PENDAHULUAN
2
BAB II
LANDASAN TEORI
3
Gambar 2. Ligamentum-ligamentum2
5
2.2 Sistem Saraf Otonom
Sistem saraf otonom terdiri dari neuron saraf yang terletak diluar sistem saraf
pusat dan neuron eferen. Keduanya mempunyai jaring hubungan yang jauh melalui
medulla spinalis (kolumna inter mediolateral) dan otak (medulla dan diencefalon).
Sistem saraf otonom diaktivasi oleh pusat pusat yang terletak di dalam medulla spinalis,
batang otak dan hipotalamus korteks serebri dapat mengirim implus kepusat yang lebih
rendah dan dengan jalan ini mempengaruhi pengendalian otonom.5
6
Serabut saraf simpatis pra ganglion yang berjalan tanpa sinaps,
sepenuhnya dari sel kornu intermedio lateral medula spinalis melalui rantai
simpatis, saraf splanknik, dan akhirnya medulla adrenal dan berakhir langsung di
sel – sel khusus yang mengsereksi epinefrin dan norepinefrin. Sel sekretor ini
embriologis berasal dari jaringan saraf dan dapat disamakan dengan neuron
pasca ganglion.5
b. Anatomi Saraf Para Simpatis
Serabut saraf – saraf parasimpatis meninggalkan sistem saraf pusat
melalui beberapa saraf kranial, saraf spinal sakral kedua, tiga dan keempat.5
Serabut para simpatis di dalam nervus ketiga berjalan ke spingter pupil
dan otot siliaris mata. Serabut nervus ketujuh berjalan ke kelenjar lakrimalis,
nasal, dan sub maksilaris. Serabut nervus kesembilan berjalan ke kelenjar
parotis. Nervus vagus mensuplai saraf parasimpatis kejantung paru – paru,
esofagus, lambung, usus halus, separuh proksimal kolon, hati, kandung empedu,
pancreas dan bagian atas ureter. Serabut paras simpatis sakral dalam bentuk
nervi erigentes, meninggalkan pleksus sakral dan menyebar ke kolon desendens,
rektum, kandung kemih dan bagian ureter bawah, juga mensuplai serabutnya
kegenitalia eksterna untuk menyebabkan berbagai reaksi seksual. Sistem
parasimpatis seperti sistem mempunyai neuron pra ganglionik dan paska
ganglionik.5
Kecuali dalam beberapa hal saraf para simpatis kranial, serabut saraf
para ganglionik berjalan keorgan yang harus dirangsang oleh implus para
simpatis. Didalam dinding organ tersebut terdapat neuron pasca ganglion
parasimpatis. Serabut pra gangliogenik parasimpatis. Serabut pra ganglion
bersinaps dengan neuron –neuron ini, kemudian serabut serabut pasca
ganglionik yang pendek dengan panjang 1 milimeter sampai beberapa
sentimeter, meninggalkan neuron menyebar kedalam organ.5
7
Sekresi zat transmiter asetil kolin dan nor epinefrin oleh ujung saraf otonom
terjadi sama seperti sekresi pada sinaps. Ujung saraf simpatis dan para simpatis
mengandung sejumlah besar vesikel transmiter kecil dengan diameter 300 – 600
angstrom. Vesikel didalam ujung saraf kolinergik mengandung asetil kolin dan
kelihatan jernih.5
Vesikel didalam ujung saraf adrenergik mengandung norepinefrin dan kelihatan
granuler. Bila aksi potensial menyebar pada serabut terminal, proses depolarisasi
meningkatkan permeabilitas membran serabut terhadap ion kalsium, memberikan ion
berdifusi dalam jumlah yang cukup banyak kedalam terminal saraf iyi. Mereka
berinteraksi dengan vesikel yang ada dekat membran, sehingga menyebabkan isinya
kebagian luar (sekresi zat transmiter).5
Asetil kolin disentese dalam ujung terminal serabut saraf kalinergik.
Kebanyakan sinstese ini mungkin terjadi dalam akso plasma, kemudian diangkut
kedalam vesikel, meskipun diantaranya juga di sentesa dalam vesikel itu sendiri. Bila
asetil kolin disekresi oleh saraf kolinergik, kebanyakan dipecah menjadi ion asaetat dan
kolin dengan enzim kalinesterase yang ada dalam ujung saraf itu sendiri dan pada
permukaan organ reseptor. Mekanisme pemecahan ininsama seperti pada hubungan
neuro muskular serabut saraf skeletal. Kolin yang terbentuk diangkut lagi untuk sintesa
asetil kolin baru.5
b. Pemeriksaan fisik
Tinggi dan berat badan untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan
yang diperlukan dan jumlah urin selama dan pasca bedah.
Kesadaran umum, kesadaran, tanda-tanda anemia, tekanan darah,
frekuensi nadi, pola dan frekuensi pernafasan.
Pemeriksaan saluran pernafasan; batuk-batuk, sputum, sesak nafas,
tanda-tanda sumbatan jalan nafas, pemakaian gigi palsu, trismus,
persendian temporo mandibula.
Tanda-tanda penyakit jantung dan kardiovaskuler; dispnu atau ortopnu,
sianosis, hipertensi
Abdomen untuk melihat adanya distensi, massa, asites yang dapat
membuat tekanan intra abdominal meningkat sehingga dapat
menyebabkan regurgitasi.
c. Pemeriksaan laboratorium
Darah : Hb, leukosit, golongan darah, hematokrit, masa pembekuan, masa
perdarahan, hitung jenis leukosit
Urine : protein, reduksi, sedimen
Foto thoraks
EKG : terutama pada pasien diatas 40 tahun karena ditakutkan adanya
iskemia miokard
10
Spirometri dan bronkospirometri pada pasien tumor paru
Fungsi hati pada pasien ikterus
Fungsi ginjal pada pasien hipertensi
Analisa gas darah, elektrolit pada ileus obstruktif
11
f. Premedikasi secara intramuskular ½ - 1 jam menjelang operasi atau secara
intravena jika diberikan beberapa menit sebelum operasi
12
Gambar 5. Posisi pasien pada anestesi spinal6
Posisi lumbal punksi ditentukan sesuai dengan kesukaan penderita, letak daerah
operasi dan densitas larutan anestetik local. Vertebra lumbal difleksikan untuk
melebarkan ruang procesus spinosus dan memperluas rongga interlamina. Pada posisi
prone, menempatkan bantal dibawah panggul untuk membantu fleksi vertebra lumbal.
Saat lahir medulla spinalis berkembang sampai L4, setelah umur 1 tahun
medulla spinalis berakhir pada L1-L2. Jadi blok spinal dibuat dibawah L2 untuk
menghindari resiko kerusakan medulla spinalis. Garis penghubung yang
menghubungkan Krista iliaca memotong daerah interspace L4-5 atau procesus spinosus
L4.
Pendekatan median lebih sering digunakan. Jari tengah tangan operator non
dominan menetukan titik interspace yang dipilih, kulit yang menutupi interspace
diinfiltrasi dengan anestesi local menggunakan jarum halus. Jarum spinal ditusukkan
pada garis tengah secara sagital, mengarah ke cranial (10o) menghadap ruang
interlamina. Penusukan keruang sub arachnoid melewati kulit, jaringan sub cutan,
ligamentum supraspinosus, ligamentum interspinosus dan ligamentum flavum. Ketika
13
ujung jarum mendekati ligamentum flavum terdapat peningkatan tahanan disertai
perasaan poping, saat itu jarum menembus duramater dengan kedalaman 4-7 cm. Jika
ujung jarum menyentuh tulang harus ditarik kembali secukupnya untuk membebaskan
dari ligametum, sebelumnya diarahkan kearah cranial atau kaudal.
Setelah itu stylet ditarik, CSS mengalir dari jarum secara bebas. Jika CSS
bercampur darah hendaknya dibersihkan secepatnya; kemungkinan ini jarum mengenai
vena epidural. Setelah yakin aliran CSS ahli anestesi memegang jarum dengan tangan
yang bebas , dengan menahan belakang pasien, ibu jari dan telunjuk memegang pangkal
jarum, dan menghubungkan dengan spoit yang telah berisi larutan anestetik. Aspirasi
CSS untuk meyakinkan ujung jarung tetap dalam CSS. Injeksi dengan cepat
menggunakan jarum kecil memudahkan bercampurnya anestesi dengan CSS, ini
memudahkan penyebaran larutan dengan CSS dan menurunkan perbedaan densitas
antara larutan dengan CSS. Injeksi yang sangat lambat (2 atau 3 ml dalam semenit atau
lebih) mengurangi efeknya .setelah injeksi obat aspiarasi lagi CSS untuk lebih
menyakinkan posisi jarum.
Bila pendekatan midline tidak berhasil seperti orang tua dengan kalsifikasi
ligamentum atau pasien kesulitan posisi karena keterbatasan fleksi lumbal. Jarum
ditusukkan kira-kira 1-1,5 cm dilateral garis tengah pada bagian bawah procesus
spinosus dari interspace yang diperlukan. Jarum ditusukkan kearah median dan ke
cephal menembus otot-otot paraspinosus. Jika jarum mengenai tulang berarti mengenai
lamina ipsilateral dan jarum diposisikan kembali ke arah superior atau inferior masuk
ruang sub arachnoid.
Pendekatan selain midline atau paramedian adalah pendekatan lumbosakral
(taylor), yang digunakan interspace columna vertebralis pada L5-S1. identifikasi spina
iliaca posterior superior dan kulit, dimulai 1 cm kemedian dan 1 cm inferior ketitik
tersebut. Jarum diarahkan kemedial dan ke superior sampai masuk ke kanalis spinalis
pada midline L5-S1.
14
Tidak seperti jarum dengan bevel tajam, jarum bentuk pensil mempunyai ujung
berbentuk tapering dengan lubang disamping. Untuk insersi dibutuhkan tenaga yang
lebih.Contoh jarum bentuk pensil adalah Sprotte, Whitacre dan Gertie Marx.Perbedaan
antara kedua jarum tersebut adalah ukuran dan letak lubang dilateral.Meskipun lebih
mahal dari pada bevel tajam, jarum ini kurang menyebabkan kerusakan pada duramater
dan lebih sedikit mengakibatkan sakit kepala post anesthesia spinal.
Penentuan jenis jarum lebih banyak ditentukan oleh usia. Walaupun harga yang
lebih mahal jarum pensil point, lebih bagus bagi penderita yang mempunyai resiko
yang besar terhadap sakit kepala post anesthesia spinal.
a. Anestetik local
Semua anestetik local efektif untuk anesthesia spinla. Kriteria yang digunakan
untuk memilih obat adalah lamanya operasi. Tetrakain dan bupivakain biasanya dipilih
untuk operasi yang lebih lama dari 1 jam dan lidokai untuk operasi yang kurang dari 1
jam, walaupun durasi anestesi spinal tergantung pula pada penggunaan vasokonstriktro,
dosis serta distribusi obat.
Dalam menentukan dosis yang digunakan untuk anesthesia spinal, variable
individual pasien tidak merupakan kepentingan yang besar. Pada umumnya lebih
banyak anestetik local akan menghasilkan anestesi yang lebih luas.
15
Lidokain, isobaric. 2 20-100 1,5 2 – 3
Tetrakain, hyperbarik. 0,5 3-15 2 2 – 4
Tetrakain, isobaric. 1 3-20 2-3 4 – 6
Tetrakain, hypobarik. 0,3 3-20 2 4 – 6
Bupivakain, isobaric. 0,5 5-15 2-3 4 – 6
Bupivakain, hyperbarik. 0,75 3-15 1,5 3 - 4
b. Vasokonstriktor
Lamanya blok dapat ditingkatkan 1-2 jam dengan penambahan larutan
vasokonstriktor kelautan yang diinjeksikan kedalam CSS. Baik epinefrin (0,1-0,2 mg)
maupun phenyleprine (1,0-4,0 mg) memperpanjang durasi anestesi spinal. Obat-obatan
tersebut menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah yang mensuplay dura dan
medulla spinalis, mengurangi absorbsi vascular dan eliminasi anestetik
local.Penambahan untuk mengurangi aliran darah, vasokonstriktor menekan secara
langsung efek antinoceftif terhadap medulla spinalis.
c. Opioid
Dalam dekade terakhir ini, ahli anestesi telah menggunakan opioid subarachnoid
untuk memperbaiki kwalitas dari blok sensomotoris dan untuk analgesia postoperative.
Kerja narkotik subarachnoid adalah pada reseptor opiod didalam medulla spinalis.
Morpin (0,1-0,2 mg) menghasilkan analgesia signifikan yang baik pada periode
postoperative, sebagaimana Fentanyl (25-37,5 mikrogram) dan subfentanyl (10
mikrogram) . efek samping narkotik subarachnoid termasuk pruritus, nausea, dan
depresi pernapasan.
16
Subfentanyl 5 – 10- mg 2 – 3 jam
c. Henti jantung
Henti jantung yang tiba-tiba telah dilaporkan pada pasien yang mendapatkan
spinal anestesi. Pasien yang mendapat sedatif dan hipotensi sampai tejadinya henti
jantung yang tiba-tiba terbukti sulit untuk diterapi. Respon kardiovaskuler terhadap
hiperkarbia dan hipoksia kerana sedatif dan narkotik mengakibatkan pasien tidak
mempunyai respon terhadap hipoksemia yang progresif, asidosis dan hiperkarbia.
19
Henti jantung dapat dihindari dengan beberapa langkah sebagai berikut: pertama
opioid harus digunakan dengan perhatian yang tinggi selama anestesi spinal. Kedua,
semua pasien yang menjalani anestesi spinal dibutuhkan suplemen oksiegen dan
pemantauan dengan pulse oxymetri. Ketiga, hipotensi dan bradikardi dibutuhkan terapi
segera untuk memelihara curah jantung. Keempat, seharusnya pasien yang mengalami
episode hipotensi dan henti jantung yang tiba-tiba merupakan indikasi segera dan tepat
mendapatkan terapi oksigen, hiperventilasi, epinefrin dosis tinggi (0,1-1 mg) dan
sodium bikarbonat jika ada indikasi.
Penanganan :
Untuk menangani hipotensi : loading cairan kristaloid atau koloid 10-20
ml/kgBB kristaloid
Pemberian bolus efedrin 5-10 mg IV
Oksigenasi yang adekuat untuk mengatasi hipoksia.
Dapat juga diberikan anti emetik.
Atropin dapat memperbaiki refleks mual dimana tekanan darah dan
curah jantung telah diperbaiki.
e. Parestesia
20
Parestesia dapat terjadi selama penusukan jarum spinal atau saat menginjeksikan
obat anestetik.Pasien mengeluh sakit atau terkejut singkat pada ektremitas bawah, hal
ini disebabkan jarum spinal mungkin mengenai akar saraf. Jika pasien merasakan
adanya parestesia persiten atau paresthesia saat menginjeksikan anesthetik local, jarum
harus digerakkan kembali dan ditempatkan pada interspace yang lain untuk mengcegah
kerusakan yang permanen. Ada atau tidaknya paresthesia dicatat pada status anesthesia.
Komplikasi lanjut
Post dural Puncture Headache (PDPH)
Sakit kepala yang terjadi setelah punksi dura disebut spinal headache
atau post-dural puncture headache (PDPH), telah dilukiskan oleh Bier thn. 1898.
CSS keluar dari ruang subarachnoid melalui punksi dura, menyebabkan tarikan
pada struktur vaskuler yang sensitive terhadap sakit. Sakit kepala diperburuk
oleh sikap berdiri atau duduk dan terasa berkurang dengan terlentang . Rasa
sakit tersebut dirasakan di frontal, occipital atau keduanya dan mungkin disertai
dengan gejala seperti tinitus atau diplopia. Walupun ini terjadi segera setelah
punksi dura, tapi bisanya setelah 24-72 jam.
Kejadian PDPH lebih banyak terjadi pada pasien muda dan wanita.
Kecepatan hilangnya CSS cenderung bergantung pada bentuk ukuran lubang
pada dura dan dengan demikian kemungkinan terjadinya sakit kepala lebih
berat. Menggunakan jarum ukuran kecil (24G atau lebih kecil) penting untuk
pasien dibawah umur 50 tahun.Jarum spinal dengan bagian ujung bulat atau
tumpul, membentuk robekan yang lebih kecil dan penyembuhan lebih cepat.
Terapi sakit kepala bisanya dimulai dengan tindakan konservatif. Hidrasi
intravena atau oral meningkatkan produksi CSS dan mengganti CSS yang
hilang. Walaupun pasien dengan PDPH akan lebih senang jika terlentang,
istirahat ditempat tidur tidak dapat mencegah sakit kepala. Cafein intravena atau
oral mungkin dapat membantu.Pengikatan perut dapat meningkatkan tekanan
ruang epidural, karena itu megurangi bocornya CSS.
Terapi definitive untuk PDPH adalah menyumbat epidural dengan darah.
Tahun 1960 Gormley mencatat bahwa pasien dengan perdarahan selama lumbal
punksi memiliki insiden yang kurang terjadinya PDPH. Dengan postulat ini
bekuan darah dapat menutup lubang dura dan mencegah bocornya CSS, ia
memperlihatkan dengan sukses , untuk membebaskan sakit kepala , darah
tersebut ditempatkan didalam ruang epidural. Untuk mendapatkan suatu
21
penyumbatan epidural oleh darah, 10-20 ml darah sendiri yang steril di
injeksikan perlahan keruang epidural. Dengan komplikasi pada umumnya adalah
“ transient back pain”. Penyumbatan dengan darah efektif lebih dari 95 %
pasien.
Meningitis
Munculnya bakteri pada ruang subarakhnoid tidak mungkin terjadi jika
penanganan klinis dilakukan dengan baik. Meningitis aseptic mungkin
berhubungan dengan injeksi iritan kimiawi dan telah dideskripsikan tetapi jarang
terjadi dengan peralatan sekali pakai dan jumlah larutan anestesi murni local
Pencegahan
Dapat dilakukan dengan menggunakan alat-alat dan obat-obatan yang
betul-betul steril
23
Menggunakan jarum spinal sekali pakai
Pengobatan dengan pemberian antibiotika yang spesifik
Retensi urine
Proses miksi tergantung dari utuhnya persarafan dari spincter uretra dan
otot-otot kandung kencing. Setelah anestesi spinal fungsi motor dan sensoris
ekstremitas bawah pulih lebih cepat dari fungsi kandung kencing, khususnya
dengan obat anestesi spinal kerja cepat seperti tetracain atau bupivacain.
Lambatnya fungsi saraf pulih dapat mengakibatkan retensi urine dan distensi
kandung kencing.Untuk prosedur yang lebih lama dan pemberian cairan
intravena yang banyak, pemasangan kateter kandung kencing mencegah
komplikasi ini.
Spinal hematom
Meski angka kejadiannnya kecil, spinal hematom merupakan bahaya
besar bagi klinis karena sering tidak mengetahui sampai terjadi kelainan
neurologist yang membahayakan. Terjadi akibat trauma jarum spinal pada
pembuluh darah di medulla spinalis. Dapat secara spontan atau ada
hubungannnya dengan kelainan neoplastik. Hematom yang berkembang di
kanalis spinalis dapat menyebabkan penekanan medulla spinalis yang
menyebabkan iskemik neurologist dan paraplegi
Tanda dan gejala tergantung pada level yang terkena, umumnya meliputi :
Mati rasa
Kelemahan otot
Kelainan BAB
Kelainan sfingter kandung kemih
Sakit pinggang yang berat
Factor resikonya berupa abnormalitas medulla spinalis, kerusakan
hemostasis, kateter spinal yang tidak tepat posisinya, kelainan vesikuler,
penusukan berulang- ulang. Apabila ada kecurigaan maka pemeriksaan MRI,
myelografi harus segera dilakukan dan dikonsultasikan ke ahli bedah saraf.
Banyak perbaikan neurologist pada pasien spinal hematom yang segera
mendapatkan dekompresi pembedahan (laminektomi) dalam waktu 8-12
jam.
24
Kerusakan saraf
Trauma saraf setelah anestesi spinal adalah jarang tapi dapat terjadi
akibat trauma mekanik dan kimiawi.Kerusakan langsung pada akar saraf
mungkin disebabkan oleh jarum, mengakibatkan radikulopati dengan defisit
motoris atau sensoris sepanjang distribusi akar saraf. Kerusakan ini bisanya
membaik dalam 2-12 minggu.
2.8. Selulitis
Selulitis adalah infeksi umum pada kulit dan jaringan lunak di bawah kulit. Hal ini
terjadi ketika bakteri menyerang kulit yang rusak atau normal dan mulai menyebar di
bawah kulit dan ke dalam jaringan lunak. Hal ini menyebabkan infeksi dan peradangan.
2.8.2. Penyebab
25
Selulitis wajah terjadi terutama pada anak-anak yang beresiko terkena bakteremia oleh
karena pneumokokus.
2.8.3. Patogenesis
Selulitis biasanya diikuti suatu kerusakan / luka di kulit, seperti fisura, luka yang
seperti teriris, lecet, gigitan serangga, atau luka tusukan. Selulitis pada wajah atau yang
berasal dari infeksi odontogenic mungkin juga terjadi. Pasien dengan tinea pedis dan
orang-orang dengan obstruksi limfatik, insufisiensi vena, ulkus bertekanan, dan obesitas
sangat rentan terhadap episode berulang cellulitis.
Organisme pada kulit dan sekitarnya mendapatkan jalan untuk masuk dermis
dan berkembang biak menyebabkan selulitis. Sebagian besar kasus klinis disebabkan
oleh Streptococcus pyogenes atau Staphylococcus aureus.
Selulitis kadang kadang dapat disebabkan oleh osteomielitis. Selulitis jarang sekali
terjadi sebagai hasil dari pembenihan metastatik organisme yang terletak jauh dari fokus
infeksi, terutama pada individu dengan defisiensi imun. Hal ini sangat umum terjadi
pada selulitis akibat Streptococcus pneumoniae dan vibrios di laut,Neisseria
meningitidis, Pseudomonas aeruginosa, Brucella spesies, dan spesies Legionella juga
telah dilaporkan sebagai penyebab langka akibat selulitis hematogenous spread.
Gejala yang ditimbulkan yaitu rasa nyeri dan pembengkakan lokal di tempat
yang terinfeksi selulitis. Pasien biasanya menceritakan riwayat terjadinya trauma ke
daerah yang terinfeksi. Selulitis yang parah akibat infeksi bakteri dapat terjadi sebagai
26
komplikasi pascaoperasi, seperti operasi penggantian pinggul atau sedot lemak, atau
oklusi limfatik sekunder radikal diikuti mastectomy atau operasi payudara secara
konservatif; cacat dan edema limfatik juga dianggap sebagai faktor predisposisi untuk
kaki berselulitis akibat reseksi Vena safena untuk bypass arteri koroner. Namun,
selulitis dapat mengikuti cedera biasa pada kulit (misalnya, goresan, abrasi, gigitan
hewan, suntikan narkoba pada intravena atau subkutan, tindik). Selulitis juga pernah
dilaporkan sebagai kemungkinan komplikasi pasca radiasi therapy.
Umumnya terjadi demam, dan menggigil yang tercatat, terutama jika ada
supurasi. Daerah yang terinfeksi tampak merah, panas, bengkak, dan lunak. Tidak
seperti erysipelas, batas luka tidak menonjol dan tidak berbatas tegas Limfangitis,
regional limfadenopati, malaise, menggigil, demam, dan keracunan dapat terjadi. Pada
kasus yang parah, pasien dapat mengalami hipotensi. Supurasi lokal dapat terjadi jika
terlambat ditangani kulit permukaan infeksi dapat mengalami nekrosis.
Infeksi pada ekstrimitas tubuh dapat terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus
atau penyalahgunaan zat.
Infeksi pada kepala, leher, dan dada atas dapat terjadi pada individu dengan
lupus eritematosus sistemik, sindrom nefrotik, atau gangguan hematologis.
2.8.5. Tatalaksana
Apabila terdapat tanda-tanda seperti kondisi sistemik seperti malaise dan demam
tinggi, adanya disfagia atau dispnoe, dehidrasi atau pasien kurang minum, diduga
adanya penurunan resistensi terhadap infeksi, toksis septikemia dan infiltrasi ke daerah
anatomi yang berbahaya serta memerlukan anestesi umum untuk drainase, diperlukan
penanganan seriusdan perawatan di rumah sakit sesegera mungkin.
Suppotive Care, seperti istirahat dan nutrisi yang cukup, pemberian analgesik &
antiinflamasi (analgesik-antiinflamasi nonsteroid seperti Diklofenak (50 mg/8 jam) atau
Ibuprofen (400-600 mg/8 jam) dan jika Kortikosteroid diberikan, perlu ditambahkan
analgesik murni, seperti Paracetamol antiinflamasi diberikan dalam (650 mg/4-6 jam)
dan/ atau Opioid rendah seperti Kodein (30 mg/6 jam)), pemberian aplikasi panas
eksternal (kompres panas) maupun peroral (melalui obat kumur saline) dapat memicu
timbulnya pernanahan. Komplikasi yang seringkali menyertai selulitis fasial antara lain:
obstruksi pernafasan, septik syok, dan septikemia
BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Achirsyawal Pane
Umur : 55 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Tinggi / Berat badan : 165 cm / 80 kg
No. RM : 01.05.10.83
Alamat : Jl. H.M Said
MRS : 12 Maret 2018
Tanggal Operasi : 27 Maret 2018
Riwayat Kebiasaan
Merokok : disangkal
Minum alkohol : disangkal
Narkotik : disangkal
Olahraga :-
29
Keadaan Pra Bedah (Follow Up Anestesi 26 Maret 2018)
B1 (Breath)
Airway : Clear
Frekuensi pernafasan : 20 x/i
Suara pernafasan : Vesikuler
Suara tambahan : (-)
Riwayat asma/sesak/batuk/alergi: -/-/-/-
B2 (Blood)
Akral : Hangat/merah
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Frekuensi nadi : 85 x/i
T/V : Cukup
Temperatur : 36,7oC
Konj.palp inferior pucat/hiperemis/ikterik :-/-/-
B3 (Brain)
Sensorium : Compos Mentis
RC : +/+
Pupil : Isokor
Reflek fisiologis : +/+
Reflek patologis : -/-
Riwayat kejang/ muntah proyektil/ nyeri kepala/ pandangan kabur : -/ -/ -/ -
B4 (Bladder)
Urine :+
Volume : Cukup
Warna : Kuning
Kateter :-
B5 (Bowel)
Abdomen : soepel (+), distensi (-), nyeri tekan (-), teraba massa (-)
Peristaltik : (+)
Mual/Muntah : -/-
30
BAB/Flatus : +/+
NGT :-
B6 (Bone)
Fraktur :+
Luka : + (luka borok di pedis dextra)
Luka bakar :-
Oedem :-
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Hematologi
Hb : 11,0 gr/dl (N: 12-16 gr/dl)
Ht : 32,6 % (N : 37-47 %)
Eritrosit : 3.63 juta/ul (N: 4,3-6,0 juta/ul)
Leukosit : 9.73 /ul (N: 4800-10800/ul)
Trombosit : 456.000/ul (N: 150000-400000/ul)
MCV : 89,8 fl (N: 80-96 fl)
MCH : 30,3 pg (N: 27-32 pg)
MCHC : 33,7 g/dl (N: 32-36 g/dl)
Koagulasi
Waktu Perdarahan : 4 menit (N:1-6 Menit)
Waktu Pembekuan : 9 menit (N:8-18 Menit)
Waktu Protombin : 11,0 (N: 9-12,2 detik)
APTT : 56,5 (N:20,8-28,2)
INR : 1,04 (N:1-1,3)
Kimia klinik
SGOT (AST) : 16,00 mU/dl (N: 0-32 mU/dl)
SGPT (ALT) : 19,00 mU/dl (N: 0-33 mU/dl)
31
Albumin : 2,70 (N: 3.4-4.8 g/dL)
Ureum : 16,50 mg/dl (N: 10-50 mg/dl)
Creatinin : 0,80 mg/dl (N: 0,5-1,5 mg/dl)
Asam Urat : 4.00 mg/dL (N: 2.4-5.7)
Glukosa Darah adr : 102,00 mg/dl (N:<140 mgdl)
Natrium : 134,10 mmol/dl (N : 136-155 mmol/dl)
Kalium : 4,42 mmol/dl (N:3,5-5,5 mmol/dl)
Chlorida : 102,30 mmol/dl (N: 95-103 mmol/dl)
32
RENCANA ANESTESI
Anestesi Spinal
Premedikasi : Fentanyl 100 mcg
Induksi : Bupivacain 0,5 % 15 mg
KESIMPULAN
Pasien laki-laki usia 55 tahun, berat badan 80 kg, status fisik ASA II, diagnosis
selulitis yang akan dilakukan tindakan debridement, rencana anastesi spinal
dengan napas spontan
FOTO KLINIS:
Anestesi
Persiapan pasien
Pasien puasa sejak pukul 00.00
Pemasangan infus pada dorsum manus sinistra dengan cairan RL
Persiapan alat
Stetoskop
Tensimeter
Mejaoperasidanperangkatoperasi
33
Suction
Jarum spinal no. 25
Betadine
Sarung tangan steril
Infus set
Abocath no 18 G
Threeway
Spuit 3cc
Spuit 5cc
Spuit 10cc
34
Teknik anastesi :Pendekatan midline digunakan, lokasi yang dituju adalah L3-L4
garis imajiner yang menghubungkan kedua krista iliaka kanan dan kiri sebagai batas
L4-L5
DURANTE OPERASI
1. Mempertahankan hemodinamik stabil dan monitoring cairan infuse.
2. Memonitoring saturasi O2, tekanandarah,nadi,dan nafas setiap 15 menit.
3. Monitoring perdarahan
- Perdarahan
Kassa`basah : 10 x 10 cc = 100 cc
Kassa ½ basah :5 x 5cc = 25 cc
35
Suction :-
Handuk :-
Total :125 cc
- Infuse RLo/tregio dorsum manus sinistra
Pre operasi : 500ml
Durante operasi : RL 1000 ml
- Urine output
Durante operasi : 50 cc
EBV : 70 x 80 = 5600 10% = 566, 20% = 1132, 30% =1698
KETERANGAN TAMBAHAN
- Diagnosis pasca bedah : Post Debridement o/t pedis dextra
- Lama anastesi :09.30 – 10.40
- Lama operasi :09.40– 10.30
36
3.2. Pembahasan Teori
5. Bedah urologi
37
Kontraindikasi Pada pasien ini tidak dijumpai
adanya kontraindikasi absolut
Kontraindikasi Absolut
maupun relatif.
Pasien menolak
Infeksi pada tempat suntikan
Hipovolemia berat, syok
Koagulopati atau mendapat terapi
antikoagulan
Tekanan intrakranial meninggi
Fasilitas resusitasi minim
Kurang pengalaman / tanpa didampingin
konsultan anastesia
Kontraindikasi Relatif
Infeksi sistemik (sepsis,bakteremi)
Infeksi sekitar tempat suntikan
Kelainan neurologis
Kelainan psikis
Bedah lama
Penyakit jantung
Hipovolemia ringan
Nyeri punggung kronis
Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kebugaran Pasien ini digolongkan dalam
fisik seseorang berasal dari The American Society ASA 2 karena terdapat DM
Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi sebagai berikut terkontrol dan hipertensi
: terkontrol pada pasien ini
38
ringan dan sedang
39
Pemilihan Jarum Spinal Pada pasien ini ukuran jarum
yang digunakan adalah 25 G
Pemilihan jarum spinal tergantung usia pasien,
kebiasaan ahli anestesiologi dan biaya. Ujung jarum
quincle umumnya mempunayi bevel yang panjang
yang menyatu dengan lubang. Dapat dibagi dalam
ukuran: 20G-29G; ukuran 22G dan 25G yang sering
digunakan
3. Mual-muntah
4. Parestesia
6. Nyeri punggung
8. Meningitis
9. Retensi urin
40
10. Spinal Hematom
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Anestesi istilah ini diturunkan dari dua kata Yunani yang secara bersamaan
berarti hilangnya rasa atau rasa atau sensasi. Istilah ini di pergunakan oleh para ahli
saraf dengan maksud untuk menyatakan bahwa terjadi kehilangan rasa secara patologis
pada bagian tertentu tubuh.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangku, Gede. Dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta.
Indeks Jakarta.
2. Latief S, dkk. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi II, cetakan kelima.
Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia ; Hal : 29-90.
3. Boulton.B. Thomas. Blogg. E. colin. 1994. Anestesiologi Edisi 10. EGC. Hal 118-
121
4. Muhiman, Muhardi. 2004 . Anestesiologi. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif FKUI.
5. Torpy JM, Lynm C. 2011. General Anesthesia. Vol 305. No 10. JAMA (The
Journal of the American Medical Association). (diakses tanggal 11-04-2018, http:
jama.jamanetwork.com)
42
6. CREST. 2005. Guidelines on the management of cellulitis in adult
(www.crestni.org.uk)
7. Boies L. R, Adams G L, dkk. 2007. Boeis Buku Ajar Penyakit THT Edisi Keenam.
EGC.
8. Djuanda, Adhi. Dkk. 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indomesia. Hal : 61
9. Harahap, Marwali. 2000. Ilmu penyakit kulit. Jakarta : Hipokrates. Hal 57
10. De jong. Sjamsuhidajat. 2000. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC. Hal 395
43