Anda di halaman 1dari 6

Bioetik Kedokteran

Kata bioetika berasal dari bahasa Yunani yaitu bios yang berarti hidup dan ethos yang berarti adat,
kebiasaan, praktik. Yang secara harfiah berarti etika hidup. Etika adalah suatu ilmu, bukan
merupakan suatu ajaran. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Etika adalah sebuah
cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia
dalam hidupnya. Etika sangat erat kaitannya dengan moral. Secara etimologi, moral mempunyai arti
yang hampir sama dengan etika, meskipun bahasa asal katanya berbeda. Namun yang
membedakannya adalah moral merupakan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang
atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Perbedaan etika dengan moralitas, bahwa
moralitas adalah pandangan tentang kebaikan atau kebenaran dalam masyarakat. (Bartens, 2005)
Etika dalam dunia kedokteran dikenal sebagai etika kedokteran. Etika kedokteran berfokus pada
masalah yang muncul dalam praktik pengobatan. Dalam etika kedokteran, isu-isu yang muncul
terutama menyangkut tujuan pengobatan, suatu tindakan dalam pengambilan keputusan dalam
lingkup pasien, dokter dan pihak lain yang terkait dalam sistem praktik kedokteran. (Pellegrino,
1993)

Prinsip Dasar Bioetika


Prinsip-prinsip bioetika pada dasarnya merupakan penerapan prinsip-prinsp etika dalam bidang
kedokteran dan kesehatan. Bioetika kedokteran merupakan salah satu etika khusus dan etika sosial
dalam kedokteran yang memenuhi kaidah praksiologik (praktis) dan filsafat moral (normatif) yang
berfungsi sebagai pedoman (das sollen) maupun sikap kritis reflektif (das sein), yang bersumber pada
4 kaidah dasar moral (kaidah dasar bioetika-KDB) beserta kaidah turunannya. Kaidah dasar moral
bersama dengan teori etika dan sistematika etika yang memuat nilai-nilai dasar etika merupakan
landasan etika profesi luhur kedokteran. (Afandi, 2017;  Suryadi, 2009)
Beauchamp dan Childress (2001) menguraikan empat kaidah dasar (basic moral principle) dan
beberapa rules dibawahnya. Keempat kaidah dasar tersebut adalah: (Afandi, 2017; Suryadi,
2009; Bhanji, 2013)

1. Prinsip beneficience, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke


kebaikan pasien;

2. Prinsip non maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk
keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere” atau “above all do no
harm”,

3. Prinsip autonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak
autonomi pasien (the rights to self determination),

4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
mendistribusikan sumberdaya (distributive justice).

Prinsip Beneficience
Beneficence secara makna kata dapat berarti pengampunan, kebaikan, kemurahan hati,
mengutamakan kepentiang orang lain, mencintai dan kemanusiaan.Beneficence dalam makna yang
lebih luas berarti tindakan yang dilakukan untuk kebaikan orang lain. Prinsip moral beneficence
adalah kewajiban moral untuk melakukan suatu tindakan demi kebaikan atau kemanfaatan orang
lain (pasien). Prinsip etik beneficence memerlukan petugas medis profesional untuk memberikan
terapi yang memberikan manfaat maksimal terhadap pasien, dimana disisi lain prinsip non
malaficence melindungi petugas medis untuk tidak melakukan hal yang membahayakan pasien.
Prinsip ini digambarkan sebagai alat untuk memperjelas atau meyakinkan diri sendiri (self-evident)
dan diterima secara luas sebagai tujuan kedokteran yang tepat. (Suryadi, 2009; Bhanji, 2013)
Beuchamp dan Childress menulis: “dalam bentuk yang umum, dasar-dasar beneficence mempunyai
tujuan membantu orang lain melebihi kepentingan dan minat mereka.” Dasar dari beneficence
mengandung dua elemen, yaitu keharusan secara aktif untuk kebaikan berikutnya, dan tuntutan
untuk melihat berapa banyak aksi kebaikan berikutnya dan berapa banyak kekerasan yang terlibat.
(Afandi, 2017)
Penerapan prinsip beneficence tidak bersifat mutlak. Prinsip ini bukanlah satu-satunya prinsip yang
harus dipertimbangkan, melainkan satu diantara beberapa prinsip lain yang juga harus
dipertimbangkan. Prinsip ini dibatasi keseimbangan manfaat, resiko, dan biaya (sebagai hasil dari
tindakan) serta tidak menentukan pencapaian keseluruhan kewajiban. Kritik yang sering muncul
terhadap penerapan prinsip ini adalah tentang kepentingan umum yang diletakan di atas
kepentingan pribadi. Sebagai contoh, dalam penelitian kedokteran, atas dasar kemanfaatan untuk
kepentingan umum, sering prosedur penelitian yang membahayakan individu subjek penelitian
diperbolehkan. Padahal, terdapat prinsip-prinsip lain yang semestinya juga dipertimbangkan. Prinsip
beneficence harus diterapkan baik untuk kebaikan individu seorang pasien maupun kebaikan
masyarakat keseluruhan. (Suryadi, 2009)
Beberapa bentuk penerapan prinsip beneficence merupakan komponen penting dalam moralitas.
Karena luasnya cakupan kebaikan, maka banyak ketentuan-ketentuan dalam praktek (kedokteran)
yang baik lahir dari prinsip beneficence ini. Beberapa contoh penerapan prinsip beneficence ini
adalah: (Suryadi, 2009)

1. Melindungi dan menjaga hak orang lain.

2. Mencegah bahaya yang dapat menimpa orang lain.

3. Meniadakan kondisi yang dapat membahayakan orang lain.

4. Membantu orang dengan berbagai keterbatasan (kecacatan).

5. Menolong orang yang dalam kondisi bahaya.

Prinsip Non-Maleficience
Non-Maleficence atau tidak merugikan orang lain, adalah suatu prinsip yang mana seorang dokter
tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien dan memilih pengobatan yang paling kecil
resikonya bagi pasien yang dirawat atau diobati olehnya. (Saltike)
Prinsip non-maleficence ini melarang tindakan yang membahayakan atau memperburuk keadaan
pasien, prinsip ini dikenal sebagai “First, do no harm” yang masih tetap berlaku dan harus diikuti.
Prinsip ini berhubungan dengan ungkapan hipokrates yang menyatakan, “saya akan menggunakan
terapi untuk membantu orang sakit berdasarkan kemampuan dan pendapat saya, tetapi saya
tidak akan pernah menggunakannya untuk merugikan atau mencelakakan mereka”. Prinsip non-
maleficence memegang peranan penting dalam mengambil keputusan untuk mempertahankan atau
mengakhiri kehidupan, terutama dalam kasus penyakit terminal, penyakit serius dan luka serius.
Pada dasarnya, prinsip ini memberikan peluang kepada pasien, walinya, dan para tenaga kesehatan
untuk menerima atau menolak suatu tindakan atau terapi setelah menimbang manfaat dan
hambatannya dalam situsi atau kondisi tertentu. (Suryadi, 2009)
Ciri-ciri prinsip non-maleficence, adalah : (Saltike)

 Pasien dalam keadaan amat berbahaya atau berisiko hilangnya sesuatu yang penting.

 Dokter sangggup mencegah bahaya atau kehilangan tersebut.


 Tindakan kedokteran tadi terbukti efektif.

 Manfaat bagi pasien lebih besar dari kerugian dokter.

 Tidak membunuh pasien.

 Tidak memandang pasien sebagai objek.

 Tidak membahayakan pasien karena kelalaian.

 Tidak melakukan white collar crime.

Prinsip Justice
Keadilan (Justice) adalah suatu prinsip dimana seorang dokter memperlakukan sama rata dan adil
untuk kebahagiaan dan kenyamanan pasien. Perbedaan tingkat ekonomi, pandangan politik, agama,
kebangsaan, perbedaan kedudukan sosial, kebangsaan, dan kewarganegaraan tidak dapat
mengubah sikap dokter terhadap pasiennya. Justice mempunyai ciri-ciri: (Saltike; Suryadi, 2009)

 Memberlakukan segala sesuatu secara universal.

 Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan.

 Menghargai hak sehat pasien.

 Menghargai hak hukum pasien.

Jenis keadilan :

1. Komparatif (perbandingan antar kebutuhan penerima).

2. Distributif (membagi sumber) :


kebajikan membagikan sumber-sumber kenikmatan dan beban bersama, dengan cara
rata/merata, sesuai keselarasan sifat dan tingkat perbedaan jasmani-rohani; secara material
kepada :

 Setiap orang andil yang sama

 Setiap orang sesuai dengan kebutuhannya

 Setiap orang sesuai upayanya.

 Setiap orang sesuai kontribusinya

 Setiap orang sesuai jasanya

 Setiap orang sesuai bursa pasar bebas

3. Sosial :
kebajikan melaksanakan dan memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bersama.

 Utilitarian :
memaksimalkan kemanfaatan publik dengan strategi menekankan efisiensi social
dan memaksimalkan nikmat/keuntungan bagi pasien.
 Libertarian :
menekankan hak kemerdekaan social – ekonomi (mementingkan prosedur adil >
hasil substantif/materiil).

 Komunitarian :
mementingkan tradisi komunitas tertentu

 Egalitarian :
kesamaan akses terhadap nikmat dalam hidup yang dianggap bernilai oleh setiap
individu rasional (sering menerapkan criteria material kebutuhan dan kesamaan).

4. Hukum (umum) :

 Tukar menukar : kebajikan memberikan / mengembalikan hak-hak kepada yang


berhak.

 Pembagian sesuai dengan hukum (pengaturan untuk kedamaian hidup bersama)


mencapai kesejahteraan umum.

Prinsip Autonomy
Otonomi (Autonomy) berasal dari bahasa Yunani ”autos” yang berarti sendiri dan ”nomos” yang
berarti peraturan atau pemerintahan atau hukum. Sejak zaman Kant, autonomi adalah konsep
penting dalam filsafat. Didalam filsafat dan etik, konsep autonomi dan kebebasan mempunyai
hubungan erat. Menurut, Joel Feinberg (1986), dia membedakan autonomi sebagai kapasitas,
autonomi sebagai kondisi yang sebenarnya, autonomi sebagai karakter ideal dan autonomi sebagai
hak untuk bertindak. Konsep autonomi sangat diperlukan karena berhubungan dengan hak asasi
manusia. (Bartens, 2005; Schermer, 2002; O’Neill, 2002)
Pada awalnya otonomi dikaitkan dengan suatu wilayah dengan peraturan sendiri atau pemerintahan
sendiri atau hukum sendiri. Kemudian, otonomi juga digunakan pada suatu kondisi individu yang
maknanya bermacam-macam, seperti memerintah sendiri, hak untuk bebas, pilihan pribadi,
kebebasan berkeinginan dan menjadi diri sendiri. Makna utama dari otonomi individu adalah aturan
pribadi atau perseorangan dari diri sendiri yang bebas, baik bebas dari campur tangan orang lain
maupun dari keterbatasan yang dapat menghalangi pilihan yang benar, seperti karena pemahaman
yang tidak cukup. Seseorang yang dibatasi otonominya adalah seseorang yang dikendalikan oleh
orang lain atau seseorang yang tidak mampu bertindak sesuai dengan hasrat dan rencananya.
Terdapat berbagai pendapat tentang penerapan prinsip otonomi. Meskipun demikian, secara umum
ada beberapa cara menerapkan prinsip otonomi, khususnya dalam praktek kedokteran. Cara-cara
tersebut antara lain: (Suryadi, 2009)

1. Menyampaikan kebenaran atau berita yang sesungguhnya (tell the truth).

2. Menghormati hak pribadi orang lain (respect the privacy of others).

3. Melindungi informasi yang bersifat rahasia (protect confidential information).

4. Mendapat persetujuan untuk melakukan tindakan terhadap pasien (obtain consent for
interventions with patients).

5. Membantu orang lain membuat keputusan yang penting (when ask, help others make
important decision).
Hal penting dalam menerapkan prinsip otonomi adalah menilai kompetensi pasien. Para pakar
meyakini belum ada satu definisi kompetensi pasien yang dapat diterima semua pihak, sehingga
begitu banyak defnisi tentang kompetensi pasien. Salah satu definisi kompetensi pasien yang dapat
diterima adalah ”kemampuan untuk melaksanakan atau perform suatu tugas atau perintah”.
(Suryadi, 2009)

Contoh kasus :

1. Dokter X bertugas di suatu desa terpencil yang jauh dari kota. Ia bertugas di sebuah
puskesmas dan hanya ditemani oleh seorang kader, pekerjaan ini cukup melelahkan karena
setiap harinya banyak warga desa yang datang berobat karena puskesmas tersebut
merupakan satu-satunya sarana kesehatan yang ada. Dokter X bertugas dari pagi hari
sampai sore hari tetapi tidak menutup kemungkinan ia harus mengobati pasien dimalam hari
bila ada warga desa yang membutuhkan pertolongannya. Dokter X juga sering mengadakan
penyuluhan sebagai tindakan promotif dan preventif untuk masyarakat di desa tempat ia
bertugas.
Dokter X pada kasus diatas menerapkan kaidah Beneficence, yaitu prinsip rela berkorban
untuk selalu siap sedia apabila pasien membutuhkan, Dokter X juga mengadakan
penyuluhan yang bermanfaat untuk masyarakat.

2. Seorang dokter memberikan kemoterapi pada pasien dengan kanker payudara, kemoterapi
ini dapat menimbulkan berbagai efek yang tidak menyenangkan bagi pasien.
Dokter pada kasus diatas menerapkan kaidah Non Maleficence, walaupun terapi yang
diberikan dapat menyakiti pasien, namun dengan pemberian terapi ini dapat mengobati
penyakit yang terdapat pada pasien tersebut. Keputusan yang memiliki nilai lebih baik
terhadap keselamatan pasien merupakan suatu keputusan yang tidak merugikan pasien (non
maleficence).

3. Umat Jehovah meyakini bahwa menerima darah transfusi merupakan suatu hal yang salah.
Pada kondisi yang mengancam nyawa, dokter akan memberikan transfusi darah untuk
menyelamatkan nyawa pasien yang merupakan umat Jehovah, namun perlu dilakukan
inform concent sebelum dilakukannya tindakan. Pada kondisi ini, (keluarga pasien) diberikan
kebebasan memilih antara menerima transfusi darah untuk menyelamatkan nyawa pasien
atau menolak dilakukan transfusi sesuai dengan aturan di keyakinannya dan dokter
menghormati keputusan yang diambil oleh pasien walaupun tidak sesuai dengan standar
tindakan kedokteran.
Dokter pada kasus diatas menerapkan kaidah Menghormati Autonomi Pasien. Walaupun
tindakan yang akan dilakukan bertujuan untuk menyelamatkan nyawa pasien, pasien diberi
kebebasan untuk menyetujui suatu tindakan atau menolak, walaupun keputusan yang
diberikan oleh pasien tidak sesuai dengan standar tindakan kedokteran.

4. Dua orang pasien datang ke IGD, pasien yang pertama merupakan salah seorang pejabat
pemerintahan, sedangkan pasien kedua seorang buruh bangunan yang terjatuh dari gedung
lantai lima. Dokter jaga memeriksa pasien kedua terlebih dahulu karena pasien berada pada
kondisi yang membutuhkan pertolongan segera.
Dokter pada kasus diatas menerapkan prinsip Justice, pasien kedua diperiksa terlebih dahulu
sesuai dengan derajat keparahan penyakitnya, dan tidak membedakan perlakuan pasien
berdasarkan status sosial pasien.

 
 

Source :

Bertens K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2005; Pellegrino ED, Thomasma DC. The
virtue in medical practice. New York: Oxford University Press; 1993;  Afandi D. Kaidah Dasar
Bioetika dalam Pengambilan Keputusan Klinis yang Etis. Majalah kedokteran Andalas, 2017:40(2).
hlm. 111-21;  Suryadi T. Prinsip – Prinsip Etika dan Hukum dalam Profesi Kedokteran. Bioetika dan
Humaniora. Fakultas Kedokteran Unsyiah Banda Aceh, 2009. hlm. 1-13;  Bhanji SM. Health Care
Ethics. J Clinic res Bioeth, 2013:4:1. hlm. 1-2;Saltike, AZ. Bioetika Kedokteran. Academia. Di unduh
dari http/:www.academia.edu;  Schermer, M. 2002.  The Different Faces of Autonomy: Patient
Autonomy in Ethical Theory and Hospital Practice. Dordrecht, The Netherland: Kluwer Academic
Publishers; O’Neill, O. 2002.  Autonomy and Trust in Bioethics. Cambridge, United Kingdom:
Cambridge University Press; Suryadi T. Prinsip-prinsip Etika dan Hukum Dalam Profesi Kedokteran.
Pertemuan Nasional V JBHKI dan Workshop III Pendidikan Bioetika dan Medikolegal. Medan. 2009

Anda mungkin juga menyukai