Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Entrapment neuropathy adalah suatu kelompok gangguan saraf perifer

yang ditandai oleh rasa sakit dan atau hilangnya fungsi motorik ataupun sensorik

akibat kompresi kronis. Salah satu jenis entrapment neuropathy yang sering

terjadi adalah mononeuropati, yakni lesi yang menyerang satu jenis saraf tepi.

Penyakit mononeuropati dengan angka kejadian paling tinggi adalah carpal tunnel

syndrome disusul oleh cubital tunnel syndrome namun bisa juga terjadi pada kaki,

sisi wajah, mata dan daerah saraf tepi lainnya. Salah satu penyakit yang paling

sering mengenai Nervus medianus adalah neuropati tekanan/jebakan (entrapment

neuropathy). Di pergelangan tangan nervus medianus berjalan melalui terowongan

karpal (carpal tunnel) dan menginnervasi kulit telapak tangan dan punggung

tangan di daerah ibu jari, telunjuk, jari tengah dan setengah sisi radial jari manis.

Pada saat berjalan melalui terowongan inilah nervus medianus paling sering

mengalami tekanan yang menyebabkan terjadinya neuropati tekanan yang dikenal

dengan istilah Sindroma Terowongan Karpal/STK (Carpal Tunnel

Syndrome/CTS).

Carpal Tunnel Syndrome (CTS) merupakan sindrom yang timbul akibat

N. Medianus tertekan di dalam Carpal Tunnel (terowongan karpal) di pergelangan

tangan, sewaktu nervus melewati terowongan tersebut dari lengan bawah ke

tangan. CTS merupakan salah satu penyakit yang dilaporkan oleh badan-badan

statistik perburuhan di negara maju sebagai penyakit yang sering dijumpai di

kalangan pekerja-pekerja industri1

1
Tingginya angka prevalensi yang diikuti tingginya biaya yang harus

dikeluarkan membuat permasalahan ini menjadi masalah besar dalam dunia

okupasi. Beberapa faktor diketahui menjadi risiko terhadap terjadinya CTS pada

pekerja, seperti gerakan berulang dengan kekuatan, tekanan pada otot, getaran,

suhu, postur kerja yang tidak ergonomik dan lain-lain 2. Angka kejadian Carpal

Tunnel Syndrome di Amerika Serikat telah diperkirakan sekitar 1-3 kasus per

1.000 orang setiap tahunnya dengan prevalensi sekitar 50 kasus dari 1.000 orang

pada populasi umum. National Health Interview Study (NIHS) memperkirakan

bahwa prevalensi CTS yang dilaporkan sendiri diantara populasi dewasa adalah

sebesar 1.55% (2,6 juta). CTS lebih sering mengenai wanita daripada pria dengan

usia berkisar 25 - 64 tahun, prevalensi tertinggi pada wanita usia > 55 tahun,

biasanya antara 40 – 60 tahun. Prevalensi CTS dalam populasi umum telah

diperkirakan 5% untuk wanita dan 0,6% untuk laki-laki CTS adalah jenis

neuropati jebakan yang paling sering ditemui. Sindroma tersebut unilateral pada

42% kasus ( 29% kanan,13% kiri ) dan 58% bilateral 3,4.

Di Indonesia, urutan prevalensi CTS dalam masalah kerja belum diketahui

karena sampai tahun 2001 masih sangat sedikit diagnosis penyakit akibat kerja

yang dilaporkan karena berbagai hal, antara lain sulitnya diagnosis. Penelitian

pada pekerjaan dengan risiko tinggi pada pergelangan tangan dan tangan

melaporkan prevalensi CTS antara 5,6% sampai dengan 15%. Penelitian Harsono

pada pekerja suatu perusahaan ban di Indonesia melaporkan prevalensi CTS pada

pekerja sebesar 12,7%. Silverstein dan peneliti lain melaporkan adanya hubungan

positif antara keluhan dan gejala CTS dengan faktor kecepatan menggunakan alat

dan faktor kekuatan melakukan gerakan pada tangan5.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Saraf Tepi

2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf Tepi

Sistem saraf tepi merupakan system saraf yang menghubungkan semua

bagian tubuh dengan sistem saraf pusat. Sistem saraf tepi terdiri atas reseptor

sensorik dan motorik. Reseptor sensorik terletak pada organ, bertugas mendeteksi

perubahan lingkungan luar atau dalam tubuh3.

Sistem saraf tepi terdiri dari system saraf sadar dan system saraf tidak

sadar. System saraf sadar adalah saraf yang mengatur gerakan yang dilakukan

secara sadar, dibawah kendali kesadaran kita. Sistem saraf sadar disusun oleh

serabut saraf otak (nervus kranialis), yaitu saraf yang keluar dari otak dan serabut

saraf sumsum tulang belakang (nervus spinalis) yaitu saraf yang keluar dari

sumsum tulang.

1) Saraf Kranial atau Nervus Kranialis

3
Terdapat 12 pasang syaraf cranial yaitu:

4
2) Saraf Spinal atau Nervus Spinalis

5
Sumsum tulang belakang adalah struktur yang paling penting antara tubuh

dan otak. Sumsum tulang belakang membentang dari foramen magnum dimana

kontinu dengan medulla ke tingkat pertama atau kedua vertebra lumbalis. Serabut

saraf sumsum tulang belakang (nervus spinalis) berjumlah 31 pasang serabut

gabungan (sensorik-motorik). Sistem saraf spinal (tulang belakang) berasal dari

arah dorsal, sehingga sifatnya sensorik. Adapun ke 31 saraf spinalis, yaitu:

1. Nervus hipoglossus

2. Nervus occipitalis minor

3. Nervus thoracicus

4. Nervus radialis

5. Nervus thoracicus longus

6. Nervus thoracodorsalis

6
7. Nervus axillaris

8. nervus subciavius

9. Nervus supcapularis

10. Nervus supracaplaris

11. Nervus phrenicus

12. Nervus intercostalis

13. Nervus intercostobrachialis

14. Nervus cutaneus bracii medialis

15. Nervus cutaneus antebracii medialis

16. Nervus ulnaris

17. Nervus medianus

18. Nervus musculocutaneous

19. Nervusdorsalis scapulae

20. Nervus transverses colli

21. Nervus nuricularis

22. Nervus subcostalis

23. Nervus iliochypogastricus

24. Nervus ilionaris

25. Nervus genitofemuralis

26. Nervus cutaneous femoris lateralis

27. Nervus femoralis

28. Nervus gluteus superior

29. Nervus ischiadicus

30. Nervus cutaneous femoris inferior

31. Nervus pudendus

7
2.1.2 Etiologi Neuropati Perifer

Berikut ini beberapa faktor yang bias menyebabkan terjadinya neuropati

perifer diantaranya:

1. Diabetes

2. Infeksi bakteri atau virus, misalnya HIV, cacar, difteri, kusta, dan

hepatitis C

3. Penyakit autoimun, seperti sindrom guillain barre, lupus, sindrom

sjogren, dan rheumatoid arthritis.

4. Faktor genetik

5. Kekurangan vitamin B1, B6, B12, dan vitamin E.

6. Gagal ginjal

7. Gangguan pembuluh darah

8. Kerusakan saraf misalnya akibat cedera atau efek samping operasi

2.1.3 Gejala Mononeuropati

1. Penglihatan ganda atau sulit focus, kadang disertai sakit pada mata

2. kelumpuhan pada salah satu sisi wajah pada Bell’s palsy

3. Nyeri tungkai

4. Jari tangan terasa lemah atau kesemutan pada carpal tunnel sindrom

2.1.4 Patofisiologi

Tekanan eksternal mengurangi aliran dalam pembuluh darah yang memasok

saraf dengan darah (vasa nervosum). Ini menyebabkan iskemia local, yang

memiliki efek langsung pada kemampuan akson saraf untuk mengirimkan potensi

8
aksi. Ketika kompresi menjadi parah dari waktu ke waktu, demielinasi fokal

terjadi, diikuti oleh kerusakan aksonal dan akhirnya jaringan parut.

2.1.5 Diagnosis

Pada awal pemeriksaan akan ditanyakan riwayat kesehatan dan gejala,

pemeriksaan fisik untuk mencari tahu penyebab dan tingkat keparahannya.

Sedangkan, untuk mengetahui apakah terdapat penekanan atau kerusakan pada

saraf, dapat dilakukan pencitraan seperti foto rontgen, CT scan dan MRI.

Sedangkan pemeriksaan yang dilakukan khusus untuk melihat fungsi saraf adalah:

1. Elektromiografi (EMG), tes ini berfungsi untuk mengukur fungsi saraf

2. Tes Velositi konduksi saraf, berfungsi untuk mengukur kecepatan

penghantar sinyal pada saraf

3. Biopsy saraf, pengambilan sampel jaringan saraf, untuk kemudian

diperiksa dibawah mikroskop yang berfungsi untuk memeriksa

kedalaman serat saraf pada kulit.

2.2 Carpal Tunnel Syndrom

2.2.1 Anatomi N. Medianus

Secara anatomis, canalis carpi (carpal tunnel) berada di dalam dasar

pergelangan tangan. Sembilan ruas tendon fleksor dan N. Medianus berjalan di

dalam canalis carpi yang dikelilingi dan dibentuk oleh tiga sisi dari tulang –

tulang carpal. Nervus dan tendon memberikan fungsi, sensibilitas dan pergerakan

pada jari – jari tangan. Jari tangan dan otot – otot fleksor pada pergelangan tangan

beserta tendon – tendonnya berorigo pada epicondilus medial pada regio cubiti

dan berinsersi pada tulang – tulang metaphalangeal, interphalangeal proksimal

9
dan interphalangeal distal yang membentuk jari tangan dan jempol. Canalis carpi

berukuran hampir sebesar ruas jari jempol dan terletak di bagian distal lekukan

dalam pergelangan tangan dan berlanjut ke bagian lengan bawah di regio cubiti

sekitar 3 cm. (6)

Pada terowongan carpal, N. Medianus mungkin bercabang menjadi

komponen radial dan ulnar. Komponen radial dari N. Medianus akan menjadi

cabang sensorik pada permukaan palmar jari-jari pertama dan kedua dan cabang

motorik m. abductor pollicis brevis, m. opponens pollicis, dan bagian atas dari m.

flexor pollicis brevis. Pada 33% dari individu, seluruh fleksor polisis brevis

menerima persarafan dari N. Medianus. Sebanyak 2% dari penduduk, m. policis

adduktor juga menerima persarafan N. Medianus. Komponen ulnaris dari N.

Medianus memberikan cabang sensorik ke permukaan jari kedua, ketiga, dan sisi

10
radial jari keempat. Selain itu, saraf median dapat mempersarafi permukaan dorsal

jari kedua, ketiga, dan keempat bagian distal sendi interphalangeal proksimal.(6)

Tertekan N. Medianus dapat disebabkan oleh berkurangnya ukuran canalis

carpi, membesarnya ukuran alat yang masuk di dalamnya (pembengkakan

jaringan lubrikasi pada tendon – tendon fleksor) atau keduanya. Gerakan fleksi

dengan sudut 90 derajat dapat mengecilkan ukuran canalis. Penekanan terhadap

N. Medianus yang menyebabkannya semakin masuk di dalam ligamentum carpi

transversum dapat menyebabkan atrofi eminensia thenar, kelemahan pada otot

fleksor pollicis brevis, otot opponens pollicis dan otot abductor pollicis brevis

yang diikuti dengan hilangnya kemampuan sensorik ligametum carpi transversum

yang dipersarafi oleh bagian distal N. Medianus. Cabang sensorik superfisial dari

N. Medianus yang mempercabangkan persarafan proksimal ligamentum carpi

transversum yang berlanjut mempersarafi bagian telapak tangan dan jari jempol

(6).

N. Medianus terdiri dari serat sensorik 94% dan hanya 6% serat motorik

pada terowongan karpal. Namun, cabang motorik menyajikan banyak variasi

anatomi, yang menciptakan variabilitas yang besar patologi dalam kasus Capal

Tunnel Syndrome (3).

11
Gambar 2.1 Struktur Anatomi N. Medianus

2.2.2 Definisi Carpal Tunnel Syndrome

Carpal Tunnel Syndrome merupakan neuropati tekanan atau cerutan

terhadap nervus medianus di dalam terowongan karpal pada pergelangan tangan,

tepatnya di bawah fleksor retinakulum. Dulu, sindroma ini juga disebut dengan

nama acroparesthesia, median thenar neuritis atau partial thenar atrophy Carpal

Tunnel Syndrome pertama kali dikenali sebagai suatu sindroma klinik oleh Sir

12
James Paget pada kasus stadium lanjut fraktur radius bagian distal. Carpal Tunnel

Syndrome spontan pertama kali dilaporkan oleh Pierre Marie dan C.Foix pada

tahun 1913. Istilah Carpal Tunnel Syndrome diperkenalkan oleh Moersch pada

tabun 1938 (7).

Menurut American Academy of Orthopaedic Surgeons Clinical Guideline,

Carpal Tunnel Syndrome adalah gejala neuropati kompresi dari N. medianus di

tingkat pergelangan tangan, ditandai dengan bukti peningkatan tekanan dalam

terowongan karpal dan penurunan fungsi saraf di tingkat itu. Carpal Tunnel

Syndrome dapat disebabkan oleh berbagai penyakit, kondisi dan peristiwa. Hal ini

ditandai dengan keluhan mati rasa, kesemutan, nyeri tangan dan lengan dan

disfungsi otot. Kelainan ini tidak dibatasi oleh usia, jenis kelamin, etnis, atau

pekerjaan dan disebabkan karena penyakit sistemik, faktor mekanis dan penyakit

local (8).

2.2.3 Epidemiologi dan faktor resiko Carpal Tunnel Syndrome

Carpal Tunnel syndrome adalah salah satu gangguan saraf yang umum

terjadi. Sebuah survei di California memperkirakan 515 dari 100.000

pasien mencari perhatian medis untuk carpal tunnel syndrome pada tahun 1988.

Di Belanda, prevalensinya dilaporkan 220 per 100.000 orang (6).

Angka kejadian Carpal Tunnel Syndrome di Amerika Serikat telah

diperkirakan sekitar 1-3 kasus per 1.000 orang setiap tahunnya dengan revalensi

sekitar 50 kasus dari 1.000 orang pada populasi umum. Orang tua setengah baya

13
lebih mungkin beresiko dibandingkan orang yang lebih muda, dan wanita tiga kali

lebih sering daripada pria. (3,9)

National Health Interview Study (NIHS) mencatat bahwa CTS lebih sering

mengenai wanita daripada pria dengan usia berkisar 25 - 64 tahun, prevalensi

tertinggi pada wanita usia > 55 tahun, biasanya antara 40 – 60 tahun. Prevalensi

CTS dalam populasi umum telah diperkirakan 5% untuk wanita dan 0,6% untuk

laki-laki. CTS adalah jenis neuropati jebakan yang paling sering ditemui.

Sindroma tersebut unilateral pada 42% kasus ( 29% kanan,13% kiri ) dan 58%

bilateral (5).

Perkembangan CTS berhubungan dengan usia. Phalen melaporkan jumlah

kasus meningkat untuk setiap dekade usia 59 tahun, setelah itu, jumlah kasus di

setiap dekade menurun. Atroshi et al. mengamati serupa distribusi usia dengan

prevalensi tertinggi CTS pada pria dari 45-54 tahun dan wanita usia 55-64. Lunak

dan Rudolfer menemukan bahwa kasus CTS memiliki distribusi usia dengan

puncak pada usia 50-54 (10).

Tana et al menyimpulkan bahwa dapat jumlah tenaga kerja dengan CTS di

beberapa perusahaan garmen di Jakarta sebanyak 20,3% responden dengan besar

gerakan biomekanik berulang sesaat yang tinggi pada tangan pergelangan tangan

kanan 74,1%, dan pada tangan kiri 65,5%. Pekerja perempuan dengan CTS lebih

tinggi secara bermakna dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Tidak terdapat

perbedaan antara peningkatan umur, pendidikan, masa kerja, jam kerja serta

tekanan biomekanik berulang sesaat terhadap peningkatan terjadinya CTS (2).

14
Jagga et al meneliti bahwa pekerjaan yang beresiko tinggi mengalami

Carpal Tunnel Syndrome adalah (1):

2.3 Pekerja yang terpapar getaran

2.4 Pekerja perakitan

2.5 Pengolahan makanan & buruh pabrik makanan beku

2.6 Pekerja Toko

2.7 Pekerja Industri

2.8 Pekerja tekstil

2.9 Pengguna komputer.

2.2.4 Etiologi Carpal Tunnel Syndrome

Kawasan sensorik N. Medianus bervariasi terutama pada permukaan volar.

Dan pola itu sesuai dengan variasi antara jari ketiga sampai jari keempat sisi

radial telapak tangan. Pada permukaan dorsum manus, kawasan sensorik N.

Medianus bervariasi antara dua sampai tiga palang distal jari kedua, ketiga dan

keempat. Di terowongan karpal N. Medianus sering terjepit. N. Medianus adalah

saraf yang paling sering mengalami cedera oleh trauma langsung, sering disertai

dengan luka di pergelangan tangan. Tekanan dari N. Median sehingga

menghasilkan rasa kesemutan yang menyakiti juga. Itulah parestesia atau

hipestesia dari “Carpal Tunnel Sydrome” (11).

Terdapat beberapa kunci co-morbiditas atau human factor yang berpotensi

meningkatkan risiko CTS. Pertimbangan utama meliputi usia lanjut, jenis kelamin

perempuan, dan adanya diabetes dan obesitas. Faktor risiko lain termasuk

15
kehamilan, pekerjaan yang spesifik, cedera karena gerakan berulang dan

kumulatif, sejarah keluarga yang kuat, gangguan medis tertentu seperti

hipotiroidisme, penyakit autoimun, penyakit rematologi, arthritis, penyakit ginjal,

trauma, predisposisi anatomi di pergelangan tangan dan tangan, penyakit menular,

dan penyalahgunaan zat. Orang yang terlibat dalam kerja manual di beberapa

pekerjaan memiliki insiden dan tingkat keparahan yang lebih besar (3).

Beberapa penyebab dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian

carpal tunnel syndrome antara lain (6,12):

1. Herediter: neuropati herediter yang cenderung menjadi pressure palsy,

misalnya HMSN (hereditary motor and sensory neuropathies) tipe III.

2. Trauma: dislokasi, fraktur atau hematom pada lengan bawah, pergelangan

tangan dan tangan. Sprain pergelangan tangan. Trauma langsung terhadap

pergelangan tangan.

3. Pekerjaan : gerakan mengetuk atau fleksi dan ekstensi pergelangan tangan

yang berulang-ulang. Seorang sekretaris yang sering mengetik, pekerja kasar

yang sering mengangkat beban berat dan pemain musik terutama pemain

piano dan pemain gitar yang banyak menggunakan tangannya juga

merupakan etiologi dari carpal turner syndrome.

4. Infeksi: tenosinovitis, tuberkulosis, sarkoidosis.

5. Metabolik: amiloidosis, gout, hipotiroid - Neuropati fokal tekan, khususnya

sindrom carpal tunnel juga terjadi karena penebalan

16
ligamen, dan tendon dari simpanan zat yang disebut mukopolisakarida.

6. Endokrin : akromegali, terapi estrogen atau androgen, diabetes mellitus,

hipotiroidi, kehamilan.

7. Neoplasma: kista ganglion, lipoma, infiltrasi metastase, mieloma.

8. Penyakit kolagen vaskular : artritis reumatoid, polimialgia reumatika,

skleroderma, lupus eritematosus sistemik.

9. Degeneratif: osteoartritis.

10. Iatrogenik : punksi arteri radialis, pemasangan shunt vaskular untuk dialisis,

hematoma, komplikasi dari terapi anti koagulan.

11. Faktor stress

12. Inflamasi : Inflamasi dari membrane mukosa yang mengelilingi tendon

menyebabkan nervus medianus tertekan dan menyebabkan carpal tunnel

syndrome.

2.2.5 Patogenesis dan Patofisiologi Carpal Tunnel Syndrome

Patogenesis CTS masih belum jelas. Beberapa teori telah diajukan untuk

menjelaskan gejala dan gangguan studi konduksi saraf. Yang paling populer

adalah kompresi mekanik, insufisiensi mikrovaskular, dan teori getaran. Menurut

teori kompresi mekanik, gejala CTS adalah karena kompresi nervus medianus di

terowongan karpal. Kelemahan utama dari teori ini adalah bahwa ia menjelaskan

konsekuensi dari kompresi saraf tetapi tidak menjelaskan etiologi yang mendasari

kompresi mekanik. Kompresi diyakini dimediasi oleh beberapa faktor seperti

17
ketegangan, tenaga berlebihan, hyperfunction, ekstensi pergelangan tangan

berkepanjangan atau berulang (5).

Teori insufisiensi mikro - vaskular mennyatakan bahwa kurangnya pasokan

darah menyebabkan penipisan nutrisi dan oksigen ke saraf yang menyebabkan ia

perlahan-lahan kehilangan kemampuan untuk mengirimkan impuls saraf. Scar dan

jaringan fibrotik akhirnya berkembang dalam saraf. Tergantung pada keparahan

cedera, perubahan saraf dan otot mungkin permanen. Karakteristik gejala CTS,

terutama kesemutan, mati rasa dan nyeri akut, bersama dengan kehilangan

konduksi saraf akut dan reversibel dianggap gejala untuk iskemia. Seiler et al

menunjukkan (dengan Doppler laser flowmetry ) bahwa normalnya aliran darah

berdenyut di dalam saraf median dipulihkan dalam 1 menit dari saat ligamentum

karpal transversal dilepaskan. Sejumlah penelitian eksperimental mendukung teori

iskemia akibat kompresi diterapkan secara eksternal dan karena peningkatan

tekanan di karpal tunnel. Gejala akan bervariasi sesuai dengan integritas suplai

darah dari saraf dan tekanan darah sistolik . Kiernan dkk menemukan bahwa

konduksi melambat pada median saraf dapat dijelaskan oleh kompresi iskemik

saja dan mungkin tidak selalu disebabkan myelinisasi yang terganggu (5).

Menurut teori getaran gejala CTS bisa disebabkan oleh efek dari

penggunaan jangka panjang alat yang bergetar pada saraf median di karpal tunnel.

Lundborg et al mencatat edema epineural pada saraf median dalam beberapa hari

berikut paparan alat getar genggam. Selanjutnya, terjadi perubahan serupa

mengikuti mekanik, iskemik, dan trauma kimia (5).

18
Hipotesis lain dari CTS berpendapat bahwa faktor mekanik dan vaskular

memegang peranan penting dalam terjadinya CTS. Umumnya CTS terjadi secara

kronis dimana terjadi penebalan fleksor retinakulum yang menyebabkan tekanan

terhadap nervus medianus. Tekanan yang berulang-ulang dan lama akan

mengakibatkan peninggian tekanan intrafasikuler. Akibatnya aliran darah vena

intrafasikuler melambat. Kongesti yang terjadi ini akan mengganggu nutrisi

intrafasikuler lalu diikuti oleh anoksia yang akan merusak endotel. Kerusakan

endotel ini akan mengakibatkan kebocoran protein sehingga terjadi edema

epineural. Hipotesa ini menerangkan bagaimana keluhan nyeri dan sembab yang

timbul terutama pada malam atau pagi hari akan berkurang setelah tangan yang

terlibat digerakgerakkan atau diurut, mungkin akibat terjadinya perbaikan

sementara pada aliran darah. Apabila kondisi ini terus berlanjut akan terjadi

fibrosis epineural yang merusak serabut saraf. Lama-kelamaan saraf menjadi

atrofi dan digantikan oleh jaringan ikat yang mengakibatkan fungsi nervus

medianus terganggu secara menyeluruh (13).

Selain akibat adanya penekanan yang melebihi tekanan perfusi kapiler

akan menyebabkan gangguan mikrosirkulasi dan timbul iskemik saraf. Keadaan

iskemik ini diperberat lagi oleh peninggian tekanan intrafasikuler yang

menyebabkan berlanjutnya gangguan aliran darah. Selanjutnya terjadi vasodilatasi

yang menyebabkan edema sehingga sawar darah-saraf terganggu yang berkibat

terjadi kerusakan pada saraf tersebut (13).

Penelitian yang telah dilakukan Kouyoumdjian yang menyatakan CTS

terjadi karena kompresi saraf median di bawah ligamentum karpal transversal

19
berhubungan dengan naiknya berat badan dan IMT. IMT yang rendah merupakan

kondisi kesehatan yang baik untuk proteksi fungsi nervus medianus. Pekerja

dengan IMT minimal ≥25 lebih mungkin untuk terkena CTS dibandingkan dengan

pekerjaan yang mempunyai berat badan ramping. American Obesity Association

menemukan bahwa 70% dari penderita CTS memiliki kelebihan berat badan.

Setiap peningkatan nilai IMT 8% resiko CTS meningkat (13).

2.2.6 Gambaran klinis Carpal Tunnel Syndrome

Pada tahap awal gejala umumnya berupa gangguan sensorik saja. Gangguan

motorik hanya terjadi pada keadaan yang berat. Gejala awal biasanya berupa

parestesia, kurang merasa (numbness) atau rasa seperti terkena aliran listrik

(tingling) pada jari 1-3 dan setengah sisi radial jari 4 sesuai dengan distribusi

sensorik nervus medianus walaupun kadang-kadang dirasakan mengenai seluruh

jari-jari (14).

Komar dan Ford membahas dua bentuk carpal tunnel syndrome: akut dan

kronis. Bentuk akut mempunyai gejala dengan nyeri parah, bengkak pergelangan

tangan atau tangan, tangan dingin, atau gerak jari menurun. Kehilangan gerak jari

disebabkan oleh kombinasi dari rasa sakit dan paresis. Bentuk kronis mempunyai

gejala baik disfungsi sensorik yang mendominasi atau kehilangan motorik dengan

perubahan trofik. Nyeri proksimal mungkin ada dalam carpal tunnel syndrome

(6).

Keluhan parestesia biasanya lebih menonjol di malam hari. Gejala lainnya

adalah nyeri di tangan yang juga dirasakan lebih berat pada malam hari sehingga

20
sering membangunkan penderita dari tidurnya. Rasa nyeri ini umumnya

agak berkurang bila penderita memijat atau menggerak-gerakkan tangannya atau

dengan meletakkan tangannya pada posisi yang lebih tinggi. Nyeri juga akan

berkurang bila penderita lebih banyak mengistirahatkan tangannya (15).

Apabila tidak segera ditagani dengan baik maka jari-jari menjadi kurang

terampil misalnya saat memungut benda-benda kecil. Kelemahan pada tangan

juga sering dinyatakan dengan keluhan adanya kesulitan yang penderita sewaktu

menggenggam. Pada tahap lanjut dapat dijumpai atrofi otot-otot thenar (oppones

pollicis dan abductor pollicis brevis).dan otot-otot lainya yang diinervasi oleh

nervus medianus (16).

Tabel 2.1 Gejala dan Tanda Carpal Tunnel Syndrome

2.2.7 Diagnosis Carpal Tunnel Syndrome

Diagnosa CTS ditegakkan selain berdasarkan gejala-klinis seperti di atas

dan perkuat dengan pemeriksaan yaitu :

21
1) Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh pada penderita

dengan perhatian khusus pada fungsi, motorik, sensorik dan otonom

tangan. Beberapa pemeriksaan dan tes provokasi yang dapat membantu

menegakkan diagnosa CTS adalah (17):

a) Phalen's test : Penderita diminta melakukan fleksi tangan secara

maksimal. Bila dalam waktu 60 detik timbul gejala seperti CTS, tes ini

menyokong diagnosa. Beberapa penulis berpendapat bahwa tes ini sangat

sensitif untuk menegakkan diagnosa CTS.

Gambar 2.2 Phalen’s Test

b) Torniquet test : Pada pemeriksaan ini dilakukan pemasangan tomiquet

dengan menggunakan tensimeter di atas siku dengan tekanan sedikit di

atas tekanan sistolik. Bila dalam 1 menit timbul gejala seperti CTS, tes ini

menyokong diagnosa.

22
c) Tinel's sign : Tes ini mendukung diagnosa bila timbul parestesia atau

nyeri pada daerah distribusi nervus medianus jika dilakukan perkusi pada

terowongan karpal dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi.

Gambar 2.3 Tinel’s Test

d) Flick's sign : Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau menggerak-

gerakkan jari-jarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang akan

menyokong diagnosa CTS. Harus diingat bahwa tanda ini juga dapat

dijumpai pada penyakit Raynaud.

e) Thenar wasting : Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi

otot-otot thenar.

f) Menilai kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan otot secara manual

maupun dengan alat dynamometer

g) Wrist extension test : Penderita diminta melakukan ekstensi tangan secara

maksimal, sebaiknya dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga

23
dapat dibandingkan. Bila dalam 60 detik timbul gejala-gejala seperti CTS,

maka tes ini menyokong diagnosa CTS.

h) Pressure test : Nervus medianus ditekan di terowongan karpal dengan

menggunakan ibu jari. Bila dalam waktu kurang dari 120 detik timbul

gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa.

i) Luthy's sign (bottle's sign) : Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan

jari telunjuknya pada botol atau gelas. Bila kulit tangan penderita idak

dapat menyentuh dindingnya dengan rapat, tes dinyatakan positif dan

mendukung diagnose

j) Pemeriksaan sensibilitas : Bila penderita tidak dapat membedakan dua

titik (two-point discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah

nervus medianus, tes dianggap positif dan menyokong diagnose

k) Pemeriksaan fungsi otonom : Pada penderita diperhatikan apakah ada

perbedaan keringat, kulit yang kering atau licin yang terbatas pada daerah

innervasi nervus medianus. Bila ada akan mendukung diagnose CTS.

Dari pemeriksaan provokasi diatas Phalen test dan Tinel test adalah test

yang patognomonis untuk CTS (5).

24
Tabel 2.2 Pemeriksaan fisik pada Carpal Tunnel Syndrome

2) Pemeriksaan neurofisiologi (elektrodiagnostik)

Pemeriksaan EMG dapat menunjukkan adanya fibrilasi, polifasik,

gelombang positif dan berkurangnya jumlah motor unit pada otot-otot

thenar. Pada beberapa kasus tidak dijumpai kelainan pada otot-otot

lumbrikal. EMG bisa normal pada 31% kasus CTS. Kecepatan Hantar

Saraf (KHS). Pada 15-25% kasus, KHS bisa normal. Pada yang lainnya

KHS akan menurun dan masa laten distal (distal latency) memanjang,

menunjukkan adanya gangguan pada konduksi saraf di pergelangan

tangan. Masa laten sensorik lebih sensitif dari masa laten motorik (12).

3) Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan sinar-X terhadap pergelangan tangan dapat membantu melihat

apakah ada penyebab lain seperti fraktur atau artritis. Foto polos leher

berguna untuk menyingkirkan adanya penyakit lain pada vertebra. USG,

CT-scan dan MRI dilakukan pada kasus yang selektif terutama yang akan

dioperasi.

25
USG dilakukan untuk mengukur luas penampang dari saraf median di carpal

tunnel proksimal yang sensitif dan spesifik untuk carpal tunnel syndrome. (15,

18, 19).

4) Pemeriksaan Laboratorium

Bila etiologi CTS belum jelas, misalnya pada penderita usia muda tanpa

adanya gerakan tangan yang repetitif, dapat dilakukan beberapa

pemeriksaan seperti kadar gula darah , kadar hormon tiroid ataupun darah

lengkap (15).

Tabel 2.3 Algoritma Diagnosis Carpal Tunnel Syndrome

26
2.2.8 Diagnosis Banding

Diagnosis dari CTS antara lain (15):

2.3 Cervical radiculopathy. Biasanya keluhannya berkurang bila leher

diistirahatkan dan bertambah hila leher bergerak. Distribusi gangguan

sensorik sesuai dermatomnya.

2.4 Thoracic outlet syndrome. Dijumpai atrofi otot-otot tangan lainnya selain

otot-otot thenar. Gangguan sensorik dijumpai pada sisi ulnaris dari tangan

dan lengan bawah.

2.5 Pronator teres syndrome. Keluhannya lebih menonjol pada rasa nyeri di

telapak tangan daripada CTS karena cabang nervus medianus ke kulit

telapak tangan tidak melalui terowongan karpal.

2.6 de Quervain's syndrome. Tenosinovitis dari tendon muskulus abductor

pollicis longus dan ekstensor pollicis brevis, biasanya akibat gerakan

tangan yang repetitif. Gejalanya adalah rasa nyeri dan nyeri tekan pada

pergelangan tangan di dekat ibu jari. KHS normal. Finkelstein's test :

palpasi otot abduktor ibu jari pada saat abduksi pasif ibu jari, positif bila

nyeri bertambah.

2.2.9 Penatalaksanaan Carpal Tunnel Syndrome

Penatalaksanaan carpal tunnel syndrome tergantung pada etiologi, durasi

gejala, dan intensitas kompresi saraf. Jika sindrom adalah suatu penyakit sekunder

untuk penyakit endokrin, hematologi, atau penyakit sistemik lain, penyakit primer

harus diobati. Kasus ringan bisa diobati dengan obat anti

27
inflamasi non steroid (OAINS) dan menggunakan penjepit pergelangan tangan

yang mempertahankan tangan dalam posisi netral selama minimal 2 bulan,

terutama pada malam hari atau selama gerakan berulang. Kasus lebih lanjut dapat

diterapi dengan injeksi steroid lokal yang mengurangi peradangan. Jika tidak

efektif, dan gejala yang cukup mengganggu, operasi sering dianjurkan untuk

meringankan kompresi. (6,12). Oleh karena itu sebaiknya terapi CTS dibagi atas 2

kelompok, yaitu (17):

1) Terapi langsung terhadap CTS

a) Terapi konservatif

1. Istirahatkan pergelangan tangan.

2. Obat anti inflamasi non steroid.

3. Pemasangan bidai pada posisi netral pergelangan tangan. Bidai dapat

dipasang terus-menerus atau hanya pada malam hari selama 2-3 minggu.

4. Nerve Gliding, yaitu latihan terdiri dari berbagai gerakan (ROM) latihan

dari ekstremitas atas dan leher yang menghasilkan ketegangan dan

gerakan membujur sepanjang saraf median dan lain dari ekstremitas atas.

Latihan-latihan ini didasarkan pada prinsip bahwa jaringan dari sistem

saraf perifer dirancang untuk gerakan, dan bahwa ketegangan dan

meluncur saraf mungkin memiliki efek pada neurofisiologi melalui

perubahan dalam aliran pembuluh darah dan axoplasmic. Latihan

dilakukan sederhana dan dapat dilakukan oleh pasien setelah instruksi

singkat.

28
Gambar 2.4 Nerve Gliding

5. Injeksi steroid. Deksametason 1-4 mg 1 atau hidrokortison 10-25 mg atau

metilprednisolon 20 mg atau 40 mg diinjeksikan ke dalam terowongan

karpal dengan menggunakan jarum no.23 atau 25 pada lokasi 1 cm ke

arah proksimal lipat pergelangan tangan di sebelah medial tendon

musculus palmaris longus. Sementara suntikan dapat diulang dalam 7

sampai 10 hari untuk total tiga atau empat suntikan,. Tindakan operasi

dapat dipertimbangkan bila hasil terapi belum memuaskan setelah diberi 3

kali suntikan. Suntikan harus digunakan dengan hati-hati untuk pasien di

bawah usia 30 tahun.

6. Vitamin B6 (piridoksin). Beberapa penulis berpendapat bahwa salah satu

penyebab CTS adalah defisiensi piridoksin sehingga mereka

menganjurkan pemberian piridoksin 100-300 mg/hari selama 3 bulan.

Tetapi beberapa penulis lainnya berpendapat bahwa pemberian piridoksin

29
tidak bermanfaat bahkan dapat menimbulkan neuropati bila diberikan

dalam dosis besar. Namun pemberian dapat berfungsi untuk mengurangi

rasa nyeri.

7. Fisioterapi. Ditujukan pada perbaikan vaskularisasi pergelangan tangan.

b) Terapi operatif

Operasi hanya dilakukan pada kasus yang tidak mengalami perbaikan

dengan terapi konservatif atau bila terjadi gangguan sensorik yang berat

atau adanya atrofi otot-otot thenar. Pada CTS bilateral biasanya operasi

pertama dilakukan pada tangan yang paling nyeri walaupun dapat

sekaligus dilakukan operasi bilateral. Penulis lain menyatakan bahwa

tindakan operasi mutlak dilakukan bila terapi konservatif gagal atau bila

ada atrofi otot-otot thenar, sedangkan indikasi relatif tindakan operasi

adalah hilangnya sensibilitas yang persisten (15).

Biasanya tindakan operasi CTS dilakukan secara terbuka dengan

anestesi lokal, tetapi sekarang telah dikembangkan teknik operasi secara

endoskopik. Operasi endoskopik memungkinkan mobilisasi penderita

secara dini dengan jaringan parut yang minimal, tetapi karena terbatasnya

lapangan operasi tindakan ini lebih sering menimbulkan komplikasi

operasi seperti cedera pada saraf. Beberapa penyebab CTS seperti adanya

massa atau anomaly maupun tenosinovitis pada terowongan karpal lebih

baik dioperasi secara terbuka (15).

30
2) Terapi terhadap keadaan atau penyakit yang mendasari CTS

Keadaan atau penyakit yang mendasari terjadinya CTS harus

ditanggulangi, sebab bila tidak dapat menimbulkan kekambuhan CTS

kembali. Pada keadaan di mana CTS terjadi akibat gerakan tangan yang

repetitif harus dilakukan penyesuaian ataupun pencegahan. Beberapa upaya

yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya CTS atau mencegah

kekambuhannya antara lain (13):

a. Mengurangi posisi kaku pada pergelangan tangan, gerakan repetitif,

getaran peralatan tangan pada saat bekerja.

b. Desain peralatan kerja supaya tangan dalam posisi natural saat kerja.

c. Modifikasi tata ruang kerja untuk memudahkan variasi gerakan.

d. Mengubah metode kerja untuk sesekali istirahat pendek serta

mengupayakan rotasi kerja.

e. Meningkatkan pengetahuan pekerja tentang gejala-gejala dini CTS

sehingga pekerja dapat mengenali gejala-gejala CTS lebih dini.

Di samping itu perlu pula diperhatikan beberapa penyakit yang sering

mendasari terjadinya CTS seperti : trauma akut maupun kronik pada

pergelangan tangan dan daerah sekitarnya, gagal ginjal, penderita yang sering

dihemodialisa, myxedema akibat hipotiroidi, akromegali akibat tumor

hipofise, kehamilan atau penggunaan pil kontrasepsi, penyakit kolagen

vaskular, artritis, tenosinovitis, infeksi pergelangan tangan, obesitas dan

penyakit lain yang dapat menyebabkan retensi cairan atau menyebabkan

bertambahnya isi terowongan karpal (13).

31
2.10 Prognosis Carpal Tunnel Syndrome

Pada kasus CTS ringan, dengan terapi konservatif umumnya prognosa baik.

Bila keadaan tidak membaik dengan terapi konservatif maka tindakan operasi

harus dilakukan. Secara umum prognosa operasi juga baik, tetapi karena operasi

hanya dilakukan pada penderita yang sudah lama menderita CTS penyembuhan

post operatifnya bertahap (13).

Bila setelah dilakukan tindakan operasi, tidak juga diperoleh perbaikan

maka dipertimbangkan kembali kemungkinan berikut ini (13):

2.11Kesalahan menegakkan diagnosa, mungkin jebakan/tekanan terhadap nervus

medianus terletak di tempat yang lebih proksimal.

2.12Telah terjadi kerusakan total pada nervus medianus.

2.13Terjadi CTS yang baru sebagai akibat komplikasi operasi seperti akibat

edema, perlengketan, infeksi, hematoma atau jaringan parut hipertrofik.

Sekalipun prognosa CTS dengan terapi konservatif maupun operatif cukup

baik, tetapi resiko untuk kambuh kembali masih tetap ada. Bila terjadi

kekambuhan, prosedur terapi baik konservatif atau operatif dapat diulangi

kembali.

32
BAB III

PENUTUP

Carpal Tunnel Syndrome adalah gejala neuropati kompresi dari N.

medianus di tingkat pergelangan tangan, ditandai dengan bukti peningkatan

tekanan dalam terowongan karpal dan penurunan fungsi saraf di tingkat itu.

Carpal Tunnel Syndrome dapat disebabkan oleh berbagai penyakit, kondisi dan

peristiwa. Hal ini ditandai dengan keluhan mati rasa, kesemutan, nyeri tangan dan

lengan dan disfungsi otot. Kelainan ini tidak dibatasi oleh usia, jenis kelamin,

etnis, atau pekerjaan dan disebabkan karena penyakit sistemik, faktor mekanis dan

penyakit lokal (8).

Diagnosa CTS ditegakkan selain berdasarkan gejala-klinis dan

pemeriksaan baik fisik maupun penunjang. Pemeriksaan fisik yang patognomonis

yaitu Phalen test dan Tinnel test. Sedangkan pemeriksaan penunjang yang dapat

dilakukan yaitu dengan Pemeriksaan elektrodiagnostik, radiologi dan

laboratorium (5).

Penatalaksanaan carpal tunnel syndrome tergantung pada etiologi,

durasi gejala, dan intensitas kompresi saraf. Jika sindrom adalah suatu penyakit

sekunder untuk penyakit endokrin, hematologi, atau penyakit sistemik lain,

penyakit primer harus diobati. Kasus ringan bisa diobati dengan obat anti

inflamasi non steroid (OAINS) dan menggunakan penjepit pergelangan tangan

yang mempertahankan tangan dalam posisi netral selama minimal 2 bulan,

terutama pada malam hari atau selama gerakan berulang. Kasus lebih lanjut dapat

33
diterapi dengan injeksi steroid lokal yang mengurangi peradangan. Jika tidak

efektif, dan gejala yang cukup mengganggu, operasi sering dianjurkan untuk

meringankan kompresi (6,12).

34

Anda mungkin juga menyukai