Anda di halaman 1dari 23

Tinjauan Pustaka

SINDROMA TEROWONGAN KARPAL


PENDAHULUAN
Sindroma terowongan karpal (Carpal Tunnel Syndrome/CTS) adalah
kumpulan dari keluhan dan gejala yang timbul karena kompresi nervus medianus
di dalam terowongan karpal. 1 Penekanan pada nervus medianus ini
menimbulkan gejala-gejala yang akan semakin progresif bila tidak ditangani
dengan baik. Gejala yang biasa didapatkan adalah nyeri pada daerah persarafan
nervus medianus, disertai rasa kesemutan dan atau rasa tebal. Gejala yang
timbul dapat disertai perubahan sensasi maupun kekuatan pada struktur-struktur
di tangan yang diinervasi nervus medianus. CTS menimbulkan rasa nyeri dan
rasa tidak nyaman yang akhirnya dapat menyebabkan keterbatasan aktivitas
sehari-hari, kelelahan akibat kurang tidur, dan gangguan untuk menjalankan
pekerjaan dengan akibat akibat selain fisik juga psikososial. 1,2
EPIDEMIOLOGI

1,2

Sindroma terowongan karpal merupakan penyakit atau cedera okupasi


terbanyak kedua setelah nyeri punggung. Sindrom ini terbanyak diderita antara
usia 30 sampai 60 tahun. Perbandingan antara perempuan dan laki-laki
mencapai 3-5:1, dan sebagian besar terjadi bilateral. Operasi release
terowongan karpal merupakan salah satu operasi pada tangan terbanyak di AS.
Frekuensi
Di Amerika Serikat tahun 2011, insidens CTS adalah sekitar 1-3 kasus per
1000 orang per tahun. Prevalensi berkisar antara 50 kasus per 1000 orang di
populasi umum. Pada kelompok resiko tinggi, insidens dapat mencapai 150 kasus
per 1000 orang per tahun, dengan prevalensi mencapai 500 kasus per 1000
orang.
Secara internasional, tampaknya insidens dan prevalensi di negara yang
lain tidak jauh berbeda dengan di AS, sebagai contoh, insidens di Belanda
berkisar antara 2,5 kasus per 1000 orang per tahun, sedangkan prevalensi di
Inggris sekitar 70-160 kasus per 1000 penduduk.
Mortalitas dan morbiditas
Penyakit ini tidak mengancam jiwa, tetapi dapat menyebabkan kerusakan
saraf yang ireversibel, sehingga dapat menyebabkan kecacatan bila tidak
ditangani dengan baik.
Ras
Tampaknya resiko tertinggi adalah pada ras kulit putih. Sindrom ini sangat
jarang terjadi di penduduk Amerika Selatan. Di AS, perbandingan antara kulit
putih dan kulit hitam mencapai 2-3:1.
1

Jenis kelamin
Perbandingan penyakit ini pada wanita dan pria mencapai 3--5:1

Usia
Usia terbanyak penderita CTS adalah 45-60 tahun, dan hanya 10% dari
penderita yang berusia di bawah 31 tahun.

ANATOMI

3,4

Terowongan karpal merupakan suatu terowongan fibro-oseus yang tidak


elastis, dibatasi oleh tulang-tulang karpalia dan flexor retinakulum. Komponen
oseus dari terowongan karpal membentuk suatu busur, yang dibatasi oleh empat
penonjolan tulang di sisi proksimal oleh os pisiforme dan tuberculum scaphoid
dan di distal oleh os hamatum dan tuberculum os trapezius.di bagian superfisial,
tendon palmaris longus melintas ke anterior menuju fleksor retinakulum untuk
menjadi satu dengan fasia palmaris. Di bagian profundus, suatu pita ligamen
tebal , ligamentum carpi transversum, membentuk tepi superfisial terowongan
karpal. Ada pendapat yang menyatakan bahwa ligamentum carpi transversum
dan fleksor retinakulum adalah sama.

Gambar 1. Anatomy terowongan karpal dari anterior. (1) adalah ujung proksimal
terowongan karpal diantara tendon flexor carpi radialis (FCR dan flexor carpi ulnaris
(FCU). (2) adalah daerah flexor retinaculum yang paling tebal, kemudian retinaculum
meluas ke distal dan di level sendi carpometacarpal menjadi paling tipis (3).

Zona anatomis dari fleksor retinakulum meluas dari radius distal sampai
metafisis proksimal dari metakarpal III. Ia melekat kuat pada os hamatum dan os
pisiforme pada sisi ulnar atau medial dari terowongan karpal dan pada
tuberkulum os trapezius dan ujung distal os scaphoid pada sisi radial atau
lateral. Fleksor retinakulum dapat dibagi menjadi tiga komponen. Bagian
proksimal merupakan kelanjutan langsung dari fasia antebrachii profunda. Agak
ke distal adalah ligamentum carpi transversum. Bagian yang paling distal adalah
aponeurosis antara otot thenar dan hipotenar.
Walaupun terowongan karpal tampak terhubung dengan kompartemen
fleksor dari lengan bawah di proksimal dan ruang midpalmar di distal, tetapi ia
bersifat seperti kompartemen tertutup dan mengatur tekanan cairan jaringannya
sendiri. Ligamentum carpi transversum paling tebal pada perlekatannya dengan
os hamatum dan tuberkulum os trapezius, yang juga merupakan bagian paling
sempit dari terowongan karpal.
Sisi radial dari fleksor retinakulum terbelah menjadi terowongan yang
terpisah untuk tendon muskulus carpi radialis, membentuk lapisan retinakulum
superfisial dan profundus. Terowongan ini berhubungan langsung dengan
terowongan fibrooseus untuk tendon fleksor carpi radialis yang terbentuk di
anterior ujung distal os scaphoid dan berlanjut ke distal di bagian dorsal os
trapezius.

Gambar 2. Anatomi terowongan karpal, potongan melintang setinggi level karpal distal.
H= os hamatum, C=os capitatum, Td=os trapezoid, Tm=os trapezium, FDP I-IV= tendon
mm.flexor digitorum profundi, FDS I-IV=tendon mm. Flexor digitorum superficialis, FPL=
tendon m.flexor pollicis longus. Perhatikan bahwa tendon m.flexor carpi radialis (FCR)
berada di kompertemen yang terpisah.

Terowongan karpal berisi nervus medianus, biasanya disertai arteri


mediana, dan 9 tendon fleksor ekstrinsik. Nervus medianus dibentuk oleh
serabut saraf dari radiks C5 sampai Th1. Saraf ini berjalan ke distal di lengan
bawah di antara otot-otot fleksor digitorum superfisialis dan profundus. Di lengan
bawah bagian distal, n.medianus menjadi makin superfisial, nerjalan diantara
3

tendon fleksor digitorum superfisial di sisi ulnar dan fleksor carpi radialis di sisi
radial, di dorsal atau dorsoradial dari tendon m.palmaris longus.
Sekitar 5 cm dari lipatan pergelangan, cabang kutaneus palmar dari
n.medianus membelah, dan memisah ke bawah fasia antebrachii diantara
tendon m. palmaris longus dan flexor carpi radialis. Cabang ini kemudian
menembus fasia antebrachii profunda, lalu lewat di atas flexor retinaculum dan
memisah menjadi cabang radial dan cabang ulnar yang menginervasi kulit
telapak tangan. Setelah keluar dari terowongan karpal, n.medianus membelah
menjadi 6 cabang terminal. Cabang motorik rekurens memberikan inervasi
aferen pada otot-otot thenar (flexor pollicis brevis, abductor pollicis brevis, dan
opponens policis). Terdapat 3 cabang untuk jari, yaitu cabang untuk jari jempol
dan telunjuk. Dua cabang lainnya menginervasi jari telunjuk dan jari tengah.
Otot-otot lumbricales diinervasi oleh cabang motorik dari cabang untuk jari
telunjuk dan jari tengah.
Musculus flexor digitorum superficialis berorigo di epikondilus medialis
humerus distal dan prosesus koronoid dan diafisis proksimal dari radius, terbagi
menjadi 4 otot di lengan bawah, dan melewati terowongan karpal sedalam
fleksor retinakulum menuju falang media jari-jari telunjuk, tengah dan kelingking.
Di dalam terowongan karpal, tendon m.fleksor digitorum superficialis yang
menuju jari tengah dan jari manis relatif lebih ke anterior dibanding tendon jari
telunjuk dan jari kelingking.
Musculus fleksor digitorum profundus berorigo di duapertiga proksimal
ulna dan membrana interosseus. Bagian radial dari otot ini membentuk tendon
ke jari telunjuk dan bagian ulnar membentuk tendon ke jari tengah, jari manis
dan jari kelingking. Keempat tendon tersebut masuk ke falang distal dari jari-jari,
melewati terowongan karpal di sisi paling dorsal, di dorsal tendon m.fleksor
digitorum superficialis. Otot-otot lumbricales berorigo di tendon m.fleksor
digitorum profundus setelah melewati terowongan karpal.

ETIOLOGI

2,3,4

Penyebab utama CTS adalah kompresi n.medianus di dalam terowongan


karpal. Adanya kompresi dapat dibuktikan dengan adanya peningkatan tekanan
dalam terowongan karpal. Terowongan ini memiliki kapasitas terbatas, dan
karena itu semua kondisi yang menyebabkan penambahan isi kanal akan
menyebabkan peningkatan tekanan intrakanal dan akan menekan n.medianus.
Penambahan isi kanal dapat berupa edema, inflamasi, penumpukan zat patologis
seperti darah, asam urat, dll. Adanya kondisi kerusakan saraf sebelumnya,
seperti polineuropati atau kompresi yang lebih proksimal akan meningkatkan
kerusakan akibat kompresi.
Kelainan sistemik yang dapat menyebabkan CTS seperti diabetes mellitus,
artritis rematoid, dan hipotiroidism. CTS dapat juga timbul pada kehamilan atau
kelainan hormonal. Pada beberapa kasus, CTS dapat terjadi setelah trauma atau
4

patah tulang pada pergelangan. Pada kasus-kasus tersebut didapatkan onset


yang mendadak.
CTS dapat juga terjadi bersama kondisi-kondisi lain seperti sindroma De
Quervain, penyakit Motta (trigger finger), fenomena Raynaud, epikondilitis, atau
penyakit pada bahu. Sebagian kasus etiologinya tidak diketahui atau idiopatik.
Etiologi CTS :
-

Idiopatik
Sekunder
Carpal canal stenosis (kongenital atau dapatan)
Penyakit kolagen dan autoimun (tenovaginitis, artritis rematoid,
skleroderma, polimialgia rematik, SLE, gout, chondrocalcinosis dll)
Penyakit endokrin (DM, penyakit tiroid, estrogen, progesteron,
gonadotropin, growth hormon)
Amiloidosis
Polineuropati
Infeksi
Kelainan pada terowongan karpal (kista, tumor, kelainan otot dll)
Obesitas
Edema tangan primer atau sekunder
Trauma akut (fraktur, cedera remuk pada tangan, perdarahan, luka bakar
dll)
Penyakit kongenital (mucopolysaccharidosis, mucolipidosis)
Sekunder karena penggunaan obat-obatan (kontrasepsi oral, antikoagulan,
defisiensi vit B6 dll)
Penyebab lain-lain

PATOFISIOLOGI
Pengaruh kompresi pada serabut saraf

4,5,6

Keparahan suatu cedera saraf yang diakibatkan oleh kompresi akut


maupun kronis tergantung dari durasi atau lamanya kompresi. Serabut saraf
menunjukkan kerentanannya terhadap kompresi berhubungan dengan
ukurannya, lokasinya, dan lokasi fasikuler di dalam saraf. Serabut saraf yang
lebih besar lebih rentan terhadap iskemia dan kompresi dibanding serabut saraf
yang lebih kecil, dan serat-serat yang terletak di tepi saraf menderita kerusakan
lebih berat dibanding serat yang terletak di tengah saraf. Konstitusi atau susuan
saraf juga menentukan derajat kerusakan akibat kompresi; fasikula yang besar
dan hanya mengandung sedikit jaringan epineural lebih rentan cedera dibanding
fasikula kecil yang mengandung banyak jaringan epineural.
Dasar fisopatologis kompresi akut dan kronis masih dipertentangkan;
faktor mekanis dan iskemik telah diajukan sebagai penyebab utama gangguan
fungsional. Masalah ini sulit diatasi karena semua kompresi pasti melibatkan
faktor iskemia karena rusaknya mikrovaskularisasi saraf. Secara umum, kompresi
ringan sampai sedang yang menyebabkan gangguan fungsional yang reversibel
5

dan berhubungan dengan kompresi menunjukkan temuan insufisiensi


mikrovaskuler, sedangkan faktor mekanis yang memicu kerusakan mielin fokal
dapat merupakan faktor etiologik yang penting pada cedera yang memerlukan
waktu pemulihan yang lama.
Edema intraneural karena kompresi

4,5,6

Kompresi dengan iskemia total dan subtotal yang dihasilkan dapat


menimbulkan kerusakan pada semua jaringan intraneural termasuk sel Schwann,
serabut saraf, dan mikrovaskular intraneural. Suatu cedera mikrovaskuler dapat
dihubungkan dengan peningkatan permeabilitas terhadap protein, sedangkan
periode iskemik berkepanjangan dapat diikuti oleh edema intraneural begitu
aliran darah pulih. Pembengkakan lokal ini disebut juga fenomena nonrefluks
atau sindrom kompartemen tertutup, merupakan fenomena yang terjadi di
jaringan otot setelah cedera iskemik pada saraf dan otot yang berat. Pengaruh
fenomena ini pada saraf sangat penting dan dapat menyebabkan functional
barrier pada stratum perineurium.
Kesimpulan Patofisiologi
Berbagai macam tahapan CTS yang telah diajukan mencoba menunjukkan
keterlibatan kedua faktor etiologis dan faktor-faktor fisiopatologis. Tahap awal
CTS ditandai dengan paresthesia pada malam hari dan disebabkan oleh
insufisiensi mikrovaskuler intraneural pada malam hari karena peningkatan
tekanan jaringan dalam terowongan karpal pada malam hari. Peningkatan
bertahap tekanan cairan dalam jaringan menunjukkan tidak berfungsinya pompa
otot, redistribusi cairan tubuh pada posisi horisontal, dan palmar fleksi
pergelangan tangan. Harus diingat juga bahwa di samping penurunan tekanan
vaskuler malam hari, yang berkaitan dengan irama sirkadian, terdapat juga
penurunan tekanan perfusi di dalam terowongan karpal. Gejala yang timbul
sesuai dengan gangguan metabolisme saraf, yang menyebabkan kekurangan
oksigen karena gangguan mikrosirkulasi intraneural. Gejala-gejala tersebut
reversibel ketika posisi pergelangan, pompa otot, dan posisi tubuh kembali
normal atau pasca pembedahan ligamentum carpi transversum.
Pada kasus-kasus CTS yang lebih berat, edema pertama timbul di
epineurium dan kemudian di endoneurium. Keluhan dan gejala masih mungkin
reversibel bila dilakukan dekompresi diikuti pemulihan aliran interneural
sehingga edema teratasi. Edema yang berkepanjangan dapat dimasuki fibroblast
sehingga berkembang menjadi fibrosis. Pada keadaan ini sebagian serabut saraf
akan mengalami demyelinisasi dengan kerusakan berat (neuroapraxia) dan
sebagian yang lain akan mengalami degenerasi aksonal (axonotmesis).Waktu
pemulihan pasca dekompresi saraf dapat bervariasi tergantung keparahan
penyakitnya.

GEJALA KLINIS

2,3,4

Penegakan diagnosis CTS sebagian besar cukup dari gejala klinis pasien.
Keluhan yang paling sering adalah nocturnal acroparesthesia, yaitu rasa
kesemutan dan nyeri yang dapat sampai mengganggu tidur malam. Gejala ini
biasanya berkurang dengan perubahan posisi lengan, dikibaskan atau dipijat,
atau menggantung lengan ke bawah. Ada yang merasa lebih enak bila tangan
direndam di air dingin. Gejala dapat timbul di siang hari juga dan dipicu oleh
posisi tertentu atau kegiatan seperti menjahit, mengemudi, memegang telpon
atau buku.
Pada awalnya, sebagian besar pasien tidak dapat menunjukkan pada jari
mana tumbul paresthesia, jadi mereka menunjuk pada seluruh tangan dan
terkadang pada punggung tangan juga. Bila diminta lebih spesifik atau dilakukan
manuver yang menimbulkan gejala, mereka menggambarkan keluhan menjalar
ke tiga jari pertama dan sisi radial jari IV. Keluhan sering menjalar ke lengan
bawah, terkadang sampai ke bahu. Keluhan kesemutan harus dibedakan dengan
kondisi-kondisi patoligis yang lain, seperti gangguan vaskuler.
Pasien juga mengeluhkan kelemahan pada tangan yang terkena,
sehinggasering menjatuhkan benda yang dipegang. Ini akibat dari berkurangnya
sensasi atau kelemahan pada jari jempol dan jari lainnya untuk gerakan oposisi.
Pemeriksaan Fisik

2,3,4

Diagnosis klinis untuk CTS didasarkan pada pemeriksaan otot-otot thenar;


pada kondisi normal otot-otot ini diinervasi oleh cabang motorik n.medianus.
Fungsi otot yang paling mudah diperiksa adalah m.abductor pollicis brevis.

Gambar 3. Pemeriksaan m.abductor pollicis brevis

Pasien diminta untuk meletakkan jempol tegak lurus di atas telapak


tangannya dan menahan tekanan jari pemeriksa dengan arah aduksi. Hasilnya
dibandingkan pada kedua tangan. Harus diingat bahwa walaupun ada kelemahan
otot, gerakan yang diminta tetap bisa dilakukan, tetapi dengan cara yang terlihat
berbeda. Selain itu juga ada bantuan abduksi dari m.abductor pollicis longus,
yang diinervasi oleh n.radialis, dan dapat diposisikan ke atas telapak tangan
dengan m.flexor pollicis longus yang diinervasi oleh n.medianus sebelum masuk
ke terowongan karpal. Pada kondisi ini, kelainan dapat dilihat dari adanya fleksi
sendi interphalangeal yang tidak bisa dihindari, dan pasien tidak dapat
menempatkan jempol 90 dari permukaan telapak tangan.
M.opponens pollicis diperiksa dengan meminta pasien menempelkan
ujung jempol ke ujung jari kelingking. Pemeriksa kemudian berusaha membuka
jari tersebut sedangkan pasien melawan. Sebenarnya pada posisi ini seluruh otot
thenar berkontraksi, dan tidak bisa mengevaluasi m.opponens pollicis saja.
Begitu juga, evaluasi m.flexor pollicis brevis juga tidak signifikan. Otot ini
dibentuk oleh dua kepala, dan hanya satu yang diinervasi oleh n.medianus, dan
bahkan ada literatur yang menyebutkan bahwa kedua kepala otot tersebut
diinervasi oleh n.ulnaris.
Harus juga dievaluasi adakah hipotrofi atau atrofi otot-otot thenar; derajat
atrofi sebanding dengan beratnya kerusakan saraf. Atrofi merupakan tanda lesi
aksonal pada saraf sedangkan lesi demyelinisasi menghasilkan hiposthenia
tanpa atrofi.

Gambar 4 . Atrofi otot-otot thenar.

Pemeriksaan obyektif untuk CTS didasarkan pada tes provokasi dan


evaluasi defisit sensoris dan motoris yang didapatkan pada area distribusi
n.medianus. 3,4
Tes provokasi yang biasa digunakan antara lain :
1. Tes Tinel

Gambar 5. Tes Tinel

Tes Tinel dilakukan dengan cara perkusi di atas n.medianus


sepanjang perjalanannya di lengan bawah sampai pergelangan. Tes ini
positif bila timbul paresthesia di daerah distribusi n.medianus. Validitas
diagnostiknya berkisar antara 58-67% pada kasus-kasus dengan hasil EMG
positif; tetapi, pada 20% kasus, tes Tinel positif walaupun tidak ada
kompresi n.medianus (false positif). Jadi, tes Tinel saja tidak cukup untuk
menegakkan diagnosis CTS.
2. Tes Phalen

Gambar 6. Tes Phalen

Tes Phalen dikerjakan dengan cara memegang pergelangan tangan


dalam posisi fleksi maksimal selama beberapa detik; bila timbul rasa baal
9

dan paresthesia di tiga jari pertama dalam 60 detik maka dianggap positif.
Menurut Phalen, hal ini disebabkan karena kompresi n.medianus diantara
tepi proksimal ligamentum transversum dan tendon fleksor di sebelahnya.
Tes Phalen positif pada 66-88% pasien dengan CTS, dengan false positif
mencapai 20%. Bila hasil tes Tinel dan Phalen dikombinasikan, hasil yang
positif penting secara diagnostik karena dapat mengidentifikasi sampai
dengan 90% pasien dengan CTS.
3. Tes Durkan

Gambar 7. Tes Durkan

Tes ini digambarkan oleh Durkan, merupakan tes kompresi pada


n.medianus. tes ini dianggap spesifik untuk CTS; tes ini mengevaluasi
onset paresthesia di area distribusi n.medianus saat diberikan tekanan
dengan jempol pemeriksa pada terowongan karpal selama kurang lebih 30
detik. Durkan melaporkan bahwa tes ini positif pada 87% pasien dengan
CTS. Williams melaporkan tes ini positif pada 100% penderita CTS. Angka
false positif untuk tes ini mencapai 10%. Tes ini dapat digunakan untuk
menggantikan tes Phalen bila ada penyakit atau kondisi yang membuat
pasien tidak bisa fleksi pergelangan tangan.
4. Tes tourniquet
Tes tourniquet digambarkan oleh Gilliat dan Wilson pada tahun
1953. Tes ini dianggap tidak bermanfaat untuk diagnostik CTS.
Tes untuk sensitivitas yang bisa digunakan antara lain :
1. Tes Weber / 2-point discrimination

10

Gambar 8. Tes Weber

Tes ini paling baik digunakan untuk mengevaluasi densitas inervasi.


Biasanya tes ini memberikan hasil normal pada CTS ringan sampai
sedang.
2. Tes Van Frey

Gambar 9. Tes Van Frey

Tes tekanan dari Van Frey dilakukan menggunakan alat


monofilamen dari Semmes-Weinstein. Tes ini dikerjakan dengan cara
menekan ujung jari secara tegak lurus menggunakan alat monofilamen
dari berbagai ketebalan; kekuatan tekanan yang diberikan asal cukup
untuk membengkokkan filamen. Tes ini positif bila pasien dapat
mengidentifikasi dengan tepat jari mana yang distimulasi. Pada satu
penelitian, tes ini terbukti signifikan pada 52% kasus, sedangkan tes
Weber hanya signifikan pada 30% kasus.
3. Tes Szabo / vibration.
Tes lain yang bisa digunakan adalah tes getaran yang digambarkan
oleh Szabo et.al. Namun, pada pasien-pasien tua tes ini tidak valid karena
kemampuan persepsi getaran, dan juga diskriminasi 2 titik, menurun
seiring pertambahan usia. Batas usia di mana tes ini bisa digunakan
belum ditentukan.

11

PEMERIKSAAN PENUNJANG
EMG

4,5,6

Tujuan elektrodiagnostik adalah untuk melokalisasi lesi, menunjukkan


gangguan pada saraf motorik, sensorik atau keduanya, untuk menentukan dasar
proses fisiologisnya (axon loss, demyelinasi), keparahan penyakit (derajat axon
loss, kontinuitas axon), dan perjalanan penyakitnya. Tujuan utama pemeriksaan
ini adalah mengonfirmasi kecurigaan klinis adanya kompresi n.medianus di
pergelangan tangan.
Pemeriksaan kecepatan hantaran saraf sensoris dan motoris n.medianus
dan segmen saraf yang lain dengan EMG jarum pada beberapa otot yang terlibat
memungkinkan diagnosis penyakit lain yang sering ada bersamaan dengan CTS,
seperti radikulopati, pleksopati, dan lain-lain yang tidak bisa dibuktikan dengan
hanya pemeriksaan fisik. Pada evaluasi preoperatif pemeriksaan neurofisiologi
dapat mengkuantifikasi keparahan penyakit dan tipe lesi sarafnya; dan dapat
juga menjadi bukti secara hukum bila ada tuntutan dari pasien.
Tes neurofisiologis untuk diagnosis CTS
-

Pemeriksaan konduksi sensorik n.medianus


o Konduksi jari-pergelangan
o Konduksi telapak tangan-pergelangan
o Stimulasi palmar serial
o Perbandingan ipsilateral
Median-ulnar (jari manis)
Median-radial (jari jempol)
Perbandingan amplitudo
Distal-proksimal (tangan-lengan bawah)
Pemeriksaan konduksi motorik n.medianus
o Latensi motorik distal
o Latensi motorik residual
o Perekaman di lumbrikal
o Stimulasi palmar
o Kecepatan konduksi motorik lengan bawah
EMG
o Adanya bukti kerusakan aksonal
o Neuronal discharges

Kriteria diagnostik untuk sindrom terowongan karpal


-

Adanya bukti kompresi serabut saraf sensorik


o Hilang atau menurunnya SAP saraf motorik (>3,4ms)
o Peningkatan selisih latensi median ke ulnar pada SAP jari ke IV
(>0,5ms)
Adanya bukti kompresi serabut saraf motorik
o Peningkatan latensi distal (>4,2ms)
o Tanda denervasi pada m.abductor pollicis brevis

Menegakkan diagnosis CTS hanya berdasarkan hasil EMG harus dihindari.


Banyak dilaporkan insidens false negatif yang signifikan dan berkisar antara 812

12% dari seluruh kasus. Selain itu, sensitivitas alat EMG dapat mendeteksi
perubahan konduksi subklinis yang tidak memerlukan terapi (false positif).
IMAJING

1,3,4

Imajing hanya mendapat peran kecil pada diagnostik CTS, yang terutama
didasarkan pada temuan klinis dan pemeriksaan konduksi saraf. Radiografi
konvensional maupun CT jarang digunakan untuk CTS karena informasi yang
didapat tidak banyak bermanfaat. Akhir-akhir ini MRI resolusi tinggi dan
ultrasound frekuensi tinggi dapat menunjukkan kompresi n.medianus dan
mendeteksi SOL dalam terowongan karpal dan kelainan pada tendon fleksor. MRI
dan USG dapat juga digunakan untuk evaluasi postoperatif dan komplikasi
pembedahan.
MRI
Gambaran MRI mempunyai resolusi intrinsik yang tinggi dan dapat
menunjukkan perbedaan intensitas sinyal antara tendon, selubung tendon, saraf,
lemak, tulang dan pembuluh darah, sehingga dapat digunakan untuk visualisasi
isi terowongan karpal dengan baik.

Gambar 10. MRI T1WI potongan axial. Anatomi normal. Terowongan karpal dibatasi di sisi
ventral oleh flexor retinaculum, suatu struktur fibrous dengan intensitas sinyal rendah
(tanda panah) dan di dorsal oleh tulang-tulang karpalia. N.medianus tampak sebagai
struktur dengan intensitas sinyal intermediate (sama dengan otot) di dekat retinaculum
(panah melengkung). Tendon otot-otot fleksor mempunyai intensitas sinyal yang sangat
rendah.

Pada CTS, dapat dilihat perubahan-perubahan berikut pada n.medianus :


-

Pembengkakan lokal maupun difus pada saraf yang dapat terlihat paling
baik di level os pisiforme
Pemipihan (flattening) pada n.medianus yang terlihat paling baik di level
os hamatum.
Peningkatan intensitas pada gambaran T2WI.
13

Gambar 11. (kiri) MRI T1WI potongan axial. Sindrom terowongan karpal.
N.medianus(panah) tertekan di antara flexor retinaculum dan tendon-tendon fleksor,
tampak membesar dan bengkak pada kasus CTS berat ini. (kanan) MRI T2WI potongan
sagital. Pembengkakan n.medianus pada tempat masuknya di terowongan karpal tampak
noduler (pseudoneuroma) dan menampakkan peningkatan intensitas sinyal (panah
putih).

USG

Dengan USG, dapat diperoleh informasi yang hampir sama dengan MRI,
dengan biaya yang jauh lebih rendah. USG juga memungkinkan dilakukan studi
dinamik, pemeriksaan saat bergerak, yang sulit dilakukan pada MRI. Tetapi detil
anatomis dan resolusi gambar lebih rendah dari MRI; struktur tulang tidak
terlihat, dan sulit digunakan sebagai panduan operasi. Akurasinya juga sangat
operator-dependent.

14

Gambar 12. USG potongan longitudinal. N.medianus normal (panah) dapat dikenali
karena posisinya yang superfisial dan struktur fasikuler hipoekoik, dibandingkan dengan
struktur tendon fleksor yang hiperekoik.

Pemeriksaan USG untuk CTS harus dilakukan dengan transduser frekuensi


tinggi, sampai 17 MHz. Dapat digunakan juga USG Doppler warna untuk
mengidentifikasi pembuluh darah. Pemeriksaan harus dilakukan pada bidang
transversal dan longitudinal. USG dapat menggambarkan semua komponen
jaringan lunak dalam terowongan karpal (tendon, n.medianus, dan ligamentum
carpi transversum), sedangkan tulang tidak terlihat.

Gambar 13. (kiri) USG potongan longitudinal. Sindrom terowongan karpal. N.medianus
tampak memipih pada level ligamentum carpi transversum (panah besar), dan tampak
menebal dan bengkak di proksimal (panah kecil). (kanan) USG potongan axial. Tampak
pemipihan n.medianus pada level masuknya di kanal.

Diagnostik dengan USG harus menggambarkan semua kelainan struktur


anatomis dalam terowongan karpal, terutama yang menyangkut n.medianus.
N.medianus dapat terlihat bengkak pada proksimal terowongan karpal tepat
sebelum memasukinya. Dapat terlihat pemipihan nervus pada distal kanal.
Pembesaran nervus dapat uniform atau membentuk gambaran pseudotumoral
atau disebut pseudoneuroma.

DIAGNOSA BANDING

3,4

CTS terutama didiagnosis dari kumpulan gejala yang khas, meliputi


nocturnal paresthesia pada distribusi n.medianus, dan paresthesia yang
diperberat aktivitas tertentu, seperti menggenggam lama, misalnya memegang
buku atau koran saat membaca atau memegang kemudi mobil/motor saat
berkendara. Pasien sering mengatakan mengibaskan tangan mengurangi gejala.
Sebagian pasien juga mengeluhkan nyeri yang menjalar ke lengan bawah,
terkadang sampai ke bahu.

15

Terkadang pasien tidak dapat menggambarkan dengan jelas keluhannya


dan lokasinya, dan kesulitan membedakan antara nyeri, kesemutan, rasa baal
bahkan setelah dijelaskan oleh dokter. Dapat juga timbul keluhan kelemahan,
sulit memegang, dan sulit melakukan gerakan halus, tetapi keadaan ini juga
dapat ditimbulkan oleh penyakit-penyakit lain.
Nyeri merupakan keluhan yang paling membingungkan. Banyak kondisi
spesifik maupun nonspesifik menimbulkan gejala nyeri. Bila nyeri merupakan
satu-satunya gejala dan tidak ada temuan klinis yang lain, maka diagnosis CTS
belum bisa ditegakkan. Namun masih bisa dicurigai ke arah CTS bila ada faktor
resiko, seperti pekerjaan. Pada kondisi seperti ini harus ditegakkan diagnosis
dengan pemeriksaan penunjang, seperti elektrodiagnostik.
Kesemutan dan rasa baal juga merupakan gejala yang sering didapatkan
pada CTS, tetapi dapat juga disebabkan penyakit lain, terutama bila keluhan
menetap, dan tidak memberat saat malam hari atau dengan aktivitas yang
memperberat CTS. Pada keadaan ini pemeriksaan elektrodiagnostik dapat
membantu menegakkan diagnosis.
Kelemahan otot, atrofi, dan gangguan gerakan halus juga merupakan
gejala CTS yang dapat disebabkan penyakit lain, seperti trauma atau kelainan
kongenital, dan diagnosis CTS belum bisa ditegakkan berdasarkan gejala-gejala
tersebut saja.
Penyakit-penyakit neurologis lain yang dapat memberikan gejala mirip CTS :
-

SOL intrakranial
Multiple sklerosis
Radikulopati servikal
Siringomielia servikal
Thoracic outlet syndrome
Tumor saraf perifer (schwanoma, hamartoma dll)
Brachioplexitis idiopatik (Parsonage-Turner syndrome/neuralgic
amyotrophy)
Pleksopati brakialis
Sindrom pronator
Neuropati ulnar
Neuropati radial
Neuropati generalisata (DM, mononeuritis multiplex)
Sindrom Churg-Strauss
Kontusio n.medianus

Penyakit-penyakit non neurologis yang memberikan gejala mirip CTS :


-

Lesi vaskuler
Fenomena Raynaud
Hypothenar hammer syndrome (cedera pada arteri ulnaris di tangan
dengan cedera n. ulnaris sekunder)
16

Hand-arm vibration syndrome


Kongenital
Tumor pancoast
Hipoplasia jari
Trauma
Cedera ligamen atau wrist sprain
Fraktur karpal
Sindroma de Quervain
Intersection syndrome
Flexor carpi radialis tenosynovitis
Linburgs syndrome
Flexor carpi ulnaris tenosynovitis
Trigger finger
Penyakit degeneratif
Osteoartritis
Infeksi
Inflamasi lain
Artritis rematoid
Gout
Nyeri tangan nonspesifik, dll

TERAPI
Terapi Konservatif

4,7,8,9,10

1. Modifikasi lifestyle
Menghindari gerakan berulang, menggunakan peralatan yang
ergonomis saat bekerja, beristirahat secara berkala, dan beralih pekerjaan
sering dianjurkan untuk penderita penyakit ini, namun bukti yang
mendukung maupun menentang efektifitas metode ini masih belum
memadai.
2. Terapi oral
Pemberian kortikosteroid oral dapat memberikan perbaikan gejala
pada jangka pendek, dengan efek yang mulai berkurang setelah sekitar 8
minggu setelah obat dihentikan. Pemberian obat-obatan seperti NSAID,
diuretik, dan pyridoxin (B6) telah terbukti tidak lebih efektif dari plasebo.
3. Splinting
Ada banyak bukti yang mendukung penggunaan splint netral dan
cock-up, dengan hasil perbaikan klinis yang hampir sama.

17

Gambar 14. Macam-macam splint. (atas) splint dengan metal di daerah palmar
untuk menjaga posisi pergelangan tetap netral. (tengah) splint dengan
Metacarpophalangeal (MCP) bebas. (bawah) splint dengan imobilisasi MCP untuk
mencegah otot-otot lumbrikal masuk ke dalam terowongan karpal.

Penggunaan splint yang memfiksasi sendi metacarpophalangeal


dengan pergelangan belum banyak dianjurkan. Banyak bukti mendukung
penggunaan splint sepanjang hari (24 jam) lebih baik daripada
penggunaan hanya pada malam hari. Walaupun lamanya penggunaan
masih bervariasi, kebanyakan penelitian melakukan splinting selama 6-8
minggu, dan follow-up klinis dilakukan sampai 1 tahun setelahnya untuk
melihat efektivitasnya. Pada satu penelitian, splinting dapat menyebabkan
18

perbaikan klinis dan menunda operasi paling tidak selamasatu tahun di


sekitar 60% populasi yang sudah ada indikasi untuk dilakukan operasi dari
gejala klinis dan pemeriksaan EMG. Tetapi bukti untuk manfaat
penggunaan jangka panjang masih belum banyak, dan masih dilaporkan
adanya progresi penyakit bahkan selama masa penggunaan splint.
4. Injeksi kortikosteroid.
Injeksi kortikosteroid merupakan pengobatan yang umum dilakukan
untuk CTS. Penggunaannya telah tercatat sejak tahun 1954, di Mayo Clinic
telah didokumentasikan penggunaan injeksi steroid pada pengobatan CTS.
Injeksi kortikosteroid lokal dapat digunakan sebagai terapi awal atau
sebagai terapi adjuvan. Terdapat bukti kuat bahwa pemberian
kortikosteroid lokal dan sistemik memberikan perbaikan yang signifikan
pada pasien-pasien CTS sampai dengan 1 bulan pasca injeksi, dan
beberapa pasien melaporkan perbaikan keluhan sampai 1 tahun pasca
injeksi. Satu penelitian menunjukkan pemberian kortikosteroid lokal lebih
efektif daripada pemberian oral sampai 3 bulan, tetapi hasilnya hampir
sama dengan kombinasi NSAID dan splinting setelah 8 minggu.Walaupun
hanya efektif pada jangka pendek, injeksi kortikosteroid dapat berguna
terutama pada pasien-pasien yang tidak mau atau ingin menunda operasi.

Gambar 15. Tehnik injeksi pada terowongan karpal. Jarum dimasukkan pada sisi
ulnar tendo palmaris longus dan masuk secara miring ke arah MCP joint dari jari
telunjuk.

Prosedur ini dilakukan dengan memasukkan kortikosteroid bolus


kecil di bawah flexor retinaculum di dalam terowongan karpal. Korelasi
19

antara dosis yang diberikan dan perbaikan klinis belum banyak diteliti, dan
belum banyak data yang mendukung jenis atau formulasi kortikosteroid
mana yang lebih baik. Biasanya digunakan triamcinolon 20mg,
diinjeksikan menggunakan spuit 1cc dengan jarum 25G.
Komplikasi utama dari tehnik ini adalah cedera pada n.medianus. nervus
ini terletak tepat di bawah tendon m.palmaris longus, tepat di tengah
pergelangan dan medial dari tendon m.flexor carpi radialis. Bila kesulitan
mengidentifikasi tendon m.palmaris longus, pasien disuruh menyentuh
ujung jari V dengan jempol. Lipatan medial yang terbentuk berdekatan
dan segaris dengan n.medianus.
Metode yang biasa dilakukan adalah menginjeksi tepat medial dari tendon
palmaris longus atau tepat diantara tendon palmaris longus dan flexor
carpi ulnaris. Metode yang lain adalah dengan menginjeksi di lateral
tendon palmaris longus atau diantara tendon palmaris longus dan flexor
carpi radialis. Satu penelitian menyimpulkan bahwa metode alternatif ini
memberikan jarak yang lebih aman dari jarum terhadap n.medianus,
tetapi meningkatkan resiko mengenai cabang kutaneus palmaris dari
n.medianus.
Pembedahan

4,7,10

Pembedahan pada ligamentum carpi transversum, dengan operasi terbuka


maupun endoskopik, menghasilkan perbaikan gejala klinis yang bertahan lama,
dengan resiko operasi relatif kecil bila dilakukan oleh ahli bedah yang
berpengalaman. Terdapat bukti level I yang menunjukkan bahwa pembedahan
pada flexor retinaculum sangat efektif untuk pasien-pasien dengan CTS.

Gambar 16. Tehnik operasi pada CTS. (kiri) insisi pada telapak tangan diarahkan
ke pergelangan tangan. (kanan) diseksi ligamentum carpi transversum.

20

Carpal Tunnel Release (CTR) diindikasikan pada :


-

Terapi konservatif gagal


Gejala yang berat
Kondisi-kondisi atau penyakit yang dapat memperberat CTS, dan CTR
harus dipertimbangkan lebih dini, seperti :
o Diabetes
o Artritis rematoid
o Usia tua
o CTS dan cervical spondylosis terjadi bersamaan dan saling
memperberat

Dua tinjauan sistematis dan 6 RCT membandingkan operasi terbuka,


endoskopik, dan insisi minimal. Hal-hal yang dievaluasi meliputi keparahan
gejala, status fungsional setelah 52 minggu, nyeri setelah 12 minggu,
reversibilitas kerusakan saraf, lamanya sampai dapat bekerja kembali, dan
komplikasi pasca operasi. Tehnik endoskopik lebih baik dari segi nyeri sisa
setelah 12 minggu, lamanya sampai dapat beraktivitas lagi, dan komplikasi
pasca operasi. Operasi terbuka lebih baik ditinjau dari reversibilitas kerusakan
saraf. Untuk keparahan gejala dan status fungsional setelah 52 minggu tidak ada
perbedaan antar tehnik. Pasca pembedahan sebaiknya tidak dilakukan
imobilisasi pergelangan tangan, karena dari penelitian splinting postoperatif
tidak memberi manfaat banyak dari segi pemulihan, fungsi tangan, dan keluhan
pasien.
PROGNOSIS

1,2,3,4

Prognosis pasca tindakan bedah


Pada suatu penelitian di Inggris tahun 2010, pada 6263 kasus CTS yang
dilakukan operasi, hasilnya 49% sembuh sempurna, 28% menyatakan keluhan
jauh berkurang, 10% menyatakan hanya sedikit perbaikan, 6% menyatakan tidak
ada perubahan, dan 7% menyatakan bahwa keluhan dan gejalanya makin berat.
Studi ini menyatakan bahwa hasil tersebut bisa karena banyak faktor, seperti
kesalahan diagnosis, kesalahan pada prosedur pembedahan, atau terlambat
dioperasi sehingga pemulihan saraf yang sudah terlanjur rusak tidak bisa seperti
yang diharapkan.
Prognosis pada kasus-kasus yang tidak dilakukan pembedahan
Pada penelitian tahun 2001 di Italia, dari 196 kasus yang tidak dilakukan
intervensi samasekali, sekitar 20% dari semua kasus membaik dengan
sendirinya. Ini bisa disebabkan usia muda, gejala yang belum terlalu berat, atau
perubahan pekerjaan atau kebiasaan menggunakan tangan.
Pada kasus-kasus yang dilakukan splinting, dari penelitian tahun 2003
disebutkan bahwa splinting bisa berhasil dengan hasil sampai 1 tahun bebas

21

gejala bila durasi gejala sebelum mulai terapi kurang dari 1 tahun, dan gejala
belum terlalu berat.
Pada pemberian injeksi kortikosteroid lokal, dari penelitian-penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan sampai dengan 24% menyatakan gejala hilang dalam 3
bulan dan bebas gejala sampai 2 tahun, dan yang menyatakan adanya perbaikan
klinis mencapai 67%.

22

KEPUSTAKAAN

1. LeBlanc KE, Cestia W, Carpal Tunnel Syndrome, American Academy of


Family Physicians, 2011
2. Sesto ME, Radwin RG, Salvi FJ, Functional Deficits in Carpal Tunnel
Syndrome, American Journal of Industrial Medicine 44: 133-140, 2003
3. Alfonso C, Jann S, Massa R, Torreggiani A, Diagnosis, Treatment And FollowUp Of The Carpal Tunnel Syndrome, Neurol Sci 10, Springer-Verlag, 2010
4. Luchetti R, Amadio P (eds), Carpal Tunnel Syndrome , Springer-Verlag
Berlin, 2007
5. Jablecki CK, Andary MT, Floeter MK, Electrodiagnostic Studies In Carpal
Tunnel Syndrome, AAN Neurology 2002,58:1589-1592
6. Wang L, Electrodiagnosis of Carpal Tunnel Syndrome, Phys Med Rehabil
Clin N Am 24 : pp 67-77, 2013
7. American Academy of Orthopaedic Surgeons, Clinical Practice Guidelines
on the Treatment of Carpal Tunnel Syndrome, AAOS, Rosemont, 2008
8. Wysocki RW, Biswas D, Bayne CO, Injection Therapy in the Management of
Musculoskeletal injuries : Hand and Wrist, Oper Tech Sports Med 20:132141, Elsevier Inc. 2012
9. McKeon JM, Yancosek KE, Neural Gliding Techniques for the Treatment of
Carpal Tunnel Syndrome, Journal of Sport Rehabilitation 17:324-341,
Human Kinetics Inc. 2008
10.Shi Q, MacDermid JC, Is Surgical Intervention More Effective Than Nonsurgical Treatment for Carpal Tunnel Syndrome?, Journal of Orthopedic
Surgery and Research 6:17-26, BioMed Central,2011

23

Anda mungkin juga menyukai