virus hepatitis E dari ibu ke janin telah dilaporkan.

Patogenesis infeksi virus hepatitis E dibagi menjadi masa inkubasi, fase


replikasi, fase progresivitas penyakit. Masa inkubasi dari onset paparan sampai
muncul gejala klinis kurang lebih 28- 40 hari. Pada studi eksperimental transmisi
virus hepatitis E pada manusia, enzim hati meningkat mencapai puncak pada 42-
46 hari setelah masuknya virus ke dalam tubuh.

Pengetahuan tentang replikasi virus hepatitis E terbatas karena kurangnya


sistem kultur sel untuk virus, karena virus hepatitis E tidak dapat bereplikasi baik
dalam kultur sel, mekanisme patogenesis dan replikasi virus hepatitis E kurang
dipahami. Target utama virus hepatitis E adalah hepatosit. Virus hepatitis E
ditemukan di dalam plasma dalam jumlah kecil selama infeksi, empedu
merupakan sumber utama ditemukannya virus hepatitis E di feses

Masa nikubasi pada manusi setelah paparan virus hepatitis E melalui jalur
oral adalah 4-5 minggu.virus hepatitis E pertama kali dideteksi di feses kurang
lebih 1 minggu sebelum onset penyakit dan bertahan selama beberapa
minggu,pada sebagian pasien dapat bertahan selama 52 hari. HEV-RNA yang
positif pada serum ditemukan antara 4- 16 minggu. Infeksi melalui jalur parenteral
mempunyai titer virus yang lebih tinggi dibandingkan transmisi per oral.

Ekspresi antigen hepatitis E (HEAg) di hepatosit menunjukkan adanya


replikasi virus, yang muncul pada 7 hari setelah infeksi. HEAg dapat ditemukan
secara simultan di hepatosit,empedu, dan feses selama minggu kedua atau ketiga
setelah inokulasi, dan sebelum atau bersamaan dengan peningkatan kadar ALT
dan perubahan histopatologi pada hati. Antigen dapat dideteksi pada 70-90 %
hepatosit pada puncak ekspiresi dan mulai turun setelah aktivitas puncak ALT
telah tercapai.

Puncak penempelan virus ke dalam darah dan empedu terjadi sebelum


onset klinis muncul. Onset gambaran klinis biasanya muncul secara kebetulan
bersamaan dengan munculnya respon imun humoral pertama kali terdeteksi,
menurunnya replikasi virus dan mulainya resolusi dari infeksi. Baik IgG anti-
HEV dan IgM anti-HBE biasanya dapat dideteksi pada saat saat enzim hati mulai
meningkat dan patologi hati dapat diidentifikasi.

Antibodi IgG muncul sesaat setelah munculnya IgM dan titernya


meningkat selama fase akut sampai fase konvalesens, bertahan tinggi sejak 1-5
tahun setelah penyakit mengalami resolusi. Kadar IgG berkurang lebih cepat
dibandingkan kadar antibodi terhadap hepatitis A. Anti HEV telah dideteksi
sampai 13-14 tahun setelah infeksi, namun adanya kemungkinan paparan ulang
tidak boleh diabaikan.Ig A anti- HEV dapat dideteksi pada 50 % serum pasien
yang terinfeksi secara alami. Kadar antibodi ini sangat cepat menurun sampai
kadar yang tidak terdeteksi. Namun, peran antibodi ini belum diketahui. Karena
imunisasi pasif dengan Ig G sudah cukup untuk proteksi, nampaknya Ig A
menjadi tidak esensial.

Infeksi virus hepatitis E dapat sembuh sendiri tanpa sekuele kronik.


namun, laporan akhir-akhir ini menunjukkan adanya bukti infeksi hepatitis E
kronik pada pasien yang menjalani transplantasi.mortalitas infeksi hepatitis E
berkisar 0,2 – 1 % pada populasi umum. Peningkatan morbiditas dan mortalitas
terjadi pada pasien hepatitis E ysng mengalami superinfeksi dengan penyakit hati
kronik lainnya.

Gambaran klinis

Gambaran yang paling sering dijumpai adalah akut yang ikterik, yang
terdiri dari dua fase: (1) fase prodromal dan fase preikterik, (2) fase ikterik. Fase
prodromal berlangsung selama 1-4 hari, yang mempunyai gejala flu-like
symptoms, yang terdiri dari demam, menggigil,nyeri
abdomen,anoreksia,mual,muntah,diare,artralgia,astenia, dan ruam urtikaria.
Gejala- gejala tersebut diikuti dengan keluhan ikterus dalam waktu beberapa hari,
fase ikterus biasanya dimulai dengan adanya urin yang berwarna coklat seperti
teh,yang dapar disertai pruritus atau warna feses yang menjadi pucat. Pada onset
terjadinya ikterus, demam dan gejala lainnya berkurang, bahkan dapat sembuh
sempurna , kecuali untuk gejala gastrointestinal biasanya masih menetap.pada
pemeriksaan fisis ditemukan adanya ikterus,hepatomegali ringan, dan pada 25 %
kasus dapat ditemukan splenomegali.

Sebagian pasien yang terinfeksi hepatitis E akut dapat mempunyai gejala


yang non spesifik,yang mirip dengan pasien dengan demam akibat infeksi virus
lainnya tanpa ikterus(hepatitis anikterik).

Tatalaksana infeksi virus hepatitis E akut

Seperti halnya infeksi virus hepatitis akut lainnya, tata laksana infeksi
hepatitis E akut adalah suportif dan simptomatik.

SIROSIS HATI

DIFINISI

Sirosis hati merupakan tahap akhir proses difus fibrosis hati progresif yang
ditandai oleh distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul regeneratif.
Gambaran morfologi dari SH me!iputi fibrosis difus, nodul regeneratif, perubahan
arsitektur lobular dan pembentukan hubungan vaskular intrahepatik antara
pembuluh darah hati aferen (vena porta dan arteri hepatika) dan eferen (vena
hepatika).

Secara klinis atau fungsional SH dibagi atas :1. Sirosis hati kompensata
dan 2. Sirosis hati dekompensata, disertai dengan tanda-tanda kegagalan
hepatoselular dan hipertensi porta.

EPIDEMIOLOGI
Sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada penderita
yang berusia 45- 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskular dan kanker).
Diseluruh dunia SH menempati urutan ketujuh penyebab kematian. Penderita SH
lebih banyak jika dibandingkan dengan wanita rasionya sekitar 1,6 : 1. Umur rata-
rata penderitanya terbanyak golongan umur 30 - 59 tahun dengan puncaknya
sekitar umur 40 - 49 tahun. Insidens SH di Amerika diperkirakan 360 per-100.000
penduduk, Penyebab SH sebagaian besar adalah penyakit hati alkoholik dan non
alkoholik steatohepatitis serta hepatitis C. Di Indonesia data prevalensi penderita
SH secara keseluruhan belum ada. Di daerah Asia Tenggara, penyebab utama SN
adalah hepatitis (HBV) dan C (HCV). Angka kejadian SH di Indonesia akibat
hepatitis B berkisar antara 21,2-46,9% dan hepatitis C berkisar 38,7 73,9%.

PATOGENESIS

Sirosis hepatis terjadi akibat adanya cidera kroniki-reversibel pada


parenkim hati disertai timbulnya jaringan ikat difus (akibat adanya cidera
fibrosis), pembentukan nodul degeneratif ukuran mikronodul sampai makronodul.
Hal ini sebagai akibat adanya nekrosis hepatosit, kolapsnya jaringan penunjang
retikulin, disertai dengan deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular berakibat
pembentukan vaskular intra hepatik antara pembuluh darah hati eferen ( vena
porta dan arteri hepatika) dan eferen (vena hepatika),dan regenerasi nodular
parenkim hati sisanya. Terjadinya fibrosis hati disebabkan adanya aktivasi dari sel
stellate hati. Aktivasi ini dipicu oleh faktor pelepasan yang dihasilkan hepatosit
dan sel Kupffer. Sel stellate merupakan sel penghasil utama matrix ekstraselular
(ECM) setelah terjadi cedera pada hepar. Pembentukan ECM disebabkan adanya
pembentuk jaringan mirip fibroblast yang dihasilkan sel stellate dan dipengaruhi
oleh beberapa sitokin seperti transforming growth factor p (TGF- β) dan tumor
necrosis factors (TN F α).

Deposit ECM di space of Disse akan menyebabkan perubahan bentuk dan


memacu kapilarisasi pembuluh darah. Kapilarisasi sinusoid kemudian mengubah
pertukaran normal aliran vena porta dengan hepatosit, sehingga material yang
seharusnya dimetabolisasi oleh hepatosit akan langsung masuk ke aliran darah
sistemik dan menghambat material yang diproduksi hati masuk ke darah. Proses
ini akan menimbulkan hipertensi portal dan penurunan fungsi hepatoselular.

PENYEBAB

Penyebab SH bermacam-macam, kadang lebih dari satu sebab ada pada


satu penderita. Di negara barat alkoholisme kronik bersama virus hepatitis C
merupakan penyebab yang sering dijumpai .

Penyebab SH :

 Penyakit hati alkoholik (alcoholic Liver disease/ALD)


 Hepatitis C kronik
 Hepatitis B kronik dengan/atau tanpa hepatitis Steato hepatitis non
alkoholik (NASH), hepatitis tipe ini dikaitkan dengan DM, malnutrisi
protein, obesitas, penyakit arteri koroner, pemakaian obat kortikosteroid.
 Sirosis bilier primer
 Kolangitis sklerosing primer
 Hepatitis autoimun
 Hernokromatosis herediter
 Penyakit Wilson
 Defisiensi Alpha 1-antitrypsin
 Sirosis Kardiak
 Galaktosemia
 Fibrosis kistik
 Hepatotoksik akibat obat atau toksin
 Infeksi parasit tertentu (Schistomiosis)

MANIFESTASI KLINIS

Perjalanan penyakit SH lambat, asimtomatis dan seringkali tidak dicurigai


sampai adanya komplikasi penyakit hati. Banyak penderita ini sering tidak
terdiagnosis sebagai SH sebelumnya dan sering ditemukan pada waktu autopsi.
Diagnosis SH asimtomatis biasanya dibuat secara insidental ketika tes
pemeriksaan fungsi hati (transaminase) atau penemuan radiologi , sehingga
kemudian penderita melakukan pemeriksaan lebih lanjut dan biopsi hati. Sebagian
besar penderita yang datang ke klinik biasanya sudah dalam stadium
dekompensata, disertai adanya komplikasi seperti perdarahan varises, peritonitis
bakterial spontan, atau ensefalopati hepatis. Gambaran kiinis dari penderita SH
adalah mudah lelah, anoreksi, berat badan menurun, atropi otot, ikterus, spider
angiomata, spienomegali, asites, caput medusae, palmar eritema, white
nalls,ginekomasti, hilangnya rambut pubis dan ketiak pada wanita, asterixis
(flapping tremor), foetor hepaticus, dupuytren's contracture (sirosis akibat
alkohol) .

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium

Tes laboratorium pada Sirosis Hati


Jenis pemeriksaan Hasil
Aminotransferase: ALT dan AST Normal atau sedikit meningkat
AST Alkali fosfatase /ALP Sedikit meningkat
Gamma-glutamil transferase: yGT Korelasi dengan ALP, spesifik khas akibat
alkohol sangat meningkat
Bilirubin Meningkat pada SH lanjut prediksi penting
mortalitas
Albumin Menurun pada SH lanjut
Globulin Meningkat terutama IgG
Waktu Prothrombin Meningkat / penurunnan produksi faktor
V/VII dari hati
Natrium darah Menurun akibat peningkatan ADH dan
aldosteron
Trombosit Menurun (hipersplenism)
Lekosit dan netrofil Menurun (hipersplenism)
Anemia Makrositik, normositik dan mikrositik

Pemeriksaan laboratorium lain untuk mencari penyebabnya :

 Serologi virus hepatitis


- HBV : HbSAg, HBeAg, Anti- HBc, HBV-DNA
- HCV : Anti- HCV, HCV-RNA
 Auto antibodi (ANA, ASM, Anti-LKM) untuk autoimun hepatitis
 Saturasi transferin dan feritinin untuk hemokromatosis
 Ceruloplasmin dan Copper untuk penyakit Wilson
 Alpha 1-antitrypsin
 AMA untuk sirosis bilier primer
 Antibodi ANCA untuk kolangitis sklerosis primer
2. Radiologi
 Ultrasonografi (USG) untuk mendeteksi SH kurang sensitif namun
cukup spesifik bila penyebabnya jelas.Gambaran USG
memperlihatkan ekodensitas hati meningkat dengan ekostruktur
kasar homogen atau heterogen pada sisi superficial, sedang pada
sisi profunda ekodensitas menurun. Dapat dijumpai pula
pembesaran lobus caudatus, splenomegali, dan vena hepatika
gambaran terputus-putus. Hati mengecil dan dijumpai
splenomegali, asites tampak sebagai area bebas gema (ekolusen)
antara organ intra abdominal dengan dinding abdomen.
 Pemeriksaan MRI dan CT konvensional bisa digunakan untuk
menentukan derajat beratnya SH, misal dengan menilai ukuran
lien, asites dan kolateral vascular.

3. Endoskopi

Gastroskopi dilakukan untuk memeriksa adanya varises di esofagus dan


gaster pada penderita SH. Selain untuk diagnostik juga, dapat pula
digunakan untuk pencegahan dan terapi perdarahan Varises.

PENANGANAN SH

Sirosis hati secara klinis fungsional dibagi atas :

1. Sirosis hati kompensata


2. Sirosis hati dekompensata, disertai dengan tanda-tanda kegagalan
hepatoselular dan hipertensi portal.

Penanganan SH kompensata ditujukan pada penyebab hepatitis kronis. Hat ini


ditujukan untuk mengurangi progresifitas penyakit SH agar tidak semakin lanjut
dan menurunkan terjadinya karsinoma hepatoselular. Di Asia Tenggara penyebab
yang tersering adalah HBV dan HCV. Untuk HBV kronis bisa diberikan preparat
interferon secara injeksi atau secara oral dengan preparat analog nukleosida
jangka panjang. Preparat nukleosida analog ini juga bisa diberikan pada SH
dekompensata akibat HBV kronis selain penanganan untuk komplikasinya.
Sedang untuk SH akibat HCV kronis bisa diberikan preparat Interferon. Namun
pada SH dekompensata pemberian preparat interferon ini tidak direkomendasikan

KOMPLIKASI

Komplikasi SH yang utama adalah hipertensi portal, asites, peritonitis


bakterail spontan, perdarahan varises esofagus, sindroma hepatorenal, ensefalopati
hepatikum, dan kanker hati.
PROGNOSIS

Perjalanann alamiah SH tergantung pada sebab dan penanganan etiologi


yang mendasari penyakit. Beberapa sistem skoring dapat digunakan untuk menilai
keparahan SH dan menentukan prognosisnya. Sistem skoring ini antara lain skor
Child Turcotte Pugh (CTP) dan Model end stage liver Disease (MELD), yang
digunakan untuk evaluasi pasien dengan rencana transplantasi hati.

Penderita SH dikelompokkan menjadi CTP-A (5-6 poin), CTP-B (7-9 poin)


dan CTP-C (10-15 poin). Penderita SH dengan CTP kelas A menunjukkan
penyakit hatinya terkompensasi baik, dengan angka kesintasan berturut-turut 1
tahun dan 2 tahun sebesar 100%, dan 85%. Sedang CTP kelas B angka kesintasan
berturut-turut 1 tahun dan tahunnya sebesar 81% dan 60%. Kesintasan penderita
SH dengan Child-Turcott-Pugh kelas C 1 tahun dan 2 tahun berturut-turut adalah
45% dan 35%.

Kolesistitis akut

a. Definisi

radang kantung empedu adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu
yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan demam.

b. Etiologi dan patogenesis

Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah statis


cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab
utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90 %) yang terletak di
duktus sistikus yang menyebabkan statis cairan empedu,sedangkan sebagian kecil
kasus timbul tanpa adanya batu empedu.

Bagaimana statis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut ,


masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor yang berpengaruh, seperti
kepekatan cairan empedu, kolesterol, lipolestisin dan prostaglandin yang merusak
lapisan mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan
supurasi.
Kolesistitis akut akalkulus dapat timbul pada pasien yang dirawat cukup lama
dan mendapat nutrisi secara parenteral, pada sumbatan karena keganasan kandung
empedu, batu di saluran empedu atau merupakan salah satu komplikasi penyakit
lain seperti demam tifoid dan diabetes melitus.

c. Gejala klinis

Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di
sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan kenaikan suhu tubuh. Kadang-
kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung
sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung
dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi
kandung empedu.

Pada pemeriksaan fisis teraba massa kandung empedu, nyeri tekan disertai
tanda- tanda peritonitis lokal (tanda murphy).

Ikterus dijumpai pada 20 % kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin <4,0


mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di
saluran empedu ekstra hepatik.

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya leukositosis serta


kemungkinan peninggian serum transaminase dan fosfatase alkali. Apabila
keluhan nyeri bertambah hebat disertai suhu tinggi dan menggigil serta
leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi kandung empedu
perlu dipertimbangkan.

d. Diagnosis

Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis akut,


hanya pada 15 % pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang (
radiopak) karena mengandung kalsium cukup banyak.

Pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin dan


sangat bermanfaat untuk memperlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding
kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik.nilai kepekaan dan
ketepatan USG mencapai 90-95 %.

Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 99n Tc6
iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik ini
tidak mudah. Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya gambaran
kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau scintigrafi sangat
menyokong kolesistitis akut.

Pemeriksaan CT scan abdomen kurang sensitif dan mahal tapi mampu


memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak
terlihat pada pemeriksaan USG.

Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan atas yang tiba- tiba perlu
dipikirkan sepeti penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan organ di bawah diafragma
seperti apendiks yang retrosekal, sumbatan usus, perforasi ulkus peptikum,
pankreatitis akut dan infark miokard.

e. Pengobatan

Pengobatan umum termasuk istirahat total, pemberian nutrisi parenteral,diet


ringan, obat penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodik. Pemeberian
antibiotik pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi peritonitis,
kolangitis, dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan metroniadzol
cukup memadai untuk mematikan kuman- kuman yang umum terdapat pada
kolesistitis akut seperti E.coli, strep.faecalis dan Klebsiella.

Waktu pelaksanaan kolesistektomi masih diperdebatkan, apakah sebaiknya


dilakukan secepatnya ( 3 hari) atau ditunggu 6-8 minggu setelah terapi konservatif
dan keadaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 % kasus akan membaik tanpa
tindakan bedah.

Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan, timbulnya gangren dan
komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan, lama perawatan di
rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya dapat ditekan. Sementara yang tidak
setuju menyatakan, operasi dini akan menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga
peritoneum dan teknik operasi lebih sulit karena proses inflamasi ke rongga
peritoneum dan teknik operasi lebih sulit karena proses inflamasi akut di sekitar
duktus akan mengaburkan anatomi.

Kolesistitis kronik

Kolesistitis kronik lebih sering dijumpai di klinis, dan sangat erat


hubungannya dengan litiasis dan lebih sering timbul secara perlahan- lahan.

Gejala klinis

Diagnosis kolesistitis kronik sering sulit ditegakkan oleh karena gejalanya


sangat minimal dan tidak menonjol seperti dispepsia, rasa penuh di epigastrium
dan nausea khususnya setelah makan makanan berlemak tinggi, yang kadan-
kadang hilang setelah bersendawa. Riwayat penyakit batu empedu di keluarga,
ikterus dan kolik berulang, nyeri lokal di daerah kandung empedu disertai tanda
Murphy positif, dapat menyokong menegakkan diagnosis.

Diagnosis

Pemeriksaan kolesistografi oral, ultrasonografi dan kolangiografi dapat


memperlihatkan kolelitiasis dan afungsi kandung empedu. Endoscopic retrograde
choledocho- pancreaticography (ERCP) sangat bermanfaat untuk memperlihatkan
adanya batu di kandung empedu dan duktus koledokus.

Pengobatan

Pada sebagian besar pasien kolesistitis kronik dengan atau tanpa batu
kandung empedu yang simtomatik, dianjurkan untuk kolesistektomi. Keputusan
untuk kolesistektomi agak sulit untuk pasien dengan keluhan minimal atau disertai
penyakit lain yang mempertinggi risiko operasi.

CHOLELITHIASIS (BATU EMPEDU)


Epidemiologi
Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang penting
di negara Barat sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian di klinis,
sementara publikasi penelitian batu empedu masih terbatas.

Batu empedu umumnya ditemukan di dalam kandung empedu, tetapi batu


tersebut dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu
menjadi batu saluran empedu dan disebut sebagai batu saluran empedu sekunder.

Di negara Barat 10-15% pasien dengan batu kandung empedu juga disertai
batu saluran empedu. Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat
terbentuk primer di dalam saluran empedu intra-atau ekstra-hepatik tanpa
melibatkan kandung empedu. Batu saluran empedu primer lebih banyak
ditemukan pada pasien di wilayah Asia dibandingkan dengan pasien di negara
Barat.

Perjalanan batu saluran empedu sekunder belum jelas benar, tetapi


komplikasi akan lebih sering dan berat dibandingkan batu kandung empedu
asimtomatik.

Patogenesis dan Tipe Batu

Menurut gambaran makroskopik dan komposisi kimianya, batu saluran


empedu dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori mayor, yaitu: 1) Batu
kolesterol di mana komposisi kolesterol melebihi 70%, 2) Batu pigmen coklat
atau batu calcium bilirubinate yang mengandung Ca-bilirubinate sebagai
komponen utama, dan 3) Batu pigmen hitam yang kaya akan residu hitam tak
terekstraksi.

Di masyarakat Barat komposisi utama batu empedu adalah kolesterol,


sedangkan penelitian di Jakarta pada 51 pasien didapatkan batu pigmen pada 73%
pasien dan batu kolesterol pada 27% pasien.

Ada tiga faktor penting yang berperan dalam patogenesis batu kolesterol:
1) Hipersaturasi kolesterol dalam kandungan empedu, 2) Percepatan terjadinya
kristalisasi kolesterol dan 3) Gangguan motilitas kandung empedu dan usus.
Patogenesis batu pigmen melibatkan infeksi saluran empedu, stasis
empedu, malnutrisi, dan faktor diet. Kelebihan aktivitas enzim β-glucuronidase
bakteri dan manusia (endogen) memegang peran kunci dalam patogenesis batu
pigmen pada pasien di negara Timur. Hidrolisis bilirubin oleh enzim tersebut akan
membentuk bilirubin tak terkonjugasi yang akan mengendap sebagai calcium
bilirubinate. Enzim β-glucuronidase bakteri berasal dari kuman E. coli dan kuman
lainnya di saluran empedu. Enzim ini dapat dihambat oleh glucarolactone yang
kadarnya meningkat pada pasien dengan diet rendah protein dan rendah lemak.

Gejala Batu Kandung Empedu

Sebagian besar (80%) pasien dengan batu empedu tanpa gejala baik waktu
diagnosis maupun selama pemantauan. Studi perjalanan penyakit dari 1307 pasien
dengan batu empedu selama 20 tahun memperlihatkan bahwa sebanyak 50%
pasien tetap asimtomatik, 30% mengalami kolik bilier, dan 20% mendapat
komplikasi.

Gejala batu empedu yang dapat dipercaya adalah kolik bilier. Keluhan ini
didefinisikan sebagai nyeri di perut atas berlangsung lebih dari 30 menit dan
kurang dari 12 jam. Biasanya lokasi nyeri di perut atas atau epigastrium tetapi bisa
juga di kiri dan prekordial.

Diagnosis

Pada satu studi di Jakarta yang melibatkan 325 pasien dengan dugaan
penyakit bilier, nilai diagnostik ultrasound dalam mendiagnosis batu saluran
empedu telah dibandingkan dengan endoscopic retrograde cholangio
pancreatography (ERCP) sebagai acuan metode standar kolangiografi direk.
Secara keseluruhan akurasi ultrasound untuk batu saluran empedu adalah sebesar
77%.

ERCP sangat bermanfaat dalam mendeteksi batu saluran empedu dengan


sensitivitas 90%, spesivitas 98%, dan akurasi 96%, tetapi prosedur ini invasif dan
dapat menimbulkan komplikasi pankreatitis dan kolangitis yang dapat berakibat
fatal.
 Endoscopic Ultrasonography (EUS)

EUS adalah suatu metode pemeriksaan dengan memakai instrumen


gastroskop dengan echoprobe di ujung sekop yang dapat terus berputar.
Dibandingkan dengan ultrasound teransabdominal, EUS akan memberikan
gambaran pencitraan yang jauh lebih jelas sebab echoprobe-nya ditaruh di dekat
organ yang diperiksa.

Pada satu studi, sensitivitas EUS dalam mendeteksi batu saluran empedu
adalah sebesar 97% dibandingkan dengan ultrasound yang hanya sebesar 25%,
dan CT 75%. Selanjutnya EUS mempunyai nilai prediktif negatif sebesar 97%
dibandingkan dengan sebesar 56% US dan sebesar 75% untuk CT.

Beberapa studi memperlihatkan EUS dan ERCP tidak menunjukkan


perbedaan dalam hal nilai sensitivitas, spesivitas, nilai prediktif negatif maupun
positif. Secara keseluruhan, akurasi EUS dan ERCP untuk batu saluran empedu
juga tidak memperlihatkan perbedaan bermakna.

Walaupun demikian, angka kejadian komplikasi ERCP lebih tinggi bermakna


dibandingkan dengan EUS. Kesulitan pemeriksaan EUS dapat terjadi bila ada
struktur pada saluran cerna bagian atas atau pasca reseksi gaster. Sayangnya
teknik pencitraan ini belum banyak diikuti oleh praktisi kedokteran di Indonesia
sebab hal ini berhubungan dengan masalah latihan, pengalaman, dan tersedianya
instrumen EUS.

 Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP)

MRCP adalah teknik pencitraan dengan gema magnet tanpa menggunakan zat
kontras, instrumen, dan radiasi ion. Pada MRCP saluran empedu akan terlihat
sebagai struktur terang karena mempunyai intensitas sinyal tinggi, sedangkan batu
saluran empedu akan terlihat sebagai intensitas sinyal rendah yang dikelilingi
empedu dengan sinyal tinggi, sehingga metode ini cocok untuk mendiagnosis batu
saluran empedu.
Studi terkini MRCP menunjukkan nilai sensitivitas antara 91% sampai
dengan 100%, nilai spesivitas antara 92% sampai dengan 100% dan nilai prediktif
positif antara 93% sampai dengan 100% pada keadaan dengan dugaan batu
saluran empedu. Nilai diagnostik MRCP yang tinggi membuat teknik ini makin
sering dikerjakan untuk diagnosis atau eksklusi batu saluran empedu khusunya
pada pasien dengan kemungkinan kecil mengandung batu.

MRCP mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan ERCP. Salah


satu manfaat yang besar adalah pencitraan saluran empedu tanpa resiko yang
berhubungan dengan instrumentasi, zat kontras dan radiasi. Sebaliknya MRCP
juga mempunyai limitasi mayor yaitu bukan merupakan modalitas terapi dan
aplikasinya bergantung pada operator, sedangkan ERCP dapat berfungsi sebagai
sarana diagnostik dan terapi pada saat yang sama.

Penanganan Batu Kandung Empedu

Penanganan profilaktik untuk batu empedu asimtomatik tidak dianjurkan.


Sebagian besar pasien dengan batu asimtomatiktidak akan mengalami keluhan
dan jumlah, besar, dan komposisi batu tidak berhubungan dengan timbulnya
keluhan selama pemantauan. Kalaupun nanti timbul keluhan umumnya ringan
sehingga penanganan dapat elektif.

Untuk batu kandung empedu simtomatik, teknik kolesistektomi


laparoskopik yang diperkenalkan pada akhir dekade 1980 telah menggantikan
teknik operasi kolesistektomi terbuka pada sebagian besar kasus. Kolesistektomi
terbuka masih dibutuhkan bila kolesistektomi laparoskopik gagal atau tidak
memungkinkan.

Kolesistektomi laparoskopik adalah teknik pembedahan invasif minimal di


dalam rongga abdomen dengan menggunakan pneumoperitoneum, sistem
endokamera dan instrumen khusus melalui layar monitor tanpa melihat dan
menyentuh langsung kandung empedunya. Sejak pertama kali diperkenalkan,
teknik bedah laparoskopik ini telah memperlihatkan keunggulan yang bermakna
dibandingkan dengan teknik bedah konvensional.
Dewasa ini di beberapa rumah sakit, kolesistektomi laparoskopik telah
menjadi prosedur baku untuk pengangkutan kandung empedu simtomatik.
Kelebihan yang diperoleh pasien dengan teknik ini meliputi luka operasi kecil (2-
10 mm) sehingga nyeri pasca bedah minimal. Selain itu, dari segi kosmetik luka
parut yang kecil yang akan tersembunyi di daerah umbilikus telah membuat bedah
laparoskopik dianggap sebagai bedah yang lebih bersahabat kepada pasien.

Komplikasi cedera saluran empedu dari teknik ini yang umumnya terjadi
pada tahap belajar dapat diatasi pada sebagian besar kasus dengan pemasangan
stent atau kateter nasobilier dengan ERCP.

Penatalaksanaan Batu Saluran Empedu

ERCP terapeutik dengan melakukan sfingterotomi endoskopik untuk


mengeluarkan batu saluran empedu tanpa opersi pertama kali dilakukan tahun
1974. Sejak itu teknik ini telah berkembang pesat dan menjadi standar baku terapi
non-operatif untuk batu saluran empedu.

Selanjutnya batu di dalam saluran empedu dikeluarkan dengan basket


kawat atau balon ekstraksi melalui muara yang sudah besar tersebut menuju
lumen duodenum sehingga batu dapat keluar bersama tinja atau dikeluarkan
melalui mulut bersama skopnya.

Pada awalnya sfingterotomi endoskopik hanya diperuntukkan pada pasien


usisa lanjut yang mempunyai batu saluran empedu residif atau tertinggal pasca
kolesistektomi atau mereka yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami
komplikasi operasi saluran empedu.

Pada kebanyakan senter besar ekstraksi batu dapat dicapai pada 80-90%
dengan komplikasi dini sebesar 7-10% dan mortalitas 1-2%. Komplikasi penting
dari sfingterotomi dan ekstraksi batum meliputi pankreatitis akut, perdarahan, dan
perforasi.

Keberhasilan sfingterotomi yang begitu mengesankan ini dan kehendak


pasien yang kuat telah mendorong banyak senter untuk memperluas indikasi
sfingterotomi endoskopik terhadap orang dewasa muda dan bahkan pasien dengan
kandung empedu utuh dengan masalah klinis batu saluran emepdu.

Komplikasi Batu Empedu

 Kolesistitis Akut

Kurang lebih 15% pasien dengan batu simtomatik mengalami kolesistitis


akut. Gejalanya meliputi nyeri perut kana atas dengan kombinasi mual, muntah
dan panas.

Pada pemeriksaan fisis ditemukan nyeri tekan pada perut kanan atas dan
sering teraba kandung empedu yang membesar dan tanda-tanda peritonitis.
Pemeriksaan laboratorium akan menunjukkan selain lekositosis kadang-kadang
juga terdapat kenaikan ringan bilirubin dan faal hati kemungkinan akibat
kompresi lokal pada saluran empedu.

Patogenesis kolesistitis akut akibat tertutupnya duktus sistikus oleh batu


terjepit. Kemudian terjadi hidrops dari kandung empedu. Penambahan volume
kandung empedu dan edema kandung empedu menyebabkan iskemi dari dinding
kandung empedu yang dapat berkembang ke proses nekrosis dan perforasi. Jadi
pada permulaannya terjadi peradangan steril dan baru pada tahap kemudian terjadi
superinfeksi bakteri.

Kolesistitis akut juga dapat disebabkan lumpur batu empedu (kolesistitis


akalkulus). Komplikasi lain juga seperti ikterus, kolangitis, dan pancreatitis.

ABSEB HATI AMUBA

DEFINISI

Abses hati amuba adalah penimbunan atau akumulasi debris nekro-inflamatori


purulen di dalam parenkim hati yang disebabkan oleh amuba, terutama entamoeba
hystolitica

EPIDEMIOLOGI
Amubasis terjadi pada 10 % dari populasi dunia dan paling umum di daerah
tropis dan subtropik.Penyakit ini serig diderita orang muda dan sering pada etnik
Hispanik dewasa ( 92 % ) Terjadi 10 kali lebih umum pada pria seperti pada wanita dan
jarang terjadi pada anak-anak. Amebiasis merupakan infeksi tertinggi ketiga penyebab
kematian setelah schistosomiasis dan malaria. Daerah endemisnya meliputi Afrika, Asia
Tenggara, Meksiko, Venezuela, dan Kolombia. Insiden abses hati amuba di Amerika
Serikat mencapai 0,05 % sedangkan di India dan Mesir mencapai 10 % -30 % pertahun
dengan perbandingan laki-laki : perempuan sebesar 3:1 sampai dengan 22:1 .

PATOGENESIS

Selama siklus hidupnya, Entamoeba histolytica dapat berbentuk sebagai


trophozoite atau bentuk kista. Setelah menginfeksi, kista amuba melewati saluran
pencernaan dan menjadi trophozoit di usus besar, trophozoit kemudian melekat ke sel
epitel dan mukosa kolon dengan Gal/ GalNAc dimana mereka menginvasi mukosa.Lesi
awalnya berupa mikroulserasi mukosa caecum, kolon sigmoid dan rektum yang
mengeluarkan eritrosit, sel inflamasi dan sel epitel. Ulserasi yang meluas ke submukosa
menghasilkan ulser khas berbentuk termos (flask-shaped) yang berisi trophozoit dibatas
jaringan mati dan sehat. Organisme dibawa oleh sirkulasi vena portal ke hati, tempat
abses dapat berkembang.

Entamoeba histolytica sangat resisten terhadap lisis yang dimediasi komplemen,


oleh karena itu dapat bertahan di aliran darah. Terkadang organisme ini menginvasi organ
selain hati dan dapat membuat abses dalam paru-paru atau otak. Pecahnya abses hati
amuba kedalam pleura, perikard dan ruang peritoneal juga dapat terjadi.Di dalam hati, E.
histolytica mengeluarkan enzinm proteolitik yang berfungsi melisiskan jaringan
pejamu.Lesi pada hati berupa "well demarcated abscess" mengandung jaringan nekrotik
dan biasanya mengenai lobus kanan hati. Respon awal pejamu adalah migrasi sel-sel
PMN.Amuba juga memiliki kemampuan melisiskan PMN dengan enzim proteolitiknya,
sehingga terjadilah destruksi jaringan. Abses hati mengandung debris aselular, dan
tropozoit hanya dapat ditemukan pada tepi lesi.

GEJALA DAN TANDA

Abses hati amuba lebih seringdikaitkan dengan presentasi klinis yang akut
dibandingkan abses piogenik hati. Gejala telah terjadi rata-rata dua minggu pada saat
diagnosis dibuat. Dapat terjadi sebuah periode laten antara infeksi hati usus dan
selanjutnya sampai bertahun-tahun, dan kurang dari 10 % pasien melaporkan riwayat
diare berdarah dengan disentri amuba.

Nyeri perut kanan atas dirasakan pada 75-90 % pasien, lebih berat dibandingkan
piogenik terutama di kuadran kanan atas. Kadang nyeri disertai mual, muntah, anoreksia,
penurunan berat badan, kelemahan tubuh, dan pembesaran hati yang jugaterasa nyeri.
Nyeri spontan jika perut kanan atas disertai dengan jalan membungkuk ke depan dengan
kedua tangan diletakkan di atasnya merupakan gambaran klinis khas yang sering
dijumpai. Dua puluh persen penderita dengan kecurigaan abses amuba hati amuba
mempunyai riwayat penyakit diare atau disentri

Demam umum terjadi,tetapi mungkin pula polanya intermiten. Malaise, mialgia,


artralgia umum terjadi. Ikterus jarang ditemukan dan bila ada menandakan dan prognosis
yang buruk. Gejala dan tanda paru dapat diinter terjadi, tetapi pericardial rub dan
peritonitis jarang ditemukan. Kadang-kadang friction rub terdengar di hati. Gambaran
laboratorium mirip dengan yang ditemukan di abses piogenik. Koinfeksi dengan bakteri
patogen jarang ditemukan. Komplikasi yang jarang terjadi adalah pecah di intra-
peritoneal, intratorakal, dan perikardial serta kegagalan multiorgan.

ETIOLOGI

Parasit amuba, yang tersering yaitu Entamoeba histolytica

DIAGNOSIS

Anamnesis dan pemeriksaan fisik memberikan petunjuk penting dalam


menegakkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan yaitu
laboratoriu, tes serologi (amuba), kultur darah, kultur cairan aspirasidan pencitraan
(USG, CT scan).

Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan temperatur, pembesaran hati dan


nyeri tekan. Jaundice cukup jarang didapatkan, tetapi jika didapatkan maka harus diduga
adanya obstruksi traktus biliaris atau sudah terdapat penyakit hati kronik sebelumnya.
Organisme diisolasi dari tinja pada 50 % pasien . Aspirasi pada abses amuba harus
dilakukan jika diagnosis masih belum jelas dengangambaran pasta coklat kemerahan dan
berbau sedikit.Trophozoit hanya didapatkan pada 20 % aspirasi . Hasil foto thoraks
abnormal didapatkan pada 50-80 % pasien dengan gambaran atelektasis paru lobus kanan
bawah, efusi pleura kanan dan kenaikan hemidiafragma kanan.

USG abdomen merupakan pilihan utama untuk tes awal, karena non invasif dan
sensitivitasnya tinggi (80-90%) untuk mendapatkan lesi hipoechoic dengan internal
echoes. CT scan kontras digunakan terutama untuk mendiagnosis abses yang lebih kecil,
dapat melihat seluruh kavitas peritoneal yang mungkin dapat memberikan informasi
tentang lesi primer. MRI tidak memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan CT
scan, tetapi berguna jika hasil masih meragukan, diagnosis membutuhkan potongan
koronal atau sagital dan untuk pasien yang intoleran terhadap kontras. Pencitraan hepar
tidak bisa membedakan abses hatiamuba dengan piogenik. Abses amuba umumnya
menyerang lobus kanan hepar dekat dengan diafragma dan biasanya tunggal

Tes serologi yang bisa digunakan meliputi ELISA indirect hemagglutination,


cellulose acetate precipitin counterimmunoelectrophoresis, immufluorescent antibody dan
tes rapid latex agglutinotion. Hasil tes serologi harus diinterpretasikan dengan klinis
pasien karena kadar serum antibodi mungkin masih tinggi selama beberapa tahun setelah
perbaikan atau penyembuhan. Sensitivitas tes 95 % dan spesifitasnya lebih dari 95 % .
Hasil negatif palsu mungkin terjadi dalam 10 hari pertama infeksi.Tes berbasis PCR
untuk mendeteksi DNA amuba dan pemeriksaan ELISA untuk mendeteksi antigen amuba
pada serum sudah sering dilakukan pada penelitian.

Sherlock (2002) membuat kriteria diagnosis abses hati amuba:

1. Adanya riwayat berasal dari daerah endemik

2. Pembesaran hati pada laki-laki muda

3. Respons baik terhadap metronidazole

4. Lekositosis tanpa anemia pada riwayat sakit yang tidak lama dan lekositosis dengan
pada riwayat sakit yang lama.

5. Ada dugaan amubiasis pada pemeriksaan foto toraks PA dan lateral

6. Pada pemeriksaan scan didapatkan filling defect


7. Tes fluorescen antibodi amuba positif

Bila ke-7 kriteria ini dipenuhi maka diagnosis abses hati ameba sudah hampir
pasti dapat ditegakkan. ningkatan .

Diagnosis Banding

1. Kista hepar

2. Keganasan pada hati

3. Abses hati piogenilk

PENATALAKSANAAN

Medikamentosa

 Jika didapatkan pasien muda yang telah melakukan perjalanan ke daerah


endemik, pada pencitraan didapatkan lesi tunggal, pasien tidak terlihat toksik,
dengan dugaan kuat abses amuba, maka pemeriksaan feses harus dilakukan untuk
mencari kista dan trophozoit amuba dan serum harus diperiksa antibodi E.
Histolitica.
 Terapi dimulai dengan Metronidazole 3 x 750 mg per oral selama 7-10 hari
(Guardino, 2008) atau nitoimidazole kerja panjang (Tinidazole 2 gram PO dan
ornidazole 2 gram PO) dilaporkan efektif sebagai terapi dosis tunggal. Terapi
kemudian dilanjutkan dengan preparat lumenalamubisida untuk eradikasi kista
dan mencegah transmisi lebih lanjut, yaitu lodoquinol 3x 650 mg selama 20 hari,
Diloxanide furoate 3 x 500 mg selama 10 hari, Aminosidine (Paromomcin 25-35
mg/kg perhari TID selama 7-10 hari ( Kim , 2011 ) . Lebih dari 90 % pasien
mengalami respons yang dramatis dengan terapi metronidazole, baik berupa
penurunan nyeri maupun demam dalam 72 jam (Reed, 2010)
 Paromomycin 25-35 mg/kg/hari per oral terbagi dalam 3 dosis selama 7 hari atau
lini kedua Diloksanide furoate 3 x 500 mg per oral selama 10 hari .
 Emetine dan chloroquine dapat digunakan sebagai alternative tetapi sebaiknya
dihindari sebisa mungkin karena efek kardiovaskular dan gastrointestinal, selain
karena tingginya angka relaps. Chloroquine phosphate1000 mg (Chloroquine
base 600 mg) diberikan oral selama 2 hari dan dilanjutkan dengan 500 mg
(Chloroquine base 300 mg)diberikan oral selama 2-3 minggu, perbaikan klinis
diharapkan dalam 3 hari (Raiford, 2010; Reed, 2010).
Aspirasi Jarum Perkutan

Indikasi aspirasi jarum perkutan:

 Risiko tinggi untuk terjadinya ruptur abses yang didefinisikan dengan ukuran
kavitas lebih dari 5 cm .
 Abses pada lobus kiri hati yang dihubungkan dengan mortalitas tinggi dan
frekuensi tinggi bocor ke peritoneum atau perikardium .
 Tak ada respons klinis terhadap terapi dalam 3-5 hari.
 Untuk menyingkirkan kemungkinan abses piogenik, khususnya pasien dengan
lesi multipel.
Drainase Perkutan

Drainase perkutan abses dilakukan dengan tuntunan USG abdomen atau CT scan
abdomen. Penyulit yang dapat terjadi : perdarahan, perforasi organ intra abdomen,
infeksi, ataupun terjadi kesalahan dalam penempatan kateter untuk drainase.

Drainase Secara Operasi

Tindakan ini sekarang jarang dikerjakan kecuali pada kasus tertentu seperti abses
dengan ancaman ruptur atau secara teknis susah dicapai atau gagal dengan aspirasi biasa
drainase perkutan.

Reseksi Hati

Pada abses hati piogenik multipel kadang diperlukan reseksi hati. Indikasi
spesifik jika didapatkan abses hati dengan karbunkel (liver carbuncle) dan disertai dengan
hepatolitiasis, terutama pada lobus kiri hati.

Berdasarkan kesepakatan PEGI (Perhimpunan Endoskopi Gastrointestinal


Indonesia) dan PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia) di Surabaya pada tahun
1996:
 Abses hati dengan diameter 1-5 cm: terapi medikamentosa, bila respon negative
dilakukan aspirasi.
 Abses hati dengan diameter 5-8 cm: terapi aspirasi berulang
 Abses hati dengan diameter lebih atau sama dengan 8 cm: drainase perkutan
KOMPLIKASI

Tanpa terapi, abses akan membesar, meluas ke diafragma atau ruptur ke kavitas
peritoneal:

1. Ruptur abses ke dalam:

 Regio toraks, menyebabkan:


- Fistula hepatobronkial
- Abses paru Empiema ameba ( 20-30 % )
 Perikardium, menyebabkan
- gagal jantung

- perikarditis

- tamponade jantung
 Peritoneum, menyebabkan:
- peritonitis
- asites
2. Infeksi sekunder (biasanya bersifat iatrogenik setelah tindakan aspirasi)
3. Lain-lain (jarang):
- gagal hati fulminan
- hemobilia
- obstruksi vena kava inferior ble liver and b Edition. M & Sherlock S
- Sindrom Budd-Chiari
- Abses cerebri ( penyebaran hematogen ) : 0,1 %
PENCEGAHAN
Infeksi Amuba disebarkan melalui konsumsi makanan atau air yang tercemar
dengan kista. Karena pembawa asimtomatik dapat mengeluarkan hingga 15 juta kista per
hari,pencegahan infeksi membutuhkan sanitasi yang memadai dan pemberantasan
pembawa kista. Pada daerah berisiko tinggi, infeksi dapat diminimalkan dengan
menghindari konsumsi buah dan sayuran yang tidak dikupas dan penggunaan air
kemasan. Karena kista tahan terhadap klor, desinfeksi oleh iodine dianjurkan. Sampai
saat ini tidak ada pofilaksis yang efektif.

PROGNOSIS
 Abses hati amuba merupakan penyakit yang sangat "treatable"
 Angka kematiannya < 1 % bila tanpa penyulit
 Penegakan diagnosis yang terlambat dapat memberikan penyulit abses ruptur
sehingga kematian:
- ruptur ke dalam peritoneum, angka kematian 20 %
- ruptur ke dalam perikardium, angka kematian 32-100 %

Referensi : Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.2015. Jilid II. Edisi VI. Jakarta
10. Perspektif islam
” Dan makanlah makanan yang halal lagi baik (thayib) dari apa yang telah di
rizkikan kepadamu dan bertakwalah kepada Allah dan kamu beriman kepada-
Nya” (QS. Al- Maidah:88)
DAFTAR PUSTAKA

Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.2015. Jilid II. Edisi VI. Jakarta

Longo,D.L dan Fauci S.Anthony.2013.Harrison gastroenterologi &


Hepatologi.EGC:jakarta,hal 5,6 & 33.

Setiati,siti dkk.2014.buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 1 edisi VI.interna


publishing:jakarta.

Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Penerbit


Buku kedokteran: EGC.

Kaamani Suframanyan.2014.Gambaran Karakteristik Neonatus Dengan


Hiperbilirubinemia.Medan.FK.Universitas Sumatera Utara

Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid II.edisi VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014

Anda mungkin juga menyukai