Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tarsal tunnel syndrome merupakan sebuah keadaan yang disebabkan karena
adanya kompresi pada nervus tibialis atau yang berhubungan dengan
percabangannya yang melewati bagian bawah dari flexor retinaculum pada
pergelangan kaki atau di bagian distalnya. Tarsal tunnel syndrome dapat disamakan
dengan carpal tunnel syndrome yaitu yang terjadi pada pergelangan tangan. Pada
tahun 1962, Keck dan Lam pertama kali mendiskripsikan syndrome ini dan
terapinya. Tarsal tunnel syndrome disebabkan oleh beraneka segi kompresi yang
menimbulkan neuropathy dengan bermanifestasi sebagai rasa nyeri dan paresthesi
yang meluas dari bagian distal dalam pergelangan kaki dan terkadang sampai
dengan bagian proximal.1
Dalam menegakkan tanda-tanda dan gejala dari tarsal tunnel syndrome,
maka hal ini didasarkan dari berbagai macam penyebab, yang dikelompok-
kelompokkan berdasarkan ekstrinsik dan intrinsik atau faktor-faktor ketegangan.
Sebab-sebab ekstrinsik dapat menyebabkan terjadinya tarsal tunnel syndrome.
Sebagai contoh trauma eksternal yang dapat disebabkan karena crush injury, stretch
injury, fraktur, dislokasi dari ankle dan hindfoot, dan severe ankle sprains.
Penyebab lokal misalnya penyebab intrinsik seperti neuropathy. Contoh termasuk
space-occupying masses, tumor-tumor lokal, bony prominences, dan pleksus dari
vena pada tarsal canal. Nerve tension disebabkan dari valgus foot yang identik
dengan gejala terkompresinya saraf circumferential.1.2
Tarsal tunnel syndrome keluhan berupa kesemutan dan atau mati rasa
disekitar pergelangan kaki dan pada permukaan punggung kaki hingga kearah jari-
jari kaki. Tindakan konservatif pada awal terapi dari tarsal tunnel neuropathy
termasuk penggunaan lokal anestesi dan steroid dapat mengurangi nyeri, namun
apabila konservatif terapi dinyatakan gagal dalam mengurangi gejala-gejala pada
pasien, maka intervensi operasi dapatlah diperhitungkan, sehingga pada akhirnya
tindakan dekompresi dapat memberikan hasil yang memuaskan. 3.4.5

1
Di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang kasus Tarsal tunnel syndrome
merupakan salah satu kasus yang sering ditemukan. Sebagai dokter umum, kasus
ini masuk ke dalam SKDI 3A yang artinya dokter umum harus mengetahui
bagaimana cara mendiagnosis penyakit dan melakukan penatalaksanaan awal
sebelum merujuk ke fasilitas kesehatan lanjutan. Berdasarkan penjabaran diatas
maka penulis membahas penyakit ini untuk dijadikan referat.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tarsal Tunnel Syndrome (TTS) atau biasa disebut Sindrom Terowongan
Tarsal/ Sindrom Kanal Tarsal merupakan kompresi neuropathy dan kondisi kaki
yang menjadi nyeri akibat terjadinya penekanan pada nervus tibia yang mana
melewati terowongan tarsal. Kanal tarsal terbentuk dari tulang talus dan calcaneus
pada dinding medial dan tulang tibia pada dinding medial bagian distal dan flexor
retinaculum diluarnya. Kanal tarsal ini terletak pada sepanjang betis bagian dalam
dibelakang malleolus medial. Rangkaian yang berada didalamnya yaitu arteri tibia
posterior, nervus tibia, tendon tibia posterior, flexor longus digitorium, flexor longus
halluces melewati rangkaian dari terowongan tarsal. Pada flexor retinaculum
memiliki keterbatasan untuk meregang,sehingga pada peningkatan tekanan akan
menyebabkan nervus yang berada dalam terowongan tarsal tertekan (terkompresi).1
Tarsal Tunnel syndrome dapat menyebabkan mati rasa pada kaki, nyeri, rasa
terbakar, rasa tersengat listrik dan kesemutan pada telapak kaki dan tumit. Dan pada
beberapa kondisi dapat menyebabkan tendon pada kaki menjadi bengkak dan sangat
nyeri. Sindrom ini sering terjadi pada atlit atau orang yang sering berolahraga, akibat
tekanan pada terowongan tarsal seperti pada para pemain tennis. Namun tarsal tunnel
syndrome juga dapat disebabkan karena adanya ganglion, trauma, varises vena,
neurinoma, hipertrofi dari flexor retinaculum dan beberapa terjadi tanpa diketahui
penyebabnya (idiopatik).2

2.2. Anatomi
Nervus tibialis berasal dari bagian anterior dari plexus sacralis yang keluar
melalui region posterior dari paha dan kaki, dan cabang-cabangnya masuk kedalam
bagian medial dan lateral dari nevus plantaris. Inervasi dari nervus tibialis ke kulit
adalah menuju bagian betis dan permukaan plantar dari kaki. Inervasi nervus tibialis

3
ke otot terdapat paling banyak ke daerah posterior dari paha dan otot-otot kaki dan
beberapa pada otot-otot intrinsik dari kaki.3.4
Struktur dari tarsal tunnel pada kaki terdapat di antara tulang-tulang kaki dan
jaringan fibrosa. Flexor retinaculum (ligament laciniate) merupakan atap dari tarsal
tunnel dan terdiri dari fascia yang dalam dan deep transversa dari angkle. Bagian
batas proximal dan inferior dari tunnel berbatasan dengan bagian inferior dan
superior flexor retinaculum. Batas bawah dari tunnel berhubungan dengan bagian
superior dari tulang calcaneus, bagian medial dari talus dan distal-medial dari tibia.
Sisanya dari fibroosseus kanal membentuk dari tibiocalcaneal tunnel. Tendon dari
flexor hallucis longus muscle, flexor digitorum longus muscle, tibialis posterior
muscle, posterior tibial nerve, dan posterior tibial artery melewati dari tarsal tunnel.3.4
Bagian posterior dari saraf tibia berada diantara otot tibialis posterior dan otot
flexor digitorum longus pada region proximal dari kaki dan melewati antara otot
flexor digitorum longus dan flexor hallucis longus pada bagian distal dari region dari
kaki. Saraf tibia melewati bagian belakang dari medial malleolus dan melewati tarsal
tunnel dan kemudian membagi menjadi bercabang-cabang ke dalam cutaneus
articular dan cabang-cabang vascular. Persarafan utama dari saraf tibialis posterior
mempersarafi calcaneal, medial plantar, dan cabang-cabang saraf dari lateral plantar.
Saraf medial plantar superior mempersarafi otot abductor hallucis longus dan bagian
lateralnya terbagi menjadi 3 bagian yaitu saraf medial dari kaki, dan saraf medial
plantar cutaneous dari hallux. Saraf lateral plantar berjalan langsung melalui bagian
tengah dari otot abductor hallucis, di mana kemudian membagi ke dalam
percabangan- percabangan.3.4
Inervasi dari percabangan dari saraf tibialis posterior:
 Percabangan calcaneal - Aspek medial dan posterior dari tumit
 Percabangan media plantar – percabangan cutaneous dari aspek plantar medial
dari kaki, percabangan motorik dari otot abductor hallucis dan flexor digitorum
brevis, dan percabangan talonavicular dan calcaneonavicular joints.
 Percabangan lateral plantar – percabangan motorik dari otot abductor digiti quinti
dan kkkiquadrates plantae, saraf cutaneos ke jari ke V, percabangan-percabangan
tersebut berhubungan ke saraf bagian jari IV, percabangan motorik ke lumbricalis:

4
kedua, ketiga, dan keempat dari percabangan interosei ke bagian atas dari
transversa dari adductor hallucis dan otot pertama dari interosseous space.3.4

2.3. Epidemiologi
Sejauh ini tidak ada penelitian yang menunjukkan hubungan statistik untuk
tarsal tunnel syndrome dengan kondisi kerja atau aktivitas kehidupan sehari-hari.
Prevalensi dan kejadian tarsal tunnel syndrome belum dilaporkan. Namun, untuk
jumlah insiden yang tepat belum diketahui. Pada wanita insiden terjadinya tarsal
tunnel syndrome lebih tinggi dibandingkan dengan pria.5

2.4. Etiologi
Beberapa faktor dapat berkontribusi pada perkembangan Tarsal tunnel
syndrome, seperti adanya massa jaringan lunak yang berkontribusi pada kompresi
neuropati saraf tibialis posterior. Contoh-contoh massa tersebut meliputi lipoma,
tendon selubung ganglia, neoplasma di dalam kanal tarsal, selubung saraf dan tumor
saraf, pelebaran Pembuluh Darah.
Tulang menonjol dan eksostosis juga dapat berkontribusi terhadap gangguan
ini. Sebuah studi oleh Daniels et al menunjukkan bahwa kelainan valgus rearfoot
dapat berkontribusi pada neuropati dengan meningkatkan beban tarik pada saraf
tibialis. Penyebab pada tarsal tunnel syndrome dapat di identifikasi pada 60%-80%
kasus, yang mana penyebab utama terbanyak yaitu trauma (17%), varicosities (13%),
heel varus (11%), fibrosis (9%), dan heel valgus (8%).6

2.5. Patofisiologi
Saraf tibia posterior melewati terowongan tarsal, yang mana dibentuk oleh 3
struktur sustentaculum tali, medial calcaneius, dan medial malleolus dan dilapisi oleh
ligament laciniate. Penekanan pada saraf posterior tibia akan menyebabkan
penurunan aliran darah dan iskemik. Pada penekanan yang kronik akan
menyebabkan rusaknya endoneurial mikrovaskular sehingga menyebabkan edema,
fibrosis dan demyelinisasi. Hal-hal berikut yang akan menyebabkan munculnya

5
gejala-gejala. Penyebab penekanan dapat dibedakan dalam 3 kategori yaitu trauma,
lesi space occupying dan deformitas.5
 Penyebab utama tersering :
1. Trauma, seperti fraktur dispalaced, sprains ligament deltoid atau tenosynovitis
2. Varicosities
3. Kaki varus atau valgus
4. Fibrosis dari perineurium
 Penyebab lain , antara lain :
1. Osseous prominences
2. Ganglia
3. Lipoma
4. Neurolemmoma
5. Inflammatory synovitis
6. Pigmented villonodular synovitis
7. Tarsal coalition
8. Accessory musculature
Pada penderita dengan penyakit sistemik seperti diabetes, akan terjadi
penekanan yang kedua kali di sepanjang saraf yang berada pada tempat yang sama
sehingga menyebabkan penyempitan dengan kerusakan saraf proksimal sebelumnya.
Penekanan pada terowongan tarsal akan dapat menyebabkan gangguan sensoris dan
akan menyebabkan kembalinya sensasi protektif pada neuropati diabetic perifer pada
saraf yang terjepit di terowongan tarsal.5.7
Terdapat pula fenomena Double-crush yang diterbitkan oleh Upton dan
McComas pada tahun 1973. Hipotesis di balik fenomena ini dapat dinyatakan
sebagai kerusakan lokal pada saraf di satu situs sepanjang perjalanan mengganggu
fungsi keseluruhan sel-sel saraf (aksonal flow), sehingga sel-sel saraf menjadi lebih
rentan terhadap trauma kompresi di distal daripada yang biasanya terjadi. Saraf
bertanggung jawab untuk mentransmisikan sinyal aferen dan eferen sepanjang dan
juga bertanggung jawab untuk memindahkan nutrisi yang sangat penting untuk
fungsi optimal. Pergerakan nutrisi intraseluler ini dicapai melalui sitoplasma di
dalam sel saraf yang disebut axoplasma (merujuk pada sitoplasma akson).

6
Axoplasma bergerak bebas di sepanjang saraf. Jika aliran aksoplasma (yaitu, aliran
aksoplasma) tersumbat, jaringan saraf yang distal ke tempat kompresi terhenti secara
nutrisi dan lebih rentan terhadap cedera.5.7
Upton dan McComas lebih lanjut mengatakan bahwa sebagian besar (75%)
dari pasien dengan satu lesi saraf perifer, pada kenyataannya, memiliki lesi kedua di
tempat lain. Para penulis menyiratkan bahwa kedua lesi berkontribusi pada gejala
pasien. Lesi ini awalnya dipelajari dalam kasus cedera pleksus brakialis dengan
peningkatan insiden neuropati terowongan karpal. Contoh analog dari fenomena
double-crush di kaki adalah kompresi akar saraf S1, menghasilkan kemungkinan
peningkatan neuropati kompresi di saluran tarsal.6

2.6. Faktor Resiko


Faktor resiko dari tarsal tunnel syndrome yaitu traksi atau penarikan pada
bundle neurovaskular melalui septa fibrosa dari retinaculum fleksor yang mana
melekat pada bundle, vaskularisasi letak tinggi pada terowongan tarsal lebih rentan
terhadap efek cedera local vascular, dan penyakit local dari lipoma, ganglion cyst ,
fraktur, tenosynovitis dan atrofi synovial. Dalam beberapa kasus, tarsal tunnel
syndrome juga berhubungan dengan pekerjaam dan aktivitas , khususnya yang
berkaitan dengan titik tumpu pada kaki dan pergelangan kaki, seperti jogging atau
dansa. Dan ada beberepa factor resiko lain seperti penyakut diabetes, Inflamasi
sistemik arthritis, obesitas, varicosities, tumit varus atau valgus.8

2.7. Diagnosis
Tarsal tunnel syndrome keluhan berupa kesemutan dan atau mati rasa disekitar
pergelangan kaki dan pada permukaan punggung kaki hingga kearah jari-jari kaki.
Hal ini disebabkan oleh meregangnya atau tertekanya nervus tibia posterior pada
terowongan tarsal. Nyeri dapat terasa seperti terbakar atau nyeri tumpul, tetapi di
ekspresikan sebagai kram. Nyeri dirasakan memberat ketika sedang beraktifitas dan
berdiri. Namun, nyeri akan hilang, ketika beristirahat. Gejala terkadang muncul
akibat trauma langsung atau berhubungan dengan tergelincirnya innervasi pada
pergelangan kaki (keseleo). Tetapi lebih sering akibat, overuse atau penggunaan
yang berlebihan seperti terlalu lama berdiri , berjalan atau berolahraga. Gejala jarang

7
bersifat menyebar. Gambaran klinik dari tarsal tunnel syndrome sangat bervariasi.
Sebanyak 43% kasud didapatkan nyeri memberat pada malam hari.
a. Diagnosis Klinis
Dalam mendiagnosa tarsal tunnel syndrome perlu didapatkan gejala- gejala
seperti, nyeri pada pergelangan kaki, nyeri pada tumit, mati rasa di brkapagian distal,
dan nyeri pada seluruh kaki atau pergelangan kaki yang biasa membangunkan pasien
saat malam hari. Sifat nyeri yang dirasakan dapat berupa rasa terbakar atau nyeri
tumpul yang biasa di keluhkan sebagai rasa kram, berdenyut-denyut dan biasa
menjalar hingga ke betis bagian medial. Gejala terkadang muncul akibat berdiri yang
terlalu lama, berjalan dan memberat saat malam hari tetapi lokasi dari nyeri tidak
terlokalisasi. Pada tarsal tunnel syndrome perlu dilakukan pemeriksaan fisis untuk
memastikan, yaitu dengan tinel sign, dorsofleksi-eversion test dan penilaian
gangguan sensoris. Pada tinel sign dilakukan dengan cara perkusi nervus tibia
posterior yang terletak pada pergelangan kaki bagian medial dan kaki dalam posisi
dorsofleksi. Tinel sign positif jika terdapat nyeri atau rasa kesemutan pada telapak
kaki dalam waktu 5-10 detik. Pada pemeriksaan dorsofleksi- eversion test kaki
berada pada posisi dorsofleksi dan eversi sehingga terjadi pemanjang pada
metatarsophalangeal sendi (MTP), apabila postifi akan terasa nyeri pada bagian
tumit. Dan untuk pemeriksaan sensoris, dapat dilakukan dengan memberikan
rangsangan sentuhan ringan, atau dengan menggunakan tusukan peniti, yang mana
pasien akan merasakan hiperalgesia atau hipoatheisa pada area nervus plantar medial
dan pada area nervus plantar lateral jarang ditemukan atau pada seluruh telapak
kaki.5.7
b. Diagnosis Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan Electromyography (EMG) dan nerve conduction velocity
(NCV) .
Berguna untuk mengevaluasi penyebab dari tarsal tunnel syndrome dan
untuk memastikan adanya neuropathy. Sebagai tambahan, dapat
membedakan dari tipe-tipe dari jaringan saraf (sensorik, motorik atau
keduanya) dan patofisiologi (aksonal vs demyelinating dan simetrik vs

8
asimetrik) dari pemeriksaan EMG dan/atau NCV. Psikiater atau neurolog
yang telah cukup berpengalaman dalam pemeriksaan ekstremitas dengan
menggunakan pemeriksaan EMG dan NCV akan lebih mendapatkan hasil
yang baik pada pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan EMG menunjukkan
fungsi dari saraf tibialis posterior bagian distal sampai ke otot dari abductor
hallucis atau abductor digiti quinti. Pemeriksaan ini juga dapat disertai
dengan adanya penurunan amplitude dari fungsi motorik atau hilangnya
respons dari otot-otot yang diperiksa. Awalnya pada pemeriksaan sensibilitas
bagian medial dan/atau lateral plantar di mana aksi potensial akan
terpengaruhi dengan pemanjangan dari masa laten, lambatnya velocity, dan
penurunan amplitude. 10.11.12
Aksi potensial dari sensorik dapat tidak terdeteksi pada beberapa kasus
yang lebih berat seperti tarsal tunnel syndrome, pemeriksaan dengan jarum
(needle) pada otot abductor hallucis dan/atau abductor digiiti quinti dapat
menunjukkan adanya denervation dan perubahan-perubahan aktif dan/atau
kronis. Untuk memastikan hasil penemuan- penemuan tersebut bukanlah
suatu lesi pada cabang dari S1, otot dari tibialis posterior ke bawah dari tarsal
tunnel (posterior tibialis) atau otot-otot lainnya dari bagian otot dari tibialis
posterior (extensor digitorum brevis) harus dilakukan pemeriksaan
pembandingnya. Otot-otot dari lumbosacral paraspinal haruslah sensitif
terhadap pemeriksaan EMG dan NCV. 10.11.12
 Pemanjangan dari masa laten dari bagian distal motorik:
Terminal latensi dari otot abductor digiti quinti (saraf lateral plantar) yang
lebih dari 7 ms adalah abnormal.
 Terminal latensi dari otot abductor hallucis (saraf medial plantar) lebih
dari 6,2 ms adalah abnormal.
 Adanya fibrilasi dari otot abductor hallucis juga dapat ditemukan.
Pemeriksaan ulang dari EMG seharusnya dilakukan dalam waktu 6
bulan setelah tindakan operasi yang biasanya memberikan hasil yang baik
setelah penderita menjalani tindakan dekompresi. Penurunan fungsi dapat
ditemukan pada distal latensi, hasil dari pemeriksaan NCV dapatlah normal

9
pada pasien-pasien dengan small fiber neurophaties. Sebagai tambahan,
respons dari lower-extremity sensory dapat tidak didapatkan pada pasien-
pasien berusia tua. Terlebih lagi pemeriksaan elektrodiagnostik haruslah
tidak boleh digantikan untuk suatu pemeriksaan secara klinis yang baik.10.11.12
Pada pemeriksaan diabetes mellitus pada bagian distal, sensorik
simetris dan motor polyneuropathy. Ini merupakan aksonal neuropathy yang
mengalami degenerasi pada akson bagian distal. Pada penderita diabetes juga
didapatkan neuropathy juga sama halnya dengan microangiopathy, dimana
memberikan hasil pada bagian proximal, asymmetric mononeuropathy
(primarily motor nerves). Evaluasi permulaannya harus termasuk
pemeriksaan urinalisis dan pemeriksaan dari tingkat serum glukosa,
hemoglobin A1C (HbA1C/HgA1C), blood urea nitrogen (BUN), creatinine,
complete blood cell count(CBC), erythrocyte sedimentation rate (ESR), dan
kadar dari vitamin B12. 10.11.12
Artritis dihubungkan dengan Reiter syndrome yang khususnya
mempunyai efek ke lutut, angkle, dan kaki, menimbulkan rasa nyeri dan
bengkak pada pergelangan, jari-jari dan persendian lainnya yang terkena.
Pasien-pasien dengan Reiter syndrome umumnya mengalami proses
inflamasi di mana tendon akan menyerang ke dalam tulang, kondisi ini yang
dinamakan enthesopathy. Enthesopathy menghasilkan rasa nyeri dan
pemendekan dan penapisan dari jari-jari kaki. Beberapa pasien yang
menderita Reiter syndrome juga didapatkan heel spurs yang dihubungkan
dengan chronic or long-lasting foot pain. Laki- laki yang berusia antara 20-
40 tahun merupakan yang tersering terkena Reiter syndrome. Merupakan
arthritis yang sering terdapat pada laki-laki muda, pada laki-laki di bawah 50
tahun, sekitar 3,5 dari 100.000 menderita Reiter syndrome setiap
tahunnya.10.11.12
Tepatnya 3% dari semua laki-laki dengan sexual transmitted disease
akan menderita Reiter syndrome. Wanita juga dapat terkena gejala ini,
walaupun hanya sedikit dibandingkan laki-laki, dengan gejala yang lebih
ringan dan lebih tidak terdeteksi. Sekitar 80% akan mengenai pasien-pasien

10
dengan human leukocyte antigen (HLA) – B27 yang positif. Hanya 6%
orang-orang yang tidak terkena dari Reiter syndrome dengan gen HLA-B27
yang mendasari kondisi dari sistemik arthritis, ESR, rheumatoid factor (RF),
dan antinuclear antibody (ANA) yang didapatkan. Khususnya pasien-pasien
dengan rheumatic disease, termasuk Reiter syndrome didapatkan peningkatan
dari ESR. Meskipun pada Reiter syndrome hasil dari RF dan pemeriksaan
ANA adalah negatif, meskipun demikian HLA- B27 dapatlah berguna dalam
membedakan apakah suatu seronegative arthopahty dari arthritis yang
lainnya. 10.11.12
Generalized amyloidosis dapat menimbulkan peripheral neuropathy
bersamaan dengan atrophy dari jaringan saraf. Central nervous system tidak
terpengaruhi kecuali pada area dengan kurangnya blood-brain barrier, seperti
choroid plexus dan kelenjar pineal. Pada beberapa kasus, biopsi dapat
membantu untuk mendiagnosis suatu leprosy, amyloid neuropati, sarcoidosis,
dan leukodystrophies. 10.11.12

2. Pemeriksaan Imaging
Magnetic resonance imaging (MRI) dan ultrasonography dapat cukup
membantu yang berhubungan dengan kasus soft-tissue masses dan space-
occupying lesion lainnya pada tarsal tunnel. Sebagai tambahan, MRI berguna
dalam menilai suatu flexor tenosynovitis dan unossified subtalar joint
coalitions.
Plain radiography juga berguna untuk mengevaluasi pasien-pasien
dengan dasar kelainan struktur dari kaki, fraktur, bony masses, osteophytes,
dan subtalar joint coalition. 10.11.12

3. Pemeriksaan Histologi
Dihubungkan dengan neuroma pada kebanyakan kasus di masyarakat,
jaringan saraf merupakan yang paling intak dari perineural sheath. Hasil ini
merupakan hasil dari chronic nerve compression dan irritation, yang dapat
menyebabkan pembengkakan pada saraf. Proliferasi dari jaringan fibrous

11
menimbulkan kompresi pada saraf, walaupun dapat menimbulkan
dekompresi dan jaringan fibrous tersebut harus dihilangkan. Kista ganglion
dapat menyebabkan peripheral neuropathies seperti biasanya, tetapi ketika
dikombinasikan hal itu bukanlah suatu etiologi yang sering. Sumber dan
penyebab dari kista ganglion tetap tidak dapat dijelaskan, satu teori
mengatakan bahwa fibrillar degeneration dari kolagen dengan akumulasi dari
intraselular dan extraselular mucin. Jika dilakukan tindakan operasi maka lesi
ini harus dihilangkan secara in toto karena dapat menimbulkan nerve
decompression.10.11.12

2.8. Tatalaksana
Penatalaksanaan dari tarsal tunnel syndrome dapat dengan memberikan
suntikan lokal steroid ke dalam tarsal canal. Tindakan konservatif yang dapat
diterima pada awal terapi dari tarsal tunnel neuropathy termasuk penggunaan lokal
anestesi dan steroid, dimana dapat mengurangi nyeri. Terapi ini dapat
menghilangkan gejala, tetapi harus diberikan secara bijaksana, karena dapat
menyebabkan kerusakan pada saraf sebagai akibat dari jarum suntikan tersebut.
Physical therapy juga berguna dalam mengurangi local soft-tissue edema, karena
dapat menimbulkan tekanan pada kompartemen tersebut.10.13
Juga pada pasien dengan gejala kontraktur pada otot gastrocnemius dari triceps
surae, stretching exercises berguna untuk meningktakan fleksibilitas dari
gastrocnemius. Pada beberapa kasus tertentu dimana pasien dengan tipe kaki pes
planovalgus, diperlukan suatu desain kaki orthosis untuk mengurangi ketegangan
dari nervus tibialis dengan mengurangi beban pada medial column. Hal ini terbukti
dengan memberikan medial longitudinal posting dengan orthosis pada kedua
hindfoot dan forefoot. Penggunaan night splints pada kaki dengan plantar valgus
foot. Penggunaan dalam jangka panjang akan meningkatkan efektivitas, dimana hal
ini terbukti pada penelitian-penelitian saat ini, tetapi hal ini sering kali hanya
digunakan pada clinical practice. 10.13

12
a. Terapi operasi
Ketika konservatif terapi dinyatakan gagal dalam mengurangi gejala-gejala
pada pasien, maka intervensi operasi dapatlah diperhitungkan. Space-occupaying
masses harusnya dihilangkan. Beberapa didapatkan adanya neurilemoma pada saraf
tibial, dimana hal ini juga harus dihilangkan. Pengetahuan yang cukup akan
anatomi haruslah dibutuhkan sebelum dilakukan tindakan pembebasan tersebut
yang nantinya akan mempunyaiefek terhadap saraf tersebut.11 External neurolysis
pada saraf dapatlah dibutuhkan jika tindakan operasi eksplorasi didapatkan adanya
pelekatan atau adanya jaringan parut yang dapat menyebabkan mengenai jaringan
saraf. Terlebih lagi apabila jaringan parut atau entrapment encapsulates mengenai
dari jaringan saraf, maka tindakan external neurolysis dengan membebaskan dari
epineurium dapatlah dipertimbangkan. 10.13
b. Tindakan preoperasi
Pasien dalam keadaan terlentang atau posisi terlentang miring untuk
memfasilitasi bagian medial lapangan operasi. Penggunaan pneumatic tourniquet
sangatlah dibutuhkan. 10.13
c. Tindakan Intraoperasi
Insisi berbentuk kurva haruslah 1 cm posterior dari tibia distal dan menuju
kearah plantar, sejajar dengan terowongan dan malleolus dan masuk kedalam
sustentaculum tali. Retinaculum haruslah dapat di identifikasi dan secara hati-hati
dilepaskan seluruhnya. Saraf tibialis posterior harus dapat diketahui, dilihat, dan
jangan diganggu sepanjang tindakan operasi sampai mencapai bifurcation dari
porta pedis. Dalam tindakan operasi tersebut harus dilakukan secara teliti untuk
menghindari terpotongnnya dari small calcaneal branches ini sering sekali
dikelilingi oleh jaringan lemak dan sangatlah sulit terlihat. Cabang dari medial
plantar dari saraf tibialis posterior harus dapat diidentifikasi sepanjang batas dari
sarung flexor hallucis longus. Cabang lateral harus pula diikuti sepanjang abductor
hallucis. Beberapa ikatan jaringan ikat juga dikatakan dapat menimbulkan
penarikan dari saraf dan harus secara hati-hati dibebaskan. 10.13
Setelah proses pembebasan tersebut semua cabang-cabang dari saraf tibial
haruslah terbebas dari semua permukaan yang menutupinya. Tourniquet haruslah

13
digunakan untuk mengobservasi dan mengontrol perdarahan. Lapisan penutup
harus digunakan, termasuk permukaan subdermal tetapi bukan flexor retinaculum.
Pada proses pelepasan dari tarsal tunnel, permukaan penutup dari lluka operasi
haruslah dilakukan dengan hati-hati dari extensor retinaculum, karena merupakan
penyebab terbanyak yang menimbulkan entrapment neuropathy. 10.13
d. Tindakan Post-operatif
Suatu kompresi ringan dan immobilisasi awal haruslah dilakukan pada area
yang dioperasi dengan menggunakan splint selama 3 minggu tanpa pemberat.
Setelah splint dibuka, pasien dapat menggerakkan sendinya dan kembali ke
aktivitas semula. 10.13
e. Kontraindikasi
Tindakan operasi dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat kesehatan
yang belum stabil untuk dilakukan tindakan operasi. Sebelumnya pasien-pasien
harus dilakukan pemeriksaan kesehatan sebelumnya apabila mereka akan dilakukan
tindakan operasi. Pada beberapa kondisi dengan gejala yang mirip atau bersamaan
dengan tarsal tunnel neuropathy. Tindakan operasi harus dilakukan secara akurat
pada kondisi yang mirip seperti tarsal tunnel syndrome tetapi dikatakan tidak
terbukti memberikan hasil yang baik setelah dilakuakn tindakan surgical
decompression. Diferensial diagnose dari tarsal tunnel syndrome dapat termasuk
adalah fasitis plantaris, stress fracture dari hindfoot, yang paling sering adalah
calcaneus, herniated spinal disk, peripheral neurophaties seperti yang disebabkan
karena diabetes atau alcohol, dan inflammatory arthritidies seperti Reiter syndrome
atau rheumatoid arthritis. 10.13
f. Follow-up
Pasien haruslah tidak menggunakan beban selama 3 minggu, yang berguna
untuk penyembuhan yang baik. Mobilisasi awal harus dimulai untuk mengurangi
formasi dari jaringan parut, di mana hal tersebut akan nantinya menimbulkan
compression neuropathy. Penggunaan sepatu operasi berguna untuk mengurangi
tekanan pada tempat operasi. Fisioterapi juga cukup membantu pasien dalam
meningkatkan kekuatan otot dan gerakan dan untuk mengurangi timbulnya kembali
nyeri. Setelah jahitan dibuka, pasien diperbolehkan menggunakan sepatu yang

14
ringan, tindakan penggunaan sepatu yang berat dapat menyebabkan tekanan atau
iritasi pada bekas operasi. Pada pasien-pasien dengan planus foot type, penggunaan
orthosis harus dipertimbangkan untuk menstabilkan medial column. 10.13

2.9. Komplikasi
Karena dari segi anatomi mempunyai efek pada area tersebut, maka beberapa
komplikasi dari tindakan dekompresi setelah dilakukan tindakan operasi akan
muncul kemudian. Kebanyakan dari semua komplikasi tersebut dapat diminimalkan
dengan diseksi yang teliti dan hati-hati dengan memperhatikan anatominya. Laserasi
dari saraf atau arteri posterior dapat secara signifikan mempunyai efek langsung yang
mengganggu fungsi kaki. Kegagalan dari pelepasan retinaculum sepanjang
perjalanan saraf dapat menimbulkan hasil post operasi yang buruk. Hal ini
merupakan penyebab tersering dari gagalnya tindakan operasi. Akhirnya nantinya
dihubungkan dengan fasitis plantaris yang dapat menimbulkan nyeri persisten dari
region medial heel setelah dilakukan tindakan dekompresi. Pada sebuah kasus
penelitian oleh Kim dan Dellon memperlihatkan bahwa neuroma dari bagian distal
saraf saphenous dapat difikirkan sebagai penyebab dari nyeri yang terjadi terus-
menerus setelah tindakan operasi.10.13

2.10. Prognosis
Pada akhirnya tindakan dekompresi dapat memberikan hasil yang memuaskan.
Tandanya adalah dengan menurunnya rasa nyeri dan parestesi yang tampak, diikuti
dengan berkurangnya gejala. Resolusi komplet dari gejala-gejala tersebut sangatlah
jarang terjadi hal ini disebabkan karena banyaknya etiologi yang mendasari penyakit
ini dan juga karena area dari saraf yang rusak tidak dapat kembali normal.
Meningkatnya rasa nyeri setelah tindakan dekompresi sangatlah jarang terjadi.
Penelitian dari Mann memperlihatkan sekitar 75% pasien-pasien yang telah
dilakukan tindakan operasi dekompresi didapatkan nyeri yang cukup dirasakan, dan
25% didapatkan nyeri yang sedikit atau tidak ada sama sekali. Mann juga
menyatakan bahwa tindakan operasi explorasi dari tarsal canal release sangatlah
jarang menyebabkan nyeri yang hebat pada pasien.10.13

15
Gondring et al melakukan evaluasi prospektif dari 46 pasien berturut-turut (56
kaki) yang menjalani perawatan bedah dan non-operatif untuk penyakit ini dan
mendokumentasikan intensitas nyeri sebelum dan setelah perawatan dengan Skala
Penilaian Nyeri Wong-Baker FACES yang diterapkan pada daerah saraf anatomis
dari aspek plantar dari kaki. 6
Dalam studi ini, pasien yang telah melakukan pengobatan nonoperatif yang
secara signifikan intensitas rasa sakit berkurang secara keseluruhan di medial
calcaneal, medial plantar, dan daerah saraf plantar lateral. Pada pasien yang memiliki
gejala terus-menerus meskipun tanpa pengobatan, perawatan bedah, secara
signifikan rasa sakit berkurang di medial calcaneal dan medial plantar nervus medial
tetapi tidak di area lateral plantar nervus. Latensi konduksi saraf motorik
pretreatment secara signifikan lebih besar pada pasien yang diobati dengan
pembedahan dibandingkan pada mereka yang hanya memiliki pengobatan
nonoperatif. Para penulis menyimpulkan bahwa model penilaian intensitas nyeri
anatomi mungkin berguna dalam pretreatment dan evaluasi tindak lanjut dari tarsal
tunnel syndrome.6
Antoniadas dkk melakukan tinjauan literatur mengenai penyakit ini dan
menemukan bahwa diagnosis yang akurat membutuhkan pemeriksaan klinis,
neurologis, dan neurofisiologis yang tepat. Tingkat keberhasilan 44-91% dicapai
dengan pengobatan operatif. Hasilnya ditemukan lebih baik pada kasus idiopatik
daripada pada kasus pasca trauma, dan jika operasi gagal, operasi ulang hanya
diindikasikan pada pasien dengan pelepasan yang tidak adekuat.6

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Tarsal Tunnel Syndrome (TTS) merupakan kompresi neuropathy akibat
terjadinya penekanan pada nervus tibia yang mana melewati terowongan tarsal.
Nervus tibialis berasal dari bagian anterior dari plexus sacralis, struktur dari tarsal
tunnel pada kaki terdapat di antara tulang-tulang kaki dan jaringan fibrosa.
Insiden terjadinya tarsal tunnel syndrome lebih tinggi pada wanita
dibandingkan dengan pria, penyebab utama terbanyak yaitu trauma, varicosities, heel
varus, fibrosis, dan heel valgus. Faktor resiko yang berhubungan dengan pekerjaan
dan aktivitas seperti jogging atau dansa dan beberepa faktor resiko lain seperti
penyakit diabetes, Inflamasi sistemik arthritis, obesitas, varicosities, tumit varus atau
valgus.
Penekanan pada saraf posterior tibia menyebabkan penurunan aliran darah
sehingga muncul gejala kesemutan atau mati rasa disekitar pergelangan kaki dan
pada permukaan punggung kaki, rasa seperti terbakar atau nyeri tumpul memberat
ketika sedang beraktifitas. Diagnosis penunjang yang diperlukan yaitu pemeriksaan
Electromyography (EMG) , Nerve conduction velocity (NCV), ataupun Magnetic
resonance imaging (MRI). Penatalaksanaan dapat dengan memberikan suntikan
lokal steroid jika gagal dapat dilakukan intervensi operasi.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Omkar N.S, Singh Amarjot, “Analysis Of Tarsal Tunnel Syndrome Using


Imaging Correlation”, Ictac Journal and Video Processing, volume 04, November
2013.
2. Kohno M,Takashi H, Segawa H, Sano K, “Neovascular Decompresion for
Idiopathic Trasal Tunnel Syndrome”, J Neurol Neurosurg
Physiciatry,2000;69:87-90
3. Graaff, V.D. Tibial nerves. In:Human Anatomy. 6th ed. Newyork: McGraw-Hill.
2001
4. Feldman et al. Tarsal tunnel syndrome. In: Atlas of neuromuscular disease: A
practical guidline. New York: SpringwerWien. 2005
5. Hudes K, “Cinservative Managmenat of a Case of Tarsal Tunel Syndrome”, J Can
Chiropr Assoc (JCCA), 2010
6. Persich,G., Panchbavhi,V.K., Jurnal Tarsal Tunnel Syndrome. 2018.
https://emedicine.medscape.com/article/1236852-overview#a7
7. McKeag B.D, Moeller L.J, ACSM’s Primary Care Sports Medicine, American
College of Sports Medicine, Philladelpia 2007.
8. Hryhorczuk D, Lfrost, “Occupational Tarsal Tunnel Syndrome”, British Journal
of Industrial Medicine
9. Wulker N et al, Foot and Ankle Surgery, second edition, Taylor & Francis, United
Kingdom 2005
10. Persich,G. Tarsal Tunnel Syndrome. Available from: URL:
http://Bedah%20Saraf/Tarsal%20Tunnel%20Syndrome%20%20eMedicine%20
Orthopedic%20Surgery.htm.
11. Leis, A., Vicente, C. Tarsal tunnel syndrome, In: Atlas of electromyography
inextraspinalsciatica, Arch. Neurol,2000.63:1-8

18
12. William,S.P. Entrapment neurophaties and other focal neurophaties. In:
Jhonson’s Practical Electromyography. 4th ed. New York: Lippincott
Williams&Wilkins. 2007.
13. Antoniadis G, et al, “Posterior Tarsal Tunnel Syndrome : Diagnosa and
Treatment”, Dtsch Arztebl Int, 2008.

19

Anda mungkin juga menyukai