Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Carpal Tunnel Syndrome (CTS) merupakan penekanan nervus medianus di dalam


terowongan karpal pada pergelangan tangan, tepatnya di bawah fleksor retinakulum. Dahulu,
sindroma ini juga disebut dengan nama acroparesthesia, median thenar neuritis atau partial
thenaratrophy. 1

Carpal Tunnel Syndrome (CTS) timbul akibat penekanan nervus medianus di dalam
carpal tunnel (terowongan karpal) di pergelangan tangan dengan gejala nyeri, kebas dan
kesemutan pada jari-jari (ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah) dan tangan di daerah
persarafan nervus medianus. CTS jika tidak segera dideteksi dan diobati dapat menyebabkan
komplikasi jangka panjangmeliputi penurunan fungsi tangan, kerusakan saraf, kerusakan otot,
rasa sakit, cacat, kelemahan dan hilangnya sensibilitas yang persisten di daerah distribusi
nervus medianus.2-3

Berdasarkan laporan American Academy of Orthopaedic Surgeons tahun 2007, kejadian


CTS di Amerika Serikat diperkirakan 1 sampai 3 kasus per 1.000 subjek pertahun.
Prevalensinya berkisar sekitar 50 kasus per 1000 subjek pada populasi umum.National
Health Interview Study (NHIS) memperkirakan prevalensi CTS 1,55%. Sebagai salah satu
dari tiga jenis penyakit tersering di dalam golongan Cumulative Trauma Disorder (CTD)
pada ekstremitas atas, prevalensi CTS 40%, tendosinovitis yang terdiri dari trigger finger
32% dan De Quervan’s syndrome 12%, sedangkan epicondilitis 20%. CTS paling cepat
menimbulkan gejala pada pekerja. Penelitian pada pekerjaan dengan risiko tinggi di
pergelangan tangan dan tangan mendapatkan prevalensi CTS antara 5,6% sampai 14,8%.4

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Carpal Tunnel Syndrome (CTS) merupakan penekanan nervus medianus di dalam


terowongan karpal pada pergelangan tangan, tepatnya di bawah fleksor retinakulum.
Dahulu, sindroma ini juga disebut dengan nama acroparesthesia, median thenar neuritis
atau partial thenaratrophy. 1

Suatu gejala kompresi neuropati dari nervus medianus pada pergelangan tangan.
Karakteristik fisiologi terjadi peningkatan tekanan pada terowongan karpal di pergelangan
tangan dan penurunan fungsi dari nervus dilevel tersebut. CTS adalah neuropati kompresif
yang paling umum mempengaruhi ekstremitas atas. 5

2.2 Anatomi

Terowongan karpal terdapat di bagian sentral dari pergelangan tangan di mana


tulang dan ligamentum membentuk suatu terowongan sempit yang dilalui oleh beberapa
tendon dan nervus medianus. 2

Tulang-tulang karpalia membentuk dasar dan sisi-sisi terowongan yang keras dan
kaku sedangkan atapnya dibentuk oleh fleksor retinakulum (transverse carpal ligament
dan palmar carpal ligament) yang kuat dan melengkung di atas tulang-tulang karpalia
tersebut. Di dalam terowongan tersebut terdapat saraf medianus yang berfungsi
menyalurkan impuls saraf ke ibu jari, telunjuk dan jari manis serta mempersarafi fungsi
otot-otot dari ibu jari atau otot thenar. Proses inflamasi yang disebabkan stres berulang,
cedera fisik atau keadaan lain pada pergelangan tangan dapat menyebabkan jaringan di
sekeliling saraf medianus membengkak. Lapisan pelindung tendon di dalam terowongan
karpal dapat meradang dan membengkak.Bentuk ligamen pada bagian atas terowongan
karpal juga menebal dan membesar.Keadaan tersebut menimbulkan tekanan pada serat-
serat saraf medianus sehingga memperlambat penyaluran rangsang saraf yang melalui
terowongan karpal. Akibatnya timbul rasa sakit, tidak merasa atau kebas, rasa geli di
pergelangan tangan, tangan dan jari-jari selain kelingking.2

2
Gambar 1.1 Terowongan karpal2

2.3 Epidemiologi

Carpal Tunnel syndrome adalah salah satu gangguan saraf yang umum terjadi.
Sebuah survei di California memperkirakan 515 dari 100.000 pasien mencari perhatian
medis untuk carpal tunnel syndrome pada tahun 1988.6

Angka kejadian Carpal Tunnel Syndrome di Amerika Serikat telah diperkirakan


sekitar 1-3 kasus per 1.000 orang setiap tahunnya dengan revalensi sekitar 50 kasus dari
1.000 orang pada populasi umum. Orang tua setengah baya lebih mungkin beresiko
dibandingkan orang yang lebih muda, dan wanita tiga kali lebih sering daripada pria.7,8

National Health Interview Study (NIHS) mencatat bahwa CTS lebih sering
mengenai wanita daripada pria dengan usia berkisar 25 - 64 tahun, prevalensi tertinggi
pada wanita usia > 55 tahun, biasanya antara 40 – 60 tahun. Prevalensi CTS dalam
populasi umum telah diperkirakan 5% untuk wanita dan 0,6% untuk laki-laki. CTS adalah
jenis neuropati jebakan yang paling sering ditemui. Sindroma tersebut unilateral pada 42%
kasus ( 29% kanan,13% kiri ) dan 58% bilateral.9

Tana et al menyimpulkan bahwa dapat jumlah tenaga kerja dengan CTS di beberapa
perusahaan garmen di Jakarta sebanyak 20,3% responden dengan besar gerakan
biomekanik berulang sesaat yang tinggi pada tangan pergelangan tangan kanan 74,1%, dan
pada tangan kiri 65,5%. Pekerja perempuan dengan CTS lebih tinggi secara bermakna
dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Tidak terdapat perbedaan antara peningkatan
umur, pendidikan, masa kerja, jam kerja serta tekanan biomekanik berulang sesaat
terhadap peningkatan terjadinya CTS.10

3
2.4 Etiologi

CTS merupakan sindrom idiopatik. Terdapat faktor-faktor risiko tertentu yang


dikaitkan dengan kondisi ini, hal yang paling signifikan adalah faktor risiko lingkungan.
Mempertahankan postur yang sama berkepanjangan di daerah pergelangan tangan seperti
fleksi atau ekstensi, penggunaan berulang dari otot-otot fleksor, dan paparan getaran
adalah paparan utama yang telah dilaporkan.11

CTS sering ditemukan dalam kondisi patologis yang berkaitan dengan pekerjaan.
CTS idiopatik terjadi lebih sering pada wanita dan antara usia 40 sampai 60 tahun. Faktor-
faktor seperti jenis kelamin, usia, genetik dan antropometri (ukuran terowongan karpal)
adalah faktor predisposisi yang paling penting. Faktor lain yang termasuk adalah obesitas
dan merokok.12

Penyebab CTS dibagi menjadi 3 faktor, yaitu: (1) faktor intrinsik; (2) faktor
penggunaan tangan (penggunaan tangan yang berhubungan dengan hobi dan penggunaan
tangan yang berhubungan dengan pekerjaan) dan (3) faktor trauma. Faktor intrinsik
terjadinya CTS adalah sekunder, karena beberapa penyakit atau kelainan yang sudah
ada.Kelainan bentuk atau posisi tulang karpal yang mengalami dislokasi atau sublukasi
pada karpus, radang pada sendi akibat hipertrofi sinovial, deformitas tulang atau
pemendekan tulang, diabetes melitus, kelainan bentuk ekstremitas distal jari-jari seperti
fraktur, miring ke radius distal, kelainan distribusi cairan seperti kehamilan terutama pada
trimester ketiga dan obesitas.2,12

CTS yang terjadi oleh karena penggunaan tangan seperti hobi atau pekerjaan adalah
sebagai akibat inflamasi atau pembengkakan tendosinovial di dalam terowongan karpal,
terutama jika faktor risiko tersebut muncul secara bersamaan misalnya: 1) penggunaan
tangan yang kuat terutama jika ada pengulangan; 2) penggunaan tangan berulang
dikombinasikan dengan beberapa unsur kekuatan terutama untuk waktu yang lama; 3)
konstan dalam mencengkram benda; 4) memindahkan atau menggunakan tangan dan
pergelangan tangan terhadap perlawanan atau dengan kekuatan; 5) menggunakan tangan
dan pergelangan tangan untuk getaran teratur yang kuat, dan 6) tekanan biasa atau
intermiten pada pergelangan tangan.2

4
2.5 Patofisiologi

Patofisiologi CTS melibatkan kombinasi trauma mekanis, peningkatan tekanan dan


cedera iskemik pada nervus medianus di terowongan karpal.

Menurut teori kompresi mekanik, gejala CTS diakibatkan karena kompresi nervus
medianus di terowongan karpal. Kompresi diyakini dimediasi oleh beberapa faktor seperti
ketegangan, tenaga berlebihan, hiperfungsi, ekstensi pergelangan tangan berkepanjangan
atau berulang.1,11

Teori insufisiensi mikrovaskular menyatakan cedera iskemik pada pembuluh darah


yang menyebabkan hambatan darah ke saraf. Sehingga kurangnya pasokan darah, nutrisi
dan oksigen ke saraf yang menyebabkan hilangnya kemampuan untuk mengirimkan
impuls saraf. Skar dan jaringan fibrotik akhirnya berkembang dalam saraf.

Menurut teori getaran gejala CTS bisa disebabkan oleh efek dari penggunaan jangka
panjang alat yang bergetar pada saraf median di karpal tunnel. Lundborg et al mencatat
terjadinya edema epineural pada saraf median dalam beberapa hari setelah terpapar alat
getar genggam.1,13

2.6 Faktor Risiko

CTS memiliki hubungan yang signifikan dengan pengulangan pada tangan, postur
pergelangan tangan yang salah (postur janggal), usia, jenis kelamin, obesitas dan telah
dikaitkan dengan sejumlah kondisi medis seperti rheumatoid arthritis, trauma atau fraktur
pada tangan dan diabetes melitus.14
Posisi tangan yang tertekuk memiliki risiko yang lebih untuk terkena CTS dan
gerakan yang berulang pada tangan yang dipengaruhi oleh masa kerja dan lama kerja
diidentifikasi sebagai faktor yang memberatkan untuk terjadinya CTS.14
Berikut beberapa faktor risiko dari CTS, yaitu :
1) Usia
CTS biasanya mulai terdapat pada usia 40-60 tahun. Laki-laki menunjukkan
peningkatan kejadian CTS secara bertahap dan meningkat sampai usia lanjut, sedangkan
wanita memuncak setelah menopause (sesuai dengan kelompok usia 50 sampai 54 tahun), hal
tersebut secara umum konsisten dengan konsep bahwa pada wanita mungkin terdapat
komponen hormonal dalam menyebabkan CTS. Menurut Fuller, kejadian CTS ditemukan

5
semakin meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dengan kelompok usia 40 tahun atau
lebih memiliki insiden yang tinggi secara signifikan. CTS merupakan masalah kesehatan
yang muncul dalam jangka waktu yang lama yang akan terjadi pada usia pertengahan dan
masa tua. Seiring dengan bertambahnya usia, dipastikan bahwa paparan dengan alat kerja
tangan pada waktu bekerja semakin lama pula, kemampuan elastisitas tulang, otot ataupun
saraf semakin berkurang sehingga risiko CTS juga meningkat. Ada pernyataan berkenaan
dengan potensi peningkatan risiko CTS yaitu akibat berkurangnya akson, konduksi saraf dan
kelainan vaskular akibat penuaan.3,14,15

2) Lama kerja
Lamanya seseorang bekerja dengan baik dalam sehari pada umumnya 6 jam
sampai 10 jam. Secara umum, di Indonesia telah ditetapkan lamanya waktu kerja sehari
maksimum adalah 8 jam kerja. Memperpanjang waktu kerja lebih dari itu hanya akan
menurunkan efisiensi kerja, meningkatkan kelelahan, kecelakan dan penyakit akibat
kerja.16
Pekerjaan yang berisiko besar terkena CTS adalah pekerjaan yang banyak
menggunakan anggota tubuh bagian tangan dan pergelangan tangan dan dalam jangka
waktu panjang. Pekerjaan yang dimaksud umumnya seperti pekerjaan yang memakai
komputer, olahragawan, dokter gigi, musisi, guru, ibu rumah tangga dan pekerjaan
lapangan yang mengoperasikan alat vibrasi seperti bor.14,17

3) Posisi pergelangan tangan


Mekanisme CTS adalah terjadinya penegangan dan penekanan pada saraf median
di pergelangan tangan, ketika pergelangan tangan berada dalam posisi ekstrim. Postur
janggal selama durasi lebih dari 10 detik dan frekuensi postur janggal 30 kali secara
berulang dalam 1 menit akan menimbulkan keluhan musculoskeletal pada tangan. Posisi
normal atau netral pada tangan dan pergelangan tangan dalam melakukan proses kerja
adalah dengan posisi sumbu lengan terletak satu garis lurus dengan jari tengah. Apabila
sumbu tangan tidak lurus tetapi mengarah ke berbagai posisi, maka dapat dikatakan posisi
tersebut janggal atau tidak netral.15

6
4) Obesitas
Obesitas diartikan sebagai peningkatan berat badan di atas 20% dari batas normal.
Penderita obesitas memiliki status nutrisi yang melebihi kebutuhan metabolisme karena
kelebihan masukan kalori dan/atau penurunan penggunaan kalori artinya masukan kalori tidak
seimbang dengan penggunaannya, yang pada akhirnya berangsur-angsur terakumulasi
sehingga meningkatkan berat badan.Indeks Masa Tubuh (IMT).
Obesitas adalah faktor risiko CTS oleh karena semakin besarnya tekanan pada saraf
median seiring dengan semakin besarnya indeks masa tubuh. Individu yang diklasifikasikan
sebagai obesitas (IMT>29) adalah 2,5 kali lebih berisiko terdiagnosis CTS dibandingkan
individu dengan IMT<20. Temuan penelitian mengatakan bahwa ada hubungan antara
individu dengan IMT tinggi dengan risiko terjadinya CTS. Hubungan obesitas dan
perlambatan konduksi nervus median di pergelangan tangan berhubungan dengan jaringan
lemak yang meningkat di dalam saluran karpal dan meningkatkan tekanan hidrostatik di
seluruh saluran karpal pada individu obesitas dibandingkan individu normal atau BB kurang.
Magnetic ResonanceImaging (MRI) menunjukkan peningkatan jaringan lemak di kanal
karpal dihubungkan dengan terjadinya CTS.18

5) Diabetes Melitus
CTS diakibatkan karena terperangkapnya nervus medianus di terowongan karpal.
Prevalensi CTS pada penderita diabetes sekitar 5% sampai 25%, lebih banyak pada
perempuan. Prevalensi CTS pada pasien diabetes tanpa polineuropati sebanyak 14%, lebih
dari 30% pada penderita diabetes dengan polineuropati. Pasien mengeluh rasa terbakar,
parastesia, dan hilangnya sensasi saraf sesuai dengan distribusi saraf medianus pada ibu
jari, jari telunjuk, jari tengah, dan setengah lateral jari manis. Respon setelah operasi juga
tidak terlalu memuaskan karena gangguan regenerasi saraf perifer pada DM akibat
mikroangiopati, disfungsi sel schawn dan macrophagic, serta berkurangnya ekspresi faktor
neurotropik dan reseptornya. Mekanisme terjadinya CTS pada pasien diabetes melitus
berkaitan dengan mekanisme neuropati, dimana saat hiperglikemi tidak terkontrol, terjadi
glikosilasi yang menyebabkan kekakuan dan penebalan protein tendon dari terowongan
karpal.19,20

7
2.7 Gambaran Klinis Carpal Tunnel Syndrome

Gambaran klinis CTS adalah nyeri di tangan atau lengan terutama pada malam hari
atau saat bekerja, atrofi dan kelemahan otot-otot, hilangnya sensasi pada tangan pada
distribusi nervus medianus dan kesemutan, kondisi ini sering bilateral. Pada tahap awal gejala
umum berupa gangguan sensorik saja. Gangguan motorik hanya terjadi pada keadaan yang
berat. Gejala awal biasanya berupa parestesia, kurang merasa (numbness) atau rasa seperti
terkena aliran listrik (tingling) pada jari dan setengah sisi radial jari sesuai dengan distribusi
sensorik nervus medianus, walaupun kadang-kadang dirasakan mengenai seluruh jari-jari.2,21

Gejala nokturnal menonjol pada sebagian besar pasien. Keluhan parastesia biasanya
lebih menonjol di malam hari sehingga sering membangunkan penderita dari tidurnya.Rasa
nyeri umumnya sedikit berkurang bila penderita memijat atau menggerak-gerakkan
tangannya. Nyeri juga akan berkurang bila penderita lebih banyak mengistirahatkan
tangannya. Apabila tidak segera ditangani dengan baik maka jari-jari menjadi kurang
terampil. Pada tahap lanjut dapat menyebabkan atrofi otot-otot thenar (oppones pollicis dan
abductor pollicis brevis) dan otot-otot lainya yang diinervasi oleh nervus medianus.21

2.8 Diagnosis

2.8.1 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan pada fungsi motorik,


sensorik dan otonom tangan. Beberapa pemeriksaan dan tes provokasi yang dapat
membantu menegakkan diagnosis CTS adalah sebagai berikut:1,2,11

a) Phalen’s sign. Penderita melakukan fleksi tangan secara maksimal. Bila


selama satu menit parestesia bertambah hebat, maka tes ini menyokong
diagnosa. Beberapa penulis berpendapat bahwa tes ini sangat sensitif
untuk menegakkan diagnosa CTS.
b) Tinel’s sign. Tes ini mendukung diagnosis bila timbul parastesia atau
nyeri pada daerah distribusi nervus medianus jika dilakukan perkusi
manual pada palmar posisi tangan sedikit dorsofleksi.
c) Wrist extension test. Penderita melakukan ekstensi tangan secara
maksimal. Sebaiknya dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga

8
dapat dibandingkan. Bila dalam 60 detik timbul gejala-gejala seperti CTS
maka tes ini menyokong diagnosis CTS.
d) Torniquet test. Dilakukan pemasangan tourniquet dengan menggunakan
tensimeter di atas siku dengan tekanan sedikit di atas tekanan sistolik.
Bila dalam 1 menit timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong
diagnosis.
e) Pressure test. Nervus medianus ditekan di terowongan karpal dengan
menggunakan ibu jari. Bila dalam waktu kurang dari 120 detik timbul
gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosis.
f) Thenar wasting. Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi
otot-otot thenar.
g) Luthy’s sign (Bottle’s sign). Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan
telunjuk pada botol atau gelas. Bila kulit tangan penderita tidak dapat
menyentuh dindingnya dengan rapat, tes dinyatakan positif dan
mendukung diagnosa.
h) Pemeriksaan sensibilitas. Bila penderita tidak dapat membedakan dua
titik (two-point discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah
nervus medianus, tes dianggap positif dan menyokong diagnosa.

2.8.2 Pemeriksaan Penunjang

- Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan Elektromiografi (EMG) dapat menunjukkan adanya fibrilasi,


polifasik, gelombang positif dan berkurangnya jumlah unit motorik pada otot-otot
thenar. Pada beberapa kasus tidak dijumpai kelainan pada otot-otot, EMG biasanya
normal pada 31% kasus CTS. Adapun indikasi pemeriksaan elektrodiagnostik
adalah pasien yang tidak ada perbaikan dengan penanganan konservatif,
pertimbangan pembedahan untuk menyingkirkan kelainan radikulopati ataupun
saraf terjepit lainnya.2,22

Kecepatan Hantar Saraf (KHS) pada 15% sampai 25% kasus, KHS bisa
normal. Pada yang lainnya, KHS akan menurun dan masa laten distal (distal

9
latency) memanjang, menunjukkan adanya gangguan pada konduksi saraf di
pergelangan tangan. Masa laten sensorik lebih sensitif dari masa laten motorik.22

- Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan sinar X terhadap pergelangan tangan dapat membantu melihat
apakah ada penyebab lain seperti fraktur atau artritis. Foto polos leher berguna
untuk menyingkirkan adanya penyakit lain pada vertebra. USG, CT scan dan MRI
dilakukan pada kasus selektif terutama yang akan dioperasi.22

2.9 Diagnosis Banding

Cervical radiculopathy. Biasanya keluhannya berkurang bila leher diistirahatkan dan


bertambah hila leher bergerak. Distribusi gangguan sensorik sesuai dermatomnya.

Thoracic outlet syndrome. Dijumpai atrofi otot-otot tangan lainnya selain otot-otot
thenar. Gangguan sensorik dijumpai pada sisi ulnaris dari tangan dan lengan bawah.

Pronator teres syndrome. Keluhannya lebih menonjol pada rasa nyeri di telapak
tangan daripada CTS karena cabang nervus medianus ke kulit telapak tangan tidak melalui
terowongan karpal.

de Quervain's syndrome. Tenosinovitis dari tendon muskulus abductor pollicis longus


dan ekstensor pollicis brevis, biasanya akibat gerakan tangan yang repetitif. Gejalanya adalah
rasa nyeri dan nyeri tekan pada pergelangan tangan di dekat ibu jari. KHS normal.
Finkelstein's test : palpasi otot abduktor ibu jari pada saat abduksi pasif ibu jari, positif bila
nyeri bertambah.

2.10 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan terhadap penyakit CTS dibagi menjadi dua kelompok, yaitu


penatalaksaan langsung terhadap CTS dan penatalaksanaan terhadap penyakit yang
mendasari penyakit CTS tersebut:

- Terapi Konservatif
a) Istirahatkan pergelangan tangan

10
b) Bidai pergelangan tangan. Biasanya digunakan pada pasien dengan gejala
yang ringan sampai sedang yang berlangsung kurang dari satu tahun. Bidai
digunakan pada malam hari untuk mereposisi tangan, mencegah fleksi atau
ekstensi tangan saat tidur yang bisa meningkatkan tekanan. Pemasangan bidai
pada posisi netral pergelangan tangan. Bidai dapat dipasang terus-menerus
atau hanya pada malam hari selama 2-3 minggu.22
c) Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID). NSAID bisa membantu
menghilangkan nyeri ringan sampai sedang. Ibuprofen biasanya adalah obat
pilihan untuk terapi awal. Obat pilihan lain meliputi ketoprofen dan
naproxen.23
d) Kortikosteroid. Deksametason 1-4 mg 1 atau hidrokortison 10-25 mg atau
metilprednisolon 20 mg atau 40 mg bisa disuntikkan langsung ke terowongan
karpal untuk menghilangkan nyeri. Kortikosteroid akan mengurangi
peradangan sehingga mengurangi tekanan pada nervus medianus, diinjeksikan
ke dalam terowongan karpal dengan menggunakan jarum nomor 23 atau 25
pada lokasi 1 cm ke arah proksimal lipat pergelangan tangan di sebelah medial
tendon musculus palmaris longus. Bila belum berhasil, suntikan dapat diulangi
setelah 2 minggu atau lebih. Tindakan operasi dapat dipertimbangkan bila
hasil terapi belum memuaskan setelah diberi 3 kali suntikan. Kortikosteroid
oral (sistemik) tidak seefektif kortikosteroid injeksi dalam mengatasi CTS.22,23
e) Vitamin B6 (piridoksin). Beberapa penulis berpendapat bahwa salah satu
penyebab CTS adalah defisiensi piridoksin sehingga mereka menganjurkan
pemberian piridoksin 100-300 mg/hari selama 3 bulan tetapi beberapa penulis
lainnya berpedapat bahwa pemberian piridoksin tidak bermanfaat bahkan
dapat menimbulkan neuropati bila diberikan dalam dosis besar.24
f) Fisioterapi. Prosedur ini harus disarankan secara spesifik terhadap pola nyeri/
gejala dan disfungsi yang ditemukan.22 Fisioterapi ditujukan pada perbaikan
vaskularisasi pergelangan tangan.

- Operasi
Umumnya, terapi nonoperasi efektif untuk kasus ringan, jika gejala CTS
menetap, direkomendasikan terapi operasi carpal tunnel. Operasi hanya
dilakukan pada kasus yang tidak mengalami perbaikan dengan terapi
konservatif atau bila terjadi gangguan sensorik yang berat atau adanya atrofi
11
otot-otot thenar.24 Tindakan operasi pada CTS disebut neurolisis nevus
medianus. Penelitian menunjukkan bahwa prosedur operasi lebih baik daripada
injeksi steroid. Tujuan operasi carpal tunnel adalah membelah lapisan
Transcutaneus Layers (TCL). Ketika TCL dipotong, tekanan nervus
dibawahnya akan berkurang.22 Tindakan operasi CTS dilakukan secara terbuka
dengan anestesi lokal, tetapi sekarang telah dikembangkan teknik operasi
secara endoskopik.24 Operasi endoskopik memungkinkan mobilisasi penderita
secara dini dengan jaringan parut yang minimal, tetapi karena terbatasnya
lapangan operasi tindakan ini lebih sering menimbulkan komplikasi operasi
seperti cedera pada safar.24 Beberapa penyebab CTS seperti adanya massa atau
anomali maupun tenosinovitis pada terowongan karpal lebih baik dioperasi
secara terbuka.

- Terapi laser

Low level atau Low-power laser therapy, yang masuk ke jaringan dengan
cahaya tingkat rendah yaitu cahaya merah dan near-infrared (dikatakan
tingkat rendah karena penggunaan cahaya dengan densitas energi lebih
rendah daripada laser yang digunakan dalam bentuk laser lainnya untuk
prosedur bedah), adalah salah satu pilihan non-bedah untuk pengobatan
Carpal Tunnel Syndrome. Perbandingan metode terapi laser yang ada saat
ini, sehingga istilah ini mencakup beberapa pendekatan. Terapi laser
mampu meningkatkan fungsi, memperbaiki gejala, dan tindakan
elektrofisiologi dalam jangka pendek. Hasil dari sebuah studi kontrol acak,
menunjukkan bahwa perawatan laser lebih efektif daripada plasebo,
terutama jika digunakan pada pasien dengan gejala ringan-sedang. Studi
lain, penggunaan laser galliumaluminium-arsenide dengan wrist splint
menunjukkan efikasi yang lebih tinggi daripada terapi laser plasebo dengan
wrist splint, terutama dalam peningkatan kekuatan menggenggam bahkan
hingga 3 bulan setelah perawatan. Tidak semua peneliti setuju akan hal ini,
hasil lainnya menunjukkan bahwa terapi laser tidak lebih efektif dari
plasebo (dalam hal skala visual analog, kekuatan menggenggam, keparahan
gejala dan skor fungsional, dan median nerve cross-sectional area) pada
pasien dengan carpal tunnel sindrom, hanya konduksi saraf sensorik yang

12
mengalami perbaikan dengan terapi laser. Beberapa penelitian telah
membandingkan terapi laser denga penanganan non-bedah lainnya. Dalam
percobaan control random sampling, membandingkan terapi laser dengan
terapi fascial manipulation, terapi laser meredakan nyeri sementara dalam
jangka pendek, sedangkan terapi fascial manipulation menunjukkan
peningkatan nyeri (dengan skala visual analog) dan fungsi (oleh BCTQ),
dalam jangka waktu yang lebih lama (> 3 bulan). Penelitian lain, terapi
laser intensitas tinggi dibandingkan dengan Transcutaneous Electrical
Nerve Stimulation (TENS), yang menstimulasi serat saraf A yang
berdiameter besar. Temuan menunjukkan bahwa terapi laser lebih efektif
dari TENS, dalam hal mengatasi rasa sakit, paraesthesias, median
kecepatan konduksi sensorik saraf, dan latensi motor distal. Penelitian yang
membandingkan terapi laser tingkat rendah dengan terapi medan magnet,
efektivitas dari teknik dalam mengurangi rasa sakit terbukti serupa.

2.11 Pencegahan

Untuk pencegahan salah satu yang bisa dilakukan adalah penyesuaian terhadap
peralatan kerja yang digunakan, waktu rotasi melakukan pekerjaan, latihan berguna bagi
pekerja yang bekerja dengan gerakan berulang, latihan pada tangan dan pergelangan tangan
yang sederhana selama 4-5 menit setiap jam dapat mengurangi risiko berkembangnya atau
mencegah CTS, dan menghindari faktor risiko seperti obesitas dan diabetel mellitus.

2.12 Prognosis

Pada kasus CTS ringan, dengan terapi konservatif umumnya prognosa baik. Bila keadaan
tidak membaik dengan terapi konservatif maka tindakan operasi harus dilakukan. Secara
umum prognosa operasi juga baik, tetapi karena operasi hanya dilakukan pada penderita yang
sudah lama menderita CTS penyembuhan post operatifnya bertahap.24

Bila setelah dilakukan tindakan operasi, tidak juga diperoleh perbaikan maka
dipertimbangkan kembali kemungkinan berikut ini :24

1. Kesalahan menegakkan diagnosa, mungkin jebakan/tekanan terhadap nervus


medianus terletak di tempat yang lebih proksimal.

13
2. Telah terjadi kerusakan total pada nervus medianus.
3. Terjadi CTS yang baru sebagai akibat komplikasi operasi seperti akibat edema,
perlengketan, infeksi, hematoma atau jaringan parut hipertrofik. Sekalipun prognosa
CTS dengan terapi konservatif maupun operatif cukup baik, tetapi resiko untuk
kambuh kembali masih tetap ada. Bila terjadi kekambuhan, prosedur terapi baik
konservatif atau operatif dapat diulangi kembali.

14
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Carpal Tunnel Syndrome (CTS) timbul akibat penekanan nervus medianus di dalam
carpal tunnel (terowongan karpal) di pergelangan tangan dengan gejala nyeri, kebas
dan kesemutan pada jari-jari (ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah) dan tangan di
daerah persarafan nervus medianus.
2. Gejala Carpal Turner Syndrome yaitu kaku pada bagian-bagian tanggan sakit seperti
tertusuk atau nyeri menjalar dari pergelangan tangan sampai kelengan, kelemahan
pada satu atau dua tangan, nyeri pada telapak tangan, pergelangan jari tidak
terkoordinasi, sensasi terbakar pada jari-jari.
3. Penatalaksanaan CTS tergantung pada etiologi, durasi gejala, dan intensitas kompresi
saraf. Terapi medika mentosa meliputi pemberian injeksi kortikosteroid lokal, vitamin
B-6, NSAID. Terapi non medika mentosa yaitu terapi konservatif, meliputi istarahat,
pemasangan bidai, nerve gliding, dan fisioterapi, dan terapi operatif yang dilakukan
jika penyakit tidak mengalmi perbaikan dengan terapi konservatif.
4. Prognosis CTS baik jika terapi konservatif dan atau terapi operatif berhasil, dan buruk
jika telah dilakukan terapi operatif namun tidak membaik.

15
Daftar Pustaka

1. Jagga, V. Lehri, A et al. Occupation and its association with carpal tunnel syndrome
- a review. Journal of Exercise Science and Physiotherapy. 2011. Vol. 7, No. 2: 68-
78.
2. Salawati L, Syahrul. Carpal tunnel syndrome. Aceh: Jurnal kedokteran syiah kuala.
2014; 14(1). h.29-33
3. Aroori S, Spence RAJ. Carpal tunnel syndrome. NCBI: Ulster med J. 2008; 77(1).
p.6-17
4. Kurniawan B, Jayanti S, Setyaningsih Y. Faktor risiko kejadian carpal tunnel
syndrome (cts) pada wanita pemetik melati di desa karangcengis, purbalingga.
Jurnal promosi kesehatan Indonesia. 2008;3(1). h.35
5. James H calandruccio, Norfleet B Thompson. Carpal tunnel syndrome making
evidence based treatment decisions. Clinical Intervention in Aging. 2018.

6. Pecina, Marko M. Markiewitz, Andrew D. Tunnel syndromes: peripheral nerve


compression syndromes 3rd edition. New York: CRC PRESS. 2001.
7. American Academy of Orthopaedic Surgeons. Clinical practice guideline on the
treatment of carpal tunnel syndrome. 2008.
8. Joseph J. Biundo, and Perry J. Rush. Carpal tunnel syndrome. American College of
Rheumatology. 2012.
9. Tana, Lusianawaty et al. Carpal tunnel syndrome pada pekerja garmen di jakarta.
Buletin Peneliti Kesehatan. 2004. vol. 32, no. 2: 73-82.
10. Ibrahim I, Khan WS, Goddard N and Smitham P. Carpal tunnel syndrome: a review
of the recent literature. London: The open orthopaedics journal. 2012;6 (Suppl
1:M8). p.70-2
11. Chammasa M, Boretto J, Burmannc LM, et al. Carpal tunnel syndrome – part I
(anatomy, physiology, etiology and diagnosis). Sociedade brasileira de ortopedia e
traumatologia : Elsevier editor Ltda. 2014;49(5). p.431-3
12. Aboonq MS. Pathophysiology of carpal tunnel syndrome. USA:
neurosciences.2015;20(1). p.4-9
13. Fitriani RN. Faktor-faktor yang berhubungan dengan dugaan carpal tunnel
syndrome (cts) pada operator komputer bagian sekretariat di inspektorat jendral
kementrian pekerjaan umum. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulla.
2012

16
14. Ilyas MF. Hubungan usia dan masa kerja dengan posisi pergelangan tangan
terhadap carpal tunnel syndrome pada supir bajaj di jakarta barat. Jakarta:
Universitas Muhammadiyah Jakarta. 2015.
15. Tarwaka. Bakri S.H.A. Sudiajeng L. Ergonomi : untuk keselamatan, kesehatan kerja
dan produktivitas. Surakarta: Uniba Press. 2004:h. 68-70
16. Mallapiangi F, Wahyudi AA. Gambaran faktor pekerjaan dengan kejadian carpal
tunnel syndrome (cts) pada pengrajin batu tatakan di desa Lempang Kec. Tanete
Riaja Kabupaten Baru. Makassar : Al-Sihah-Public Health Science
Journal.2015;6(2). h.24.
17. Werner R.A, Albers JW, et al. The relationship between body mass index and the
diagnosis of Carpal Tunnel Syndrome. Newyork: John wiley sons Inc. 2000; 17.
p.635-6.
18. Tamba LMT, Pudjowidyanto H. Karakteristik penderita Sindroma terowongan
karpal di poliklinik instalasi rehabilitasi medik rs dr. Kariadi Semarang 2006. Media
medika Indonesia. 2009; 43(16). h.10-3
19. Sibarani M.H.R. Gangguan muskuloskeletal pada diabetes melitus. Batam:
Poliklinik Bid Dokkes Kepri. 2015; 42(8)
20. Bahrudin M. Carpal tunnel syndrome (CTS). Malang : Universitas Muhammadiyah
Malang. 2017; 7(14). h.83.

21. Rambe AS. Sindroma terowongan karpal (carpal tunnel syndrome). 2004.
Diunduh.dari.URL:.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3459/1penysara
f-aidil2.pdf. diakses pada tanggal 11 April 2018
22. Basuki MH. Telaah pustaka Carpal tunnel syndrome. Staf Departemen Orthopaedi
dan Traumautologi RS dr. Sutomo Surabaya. 2017. Diunduh
dari.URL:http://journal.umsurabaya.ac.id/index.php/qanunmedika/article/view/384/
292. diakses pada tanggal 11 April 2018

23. Bachrodin, Moch. Carpal Tunnel Syndrome. Malang: FK UMM. 2011. Vol.7 (14).
24. Salawati L, Syahrul. Carpal tunel syndrome. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. 2014.
Vol. 14 (1). h.29-37
25. Padua L, Coraci D, Erra C, Pazzaglia C, Paolasso I, Loreti C, et al. Carpal tunnel
syndrome: clinical features, diagnosis, and managemen November 2016. Lancet
Neurol 2016 vol.15. Department of Geriatrics, Neurosciences and Orthopaedics,
Università Cattolica del Sacro Cuore, Rome, Italy. 2016. p.1273-84.

17

Anda mungkin juga menyukai