Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA


CARPAL TUNNEL SYNDROME

PEMBIMBING :
dr. Joko Nafianto, Sp.S

DISUSUN OLEH :
Mutammima Rizqiyani
1102014173

Kepanitraan Klinik Ilmu Neurologi


Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi
Rumah Sakit Bhayangkara Tk. I R. Said Sukanto

Periode 06 Agustus 2018 – 08 September 2018


BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Carpal tunnel (terowongan karpal) terletak di bagian bawah pergelangan


tangan yang terdiri dari tulang-tulang carpal di median, dorsal, dan sisi lateral dan
terselubungi secara ventral oleh flexor retinaculum. Carpal tunnel syndrome (CTS)
atau disebut juga entrapment neuropathy adalah keadaan dimana nervus medianus
tertekan di daerah pergelangan tangan sehingga menimbulkan rasa nyeri, parastesia,
dan kelemahan pada pergelangan tangan. Hal ini berkaitan dengan penggunaan
tangan yang eksesif tak terbatas dan trauma repetitif akibat paparan okupasi
berkelanjutan. Beberapa penyebabnya telah diketahui seperti trauma, infeksi,
gangguan endokrin dan lain-lain, tetapi sebagian tetap tidak diketahui penyebabnya.
CTS lebih umum dijumpai pada wanita, dengan puncak usia 42 tahun (40-60
tahun). Resiko untuk menderita CTS sekitar 10% pada usia dewasa. Sindrom ini
biasanya timbul pada orang-orang yang sering bekerja menggunakan tangan
(memanipulasi tangan), seperti memeras baju, orang yang sering bertepuk (guru
TK), pengendara motor, mengetik, olahraga taichi, sering bermain game. Ras
kaukasia memiliki resiko tertinggi terkena CTS jika dibandingkan dengan ras yang
lain. Perempuan beresiko lebih tinggi dibandingkan laki – laki dengan tingkat
perbandingan sebesar 3:1 pada usia antara 45 – 60 tahun. Hanya sebesar 10% kasus
CTS yang dilaporkan ditemukan pada usia yang lebih muda di usia 30-an tahun.
Kaum perempuan diduga memiliki ukuran canalis carpi yang lebih kecil
dibandingkan kaum laki – laki.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 ANATOMI

Terowongan karpal terdapat di bagian sentral dari pergelangan tangan di mana


tulang dan ligamentum membentuk suatu terowongan sempit yang dilalui oleh
beberapa tendon dan nervus medianus. Tulang-tulang karpalia membentuk dasar
dan sisi-sisi terowongan yang keras dan kaku sedangkan atapnya dibentuk oleh
fleksor retinakulum (transverse carpal ligament dan palmar carpal ligament) yang
kuat dan melengkung di atas tulang- tulang karpalia tersebut. Di dalam terowongan
tersebut terdapat saraf medianus yang berfungsi menyalurkan sensori ke ibu jari,
telunjuk, jari tengah dan sebagian dari jari manis serta mempersarafi fungsi otot-
otot dasar sisi dari ibu jari/otot tenar. Selain saraf medianus, di dalam terowongan
tersebut terdapat pula tendon-tendon yang berfungsi untuk menggerakkan jari-jari.
Proses inflamasi yang disebabkan stres berulang, cedera fisik atau keadaan lain
pada pergelangan tangan, dapat menyebabkan jaringan di sekeliling saraf medianus
membengkak. Lapisan pelindung tendon di dalam terowongan karpal dapat
meradang dan membengkak. Bentuk ligamen pada bagian atas terowongan karpal
menebal dan membesar. Keadaan tersebut menimbulkan tekanan pada serat-serat
saraf medianus sehingga memperlambat penyaluran rangsang saraf yang melalui
terowongan karpal. Akibatnya timbul rasa sakit, tidak terasa/kebas, rasa geli di
pergelangan tangan, tangan dan jari-jari selain kelingking.

CT dibentuk oleh :
 Atas : ligamentum carpi transversum (bagian dari. flexor retinaculum
yang membentang dari Os. Scapoideum dan trapezoideum ke arah
medial menuju Os. Piriformis & hamatum)
 Lateral (radial) : Os naviculare dan tuberculum os trapezium.
 Medial (ulnar) dibatasi oleh : Os. pisiformis dan os hamatum.

2.2 DEFINISI
Sindroma Carpal Tunnel merupakan suatu kumpulan gejala yang disebabkan
karena tekanan pada nervus medianus di Carpal Tunnel. Adapun definisi lain yaitu
neuropati tekanan atau jeratan terhadap nervus medianus di dalam terowongan
karpal pada pergelangan tangan, tepatnya di bawah fleksor retinakulum.
Terowongan karpal terdapat di bagian sentral dari pergelangan tangan di mana
tulang dan ligamentum membentuk suatu terowongan sempit yang dilalui oleh
beberapa tendon dan nervus medianus. Tulang-tulang karpalia membentuk dasar
dan sisi-sisi terowongan yang keras dan kaku sedangkan atapnya dibentuk oleh
fleksor retinakulum (transverse carpal ligament dan palmar carpal ligament) yang
kuat dan melengkung di atas tulang-tulang karpalia tersebut. Setiap perubahan yang
mempersempit terowongan ini akan menyebabkan tekanan pada struktur yang
paling rentan di dalamnya yaitu nervus medianus.

2.3 ETIOLOGI

Terowongan karpal yang sempit selain dilalui oleh nervus medianus juga dilalui
oleh beberapa tendon fleksor. Setiap kondisi yang mengakibatkan semakin
padatnya terowongan ini dapat menyebabkan terjadinya penekanan pada nervus
medianus sehingga timbullah CTS. Pada sebagian kasus etiologinya tidak
diketahui, terutama pada penderita lanjut usia. Beberapa penulis menghubungkan
gerakan yang berulang-ulang pada pergelangan tangan dengan bertambahnya risiko
menderita gangguan pada pergelangan tangan termasuk CTS. Mekanisme
patofisiologis terjebaknya saraf medianus adalah berbeda antara pekerja dan bukan
pekerja. Penyebab CTS menjadi 3 faktor, yaitu:

1. Faktor intrinsic
2. Faktor penggunaan tangan (penggunaan tangan yang berhubungan dengan
hobi, dan penggunaan tangan yang berhubungan dengan pekerjaan)
3. Faktor trauma. Dislokasi, fraktur atau hematom pada lengan bawah,
pergelangan tangan dan tangan. Trauma langsung terhadap pergelangan
tangan.

Faktor intrinsik terjadinya CTS adalah sekunder, karena beberapa penyakit atau
kelainan yang sudah ada. Beberapa penyakit atau kelainan yang merupakan faktor
intrinsik yang dapat menimbulkan CTS adalah:

 Perubahan hormonal seperti kehamilan, pemakaian hormon estrogen pada


menopause, dapat berakibat retensi cairan dan menyebabkan
pembengkakan pada jaringan di sekeliling terowongan karpal
 Penyakit/keadaan tertentu seperti hemodialisis yang berlangsung lama,
penyakit multiple myeloma, Walderstroom’s macroglobulinemia,
limphoma non Hodgkin, acromegali, virus (human parvovirus), pengobatan
yang berefek pada sistem imun (interleukin 2) dan obat anti pembekuan
darah (warfarin)
 Kegemukan (obesitas)
 Keadaan lain seperti merokok, gizi buruk dan stress
 Adanya riwayat keluarga dengan CTS
 Jenis kelamin, hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita mempunyai
risiko mendapat CTS lebih tinggi secara bermakna dibandingkan laki-laki.
CTS yang terjadi oleh karena penggunaan tangan karena hobi atau pekerjaan
adalah sebagai akibat inflamasi/pembengkakan tenosinovial di dalam terowongan
karpal. Penggunaan tangan yang berhubungan dengan hobi, contohnya adalah
pekerjaan rumah tangga (menjahit, merajut dan memasak), kesenian dan olah raga.
CTS yang berhubungan dengan pekerjaan meliputi kegiatan yang membutuhkan
kekuatan, penggunaan berulang atau lama pada tangan dan pergelangan tangan,
terutama jika faktor risiko potensial tersebut muncul secara bersamaan misalnya:

 Penggunaan tangan yang kuat terutama jika ada pengulangan

 Penggunaan tangan berulang dikombinasikan dengan beberapa unsur

kekuatan terutama untuk waktu yang lama


 Konstan dalam mencegkeram benda

2.4 GEJALA KLINIS

Carpal tunnel syndrom menimbulkan beragam gejala khas dari gejala sakit
sedang hingga gejala sakit yang berat. Gejala – gejala ini akan semakin bertambah
berat dan penderita yang telah didiagnosis dengan carpal tunnel syndrome akan
mengeluhkan sensasi mati rasa (numbness), kesemutan, dan sensasi terbakar pada
jari jempol, jari telunjuk dan jari tengah dimana ketiga jari tersebut diinervasi oleh
N. Medianus.s Pada beberapa penderita juga sering mengeluhkan rasa sakit pada
tangan atau pergelangan tangan dan hilangnya kekuatan menggenggam. Rasa nyeri
juga timbul pada lengan dan pundak serta benjolan pada tangan; rasa nyeri ini akan
terasa teramat sakit terutama di malam hari saat tidur. Mati rasa (numbness) dan
kesemutan (paresthesia) pada area yang dipersarafi oleh N. Medianus merupakan
gejala neuropathy akibat sindrom jebakan canalis carpi (carpal tunnel entrapment).
Kelemahan dan atrofi otot – otot thenar akan timbul selanjutnya jika kondisi ini
semakin tak terobati.
2.5 PATOFISIOLOGI

Umumnya CTS terjadi secara kronis di mana terjadi penebalan fleksor


retinakulum yang menyebabkan tekanan terhadap nervus medianus. Tekanan yang
berulang-ulang dan lama akan mengakibatkan peninggian tekanan intrafasikuler.
Akibatnya aliran darah vena intrafasikuler melambat. Kongesti yang terjadi ini akan
mengganggu nutrisi intrafasikuler lalu diikuti oleh anoksia yang akan merusak
endotel. Kerusakan endotel ini akan mengakibatkan kebocoran protein sehingga
terjadi edema epineural. Hipotesa ini menerangkan bagaimana keluhan nyeri dan
sembab yang timbul terutama pada malam/pagi hari akan berkurang setelah tangan
yang terlibat digerak-gerakkan atau diurut (mungkin akibat terjadinya perbaikan
sementara pada aliran darah). Apabila kondisi ini terus berlanjut akan terjadi
fibrosis epineural yang merusak serabut saraf. Lama-kelamaan saraf menjadi atrofi
dan digantikan oleh jaringan ikat yang mengakibatkan fungsi nervus medianus
terganggu secara menyeluruh
Pada CTS akut biasanya terjadi penekanan yang melebihi tekanan perfusi
kapiler sehingga terjadi gangguan mikrosirkulasi dan timbul iskemik saraf.
Keadaan iskemik ini diperberat lagi oleh peninggian tekanan intrafasikuler yang
menyebabkan berlanjutnya gangguan aliran darah. Selanjutnya terjadi vasodilatasi
yang menyebabkan edema sehingga sawar darah-saraf terganggu. Akibatnya terjadi
kerusakan pada saraf tersebut
Tekanan langsung pada saraf perifer dapat pula menimbulkan invaginasi
Nodus Ranvier dan demielinisasi lokal sehingga konduksi saraf terganggu.
Akhirnya setelah adanya disproporsi dan kompresi terhadap nervus
medianus akan menimbulkan suatu gejala / simptom. Yaitu nyeri, rasa terbakar
dan rasa seperti di tusuk – tusuk pada daerah carpal.

Stadium pada kelainan syaraf:


 Stadium I:
Timbulnya distensi kapiler intrafasikuler yang menyebabkan meningkatkan
tekanan intrafasikuler. Sehingga keadaan tersebut dapat menimbulkan
konstriksi pembuluh darah kapiler. Keadaan ini yang menyebabkan
timbulnya gangguan nutrisi serta akan terjadi hipereksitabilitas serabut
saraf.
 Stadium II
Adanya kompresi pada pembuluh kapiler akan menyebabkan anoksia dan
kerusakan endotelium kapiler. Masuknya protein ke dalam jaringan akan
menyebabkan edema. Protein tidak dapat keluar melalui perineurium oleh
karena akumulasi dalam endoneurium yang mana telah menyatu dengan
metabolisme serta nutrisi aksonal.
Pada keadaan tersebbut juga diiikuti adanya proliferasi dari fibroblast serta
iskemik pada jaringan ikat yang mengalami konstriksi. Pada tahap akhir dari
kompresi saraf, akan terjadi defek pada motorik maupun sensorik.

Dasar patofisiologi dari penekanan dari saraf ini di awali dengan berkurang
nya aliran darah yang timbul dengan tekanan 20 – 30 mmHg. Pada penderita CTS
tekanan pada terowongan sedikitnya mencapai 33 mmHg dan bahkan sering
mencapai 110 mmHG saat pergelangan tangan pada dalam posisi ekstensi posisi
dorsofleksi ini nampaknya merupakan posisi yang meningkatkan tekanan intra
karpal yang paling tinggi. Tekanan sebesar 50 mmHG selama 2jam akan
menyebabkan oedema epineurium bila tekanan tersebut berlangsung selama 8 jam
maka akan mengakibatkan tekanan cairan endoneurium meningkat sebesar 4 kali
dan menghambat transport aksonal jika trauma ini terus terjadi pada endotel kapiler
maka akan semakin banyak protein yang bocor masuk kedalam jaringan sehingga
oedema makin menghebat dengan demikian lingkaran akan terjadi.

2.6 DIAGNOSIS
2.6.1 ANAMNESIS

Pada tahap awal gejala umumnya berupa gangguan sensorik saja. Gangguan
motorik hanya terjadi pada keadaan yang berat. Gejala awal biasanya berupa
parestesia, kurang merasa (numbness) atau rasa seperti terkena aliran listrik
(tingling) pada jari 1-3 dan setengah sisi radial jari 4 sesuai dengan distribusi
sensorik nervus medianus walaupun kadang-kadang dirasakan mengenai
seluruh jari-jari.

Komar dan Ford membahas dua bentuk CTS yaitu akut dan kronis. Bentuk
akut mempunyai gejala dengan nyeri parah, bengkak pergelangan tangan atau
tangan, tangan dingin, atau gerak jari menurun. Kehilangan gerak jari
disebabkan oleh kombinasi dari rasa sakit dan paresis. Bentuk kronis
mempunyai gejala baik disfungsi sensorik yang mendominasi atau kehilangan
motorik dengan perubahan trofik. Nyeri proksimal mungkin ada dalam carpal
tunnel syndrome.

Keluhan parestesia biasanya lebih menonjol di malam hari. Gejala lainnya


adalah nyeri di tangan yang juga dirasakan lebih berat pada malam hari sehingga
sering membangunkan penderita dari tidurnya. e Nyeri juga akan berkurang bila
penderita lebih banyak mengistirahatkan tangannya.

Apabila tidak segera ditangani dengan baik maka jari-jari menjadi kurang
terampil misalnya saat memungut benda-benda kecil. Kelemahan pada tangan
juga sering dinyatakan dengan keluhan adanya kesulitan yang penderita
sewaktu menggenggam. Pada tahap lanjut dapat dijumpai atrofi otot-otot thenar
(oppones pollicis dan abductor pollicis brevis) dan otot-otot lainya yang
diinervasi oleh nervus medianus.

2.6.2 PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh pada penderita


dengan perhatian khusus pada fungsi, motorik, sensorik dan otonom tangan.
Beberapa pemeriksaan dan tes provokasi yang dapat membantu menegakkan
diagnosa CTS adalah :
a) Tes Phalen
Penderita diminta melakukan fleksi tangan secara maksimal. Bila
dalam waktu 60 detik timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong
diagnosa. Beberapa penulis berpendapat bahwa tes ini sangat sensitif
untuk menegakkan diagnosa CTS.

b) Tes Torniquet
Pada pemeriksaan ini dilakukan pemasangan torniquet dengan
menggunakan tensimeter di atas siku dengan tekanan sedikit di atas
tekanan sistolik. Bila dalam 1 menit timbul gejala seperti CTS, tes ini
menyokong diagnose.
c) Tinel's Sign
Tes ini mendukung diagnosa bila timbul parestesia atau nyeri
pada daerah distribusi nervus medianus jika dilakukan perkusi pada
trowongan karpal dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi.
d) Flick's Sign
Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau menggerak-
gerakkan jari-jarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang akan
menyokong diagnosa CTS.
e) Thenar Wasting
Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi otot-otot
thenar.

f) Menilai kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan otot secara manual


maupun dengan alat dinamometer. Penderita diminta untuk
melakukan abduksi maksimal palmar lalu ujung jari dipertemukan
dengan ujung jari lainnya. Di nilai juga kekuatan jepitan pada ujung
jari-jari tersebut. Ketrampilan/ketepatan dinilai dengan meminta
penderita melakukan gerakan yang rumit seperti menulis atau
menyulam.
g) Wrist Extension Test
Penderita diminta melakukan ekstensi tangan secara maksimal,
sebaiknya dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga dapat
dibandingkan. Bila dalam 60 detik timbul gejala-gejala seperti CTS,
maka tes ini menyokong diagnosa CTS.
h) Tes Tekanan
Nervus medianus ditekan di terowongan karpal dengan
menggunakan ibu jari. Bila dalam waktu kurang dari 120 detik timbul
gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnose.
i) Luthy's Sign (Bottle's sign)
Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari telunjuknya pada
botol atau gelas. Bila kulit tangan penderita tidak dapat menyentuh
dindingnya dengan rapat, tes dinyatakan positif dan mendukung
diagnose.
j) Pemeriksaan Sensibilitas
Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik (two-point
discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus medianus,
tes dianggap positif dan menyokong diagnose.
k) Pemeriksaan Fungsi Otonom
Pada penderita diperhatikan apakah ada perbedaan keringat, kulit
yang kering atau licin yang terbatas pada daerah innervasi nervus
medianus. Bila ada akan mendukung diagnosa CTS.

2.6.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Elektrodiagnostik

Meliputi nerve conduction studies (NCS) dan elektromiografi


(EMG). Adapun indikasi pemeriksaan elektrodiagnostik adalah sebagai berikut:
Pasien yang tidak ada perbaikan dengan penanganan konservatif pertimbangan
pembedahan ntuk menyingkirkan kelainan radikulopati ataupun saraf terjepit
lainnya.

Nerve Conduction Studies (NCS)

Pada 15-25% kasus, NCS bisa normal. Pada yang lainnya NCS akan
menurun dan masa laten distal (distal latency) memanjang, menunjukkan
adanya gangguan pada konduksi safar di pergelangan tangan. Masa laten
sensorik lebih sensitif dari masa laten motorik.

 Mungkin sumber lokasi dari gejala/tanda CTS dan konfirmasi


diagnosis klinis
 Mungkin normal pada sebagian kecil kasus CTS
 Jika NSC normal, diagnosis CTS harus didukung dengan anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang akurat.

Elektromiografi (EMG)

EMG dapat menunjukkan adanya fibrilasi, polifasik, gelombang positif dan


berkurangnya jumlah motor unit pada otot-otot thenar. Pada beberapa kasus
tidak dijumpai kelainan pada otot-otot lumbrikal. EMG bisa normal pada 31 %
kasus CTS.

 Diindikasikan jika ada dugaan perubahan neurogenik akut/kronis.


 Untuk membedakan CTS dengan jebakan saraf proksimal, radikulopati,
atau miopati.
 Sebagian besar pasien dengan CTS didokumentasikan oleh pengujian
elektrodiagnostik tidak membutuhkan tes NCS/EMG ulang secara rutin
atau berkala.
 Pada dugaan CTS dengan hasil pemeriksaan normal, pengujian dinamis
(pra dan pasca latihan) simulasi pekerjaan/non kerja dapat membantu.
 Pemeriksaan ulang pada interval yang tepat (3-4 bulan) mungkin
menunjukkan perkembangan dari abnormalitas konduksi.
 Pengujian tambahan mungkin diindikasikan pada kasus pasca operasi
yang tetap bergejala.
 Individu dengan diagnosa CTS di satu sisi mungkin memiliki NCS yang
abnormal pada sisi berlawanan. Pembedahan tidak boleh dilakukan
kecuali pada kasus yang terdapat gejala.
Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium umumnya diperlukan untuk menyingkirkan


penyakit yang mendasari. Pasien diskrining pada pemeriksaan awal untuk tanda-
tanda atau gejala diabetes, hipotiroidisme, kehamilan, artritis, dan penyakit
inflamasi terkait. Pemeriksaan ini jarang diindikasikan kecuali pasien dengan
gejala/tanda menjamin laboratorium khusus.

Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan sinar X terhadap pergelangan tangan dapat membantu melihat


apakah ada penyebab lain seperti fraktur atau artritis. Foto palos leher berguna
untuk menyingkirkan adanya penyakit lain pada vertebra. USG, CT scan dan MRI
dilakukan pada kasus yang selektif terutama yang akan dioperasi.

2.7 DIAGNOSIS BANDING


 Cervical radiculopathy. Biasanya keluhannya berkurang bila leher
diistirahatkan dan bertambah bila leher bergerak. Distribusi gangguan
sensorik sesuai dermatomnya.
 lnoracic outlet syndrome. Dijumpai atrofi otot-otot tangan lainnya selain
otot-otot thenar. Gangguan sensorik dijumpai pada sisi ulnaris dari tangan
dan lengan bawah.
 Pronator teres syndrome. Keluhannya lebih menonjol pada rasa nyeri di
telapak tangan daripada STK karena cabang nervus medianus ke kulit
telapak tangan tidak melalui terowongan karpal.
 de Quervain's syndrome. Tenosinovitis dari tendon muskulus abduktor
pollicis longus dan ekstensor pollicis brevis, biasanya akibat gerakan tangan
yang repetitif. Gejalanya adalah rasa nyeri dan nyeri tekan pada pergelangan
tangan di dekat ibu jari. KHS normal. Finkelstein's test : palpasi otot
abduktor ibu jari pada saat abduksi pasif ibu jari, positif bila nyeri
bertambah
2.8 TATALAKSANA

Penatalaksanaan CTS tergantung pada etiologi, durasi gejala, dan intensitas


kompresi saraf. Jika sindrom adalah suatu penyakit sekunder untuk penyakit
endokrin, hematologi, atau penyakit sistemik lain, penyakit primer harus diobati
(Bahrudin, 2011).

1. Medikamentosa
Terdapat beberapa terapi terhadap carpal tunnel syndrome yang
masih dipergunakan hingga saat ini, antara lain :

a) Injeksi Kortikosteroid Lokal


Injeksi kortikosteroid cukup efektif sebagai penghilang gejala
CTS secara temporer dalam waktu yang singkat. Metilprednisolon
atau hidrokortison bisa disuntikkan langsung ke carpal tunnel untuk
menghilangkan nyeri. Injeksi kortikosteroid dapat mengurangi
peradangan, sehingga mengurangi tekanan pada nervus medianus.
Pengobatan ini tidak bersifat untuk dilakukan dalam jangka waktu
yang panjang.

Deksametason 1-4 mg 1 atau hidrokortison 10-25 mg atau


metilprednisolon 20 mg atau 40 mg diinjeksikan ke dalam
terowongan karpal dengan menggunakan jarum no.23 atau 25 pada
lokasi 1 cm ke arah proksimal lipat pergelangan tangan di sebelah
medial tendon musculus palmaris longus. Sementara suntikan dapat
diulang dalam 7 sampai 10 hari untuk total tiga atau empat suntikan.
Tindakan operasi dapat dipertimbangkan bila hasil terapi belum
memuaskan setelah diberi 3 kali suntikan. Suntikan harus digunakan
dengan hati-hati untuk pasien di bawah usia 30 tahun.

b) Vitamin B6 (Piridoksin)
Beberapa penulis berpendapat bahwa salah satu penyebab
CTS adalah defisiensi piridoksin sehingga mereka menganjurkan
pemberian piridoksin 100-300 mg/hari selama 3 bulan. Tetapi
beberapa penulis lainnya berpendapat bahwa pemberian piridoksin
tidak bermanfaat bahkan dapat menimbulkan neuropati bila diberikan
dalam dosis besar. Namun pemberian dapat berfungsi untuk
mengurangi rasa nyeri.

c) Obat Antiinflamasi Non-Steroid (NSAID)


Obat-obatan jenis NSAID dapat mengurangi inflamasi dan
membantu menghilangkan nyeri. Pada umumnya digunakan untuk
menghilangkan nyeri ringan sampai sedang. Obat pilihan untuk terapi
awal biasanya adalah ibuprofen. Pilihan lainnya yaitu ketoprofen dan
naproxen.

2. Non-medikamentosa
Kasus ringan selain bisa diobati dengan obat anti inflamasi non-
steroid (OAINS) juga bisa menggunakan penjepit pergelangan tangan
yang mempertahankan tangan dalam posisi netral selama minimal 2 bulan,
terutama pada malam hari atau selama ada gerak berulang. Jika tidak
efektif, dan gejala yang cukup mengganggu, operasi sering dianjurkan
untuk meringankan kompresi. Oleh karena itu sebaiknya terapi CTS dibagi
atas 2 kelompok, yaitu :

a) Terapi langsung terhadap CTS


1) Terapi konservatif
i. Istirahatkan pergelangan tangan.
ii. Pemasangan bidai pada posisi netral pergelangan tangan.
Bidai dapat dipasang terus-menerus atau hanya pada malam
hari selama 2-3 minggu.
iii. Nerve Gliding, yaitu latihan terdiri dari berbagai gerakan
(ROM) latihan dari ekstremitas atas dan leher yang
menghasilkan ketegangan dan gerakan membujur sepanjang
saraf median dan lain dari ekstremitas atas. Latihan-latihan
ini didasarkan pada prinsip bahwa jaringan dari sistem saraf
perifer dirancang untuk gerakan, dan bahwa ketegangan dan
meluncur saraf mungkin memiliki efek pada neurofisiologi
melalui perubahan dalam aliran pembuluh darah dan
axoplasmic. Latihan dilakukan sederhana dan dapat dilakukan
oleh pasien setelah instruksi singkat.

iv. Fisioterapi yang ditujukan pada perbaikan vaskularisasi


pergelangan tangan.
2) Terapi operatif
Operasi hanya dilakukan pada kasus yang tidak mengalami
perbaikan dengan terapi konservatif atau bila terjadi gangguan
sensorik yang berat atau adanya atrofi otot-otot thenar. Pada CTS
bilateral biasanya operasi pertama dilakukan pada tangan yang
paling nyeri walaupun dapat sekaligus dilakukan operasi bilateral.
Penulis lain menyatakan bahwa tindakan operasi mutlak
dilakukan bila terapi konservatif gagal atau bila ada atrofi otot-
otot thenar, sedangkan indikasi relatif tindakan operasi adalah
hilangnya sensibilitas yang persisten. Biasanya tindakan operasi
CTS dilakukan secara terbuka dengan anestesi lokal, tetapi
sekarang telah dikembangkan teknik operasi secara endoskopik.
Operasi endoskopik memungkinkan mobilisasi penderita secara
dini dengan jaringan parut yang minimal, tetapi karena
terbatasnya lapangan operasi tindakan ini lebih sering
menimbulkan komplikasi operasi seperti cedera pada saraf.
Beberapa penyebab CTS seperti adanya massa atau anomali
maupun tenosinovitis pada terowongan karpal lebih baik dioperasi
secara terbuka.

b) Terapi terhadap keadaan atau penyakit yang mendasari CTS


Keadaan atau penyakit yang mendasari terjadinya CTS harus
ditanggulangi, sebab bila tidak dapat menimbulkan kekambuhan CTS
kembali. Pada keadaan di mana CTS terjadi akibat gerakan tangan
yang repetitif harus dilakukan penyesuaian ataupun pencegahan.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya CTS
atau mencegah kekambuhannya antara lain :

i. Mengurangi posisi kaku pada pergelangan tangan, gerakan


repetitif, getaran peralatan tangan pada saat bekerja.
ii. Desain peralatan kerja supaya tangan dalam posisi natural saat
kerja.
iii. Modifikasi tata ruang kerja untuk memudahkan variasi gerakan.
iv. Mengubah metode kerja untuk sesekali istirahat pendek serta
mengupayakan rotasi kerja.
v. Meningkatkan pengetahuan pekerja tentang gejala-gejala dini CTS
sehingga pekerja dapat mengenali gejala-gejala CTS lebih dini.
Di samping itu perlu pula diperhatikan beberapa penyakit yang
sering mendasari terjadinya CTS seperti: trauma akut maupun kronik
pada pergelangan tangan dan daerah sekitarnya, gagal ginjal, penderita
yang sering dihemodialisa, myxedema akibat hipotiroidi, akromegali
akibat tumor hipofisis, kehamilan atau penggunaan pil kontrasepsi,
penyakit kolagen vaskular, artritis, tenosinovitis, infeksi pergelangan
tangan, obesitas dan penyakit lain yang dapat menyebabkan retensi
cairan atau menyebabkan bertambahnya isi terowongan karpal.

2.9 PENCEGAHAN

Pencegahan pada CTS dapat dilakukan dengan :

 Relaksasi dan mengurangi kekuatan pegangan


 Lebih sering beristirahat
 Memperbaiki postur tubuh dan memperhatikan posisi tangan
 Menjaga agar tangan tetap hangat
 Mengurangi berat badan jika terdapat obesitas
 Terapi penyakit yang bisa menyebabkan CTS
 Perbaiki cara memegang atau menggenggam alat benda. Gunakanlah
seluruh tangan dan jari-jari untuk menggenggam sebuah benda, jangan
hanya menggunakan ibu jari dan telunjuk.

2.10 PROGNOSIS
Pada kasus CTS ringan, dengan terapi konservatif umumnya
prognosa baik. Bila keadaan tidak membaik dengan terapi konservatif
maka tindakan operasi harus dilakukan. Secara umum prognosa operasi
juga baik, tetapi karena operasi hanya dilakukan pada penderita yang
sudah lama menderita CTS penyembuhan post operatifnya bertahap.
Bila setelah dilakukan tindakan operasi, tidak juga diperoleh
perbaikan maka dipertimbangkan kembali kemungkinan berikut ini :
1. Kesalahan menegakkan diagnosa, mungkin jebakan / tekanan
terhadap nervus medianus terletak di tempat yang lebih proksimal.
2. Telah terjadi kerusakan total pada nervus medianus.
3. Terjadi CTS yang baru sebagai akibat komplikasi operasi seperti
akibat edema, perlengketan, infeksi, hematoma atau jaringan parut
hipertrofik. Sekalipun prognosa CTS dengan terapi konservatif
maupun operatif cukup baik, tetapi resiko untuk kambuh kembali
masih tetap ada. Bila terjadi kekambuhan, prosedur terapi baik
konservatif atau operatif dapat diulangi kembali.

2.11 KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat dijumpai adalah kelemahan dan hilangnya
sensibilitas yang persisten di daerah distribusi nervus medianus. Komplikasi
yang paling berat adalah reflek sympathetic dystrophy yang ditandai dengan
nyeri hebat, hiperalgesia, disestesia, dan gangguan trofik. Sekalipun prognosa
carpal tunnel syndrome dengan terapi konservatif maupun operatif cukup baik,
tetapi resiko untuk kambuh kembali masih tetap ada. Bila terjadi kekambuhan,
prosedur terapi baik konservatif atau operatif dapat diulangi kembali.
DAFTAR PUSTAKA

George, Dewanto. Riyanto, Budi. Turana, Yuda, et al. Panduan Praktis Diagnosis
dan Tatalaksana Penyakit Saraf. 2009;h.120-123

M Brust, John C. Current Diagnosis and Treatment Neurology. Edisi kedua. Lange.
2012;h.296-297

Misbach, Jusuf. Sitorus, Freddy. AS Ranakusuma, Teguh, et al. Panduan Pelayanan


Medis Departemen Neurologi RSCM. 2007;h.76

Rambe, Aldy S. Sindrom Terowongan Karpal (Carpal Tunnel Syndrome).


Available at : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3459/1/penysaraf-
aldi2.pdf. Accesed on : 10 Agustus 2018

Tana, Lusianawaty. Sindrom terowongan karpal pada pekerja: pencegahan dan


pengobatannya. J Kedokter Trisakti. September-Desember 2003, Vol 22 No.3

Anda mungkin juga menyukai