TINJAUAN PUSTAKA
Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak diantara toraks dan pelvis.
rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding abdomen yang terbentuk dari dari otot
abdomen, columna vertebralis, dan tulang ilium. Untuk membantu menetapkan suatu lokasi
di abdomen, yang paling sering dipakai adalah pembagian abdomen oleh dua buah bidang
bayangan horizontal dan dua bidang bayangan vertikal. Bidang bayangan tersebut membagi
dinding anterior abdomen menjadi sembilan daerah (regiones). Dua bidang diantaranya
berjalan horizontal melalui setinggi tulang rawan iga kesembilan, yang bawah setinggi bagian
atas crista iliaca dan dua bidang lainnya vertikal di kiri dan kanan tubuh yaitu dari tulang
rawan iga kedelapan hingga ke pertengahan ligamentum inguinale. Regio abdomen tersebut
1. Hypocondriaca dextra meliputi organ : lobus kanan hati, kantung empedu, sebagian
duodenum fleksura hepatik kolon, sebagian ginjal kanan dan kelenjar suprarenal kanan.
2. Epigastrica meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas dan sebagian dari hepar.
3. Hypocondriaca sinistra meliputi organ: gaster, limpa, bagian kaudal pankreas, fleksura
lienalis kolon, bagian proksimal ginjal kiri dan kelenjar suprarenal kiri.
4. Lumbalis dextra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kanan, sebagian
5. Umbilical meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian bawah duodenum, jejenum dan
ileum.
6. Lumbalis sinistra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kiri, sebagian jejenum
dan ileum.
7. Inguinalis dextra meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal ileum dan ureter kanan.
8. Pubica/Hipogastric meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus (pada kehamilan).
9. Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan ovarium kiri. Dengan
mengetahui proyeksi organ intra-abdomen tersebut, dapat memprediksi organ mana yang
kemungkinan mengalami cedera jika dalam pemeriksaan fisik ditemukan kelainan pada
Untuk kepentingan klinis rongga abdomen dibagi menjadi tiga regio yaitu : rongga
peritoneum, rongga retroperitoneum dan rongga pelvis. rongga pelvis sebenarnya terdiri dari
bagian dari intraperitoneal dan sebagian retroperitoneal. Rongga peritoneal dibagi menjadi
dua yaitu bagian atas dan bawah. rongga peritoneal atas, yang ditutupi tulang tulang toraks,
termasuk diafragma, liver, lien, gaster dan kolon transversum. Area ini juga dinamakan
sebagai komponen torako-abdominal dari abdomen. Sedangkan rongga peritoneal bawah
berisi usus halus, sebagian kolon ascenden dan descenden, kolon sigmoid, caecum, dan organ
Rongga retroperitoneal terdapat di abdomen bagian belakang, berisi aorta abdominalis, vena
cava inferior, sebagian besar duodenum, pancreas, ginjal, dan ureter, permukaan paskaerior
kolon ascenden dan descenden serta komponen retroperitoneal dari rongga pelvis. Sedangkan
rongga pelvis dikelilingi oleh tulang pelvis yang pada dasarnya adalah bagian bawah dari
rongga peritoneal dan retroperitoneal. Berisi rektum, kandung kencing, pembuluh darah
Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang terletak diantara
diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang menusuk (Ignativicus &
Workman, 2006). Di Amerika Serikat, korban akibat trauma diperkirakan sekitar 57 juta
setiap tahunnya, yang mengakibatkan sekitar 2 juta jiwa harus dirawat inap dan 150.000
kematian. Dengan beban ekonomi yang disebabkan oleh trauma cukup signifikan,
diperkirakan trauma mengakibatkan hilangnya angka kehidupan sebesar 26% dan lebih dari
merupakan penyebab kematian yang cukup sering, ditemukan sekitar 7 – 10% dari pasien
trauma. Di Eropa, trauma tumpul abdomen terjadi sekitar 80% dari keseluruhan trauma
abdomen. Penyebab paling umum dari trauma tumpul abdomen adalah kecelakaan mobil atau
motor, jatuh dari ketinggian, dan kecelakaan industri. Sebuah penelitian di Amerika
menyatakan bahwa kecelakaan lalu lintas menyumbang 83,6% trauma tumpul abdomen.
45,5% karena kecelakaan mobil dan 38,1% akibat kecelakaan motor. Tingkat mortalitas lebih
tinggi pada pasien dengan trauma tumpul abdomen dibandingkan trauma tusuk (Aziz, Bota
and Ahmed, 2014). Di Indonesia, didapatkan prevalensi cedera secara nasional adalah sebesar
8,2%, dimana prevalensi tertinggi ditemukan di Sulawesi Selatan (12,8%) dan terendah di
Jambi (4,5%). Penyebab cedera secara umum yang terbanyak adalah jatuh (40,9%) dan
kecelakaan sepeda motor (40,6%), selanjutnya penyebab cedera karena terkena benda
tajam/tumpul (7,3%), transportasi darat lain (7,1%) dan kejatuhan (2,5%). Penyebab cedera
transportasi sepeda motor tertinggi ditemukan di Bengkulu (56,4%) dan terendah di Papua
Trauma tumpul abdomen merupakan trauma yang mengenai abdomen yang disebabkan oleh
trauma dengan energi yang tinggi. Mekanisme terjadinya trauma sangat penting diketahui
untuk menilai besarnya energi trauma yang mengenai pasien. Beberapa trauma yang
dikategorikan trauma dengan energi yang tinggi adalah : jatuh dari ketinggian lebih dari 10
kaki, terpental dari dari kendaraan, kecelakaan kendaraan bermotor dengan kecepatan
melebihi 45 mil / jam, adanya fraktur mayor, adanya faktur tulang iga pertama dan fraktur
tulang iga bagian bawah, adanya tanda sabuk pengaman (Seat Belt Sign), pejalan kaki atau
pengendara sepeda yang ditabrak, dan tingkat kerusakan kendaraan yang tinggi (Jones et al.,
2014).
Pada trauma tumpul abdomen, cedera organ intra abdomen yang didapatkan umumnya
merupakan organ solid, terutama limpa dan hati dimana kedua organ ini dapat menyebabkan
perdarahan intra abdomen. Sedangkan untuk organ berongga cukup jarang terjadi, dan
seringnya dihubungkan dengan seat-belt atau deselerasi kecepatan tinggi (Iga et al., 2010).
Kunci sukses penanganan trauma tumpul abdomen adalah kewaspadaan yang tinggi adanya
cedera intra-abdomen pada setiap pasien trauma, sehingga bisa mendeteksi sedini mungkin
mekanisme trauma yang terjadi. Pasien yang mengalami trauma dengan energi yang tinggi
akan mengalami goncangan fisik yang berat sehingga menyebabkan cedera organ. (Mehta,
Babu and Venugopal, 2014). Ada beberapa mekanisme cedera pada trauma tumpul abdomen
1. Benturan langsung terhadap organ intra-abdomen diantara dinding abdomen anterior dan
paskaerior
2. Cedera avulsi yang diakibatkan oleh gaya deselerasi pada kecelakaan dengan kecepatan
tinggi atau jatuh dari ketinggian. Gaya deselerasi dibagi menjadi deselerasi horizontal dan
deselerasi vertikal. Pada mekanisme ini terjadi peregangan pada struktur-struktur organ yang
terfiksir seperti pedikel dan ligamen yang dapat menyebabkan perdarahan atau iskemik
(Guillion, 2009).
tiba-tiba dan mencapai puncaknya biasanya menyebabkan cedera organ berongga. Berat
ringannya perforasi tergantung dari gaya dan luas permukaan organ yang terkena cedera
4. Laserasi organ intra-abdomen yang disebabkan oleh fragmen tulang (fraktur pelvis, fraktur
tulang iga)
5. Peningkatan tekanan intra-abdomen yang masif dan mendadak dapat menyebabkan cedera
Trauma langsung abdomen atau deselerasi cepat menyebabkan rusaknya organ intraabdomen
yang tidak mempunyai kelenturan (noncomplient organ) seperti hati, limpa, ginjal dan
pankreas. Pola injuri pada trauma tumpul abdomen sering disebabkan karena kecelakaan
antar kendaraan bermotor, pejalan kaki yang ditabrak kendaraan bermotor, jatuh dari
ketinggian dan pemukulan dengan benda tumpul. Trauma tumpul abdomen terjadi karena
kompresi langsung abdomen dengan objek padat yang mengakibatkan robeknya subscapular
organ padat seperti hati atau limpa. Bisa juga karena gaya deselerasi yang menyebabkan
robeknya organ dan pembuluh darah pada regio yang terfiksir dari abdomen (hati atau arteri
renalis). Atau bisa karena kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan intraluminal
yang menyebabkan cedera organ berongga (usus halus). Trauma tumpul abdomen yang
mayoritas sering mengenai organ limpa sekitar 40% - 55%, hati 35% - 45% dan usus halus
Berdasaran jenis organ yang cedera, organ intra-abdomen dapat dibagi menjadi dua yaitu
organ padat dan organ berongga. Yang termasuk dalam organ padat yaitu: hati, mesenterium,
ginjal, limpa, pankreas, kandung kemih, organ genetalia interna pada wanita, dan diafragma,
sedangkan yang termasuk organ berongga yaitu usus (gaster, duodenum, jejunum, ileum,
colon, rectum), ureter, dan saluran empedu. Beberapa cedera organ yang sering terjadi pada
1. Cedera Hati/Hepar
Hati adalah organ terbesar pada rongga abdomen yang letaknya terlindung dengan baik,
namun organ tersebut sering mengalami cedera selain organ limpa. Cedera organ hati paling
utama disebabkan karena ukurannya, lokasinya dan kapsulnya yang tipis yang disebut
Glisson capsule. Cedera organ hati umumnya cedera akibat trauma tumpul. Hati menempati
hampir seluruh regio hypochondrica dextra, sebagian di epigastrium dan seringkali meluas
sampai ke regio hypochondrica sinistra sejauh linea mammilaria, dilindungi oleh tulang iga
IX dan X bagian kanan. Hati dapat mengalami cedera dikarenakan trauma tumpul ataupun
trauma tembus. Hati merupakan organ yang sering mengalami laserasi, sedangkan kantong
empedu sangat jarang mengalami trauma dan sulit untuk didiagnosis. Penanganan trauma hati
dalam 30 tahun terakhir telah mengalami banyak perkembangan seiring dengan banyaknya
penelitian dan literatur dalam penanganan trauma hati. Salah satu penelitian retrospektif yang
pernah dilakukan pada tahun 1992-2008 di kota Barcelona, Spanyol pada 143 pasien dengan
diagnosis trauma hati, 87 pasien adalah konservatif (74%) sedangkan 56 pasien dilakukan
Nyeri perut kanan atas disertai adanya jejas setelah terjadi trauma merupakan gejala yang
sering terjadi. Nyeri tekan dan rigiditas otot perut tidak akan tampak sampai perdarahan pada
menentukan lokasi dan luas trauma hati, menilai derajat hemoperitoneum, memperlihatkan
organ intra-abdomen lain yang mungkin ikut cedera, identifikasi komplikasi yang terjadi
setelah trauma hati yang memerlukan penanganan segera terutama pada pasien dengan trauma
hati berat, dan digunakan untuk monitor kesembuhan. Penggunaan CT scan terbukti sangat
bermanfaat dalam diagnosis dan penentuan penanganan trauma hati. Dengan CT scan
menurunkan jumlah laparatomi pada 70% pasien atau menyebabkan pergeseran dari
penanganan rutin bedah menjadi penanganan non operastif dari kasus trauma hati (Njile,
2012).
2. Cedera Limpa/Lien
Limpa merupakan suatu organ dari sistem reticulo-endothelial, yang merupakan jaringan
limfe (limfoid) terbesar dari tubuh. Limpa berukuran kira-kira sebesar kepalan tangan dan
terletak tepat di bawah hemidiafragma kiri. Proyeksi letak limpa pada abdomen yaitu berada
di hypocondriaca sinistra. Organ ini terletak di kuadran kiri atas dorsal abdomen, menempel
pada permukaan bawah diafragma dan terlindung oleh lengkung tulang iga kiri.
Sejajar degan bagian posterior iga IX, X XI, dan terpisah dari diafragma dan pleura (Sander,
2015).
Limpa atau lien merupakan organ yang sering cedera pada saat terjadi trauma tumpul
abdomen. Cedera limpa merupakan kondisi yang membahayakan jiwa karena adanya
perdarahan yang hebat. Limpa terletak tepat di bawah rangka thorak kiri, tempat yang rentan
untuk mengalami perlukaan. Limpa membantu tubuh kita untuk melawan infeksi yang ada di
dalam tubuh dan menyaring semua material yang tidak dibutuhkan lagi dalam tubuh seperti
sel tubuh yang sudah rusak. Limpa juga memproduksi sel darah merah dan berbagai jenis dari
sel darah putih. Robeknya limpa menyebabkan banyaknya darah yang ada di rongga
abdomen. Cedera pada limpa biasanya disebabkan hantaman pada abdomen kiri atas atau
abdomen kiri bawah. Kejadian yang paling sering meyebabkan cedera limpa adalah
Beberpa penelitian menjelaskan bahwa gejala dan tanda paling umum yang ditunjukkan oleh
pasien trauma limpa adalah nyeri (90%) dan abdominal tenderness (85%). Kecurigaan
terjadinya cedera limpa juga dengan ditemukan adanya fraktur tulang iga IX dan X kiri, atau
nyeri abdomen kuadran kiri atas. Tanda peritoneal seperti nyeri tekan dan defans muskuler
akan muncul setelah terjadi perdarahan yang mengiritasi peritoneum. Semua pasien dengan
gejala takikardi atau hipotensi dan nyeri pada abdomen kuadran kiri atas setelah trauma,
harus dicurigai terdapat cedera limpa sampai dapat disingkirkan dengan pemeriksaan
penunjang. Penegakan diagnosis dengan menggunakan CT scan rutin dilakukan pada rumah
3. Cedera usus
Peritonitis merupakan tanda yang khas dari cedera usus. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
gejala ‘burning epigastric pain’ yang diikuti dengan nyeri tekan dan defans muskuler pada
abdomen. Perdarahan pada usus besar dan usus halus akan diikuti dengan gejala peritonitis
secara umum pada jam berikutnya. Sedangkan perdarahan pada duodenum biasanya bergejala
adanya nyeri pada bagian punggung. Diagnosis cedera usus ditegakkan dengan ditemukannya
udara bebas dalam pemeriksaan rontgen abdomen konvensional. Sedangkan pada pasien
dengan perlukaan pada duodenum dan colon sigmoid didapatkan hasil pemeriksaan pada
4. Cedera Ginjal
Organ retroperitoneal yang paling sering mengalami cedera adalah ginjal. Trauma ginjal
terjadi sekitar 1%-5% dari total seluruh trauma. Trauma ginjal dapat menjadi problem akut
yang mengancam nyawa, namun sebagian besar trauma ginjal bersifat ringan dan dapat
dirawat secara konservatif. Trauma ginjal adalah cedera pada ginjal yang disebabkan oleh
berbagai macam trauma baik tumpul maupun tajam. Trauma ginjal merupakan trauma yang
terbanyak pada sistem urogenitalia. Kurang lebih 10% dari trauma pada abdomen mencederai
ginjal
Perkembangan dalam pencitraan dan derajat trauma selama 20 tahun terakhir telah
mengurangi angka intervensi bedah pada kasus-kasus trauma ginjal. Trauma tumpul biasanya
terjadi pada kasus-kasus kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari ketinggian, cedera saat olahraga
atau berkelahi. Informasi mengenai riwayat trauma sangat penting untuk diketahui sehingga
dapat menilai besarnya proses decelerasi yang terjadi. Decelerasi yang sangat cepat dapat
darah vena, atau avulsi pedikel ginjal (Lynch et al., 2005). Hematuria merupakan poin
diagnostik yang penting untuk trauma ginjal. Namun tidak cukup sensitif dan spesifik untuk
membedakan apakah suatu trauma minor ataukah mayor. Perlu diingat beratnya hematuria
tidak berkorelasi lurus dengan beratnya trauma ginjal. Bahkan untuk trauma ginjal yang berat,
seperti; robeknya ureteropelvic junction, trauma pedikel ginjal, atau trombosis arteri dapat
5. Cedera Pankreas
Trauma pada pankreas sangat sulit untuk di diagnosis. Kebanyakan kasus diketahui dengan
eksplorasi pada pembedahan. Cedera pankreas harus dicurigai setelah terjadinya trauma pada
bagian tengah abdomen, contohnya pada benturan stang sepeda motor atau benturan setir
mobil. Perlukaan pada pankreas memiliki tingkat kematian yang tinggi. Pasien dapat
memperlihatkan gejala nyeri pada bagian atas dan pertengahan abdomen yang menjalar
sampai ke punggung. Beberapa jam setelah trauma, dapat terlihat adanya gejala iritasi
peritonial. Diagnosis dengan penentuan amilase serum biasanya tidak terlalu membantu
dalam proses akut. Pemeriksaan CT scan dapat menegakan diagnosis yang lebih spesifik
6. Cedera Ureter
Trauma pada ureter jarang terjadi tetapi berpotensi menimbulkan morbiditas dan mortalitas.
Trauma ureter sering tidak dikenali pada saat pasien datang atau pada pasien dengan multipel
trauma. Kecurigaan adanya cedera ureter bisa ditemukan dengan adanya hematuria paska
trauma. Mekanisme trauma tumpul pada ureter dapat terjadi karena keadaan tiba-tiba dari
deselerasi dan akselerasi yang berkaitan dengan hiperekstensi, benturan langsung pada daerah
lumbal II dan III, Gerakan tiba-tiba dari ginjal menyebabkan terjadinya gerakan naik turun
pada ureter yang menyebabkan terjadinya tarikan pada ureteropelvic junction. Pada pasien
dengan kecurigaan trauma tumpul ureter biasanya didapatkan gambaran nyeri pada flank
sampai ke perut bawah. Gambaran syok timbul pada 53% kasus, yang menandakan terjadinya
perdarahan lebih dari 2000 cc. Diagnosis dari trauma tumpul ureter seringkali terlambat
diketahui karena seringnya ditemukan gejala akibat trauma lain, sehingga tingkat kecurigaan
tertinggi lebih kepada trauma dengan gejala yang lebih jelas. Pilihan terapi yang tepat
tergantung pada lokasi, jenis trauma, waktu kejadian, kondisi pasien, dan prognosis pasien.
Hal terpenting dalam pemilihan tindakan operasi adalah mengetahui dengan pasti fungsi
7. Cedera Diafragma
Pada trauma tumpul abdomen, robekan diafragma dapat terjadi pada bagian manapun pada
kedua diafragma. Yang paling penting dan berbahaya jika mengenai diafragma kiri,
berhubungan dengan organ sekitarnya. Lokasi cedera biasanya pada daerah paskaero lateral
dari diafragma kiri. Pada pemeriksaan foto thorak awal akan terlihat diafragma yang labih
tinggi ataupun kabur, biasanya berupa hematoraks, ataupun adanya bayangan udara yang
membuat kaburnya gambaran diafragma, ataupun terlihat NGT yang terpasang dalam gaster
terlihat di thorak. Pada sebagian kecil foto thorak tidak memperlihatkan adanya kelainan.
Cedera diafragma dapat dilihat dari pemeriksaan CT scan abdomen pada pasien trauma
tumpul abdomen.
Tindakan pertama yang dilakukan saat berhadapan dengan pasien trauma dengan sebab
apapun adalah melakukan primary survey untuk menyelamatkan pasien dari ancaman
kondisi airway, breathing, dan circulation. Tanda vital yang diperiksa saat pasien trauma
datang ke ruang gawat darurat menjadi petunjuk tingkat cedera yang terjadi (Mehta, Babu and
Venugopal, 2014).
Masalah sirkulasi merupakan masalah pada primary survey yang sering dihadapi pada pasien
trauma tumpul abdomen. Syok karena perdarahan harus bisa dinilai secepat mungkin untuk
tindakan lebih lanjut. Gejala klinis pada suatu perdarahan bisa belum terlihat jika kekurangan
darah kurang dari 10% dari total volume darah karena pada saat ini masih dapat dikompensasi
oleh tubuh. Bila perdarahan terus berlangsung maka tubuh tidak mampu lagi
karena perdarahan menimbulkan gejala peningkatan frekuensi jantung dan nadi (takikardi),
pengisian nadi yang lemah, kulit dingin dengan turgor yang jelek, ujung-ujung ekstremitas
dingin, dan pengisian kapiler lambat. Ketidakstabilan hemodinamik yang terjadi pada kondisi
syok hipovolemik berupa penurunan curah jantung, penurunan tekanan darah, peningkatan
tahanan pembuluh darah, dan penurunan tekanan vena sentral. Penurunan tekanan darah
sistolik lebih lambat terjadi karena adanya mekanisme kompensasi tubuh terhadap terjadinya
hipovolemia. Pada awal-awal terjadinya kehilangan darah, terjadi respon sistem saraf
demikian, pada tahap awal tekanan darah sistolik dapat dipertahankan. Namun kompensasi
yang terjadi tidak banyak pada pembuluh perifer sehingga terjadi penurunan diastolik dan
penurunan tekanan nadi. Oleh sebab itu, pemeriksaan klinis yang seksama sangat penting
dilakukan karena pemeriksaan yang hanya berdasarkan pada perubahan tekanan darah sistolik
dan frekuensi nadi dapat menyebabkan kesalahan atau keterlambatan diagnosa dan
penatalaksanaan (Mackersie RC, Tiwary AD and SR, 1999). Sebuah penelitian menyebutkan
bahwa hipotensi diidentifikasi sebagai penanda adanya cedera intra-abdomen pada pasien
Penegakan diagnosis cedera intra-abdomen pada pasien trauma tumpul abdomen secara
umum berdasarkan anamnesis tentang riwayat trauma, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan ini dilakukan saat secondary survey dalam penilaian awal pasien
trauma. Mekanisme terjadinya trauma sangat penting dalam menentukan kemungkinan cedera
organ intra-abdomen yang lebih spesifik. Semua informasi harus diperoleh dari saksi mata
kejadian trauma, termasuk mekanisme cedera, tinggi jatuh, kerusakan interior dan eksterior
tanda vital, kesadaran, adanya perdarahan eksternal, jenis senjata dan mekanisme lain yang
Informasi tentang kejadian trauma (mekanisme trauma), keterangan saksi mata, catatan dari
paramedik sangat penting untuk diketahui pada setiap pasien trauma sehingga bisa
mendeteksi cedera organ yang mungkin terjadi pada pasien. Pada kecelakaan lalu lintas, yang
perlu diketahui adalah kecepatan dan arah dari kecelakaan (kendaraan), kerusakan
Selain itu, riwayat AMPLE (Alergy, Medication, Past illness, Last meal, Environment)
penting diketahui untuk mengetahui kondisi penyerta pasien yang mengalami trauma.
Pemeriksaan fisik abdomen harus dilakukan dengan cara yang teliti dan sistematis dengan
urutan : inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi. Pada inspeksi, penderita harus diperiksa
secara menyeluruh, mulai dari bagian depan sampai belakang, dan juga bagian bawah dada
dan perineum sesuai anatomi abdomen. Inspeksi untuk melihat adanya goresan/laserasi,
robekan, luka, benda asing yang tertancap serta status hamil pada perempuan. Adanya jejas,
laserasi di dinding perut, atau perdarahan dibawah kulit (hematomae) setelah trauma dapat
flank (Grey Turner Sign) atau umbilicus (Cullen Sign) merupakan indikasi perdarahan
retroperitoneal, tetapi hal ini biasanya lambat dalam beberapa jam sampai hari. Adanya
distensi pada dinding perut merupakan tanda penting karena kemungkinan adanya
pneumoperitonium, dilatasi gaster, atau adanya iritasi peritoneal. Pergerakan pernafasan perut
yang tertinggal merupakan salah satu tanda kemungkinan adanya peritonitis. Laserasi
abdomen yang terlihat sesuai pola sabuk pengaman mobil (Seat Belt Sign) sering ditemukan
sebagai tanda klinis terjadinya cedera organ intra-abdomen (Beal et al., 2016). Sebuah
penelitian menyatakan bahwa pada pasien trauma tumpul abdomen, nyeri perut disertai
dengan takikardi, nyeri lepas, distensi abdomen, defans muscular, adanya laserasi abdomen
(Seat Belt Sign), atau ekimosis merupakan faktor prediktif dalam mengidentifikasi cedera
Pada auskultasi dinilai apakah ada bising usus atau tidak. Pada robekan (perforasi) usus,
bising usus selalu menurun, bahkan kebanyakan menghilang sama sekali. Adanya bunyi usus
mengakibatkan hilangnya bunyi usus. Cedera pada struktur yang berdektan seperti cedera
tulang iga, tulang belakang, panggul juga dapat menyebabkan ileus meskipun tidak terdapat
cedera di intra-abdomen, sehingga tidak adanya bunyi usus bukan berarti pasti ada cedera
adanya peritonitis tetapi masih meragukan. Perkusi juga dapat menunjukan bunyi timpani
akibat dilatasi lambung akut di kuadran atas atau bunyi redup bila ada hemiperitoneum.
Perkusi redup hati yang menghilang menunjukkan adanya udara bebas dalam rongga perut
yang berarti kemungkinan terdapatnya robekan (perforasi) dari organ-organ usus. Nyeri ketok
seluruh dinding perut menunjukkan adanya tanda-tanda peritonitis umum (Schurink G, 1997).
Pada palpasi yang paling penting adalah menilai nyeri. Nyeri abdomen merupakan tanda
klinis yang dievaluasi saat palpasi. Nyeri juga dapat bersifat spontan tanpa dilakukan palpasi.
Lokasi nyeri sangat penting untuk mengetahui kemungkinan organ yang terkena. Nyeri
abdomen secara menyeluruh merupakan tanda yang penting kemungkinan peritonitis akbat
iritasi peritoneum, baik oleh darah maupun isi usus. Kecenderungan untuk menggerakan
dinding abdomen (voluntary guarding) dapat menyulitkan pemeriksaan abdomen. Sebaliknya
defans muscular (involuntary guarding) adalah tanda yang penting dari iritasi peritoneum.
Palpasi menentukan adanya nyeri tekan superfisial, nyeri tekan dalam, atau nyeri lepas. Nyeri
lepas terjadi ketika tangan yang menyentuh perut dilepaskan tiba - tiba, dan biasanya
menandakan peritonitis yang timbul akibat adanya darah atau isi usus yang mengiritasi
Pemeriksaan fisik abdomen pada saat awal sering gagal untuk mendeteksi cedera abdomen
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas, rawat inap berkepanjangan, dan akhirnya, biaya
kesehatan lebih besar. Gejala fisik yang tidak jelas, kadang ditutupi oleh nyeri akibat trauma
ekstraabdominal dan dikaburkan oleh intokasi atau trauma kepala, merupakan penyebab
utama tidak terdeteksinya cedera intra-abdomen. Lebih dari 75% pasien dengan trauma
abdomen yang membutuhkan tindakan bedah segera, pada awalnya mempunyai gejala klinik
yang tidak khas (benign physical examination), sehingga ahli bedah yang kurang waspada
dan menganggap tidak ada cedera intraabdoemen (Hoff et al., 2002). Suatu penelitian
menyatakan bahwa dari 437 pasien-pasien trauma tumpul abdomen, 47% tidak mempunyai
gejala klinik yang khas pada evaluasi awal, 44% ditemukan dari hasil “diagnostic test” dan
77% dari mereka didapatkan trauma intra abdominal. Tanda peritonitis merupakan mandatori
untuk dilakukan laparotomi tanpa menunggu hasil-hasil tes-tes diagnostik. Oleh karena itu,
pemeriksaan abdomen yang teliti, sistematik sangat dianjurkan pada setiap kasus-kasus
Pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan dalam manajemen pasien trauma tumpul
tergantung pada stabilitas hemodinamik pasien dan prediksi tingkat keparahan cedera. Pasien
trauma tumpul abdomen dengan hemodinamik stabil dapat dievaluasi dengan Ultrasonografi
(USG) abdomen, atau CT scan. Pasien trauma tumpul dengan ketidakstabilan hemodinamik
harus dievaluasi dengan USG di ruang resusitasi jika tersedia, atau dengan lavage peritoneum
Pemeriksaan laboratorium di awal kejadian trauma hanya sedikit memberi arti kecuali
digunakan sebagai data dasar dalam monitor perkembangan klinik selanjutnya. Sehingga
perlu dilakukan pemeriksaan secara serial, seperti misalnya serial haematocrit dan
hemoglobin untuk monitor kehilangan darah, amylase untuk monitor adanya trauma pancreas.
Pemeriksaan laboratorium awal yang diperlukan dalam manajemen trauma abdomen antara
lain:
• Complete Blood Count (CBC), menilai penurunan hemoglobin (Hb), hematokrit (Hct) dan
platelet (PLT)
• Blood Urea Nitrogen (BUN), dan serum kreatinin mungkin meningkat menandakan adanya
disfungsi ginjal.
• Tes koagulasi, yang menunjukkan pemanjangan PT dan APTT, untuk menilai adanya
koagulopati
Penelitian di Amerika mempelajari tentang beberapa hasil tes laboratorium abnormal pada
pasien yang mengalami cedera intra-abdomen. Beberapa penelitian menunjukkan defisit basa
(< -6 mEq/L) adalah prediktif pada cedera intra-abdomen. Hematuria (25-50 RBC/hpf)
diprediksi empat kali lipat peningkatan risiko cedera intra-abdomen. Tingkat hematokrit
kurang dari 30% meningkatkan kemungkinan cedera intra-abdomen lebih banyak daripada
hematokrit <36%. Penurunan Hct lebih dari 5% sangat signifikan berhubungan dengan cedera
intra-abdomen. Penanda laboratorium lainnya termasuk peningkatan jumlah WBC dan
aminotransferase) adalah petanda adanya kerusakan hati (Holmes, Wisner, et al., 2009)
Foto polos abdomen berguna untuk melihat adanya udara atau cairan bebas intraabdomen.
Dibutuhkan kurang lebih 800 ml cairan bebas baru bisa terlihat pada foto polos abdomen.
Foto tegak dapat menunjukan udara bebas intraperitoneal yang disebabkan oleh perforasi
organ visera berongga, adanya nasogastric tube pada rongga toraks (cedera diaphragma).
Pemeriksaaan rontgen servikal lateral, toraks anteropaskaerior (AP), dan pelvis adalah
pemeriksaan yang harus dilakukan pada penderita dengan multitrauma. Pada penderita yang
hemodinamik stabil, maka pemeriksaan rontgen abdomen dalam keadaan terlentang dan tegak
udara bebas di bawah diafragma. Hilangnya bayangan pinggang (psoas shadow) juga
menandakan adanya cedera retroperitoneum. Bila foto tegak dikontraindikasikan karena nyeri
atau patah tulang punggung, dapat digunakan foto samping sambil tidur (left lateral
decubitus) untuk mengetahui udara bebas intraperitoneal (Jansen, Yule and Loudon, 2008).
Diagnostic peritoneal lavage (DPL) yang dikenalkan pada tahun 1965 merupakan metode
sifatnya invasif. DPL merupakan tes cepat dan akurat yang digunakan untuk
mengidentifikasi cedera intra-abdomen pasien trauma tumpul terutama pada pasien hipotensi
paska trauma tanpa indikasi yang jelas untuk laparotomi eksplorasi abdomen. Indikasi untuk
melakukan DPL sebagai berikut : nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya,
Trauma pada bagian bawah dari dada, hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas,
pasien cedera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat,alkohol, cedera otak), pasien
cedera abdominal dan cedera medula spinalis (sumsum tulang belakang), dan patah tulang
pelvis. Sedangkan kontra indikasi relatif melakukan DPL adalah : pasien hamil, pernah
operasi abdominal, operator tidak berpengalaman dan bila hasil DPL nantinya tidak akan
merubah penatalaksanaan. Kriteria standar untuk lavage peritoneal yang positif meliputi
aspirasi setidaknya 10 mL darah, lavage berdarah, sel darah merah hitung lebih besar dari
100.000 / mm3, sel darah putih hitung lebih besar dari 500/mm3, amilase lebih besar dari 175
IU / dL, atau deteksi empedu, bakteri, atau serat makanan (Ikegami et al., 2014).
Di Amerika Serikat Ultrasonografi (USG) telah digunakan dalam beberapa tahun terakhir
untuk evaluasi pasien dengan trauma tumpul abdomen. Pemeriksaan USG di unit gawat
darurat pada pasien trauma dikenal dengan nama FAST (Focused Assessment with
Sonography in Trauma). Pemeriksaan ini sifatnya non invasif dan memerlukan alat USG
portable yang bisa dibawa ke unit gawat darurat. Di Indonesia, beberapa senter trauma sudah
memiliki alat ini, tetapi masih banyak rumah sakit yang belum memiliki alat USG di unit
gawat darurat. Tujuan evaluasi USG untuk mencari cairan bebas intraperitoneal. Hal ini dapat
dilakukan dengan cepat dan tidak invasive, dengan tingkat keakuratan sama dengan DPL
untuk mendeteksi hemoperitoneum. USG juga dapat mengevaluasi hati dan limpa meskipun
tujuan USG adalah untuk mencari cairan bebas di intrapreitoneal. Mesin portabel dapat
digunakan di ruangan resusitasi atau di gawat darurat pada pasien dengan hemodinamik stabil
tanpa menunda tindakan resusitasi pada pasien tersebut. Keuntungan lain dari USG daripada
diagnostik peritoneal lavage adalah USG merupakan tindakan yang noninvasif. USG dapat
mendeteksi adanya laserasi pada hati dan ginjal, namun tidak mampu secara tepat
memastikan seberapa dalam dan luas laserasi yang terjadi. Tidak diperlukan adanya tindakan
lebih lanjut setelah USG dinyatakan negatif pada pasien yang stabil. Sensitivitas berkisar dari
85% sampai 99%, dan spesifisitas dari 97% sampai 100%. Sebuah penelitian mengemukanan
bahwa USG pada trauma tembus tidak dapat diandalkan seperti pada trauma tumpul (Radwan
and Abu-
Zidan, 2006).
Computed Tomography Abdomen (CT scan Abdomen) adalah metode yang paling sering
digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan trauma abdomen tumpul yang stabil. Metode
pencitraan CT scan telah membawa perubahan besar dalam penanganan pasien dengan
trauma tumpul abdomen. Manfaat terbesarnya adalah penurunan jumlah pasien yang
memerlukan tindakan pembedahan dan operasi non terapiutik. Saat ini keakuratan CT scan
dalam menilai tingkat beratnya cedera intra-abdomen masih dipertanyakan. Suatu penelitian
menyatakan bahwa grading trauma hati preoperative dengan CT scan dihubungkan dengan
penemuan saat operasi, hanya 16% yang sesuai. Harus ditekankan untuk mengambil tindakan
Laparoskopi merupakan alat diagnostik yang saat ini berkembang dalam mengevaluasi pasien
trauma tumpul abdomen. Aplikasi diagnostik dan terapeutik dari laparoskopi digunakan
dalam banyak bidang, termasuk juga trauma tumpul abdomen. Indikasi penggunaan
laparoskopi dalam trauma abdomen masih diperdebatkan, tetapi laparoskopi diagnostik sudah
membutuhkan anestesi umum, risiko pneumothraks pada cedera diaphragm, risiko emboli gas
pada trauma vena besar, peningkatan TIK pada pasien trauma kepala, masalah waktu dan
Rumah sakit pusat trauma menggunakan beberapa algoritme dalam manajemen pasien trauma
manajemen trauma tumpul, mencakup manajemen awal, cara diagnostik dan tatalaksana.
Mattox, dkk. Dalam buku Trauma edisi ke – 7 membuat algoritme sederhana dalam
menajemen trauma tumpul abdomen. dalam algoritme ini dijelaskan bahwa penggunaan CT
scan abdomen berdasarkan stabil atau tidaknya hemodinamik pasien. Algoritme ini juga
Laparotomi
Dari diagram diatas dapat dilihat bahwa pasien trauma tumpul abdomen dengan hemodinamik
stabil, dilakukan pemeriksaan CT scan untuk menilai apakah ada cedera organ intra-abdomen.
Pada protokol ini tidak terlihat bahwa penggunaan CT scan berdasarkan indikasi yang
selektif. Manajemen trauma tumpul seperti ini juga digunakan di RSUP Sanglah
saat ini.
Beberapa senter trauma yang lain menggunakan algoritme yang berbeda dalam manajemen
trauma tumpul abdomen. American collage of surgeon juga mengeluarkan algoritme dalam
evaluasi pasien trauma tumpul abdoemn dengan hemodinamik stabil, atas dasar
Ya Tidak
Ya Tidak
trauma tumpul abdomen. manajemen trauma tumpul abdomen berdasarkan alat penunjang
2.6. Gejala Klinis Yang Berhubungan Dengan Lesi Intra-abdomen Pada Trauma
Tumpul
Abdomen
menimbulkan gangguan sirkulasi secara klinis dikenal dengan syok. Perdarahan berat adalah
perdarahan yang mengakibatkan kehilangan darah sebanyak 30% atau lebih dari estimate
blood volume. Tekanan darah merupakan faktor yang amat penting pada sistem sirkulasi.
Peningkatan atau penurunan tekanan darah akan mempengaruhi homeostasis di dalam tubuh.
Tekanan darah selalu diperlukan untuk daya dorong mengalirnya darah di dalam arteri,
arteriola, kapiler dan sistem vena, sehingga terbentuklah suatu aliran darah yang menetap.
Tekanan darah diatur melalui beberapa mekanisme fisiologis untuk menjamin aliran darah ke
jaringan yang memadai. Tekanan darah ditentukan oleh curah jantung (cardiac output) dan
resistensi pembuluh darah terhadap darah. Curah jantung adalah volume darah yang dipompa
melalui jantung per menit, yaitu isi sekuncup (stroke volume) x laju denyut jantung (heart
Tekanan darah sistolik adalah tekanan yang dihasilkan otot jantung saat mendorong
darah dari ventrikel kiri ke aorta (tekanan pada saat otot ventrikel jantung kontraksi).
Tekanan darah diastolik adalah tekanan pada dinding arteri dan pembuluh darah akibat
mengendurnya otot ventrikel jantung (tekanan pada saat otot atrium jantung kontraksidan
darah menuju ventrikel). Tekanan darah biasanya digambarkan sebagai rasio tekanan
sistolik terhadap tekanan diastolik. Pemeriksaan tekanan darah yang akurat adalah bagian
integral dari perawatan pasien trauma. Tekanan darah awal digunakan dalam menilai skor
trauma dan menilai adanya syok yang tidak terkompensasi. Pengukuran tekanan darah dalam
Advanced Trauma Life Support sebagai bagian dari penilaian awal pasien trauma dan
Tekanan darah sistolik 90 mmHg telah digunakan sebagai cut-off point untuk menentukan
pasien syok. Hipotensi dini (tekanan darah sistolik 90 mmHg atau kurang) akibat perdarahan
yang ditemukan pada evaluasi awal pasien trauma berhubungan dengan morbiditas dan
mortalitas pasien trauma. Dengan demikian, penilaian status hemodinamik pasien sangat
penting dalam survey primer pasien trauma (Prachalias and Kontis, 2014).
Penurunan tekanan darah terjadi pada pasien dengan syok karena perdarahan pada pasien
penyebab syok tersebut, penurunan hebat volume plasma intravaskuler merupakan faktor
penyebab utama. Terjadinya penurunan hebat volume intravaskuler dapat terjadi akibat
perdarahan intra-abdomen maupun perdarah di tempat lain seperti, rongga toraks, pelvis, dan
ekstremitas. Kejadian ini menyebabkan darah yang balik ke jantung berkurang dan curah
dan perfusi jaringan tidak optimal dan akhirnya menyebabkan syok. Pada tahap awal
dengan perdarahan kurang dari 10%, gejala klinis dapat belum terlihat karena adanya
mekanisme kompensasi sisitim kardiovaskuler dan saraf otonom. Baru pada kehilangan darah
mulai 15% gejala dan tanda klinis mulai terlihat berupa peningkatan frekuensi nafas,
jantung atau nadi (takikardi), pengisian nadi yang lemah, penurunan tekanan nadi, kulit
pucat dan dingin, pengisian kapiler yang lambat dan produksi urin berkurang. Berdasarkan
perjalanan klinis syok seiring dengan jumlah kehilangan darah terlihat bahwa penurunan
pengisian kapiler, tekanan nadi dan produksi urin lebih dulu terjadi dari pada penurunan
tekanan darah sistolik. Oleh karena itu, pemeriksaan klinis yang seksama sangat penting
dilakukan, jika hanya berdasarkan perubahan tekanan darah sitolik dan frekuensi nadi dapat
Frekuensi nadi merupakan indikator lain yang digunakan untuk menilai status hemodinamik
pasien trauma. Frekuensi nadi yang tinggi bisa disebabkan karena adanya perdarahan dan
juga karena nyeri atau pasien dalam keadaan cemas. Perubahan nadi pada pasien trauma
merupakan tanda penting dalam menentukan manajemen pasien. Syok merupakan hal utama
yang harus dipikirkan ketika berhadapan dengan pasien trauma dengan frekuensi nadi yang
tinggi. Disamping itu juga harus menilai tanda tanda syok yang lain.
Berdasarkan klasifikasi syok dari American College of Surgeons Committee on Trauma,
tahun 2008, menyatakan bahwa syok kelas I dengan perkiraan perdarahan kurang dari 750 cc,
frekuensi nadi masih berada dibawah 100 kali per menit. Ini diakibatkan karna beberapa
kompensasi dari tubuh. Sedangkan pada perdarahan lebih dari 750 cc, yaitu syok kelas II,
frekuensi nadi akan mulai mengalami peningkatan lebih dari 100 kali per menit (Brasel et al.,
2007).
Kehilangan darah pada pasien trauma sering disebabkan oleh perdarahan organ intraabdomen.
Sehingga penting untuk mengevaluasi secara klinis apakah ada cedera intraabdomen ketika
menemukan pasien trauma dengan penurunana tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi.
Perdarahan juga bisa disebabkan karena cedera di rongga toraks, cedera pelvis, dan cedera
pada ekstremitas. Dari pemeriksaan nadi dan tekanan darah, bisa memprediksi seberapa
banyak kehilangan darah pasien yang mengalami trauma (Sugrue et al., 2007).
Sebuah penelitian di Inggris menyatakan bahwa frekuensi nadi saja tidak cukup untuk
nadi yang cepat pada pasien paska trauma menunjukan suatu tanda syok yang perlu
intervensi, tetapi jika tidak ditemukan adanya nadi yang cepat, tidak menutup kemungkinan
bahwa pasien juga perlu intervensi berdasarkan tanda klinis yang lain (Brasel et al., 2007).
Penelitian di Switzerland mengidentifikasi sebuah cut off untuk definisi hipotensi yaitu
tekanan darah sistolik 100 mmHg. Tingkat kematian dua kali lipat pada tekanan darah sistolik
< 100 mmHg, tiga kali lipat pada tekanan darah sistolik < 90 mmHg dan meningkat 5 sampai
6 kali lipat pada tekanan sistolik < 70 mmHg. Oleh karena itu direkomendasikan pada semua
pasien trauma tumpul dengan tekanan darah sistolik < 100 mmHg harus dirawat di area
resusitasi dalam pusat trauma untuk pemantauan ketat dan manajemen klinis yang optimal
Adanya perlukaan atau jejas pada regio abdomen dapat memprediksi adanya cedera organ
dibawahnya. Pada trauma abdomen biasanya ditemukan kontusio, abrasi, laserasi dan
Ekimosis pada daerah umbilikal biasa kita sebut Cullen’s Sign sedangkan ekimosis yang
ditemukan pada salah satu panggul disebut sebagai Turner’s Sign. Jejas atau perlukaan yang
ditemukan pada pasien trauma tumpul abdomen merupakan faktor prediktor yang penting
dalam menilai apakah perlukaan tersebut juga menimbulakan cedera organ dibawahnya.
Pasien dengan trauma tumpul abdomen sering kali kita melihat adanya jejas pada regio
abdomen tersebut, tetapi ada juga yang tanpa adanya jejas. Adanya jejas membuat kita lebih
berfikir untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk membuktikan apakah ada cedera
organ di dalamnya atau tidak. Sedangkan jika tidak ada jejas, tetap juga diperhatikan apakah
pasien mengalami cedera intra-abdomen atau tidak dengan menilai gejala klinis yang lain.
Sebab mekanisme cedera intra-abdomen bisa juga karena proses deselerasi, tidak hanya
karena trauma secara langsung. Penilaian jejas dapat memprediksi organ apa yang terkena
dibawahnya sesuai dengan lokasi anatomi abdomen, dan disesuaikan dengan gejala klinis
Salah satu tipe jejas yang sering ditemukan adalah jejas yang menyerupai sabuk pengaman
(Seat Belt Sign). Sebuah penelitian di Amerika menyebutkan bahwa pasien dengan Seat Belt
Sign setelah kecelakaan lalu lintas cenderung terjadi cedera intra-abdomen daripada pasien
tanpa Seat Belt Sign. Pasien dengan SBS tapi tanpa disertai nyeri perut memiliki risiko lebih
rendah untuk terjadinya cedera organ intra-abdomen (Sokolove, 2000). Penelitian lainya juga
mendukung bahwa pasien dengan tanda sabuk pengaman (Seat beat sign) setelah kecelakaan
kendaraan bermotor memiliki risiko cedera intra-abdomen yang lebih besar daripada mereka
yang tidak memiliki tanda Seat Belt Sign. Meskipun demikian, pada beberapa kasus cedera
intra-abdomen sering tidak disertai jejas dan tidak ada keluhan awal nyeri perut pada
pemeriksaan. Risiko cedera intra-abdomen selalu ada sebelum terbukti tidak terjadi, terutama
laboratorium, dan computed tomography umumnya diperlukan (José Gustavo Parreira and
Nyeri abdomen merupakan tanda klinis yang dievaluasi saat palpasi. Nyeri juga dapat bersifat
spontan tanpa dilakukan palpasi. Lokasi nyeri sangat penting untuk mengetahui kemungkinan
organ yang terkena. Nyeri abdomen secara menyeluruh merupakan tanda yang penting
kemungkinan peritonitis akbat iritasi peritoneum, baik oleh darah maupun isi usus.
adalah tanda yang penting dari iritasi peritoneum. Palpasi menentukan adanya nyeri tekan
superfisial, nyeri tekan dalam, atau nyeri lepas. Nyeri lepas terjadi ketika tangan yang
menyentuh perut dilepaskan tiba - tiba, dan biasanya menandakan peritonitis yang timbul
akibat adanya darah atau isi usus yang mengiritasi peritonium (Rostas et al., 2015). Adanya
darah atau cairan usus dalam rongga peritoneum akan memberikan tanda-tanda rangsangan
peritoneum berupa nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding
abdomen. Kekakuan dinding abdomen dapat pula diakibatkan oleh hematomaa pada dinding
abdomen. Adanya darah dalam rongga abdomen dapat ditentukan dengan shifting dullness,
sedangkan udara bebas ditentukan dengan pekak hati yang beranjak atau menghilang. Trauma
abdomen disertai ranggsangan peritoneum dapat memberikan gejala berupa nyeri pada daerah
bahu terutama yang sebelah kiri. Gejala ini dikenal sebagai referred pain yang dapat
Terdapat 4 alat Unidimentional Pain Rating Scale (UPRS) utama yang digunakan dalam
praktek klinis untuk menilai nyeri. Terdiri dari Numeric Rating Scale (NRS), Verbal Rating
Scale (VRS), Faces Pain Scale (FPS) dan Visual Analogue Scale (VAS). Visual Analogue
Scale (VAS) merupakan salah satu cara cepat yang digunakan di unit gawat darurat untuk
menilai derajat nyeri pasien trauma. Syarat utama dari pemeriksaan ini adalah pasien harus
sadar baik. Pemeriksaan bisa langsung dilakukan tanpa melakukan intervensi atau dengan
melakukan palpasi pada abdomen. VAS merupakan teknik sederhana untuk mengukur
pengalaman subjektif pasien terhadap rasa nyeri. VAS telah ditetapkan secara valid dan dapat
diandalkan berbagai aplikasi klinis dan penelitian, walaupun ada juga bukti adanya
peningkatan kesalahan dan penurunan sensitivitas saat digunakan pada beberapa kelompok
subjek. VAS telah digunakan sangat luas dalam beberapa dasawarsa belakangan ini dalam
penelitian terkait dengan nyeri dengan hasil yang handal, valid dan konsisten.VAS adalah
suatu instrumen yang digunakan untuk menilai intensitas nyeri dengan menggunakan sebuah
tabel garis 10 cm dengan interpretasi sebagai berikut : 0 (tidak nyeri), 1-2 (nyeri ringan), 3-6
(nyeri sedang), 7-8 (nyeri berat), 9-10 (nyeri sangat berat). Cara penilaiannya adalah
penderita menandai sendiri dengan pensil pada nilai skala yang sesuai dengan intensitas
nyeri yang dirasakannya setelah diberi penjelasan dari pemeriksa tentang makna dari
setiap skala tersebut. Penentuan skor VAS dilakukan dengan mengukur jarak antara ujung
garis yang menunjukkan tidak nyeri hingga ke titik yang ditunjukkan pasien (Laeseke
Nyeri abdomen merupakan tanda yang spesifik untuk menilai adanya cedera intraabdomen
pada pasien trauma, mulai dari nyeri sedang, dengan VAS 3 sampai dengan nyeri yang sangat
berat Sehingga pemeriksaan ini sangat penting dilakukan untuk manajemen pasien lebih
lanjut. Dalam penelitianya Neeki, dkk menyebutkan bahwa nyeri perut yang ringan pada
trauma tumpul abdomen dikaitkan dengan rendahnya angka splenektomi. Pasien trauma
tumpul abdomen dengan nyeri perut yang ringan memerlukan jangka waktu yang lebih
panjang untuk melakukan tindakan diagnosis seperti pemeriksaan ultrasonografi dan CT scan
abdomen untuk menyingkirkan adanya cedera intraabdoemen (Neeki et al., 2017). Penelitian
lainya mengungkapkan bahwa nyeri perut pada trauma tumpul abdomen berhubungan dengan
tindakan laparotomi, dimana tidak adanya nyeri perut pada trauma abdomen mengurangi
angka intervensi bedah yang dilakukan untuk penyelamatan pasien (Zago et al., 2012).
Keterlambatan dalam mengenali tanda adanya cedera intra-abdomen termasuk nyeri abdomen
mortalitas pasien trauma tumpul abdomen. Secara keseluruhan pasien dengan trauma tumpul
abdomen menunjukan banyak gejala klinis yang sulit untuk mengidentifikasi. Sehingga
diperlukan kecermatan para dokter di unit gawat darurat untuk menilainya. Disamping nyeri
abdomen perlu juga dilihat tanda tanda lain yang berhubungan dengan adanya cedera
intraabdomen sehingga diagnosis dan manajemen pasienya lebih baik (Farrath et al., 2012).
Hematuria didefinisikan sebagai adanya sel darah merah dalam urin. Disebut hematuria
makroskopis (Gross Hematuria) jika dapat terlihat secara kasat mata, sedangkan hematuria
mikroskopik dapat dideteksi menggunakan uji dipstick atau pemeriksaan sedimen urin.
mendefinisikan hematuria sebagai ditemukannya sel darah merah = 3/LPB pada spesimen
sedimen urin yang diambil dari dua sampel urin tengah (midstream) (Dalton, Dehmer and
Shah, 2015).
Hematuria memainkan peran penting dalam mengambil keputusan apakah pasien dengan
trauma abdomen tumpul perlu tindakan diagnostik lain seperti CT scan abdomen atau tidak.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa tidak adanya hematuria, hemodinamik yang stabil,
dan kecurigaan rendah adanya cedera intra-abdomen mayor, pemeriksaan radiologi seperti
CT scan mungkin tidak perlu. Sebaliknya, disarankan agar pemeriksaan radiologi seperti CT
scan pada pasien diperlukan jika ditemukan adanya hematuria makroskopis dengan
ketidakstabilan hemodinamik, indeks kecurigaan yang tinggi untuk cedera perut, atau adanya
Gross hematuria pada trauma berhubungan dengan cedera organ urogenital, termasuk ginjal,
ureter, kandung kemih, dan uretra. Biasanya sering disertai dengan fraktur pelvis. Tanda
kardinal dari trauma ginjal adalah hematuria, yang dapat bersifat massif atau sedikit, tetapi
besarnya trauma tidak dapat diukur dengan volume hematuria. Sebagian besar trauma (ruptur)
ginjal muncul dengan gejala hematuria (95%), yang dapat menjadi besar pada beberapa
trauma ginjal yang berat. Akan tetapi, trauma vaskuler ureteropelvic (UPJ), hematuria
trauma ginjal, namun tidak sensitif ataupun spesifik untuk membedakan trauma minor atau
mayor. Trauma renal mayor seperti trauma pedikel ginjal, trombosis arteri segmental dapat
muncul tanpa hematuria. Derajat hematuria tidak berbanding dengan tingkat kerusakan ginjal.
Perlu diperhatikan bila tidak ada hematutia, kemungkinan cedera berat seperti putusnya
pedikel dari ginjal atau ureter dari pelvis ginjal (Brewer et al., 2007).
Hematuria bisa mengindikasikan adanya cedera uretra tetapi tidak spesifik. Jumlah
perdarahan dari uretra tidak berhubungan dengan tingkat keparahan cedera, dan total
transeksi uretra dapat menyebabkan sedikit perdarahan atau tidak ada hematuria sama sekali..
Selain itu, rasa sakit saat buang air kecil atau ketidakmampuan untuk berkemih menunjukkan
gangguan pada uretra. Prostat letak tinggi merupakan temuan yang relatif tidak dapat
diandalkan pada fase akut, karena hematomaa pelvis yang terkait dengan fraktur panggul
sering menghalangi palpasi prostat yang kecil, terutama pada pria yang lebih muda. Pada
wanita, didapatkan lebih dari 80% pasien dengan fraktur pelvis disertai cedera uretra, dengan
Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa pasien trauma tumpul abdomen dengan gross
hematuria tanpa disertai dengan syok hipovolemik, setelah dilihat dengan pemeriksaaan
radiografi sebagian besar ditemukan adanya kontusio pada ginjal, dan sebagian kecil
ditemukan cedera ginjal yang lebih berat. Keadaan ini akan tidak terdeteksi jika pasien
trauma tumpul abdomen dengan gross hematuria tidak dilakukan pemeriksaan radiografi
Fraktur pelvis merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan cedera intraabdomen.
Tile mengklasifikasikan fraktur pelvis berdasarkan stabil dan tidaknya cincin pelvis.
Fraktur pelvis yang tidak stabil biasanya terjadi akibat cedera dengan energi yang tinggi.
Biasanya disertai dengan cedera organ lainya, seperti : cedera kepala, toraks, dan abdomen.
6080% pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan tinggi memiliki hubungan lain dengan
cedera abdomen dan muskuloskeletal, 12% berhubungan dengan cedera urogenital dan 8%
genitourinaria yang berhubungan dengan patah tulang pelvis adalah sebesar 12%, yang paling
Fraktur pelvis dapat menimbulkan cedera yang berat dan sering terjadi terkait dengan cedera
intraabdominal mayor dan pendarahan dari lokasi fraktur. Pasien dengan fraktur pelvis
memiliki insidensi yang tinggi terjadinya cedera abdomen. Cedera organ intra-abdomen
berbanding lurus dengan tingkat keparahan fraktur pelvis. Cedera kandung kemih dan uretra
sering terjadi sesuai tingkat keparahan fraktur pelvis (Demetriades et al., 2002).
Pria dan wanita sama-sama cenderung mengalami cedera pada kandung kemih tapi kerusakan
pada uretra pria lebih sering terjadi dibandingkan wanita. Patah tulang ekstremitas dan tulang
belakang juga bisa terjadi pada pasien dengan fraktur pelvis. Perdarahan dapat menyertai
fraktur pelvis terutama akibat patah tulang terbuka, cedera pada jaringan lunak, dan
perdarahan vena lokal. Gangguan cincin pelvis yang tidak stabil akibat translasi dan rotasi
penyebab utama kematian pada pasien dengan fraktur pelvis, dengan keseluruhan angka
kematian antara 6-35% pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi. Evaluasi pasien secara
lengkap sangat penting pada pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan tinggi karena sering
Fraktur pelvis yang disertai dengan gross hematuria pada pasien trauma merupakan indikasi
untuk dilakukan sistografi, untuk menilai adanya cedera kandung kemih atau uretra. Adanya
fraktur pelvis dan tanda klinis yang lain seperti jejas suprapubis, nyeri, dan gross hematuria,
merupakan faktor risiko yang sangat tinggi terjadinya cedera kandung kemih. Sedangkan
fraktur pelvis yang stabil dan tidak adanya gross hematuria berhubungan dengan rendahnya
angka cedera saluran kemih. Penelitian lainya menyebutkan bahwa pasien dengan fraktur
pelvis meningkatkan risiko terjadinya cedera organ urogenital. Cedera urogenital tersendiri
bukan merupakan prediktor utama terjadinya mortalitas pasien, tetapi fraktur pelvis dengan
cedera urogenital sering disertai dengan cedera multipel lainya, sehingga terjadi peningkatan
angka kematian secara menyeluruh akibat multitrauma yang dialami pasien (White, Hsu and
Holcomb, 2009).
pemberian kotras intravena, dan pemeriksaan CT harus mengenai regio abdomen secara
keseluruhan termasuk daerah pelvis. Diperlukan banyak waktu, sehingga dilakukan pada
pasien trauma abdomen dengan hemodinamik stabil dan tanpa tanda peritonitis. Dengan CT
scan, dapat memperoleh keterangan mengenai organ yang mengalami kerusakan serta tingkat
dari kerusakan organ tersebut. CT juga dapat mendiagnosis kerusakan organ retroperitoneal
maupun daerah pelvis yang kadang kadang sulit diperiksa secara fisik, pemeriksaan FAST
maupun DPL. Pemeriksaan fisik yang akurat dan laboratorium sederhana bisa memprediksi
penggunaanya bisa lebih minimal dan mengurangi biaya dan paparan radiasi (Mohamed El
Wakeel, 2015).
CT scan abdomen memiliki akurasi yang tinggi, sensitivitasnya antara 92% sampai 97,6%
dan spesifisitas setinggi 98,7%, dan memiliki negative predictive value yang sangat tinggi
yaitu hampir 97%. Beberapa penelitian mengatakan bahwa pasien dengan kecurigaan trauma
tumpul abdomen harus dirawat di rumah sakit selama paling sedikit 24 jam untuk observasi
meskipun hasil CT abdomen negatif. Walaupun ada penelitian yang menjelaskan bahwa CT
scan negatif dapat menjadi patokan untuk memulangkan pasien dan selanjutnya rawat jalan
Pemeriksaan CT abdomen juga memiliki keterbatasan lainya yaitu diperlukan petugas yang
ahli untuk melakukannya, dan diperlukan dokter spesialis radiologi untuk membaca
interpretasi hasil. Pemeriksaan CT abdomen walaupun sangat sensitif terhadap organ padat,
tetapi tidak menunjukkan adanya robekan pada mesenterium, cedera pada usus terutama
robekan yang kecil, cedera diafragma bila rekonstruksi sagital dan coronal tidak dilakukan,
dan cedera pankreas bila dilakukan segera setelah trauma. Adanya cairan bebas
intraperitoneal pada keadaan tidak adanya cedera pada organ padat dapat menyebabkan
keraguan dimana terdapat 25% lesi pada usus tidak terdeteksi. Sehingga disarankan untuk
dilakukan pemeriksaan Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) bila disepakati untuk tatalaksana
konservatif. Kerugian CT abdomen lainya yaitu perlunya mentransfer pasien ke unit CT scan,
bahaya radiasi yang didaptkan, pasien dapat tidak koperatif atau mengambil posisi yang baik
bila kesakitan atau dengan penurunan kesadaran (Vadodariya, Hathila and Doshi, 2014).
penelitian menganalisa apakah CT scan dilakukan secara rutin pada setiap trauma tumpul atau
selektif digunakan sesuai temuan klinis yang signifikan. CT scan menjadi modalitas utama
hemodinamik yang stabil. Tetapi karena mahalnya biaya yang diperlukan dan banyaknya
hasil CT scan yang negatif serta paparan radiasi menyebabkan strategi lain dalam diagnostik
Salah satu masalah yang paling menarik tentang evaluasi obyektif trauma tumpul abdomen
dengan CT scan adalah ketika ditemukan adanya cairan bebas tanpa tanda-tanda cedera organ
padat atau cedera mesenterika. Observasi secara ketat dan pengulangan pemeriksaan CT scan
sering dilakukan pada beberpa senter trauma, untuk menilai adanya cedera. Sensitivitas yang
relatif kurang untuk mendiagnosa cedera viskus berongga, sering menimbulkan kesalahan
Indikasi CT scan abdomen adalah : gejala cedera intra-abdomen muncul lebih dari 24 jam
setelah trauma, hasil DPL yang meragukan, adanya kontraindikasi relative untuk DPL,
dari CT scan adalah : adanya indikasi untuk laparotomi, kehamilan. Sedangkan kontraindikasi
relative penggunaan CT scan antara lain : pasien yang tidak kooperatif dan alergi terhadap
bahan kontras. Gagal ginjal atau riwayat syok anafilaktik sebelumnya dapat menghalangi
sensitifitas CT abdomen dalam mendiagnosis cedera organ padat (Vadodariya, Hathila and
Doshi, 2014).