Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu penyakit yang paling sering mengenai nervus medianus
adalah neuropati tekanan / jebakan (entrapment neuropathy). Di
pergelangan tangan, nervus medianus berjalan melalui terowongan karpal
(carpal tunnel) dan menginnervasi kulit telapak tangan dan punggung
tangan di daerah ibu jari, telunjuk, jari tengah dan setengah sisi radial jari
manis. Pada saat berjalan melalui terowongan inilah nervus medianus
paling sering mengalami tekanan yang menyebabkan terjadinya neuropati
tekanan yang dikenal dengan istilah Sindroma Terowongan Karpal / STK
(Carpal Tunnel Syndrome / CTS). Sindrom ini merupakan sindrom yang
timbul akibat N. Medianus tertekan di dalam Carpal Tunnel (terowongan
karpal) di pergelangan tangan, sewaktu nervus melewati terowongan
tersebut dari lengan bawah ke tangan. CTS merupakan salah satu penyakit
yang dilaporkan oleh badan-badan statistik perburuhan di negara maju
sebagai penyakit yang sering dijumpai di kalangan pekerja-pekerja
industri.1
Tingginya angka prevalensi yang diikuti tingginya biaya yang
harus dikeluarkan untuk pengobatannya membuat permasalahan ini
menjadi masalah besar dalam dunia okupasi. Beberapa faktor diketahui
menjadi risiko terhadap terjadinya CTS pada pekerja, seperti gerakan
berulang dengan kekuatan, tekanan pada otot, getaran, suhu, postur kerja
yang tidak ergonomik dan lain-lain.2
Angka kejadian CTS di Amerika Serikat telah diperkirakan
sekitar 1-3 kasus per 1.000 orang setiap tahunnya dengan prevalensi
sekitar 50 kasus dari 1.000 orang pada populasi umum. National Health
Interview Study (NIHS) memperkirakan bahwa prevalensi CTS yang
dilaporkan sendiri diantara populasi dewasa adalah sebesar 1.55% (2,6
juta). CTS lebih sering mengenai wanita daripada pria dengan usia
berkisar 25-64 tahun, prevalensi tertinggi pada wanita usia >55 tahun,

1
biasanya antara 40-60 tahun. Prevalensi CTS dalam populasi umum telah
diperkirakan 5% untuk wanita dan 0,6% untuk laki-laki CTS adalah jenis
neuropati jebakan yang paling sering ditemui. Sindroma tersebut
unilateral pada 42% kasus (29% kanan, 13% kiri) dan 58% bilateral.3
Di Indonesia, urutan prevalensi CTS dalam masalah kerja belum
diketahui karena sampai tahun 2001 masih sangat sedikit diagnosis
penyakit akibat kerja yang dilaporkan karena berbagai hal, sebabnya
antara lain sulitnya diagnosis. Penelitian pada pekerjaan dengan risiko
tinggi pada pergelangan tangan dan tangan melaporkan prevalensi CTS
antara 5,6% sampai dengan 15%. Penelitian Harsono pada pekerja suatu
perusahaan ban di Indonesia melaporkan prevalensi CTS pada pekerja
sebesar 12,7%. Silverstein dan peneliti lain melaporkan adanya hubungan
positif antara keluhan dan gejala CTS dengan faktor kecepatan
menggunakan alat dan faktor kekuatan melakukan gerakan pada tangan.4

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) merupakan neuropati tekanan atau cerutan
terhadap nervus medianus di dalam terowongan karpal pada pergelangan
tangan, tepatnya di bawah fleksor retinakulum (Samuel 1979, Dejong 1979,
Mumenthaler 1984). Dahulu, sindroma ini juga disebut dengan nama
acroparesthesia, median thenar neuritis atau partial thenar atrophy. CTS
pertama kali dikenali sebagai suatu sindroma klinik oleh Sir James Paget
pada kasus stadium lanjut fraktur radius bagian distal. CTS spontan pertama
kali dilaporkan oleh Pierre Marie dan C. Foix pada tahun 1913.5
Istilah CTS diperkenalkan oleh Moersch pada tahun 1938. Terowongan
karpal terdapat di bagian sentral dari pergelangan tangan di mana tulang dan
ligamentum membentuk suatu terowongan sempit yang dilalui oleh
beberapa tendon dan nervus medianus. Tulang-tulang karpalia membentuk
dasar dan sisi-sisi terowongan yang keras dan kaku sedangkan atapnya
dibentuk oleh fleksor retinakulum (transverse carpal ligament dan palmar
carpal ligament) yang kuat dan melengkung di atas tulang-tulang karpalia
tersebut. Setiap perubahan yang mempersempit terowongan ini akan
menyebabkan tekanan pada struktur yang paling rentan di dalamnya yaitu
nervus medianus.5
B. Etiologi dan Predisposisi
1. Etiologi
Terowongan karpal yang sempit selain dilalui oleh nervus medianus
juga dilalui oleh beberapa tendon fleksor. Setiap kondisi yang
mengakibatkan semakin padatnya terowongan ini dapat
menyebabkan terjadinya penekanan pada nervus medianus sehingga
timbullah CTS. Pada sebagian kasus etiologinya tidak diketahui,
terutama pada penderita lanjut usia. Beberapa penulis
menghubungkan gerakan yang berulang-ulang pada pergelangan
tangan dengan bertambahnya resiko menderita gangguan pada

3
pergelangan tangan termasuk CTS. Pada kasus yang lain etiologinya
adalah5:
• Herediter: neuropati herediter yang cenderung menjadi pressure
palsy, misalnya Hereditary Motor and Sensory Neuropathies
(HMSN) tipe III.
• Trauma: dislokasi, fraktur atau hematom pada lengan bawah,
pergelangan tangan dan tangan. Sprain pergelangan tangan.
Trauma langsung terhadap pergelangan tangan.
• Pekerjaan: gerakan mengetuk atau fleksi dan ekstensi
pergelangan tangan yang berulang-ulang. Infeksi: tenosinovitis,
tuberkulosis, sarkoidosis.
• Metabolik: amiloidosis, gout.
• Endokrin: akromegali, terapi estrogen atau androgen, diabetes
mellitus, hipotiroidi, kehamilan.
• Neoplasma: kista ganglion, lipoma, infiltrasi metastase,
mieloma.
• Penyakit kolagen vaskular: artritis reumatoid, polimialgia
reumatika, skleroderma, lupus eritematosus sistemik.
• Degeneratif: osteoartritis.
• Iatrogenik: punksi arteri radialis, pemasangan shunt vaskular
untuk dialisis, hematoma, komplikasi dari terapi anti koagulan.

2. Predisposisi
Di Indonesia, urutan prevalensi CTS dalam masalah kerja belum
diketahui karena sampai tahun 2001 masih sangat sedikit diagnosis
penyakit akibat kerja yang dilaporkan karena berbagai hal, antara
lain sulitnya diagnosis. Penelitian pada pekerjaan dengan risiko
tinggi pada pergelangan tangan dan tangan melaporkan prevalensi
CTS antara 5,6% sampai dengan 15%. Penelitian Harsono pada
pekerja suatu perusahaan ban di Indonesia melaporkan prevalensi
CTS pada pekerja sebesar 12,7%. Silverstein dan peneliti lain
melaporkan adanya hubungan positif antara keluhan dan gejala CTS

4
dengan faktor kecepatan menggunakan alat dan faktor kekuatan
melakukan gerakan pada tangan.5

C. Patofisiologi
Patogenesis CTS masih belum jelas. Beberapa teori telah diajukan
untuk menjelaskan gejala dan gangguan studi konduksi saraf. Yang paling
populer adalah kompresi mekanik, insufisiensi mikrovaskular, dan teori
getaran. Menurut teori kompresi mekanik, gejala CTS adalah karena
kompresi nervus medianus di terowongan karpal. Kelemahan utama dari
teori ini adalah bahwa teori ini menjelaskan konsekuensi dari kompresi saraf
tetapi tidak menjelaskan etiologi yang mendasari kompresi mekanik.
Kompresi diyakini dimediasi oleh beberapa faktor seperti ketegangan,
tenaga berlebihan, hiperfungsi, ekstensi pergelangan tangan
berkepanjangan atau berulang.6
Teori insufisiensi mikro-vaskular menyatakan bahwa kurangnya
pasokan darah menyebabkan penipisan nutrisi dan oksigen ke saraf yang
menyebabkan saraf secara perlahan kehilangan kemampuan untuk
mengirimkan impuls saraf. Scar atau luka parut dan jaringan fibrotik
akhirnya berkembang dalam saraf. Tergantung pada keparahan cedera,
perubahan saraf dan otot mungkin permanen. Karakteristik gejala CTS
terutama kesemutan, mati rasa, dan nyeri akut, bersama dengan kehilangan
konduksi saraf akut dan reversible dianggap gejala untuk iskemia. Sebuah
studi oleh Seiler (dengan Doppler laser flow metry) menunjukkan bahwa
normalnya aliran darah berdenyut di dalam saraf median dipulihkan dalam
1 menit dari saat ligamentum karpal transversal dilepaskan. Sejumlah
penelitian eksperimental mendukung teori iskemia akibat kompresi
diterapkan secara eksternal dan karena peningkatan tekanan di karpal
tunnel. Gejala akan bervariasi sesuai dengan integritas suplai darah dari
saraf dan tekanan darah sistolik. Hasil studi Kiernan menemukan bahwa
konduksi melambat pada median saraf dapat dijelaskan oleh kompresi
iskemik saja dan mungkin tidak selalu disebabkan myelinisasi yang
terganggu.6

5
Menurut teori getaran, gejala CTS bisa disebabkan oleh efek dari
penggunaan jangka panjang alat yang bergetar pada saraf median di karpal
tunnel. Lundborg mencatat edema epineural pada saraf median dalam
beberapa hari berikut paparan alat getar genggam. Selanjutnya, terjadi
perubahan serupa mengikuti mekanik, iskemik, dan trauma kimia.6
Hipotesis lain dari CTS adalah bahwa faktor mekanik dan vaskular
memegang peranan penting dalam terjadinya CTS. Umumnya CTS terjadi
secara kronis dimana terjadi penebalan fleksor retinakulum yang
menyebabkan tekanan terhadap nervus medianus. Tekanan yang berulang-
ulang dan lama akan mengakibatkan peninggian tekanan intravesikuler.
Akibatnya aliran darah vena intravesikuler melambat. Kongesti yang terjadi
ini akan mengganggu nutrisi intrvesikuler lalu diikuti oleh anoksia yang
akan merusak endotel. Kerusakan endotel ini akan mengakibatkan
kebocoran protein sehingga terjadi edema epineural. Hipotesa ini
menerangkan bagaimana keluhan nyeri dan sembab yang timbul terutama
pada malam atau pagi hari akan berkurang setelah tangan yang terlibat
digerakkan atau diurut, mungkin akibat terjadinya perbaikan sementara
pada aliran darah. Apabila kondisi ini terus berlanjut akan terjadi fibrosis
epineural yang merusak serabut saraf. Semakin lama hal itu terjadi, saraf
dapat mengalami atrofi dan digantikan oleh jaringan ikat yang
mengakibatkan fungsi nervus medianus terganggu secara menyeluruh.4
Selain akibat adanya penekanan yang melebihi tekanan perfusi
kapiler akan menyebabkan gangguan mikrosirkulasi dan timbul iskemik
saraf. Keadaan iskemik ini diperberat lagi oleh peninggian tekanan
intravesikuler yang menyebabkan berlanjutnya gangguan aliran darah.
Selanjutnya terjadi vasodilatasi yang menyebabkan edema sehingga sawar
darah-saraf terganggu yang berkibat terjadi kerusakan pada saraf tersebut.4
Penelitian yang telah dilakukan Kouyoumdjian menerangkan bahwa
CTS terjadi karena kompresi saraf median di bawah ligamentum karpal
transversal berhubungan dengan naiknya berat badan dan Indeks Masa
Tubuh (IMT). IMT yang rendah merupakan kondisi kesehatan yang baik
untuk proteksi fungsi nervus medianus. Pekerja dengan IMT minimal ≥25

6
lebih mungkin untuk terkena CTS dibandingkan dengan pekerjaan yang
mempunyai berat badan ramping. American Obesity Association
menemukan bahwa 70% dari penderita CTS memiliki kelebihan berat
badan. Resiko CTS meningkat setiap peningkatan IMT sebanyak 8%.4
Pergelangan tangan mempunyai struktur anatomi yang rumit dan
aktif. Carpal Tunnel yang mirip terowongan berada di pergelangan tangan,
dibentuk 8 tulang carpal dan fleksor retinaculum atau ligamentum carpal
transversalis. Di dalam tunnel (terowongan) ini lewat atau tersusun secara
rapat fleksor digitorum profunda dan superficialis, fleksor ligitorum dan
nervus medianus.2
Terjadinya sindrom ini bertumpu pada perubahan patologis yang
diakibatkan oleh adanya iritasi secara terus menerus pada nervus medianus
di daerah pergelangan tangan. Banyak faktor yang dapat mengawali
timbulnya sindrom ini, baik sistemik maupun lokal, namun khusus bagi para
pemakai komputer, faktor iritasi lokal terhadap nervus medianus inilah yang
tampaknya perlu mendapat perhatian lebih banyak.7
Bila kedudukan antara telapak tangan terhadap lengan bawah
bertahan secara tidak fisiologis untuk waktu yang cukup lama, maka
gerakan-gerakan tangan akan mengakibatkan tepi ligamentum karpi
transversum bersentuhan dengan saraf medianus secara berlebihan. Hal lain
yang dapat terjadi yaitu adanya bagian persendian tangan yang mengalami
tekanan atau regangan yang berlebih dan sebagai mekanisme kompensasi,
tubuh berusaha memperkuat bagian yang mendapat beban tidak fisiologis
ini antara lain dengan mempertebal ligamentum karpi transversum.
Penebalan ini akan mempersempit terowongan tempat lalunya saraf dan
urat, dan lebih berat lagi akan menjepit saraf.7
Pada operasi, tak jarang dijumpai perubahan struktur pada nervus
medianus di daerah proximal dari tepi atas ligamentum karpi ransversum,
tanpa diikuti oleh penebalan ligamentumnya. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kedua penyebab di atas dapat berjalan secara terpisah
ataupun bersamaan. Nervus medianus sendiri mulai dari daerah pergelangan
tangan, 94% merupakanserabut perasa / sensoris, sedangkan 6% merupakan

7
serabut motoris yang ke arah ibu jari. Dengan demikian, pada awalnya
gejala lebih banyak ditandai dengan kejadian parestesia (seperti kesemutan,
rasa terbakar), sampai ke hipoanestesia (baal-baal sampai hilangnya rasa
raba). Bila sudah ada gejala motorik (otot pangkal ibu jari tangan mulai
mengecil, kekuatan berkurang), maka iritasi kemungkinan sudah
berlangsung sejak lama.8

D. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Pada tahap awal gejala umumnya berupa gangguan sensorik saja.
Gangguan motorik hanya terjadi pada keadaan yang berat. Gejala awal
biasanya berupa parestesia, kurang merasa (numbness) atau rasa seperti
terkena aliran listrik (tingling) pada jari 1-3 dan setengah sisi radial jari
4 sesuai dengan distribusi sensorik nervus medianus walaupun kadang-
kadang dirasakan mengenai seluruh jari-jari.9
Komar dan Ford membahas dua bentuk CTS yaitu akut dan kronis.
Bentuk akut mempunyai gejala dengan nyeri parah, bengkak
pergelangan tangan atau tangan, tangan dingin, atau gerak jari menurun.
Kehilangan gerak jari disebabkan oleh kombinasi dari rasa sakit dan
paresis. Bentuk kronis mempunyai gejala baik disfungsi sensorik yang
mendominasi atau kehilangan motorik dengan perubahan trofik. Nyeri
proksimal mungkin ada dalam carpal tunnel syndrome.10
Keluhan parestesia biasanya lebih menonjol di malam hari. Gejala
lainnya adalah nyeri di tangan yang juga dirasakan lebih berat pada
malam hari sehingga sering membangunkan penderita dari tidurnya.
Rasa nyeri ini umumnya agak berkurang bila penderita memijat atau
menggerak-gerakkan tangannya atau dengan meletakkan tangannya
pada posisi yang lebih tinggi. Nyeri juga akan berkurang bila penderita
lebih banyak mengistirahatkan tangannya.11
Apabila tidak segera ditangani dengan baik maka jari-jari menjadi
kurang terampil misalnya saat memungut benda-benda kecil.
Kelemahan pada tangan juga sering dinyatakan dengan keluhan adanya

8
kesulitan yang penderita sewaktu menggenggam. Pada tahap lanjut
dapat dijumpai atrofi otot-otot thenar (oppones pollicis dan abductor
pollicis brevis) dan otot-otot lainya yang diinervasi oleh nervus
medianus.13
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh pada
penderita dengan perhatian khusus pada fungsi, motorik, sensorik dan
otonom tangan. Beberapa pemeriksaan dan tes provokasi yang dapat
membantu menegakkan diagnosa CTS adalah12:
• Tes Phalen
Penderita diminta melakukan fleksi tangan secara maksimal.
Bila dalam waktu 60 detik timbul gejala seperti CTS, tes ini
menyokong diagnosa. Beberapa penulis berpendapat bahwa tes
ini sangat sensitif untuk menegakkan diagnosa CTS.

Gambar 1.1 Tes Phalen12


• Tes Torniquet
Pada pemeriksaan ini dilakukan pemasangan torniquet dengan
menggunakan tensimeter di atas siku dengan tekanan sedikit di
atas tekanan sistolik. Bila dalam 1 menit timbul gejala seperti
CTS, tes ini menyokong diagnose.12
• Tinel's Sign

9
Tes ini mendukung diagnosa bila timbul parestesia atau nyeri
pada daerah distribusi nervus medianus jika dilakukan perkusi
pada terowongan karpal dengan posisi tangan sedikit
dorsofleksi.12

Gambar 1.2 Tinel’s Test12

• Flick's Sign
Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau menggerak-
gerakkan jari-jarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang
akan menyokong diagnosa CTS.12
• Thenar Wasting
Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi otot-
otot thenar. Menilai kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan
otot secara manual maupun dengan alat dynamometer.12
• Wrist Extension Test
Penderita diminta melakukan ekstensi tangan secara maksimal,
sebaiknya dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga dapat
dibandingkan. Bila dalam 60 detik timbul gejala-gejala seperti
CTS, maka tes ini menyokong diagnosa CTS.12
• Tes Tekanan
Nervus medianus ditekan di terowongan karpal dengan
menggunakan ibu jari. Bila dalam waktu kurang dari 120 detik
timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosis.12
• Luthy's Sign (Bottle's sign)

10
Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari telunjuknya
pada botol atau gelas. Bila kulit tangan penderita tidak dapat
menyentuh dindingnya dengan rapat, tes dinyatakan positif dan
mendukung diagnose.12
• Pemeriksaan Sensibilitas
Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik (two-point
discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus
medianus, tes dianggap positif dan menyokong diagnose.12
• Pemeriksaan Fungsi Otonom
Pada penderita diperhatikan apakah ada perbedaan keringat,
kulit yang kering atau licin yang terbatas pada daerah innervasi
nervus medianus. Bila ada akan mendukung diagnosa CTS.12
3. Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan Neurofisiologi (Elektrodiagnostik)
Pemeriksaan EMG dapat menunjukkan adanya fibrilasi,
polifasik, gelombang positif dan berkurangnya jumlah motor
unit pada otot-otot thenar. Pada beberapa kasus tidak dijumpai
kelainan pada otot-otot lumbrikal. EMG bisa normal pada 31%
kasus CTS. Kecepatan Hantar Saraf (KHS). Pada 15-25% kasus,
KHS bisa normal. Pada yang lainnya KHS akan menurun dan
masa laten distal (distal latency) memanjang, menunjukkan
adanya gangguan pada konduksi saraf di pergelangan tangan.
Masa laten sensorik lebih sensitif dari masa laten motorik.14
• Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan sinar-X terhadap pergelangan tangan dapat
membantu melihat apakah ada penyebab lain seperti fraktur atau
artritis. Foto polos leher berguna untuk menyingkirkan adanya
penyakit lain pada vertebra. USG, CT-scan dan MRI dilakukan
pada kasus yang selektif terutama yang akan dioperasi. USG
dilakukan untuk mengukur luas penampang dari saraf median di
carpal tunnel proksimal yang sensitif dan spesifik untuk carpal
tunnel syndrome.11

11
• Pemeriksaan Laboratorium
Bila etiologi CTS belum jelas, misalnya pada penderita usia
muda tanpa adanya gerakan tangan yang repetitif, dapat
dilakukan beberapa pemeriksaan seperti kadar gula darah, kadar
hormon tiroid ataupun darah lengkap.11

E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan CTS tergantung pada etiologi, durasi gejala, dan
intensitas kompresi saraf. Jika sindrom adalah suatu penyakit sekunder
untuk penyakit endokrin, hematologi, atau penyakit sistemik lain, penyakit
primer harus diobati.6
1. Medikamentosa
Terdapat beberapa terapi terhadap CTS yang masih dipergunakan
hingga saat ini, antara lain15:
• Injeksi Kortikosteroid Lokal
• Injeksi kortikosteroid cukup efektif sebagai penghilang gejala
CTS secara temporer dalam waktu yang singkat.
Metilprednisolon atau hidrokortison bisa disuntikkan langsung
ke carpal tunnel untuk menghilangkan nyeri. Injeksi
kortikosteroid dapat mengurangi peradangan, sehingga
mengurangi tekanan pada nervus medianus. Pengobatan ini tidak
bersifat untuk dilakukan dalam jangka waktu yang panjang.15
Deksametason 1-4 mg 1 atau hidrokortison 10-25 mg atau
metilprednisolon 20 mg atau 40 mg diinjeksikan ke dalam
terowongan karpal dengan menggunakan jarum no.23 atau 25
pada lokasi 1 cm ke arah proksimal lipat pergelangan tangan
di sebelah medial tendon musculus palmaris longus. Sementara
suntikan dapat diulang dalam 7 sampai 10 hari untuk total tiga
atau empat suntikan. Tindakan operasi dapat dipertimbangkan
bila hasil terapi belum memuaskan setelah diberi 3 kali suntikan.
Suntikan harus digunakan dengan hati-hati untuk pasien di
bawah usia 30 tahun.15

12
• Vitamin B6 (Piridoksin)
Beberapa penulis berpendapat bahwa salah satu penyebab CTS
adalah defisiensi piridoksin sehingga mereka menganjurkan
pemberian piridoksin 100-300 mg/hari selama 3 bulan. Tetapi
beberapa penulis lainnya berpendapat bahwa pemberian
piridoksin tidak bermanfaat bahkan dapat menimbulkan
neuropati bila diberikan dalam dosis besar. Namun pemberian
dapat berfungsi untuk mengurangi rasa nyeri.15
• Obat Antiinflamasi Non-Steroid (NSAID)
Obat-obatan jenis NSAID dapat mengurangi inflamasi dan
membantu menghilangkan nyeri. Pada umumnya digunakan
untuk menghilangkan nyeri ringan sampai sedang. Obat pilihan
untuk terapi awal biasanya adalah ibuprofen. Pilihan lainnya
yaitu ketoprofen dan naproxen.15

2. Non-medikamentosa
Kasus ringan selain bisa diobati dengan obat anti inflamasi non-
steroid (OAINS) juga bisa menggunakan penjepit pergelangan tangan
yang mempertahankan tangan dalam posisi netral selama minimal 2
bulan, terutama pada malam hari atau selama ada gerak berulang. Jika
tidak efektif, dan gejala yang cukup mengganggu, operasi sering
dianjurkan untuk meringankan kompresi. Oleh karena itu sebaiknya
terapi CTS dibagi atas 2 kelompok, yaitu6:
• Terapi langsung terhadap CTS
• Terapi konservatif 6
Istirahatkan pergelangan tangan.
Pemasangan bidai pada posisi netral pergelangan tangan.
Bidai dapat dipasang terus-menerus atau hanya pada malam hari
selama 2-3 minggu.
Nerve Gliding, yaitu latihan terdiri dari berbagai gerakan
(ROM) latihan dari ekstremitas atas dan leher yang
menghasilkan ketegangan dan gerakan membujur sepanjang

13
saraf median dan lain dari ekstremitas atas. Latihan-latihan ini
didasarkan pada prinsip bahwa jaringan dari sistem saraf perifer
dirancang untuk gerakan, dan bahwa ketegangan dan meluncur
saraf mungkin memiliki efek pada neurofisiologi melalui
perubahan dalam aliran pembuluh darah dan axoplasmic.
Latihan dilakukan sederhana dan dapat dilakukan oleh pasien
setelah instruksi singkat.

Gambar 2. 3 Nerve Gliding. Fisioterapi yang ditujukan pada perbaikan


vaskularisasi pergelangan tangan.
3. Terapi operatif
Operasi hanya dilakukan pada kasus yang tidak mengalami
perbaikan dengan terapi konservatif atau bila terjadi gangguan
sensorik yang berat atau adanya atrofi otot-otot thenar. Pada CTS
bilateral biasanya operasi pertama dilakukan pada tangan yang paling
nyeri walaupun dapat sekaligus dilakukan operasi bilateral. Penulis lain
menyatakan bahwa tindakan operasi mutlak dilakukan bila terapi
konservatif gagal atau bila ada atrofi otot-otot thenar, sedangkan
indikasi relatif tindakan operasi adalah hilangnya sensibilitas yang
persisten. Biasanya tindakan operasi CTS dilakukan secara terbuka
dengan anestesi lokal, tetapi sekarang telah dikembangkan teknik
operasi secara endoskopik. Operasi endoskopik memungkinkan
mobilisasi penderita secara dini dengan jaringan parut yang minimal,

14
tetapi karena terbatasnya lapangan operasi tindakan ini lebih sering
menimbulkan komplikasi operasi seperti cedera pada saraf. Beberapa
penyebab CTS seperti adanya massa atau anomali maupun
tenosinovitis pada terowongan karpal lebih baik dioperasi secara
terbuka.6
4. Terapi terhadap keadaan atau penyakit yang mendasari CTS
Keadaan atau penyakit yang mendasari terjadinya CTS harus
ditanggulangi, sebab bila tidak dapat menimbulkan kekambuhan CTS
kembali. Pada keadaan di mana CTS terjadi akibat gerakan tangan yang
repetitif harus dilakukan penyesuaian ataupun pencegahan. Beberapa
upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya CTS atau
mencegah kekambuhannya antara lain6:
Mengurangi posisi kaku pada pergelangan tangan, gerakan repetitif,
getaran peralatan tangan pada saat bekerja.
Desain peralatan kerja supaya tangan dalam posisi natural saat kerja.
Modifikasi tata ruang kerja untuk memudahkan variasi gerakan.
Mengubah metode kerja untuk sesekali istirahat pendek serta
mengupayakan rotasi kerja.
Meningkatkan pengetahuan pekerja tentang gejala-gejala dini CTS
sehingga pekerja dapat mengenali gejala-gejala CTS lebih dini.
Di samping itu perlu pula diperhatikan beberapa penyakit yang sering
mendasari terjadinya CTS seperti: trauma akut maupun kronik pada
pergelangan tangan dan daerah sekitarnya, gagal ginjal, penderita yang
sering hemodialisa, myxedema akibat hipotiroidi, akromegali akibat
tumor hipofisis, kehamilan atau penggunaan pil kontrasepsi, penyakit
kolagen vaskular, artritis, tenosinovitis, infeksi pergelangan tangan,
obesitas dan penyakit lain yang dapat menyebabkan retensi cairan atau
menyebabkan bertambahnya isi terowongan karpal.6

F. Prognosis
Pada kasus CTS ringan, dengan terapi konservatif umumnya

15
prognosa baik. Bila keadaan tidak membaik dengan terapi konservatif
maka tindakan operasi harus dilakukan. Secara umum prognosa operasi
juga baik, tetapi karena operasi hanya dilakukan pada penderita yang
sudah lama menderita CTS penyembuhan post operatifnya bertahap.6
Bila setelah dilakukan tindakan operasi, tidak juga diperoleh perbaikan
maka dipertimbangkan kembali kemungkinan berikut ini6:
Kesalahan menegakkan diagnosa, mungkin jebakan / tekanan terhadap
nervus medianus terletak di tempat yang lebih proksimal.
Telah terjadi kerusakan total pada nervus medianus.
Terjadi CTS yang baru sebagai akibat komplikasi operasi seperti akibat
edema, perlengketan, infeksi, hematoma atau jaringan parut hipertrofik.

G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat dijumpai adalah kelemahan dan hilangnya
sensibilitas yang persisten di daerah distribusi nervus medianus.
Komplikasi yang paling berat adalah reflek sympathetic dystrophy yang
ditandai dengan nyeri hebat, hiperalgesia, disestesia, dan gangguan trofik.
Sekalipun prognosa CTS dengan terapi konservatif maupun operatif cukup
baik, tetapi resiko untuk kambuh kembali masih tetap ada. Bila terjadi
kekambuhan, prosedur terapi baik konservatif atau operatif dapat diulangi
kembali16

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Jagga V, Lehri A. Occupation and its association with Carpal Tunnel


syndrome- A Review. Journal of Exercise Science and Physiotherapy.
Vol. 7, No. 2. 2011
2. Kurniawan B. Faktor Risiko Kejadian Carpal Tunnel Syndrome (CTS)
pada Wanita Pemetik Melati di Desa Karangcengis, Purbalingga. Jurnal
Promosi Kesehatan Indonesia. Vol. 3, No. 1. 2008.
3. Gorsché R. Carpal Tunnel Syndrome. The Canadian Journal of CME.
2001.
4. Tana L. Carpal Tunnel Syndrome Pada Pekerja Garmen di Jakarta.
Buletin Peneliti Kesehatan. 2004. Vol. 32 No. 2: 73-82.
5. Rosenbaum R. Carpal Tunnel Syndrome. In: Johnson RT, Griffin JW,
editors. Current Therapy in Neurologic Disease. 5th ed. St.Louis: Mosby.
1997.
6. Bahrudin M. Carpal Tunnel Syndrome. Vol.7 No. 14. Malang: FK UMM.
2011.
7. Darno. Hubungan Karakteristik Pekerja dan Gerakan Berulang dengan
Kejadian CTS pada Pemetik Daun Teh di PT. Rumpun Sari Kemuning.
Surakarta : UNS. 2011
8. Verina YD. Hubungan Karakteristik Pekerja, Frekuensi Gerakan berulang
dan Faktor Kesehatan dengan Kejadian Carpal Tunnel Syndrome pada
Pemetik Melati. Semarang: UNDIP. 2006
9. Salter RB. Textbook of Disorders and Injuries of the Musculoskeletal
System. 2nd ed. Baltimore: Williams&Wilkins Co. 2009
10. Pecina MM, Markiewitz AD. Tunnel Syndromes: Peripheral Nerve
Compression Syndromes. 3rd ed. New York: CRC PRESS. 2010
11. Rambe A. Sindroma Terowongan Karpal. Medan: Bagian Neurologi FK
USU. 2008
12. Katz, Jeffrey N. Carpal Tunnel Syndrome. N Engl J Med. Vol. 346, No. 23.
2011.
13. Mumenthaler M. Fundamentals of Neurologic Disease. Stuttgard: Thieme.

17
2006.
14. Latov N. Peripheral Neuropathy. New York: Demos Medical Publishing.
2007.
15. George D, Suwono W, Riyanto B, Turana Y. Panduan Praktis Diagnosis
dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2009
16. Lindsay KW, Bone I. Neurology and Neurosurgery Illustrated. 3rd ed. New
York: Churchill Livingstone. 1997.

18

Anda mungkin juga menyukai