Anda di halaman 1dari 15

Spinal Anestesia

PENDAHULUAN
Anestesia spinal  dihasilkan dengan menginjeksikan anestetik local kedalam cairan
serebrospinal, hal ini dicapai hanya dengan punksi subaraknoid lumbal. Tergantung dosis, local
anestetik dapat menghasilkan efek anesthesia ringan sampai dengan komplit pada daerah
dermatom atau seluruh tubuh. 
Tehnik ini telah dilakukan awal abad dua puluh dan dokter dan penderita memutuskan bukan
berarti menghindari komplikasi-komplikasi anestesi umum. Setelah 1950 , penggunaan
anesthesia berkurang di AS, anesthesia umum menjadi aman dan lebih menyenangkan bagi
pasien. Pada 1975 telah dipertimbangkan bahwa faedah anestesi spinal dan epidural,
memberikan keuntungan terhadap pemakai dan tidak merupakan pilihan yang simple terhadap
anestesi umum, membuat tehnik ini  penting pada penanganan penderita.

ANATOMI
Tulang Belakang.
Tulang belakang terdiri dari 7 servikal, 12 torakal, 5 lumbal dan 5 tulang sacrum yang bersatu.
Vertebra terdiri dari columna dan arkus vertebra. Arkus vertebra terdiri dari dua pedikel
dianterior dan dua lamina diposterior. Pada pertemuan lamina dan pedikel terdapat procesus
transversus, dan dari pertemuan kedua lamina pada garis tengah tubuh diposterior
terdapat procesus spinosus . Lekukan pada permukaan pedikel akan membentuk foramen
intervertebralis  dengan lekukan pada permukaan pedikel vertebra diatas atau dibawahnya
sebagai tempat keluar nervus spinalis.

Medula Spinalis.
Kanalis spinalis  terletak didalam columna vertebralis antara foramen magnum dan hiatus
sakralis.Dianterior dibentuk  oleh columna vertebra, dilateral oleh pedikel dan diposterior oleh
lamina. Medula spinalis terbentang dari batang otak sampai permukaan L1-2 pada orang dewasa.
Akhir lumbal bawah dan akar-akar saraf sacral berlanjut didalam kanalis spinalis sebagai kauda
equina.
Medula spinalis dibungkus oleh tiga membran yaitu : piamater, arakhnoidmater, dan duramater.
Ketiganya membentuk tiga ruang. Ruang antara piamater yang menutup medula spinalis dan
arakhnoidmater. Ruang subarakhnoid berlanjut dari dasar kranium sampai S2 dan terdiri dari
akar saraf dan ciran serebrospinal (CSS). Ruang subarakhnoid terletak antara duramater dan
arakhnoidmater, ini merupakan ruang potensial khususnya obat-obatan yang diinjeksikan
keruang epidural atau subarakhnoid. Akibat subdural blok adalah kelemahan dan penyebaran
utama secara langsung kerah kepala.

Ligamentum-Ligamentum.
Ligamentum longitudinalis anterior dan posterior berjalan diantara aspek anterior dan
posterior columna vertebralis. Ligamentum supraspinosus membentang dari vertebra cervical 7
sampai sakrum dan mencapai ketebalan maksimum didaerah lumbal. Ligamentum
interspinosus menghubungkan dua procesus spinosus. Ligamentum flavum dikenal sebagai
serat elestik warna kuning berjalan di aspek anterior dan inferior tiap lamina vertebra
kepermukaan posterior dan superior bawah lamina dan menebal didaerah lumbal.  
Blood Suply 
Medulla spinalis mendapat suplai darah dari a. vertebral, a. servikal, a. interkostal dan a.
lumbalis.Cabang spinal ini terbagi ke dalam a. radikularis posterior dan anterior yang berjalan
sepanjang saraf menjangkau medulla dan membentuk pleksus arteri di dalam piameter.

Cerebrospinal Fluid 
Serabut saraf maupun medulla spinalis terendam dalam LCS yang merupakan hasil ulktrafiltrasi
dari darah dan diekskresi oleh pleksusu choroideus pada ventrikel lateral, ventrikel III dan
ventrikel IV. Produksinya konstan rata-rata 500 ml/hari tetapi sebanding dengan
absorpsinya. Volume total LCS sekitar 130-150 ml, terdiri dari 60-75 ml di ventrikel, 35-40 ml
sebagai cadangan otak dan 25-30 ml di ruang subarakhnoid.

Nervus Spinalis.
Nervus spinalis meninggalkan kanalis spinalis menembus kedua foramen intervertebtralis, dan
mempersarafi kulit yang dikenal sebagai dermatom. Perjalanan nervus visceral lebih kompleks,
tergantung dan sesuai dengan perekembangan akhir embrionik organ dari pada posisi akhir
dalam tubuh. Sering terjadi , tingkat anestesia untuk operasi yang dikehendaki lebih tinggi dari
perkiraan dasar yang menutupi dermatom sensoris,  Contoh : anestesia visceral abdomen bagian
atas dibutuhkan paling kurang tingkat spinal T4 walaupun insisi kulit pada T6 atau lebih. Afferen
simpatik kembali dari end organ melalui pleksus prevertebra dan ganglion para vertebra sehingga
mencapai medula spinalis pada setiap tingkat.

Tabel . Tingkat Minimum Dermatom Untuk anestesi spinal.


Letak  Operasi                   Yang diperlukan
     Ekstremitas bawah.                            T12
     Panggul.                            T10
     Prostat atau Buli-buli.                            T10.
     Testis.                            T6.
     Herniorapi.                            T4.
     Intraabdomen.                            T4.

Saraf spinalis ada 31 pasang yaitu 8 servikal, 12 thorakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 1 koksigeal.
Pada spinal anestesi, paralysis motorik mempengaruhi gerakan bermacam sendi dan otot.
Persarafan segmental ini digambarkan sebagai berikut :
 Bahu C6-8
 Siku C5-8
 Pergelangan tangan C6-7
 Tangan dan jari C7-8, T1
 Interkostal T1-11
 Diafragma C3-5
 Abdominal T7-12
 Pinggul, pangkal paha fleksi L1-3
 Pinggul, pangkal paha ekstensi L5, S1
 Lutut fleksi L5, S1
 Lutut ekstensi L3-4
 Pergelangan kaki fleksi L4-5
 Pergelangan kaki ekstensi S1-2

Sistem saraf otonom


1. System saraf simpatis
Mesrabut saraf pregamglion meninggalkan medulla spinalis melalui radiks saraf ventralis T1-L2.
Pada bagian servikal kumpulan ganglia ini menyusun ganglia servikalis superior, media dan
stellat ganglia. Pada thorak, rangkaian simpatis ini membentuk saraf splanknikus yang
menembus diafragma untuk mencapai ganglia dalam pleksus koeliak dan pleksus oartikorenal.
Didalam abdomen rangkaian simpatis ini berhubunagn dengan pleksus koeliak, pleksus aorta dan
pleksus hypogastrik. Rangkaian ini berakhir dipelvis pada permukaan anterior sacrum. 
Serabut-serabut saraf post ganglionik yang tidak bermielin terdistribusi luas pada seluruh organ
yang menerima suplai saraf simpatis. Daerah viscera menerima serabut postganglionic sebagian
besar langsubg melalui cabang yang meninggalkan pleksus-pleksus besar.
Distribusi segmental saraf simpatis visceral :
 Kepala, leher dan anggota badan atas, T1-5
 Jantung, T1-5
 Paru-paru, T2-4
 Oesofagus, T5-6
 Lambung, T6-10
 Usus halus, T9-10
 Usus besar, T11-12
 Kandung empedu dan hati, T7-9
 Pankreas dan lien, T6-10
 Ginjal dan uereter, T10-12
 Kelenjar adrenal, T8-L1
 Testis dan ovarium, T10-L1
 Kandung kemih, T11-L2
 Prostate, T11-L1
 Uterus, T10-L1
2. System saraf parasimpatis
Saraf eferen dan aferen dari system saraf simpatis berjalan melalui nervus intracranial dan nervus
sakralis ke 2,3,4. Nervus vagus merupakan saraf cranial paling penting yang membawa saraf
eferen parasimpatis. Mereka dirangsanga dengan sensasi seperti lapar, mual, distensi vesika,
kontraksi uterus. Berbagai macam nyeri disalurkan melalui saraf ini seperti kolik atau nyeri
melahirkan. Nervus vagus menginervasi jantung, paru, esophagus dan traktus gastrointestinal
bagian bawah sampai ke kolon tranversum. Saraf simpatis sacral bersama saraf simpatis
didistribusikan pada usus bagian bawah kolon transversum, vesika urinaria, spincter dan organ
reproduksi.

Blokade somatic 
Dengan menghambat transmisi impuls nyeri dan menghilangkan tonus otot rangka. Blok sensoris
mengkambat stimulus nyeri somatic atau visceral sementara blok motorik menyebabkan
relaksasi otot. Efek enstetik local pada serabut asaraf bervariasi tergantung dari ukuran serabut
saraf tersebut dan apakah serabut tersebut bermielin atau tidak serta konsentrasi obat dan
lamanya kontak

Blokade Otonom 
Hambatan pada serabut eferen transmisi ototnom pada akar saraf spinal menimbulkan blockade
simpatis dan beberapa blok parasimpatis. Simpatis outflow berasal dari segmen thorakolumbal
sedangkan parasimpatis dari craniosacral. Serabut saraf simpatis preganglion terdapat dari T1
sampai L2 sedangkan serabut parasimpatis preganglion keluar dari medulla spinalis melalui
serabut cranial dan sacral. Perlu diperhatikan bahwa blok subarachnoid tidak memblok serabut
saraf vagal. Selian itu blok simpatis mengakibatkan ketidakseimbangan otonom dimana
parasimpatis menjadi lebih dominant. Beberapa laporan menyebutkan bahwa bias terjadi aritmia
sampai cardiac arrest selama anestesi spinal. Hal ini terjadi karena vagotonia yaitu peningkatan
tonus parasimpatis nervus vagus.

EVALUASI PREOPERATIF
Pada umumnya setiap dilakukan pemeriksaan sebagaimana biasanya, evaluasi sebelum anestesi
spinal atau epidural mempertimbangkan perencanaan operatif, serta keadaan fisik pasien dan
beberapa kontraindikasi terhadap tehnik regional.

Pertimbangan Bedah.
Banyak operasi pada ekstremitas bawah , pelvis, abdomen bagian bawah dan perineum dapat
dilakukan dengan anestesi spinal. Operasi daerah diatas abdomen, dada, bahu dan ekstremitas
atas dapat ditangani dengan anestesi spinal dengan kesulitan yang besar. Walaupun tempat
operasi sudah teranestesi dalam banyak kasus pasien tetap merasa tidak nyaman. Selanjutnya ,
efek operasi atau spinal anesthesia  yang tinggi mungkin akan mempengaruhi pernapasan,
sirkulasi bahkan intubasi dan ventilasi mekanik mungkin diperlukan.
Pemeriksaan Fisik.
Evaluasi preoperatif termasuk pemeriksaan toraks dan vertebra lumbal serta kulit disekitar
tempat penusukan jarum. Anestesi spinal lebih sulit dan mungkin kesalahan lebih banyak jika
terdapat kelainan anatomic seperti scoliosis atau keterbatasan fleksi vertebra pasien. Infeksi pada
tempat punksi menghalangi spinal anestesi. Defisit neurology yang ada sebelumnya yang
ditemukan lewat anamnesa atau dengan pemeriksaan harus dicatat untuk mencegah kesalahan
diagnosis kelainan neurology post anestesi.

Kontra Indikasi.
Diantara sedikit kontra indikasi absolut anesthesia spinal adalah pasien menolak dan infeksi pada
tempat insersi jarum anestesi spinal. Juga untuk penderita yang menderita koagulopati yang berat
dan ditakutkan terjadinya hematoma epidural. Tehnik ini juga tidak diindikasikan pada pasien-
pasien dengan  gangguan pembekuan., hal ini dapat dilindungi dengan pemberian heparin
sesudahnya.
Jika hipovolemia tidak dikoreksi sebelum anestesi spinal, penekanan saraf sympatis
menghasilkan katastropik hipotensi, juga perdarahan  dan dehidrasi harus ditangani sebelum
anesthesia dilakukan. Baktemremia tidak merupakan kontra indikasi absolut terhadap anestesi
spinal, penderita dapat diberikan antibiotik, tapi tehnik ini dihindari jika pasien ditakutkan
adanya bakteremia blood borne yang dilihat pada hematoma epidural yang kecil dan membentuk
abses. Herniasi discus vertebra atau pembedahan tulang sebelumnya  tidak temasuk kontra
indikasi spinal anesthesia, walaupun jaringan parut dapat menghalangi penusukan jarum yang
berisi anestesi local atau pengaruhnya terhadap peningkatan akan terjadinya trauma akar saraf. 
Dalam kasus ini kekhawatiran akan terjadinya eksaserbasi sakit belakang  atau radikulitis, pasien
dan ahli naestesi akan memilih anestesi umum. Walaupun sedikit bukti bahwa anestesi spinal
menyebabkan keadaan penyakit neurology bertambah jelek. Banyak yang menghindari tehnik ini
bila terjadi eksaserbasi kelainan yang ada sebelumnya pada post operasi.
Tabel . Kontra indikasi Penggunaan Anestesi.

                      Absolut                       Relative


  Pasien menolak.             Hypovolemia.
  Coagulopathy.             Sepsis.
  Infeksi setempat.             Kelainan neurology sebelumnya.

TEHNIK UMUM ANESTESI SPINAL


Seperti pada anestesi umum, obat-obatan, perlengkapan serta mesin anestesi disiapkan sebelum
penderita masuk ruangan ; begitu pula dengan monitor standar. Persiapan termasuk vasopressor
untuk mencegah hipotensi, suplemen oksigen melalui nasal kanula atau masker untuk mengatasi
depresi pernapasan akibat sedatif atau anestetik. Pemberian sedatif dan narkotik membuat
penderita tenang selama penusukan jarum, bahkan pasien cukup sadar untuk melaporkan
parestesia selama prosedur. Nyeri yang persisten atau parestesia dengan penusukan jarum  atau
injeksi anestetik dapat menggambarkan trauma akar saraf.
Anestesi spinal dapat dilakukan pada posisi duduk, lateral dekubitus atau posisi prone. Walaupun
posisi duduk lebih mudah untuk mendapatkan  fleksi vertebra, pasien menjadi lelah bahkan
membutuhkan bantuan. Setiap melakukan tindakan  tersebut operator dan asisten harus
memberitahu pasien setiap langkah yang diambil untuk mendapatkan keadaan yang stabil. 
Setelah posisi ditentukan , identifikasi tempat penusukan. Pencegahan untuk menghindari infeksi
termasuk tehnik aseptic, kulit dibersihkan dengan  larutan bakterisidal, penutup steril, sarung
tangan dan secara hati-hati memperhatikan indicator sterilisasi termasuk perlengkapan spinal.
Untuk mncegah kesalahan pemberian obat atau dosis, identifikasi label dan konsentrasi
diperhatikan dengan hati-hati.

TEHNIK ANESTESI
Posisi lumbal punksi ditentukan sesuai dengan kesukaan penderita, letak daerah operasi dan
densitas larutan anestetik local. Vertebra lumbal difleksikan  untuk melebarkan ruang  procesus
spinosus dan memperluas rongga interlamina. Pada posisi prone, menempatkan bantal dibawah
panggul untuk membantu fleksi vertebra lumbal.
Saat lahir medulla spinalis berkembang sampai L4, setelah umur 1 tahun medulla spinalis
berakhir pada L1-L2. Jadi blok spinal dibuat dibawah L2 untuk menghindari resiko kerusakan
medulla spinalis. Garis penghubung  yang menghubungkan  Krista iliaca memotong daerah
interspace L4-5 atau procesus spinosus L4.
Pendekatan median lebih sering digunakan. Jari tengah tangan operator non dominan
menetukan titik interspace yang dipilih, kulit yang menutupi interspace diinfiltrasi dengan
anestesi local menggunakan jarum halus. Jarum spinal ditusukkan pada garis tengah secara
sagital, mengarah ke cranial (10o) menghadap ruang interlamina. Penusukan keruang  sub
arachnoid melewati kulit, jaringan sub cutan, ligamentum supraspinosus, ligamentum
interspinosus dan ligamentum flavum. Ketika ujung jarum mendekati ligamentum flavum
terdapat peningkatan tahanan disertai perasaan poping, saat itu jarum menembus duramater
dengan kedalaman 4-7 cm. Jika ujung jarum menyentuh tulang harus ditarik kembali secukupnya
untuk membebaskan dari ligametum, sebelumnya diarahkan kearah cranial atau kaudal.
Setelah itu stylet ditarik, CSS mengalir dari jarum secara bebas. Jika CSS bercampur
darah hendaknya dibersihkan secepatnya; kemungkinan ini jarum mengenai vena epidural.
Setelah yakin aliran CSS ahli anestesi memegang jarum dengan tangan yang bebas , dengan
menahan belakang pasien, ibu jari dan telunjuk memegang pangkal jarum, dan menghubungkan
dengan spoit yang telah berisi larutan anestetik. Aspirasi CSS untuk meyakinkan ujung jarung
tetap dalam CSS. Injeksi dengan cepat menggunakan jarum kecil memudahkan bercampurnya
anestesi dengan CSS, ini memudahkan  penyebaran larutan  dengan CSS dan menurunkan
perbedaan  densitas antara larutan dengan CSS. Injeksi yang sangat lambat (2 atau 3 ml dalam
semenit atau lebih) mengurangi efeknya . setelah injeksi obat aspiarasi lagi CSS untuk lebih
menyakinkan posisi jarum.
Bila pendekatan midline tidak berhasil seperti  orang tua dengan kalsifikasi ligamentum
atau pasien kesulitan posisi karena keterbatasan fleksi lumbal. Jarum ditusukkan kira-kira 1-1,5
cm dilateral garis tengah pada bagian bawah procesus spinosus dari interspace yang diperlukan.
Jarum ditusukkan kearah median dan ke cephal menembus otot-otot paraspinosus. Jika jarum
mengenai tulang berarti mengenai lamina ipsilateral dan jarum diposisikan kembali ke arah
superior atau inferior masuk ruang sub arachnoid.
Pendekatan selain midline atau paramedian adalah pendekatan lumbosakral (taylor), yang
digunakan interspace columna vertebralis pada L5-S1. identifikasi spina iliaca posterior superior
dan kulit, dimulai 1 cm kemedian dan 1 cm  inferior ketitik tersebut. Jarum diarahkan kemedial
dan ke superior sampai masuk ke kanalis spinalis pada midline L5-S1.
JARUM SPINAL
Pemilihan jarum spinal tergantung  usia pasien, kebiasaan ahli anestesiologi dan biaya. Ujung
jarum quincle umumnya mempunayi bevel yang panjang yang menyatu dengan lubang. Dapat
dibagi dalam ukuran: 20G-29G; ukuran 22G dan 25G yang sering digunakan. Ujung jarum
quincle yang runcing menebus dengan mudah . untuk menjamin posisi yang tepat mengalirnya
CSS dilihat pada 4 kwadran dengan memutar jarum. 
Tidak seperti jarum dengan bevel tajam, jarum bentuk pensil mempunyai ujung berbentuk
tapering dengan lubang disamping. Untuk insersi dibutuhkan tenaga yang lebih. Contoh jarum
bentuk pensil adalah Sprotte, Whitacre dan Gertie Marx. Perbedaan antara kedua jarum tersebut
adalah ukuran dan letak lubang dilateral. Meskipun lebih mahal dari pada bevel tajam, jarum ini
kurang menyebabkan kerusakan pada duramater dan lebih sedikit mengakibatkan sakit kepala
post anesthesia spinal.
Penentuan jenis jarum lebih banyak ditentukan oleh usia. Walaupun harga yang lebih mahal
jarum pensil point,  lebih bagus bagi penderita yang mempunyai resiko yang besar terhadap sakit
kepala post anesthesia spinal.

OBAT-OBAT SPINAL ANESTESI


Anestesi spinal yang memuaskan membutuhkan blok sepanjang dermatom daerah operasi.
Keterbatasan memperluas anestesi yang diperlukan untuk memblok dermatom sangat penting
untuk mengurangi beratnya efek menjadi minimum. Obat yang digunakan untuk anestesi spinal
termasuk anestesi local, opioid dan vasokonstriktor, dektrosa kadang-kadang ditambahkan untuk
meningkatkan berat jenis larutan.

Anestetik local.
Semua anestetik local efektif untuk anesthesia spinal. Criteria yang digunakan untuk memilih
obat adalah lamanya operasi. Tetrakain dan buvipakain biasanya dipilih untuk operasi yang lebih
lama dari 1 jam dan lidokain untuk operasi-operasi yang kurang dari 1 jam, walaupun durasi
anestesi spinal tergantung pula pada penggunaan vasokonstriktor, dosis serta distribusi obat.
Dalam menentukan dosis yang digunakan untuk anesthesia spinal, variable individual
pasien tidak merupakan kepentingan yang besar. Pada umumnya lebih banyak anestetik local 
akan menghasilkan anestesi yang lebih luas.
Tabel . Obat-obat anestesi local untuk anesthesia spinal
Konsentrasi   Dosis      Lama (jam)
Obat (%)   (mg) Tanpa Dengan
Epinefrin Epinefrin
Lidokain, hyperbarik 5 25-100 1           2
Lidokain, isobaric. 2 20-100 1,5        2 – 3
Tetrakain, hyperbarik. 0,5   3-15 2        2 – 4
Tetrakain, isobaric. 1   3-20 2-3        4 – 6
Tetrakain, hypobarik. 0,3   3-20 2        4 – 6
Bupivakain, isobaric.  0,5   5-15 2-3        4 – 6
Bupivakain, hyperbarik. 0,75   3-15 1,5        3 - 4

Vasokonstriktor.
Lamanya blok dapat ditingkatkan 1-2 jam dengan  penambahan larutan vasokonstriktor kelautan
yang diinjeksikan kedalam CSS. Baik epinefrin (0,1-0,2 mg) maupun phenyleprine (1,0-4,0 mg)
memperpanjang durasi anestesi spinal. Obat-obatan tersebut menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah yang mensuplay dura dan medulla spinalis, mengurangi absorbsi vascular dan
eliminasi anestetik local. Penambahan untuk mengurangi aliran darah, vasokonstriktor menekan
secara langsung efek antinoceftif terhadap medulla spinalis.

Opioid.
Dalam decade terakhir ini, ahli anestesi telah menggunakan opioid subarachnoid untuk
memperbaiki kwalitas dari blok sensomotoris dan untuk analgesia postoperative. Kerja narkotik
subarachnoid adalah pada reseptor opiod didalam medulla spinalis. Morpin (0,1-0,2 mg)
menghasilkan analgesia signifikan yang baik pada periode postoperative, sebagaimana Fentanyl
(25-37,5 mikrogram) dan subfentanyl (10 mikrogram) . efek samping narkotik subarachnoid
termasuk pruritus, nausea, dan depresi pernapasan.
Tabel . Opioid Dalam ruang subarachnoid.
             Obat               Dosis.        Lama kerja.
  Morfin     0,1 – 0,2 mg       8 – 24 jam
  Fentanyl     25 – 50   mg        1 – 2  jam
  Subfentanyl       5 – 10-  mg        2 – 3  jam

Dextrose, Barisitas, Distribusi.


Densitas larutan anestesi local adalah fungsi konsenrasi dan cairan dimana obat tersebut
dilarutkan. Densitas dari CSS 37 oC adalah 1,001 – 1,005 g/ml. Barisitas larutan anestesi local
adalah perbandingan pada suhu dari densitas laritan anestetik terhadap densitas CSS pada
tempratur yang sama. Larutan anestesi local dengan densitas lebih dari 1,008 g/ml pada suhu 37
o C disebut hiperbarik, densitas antara 0,998 dan 1,007 g/ml digolongkan isobaric, dan densitas
kurang dari 0,997 g/ml termasuk hipobarik. Preparat anestetik local 5% sampai 8% dalam
dextrose adalah hiperbarik; dalam CSS atau garam saline, isobaric; dan dilarutkan dalam air ,
hipobarik.
Dosis obat, densitas larutan anestetik local dan posisi pasien selama dan setelah injeksi lebih
banyak menentukan distribusi anestesi local dan tingkat anesthesia. Factor lain seperti ; umur,
berat badan dan panjang columna vertebralis adalah kurang penting. Pada posisi supine, lordosis
lumbal menunjukkan titik terendah spinal pada L3-4, dan kiposis torak menunjukkan titik
terendah pada T5-6. jadi jika pasien diberikan larutan anestesi local hiperbarik pada L4 pada
posisi supine , larutan tersebut bergerak oleh karena grafitasi dari titik tertinggi sampai dua regio
yang lebih rendah yaitu sacrum dan T5-6, menghasilkan blok yang baikpada dermatom toraks
tetapi itu termasuk suplai yang relatif jarang  dari anestesi local pada akar saraf pertengahan
lumbal. Sadel blokuntuk anesthesia perineum , ini dihasilkan jika lautan hiperbarik di injeksikan
pada pasien dengan posisi duduk dan mempertahankan posisi tersebut untuk beberapa menit
setelah injeksi.
Larutan isobaric cenderung untuk tinggal pada tempat injeksi dan menghasilkan blok yang lebih
terlokalisir dan menyebar hanya kebawah dan dermatom toraks. Larutan ini cocok untuk
prosedur pada ektremitas bawah dan prosedur urology.
Larutan hypobarik dapat digunakan ketika pasien pada posisi supine, pada posisi jack-knife
untuk operasi rectum, perineum, dan anus, atau pada posisi lateral dekubitus. Kenutungan 
larutan hypobarik bahwa kemiringan meja operasi dengan kepala dibawah mengurangi
pengumpulan darah ditungkai, juga membantu mencegah pemyebaran anestesi local kearah
kepala.

KONDUKSI ANESTESI SPINAL


Pengelolaan setelah injeksi anestesi local kedalam CSS meliputi pengamatan dan
pengobatan efek samping dan penilaian distribusi dari anestesi local. Pemberian oksigen dan 
pemasangan pulse oksimetri untuk mencegah hipoksemia. Memperhatikan terus-menerus denyut
jantung untuk mendeteksi bradikardia, dan mengulangi pengukuran tekanan darah untuk menilai
adanya hipotensi.
Distribusi dari blok dapat diukur dengan beberapa tes. Kehilangan rasa persepsi dingin (kapas
alcohol atau es pada kulit) berhubungan dengan tingkat blok simpatis, yang dilayani oleh dua
modalitas saraf yang hampir mirip diameter dan kecepatan konduksinya. Level sensoris
diketahui dengan adanya respon terhadap goresan peniti atau garukan jari. Fungsi motorik
dilakukan dengan menyuruh pasien melakukan fleksi plantar jari kaki (S1-2), dorsofleksi kaki
(L4-5 ) , mengangkat lutut (L2-3) atau tegangan muskulus rektus abdominalis dengan
mengangkat kepala (T6-12).
Selama anestesi spinal tingkat blok simpatis meluas lebih tinggi dari  blok sensoris dimana dalam
perluasannya lebih tinggi dari blok motoris. Besarnya derajat blok tidak berhubungan dengan
perbedaan dari snesitivitas dari berbagai macam serabut saraf , sebagai suatu pemikiran , tetapi
dibedakan oleh konsentrasi anestatik local diantara berbagai akar saraf dan terhadap derajat
konsentrasi di dalam masing-masing akar saraf. Serbut saraf sensoris dan simpatis yang lebih
perifer lebih mudah diblok karena lebih banyak terekspose oleh keonsetrasi anestesi local dari
pada serabut saraf motorik yang lebih dalam.

KOMPLIKASI ANESTESI SPINAL 


Komplikasi dini / intraoperatif :
1. Hipotensi
2.  Anestesi spinal tinggi / total.
3. Henti jantung 
4. Mual dan muntah 
5. Penurunan panas tubuh
6. Parestesia.
Komplikasi lanjut 

1. Post dural Puncture Headache (PDPH)


2. Nyeri punggung (Backache)
3. Cauda equine sindrom
4. Meningitis
5. Retensi urine
6. Spinal hematom.
7. Kehilangan penglihatan pasca operasi

Hipotensi.
Hipotensi sering terjadi selama anestesi spinal, terutama akibat blok preganglion vasomotor
efferent sistim saraf simpatis dan kehilangan kompensasi vasokonstriksi eketremitas bawah.
Berkurangnya preload (venodilatasi) menunjukkan menurunnya curah jantung; berkurangnya
tonus arteriole sedikit kontribusinya terhadap terjadinya hipotensi, kecuali tahanan pembuluh
darah perifer meningkat sebelum anestesi spinal. Blok serat kardioakselator pada T1-T4
menyebabkan bradikardi dan kehilangan kontraktilitas.
Terapi hipotensi dimulai dengan tindakan yang cepat seperti koreksi posisi kepala, pemberian
cairan intravena dan pemberian vasopressor sesuai kebutuhan. Jika cairan yang diberikan tidak
dapat mengoreksi bradikardi atau kontraktilitas melemah, terapi yang disukai untuk spinal
hipotensi  adalah kombinasi cairan untuk mengoreksi hipovolemi dengan alfa dan beta
adrenergik agonis (seperti efedrin) dan atropin (untuk bradikardi) tergantung pada situasi.

Anestesi spinal tinggi dan Blokade total spinal


Pasien dengan tingkat anesthesia yang tinggi dapat mengalami kesulitan dalam pernapasaan .
Harus dibedakan secara hati-hati apa penyebabnya untuk memberikan terapi yang tepat. Hampir
semua dispnea tidak disertai paralysis otot pernapasan tetapi adalah kehilangan sensasi
proprioseptif tersebut mengakibatkan dyspnea walaupun fungsi otot pernapasan dan pertukaran
gas adekuat. 
Total spinal adalah  blockade dari medulla spinalis sampai ke servikal oleh suatu obat local
anestesi.
Factor pencetus : Pasien mengejan, dosis obat local anestesi yang digunakan, posisi pasien
terutama bila menggunakan obat hiperbarik.
Sesak napas dan sukar bernapas merupakan gejala utama dari blok spinal tinggi. Sering disertai
mual, muntah, precordial discomfort dan gelisah. Apabila blok semakin tinggi penderita menjadi
apnea, kesadaran menurun disertai hipotensi yang berat dan jika tidak ditolong akan terjadi henti
jantung
Penanganan : 

 Usahakan jalan napas tetap bebas, kadang diperlukan bantuan napas lewat face mask
 Jika depresi pernapasan makin berat (blok motor C3-5 dengan paralysis nervus
phrenikus)perlu segera dilakukan intubasi endotrakeal dan control ventilasi untuk menjamin
oksigenasi yang adekuat
 Bantuan sirkulasi dengan dekompresi jantung luar diperlukan bila terjadi henti jantung
 Pemberian cairan kristaloid 10-20 ml/kgBB diperlukan untuk mencegah hipotensi
 Jika hipotensi tetap terjadi atau jika pemberian cairan yang agresif harus dihindari maka
pemberian vasopresor merupakan pilihan seperti adrenalin dan sulfas atropin

Henti jantung yang tiba-tiba.


Henti jantung yang tiba-tiba telah dilaporkan pada pasien yang mendapatkan spinal anestesi.
Pasien yang mendapat sedatif  dan hipotensi sampai tejadinya henti jantung yang tiba-tiba
terbukti sulit untuk diterapi. Respon kardiovaskuler terhadap hiperkarbia dan hipoksia kerana
sedatif dan narkotik mengakibatkan pasien tidak mempunyai respon terhadap hipoksemia yang
progresif, asidosis dan hiperkarbia.
Henti jantung dapat dihindari dengan beberapa langkah sebagai berikut: pertama opioid harus
digunakan dengan perhatian  yang tinggi selama anestesi spinal. Kedua, semua pasien yang
menjalani anestesi spinal dibutuhkan suplemen oksiegen dan pemantauan dengan pulse
oxymetri. Ketiga, hipotensi dan bradikardi dibutuhkan terapi segera  untuk memelihara curah
jantung. Keempat, seharusnya pasien yang mengalami episode hipotensi dan henti jantung yang
tiba-tiba  merupakan indikasi segera dan tepat mendapatkan terapi oksigen, hiperventilasi,
epinefrin dosis tinggi (0,1-1 mg) dan sodium bikarbonat jika ada indikasi.

Mual dan Muntah


Mual selama anestesi spinal biasa terjadi oleh karena hipoperfusi serebral atau tidak
terhalanginya stimulus vagus usus. Biasanya mual adalah tanda awal hipotensi. Bahkan blok
simpatis mengakibatkan tak terhalangnya tonus parasimpatis yang berlebihan pada traktus
gastrointestinal. 
Mual dan muntah umumnnya, dapat terjadi karena : 
 Hiotensi
 Adanya aktifitas parasimpatis yang menyebabkan peningkatan peristalyik usus
 Tarikan nervus dan pleksus khususnya N vagus
 Adanya empedu dalam lambungoleh karena relaksasi pylorus dan spincter ductus biliaris
 Factor psikologis
 Hipoksia
Penanganan :
 Untuk menangani hipotensi : loading cairan kristaloid atau koloid 10-20 ml/kgBB kristaloid
 Pemberian bolus efedrin 5-10 mg IV
 Oksigenasi yang adekuat untuk mengatasi hipoksia.
 Dapat juga diberikan anti emetik.
 Atropin dapat memperbaiki refleks mual dimana tekanan darah dan curah jantung telah diperbaiki.

Paresthesia.
Parestesia dapat terjadi selama penusukan jarum spinal atau saat menginjeksikan obat anestetik.
Pasien mengeluh sakit atau terkejut singkat pada ektremitas bawah, hal ini disebabkan jarum
spinal mungkin mengenai akar saraf. Jika pasien merasakan adanya parestesia  persiten atau
paresthesia saat menginjeksikan anesthetik local, jarum harus digerakkan kembali dan
ditempatkan pada interspace yang lain untuk mengcegah kerusakan yang permanen. Ada atau
tidaknya paresthesia dicatat pada status anesthesia.

Sakit kepala post punksi dura.


Sakit kepala yang terjadi setelah punksi dura disebut spinal headache atau post-dural puncture
headache (PDPH), telah dilukiskan oleh Bier thn. 1898. CSS keluar dari ruang subarachnoid 
melalui punksi dura, menyebabkan tarikan pada struktur vaskuler yang sensitive terhadap sakit.
Sakit kepala diperburuk oleh sikap berdiri atau duduk dan terasa berkurang dengan terlentang .
Rasa sakit tersebut dirasakan  di frontal, occipital atau keduanya dan mungkin disertai dengan
gejala seperti tinitus atau diplopia. Walupun ini terjadi segera setelah punksi dura, tapi bisanya
setelah 24-72 jam.
Kejadian PDPH lebih banyak terjadi pada pasien muda dan wanita. Kecepatan hilangnya CSS
cenderung bergantung pada bentuk ukuran lubang pada dura dan dengan demikian kemungkinan 
terjadinya sakit kepala lebih berat. Menggunakan jarum ukuran kecil (24G atau lebih kecil)
penting untuk pasien dibawah umur 50 tahun. Jarum spinal dengan bagian ujung bulat atau
tumpul, membentuk robekan yang lebih kecil dan penyembuhan lebih cepat.
Terapi sakit kepala bisanya dimulai dengan tindakan konservatif. Hidrasi intravena atau oral
meningkatkan produksi CSS dan mengganti CSS yang hilang. Walaupun pasien dengan PDPH
akan lebih senang jika terlentang, istirahat ditempat tidur tidak dapat mencegah sakit kepala.
Cafein intravena atau oral mungkin dapat membantu. Pengikatan perut dapat meningkatkan
tekanan ruang epidural, karena itu megurangi bocornya CSS.
Terapi definitive untuk PDPH adalah menyumbat epidural dengan darah. Tahun 1960 Gormley
mencatat bahwa pasien dengan perdarahan selama lumbal punksi memiliki insiden yang kurang
terjadinya PDPH. Dengan postulat ini bekuan darah dapat menutup lubang dura dan mencegah
bocornya CSS, ia memperlihatkan dengan sukses , untuk membebaskan sakit kepala , darah
tersebut ditempatkan didalam ruang epidural. Untuk mendapatkan suatu penyumbatan epidural
oleh darah, 10-20 ml darah sendiri yang steril di injeksikan perlahan keruang epidural. Dengan
komplikasi pada umumnya adalah “ transient back pain”. Penyumbatan dengan darah efektif
lebih dari 95 % pasien.

Pencegahan dan Penanganan : 

1. Hidrasi dengan cairan yang kuat.


2. Gunakan jarum sekecil mungkin (dianjurkan < 24) dan menggunakan jarum non cutting
pencil point
3. Hindari penusukan jarum yang berulang-ulang.
4. Tusukan jarum dengan bevel sejajar serabut longitudinal durameter.
5. Mobilisasi seawal mungkin.
6. Gunakan pendekatan paramedian
7. Jika nyeri kepala tidak berat dan tidak mengganggu aktivitas maka hanya diperlukan
terapi konservatif yaitu bedrest dengan posisi supine, pemberian cairan intravena maupun oral,
oksigenasi adekuat.
8. Pemberian sedasi atau analgesi yang meliputi pemberian kafein 300 mg peroral atau
kafein benzoate 500 mg IV atau IM, asetaminofen atau NSAID
9. Hidrasi dan pemberian kafein membantu menstimulasi pembenntukan LCS
10. Jika nyeri kepala menghebat dilakukan prosedur khusus Epidural Blood Patch
 Baringkan pasien seperti prosedur epidural.
 Ambil darah vena antecubiti 10-15 ml.
 Dilakukan pungsi epidural kemudian masukan darah secara pelan-pelan.
 Pasien diposisikan supine selama 1 jam kemudian boleh melakukan gerakan dan
mobilisasi.
 Selama prosedur pasien tidak boleh batuk dan menghejan.

Kerusakan saraf.
Trauma saraf setelah anestesi spinal adalah jarang tapi dapat terjadi akibat trauma mekanik dan
kimiawi. Kerusakan langsung pada akar saraf mungkin disebabkan oleh jarum, mengakibatkan
radikulopati dengan defisit motoris atau sensoris sepanjang distribusi akar saraf. Kerusakan ini
bisanya  membaik dalam 2-12 minggu.
Cauda Equina Sindrom 
Terjadi ketika cauda equine terluka atau tertekan. Penyebab adalah trauma dan toksisitas. Ketika
terjadi injeksi yang traumatic intraneural, diasumsikan bahwa obat yang diinjeksikan telah
memasuki LCS, bahan-bahan ini bias menjadi kontaminan sepeti deterjen atau antiseptic atau
bahan pengawet yang berlebihan.
Penanganan 
Penggunaan obat anestesi local yang tidak neurotoksik terhadap cauda equine merupakan salah
satu pencegahan terhadap sindroma tersebut selain menghindari trauma pada cauda equine waktu
melakukan penusukan jarum spinal

Meningitis 
Munculnya bakteri pada ruang subarakhnoid tidak mungkin terjadi jika penanganan klinis
dilakukan dengan baik. Meningitis aseptic mungkin berhubungan dengan injeksi iritan kimiawi
dan telah dideskripsikan tetapi jarang terjadi dengan peralatan sekali pakai dan jumlah larutan
anestesi murni local yang memadai.
Pencegahan 

1. Dapat dilakukan dengan menggunakan alat-alat dan obat-obatan yang betul-betul steril
2. Menggunakan jarum spinal sekali pakai
3. Pengobatan dengan pemberian antibiotika yang spesifik

Retensi urine.
Proses miksi tergantung dari utuhnya persarafan dari spincter uretra dan otot-otot kandung
kencing. Setelah anestesi spinal fungsi motor dan sensoris ekstremitas bawah pulih lebih cepat
dari fungsi kandung kencing, khususnya dengan obat anestesi spinal kerja cepat seperti tetracain
atau bupivacain. Lambatnya fungsi saraf pulih dapat mengakibatkan retensi urine dan distensi
kandung kencing. Untuk prosedur yang lebih lama dan pemberian cairan intravena yang banyak,
pemasangan kateter kandung kencing mencegah komplikasi ini.

Sakit tulang belakang / Nyeri punggung.


Sakit tulang belakang lebih sering mengikuit anesthesia spinal dari pada yang terjadi pada
anestesi umum. Ini mungkin disebabkan akibat tarikan ligamentum  dengan relaksasi otot
paraspinosus dan posisi operasi yang menyertai anestesi regional dan general.         
Nyeri punggung dapat juga terjadi akibat Tusukan jarum yang mengenaikulit, otot dan
ligamentum.  Nyeri ini tidak berbeda dengan nyeri yang menyertai anestesi umum, biasnya
bersifat ringan sehingga analgetik post operatif biasanya bias menutup nyeri ini.
Relaksasi otot yang berlebih pada posisi litotomi dapat menyebabkan ketegangan ligamentum
lumbal selama spinal anestesi. Rasa sakit punggung setelah spinal anestesi sering terjadi tiba-tiba
dan sembuh dengan sendirinya setelah 48 jam atau dengan terapi konservatif. Adakalanya
spasme otot paraspinosus menjadi penyebab
Penanganan : Dapat diberikan penanganan dengan istirahat, psikologis, kompres panas pada
daerah nyeri dan analgetik antiinflamasi yang diberikan dengan benzodiazepine akan sangat
berguna. 
Spinal hematom 
Meski angka kejadiannnya kecil, spinal hematom merupakan bahaya besar bagi klinis karena
sering tidak mengetahui sampai terjadi kelainan neurologist yang membahayakan. Terjadi akibat
trauma jarum spinal pada pembuluh darah di medulla spinalis. Dapat secara spontan atau ada
hubungannnya dengan kelainan neoplastik. Hematom yang berkembang di kanalis spinalis dapat
menyebabkan penekanan medulla spinalis yang menyebabkan iskemik neurologist dan paraplegi
Tanda dan gejala tergantung pada level yang terkena, umumnya meliputi :
1. Mati rasa
2. Kelemahan otot
3. Kelainan BAB
4. Kelainan sfingter kandung kemih
5. Sakit pinggang yang berat
Factor resiko : abnormalitas medulla spinalis, kerusakan hemostasis, kateter spinal yang tidak
tepat posisinya, kelainan vesikuler, penusukan berulang-ulang
Apabila ada kecurigaan maka pemeriksaan MRI, myelografi harus segera dilakukan dan
dikonsultasikan ke ahli bedah saraf. Banyak perbaikan neurologist pada pasien spinal hematom
yang segera mendapatkan dekompresi pembedahan (laminektomi) dalam waktu 8-12 jam. 

REFERENSI
1. Gaiser RR. Spinal, Epidural, and caudal anesthesia. In : Introduction to
anesthesia, editor : Longnecker DE, Murphy FL, ed 9 th, WB Saunders Company,
1997. 
2. Molnar R, Spinal, Epidural, and Caudal anesthesia, In : Clinical Anesthesia
Prosedures of the Massachusetts General Hospital, editor : Davison JK, Eukhardt WF,
Perese DA, ed  4 th, London, Little brown and Company, 1993. 
3. Brown DL, Spinal, Epidural and Caudal anesthesia. In : Anesthesia, editor : Miller
RD, ed  5 th, Volume 1, California, Churchill Livingstone, 2000.
4. Besrnards CM, Epidural and Spinal Anesthesia. In : Handbook of Clinical
Anesthesia, editor : Barrash PG, Gullen BF, Stoelting RK, Philadelpia, Lippincott
Williams and Wilkins, 2001. 

Anda mungkin juga menyukai