Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Anestesi seperti disiplin ilmu yang lain yang mempunyai pembendaharaan kata
teknik. Pembendaharaan kata ini timbul secara tidak direncanakan, dan sayangnya tidak
selalu tepat, serta kadang – kadang memusingkan. Istilah yang sama mempunyai
penafsiran secara teknik yang banyak, sesuai dengan latar belakangnya, dan mungkin
sama sekali berbeda dari pemakaiannya secara umum.1
Anestesi istilah ini diturunkan dari dua kata Yunani yang secara bersamaan
berarti hilangnya rasa atau rasa atau sensasi. Istilah ini di pergunakan oleh para ahli
saraf dengan maksud untuk menyatakan bahwa terjadi kehilangan rasa secara patologis
pada bagian tertentu tubuh.1
Peradaban kebudayaan barat modern telah berusaha dengan sungguh-sungguh
agar nyeri dapat dikendalikan, terutama nyeri pada saat pembedahan harus dapat
dihilangkan sama sekali. Namun demikian tidak selalu berhasil. Nenek moyang kita
menganggap nyeri tidak teratasi, dan harus diterima sebagai kehidupan. Para filsuf dan
ahli teologi sepanjang sejarah secara terus menerus telah menekankan pentingnya
manfaat penderitaan nyeri yang dihubungkan dengan stoikisma, dan ketabahan
menderita untuk memperkuat otak moral. Sepanjang segala abad banyak dokter dan ahli
bedah berusaha agar dapat meringankan nyeri dengan ekstrak tumbuh-tumbuhan dan
cara-cara lain. Beberapa orang bahkan pada abad ke-19 telah melakukan anestesi pada
saat pembedahan, walaupun masih mempercayai bahwa pengalaman penderitaan selama
pembedahan adalah penting bagi penyembuhan selanjutnya.1
Anestesi juga dilakukan oleh John Elliotson dari Rumah Sakit London Utara
yang melakukan hipnosis untuk pengendalian nyeri sewaktu pembedahan pada
permulaan abad kesembilan belas, tepat sebelum dilakukannya anestesi umum secara
farmakologis. Pemakaian istilah anestesi secara teknis pada masa kini di hubungkan
dengan penggunaan istilah dokter di Amerika, Oliver Wendell Holmes yang
memakainya untuk penemuan ‘’eterisasi’’ Morton segera setelah pertunjukannya. Kata
anestesi jika digunakan tunggal pada masa kini, berarti umum.1
Anestesi umum menunjukkan bahwa penderita telah dibuat tidak sadar oleh obat
– obatan namun dapat disadarkan kembali pada pelaksanaan tindakan pembedahan yang
menyakitkan. Anestesi, inhalasi, intravena, intramuskular, dan perrektum, merupakan
1
subdivisi anestesi umum. Kata sifat menerangkan jalur yang digunakan obat untuk dapat
masuk kedalam tubuh, sehingga melalui aliran darah dapat diteruskan ke otak.1
Anestesi lokal menunjukkan anestesi pada sebagiantubuh saja. Penderita yang
bebas nyeri dalam keadaan sadar, kecuali dilakukan suatu teknik gabungan anestesi
umum dengan anestesi lokal atau digunakan sedasi.1
Anestesi regional sering digunakan secara sinonim dengan anestesi lokal.
Anestesi ini dengan tepat di gunakan hanya jika anestesi lokal dipergunakan untuk saraf
atau medulla spinalis, yang terletak jauh dari daerah yang dubuat tidak peka.1
Anestesi spinal menjadi lebih populer seiring perkembangan zaman. Tingginya
popularitas anestesi spinal di Amerika Serikat terjadi pada tahun 1940an. Namun,
anatomi, pilihan anestesi lokal, efek fisiologis anestesi spinal, posisi pasien, dan
pendekatan anestesi spinal semuanya harus dipertimbangkan.2
Pada pasien dengan yang akan dilakukan amputasi pada extremitas bawah
seringkali menggunakan anestesi spinal. Kaki diabetik adalah kaki yang perfusi
jaringannya kurang baik karena angiopati dan neuropati. Selain itu, terdapat pintas
arteri-vena diruang subkutis sehingga kaki tampak merah dan mungkin panas tetapi
pendarahan kaki tetap berkurang. Pada ulkus dalam atau gangren diabetik penderita
tidak merasa nyeri karena neuropati.3
Kaki diabetes di Amerika Serikat merupakan penyebab utama amputasi
ekstremitas bawah nontraumatik di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto
Mangunkusumo (RSUPNCM) tahun 2003, angka amputasi mencapai 25%. Adapun
angka kematiannya mencapai 16. Faktor resiko terjadinya ulkus kaki atau amutasi
antara lain laki-laki, diabetes >10 tahun, neuropati perifer, struktur kaki yang abnormal,
penyakit arteri perifer, merokok, riwayat ulkus atau amputasi dan buruknya kontrol
glikemik.4

2
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Anatomi Vertebra


Kolumna vertebra terdiri dari 33 vertebra, 7 vertebra servikalis, 12 vertebra
thorakalis, 5 vertebra lumbalis, 5 vertebra sakrum, dan 4 coccygeus kolumna vertebralis
biasanya berisi tiga kurva. Kurva servikalis dan lumbalis bersifat melengkung ke
anterior dan kurva thorakalis berbentuk melengkung ke posterior. Bentuk kolumna
vertebralis mempengaruhi penyebaran anestesi di ruang subarachnoid.2

Gambar 1. Kolumna Vertebralis2

Terdapat lima ligamentum yang menahan vertebra. Ligamentum supraspinous


menghubungkan apeks dari prosesus spinosus dari vertebra servikalis ke 7 (C7) ke
sakrum. Ligamentum supraspinosus dikenal sebagai ligamentum nuchae didaerah di
atas C7. Ligamentum interspinosusu menghubungkan prosesus spinosus bersamaan.
Ligamentum flavum atau ligamentum kuning, menghubungkan lamina diatas dan
dibawahnya. Ligamentum longitudinal posterior dan anterior mengikat vertebra
bersama.2

3
Gambar 2. Ligamentum-ligamentum2

Tiga membran yang melindungi sumsum tulang belakang adalah duramater,


arachnoidmater, dan piamater. Duramater adalah lapisan terluar, duramater meluas ke
vertebra sakrum ke 2 (S2). Arachnoid adalah lapisan tengah dan ruang subdural terletak
diantara duramater dan arachnoid mater. Arachnoidmater juga berakhir di sakrum ke 2
(S2), piamater menempel kepermukaan sumsum tulang belakang dan berakhir diujung
filum, yang membantu menahan sumsum tulang belakang ke sakrum. Ruang antara
arachnoid dan piamater dikenal sebagai ruang subarachnoid dan medulla spinalis
terletak diruang ini bersama dengan CSF.2

Gambar 3. Lapisan sumsum tulang belakang2

Saat melakukan anestesi spinal dengan menggunakan pendekatan garis tengah,


lapisan yang dilalui (dari posterior ke anterior) adalah kulit, lemak subkutan,
ligamentum supraspinosus, ligamentum interspinosus, ligamentum flavum, duramater,
ruang subdural, arachnoidmater, dan ruang subarachnoid.2
Panjang sumsum tulang belakang bervariasi sesuai usia. Pada trimester pertama,
sumsum tulang belakang meluas sampai keujung kolumna vertebra, namun seiring
4
bertambahnya usia janin, kolumna vertebra lebih panjang dari pada sumsum tulang
belakang. Saat lahir, sumsum tulang belakang berakhir pada kira-kira lumbal 3.2
Posisi conus medullaris, cauda equina, termination of the dural sac, filum
terminale. Panjang sumsum tulang belakang harus selalu diingat saat anestesi neuraksial
dilakukan, kerena injeksi dapat menyebabkan kerusakan pada saraf dan mengakibatkan
paralysis.2
Saraf spinal didaerah servikal dinamai sesuai dengan bagian atas tempat keluar
vertebra servikalis. Namun, saraf servikalis ke 8 keluar dari bawah vertebra servikalis
ke 7, dan penamaannya berlanjut hingga daerah thorakalis dan lumbalis.2
Dermatom adalah area kulit yang diinervasi oleh serat sensorik dari satu saraf
tulang belakang. Dermatom thorakalis ke 10 (T10) sesuai dengan umbilikus, dermatom
thorakalis ke 6 (T6) xipoideus dan dermatom thorakalis ke 4 (T4) papila mamae.2

Gambar 4. Dermatom Chart2

Tabel 1. Dermatomal levels of spinal anesthesia for common surgical prosedures


Prosedur Dermatom
Operasi perut bagian atas T4
Operasi Usus, Ginekologi dan urologi T6
Reseksi Transurethral pada prostat
Melahirkan, dan Operasi daerah pinggul T10
Operasi pada paha dan amputasi kaki bagian L1
bawah
Operasi kaki dan pergelangan kaki L2
Operasi Perineum dan anal S2 sampai S5

5
2.2 Sistem Saraf Otonom
Sistem saraf otonom terdiri dari neuron saraf yang terletak diluar sistem saraf
pusat dan neuron eferen. Keduanya mempunyai jaring hubungan yang jauh melalui
medulla spinalis (kolumna inter mediolateral) dan otak (medulla dan diencefalon).
Sistem saraf otonom diaktivasi oleh pusat pusat yang terletak di dalam medulla spinalis,
batang otak dan hipotalamus korteks serebri dapat mengirim implus kepusat yang lebih
rendah dan dengan jalan ini mempengaruhi pengendalian otonom.5

2.2.1. Anatomi Sistem Saraf Simpatis Dan Parasimpatis


a. Anatomi Saraf Simpatis
Saraf simpatis berasal dari medulla spinalis diantara segmen T-1 dan L-2
yang dimulai dari motor neuron simpatis kornu inter mediolateral substansi
grisea medulla spinalis. Saraf simpatis berbeda dari saraf motorik kerangka yaitu
tiap lintasan mototik kesesuatu otot rangka terdiri dari serabut tunggal yang
berasal dari medulla spinalis, sedangkan tiap lintasan simpatis terdiri dari neuron
pra genglion dan neuron ganglion.5
Badan sel neuron praganglion terletak didalam kornu intermedio lateral
medulla spinalis, dan serabut – serabutnya berjalan melalui radiks anterior
medulla spinalis kedalam saraf spinal. Serabut pra ganglion meninggalkan saraf
spinal dan berjalan melalui ramus alba keganglion rantai simpatis, disini
bersinaps dengan neuron paska ganglion didalam ganglion simpatis yang jauh.
Tiap neuron pasca ganglion kemudian berjalan ketempat tujuannya didalam
salah satu organ.5
Banyak serabut neuron pasca ganglion dari rantai simpatis berjalan
kembali kesaraf spinal melalui rami grisea pada semua tingkat medulla spinalis
dan berjalan keseluruh bagian tubuh melalui saraf skeletal. Mereka mengatur
pembuluh darah, kelenjar keringat dan otot erektor rambut. Distribusi segmental
dari saraf simpatis.5
Distribusi saraf simpatis ketiap organ sebagian ditentukan oleh posisi
didalam embrio, dimana organ tersebut berasal. Jantung menerima banyak saraf
simpatis dari rantai simpatis servikal karena jantung berasal dari dalam leher
embrio, demikian pula abdomen menerima persarafan simpatis dari segmen
torakal bahwa karena usus primitif berasal dari daearah torakal bawah.5

6
Serabut saraf simpatis pra ganglion yang berjalan tanpa sinaps,
sepenuhnya dari sel kornu intermedio lateral medula spinalis melalui rantai
simpatis, saraf splanknik, dan akhirnya medulla adrenal dan berakhir langsung di
sel – sel khusus yang mengsereksi epinefrin dan norepinefrin. Sel sekretor ini
embriologis berasal dari jaringan saraf dan dapat disamakan dengan neuron
pasca ganglion.5
b. Anatomi Saraf Para Simpatis
Serabut saraf – saraf parasimpatis meninggalkan sistem saraf pusat
melalui beberapa saraf kranial, saraf spinal sakral kedua, tiga dan keempat.5
Serabut para simpatis di dalam nervus ketiga berjalan ke spingter pupil
dan otot siliaris mata. Serabut nervus ketujuh berjalan ke kelenjar lakrimalis,
nasal, dan sub maksilaris. Serabut nervus kesembilan berjalan ke kelenjar
parotis. Nervus vagus mensuplai saraf parasimpatis kejantung paru – paru,
esofagus, lambung, usus halus, separuh proksimal kolon, hati, kandung empedu,
pancreas dan bagian atas ureter. Serabut paras simpatis sakral dalam bentuk
nervi erigentes, meninggalkan pleksus sakral dan menyebar ke kolon desendens,
rektum, kandung kemih dan bagian ureter bawah, juga mensuplai serabutnya
kegenitalia eksterna untuk menyebabkan berbagai reaksi seksual. Sistem
parasimpatis seperti sistem mempunyai neuron pra ganglionik dan paska
ganglionik.5
Kecuali dalam beberapa hal saraf para simpatis kranial, serabut saraf
para ganglionik berjalan keorgan yang harus dirangsang oleh implus para
simpatis. Didalam dinding organ tersebut terdapat neuron pasca ganglion
parasimpatis. Serabut pra gangliogenik parasimpatis. Serabut pra ganglion
bersinaps dengan neuron –neuron ini, kemudian serabut serabut pasca
ganglionik yang pendek dengan panjang 1 milimeter sampai beberapa
sentimeter, meninggalkan neuron menyebar kedalam organ.5

2.2.2. Fungsi Simpatis dan Para simpatis


Neuron pra ganglion simpatis dan para simpatis, juga neuron pasca ganglion
para simpatis mensekresikan asetil kolin, serabut ini juga merupakan serabut kolinergik.
Sebagian besar ujung pasca ganglion simpatis mengsekresi norepineprin, serabut ini
disebut adrenergik. Asetil kolin dan norepineprin yang disekresi oleh oleh neuron pasca
ganglion bekerja pada berbagai organ menyebabkan efek simpatis atau para simpatis,
atau mediatir adrenergk dan kolinergik.5

7
Sekresi zat transmiter asetil kolin dan nor epinefrin oleh ujung saraf otonom
terjadi sama seperti sekresi pada sinaps. Ujung saraf simpatis dan para simpatis
mengandung sejumlah besar vesikel transmiter kecil dengan diameter 300 – 600
angstrom. Vesikel didalam ujung saraf kolinergik mengandung asetil kolin dan
kelihatan jernih.5
Vesikel didalam ujung saraf adrenergik mengandung norepinefrin dan kelihatan
granuler. Bila aksi potensial menyebar pada serabut terminal, proses depolarisasi
meningkatkan permeabilitas membran serabut terhadap ion kalsium, memberikan ion
berdifusi dalam jumlah yang cukup banyak kedalam terminal saraf iyi. Mereka
berinteraksi dengan vesikel yang ada dekat membran, sehingga menyebabkan isinya
kebagian luar (sekresi zat transmiter).5
Asetil kolin disentese dalam ujung terminal serabut saraf kalinergik.
Kebanyakan sinstese ini mungkin terjadi dalam akso plasma, kemudian diangkut
kedalam vesikel, meskipun diantaranya juga di sentesa dalam vesikel itu sendiri. Bila
asetil kolin disekresi oleh saraf kolinergik, kebanyakan dipecah menjadi ion asaetat dan
kolin dengan enzim kalinesterase yang ada dalam ujung saraf itu sendiri dan pada
permukaan organ reseptor. Mekanisme pemecahan ininsama seperti pada hubungan
neuro muskular serabut saraf skeletal. Kolin yang terbentuk diangkut lagi untuk sintesa
asetil kolin baru.5

2.3. Anestesia Regional


2.3.1. Pembagian Anestesia atau Analgesia Regional6
a. Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan kaudal.
b. Blok perifer (blok saraf), misalnya blok pleksus brakialis, aksiler, analgesia
regional intra vena, dan lainnya.

2.4. Spinal Anastesia


Anestesia spinal dihasilkan dengan menginjeksikan anestetik lokal kedalam
cairan serebrospinal, hal ini dicapai hanya dengan punksi subaraknoid lumbal.
Tergantung dosis, lokal anestetik dapat menghasilkan efek anastesia ringan sampai
dengan komplit pada daerah dermatom atau seluruh tubuh. Teknik ini telah dilakukan
awal abad kedua puluh dan dokter dan penderita memutuskan bukan berarti
menghindari komplikasi – komplikasi anestesi umum. Setelah 1950, penggunaan
anestesi berkurang di AS, anestesi umum menjadi aman dan lebih menyenangkan bagi
pasien. Pada 1975 telah dipertimbangkan bahwa paedah anestesi spinal dan epidural,
8
memberikan keuntungan terhadap pemakai dan tidak merupakan pilihan yang simple
terhadap anestesi umum, membuat teknik ini penting pada penanganan penderita.6

2.5. Indikasi Dan Kontra Indikasi 2,6


2.5. Indikasi
a. Bedah ektremitas bawah
b. Bedah panggul
c. Tindakan sekitar rektum – perineum
d. Bedah obstetri dan ginekologi
e. Bedah urologi
f. Bedah abdomen bawah
g. Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri biasanya dikimbinasi dengan
anestesia umum

2.5. Kontraindikasi Absolut


a. Pasien menolak
b. Infeksi pada tempat suntikan
c. Hipovolemia berat, syok
d. Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
e. Tekanan intrakranial meninggi
f. Fasilitas resusitasi minim
g. Kurang pengalaman / tanpa didampingin konsultan anastesia

2.5. Kontraindikasi Relatif


a. Infeksi sistemik (sepsis,bakteremi)
b. Infeksi sekitar tempat suntikan
c. Kelainan neurologis
d. Kelainan psikis
e. Bedah lama
f. Penyakit jantung
g. Hipovolemia ringan
h. Nyeri punggung kronis

2.6. Persiapan Pre-anestesia


2.6.1. Persiapan mental dan fisik pasien6
9
a. Anamnesis
 Identitas pasien, misalnya : nama, umur, alamat dan pekerjaan
 Riwayat penyakit yang sedang atau pernah diderita yang mungkin dapat
menjadi penyulit dalam anestesia seperti penyakit alergi, diabetes mellitus,
penyakit paru kronik, penyakit jantung dan hipertensi, penyakit hati dan
penyakit ginjal.
 Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin dapat
menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestesi.
 Riwayat operasi dan anestesia yang pernah dialami, berapa kali dan selang
waktunya, serta apakah pasien mengalami komplikasi saat itu.
 Kebiasaan buruk sehari-hari yang dapat mempengaruhi jalannya anestesi
misalnya merokok, alkohool, obat-obat penenang atau narkotik.

b. Pemeriksaan fisik
 Tinggi dan berat badan untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan
yang diperlukan dan jumlah urin selama dan pasca bedah.
 Kesadaran umum, kesadaran, tanda-tanda anemia, tekanan darah,
frekuensi nadi, pola dan frekuensi pernafasan.
 Pemeriksaan saluran pernafasan; batuk-batuk, sputum, sesak nafas,
tanda-tanda sumbatan jalan nafas, pemakaian gigi palsu, trismus,
persendian temporo mandibula.
 Tanda-tanda penyakit jantung dan kardiovaskuler; dispnu atau ortopnu,
sianosis, hipertensi
 Abdomen untuk melihat adanya distensi, massa, asites yang dapat
membuat tekanan intra abdominal meningkat sehingga dapat
menyebabkan regurgitasi.

c. Pemeriksaan laboratorium
 Darah : Hb, leukosit, golongan darah, hematokrit, masa pembekuan, masa
perdarahan, hitung jenis leukosit
 Urine : protein, reduksi, sedimen
 Foto thoraks
 EKG : terutama pada pasien diatas 40 tahun karena ditakutkan adanya
iskemia miokard

10
 Spirometri dan bronkospirometri pada pasien tumor paru
 Fungsi hati pada pasien ikterus
 Fungsi ginjal pada pasien hipertensi
 Analisa gas darah, elektrolit pada ileus obstruktif

2.6.2. Perencanaan anastesia


Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar
pasien dalam keadaan bugar, sedangkan pada operasi cito penundaan yang tidak perlu
harus dihindari.

2.6.3. Merencanakan prognosis


Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang berasal dari
The American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi sebagai berikut :
ASA 1 : pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
ASA 2 : pasien dengan penyakit sistemik ringan dan sedang
ASA 3 : pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas
ASA 4 : pasien dengan penyakit sistemik berat yang tak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakit merupakan ancaman kehidupannya setiap saat
ASA 5 : pasien sekarat yang diperkirakan dangan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam
ASA 6: pasien yang coma atau telah dinyatakan mati batang otak yang organnya
akan diambil untuk kepentingan donor.
Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.

2.6.4. Persiapan pada hari operasi


Secara umum, persiapan pembedahan antara lain :
a. Pengosongan lambung : dengan cara puasa, memasang NGT. Lama puasa pada
orang dewasa kira-kira 6-8 jam, anak-anak 4-6 jam, bayi 2 jam (stop ASI). Pada
operasi darurat, pasien tidak puasa, maka dilakukan pemasangan NGT
untuk dekompresi lambung.
b. Pengosongan kandung kemih
c. Informed consent ( Surat izin operasi dan anestesi).
d. Pemeriksaan fisik ulang
e. Pelepasan kosmetik, gigi palsu, lensa kontak dan asesori lainnya.

11
f. Premedikasi secara intramuskular ½ - 1 jam menjelang operasi atau secara
intravena jika diberikan beberapa menit sebelum operasi

2.7. Teknik Anastesi Spinal6,7


Seperti pada anestesi umum, obat-obatan, perlengkapan serta standar. Persiapan
termasuk vasopressor untuk mencegah hipotensi, suplemen oksigen mesin anestesi
disiapkan sebelum penderita masuk ruangan ; begitu pula dengan monitor melalui nasal
kanula atau masker untuk mengatasi depresi pernapasan akibat sedatif atau anestetik.
Pemberian sedatif dan narkotik membuat penderita tenang selama penusukan jarum,
bahkan pasien cukup sadar untuk melaporkan parestesia selama prosedur. Nyeri yang
persisten atau parestesia dengan penusukan jarum  atau injeksi anestetik dapat
menggambarkan trauma akar saraf.
Anestesi spinal dapat dilakukan pada posisi duduk, lateral dekubitus atau posisi
prone. Walaupun posisi duduk lebih mudah untuk mendapatkan  fleksi vertebra, pasien
menjadi lelah bahkan membutuhkan bantuan. Setiap melakukan tindakan  tersebut
operator dan asisten harus memberitahu pasien setiap langkah yang diambil untuk
mendapatkan keadaan yang stabil.  Setelah posisi ditentukan , identifikasi tempat
penusukan. Pencegahan untuk menghindari infeksi termasuk tehnik aseptic, kulit
dibersihkan dengan  larutan bakterisidal, penutup steril, sarung tangan dan secara hati-
hati memperhatikan indicator sterilisasi termasuk perlengkapan spinal. Untuk mncegah
kesalahan pemberian obat atau dosis, identifikasi label dan konsentrasi diperhatikan
dengan hati-hati.

12
Gambar 5. Posisi pasien pada anestesi spinal6

Posisi lumbal punksi ditentukan sesuai dengan kesukaan penderita, letak daerah
operasi dan densitas larutan anestetik local. Vertebra lumbal difleksikan  untuk
melebarkan ruang  procesus spinosus dan memperluas rongga interlamina. Pada posisi
prone, menempatkan bantal dibawah panggul untuk membantu fleksi vertebra lumbal.
Saat lahir medulla spinalis berkembang sampai L4, setelah umur 1 tahun
medulla spinalis berakhir pada L1-L2. Jadi blok spinal dibuat dibawah L2 untuk
menghindari resiko kerusakan medulla spinalis. Garis penghubung  yang
menghubungkan  Krista iliaca memotong daerah interspace L4-5 atau procesus spinosus
L4.

Gambar 6. Posisi jarum pada anestesi spinal6

Pendekatan median lebih sering digunakan. Jari tengah tangan operator non
dominan menetukan titik interspace yang dipilih, kulit yang menutupi interspace
diinfiltrasi dengan anestesi local menggunakan jarum halus. Jarum spinal ditusukkan
pada garis tengah secara sagital, mengarah ke cranial (10o) menghadap ruang
interlamina. Penusukan keruang  sub arachnoid melewati kulit, jaringan sub cutan,
ligamentum supraspinosus, ligamentum interspinosus dan ligamentum flavum. Ketika

13
ujung jarum mendekati ligamentum flavum terdapat peningkatan tahanan disertai
perasaan poping, saat itu jarum menembus duramater dengan kedalaman 4-7 cm. Jika
ujung jarum menyentuh tulang harus ditarik kembali secukupnya untuk membebaskan
dari ligametum, sebelumnya diarahkan kearah cranial atau kaudal.
Setelah itu stylet ditarik, CSS mengalir dari jarum secara bebas. Jika CSS
bercampur darah hendaknya dibersihkan secepatnya; kemungkinan ini jarum mengenai
vena epidural. Setelah yakin aliran CSS ahli anestesi memegang jarum dengan tangan
yang bebas , dengan menahan belakang pasien, ibu jari dan telunjuk memegang pangkal
jarum, dan menghubungkan dengan spoit yang telah berisi larutan anestetik. Aspirasi
CSS untuk meyakinkan ujung jarung tetap dalam CSS. Injeksi dengan cepat
menggunakan jarum kecil memudahkan bercampurnya anestesi dengan CSS, ini
memudahkan  penyebaran larutan  dengan CSS dan menurunkan perbedaan  densitas
antara larutan dengan CSS. Injeksi yang sangat lambat (2 atau 3 ml dalam semenit atau
lebih) mengurangi efeknya .setelah injeksi obat aspiarasi lagi CSS untuk lebih
menyakinkan posisi jarum.
Bila pendekatan midline tidak berhasil seperti  orang tua dengan kalsifikasi
ligamentum atau pasien kesulitan posisi karena keterbatasan fleksi lumbal. Jarum
ditusukkan kira-kira 1-1,5 cm dilateral garis tengah pada bagian bawah procesus
spinosus dari interspace yang diperlukan. Jarum ditusukkan kearah median dan ke
cephal menembus otot-otot paraspinosus. Jika jarum mengenai tulang berarti mengenai
lamina ipsilateral dan jarum diposisikan kembali ke arah superior atau inferior masuk
ruang sub arachnoid.
Pendekatan selain midline atau paramedian adalah pendekatan lumbosakral
(taylor), yang digunakan interspace columna vertebralis pada L5-S1. identifikasi spina
iliaca posterior superior dan kulit, dimulai 1 cm kemedian dan 1 cm  inferior ketitik
tersebut. Jarum diarahkan kemedial dan ke superior sampai masuk ke kanalis spinalis
pada midline L5-S1.

2.7.1. Jarum Spinal7


Pemilihan jarum spinal tergantung  usia pasien, kebiasaan ahli anestesiologi dan
biaya. Ujung jarum quincle umumnya mempunayi bevel yang panjang yang menyatu
dengan lubang. Dapat dibagi dalam ukuran: 20G-29G; ukuran 22G dan 25G yang sering
digunakan. Ujung jarum quincle yang runcing menebus dengan mudah .untuk menjamin
posisi yang tepat mengalirnya CSS dilihat pada 4 kwadran dengan memutar jarum. 

14
Tidak seperti jarum dengan bevel tajam, jarum bentuk pensil mempunyai ujung
berbentuk tapering dengan lubang disamping. Untuk insersi dibutuhkan tenaga yang
lebih.Contoh jarum bentuk pensil adalah Sprotte, Whitacre dan Gertie Marx.Perbedaan
antara kedua jarum tersebut adalah ukuran dan letak lubang dilateral.Meskipun lebih
mahal dari pada bevel tajam, jarum ini kurang menyebabkan kerusakan pada duramater
dan lebih sedikit mengakibatkan sakit kepala post anesthesia spinal.
Penentuan jenis jarum lebih banyak ditentukan oleh usia. Walaupun harga yang
lebih mahal jarum pensil point,  lebih bagus bagi penderita yang mempunyai resiko
yang besar terhadap sakit kepala post anesthesia spinal.

2.7.2. Obat-Obat Spinal Anestesi7


Anestesi spinal yang memuaskan membutuhkan blok sepanjang dermatom
daerah operasi. Keterbatasan memperluas anestesi yang diperlukan untuk memblok
dermatom sangat penting untuk mengurangi beratnya efek menjadi minimum.Obat yang
digunakan untuk anestesi spinal termasuk anestesi local, opioid dan vasokonstriktor,
dektrosa kadang-kadang ditambahkan untuk meningkatkan berat jenis larutan.

a. Anestetik local
Semua anestetik local efektif untuk anesthesia spinla. Kriteria yang digunakan
untuk memilih obat adalah lamanya operasi. Tetrakain dan bupivakain biasanya dipilih
untuk operasi yang lebih lama dari 1 jam dan lidokai untuk operasi yang kurang dari 1
jam, walaupun durasi anestesi spinal tergantung pula pada penggunaan vasokonstriktro,
dosis serta distribusi obat.
Dalam menentukan dosis yang digunakan untuk anesthesia spinal, variable
individual pasien tidak merupakan kepentingan yang besar. Pada umumnya lebih
banyak anestetik local  akan menghasilkan anestesi yang lebih luas.

Tabel 1. Obat-obat anestesi lokal untuk anesthesia spinal

Konsentrasi   Dosis      Lama (jam)


Obat (%)   (mg) Tanpa Dengan
Epinefrin Epinefrin
Lidokain, hyperbarik 5 25-100 1           2

15
Lidokain, isobaric. 2 20-100 1,5        2 – 3
Tetrakain, hyperbarik. 0,5   3-15 2        2 – 4
Tetrakain, isobaric. 1    3-20 2-3         4 – 6
Tetrakain, hypobarik. 0,3   3-20 2        4 – 6
Bupivakain, isobaric.  0,5   5-15 2-3         4 – 6
Bupivakain, hyperbarik. 0,75   3-15 1,5        3 - 4

b. Vasokonstriktor
Lamanya blok dapat ditingkatkan 1-2 jam dengan  penambahan larutan
vasokonstriktor kelautan yang diinjeksikan kedalam CSS. Baik epinefrin (0,1-0,2 mg)
maupun phenyleprine (1,0-4,0 mg) memperpanjang durasi anestesi spinal. Obat-obatan
tersebut menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah yang mensuplay dura dan
medulla spinalis, mengurangi absorbsi vascular dan eliminasi anestetik
local.Penambahan untuk mengurangi aliran darah, vasokonstriktor menekan secara
langsung efek antinoceftif terhadap medulla spinalis.

c. Opioid
Dalam dekade terakhir ini, ahli anestesi telah menggunakan opioid subarachnoid
untuk memperbaiki kwalitas dari blok sensomotoris dan untuk analgesia postoperative.
Kerja narkotik subarachnoid adalah pada reseptor opiod didalam medulla spinalis.
Morpin (0,1-0,2 mg) menghasilkan analgesia signifikan yang baik pada periode
postoperative, sebagaimana Fentanyl (25-37,5 mikrogram) dan subfentanyl (10
mikrogram) . efek samping narkotik subarachnoid termasuk pruritus, nausea, dan
depresi pernapasan.

Tabel 2.Opioid Dalam ruang subarachnoid.

             Obat               Dosis.        Lama kerja.


  Morfin     0,1 – 0,2 mg       8 – 24 jam
  Fentanyl     25 – 50   mg        1 – 2  jam

16
  Subfentanyl       5 – 10-  mg        2 – 3  jam

d. Dextrose, Barisitas, Distribusi.


Densitas larutan anestesi local adalah fungsi konsenrasi dan cairan dimana obat
tersebut dilarutkan. Densitas dari CSS 37 oC adalah 1,001 – 1,005 g/ml. Barisitas larutan
anestesi local adalah perbandingan pada suhu dari densitas laritan anestetik terhadap
densitas CSS pada tempratur yang sama. Larutan anestesi local dengan densitas lebih
dari 1,008 g/ml pada suhu 37 o C disebut hiperbarik, densitas antara 0,998 dan 1,007
g/ml digolongkan isobaric, dan densitas kurang dari 0,997 g/ml termasuk hipobarik.
Preparat anestetik local 5% sampai 8% dalam dextrose adalah hiperbarik; dalam CSS
atau garam saline, isobaric; dan dilarutkan dalam air , hipobarik.
Dosis obat, densitas larutan anestetik local dan posisi pasien selama dan setelah
injeksi lebih banyak menentukan distribusi anestesi local dan tingkat anesthesia. Factor
lain seperti ; umur, berat badan dan panjang columna vertebralis adalah kurang penting.
Pada posisi supine, lordosis lumbal menunjukkan titik terendah spinal pada L3-4, dan
kiposis torak menunjukkan titik terendah pada T5-6. jadi jika pasien diberikan larutan
anestesi local hiperbarik pada L4 pada posisi supine , larutan tersebut bergerak oleh
karena grafitasi dari titik tertinggi sampai dua regio yang lebih rendah yaitu sacrum dan
T5-6, menghasilkan blok yang baikpada dermatom toraks tetapi itu termasuk suplai
yang relatif jarang  dari anestesi local pada akar saraf pertengahan lumbal. Sadel blok
untuk anesthesia perineum , ini dihasilkan jika lautan hiperbarik di injeksikan pada
pasien dengan posisi duduk dan mempertahankan posisi tersebut untuk beberapa menit
setelah injeksi.
Larutan isobaric cenderung untuk tinggal pada tempat injeksi dan menghasilkan
blok yang lebih terlokalisir dan menyebar hanya kebawah dan dermatom toraks. Larutan
ini cocok untuk prosedur pada ektremitas bawah dan prosedur urology.
Larutan hypobarik dapat digunakan ketika pasien pada posisi supine, pada posisi
jack-knife untuk operasi rectum, perineum, dan anus, atau pada posisi lateral dekubitus.
Kenutungan  larutan hypobarik bahwa kemiringan meja operasi dengan kepala dibawah
mengurangi pengumpulan darah ditungkai, juga membantu mencegah pemyebaran
anestesi local kearah kepala.

2.7.3. Konduksi Anestesi Spinal7


Pengelolaan setelah injeksi anestesi local kedalam CSS meliputi pengamatan
dan pengobatan efek samping dan penilaian distribusi dari anestesi local. Pemberian
17
oksigen dan  pemasangan pulse oksimetri untuk mencegah hipoksemia. Memperhatikan
terus-menerus denyut jantung untuk mendeteksi bradikardia, dan mengulangi
pengukuran tekanan darah untuk menilai adanya hipotensi.
Distribusi dari blok dapat diukur dengan beberapa tes. Kehilangan rasa persepsi
dingin (kapas alcohol atau es pada kulit) berhubungan dengan tingkat blok simpatis,
yang dilayani oleh dua modalitas saraf yang hampir mirip diameter dan kecepatan
konduksinya. Level sensoris diketahui dengan adanya respon terhadap goresan peniti
atau garukan jari.Fungsi motorik dilakukan dengan menyuruh pasien melakukan fleksi
plantar jari kaki (S1-2), dorsofleksi kaki (L4-5 ) , mengangkat lutut (L2-3) atau
tegangan muskulus rektus abdominalis dengan mengangkat kepala (T6-12).
Selama anestesi spinal tingkat blok simpatis meluas lebih tinggi dari  blok
sensoris dimana dalam perluasannya lebih tinggi dari blok motoris. Besarnya derajat
blok tidak berhubungan dengan perbedaan dari sensitivitas dari berbagai macam serabut
saraf , sebagai suatu pemikiran , tetapi dibedakan oleh konsentrasi anestatik local
diantara berbagai akar saraf dan terhadap derajat konsentrasi di dalam masing-masing
akar saraf. Serbut saraf sensoris dan simpatis yang lebih perifer lebih mudah diblok
karena lebih banyak terekspose oleh keonsetrasi anestesi local dari pada serabut saraf
motorik yang lebih dalam.

2.7.4. Komplikasi Anestesi Spinal2,6,7 


Komplikasi dini / intraoperatif :
a. Hipotensi
Hipotensi sering terjadi selama anestesi spinal, terutama akibat blok preganglion
vasomotor efferent sistim saraf simpatis dan kehilangan kompensasi vasokonstriksi
eketremitas bawah. Berkurangnya preload (venodilatasi) menunjukkan menurunnya
curah jantung; berkurangnya tonus arteriole sedikit kontribusinya terhadap terjadinya
hipotensi, kecuali tahanan pembuluh darah perifer meningkat sebelum anestesi
spinal.Blok serat kardioakselator pada T1-T4 menyebabkan bradikardi dan kehilangan
kontraktilitas.
Terapi hipotensi dimulai dengan tindakan yang cepat seperti koreksi posisi
kepala, pemberian cairan intravena dan pemberian vasopressor sesuai kebutuhan. Jika
cairan yang diberikan tidak dapat mengoreksi bradikardi atau kontraktilitas melemah,
terapi yang disukai untuk spinal hipotensi  adalah kombinasi cairan untuk mengoreksi
hipovolemi dengan alfa dan beta adrenergik agonis (seperti efedrin) dan atropin (untuk
bradikardi) tergantung pada situasi.
18
b. Anestesi spinal tinggi / total
Pasien dengan tingkat anesthesia yang tinggi dapat mengalami kesulitan dalam
pernapasaan . Harus dibedakan secara hati-hati apa penyebabnya untuk memberikan
terapi yang tepat. Hampir semua dispnea tidak disertai paralysis otot pernapasan tetapi
adalah kehilangan sensasi proprioseptif tersebut mengakibatkan dyspnea walaupun
fungsi otot pernapasan dan pertukaran gas adekuat. 
Total spinal adalah  blockade dari medulla spinalis sampai ke servikal oleh suatu
obat local anestesi. Factor pencetus : Pasien mengejan, dosis obat local anestesi yang
digunakan, posisi pasien terutama bila menggunakan obat hiperbarik.
Sesak napas dan sukar bernapas merupakan gejala utama dari blok spinal tinggi.
Sering disertai mual, muntah, precordial discomfort dan gelisah. Apabila blok semakin
tinggi penderita menjadi apnea, kesadaran menurun disertai hipotensi yang berat dan
jika tidak ditolong akan terjadi henti jantung
Penanganan : 
 Usahakan jalan napas tetap bebas, kadang diperlukan bantuan napas
lewat face mask
 Jika depresi pernapasan makin berat (blok motor C3-5 dengan paralysis
nervus phrenikus)perlu segera dilakukan intubasi endotrakeal dan control
ventilasi untuk menjamin oksigenasi yang adekuat
 Bantuan sirkulasi dengan dekompresi jantung luar diperlukan bila terjadi
henti jantung
 Pemberian cairan kristaloid 10-20 ml/kgBB diperlukan untuk mencegah
hipotensi
 Jika hipotensi tetap terjadi atau jika pemberian cairan yang agresif harus
dihindari maka pemberian vasopresor merupakan pilihan seperti
adrenalin dan sulfas atropin

c. Henti jantung 
Henti jantung yang tiba-tiba telah dilaporkan pada pasien yang mendapatkan
spinal anestesi. Pasien yang mendapat sedatif  dan hipotensi sampai tejadinya henti
jantung yang tiba-tiba terbukti sulit untuk diterapi. Respon kardiovaskuler terhadap
hiperkarbia dan hipoksia kerana sedatif dan narkotik mengakibatkan pasien tidak
mempunyai respon terhadap hipoksemia yang progresif, asidosis dan hiperkarbia.

19
Henti jantung dapat dihindari dengan beberapa langkah sebagai berikut: pertama
opioid harus digunakan dengan perhatian  yang tinggi selama anestesi spinal. Kedua,
semua pasien yang menjalani anestesi spinal dibutuhkan suplemen oksiegen dan
pemantauan dengan pulse oxymetri. Ketiga, hipotensi dan bradikardi dibutuhkan terapi
segera  untuk memelihara curah jantung. Keempat, seharusnya pasien yang mengalami
episode hipotensi dan henti jantung yang tiba-tiba  merupakan indikasi segera dan tepat
mendapatkan terapi oksigen, hiperventilasi, epinefrin dosis tinggi (0,1-1 mg) dan
sodium bikarbonat jika ada indikasi.

d. Mual dan muntah 


Mual selama anestesi spinal biasa terjadi oleh karena hipoperfusi serebral atau
tidak terhalanginya stimulus vagus usus.Biasanya mual adalah tanda awal hipotensi.
Bahkan blok simpatis mengakibatkan tak terhalangnya tonus parasimpatis yang
berlebihan pada traktus gastrointestinal. 
Mual dan muntah umumnnya, dapat terjadi karena : 
 Hipotensi
 Adanya aktifitas parasimpatis yang menyebabkan peningkatan
peristalyik usus
 Tarikan nervus dan pleksus khususnya N vagus
 Adanya empedu dalam lambungoleh karena relaksasi pylorus dan
spincter ductus biliaris
 Factor psikologis
 Hipoksia

Penanganan :
 Untuk menangani hipotensi : loading cairan kristaloid atau koloid 10-20
ml/kgBB kristaloid
 Pemberian bolus efedrin 5-10 mg IV
 Oksigenasi yang adekuat untuk mengatasi hipoksia.
 Dapat juga diberikan anti emetik.
 Atropin dapat memperbaiki refleks mual dimana tekanan darah dan
curah jantung telah diperbaiki.
e. Parestesia

20
Parestesia dapat terjadi selama penusukan jarum spinal atau saat menginjeksikan
obat anestetik.Pasien mengeluh sakit atau terkejut singkat pada ektremitas bawah, hal
ini disebabkan jarum spinal mungkin mengenai akar saraf. Jika pasien merasakan
adanya parestesia  persiten atau paresthesia saat menginjeksikan anesthetik local, jarum
harus digerakkan kembali dan ditempatkan pada interspace yang lain untuk mengcegah
kerusakan yang permanen. Ada atau tidaknya paresthesia dicatat pada status anesthesia.

Komplikasi lanjut 
 Post dural Puncture Headache (PDPH)
Sakit kepala yang terjadi setelah punksi dura disebut spinal headache
atau post-dural puncture headache (PDPH), telah dilukiskan oleh Bier thn. 1898.
CSS keluar dari ruang subarachnoid  melalui punksi dura, menyebabkan tarikan
pada struktur vaskuler yang sensitive terhadap sakit. Sakit kepala diperburuk
oleh sikap berdiri atau duduk dan terasa berkurang dengan terlentang . Rasa
sakit tersebut dirasakan  di frontal, occipital atau keduanya dan mungkin disertai
dengan gejala seperti tinitus atau diplopia. Walupun ini terjadi segera setelah
punksi dura, tapi bisanya setelah 24-72 jam.
Kejadian PDPH lebih banyak terjadi pada pasien muda dan wanita.
Kecepatan hilangnya CSS cenderung bergantung pada bentuk ukuran lubang
pada dura dan dengan demikian kemungkinan  terjadinya sakit kepala lebih
berat. Menggunakan jarum ukuran kecil (24G atau lebih kecil) penting untuk
pasien dibawah umur 50 tahun.Jarum spinal dengan bagian ujung bulat atau
tumpul, membentuk robekan yang lebih kecil dan penyembuhan lebih cepat.
Terapi sakit kepala bisanya dimulai dengan tindakan konservatif. Hidrasi
intravena atau oral meningkatkan produksi CSS dan mengganti CSS yang
hilang. Walaupun pasien dengan PDPH akan lebih senang jika terlentang,
istirahat ditempat tidur tidak dapat mencegah sakit kepala. Cafein intravena atau
oral mungkin dapat membantu.Pengikatan perut dapat meningkatkan tekanan
ruang epidural, karena itu megurangi bocornya CSS.
Terapi definitive untuk PDPH adalah menyumbat epidural dengan darah.
Tahun 1960 Gormley mencatat bahwa pasien dengan perdarahan selama lumbal
punksi memiliki insiden yang kurang terjadinya PDPH. Dengan postulat ini
bekuan darah dapat menutup lubang dura dan mencegah bocornya CSS, ia
memperlihatkan dengan sukses , untuk membebaskan sakit kepala , darah
tersebut ditempatkan didalam ruang epidural. Untuk mendapatkan suatu
21
penyumbatan epidural oleh darah, 10-20 ml darah sendiri yang steril di
injeksikan perlahan keruang epidural. Dengan komplikasi pada umumnya adalah
“ transient back pain”. Penyumbatan dengan darah efektif lebih dari 95 %
pasien.

Pencegahan dan Penanganan : 


 Hidrasi dengan cairan yang kuat.
 Gunakan jarum sekecil mungkin (dianjurkan < 24) dan menggunakan
jarum non cutting pencil point
 Hindari penusukan jarum yang berulang-ulang
 Tusukan jarum dengan bevel sejajar serabut longitudinal durameter
 Mobilisasi seawal mungkin.
 Gunakan pendekatan paramedian
 Jika nyeri kepala tidak berat dan tidak mengganggu aktivitas maka hanya
diperlukan terapi konservatif yaitu bedrest dengan posisi supine,
pemberian cairan intravena maupun oral, oksigenasi adekuat
 Pemberian sedasi atau analgesi yang meliputi pemberian kafein 300 mg
peroral atau kafein benzoate 500 mg IV atau IM, asetaminofen atau
NSAID
 Hidrasi dan pemberian kafein membantu menstimulasi pembenntukan
LCS
 Jika nyeri kepala menghebat dilakukan prosedur khusus Epidural Blood
Patch
o Baringkan pasien seperti prosedur epidural.
o Ambil darah vena antecubiti 10-15 ml.
o Dilakukan pungsi epidural kemudian masukan darah secara
pelan-pelan.
o Pasien diposisikan supine selama 1 jam kemudian boleh
melakukan gerakan dan mobilisasi.
o Selama prosedur pasien tidak boleh batuk dan menghejan.

 Nyeri punggung (Backache)


Sakit tulang belakang lebih sering mengikuit anesthesia spinal dari pada
yang terjadi pada anestesi umum. Ini mungkin disebabkan akibat tarikan
22
ligamentum  dengan relaksasi otot paraspinosus dan posisi operasi yang
menyertai anestesi regional dan general.         
Nyeri punggung dapat juga terjadi akibat Tusukan jarum yang
mengenaikulit, otot dan ligamentum.  Nyeri ini tidak berbeda dengan nyeri yang
menyertai anestesi umum, biasnya bersifat ringan sehingga analgetik post
operatif biasanya bias menutup nyeri ini.
Relaksasi otot yang berlebih pada posisi litotomi dapat menyebabkan
ketegangan ligamentum lumbal selama spinal anestesi. Rasa sakit punggung
setelah spinal anestesi sering terjadi tiba-tiba dan sembuh dengan sendirinya
setelah 48 jam atau dengan terapi konservatif. Adakalanya spasme otot
paraspinosus menjadi penyebab.
Dapat diberikan penanganan dengan istirahat, psikologis, kompres panas
pada daerah nyeri dan analgetik antiinflamasi yang diberikan dengan
benzodiazepine akan sangat berguna. 

 Cauda Equine Sindrom


Terjadi ketika cauda equine terluka atau tertekan. Penyebab adalah
trauma dan toksisitas. Ketika terjadi injeksi yang traumatic intraneural,
diasumsikan bahwa obat yang diinjeksikan telah memasuki LCS, bahan-bahan
ini bias menjadi kontaminan sepeti deterjen atau antiseptic atau bahan pengawet
yangberlebihan.
Penggunaan obat anestesi local yang tidak neurotoksik terhadap cauda
equine merupakan salah satu pencegahan terhadap sindroma tersebut selain
menghindari trauma pada cauda equine waktu melakukan penusukan jarum
spinal.

 Meningitis
Munculnya bakteri pada ruang subarakhnoid tidak mungkin terjadi jika
penanganan klinis dilakukan dengan baik. Meningitis aseptic mungkin
berhubungan dengan injeksi iritan kimiawi dan telah dideskripsikan tetapi jarang
terjadi dengan peralatan sekali pakai dan jumlah larutan anestesi murni local

Pencegahan 
 Dapat dilakukan dengan menggunakan alat-alat dan obat-obatan yang
betul-betul steril
23
 Menggunakan jarum spinal sekali pakai
 Pengobatan dengan pemberian antibiotika yang spesifik

 Retensi urine
Proses miksi tergantung dari utuhnya persarafan dari spincter uretra dan
otot-otot kandung kencing. Setelah anestesi spinal fungsi motor dan sensoris
ekstremitas bawah pulih lebih cepat dari fungsi kandung kencing, khususnya
dengan obat anestesi spinal kerja cepat seperti tetracain atau bupivacain.
Lambatnya fungsi saraf pulih dapat mengakibatkan retensi urine dan distensi
kandung kencing.Untuk prosedur yang lebih lama dan pemberian cairan
intravena yang banyak, pemasangan kateter kandung kencing mencegah
komplikasi ini.

 Spinal hematom
Meski angka kejadiannnya kecil, spinal hematom merupakan bahaya
besar bagi klinis karena sering tidak mengetahui sampai terjadi kelainan
neurologist yang membahayakan. Terjadi akibat trauma jarum spinal pada
pembuluh darah di medulla spinalis. Dapat secara spontan atau ada
hubungannnya dengan kelainan neoplastik. Hematom yang berkembang di
kanalis spinalis dapat menyebabkan penekanan medulla spinalis yang
menyebabkan iskemik neurologist dan paraplegi
Tanda dan gejala tergantung pada level yang terkena, umumnya meliputi :
 Mati rasa
 Kelemahan otot
 Kelainan BAB
 Kelainan sfingter kandung kemih
 Sakit pinggang yang berat
Factor resikonya berupa abnormalitas medulla spinalis, kerusakan
hemostasis, kateter spinal yang tidak tepat posisinya, kelainan vesikuler,
penusukan berulang- ulang. Apabila ada kecurigaan maka pemeriksaan MRI,
myelografi harus segera dilakukan dan dikonsultasikan ke ahli bedah saraf.
Banyak perbaikan neurologist pada pasien spinal hematom yang segera
mendapatkan dekompresi pembedahan (laminektomi) dalam waktu 8-12
jam.

24
 Kerusakan saraf
Trauma saraf setelah anestesi spinal adalah jarang tapi dapat terjadi
akibat trauma mekanik dan kimiawi.Kerusakan langsung pada akar saraf
mungkin disebabkan oleh jarum, mengakibatkan radikulopati dengan defisit
motoris atau sensoris sepanjang distribusi akar saraf. Kerusakan ini bisanya 
membaik dalam 2-12 minggu.

2.8. Selulitis

2.8.1. Definisi selulitis

Selulitis adalah infeksi umum pada kulit dan jaringan lunak di bawah kulit. Hal ini
terjadi ketika bakteri menyerang kulit yang rusak atau normal dan mulai menyebar di
bawah kulit dan ke dalam jaringan lunak. Hal ini menyebabkan infeksi dan peradangan.

2.8.2. Penyebab

Pada orang dewasa dengan immunocompetent, selulitis biasanya disebabkan


oleh Staphylococcus pyogenes dan kadang-kadang, Staphylococcus aureus. Isolasi dari
methicillin-resistant S.aureus (MRSA) terus meningkat, terutama di kalangan pengguna
narkoba dengan cara suntikan, pasien terinfeksi HIV, tahanan,  atlet, anggota militer,
dan laki-laki homoseksual.

Pada anak-anak, yang paling umum menyebabkan selulitis adalah S.aureus.


Penyebab lain meliputi S.pyogenes (perianal selulitis), Haemophilus influenzae, dan
S.pneumoniae.
S.pneumoniae jarang menjadi penyebab selulitis pada dewasa. Pneumococcal selulitis
dapat terjadi dari bakteremia. Dalam pengamatan pada infeksi pneumokokus di kulit
orang dewasa, semua pasien yang terinfeksi memiliki penyakit kronis yang
mendasarinya atau yang immunocompromised oleh obat atau kecanduan alkohol,

25
Selulitis wajah terjadi terutama pada anak-anak yang beresiko terkena bakteremia oleh
karena pneumokokus.

Pasien yang immunocompromised dengan granulocytopenia, seperti pada


penerima transplantasi ginjal, dapat terkena selulitis akibat infeksi dengan organisme
lain, termasuk bakteri gram negatif (misalnya, Pseudomonas, Proteus, Serratia,
Enterobacter, Citrobacter), Anaerob, patogen oportunistik lain (misalnya , Helicobacter
cinaedi, Fusarium spesies), mikobakteri, dan jamur (misalnya Cryptococcus).  Selulitis
preseptal yang disebabkan oleh dermatofitosis jarang ditemukan, terutama di kelompok
usia pediatrik. Selulitis persisten akibat infeksi Cryptococcus neoformans juga telah
dilaporkan pada pasien ginjal yang menerima dialisis. Escherichia coli dapat menjadi
penyebab selulitis pada pasien dengan sindrom nefrotik . Penyebab infeksi selulitis yang
tidak umum lainnya meliputi Neisseria meningitidis; Mycobacterium avium-
intracellulare; Pasteurella multocida.

2.8.3. Patogenesis

Selulitis biasanya diikuti suatu kerusakan / luka di kulit, seperti fisura, luka yang
seperti teriris, lecet, gigitan serangga, atau luka tusukan. Selulitis pada wajah atau yang
berasal dari infeksi odontogenic mungkin juga terjadi. Pasien dengan tinea pedis dan
orang-orang dengan obstruksi limfatik, insufisiensi vena, ulkus bertekanan, dan obesitas
sangat rentan terhadap episode berulang cellulitis.

Organisme pada kulit dan sekitarnya mendapatkan jalan untuk masuk dermis
dan berkembang biak menyebabkan selulitis. Sebagian besar kasus klinis disebabkan
oleh Streptococcus pyogenes atau Staphylococcus aureus.
Selulitis kadang kadang dapat disebabkan oleh osteomielitis. Selulitis jarang sekali
terjadi sebagai hasil dari pembenihan metastatik organisme yang terletak jauh dari fokus
infeksi, terutama pada individu dengan defisiensi imun. Hal ini sangat umum terjadi
pada selulitis akibat Streptococcus pneumoniae dan vibrios di laut,Neisseria
meningitidis, Pseudomonas aeruginosa, Brucella spesies, dan spesies Legionella juga
telah dilaporkan sebagai penyebab langka akibat selulitis hematogenous spread.

2.8.4. Gejala Klinis

Gejala yang ditimbulkan yaitu rasa nyeri dan pembengkakan lokal di tempat
yang terinfeksi selulitis.  Pasien biasanya menceritakan riwayat terjadinya trauma ke
daerah yang terinfeksi. Selulitis yang parah akibat infeksi bakteri dapat terjadi sebagai
26
komplikasi pascaoperasi, seperti operasi penggantian pinggul atau sedot lemak, atau
oklusi limfatik sekunder radikal diikuti mastectomy  atau operasi payudara secara
konservatif; cacat dan edema limfatik juga dianggap sebagai faktor predisposisi untuk
kaki berselulitis akibat reseksi Vena safena untuk bypass arteri koroner. Namun,
selulitis dapat mengikuti cedera biasa pada kulit (misalnya, goresan, abrasi, gigitan
hewan, suntikan narkoba pada intravena atau subkutan, tindik). Selulitis juga pernah
dilaporkan sebagai kemungkinan komplikasi pasca radiasi therapy.

Umumnya terjadi demam, dan menggigil yang tercatat, terutama jika ada
supurasi. Daerah yang terinfeksi tampak merah, panas, bengkak, dan lunak. Tidak
seperti erysipelas, batas luka tidak menonjol dan tidak berbatas tegas Limfangitis,
regional limfadenopati, malaise, menggigil, demam, dan keracunan dapat terjadi. Pada
kasus yang parah, pasien dapat mengalami hipotensi. Supurasi lokal dapat terjadi jika
terlambat ditangani kulit permukaan infeksi dapat mengalami nekrosis.

Yang paling umum terinfeksi adalah daerah ekstremitas inferior. Selulitis


perianal akibat infeksi Streptokokus golongan A biasanya terdapat pada anak – anak
dengan fisura perianal. Hal ini ditandai dengan eritema dan pruritus perianal, sekret
purulen, nyeri pada buang air besar, dan perdarahan di daerah yang digunakan untuk
duduk. Selulitis wajah akibat pneumokokus terjadi terutama pada anak- anak yang
beresiko terinfeksi bakteremia pneumokokus. Selulitis ini dapat terjadi pada 2 keadaan
klinis khusus, yaitu sebagai berikut :

 Infeksi pada ekstrimitas tubuh dapat terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus
atau penyalahgunaan zat.
 Infeksi pada kepala, leher, dan dada atas dapat terjadi pada individu dengan
lupus eritematosus sistemik, sindrom nefrotik, atau gangguan hematologis.

2.8.5. Tatalaksana

Apabila terdapat tanda-tanda seperti kondisi sistemik seperti malaise dan demam
tinggi, adanya disfagia atau dispnoe, dehidrasi atau pasien kurang minum, diduga
adanya penurunan resistensi terhadap infeksi, toksis septikemia dan infiltrasi ke daerah
anatomi yang berbahaya serta memerlukan anestesi umum untuk drainase, diperlukan
penanganan seriusdan perawatan di rumah sakit sesegera mungkin.

Dalam pemberian antibiotik perlu diperhatikan apakah pasien mempunyai


riwayat alergi terhadap antibiotik tertentu, terutama bila diberikan secara intravena
27
untuk itu perlu dilakukan skin test terlebih dahulu. Antibiotik diberikan selama 5-10
hari (Milloro, 2004)

Suppotive Care, seperti istirahat dan nutrisi yang cukup, pemberian analgesik &
antiinflamasi (analgesik-antiinflamasi nonsteroid seperti Diklofenak (50 mg/8 jam) atau
Ibuprofen (400-600 mg/8 jam) dan jika Kortikosteroid diberikan, perlu ditambahkan
analgesik murni, seperti Paracetamol antiinflamasi diberikan dalam (650 mg/4-6 jam)
dan/ atau Opioid rendah seperti Kodein (30 mg/6 jam)), pemberian aplikasi panas
eksternal (kompres panas) maupun peroral (melalui obat kumur saline) dapat memicu
timbulnya pernanahan. Komplikasi yang seringkali menyertai selulitis fasial antara lain:
obstruksi pernafasan, septik syok, dan septikemia

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Ilustrasi Kasus


Laporan kasus ini membahas pasien seorang laki-laki, usia 55 tahun dengan
diagnosis Selulitis, jenis tindakan Debridemant dengan rencana anastesi RA-SAB.

 Identitas Pasien
Nama : Achirsyawal Pane
Umur : 55 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Tinggi / Berat badan : 165 cm / 80 kg
No. RM : 01.05.10.83
Alamat : Jl. H.M Said
MRS : 12 Maret 2018
Tanggal Operasi : 27 Maret 2018

 Anamnesis (Autoanamnesis) (26 Maret 2018)


 Keluhan utama : Borok pada kaki kanan
28
 Riwayat penyakit sekarang : Hal ini dialami pasien ± 1 minggu ini.
Selain itu os juga merasakan nyeri , panas , dan bengkak pada kaki kanan ± 2
minggu ini. BAK (+) dalam batas normal . BAB (+) dalam batas normal .Os
mempunyai riwayat DM yang baru diketahuinya setelah masuk rumah sakit.
Riwayat Hipertensi dijumpai ± 2 tahun ini.

 Riwayat Penyakit Dahulu:


 Riwayat sakit serupa : disangkal
 Riwayat dirawat : disangkal
 Hipertensi : Dijumpai
 Asma : disangkal
 Alergi obat-obatan dan makanan : disangkal
 Alergi udara dingin : disangkal
 Diabetes : dijumpai
 Penyakit Jantung : disangkal
 Penyakit Paru : disangkal
 Kejang : disangkal
 Penyakit Hati : disangkal
 Penyakit Ginjal : disangkal
 Riwayat Operasi dan Anestesi : disangkal

 Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat penyakit serupa : disangkal
 Riwayat Hipertensi : disangkal
 Riwayat kencing manis : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disangkal

 Riwayat Kebiasaan
 Merokok : disangkal
 Minum alkohol : disangkal
 Narkotik : disangkal
 Olahraga :-

29
Keadaan Pra Bedah (Follow Up Anestesi 26 Maret 2018)
B1 (Breath)
Airway : Clear
Frekuensi pernafasan : 20 x/i
Suara pernafasan : Vesikuler
Suara tambahan : (-)
Riwayat asma/sesak/batuk/alergi: -/-/-/-

B2 (Blood)
Akral : Hangat/merah
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Frekuensi nadi : 85 x/i
T/V : Cukup
Temperatur : 36,7oC
Konj.palp inferior pucat/hiperemis/ikterik :-/-/-

B3 (Brain)
Sensorium : Compos Mentis
RC : +/+
Pupil : Isokor
Reflek fisiologis : +/+
Reflek patologis : -/-
Riwayat kejang/ muntah proyektil/ nyeri kepala/ pandangan kabur : -/ -/ -/ -

B4 (Bladder)
Urine :+
Volume : Cukup
Warna : Kuning
Kateter :-

B5 (Bowel)
Abdomen : soepel (+), distensi (-), nyeri tekan (-), teraba massa (-)
Peristaltik : (+)
Mual/Muntah : -/-
30
BAB/Flatus : +/+
NGT :-

B6 (Bone)
Fraktur :+
Luka : + (luka borok di pedis dextra)
Luka bakar :-
Oedem :-

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Hematologi
Hb : 11,0 gr/dl (N: 12-16 gr/dl)
Ht : 32,6 % (N : 37-47 %)
Eritrosit : 3.63 juta/ul (N: 4,3-6,0 juta/ul)
Leukosit : 9.73 /ul (N: 4800-10800/ul)
Trombosit : 456.000/ul (N: 150000-400000/ul)
MCV : 89,8 fl (N: 80-96 fl)
MCH : 30,3 pg (N: 27-32 pg)
MCHC : 33,7 g/dl (N: 32-36 g/dl)
Koagulasi
Waktu Perdarahan : 4 menit (N:1-6 Menit)
Waktu Pembekuan : 9 menit (N:8-18 Menit)
Waktu Protombin : 11,0 (N: 9-12,2 detik)
APTT : 56,5 (N:20,8-28,2)
INR : 1,04 (N:1-1,3)

Kimia klinik
SGOT (AST) : 16,00 mU/dl (N: 0-32 mU/dl)
SGPT (ALT) : 19,00 mU/dl (N: 0-33 mU/dl)
31
Albumin : 2,70 (N: 3.4-4.8 g/dL)
Ureum : 16,50 mg/dl (N: 10-50 mg/dl)
Creatinin : 0,80 mg/dl (N: 0,5-1,5 mg/dl)
Asam Urat : 4.00 mg/dL (N: 2.4-5.7)
Glukosa Darah adr : 102,00 mg/dl (N:<140 mgdl)
Natrium : 134,10 mmol/dl (N : 136-155 mmol/dl)
Kalium : 4,42 mmol/dl (N:3,5-5,5 mmol/dl)
Chlorida : 102,30 mmol/dl (N: 95-103 mmol/dl)

 Rontgen Thorax : Cardiomegali dan Pneumonia


 EKG : sinus rhytm
 Echo :-
 Spirometri :-

 PENGGOLONGAN STATUS FISIK PASIEN MENURUT ASA


ASA II
 RENCANA TINDAKAN
Debridement

32
 RENCANA ANESTESI
Anestesi Spinal
Premedikasi : Fentanyl 100 mcg
Induksi : Bupivacain 0,5 % 15 mg
 KESIMPULAN
Pasien laki-laki usia 55 tahun, berat badan 80 kg, status fisik ASA II, diagnosis
selulitis yang akan dilakukan tindakan debridement, rencana anastesi spinal
dengan napas spontan

FOTO KLINIS:

Anestesi
Persiapan pasien
Pasien puasa sejak pukul 00.00
Pemasangan infus pada dorsum manus sinistra dengan cairan RL
Persiapan alat
 Stetoskop
 Tensimeter
 Mejaoperasidanperangkatoperasi
33
 Suction
 Jarum spinal no. 25
 Betadine
 Sarung tangan steril
 Infus set
 Abocath no 18 G
 Threeway
 Spuit 3cc
 Spuit 5cc
 Spuit 10cc

Obat – obat yang dipakai


- Premedikasi :
o Fentanyl 100 mcg
- Medikasi :
o Bupivacain 0,5%, 15mg
o Ondansentron 4mg
o Ketorolac 30 mg
o Dexametasone 5mg
o Efedhrin 20 mg

Urutan pelaksanaan anastesi


- Cairan pre operasi :RL 500 ml
- Prosedur anastesi :
 Pasien diposisikan duduk tegak, dengan posisi leher flexi, posisi tangan
memeluk bantal.
 Infuse RL terpasang di lengan kiri
 Pemasangan tensi meter di lengan kanan
 Pemasangan oksimetri di ibu jari kanan pasien
 Pemasangan elektrodapengukuran frekuensi nadi dan frekuensi nafas

34
Teknik anastesi :Pendekatan midline digunakan, lokasi yang dituju adalah L3-L4 
garis imajiner yang menghubungkan kedua krista iliaka kanan dan kiri sebagai batas
L4-L5

DURANTE OPERASI
1. Mempertahankan hemodinamik stabil dan monitoring cairan infuse.
2. Memonitoring saturasi O2, tekanandarah,nadi,dan nafas setiap 15 menit.

Jam TD Nadi RR SaO2


(mmHg) (x/menit) (x/menit) (%)
09.30 130/80 70 20 99%
09.35 130/80 72 20 99%
09.40 120/80 86 20 99%
09.45 120/80 88 20 99%
09.50 110/70 98 20 99%
10.00 100/60 101 21 99%
10.05 90/60 112 20 99%
10.10 110/70 98 20 99%
10.15 110/70 90 20 99%
10.20 110/70 99 20 99%
10.30 120/70 95 20 99%

3. Monitoring perdarahan
- Perdarahan
Kassa`basah : 10 x 10 cc = 100 cc
Kassa ½ basah :5 x 5cc = 25 cc

35
Suction :-
Handuk :-
Total :125 cc
- Infuse RLo/tregio dorsum manus sinistra
Pre operasi : 500ml
Durante operasi : RL 1000 ml
- Urine output
Durante operasi : 50 cc
EBV : 70 x 80 = 5600 10% = 566, 20% = 1132, 30% =1698

KETERANGAN TAMBAHAN
- Diagnosis pasca bedah : Post Debridement o/t pedis dextra
- Lama anastesi :09.30 – 10.40
- Lama operasi :09.40– 10.30

Instruksi Pasca Bedah :


 Bed rest, head up 300
 O2 2 L/i via nasal kanul
 IVFD RL 20 gtt/i
 Injeksi Ketorolac 30 mg/ 8 jam
 Injeksi ondansentron 4 mg/8 jam
 Antibiotik dan terapi lain sesuai TS
 Pantau Vital sign per 15 menit selama 2 jam di RR
 TD < 90 mmHg atau > 160 mmHg, HR <60x/i atau HR>120 x/i, RR<10 x/i atau
>32x/i, T < 35 C, atau T > 38 C, lapor dokter jaga
 Pantau urin output, bila <0,5 cc/kgBB/jam, lapor dokter jaga.

36
3.2. Pembahasan Teori

Indikasi anastesi spinal Pasien laki-laki umur 55 tahun,


dengan selulitis o/t pedis dextra
1. Bedah ektremitas bawah
direncanakan tindakan
2. Bedah panggul debridement yang dilakukan
pada pedis dextra akan tidak
3. Tindakan sekitar rektum – perineum
praktis jika dilakukan anestesi
4. Bedah obstetri dan ginekologi umum

5. Bedah urologi

6. Bedah abdomen bawah

7. Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri


biasanya dikombinasi dengan anestesia umum

37
Kontraindikasi Pada pasien ini tidak dijumpai
adanya kontraindikasi absolut
Kontraindikasi Absolut
maupun relatif.
 Pasien menolak
 Infeksi pada tempat suntikan
 Hipovolemia berat, syok
 Koagulopati atau mendapat terapi
antikoagulan
 Tekanan intrakranial meninggi
 Fasilitas resusitasi minim
 Kurang pengalaman / tanpa didampingin
konsultan anastesia

Kontraindikasi Relatif
 Infeksi sistemik (sepsis,bakteremi)
 Infeksi sekitar tempat suntikan
 Kelainan neurologis
 Kelainan psikis
 Bedah lama
 Penyakit jantung
 Hipovolemia ringan
 Nyeri punggung kronis

Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kebugaran Pasien ini digolongkan dalam
fisik seseorang berasal dari The American Society ASA 2 karena terdapat DM
Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi sebagai berikut terkontrol dan hipertensi
: terkontrol pada pasien ini

 ASA 1 : pasien sehat organik, fisiologik,


psikiatrik, biokimia

 ASA 2 : pasien dengan penyakit sistemik

38
ringan dan sedang

 ASA 3 : pasien dengan penyakit sistemik


berat, sehingga aktivitas rutin terbatas

 ASA 4 : pasien dengan penyakit sistemik


berat yang tak dapat melakukan aktivitas rutin
dan penyakit merupakan ancaman kehidupannya
setiap saat

 ASA 5 : pasien sekarat yang diperkirakan


dangan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak
akan lebih dari 24 jam

 ASA 6 : pasien yang dinyatakan koma atau


mati batang otak yang organnya diambil untuk
kepentingan donor

Persiapan pada hari operasi Pada pasien ini persiapan


a. Pengosongan lambung : dengan cara puasa, lengkap dan diberikan
memasang NGT. Lama puasa pada orang premedikasi beberapa menit
dewasa kira-kira 6-8 jam, anak-anak 4-6 jam, sebelum operasi secara
bayi 2 jam (stop ASI). Pada operasi darurat, intravena yaitu fentanyl 100
pasien tidak puasa, maka dilakukan mcg
pemasangan NGT untuk dekompresi
lambung.
b. Pengosongan kandung kemih
c. Informed consent ( Surat izin operasi dan
anestesi).
d. Pemeriksaan fisik ulang
e. Pelepasan kosmetik, gigi palsu, lensa kontak
dan asesori lainnya.
f. Premedikasi secara intramuskular ½ - 1 jam
menjelang operasi atau secara intravena jika
diberikan beberapa menit sebelum operasi

39
Pemilihan Jarum Spinal Pada pasien ini ukuran jarum
yang digunakan adalah 25 G
Pemilihan jarum spinal tergantung  usia pasien,
kebiasaan ahli anestesiologi dan biaya. Ujung jarum
quincle umumnya mempunayi bevel yang panjang
yang menyatu dengan lubang. Dapat dibagi dalam
ukuran: 20G-29G; ukuran 22G dan 25G yang sering
digunakan

Obat-obatan yang digunakan Pada pasien ini digunakan


Bupivakain (isobaric) dengan
konsentrasi 0,5%

Komplikasi Anestesi : Pada pasien ini tidak dijumpai


komplikasi dari tindakan
1. Hipotensi
anestesi spinal
2. Henti jantung

3. Mual-muntah

4. Parestesia

5. PDPH (Post Durla Puncture Headache)

6. Nyeri punggung

7. Cauda Equina Syndrom

8. Meningitis

9. Retensi urin

40
10. Spinal Hematom

11. Kerusakan Saraf

BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Anestesi istilah ini diturunkan dari dua kata Yunani yang secara bersamaan
berarti hilangnya rasa atau rasa atau sensasi. Istilah ini di pergunakan oleh para ahli
saraf dengan maksud untuk menyatakan bahwa terjadi kehilangan rasa secara patologis
pada bagian tertentu tubuh.

Anestesi regional sering digunakan secara sinonim dengan anestesi lokal.


Anestesi ini dengan tepat di gunakan hanya jika anestesi lokal dipergunakan untuk saraf
atau medulla spinalis, yang terletak jauh dari daerah yang dubuat tidak peka. Anestesi
spinal menjadi lebih populer seiring perkembangan zaman. Tingginya popularitas
anestesi spinal di Amerika Serikat terjadi pada tahun 1940an. Namun, anatomi, pilihan
41
anestesi lokal, efek fisiologis anestesi spinal, posisi pasien, dan pendekatan anestesi
spinal semuanya harus dipertimbangkan. Pada pasien dengan yang akan dilakukan
amputasi pada extremitas bawah seringkali menggunakan anestesi spinal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangku, Gede. Dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta.
Indeks Jakarta.
2. Latief S, dkk. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi II, cetakan kelima.
Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia ; Hal : 29-90.
3. Boulton.B. Thomas. Blogg. E. colin. 1994. Anestesiologi Edisi 10. EGC. Hal 118-
121
4. Muhiman, Muhardi. 2004 . Anestesiologi. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif FKUI.
5. Torpy JM, Lynm C. 2011. General Anesthesia. Vol 305. No 10. JAMA (The
Journal of the American Medical Association). (diakses tanggal 11-04-2018, http:
jama.jamanetwork.com)
42
6. CREST. 2005. Guidelines on the management of cellulitis in adult
(www.crestni.org.uk)
7. Boies L. R, Adams G L, dkk. 2007. Boeis Buku Ajar Penyakit THT Edisi Keenam.
EGC.
8. Djuanda, Adhi. Dkk. 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indomesia. Hal : 61
9. Harahap, Marwali. 2000. Ilmu penyakit kulit. Jakarta : Hipokrates. Hal 57
10. De jong. Sjamsuhidajat. 2000. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC. Hal 395

43

Anda mungkin juga menyukai