Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Abdomen

Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak diantara toraks dan pelvis.

rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding abdomen yang terbentuk dari dari otot

abdomen, columna vertebralis, dan tulang ilium. Untuk membantu menetapkan suatu lokasi

di abdomen, yang paling sering dipakai adalah pembagian abdomen oleh dua buah bidang

bayangan horizontal dan dua bidang bayangan vertikal. Bidang bayangan tersebut membagi

dinding anterior abdomen menjadi sembilan daerah (regiones). Dua bidang diantaranya

berjalan horizontal melalui setinggi tulang rawan iga kesembilan, yang bawah setinggi bagian

atas crista iliaca dan dua bidang lainnya vertikal di kiri dan kanan tubuh yaitu dari tulang

rawan iga kedelapan hingga ke pertengahan ligamentum inguinale. Regio abdomen tersebut

adalah: 1) hypocondriaca dextra, 2) epigastrica, 3) hypocondriaca sinistra, 4) lumbalis

dextra, 5) umbilical, 6) lumbalis sinistra, 7) inguinalis dextra, 8) pubica/hipogastrica, 9)

inguinalis sinistra (Gambar 1)


Gambar 1. Pembagian anatomi abdomen berdasarkan lokasi organ yang ada di dalamnya
(Griffith, 2003)

1. Hypocondriaca dextra meliputi organ : lobus kanan hati, kantung empedu, sebagian

duodenum fleksura hepatik kolon, sebagian ginjal kanan dan kelenjar suprarenal kanan.

2. Epigastrica meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas dan sebagian dari hepar.

3. Hypocondriaca sinistra meliputi organ: gaster, limpa, bagian kaudal pankreas, fleksura

lienalis kolon, bagian proksimal ginjal kiri dan kelenjar suprarenal kiri.

4. Lumbalis dextra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kanan, sebagian

duodenum dan jejenum.

5. Umbilical meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian bawah duodenum, jejenum dan

ileum.

6. Lumbalis sinistra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kiri, sebagian jejenum

dan ileum.

7. Inguinalis dextra meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal ileum dan ureter kanan.

8. Pubica/Hipogastric meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus (pada kehamilan).

9. Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan ovarium kiri. Dengan

mengetahui proyeksi organ intra-abdomen tersebut, dapat memprediksi organ mana yang

kemungkinan mengalami cedera jika dalam pemeriksaan fisik ditemukan kelainan pada

daerah atau regio tersebut (Griffith, 2003)

Untuk kepentingan klinis rongga abdomen dibagi menjadi tiga regio yaitu : rongga

peritoneum, rongga retroperitoneum dan rongga pelvis. rongga pelvis sebenarnya terdiri dari

bagian dari intraperitoneal dan sebagian retroperitoneal. Rongga peritoneal dibagi menjadi

dua yaitu bagian atas dan bawah. rongga peritoneal atas, yang ditutupi tulang tulang toraks,

termasuk diafragma, liver, lien, gaster dan kolon transversum. Area ini juga dinamakan
sebagai komponen torako-abdominal dari abdomen. Sedangkan rongga peritoneal bawah

berisi usus halus, sebagian kolon ascenden dan descenden, kolon sigmoid, caecum, dan organ

reproduksi pada wanita (Trauma, 2012)

Rongga retroperitoneal terdapat di abdomen bagian belakang, berisi aorta abdominalis, vena

cava inferior, sebagian besar duodenum, pancreas, ginjal, dan ureter, permukaan paskaerior

kolon ascenden dan descenden serta komponen retroperitoneal dari rongga pelvis. Sedangkan

rongga pelvis dikelilingi oleh tulang pelvis yang pada dasarnya adalah bagian bawah dari

rongga peritoneal dan retroperitoneal. Berisi rektum, kandung kencing, pembuluh darah

iliaka, dan organ reproduksi interna pada wanita (Griffith, 2003)

2.2. Trauma Tumpul Abdomen

Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang terletak diantara

diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang menusuk (Ignativicus &

Workman, 2006). Di Amerika Serikat, korban akibat trauma diperkirakan sekitar 57 juta

setiap tahunnya, yang mengakibatkan sekitar 2 juta jiwa harus dirawat inap dan 150.000

kematian. Dengan beban ekonomi yang disebabkan oleh trauma cukup signifikan,

diperkirakan trauma mengakibatkan hilangnya angka kehidupan sebesar 26% dan lebih dari

separuhnya kehilangan usia produktifnya (Tentilier, E. Masson, 2000). Trauma abdomen,

merupakan penyebab kematian yang cukup sering, ditemukan sekitar 7 – 10% dari pasien

trauma. Di Eropa, trauma tumpul abdomen terjadi sekitar 80% dari keseluruhan trauma

abdomen. Penyebab paling umum dari trauma tumpul abdomen adalah kecelakaan mobil atau

motor, jatuh dari ketinggian, dan kecelakaan industri. Sebuah penelitian di Amerika

menyatakan bahwa kecelakaan lalu lintas menyumbang 83,6% trauma tumpul abdomen.

45,5% karena kecelakaan mobil dan 38,1% akibat kecelakaan motor. Tingkat mortalitas lebih
tinggi pada pasien dengan trauma tumpul abdomen dibandingkan trauma tusuk (Aziz, Bota

and Ahmed, 2014). Di Indonesia, didapatkan prevalensi cedera secara nasional adalah sebesar

8,2%, dimana prevalensi tertinggi ditemukan di Sulawesi Selatan (12,8%) dan terendah di

Jambi (4,5%). Penyebab cedera secara umum yang terbanyak adalah jatuh (40,9%) dan

kecelakaan sepeda motor (40,6%), selanjutnya penyebab cedera karena terkena benda

tajam/tumpul (7,3%), transportasi darat lain (7,1%) dan kejatuhan (2,5%). Penyebab cedera

transportasi sepeda motor tertinggi ditemukan di Bengkulu (56,4%) dan terendah di Papua

(19,4%) (Kementerian Kesehatan, 2013).

Trauma tumpul abdomen merupakan trauma yang mengenai abdomen yang disebabkan oleh

trauma dengan energi yang tinggi. Mekanisme terjadinya trauma sangat penting diketahui

untuk menilai besarnya energi trauma yang mengenai pasien. Beberapa trauma yang

dikategorikan trauma dengan energi yang tinggi adalah : jatuh dari ketinggian lebih dari 10

kaki, terpental dari dari kendaraan, kecelakaan kendaraan bermotor dengan kecepatan

melebihi 45 mil / jam, adanya fraktur mayor, adanya faktur tulang iga pertama dan fraktur

tulang iga bagian bawah, adanya tanda sabuk pengaman (Seat Belt Sign), pejalan kaki atau

pengendara sepeda yang ditabrak, dan tingkat kerusakan kendaraan yang tinggi (Jones et al.,

2014).

Pada trauma tumpul abdomen, cedera organ intra abdomen yang didapatkan umumnya

merupakan organ solid, terutama limpa dan hati dimana kedua organ ini dapat menyebabkan

perdarahan intra abdomen. Sedangkan untuk organ berongga cukup jarang terjadi, dan

seringnya dihubungkan dengan seat-belt atau deselerasi kecepatan tinggi (Iga et al., 2010).

Kunci sukses penanganan trauma tumpul abdomen adalah kewaspadaan yang tinggi adanya

cedera intra-abdomen pada setiap pasien trauma, sehingga bisa mendeteksi sedini mungkin

adanya cedera intaabdomen (Gad et al., 2012)


2.3. Patofisiologi Trauma Tumpul Abdomen

Patofisiologi cedera intra-abdomen pada trauma tumpul abdomen berhubungan dengan

mekanisme trauma yang terjadi. Pasien yang mengalami trauma dengan energi yang tinggi

akan mengalami goncangan fisik yang berat sehingga menyebabkan cedera organ. (Mehta,

Babu and Venugopal, 2014). Ada beberapa mekanisme cedera pada trauma tumpul abdomen

yang dapat menyebabkan cedera organ intra-abdomen, yaitu :

1. Benturan langsung terhadap organ intra-abdomen diantara dinding abdomen anterior dan

paskaerior

2. Cedera avulsi yang diakibatkan oleh gaya deselerasi pada kecelakaan dengan kecepatan

tinggi atau jatuh dari ketinggian. Gaya deselerasi dibagi menjadi deselerasi horizontal dan

deselerasi vertikal. Pada mekanisme ini terjadi peregangan pada struktur-struktur organ yang

terfiksir seperti pedikel dan ligamen yang dapat menyebabkan perdarahan atau iskemik

(Guillion, 2009).

3. Gaya kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang

tiba-tiba dan mencapai puncaknya biasanya menyebabkan cedera organ berongga. Berat

ringannya perforasi tergantung dari gaya dan luas permukaan organ yang terkena cedera

4. Laserasi organ intra-abdomen yang disebabkan oleh fragmen tulang (fraktur pelvis, fraktur

tulang iga)

5. Peningkatan tekanan intra-abdomen yang masif dan mendadak dapat menyebabkan cedera

diafragma bahkan cedera kardiak.

Trauma langsung abdomen atau deselerasi cepat menyebabkan rusaknya organ intraabdomen

yang tidak mempunyai kelenturan (noncomplient organ) seperti hati, limpa, ginjal dan

pankreas. Pola injuri pada trauma tumpul abdomen sering disebabkan karena kecelakaan

antar kendaraan bermotor, pejalan kaki yang ditabrak kendaraan bermotor, jatuh dari
ketinggian dan pemukulan dengan benda tumpul. Trauma tumpul abdomen terjadi karena

kompresi langsung abdomen dengan objek padat yang mengakibatkan robeknya subscapular

organ padat seperti hati atau limpa. Bisa juga karena gaya deselerasi yang menyebabkan

robeknya organ dan pembuluh darah pada regio yang terfiksir dari abdomen (hati atau arteri

renalis). Atau bisa karena kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan intraluminal

yang menyebabkan cedera organ berongga (usus halus). Trauma tumpul abdomen yang

mayoritas sering mengenai organ limpa sekitar 40% - 55%, hati 35% - 45% dan usus halus

5%10% (Avini et al., 2011)

2.4. Cedera Organ Intra-abdomen Akibat Trauma Tumpul Abdomen

Berdasaran jenis organ yang cedera, organ intra-abdomen dapat dibagi menjadi dua yaitu

organ padat dan organ berongga. Yang termasuk dalam organ padat yaitu: hati, mesenterium,

ginjal, limpa, pankreas, kandung kemih, organ genetalia interna pada wanita, dan diafragma,

sedangkan yang termasuk organ berongga yaitu usus (gaster, duodenum, jejunum, ileum,

colon, rectum), ureter, dan saluran empedu. Beberapa cedera organ yang sering terjadi pada

pasien yang mengalami trauma tumpul abdomen antara lain:

1. Cedera Hati/Hepar

Hati adalah organ terbesar pada rongga abdomen yang letaknya terlindung dengan baik,

namun organ tersebut sering mengalami cedera selain organ limpa. Cedera organ hati paling

utama disebabkan karena ukurannya, lokasinya dan kapsulnya yang tipis yang disebut

Glisson capsule. Cedera organ hati umumnya cedera akibat trauma tumpul. Hati menempati

hampir seluruh regio hypochondrica dextra, sebagian di epigastrium dan seringkali meluas

sampai ke regio hypochondrica sinistra sejauh linea mammilaria, dilindungi oleh tulang iga

IX dan X bagian kanan. Hati dapat mengalami cedera dikarenakan trauma tumpul ataupun
trauma tembus. Hati merupakan organ yang sering mengalami laserasi, sedangkan kantong

empedu sangat jarang mengalami trauma dan sulit untuk didiagnosis. Penanganan trauma hati

dalam 30 tahun terakhir telah mengalami banyak perkembangan seiring dengan banyaknya

penelitian dan literatur dalam penanganan trauma hati. Salah satu penelitian retrospektif yang

pernah dilakukan pada tahun 1992-2008 di kota Barcelona, Spanyol pada 143 pasien dengan

diagnosis trauma hati, 87 pasien adalah konservatif (74%) sedangkan 56 pasien dilakukan

tindakan operasi (26%) (She et al., 2016).

Nyeri perut kanan atas disertai adanya jejas setelah terjadi trauma merupakan gejala yang

sering terjadi. Nyeri tekan dan rigiditas otot perut tidak akan tampak sampai perdarahan pada

abdomen dapat menyebabkan iritasi peritoneum. Pemeriksaan CT scan akurat dalam

menentukan lokasi dan luas trauma hati, menilai derajat hemoperitoneum, memperlihatkan

organ intra-abdomen lain yang mungkin ikut cedera, identifikasi komplikasi yang terjadi

setelah trauma hati yang memerlukan penanganan segera terutama pada pasien dengan trauma

hati berat, dan digunakan untuk monitor kesembuhan. Penggunaan CT scan terbukti sangat

bermanfaat dalam diagnosis dan penentuan penanganan trauma hati. Dengan CT scan

menurunkan jumlah laparatomi pada 70% pasien atau menyebabkan pergeseran dari

penanganan rutin bedah menjadi penanganan non operastif dari kasus trauma hati (Njile,

2012).

2. Cedera Limpa/Lien

Limpa merupakan suatu organ dari sistem reticulo-endothelial, yang merupakan jaringan

limfe (limfoid) terbesar dari tubuh. Limpa berukuran kira-kira sebesar kepalan tangan dan

terletak tepat di bawah hemidiafragma kiri. Proyeksi letak limpa pada abdomen yaitu berada

di hypocondriaca sinistra. Organ ini terletak di kuadran kiri atas dorsal abdomen, menempel

pada permukaan bawah diafragma dan terlindung oleh lengkung tulang iga kiri.
Sejajar degan bagian posterior iga IX, X XI, dan terpisah dari diafragma dan pleura (Sander,

2015).

Limpa atau lien merupakan organ yang sering cedera pada saat terjadi trauma tumpul

abdomen. Cedera limpa merupakan kondisi yang membahayakan jiwa karena adanya

perdarahan yang hebat. Limpa terletak tepat di bawah rangka thorak kiri, tempat yang rentan

untuk mengalami perlukaan. Limpa membantu tubuh kita untuk melawan infeksi yang ada di

dalam tubuh dan menyaring semua material yang tidak dibutuhkan lagi dalam tubuh seperti

sel tubuh yang sudah rusak. Limpa juga memproduksi sel darah merah dan berbagai jenis dari

sel darah putih. Robeknya limpa menyebabkan banyaknya darah yang ada di rongga

abdomen. Cedera pada limpa biasanya disebabkan hantaman pada abdomen kiri atas atau

abdomen kiri bawah. Kejadian yang paling sering meyebabkan cedera limpa adalah

kecelakaan olahraga, perkelahian dan kecelakaan mobil (Alonso et al., 1997).

Beberpa penelitian menjelaskan bahwa gejala dan tanda paling umum yang ditunjukkan oleh

pasien trauma limpa adalah nyeri (90%) dan abdominal tenderness (85%). Kecurigaan

terjadinya cedera limpa juga dengan ditemukan adanya fraktur tulang iga IX dan X kiri, atau

nyeri abdomen kuadran kiri atas. Tanda peritoneal seperti nyeri tekan dan defans muskuler

akan muncul setelah terjadi perdarahan yang mengiritasi peritoneum. Semua pasien dengan

gejala takikardi atau hipotensi dan nyeri pada abdomen kuadran kiri atas setelah trauma,

harus dicurigai terdapat cedera limpa sampai dapat disingkirkan dengan pemeriksaan

penunjang. Penegakan diagnosis dengan menggunakan CT scan rutin dilakukan pada rumah

sakit pusat trauma (Iga et al., 2010).

3. Cedera usus

Peritonitis merupakan tanda yang khas dari cedera usus. Dari pemeriksaan fisik didapatkan

gejala ‘burning epigastric pain’ yang diikuti dengan nyeri tekan dan defans muskuler pada
abdomen. Perdarahan pada usus besar dan usus halus akan diikuti dengan gejala peritonitis

secara umum pada jam berikutnya. Sedangkan perdarahan pada duodenum biasanya bergejala

adanya nyeri pada bagian punggung. Diagnosis cedera usus ditegakkan dengan ditemukannya

udara bebas dalam pemeriksaan rontgen abdomen konvensional. Sedangkan pada pasien

dengan perlukaan pada duodenum dan colon sigmoid didapatkan hasil pemeriksaan pada

rontgen abdomen dengan ditemukannya udara dalam rongga retroperitoneal

(Mehta, Babu and Venugopal, 2014).

4. Cedera Ginjal

Organ retroperitoneal yang paling sering mengalami cedera adalah ginjal. Trauma ginjal

terjadi sekitar 1%-5% dari total seluruh trauma. Trauma ginjal dapat menjadi problem akut

yang mengancam nyawa, namun sebagian besar trauma ginjal bersifat ringan dan dapat

dirawat secara konservatif. Trauma ginjal adalah cedera pada ginjal yang disebabkan oleh

berbagai macam trauma baik tumpul maupun tajam. Trauma ginjal merupakan trauma yang

terbanyak pada sistem urogenitalia. Kurang lebih 10% dari trauma pada abdomen mencederai

ginjal

Perkembangan dalam pencitraan dan derajat trauma selama 20 tahun terakhir telah

mengurangi angka intervensi bedah pada kasus-kasus trauma ginjal. Trauma tumpul biasanya

terjadi pada kasus-kasus kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari ketinggian, cedera saat olahraga

atau berkelahi. Informasi mengenai riwayat trauma sangat penting untuk diketahui sehingga

dapat menilai besarnya proses decelerasi yang terjadi. Decelerasi yang sangat cepat dapat

menyebabkan kerusakan pembuluh darah, trombosis arteri renalis, peregangan pembuluh

darah vena, atau avulsi pedikel ginjal (Lynch et al., 2005). Hematuria merupakan poin

diagnostik yang penting untuk trauma ginjal. Namun tidak cukup sensitif dan spesifik untuk

membedakan apakah suatu trauma minor ataukah mayor. Perlu diingat beratnya hematuria
tidak berkorelasi lurus dengan beratnya trauma ginjal. Bahkan untuk trauma ginjal yang berat,

seperti; robeknya ureteropelvic junction, trauma pedikel ginjal, atau trombosis arteri dapat

tampil tanpa disertai dengan hematuria (Lynch et al., 2005).

5. Cedera Pankreas

Trauma pada pankreas sangat sulit untuk di diagnosis. Kebanyakan kasus diketahui dengan

eksplorasi pada pembedahan. Cedera pankreas harus dicurigai setelah terjadinya trauma pada

bagian tengah abdomen, contohnya pada benturan stang sepeda motor atau benturan setir

mobil. Perlukaan pada pankreas memiliki tingkat kematian yang tinggi. Pasien dapat

memperlihatkan gejala nyeri pada bagian atas dan pertengahan abdomen yang menjalar

sampai ke punggung. Beberapa jam setelah trauma, dapat terlihat adanya gejala iritasi

peritonial. Diagnosis dengan penentuan amilase serum biasanya tidak terlalu membantu

dalam proses akut. Pemeriksaan CT scan dapat menegakan diagnosis yang lebih spesifik

(Aziz, Bota and Ahmed, 2014).

6. Cedera Ureter

Trauma pada ureter jarang terjadi tetapi berpotensi menimbulkan morbiditas dan mortalitas.

Trauma ureter sering tidak dikenali pada saat pasien datang atau pada pasien dengan multipel

trauma. Kecurigaan adanya cedera ureter bisa ditemukan dengan adanya hematuria paska

trauma. Mekanisme trauma tumpul pada ureter dapat terjadi karena keadaan tiba-tiba dari

deselerasi dan akselerasi yang berkaitan dengan hiperekstensi, benturan langsung pada daerah

lumbal II dan III, Gerakan tiba-tiba dari ginjal menyebabkan terjadinya gerakan naik turun

pada ureter yang menyebabkan terjadinya tarikan pada ureteropelvic junction. Pada pasien

dengan kecurigaan trauma tumpul ureter biasanya didapatkan gambaran nyeri pada flank

sampai ke perut bawah. Gambaran syok timbul pada 53% kasus, yang menandakan terjadinya
perdarahan lebih dari 2000 cc. Diagnosis dari trauma tumpul ureter seringkali terlambat

diketahui karena seringnya ditemukan gejala akibat trauma lain, sehingga tingkat kecurigaan

tertinggi lebih kepada trauma dengan gejala yang lebih jelas. Pilihan terapi yang tepat

tergantung pada lokasi, jenis trauma, waktu kejadian, kondisi pasien, dan prognosis pasien.

Hal terpenting dalam pemilihan tindakan operasi adalah mengetahui dengan pasti fungsi

ginjal yang kontralateral dengan lokasi trauma (Lynch et al., 2005).

7. Cedera Diafragma

Pada trauma tumpul abdomen, robekan diafragma dapat terjadi pada bagian manapun pada

kedua diafragma. Yang paling penting dan berbahaya jika mengenai diafragma kiri,

berhubungan dengan organ sekitarnya. Lokasi cedera biasanya pada daerah paskaero lateral

dari diafragma kiri. Pada pemeriksaan foto thorak awal akan terlihat diafragma yang labih

tinggi ataupun kabur, biasanya berupa hematoraks, ataupun adanya bayangan udara yang

membuat kaburnya gambaran diafragma, ataupun terlihat NGT yang terpasang dalam gaster

terlihat di thorak. Pada sebagian kecil foto thorak tidak memperlihatkan adanya kelainan.

Cedera diafragma dapat dilihat dari pemeriksaan CT scan abdomen pada pasien trauma

tumpul abdomen.

2.5. Diagnosis dan Manajemen Trauma Tumpul Abdomen

Tindakan pertama yang dilakukan saat berhadapan dengan pasien trauma dengan sebab

apapun adalah melakukan primary survey untuk menyelamatkan pasien dari ancaman

kematian. Semua tindakan pemeriksaan dilakukan secepat mungkin dalam memastikan

kondisi airway, breathing, dan circulation. Tanda vital yang diperiksa saat pasien trauma

datang ke ruang gawat darurat menjadi petunjuk tingkat cedera yang terjadi (Mehta, Babu and

Venugopal, 2014).
Masalah sirkulasi merupakan masalah pada primary survey yang sering dihadapi pada pasien

trauma tumpul abdomen. Syok karena perdarahan harus bisa dinilai secepat mungkin untuk

tindakan lebih lanjut. Gejala klinis pada suatu perdarahan bisa belum terlihat jika kekurangan

darah kurang dari 10% dari total volume darah karena pada saat ini masih dapat dikompensasi

oleh tubuh. Bila perdarahan terus berlangsung maka tubuh tidak mampu lagi

mengkompensasinya dan menimbulkan gejala-gejala klinis. Secara umum, syok hipovolemik

karena perdarahan menimbulkan gejala peningkatan frekuensi jantung dan nadi (takikardi),

pengisian nadi yang lemah, kulit dingin dengan turgor yang jelek, ujung-ujung ekstremitas

dingin, dan pengisian kapiler lambat. Ketidakstabilan hemodinamik yang terjadi pada kondisi

syok hipovolemik berupa penurunan curah jantung, penurunan tekanan darah, peningkatan

tahanan pembuluh darah, dan penurunan tekanan vena sentral. Penurunan tekanan darah

sistolik lebih lambat terjadi karena adanya mekanisme kompensasi tubuh terhadap terjadinya

hipovolemia. Pada awal-awal terjadinya kehilangan darah, terjadi respon sistem saraf

simpatis yang mengakibatkan peningkatan kontraktilitas dan frekuensi jantung. Dengan

demikian, pada tahap awal tekanan darah sistolik dapat dipertahankan. Namun kompensasi

yang terjadi tidak banyak pada pembuluh perifer sehingga terjadi penurunan diastolik dan

penurunan tekanan nadi. Oleh sebab itu, pemeriksaan klinis yang seksama sangat penting

dilakukan karena pemeriksaan yang hanya berdasarkan pada perubahan tekanan darah sistolik

dan frekuensi nadi dapat menyebabkan kesalahan atau keterlambatan diagnosa dan

penatalaksanaan (Mackersie RC, Tiwary AD and SR, 1999). Sebuah penelitian menyebutkan

bahwa hipotensi diidentifikasi sebagai penanda adanya cedera intra-abdomen pada pasien

trauma tumpul (Farrath et al., 2012)

Penegakan diagnosis cedera intra-abdomen pada pasien trauma tumpul abdomen secara

umum berdasarkan anamnesis tentang riwayat trauma, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang. Pemeriksaan ini dilakukan saat secondary survey dalam penilaian awal pasien
trauma. Mekanisme terjadinya trauma sangat penting dalam menentukan kemungkinan cedera

organ intra-abdomen yang lebih spesifik. Semua informasi harus diperoleh dari saksi mata

kejadian trauma, termasuk mekanisme cedera, tinggi jatuh, kerusakan interior dan eksterior

kendaraan dalam kecelakaan kendaraan bermotor, kematian lainnya di lokasi kecelakaan,

tanda vital, kesadaran, adanya perdarahan eksternal, jenis senjata dan mekanisme lain yang

bisa menunjang diagnostik (Schurink G, 1997).

Informasi tentang kejadian trauma (mekanisme trauma), keterangan saksi mata, catatan dari

paramedik sangat penting untuk diketahui pada setiap pasien trauma sehingga bisa

mendeteksi cedera organ yang mungkin terjadi pada pasien. Pada kecelakaan lalu lintas, yang

perlu diketahui adalah kecepatan dan arah dari kecelakaan (kendaraan), kerusakan

kendaraan, penggunaan “seat-belts”, atau terlempar dari kendaraan (Schurink G, 1997).

Selain itu, riwayat AMPLE (Alergy, Medication, Past illness, Last meal, Environment)

penting diketahui untuk mengetahui kondisi penyerta pasien yang mengalami trauma.

Pemeriksaan fisik abdomen harus dilakukan dengan cara yang teliti dan sistematis dengan

urutan : inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi. Pada inspeksi, penderita harus diperiksa

secara menyeluruh, mulai dari bagian depan sampai belakang, dan juga bagian bawah dada

dan perineum sesuai anatomi abdomen. Inspeksi untuk melihat adanya goresan/laserasi,

robekan, luka, benda asing yang tertancap serta status hamil pada perempuan. Adanya jejas,

laserasi di dinding perut, atau perdarahan dibawah kulit (hematomae) setelah trauma dapat

memberikan petunjuk adanya kemungkinan kerusakan organ di bawahnya. Ekimosis pada

flank (Grey Turner Sign) atau umbilicus (Cullen Sign) merupakan indikasi perdarahan

retroperitoneal, tetapi hal ini biasanya lambat dalam beberapa jam sampai hari. Adanya

distensi pada dinding perut merupakan tanda penting karena kemungkinan adanya

pneumoperitonium, dilatasi gaster, atau adanya iritasi peritoneal. Pergerakan pernafasan perut

yang tertinggal merupakan salah satu tanda kemungkinan adanya peritonitis. Laserasi
abdomen yang terlihat sesuai pola sabuk pengaman mobil (Seat Belt Sign) sering ditemukan

sebagai tanda klinis terjadinya cedera organ intra-abdomen (Beal et al., 2016). Sebuah

penelitian menyatakan bahwa pada pasien trauma tumpul abdomen, nyeri perut disertai

dengan takikardi, nyeri lepas, distensi abdomen, defans muscular, adanya laserasi abdomen

(Seat Belt Sign), atau ekimosis merupakan faktor prediktif dalam mengidentifikasi cedera

intra-abdomen (Poletti PA, et al., 2004).

Pada auskultasi dinilai apakah ada bising usus atau tidak. Pada robekan (perforasi) usus,

bising usus selalu menurun, bahkan kebanyakan menghilang sama sekali. Adanya bunyi usus

pada auskultasi toraks kemungkinan menunjukkan adanya trauma diafragma. Perdarahan

intraperitoneum atau kebocoran (ekstravasasi) usus dapat memberikan gambaran ileus,

mengakibatkan hilangnya bunyi usus. Cedera pada struktur yang berdektan seperti cedera

tulang iga, tulang belakang, panggul juga dapat menyebabkan ileus meskipun tidak terdapat

cedera di intra-abdomen, sehingga tidak adanya bunyi usus bukan berarti pasti ada cedera

intraabdominal (Hoff et al., 2002).

Pemeriksaan dengan perkusi menyebabkan pergerakan peritoneum, dan dapat menunjukkan

adanya peritonitis tetapi masih meragukan. Perkusi juga dapat menunjukan bunyi timpani

akibat dilatasi lambung akut di kuadran atas atau bunyi redup bila ada hemiperitoneum.

Perkusi redup hati yang menghilang menunjukkan adanya udara bebas dalam rongga perut

yang berarti kemungkinan terdapatnya robekan (perforasi) dari organ-organ usus. Nyeri ketok

seluruh dinding perut menunjukkan adanya tanda-tanda peritonitis umum (Schurink G, 1997).

Pada palpasi yang paling penting adalah menilai nyeri. Nyeri abdomen merupakan tanda

klinis yang dievaluasi saat palpasi. Nyeri juga dapat bersifat spontan tanpa dilakukan palpasi.

Lokasi nyeri sangat penting untuk mengetahui kemungkinan organ yang terkena. Nyeri

abdomen secara menyeluruh merupakan tanda yang penting kemungkinan peritonitis akbat

iritasi peritoneum, baik oleh darah maupun isi usus. Kecenderungan untuk menggerakan
dinding abdomen (voluntary guarding) dapat menyulitkan pemeriksaan abdomen. Sebaliknya

defans muscular (involuntary guarding) adalah tanda yang penting dari iritasi peritoneum.

Palpasi menentukan adanya nyeri tekan superfisial, nyeri tekan dalam, atau nyeri lepas. Nyeri

lepas terjadi ketika tangan yang menyentuh perut dilepaskan tiba - tiba, dan biasanya

menandakan peritonitis yang timbul akibat adanya darah atau isi usus yang mengiritasi

peritonium (Rostas et al., 2015).

Pemeriksaan fisik abdomen pada saat awal sering gagal untuk mendeteksi cedera abdomen

yang signifikan pada pasien multitrauma. Penundaan dalam mendiagnosis menyebabkan

peningkatan angka morbiditas dan mortalitas, rawat inap berkepanjangan, dan akhirnya, biaya

kesehatan lebih besar. Gejala fisik yang tidak jelas, kadang ditutupi oleh nyeri akibat trauma

ekstraabdominal dan dikaburkan oleh intokasi atau trauma kepala, merupakan penyebab

utama tidak terdeteksinya cedera intra-abdomen. Lebih dari 75% pasien dengan trauma

abdomen yang membutuhkan tindakan bedah segera, pada awalnya mempunyai gejala klinik

yang tidak khas (benign physical examination), sehingga ahli bedah yang kurang waspada

dan menganggap tidak ada cedera intraabdoemen (Hoff et al., 2002). Suatu penelitian

menyatakan bahwa dari 437 pasien-pasien trauma tumpul abdomen, 47% tidak mempunyai

gejala klinik yang khas pada evaluasi awal, 44% ditemukan dari hasil “diagnostic test” dan

77% dari mereka didapatkan trauma intra abdominal. Tanda peritonitis merupakan mandatori

untuk dilakukan laparotomi tanpa menunggu hasil-hasil tes-tes diagnostik. Oleh karena itu,

pemeriksaan abdomen yang teliti, sistematik sangat dianjurkan pada setiap kasus-kasus

trauma abdomen (Beal et al., 2016).

Pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan dalam manajemen pasien trauma tumpul

abdomen adalah : laboratorium, foto toraks dan abdomen, ultrasonografi, Diagnostic

Peritoneal Lavage (DPL), CT scan dan laparoskopi diagnostik. Pemeriksaan dilakukan

tergantung pada stabilitas hemodinamik pasien dan prediksi tingkat keparahan cedera. Pasien
trauma tumpul abdomen dengan hemodinamik stabil dapat dievaluasi dengan Ultrasonografi

(USG) abdomen, atau CT scan. Pasien trauma tumpul dengan ketidakstabilan hemodinamik

harus dievaluasi dengan USG di ruang resusitasi jika tersedia, atau dengan lavage peritoneum

untuk menyingkirkan cedera intra-abdomen (Vlies, 2017).

Pemeriksaan laboratorium di awal kejadian trauma hanya sedikit memberi arti kecuali

digunakan sebagai data dasar dalam monitor perkembangan klinik selanjutnya. Sehingga

perlu dilakukan pemeriksaan secara serial, seperti misalnya serial haematocrit dan

hemoglobin untuk monitor kehilangan darah, amylase untuk monitor adanya trauma pancreas.

Pemeriksaan laboratorium awal yang diperlukan dalam manajemen trauma abdomen antara

lain:

• Complete Blood Count (CBC), menilai penurunan hemoglobin (Hb), hematokrit (Hct) dan

platelet (PLT)

• Blood Urea Nitrogen (BUN), dan serum kreatinin mungkin meningkat menandakan adanya

disfungsi ginjal.

• Kadar elektrolit dalam serum mungkin menunjukkan abnormalitas.

• Analisa gas darah, yang mengidentifikasi adanya asidosis metabolik.

• Tes koagulasi, yang menunjukkan pemanjangan PT dan APTT, untuk menilai adanya

koagulopati

• Pemeriksaan transaminase untuk menilai kemungkinan cedera hati.

Penelitian di Amerika mempelajari tentang beberapa hasil tes laboratorium abnormal pada

pasien yang mengalami cedera intra-abdomen. Beberapa penelitian menunjukkan defisit basa

(< -6 mEq/L) adalah prediktif pada cedera intra-abdomen. Hematuria (25-50 RBC/hpf)

diprediksi empat kali lipat peningkatan risiko cedera intra-abdomen. Tingkat hematokrit

kurang dari 30% meningkatkan kemungkinan cedera intra-abdomen lebih banyak daripada

hematokrit <36%. Penurunan Hct lebih dari 5% sangat signifikan berhubungan dengan cedera
intra-abdomen. Penanda laboratorium lainnya termasuk peningkatan jumlah WBC dan

peningkatan laktat, kurang berguna untuk mengidentifikasi pasien dengan cedera

intraabdomen. Transaminase hati yang meningkat (aspartate aminotransferase atau alanine

aminotransferase) adalah petanda adanya kerusakan hati (Holmes, Wisner, et al., 2009)

Foto polos abdomen berguna untuk melihat adanya udara atau cairan bebas intraabdomen.

Dibutuhkan kurang lebih 800 ml cairan bebas baru bisa terlihat pada foto polos abdomen.

Foto tegak dapat menunjukan udara bebas intraperitoneal yang disebabkan oleh perforasi

organ visera berongga, adanya nasogastric tube pada rongga toraks (cedera diaphragma).

Pemeriksaaan rontgen servikal lateral, toraks anteropaskaerior (AP), dan pelvis adalah

pemeriksaan yang harus dilakukan pada penderita dengan multitrauma. Pada penderita yang

hemodinamik stabil, maka pemeriksaan rontgen abdomen dalam keadaan terlentang dan tegak

mungkin berguna untuk mengetahui adanya uadara ekstraluminal di retroperitoneum atau

udara bebas di bawah diafragma. Hilangnya bayangan pinggang (psoas shadow) juga

menandakan adanya cedera retroperitoneum. Bila foto tegak dikontraindikasikan karena nyeri

atau patah tulang punggung, dapat digunakan foto samping sambil tidur (left lateral

decubitus) untuk mengetahui udara bebas intraperitoneal (Jansen, Yule and Loudon, 2008).

Diagnostic peritoneal lavage (DPL) yang dikenalkan pada tahun 1965 merupakan metode

pemeriksaan penunjang yang dapat mengidentifikasi adanya cedera intra-abdomen, tetapi

sifatnya invasif. DPL merupakan tes cepat dan akurat yang digunakan untuk

mengidentifikasi cedera intra-abdomen pasien trauma tumpul terutama pada pasien hipotensi

paska trauma tanpa indikasi yang jelas untuk laparotomi eksplorasi abdomen. Indikasi untuk

melakukan DPL sebagai berikut : nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya,

Trauma pada bagian bawah dari dada, hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas,

pasien cedera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat,alkohol, cedera otak), pasien

cedera abdominal dan cedera medula spinalis (sumsum tulang belakang), dan patah tulang
pelvis. Sedangkan kontra indikasi relatif melakukan DPL adalah : pasien hamil, pernah

operasi abdominal, operator tidak berpengalaman dan bila hasil DPL nantinya tidak akan

merubah penatalaksanaan. Kriteria standar untuk lavage peritoneal yang positif meliputi

aspirasi setidaknya 10 mL darah, lavage berdarah, sel darah merah hitung lebih besar dari

100.000 / mm3, sel darah putih hitung lebih besar dari 500/mm3, amilase lebih besar dari 175

IU / dL, atau deteksi empedu, bakteri, atau serat makanan (Ikegami et al., 2014).

Di Amerika Serikat Ultrasonografi (USG) telah digunakan dalam beberapa tahun terakhir

untuk evaluasi pasien dengan trauma tumpul abdomen. Pemeriksaan USG di unit gawat

darurat pada pasien trauma dikenal dengan nama FAST (Focused Assessment with

Sonography in Trauma). Pemeriksaan ini sifatnya non invasif dan memerlukan alat USG

portable yang bisa dibawa ke unit gawat darurat. Di Indonesia, beberapa senter trauma sudah

memiliki alat ini, tetapi masih banyak rumah sakit yang belum memiliki alat USG di unit

gawat darurat. Tujuan evaluasi USG untuk mencari cairan bebas intraperitoneal. Hal ini dapat

dilakukan dengan cepat dan tidak invasive, dengan tingkat keakuratan sama dengan DPL

untuk mendeteksi hemoperitoneum. USG juga dapat mengevaluasi hati dan limpa meskipun

tujuan USG adalah untuk mencari cairan bebas di intrapreitoneal. Mesin portabel dapat

digunakan di ruangan resusitasi atau di gawat darurat pada pasien dengan hemodinamik stabil

tanpa menunda tindakan resusitasi pada pasien tersebut. Keuntungan lain dari USG daripada

diagnostik peritoneal lavage adalah USG merupakan tindakan yang noninvasif. USG dapat

mendeteksi adanya laserasi pada hati dan ginjal, namun tidak mampu secara tepat

memastikan seberapa dalam dan luas laserasi yang terjadi. Tidak diperlukan adanya tindakan

lebih lanjut setelah USG dinyatakan negatif pada pasien yang stabil. Sensitivitas berkisar dari

85% sampai 99%, dan spesifisitas dari 97% sampai 100%. Sebuah penelitian mengemukanan

bahwa USG pada trauma tembus tidak dapat diandalkan seperti pada trauma tumpul (Radwan

and Abu-
Zidan, 2006).
Computed Tomography Abdomen (CT scan Abdomen) adalah metode yang paling sering

digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan trauma abdomen tumpul yang stabil. Metode

pencitraan CT scan telah membawa perubahan besar dalam penanganan pasien dengan

trauma tumpul abdomen. Manfaat terbesarnya adalah penurunan jumlah pasien yang

memerlukan tindakan pembedahan dan operasi non terapiutik. Saat ini keakuratan CT scan

dalam menilai tingkat beratnya cedera intra-abdomen masih dipertanyakan. Suatu penelitian

menyatakan bahwa grading trauma hati preoperative dengan CT scan dihubungkan dengan

penemuan saat operasi, hanya 16% yang sesuai. Harus ditekankan untuk mengambil tindakan

intervensi operasi didasarkan pada stabilitas hemodinamik pasien tanpa memperhatiakan

grading CT scan (Mariappan and Madhusudhanan, 2016).

Laparoskopi merupakan alat diagnostik yang saat ini berkembang dalam mengevaluasi pasien

trauma tumpul abdomen. Aplikasi diagnostik dan terapeutik dari laparoskopi digunakan

dalam banyak bidang, termasuk juga trauma tumpul abdomen. Indikasi penggunaan

laparoskopi dalam trauma abdomen masih diperdebatkan, tetapi laparoskopi diagnostik sudah

sering dipergunakan untuk evaluasi cedera intra-abdomen, sehingga dapat menentukan

manajemen pasien selanjutnya. Syarat mutlaknya adalah hemodinamik harus stabil.

Kelemahan penggunaan laparoskopi pada trauma abdomen diantaranya : pasien

membutuhkan anestesi umum, risiko pneumothraks pada cedera diaphragm, risiko emboli gas

pada trauma vena besar, peningkatan TIK pada pasien trauma kepala, masalah waktu dan

biaya (Justin, Fingerhut and Uranues, 2017).

Rumah sakit pusat trauma menggunakan beberapa algoritme dalam manajemen pasien trauma

tumpul abdomen. Penggunaan algoritme ini bertujuan untuk mempermudah dalam

manajemen trauma tumpul, mencakup manajemen awal, cara diagnostik dan tatalaksana.

Mattox, dkk. Dalam buku Trauma edisi ke – 7 membuat algoritme sederhana dalam
menajemen trauma tumpul abdomen. dalam algoritme ini dijelaskan bahwa penggunaan CT

scan abdomen berdasarkan stabil atau tidaknya hemodinamik pasien. Algoritme ini juga

digunakan di RSUP Sanglah dalam manajemen pasien trauma tumpul.

Trauma Tumpul Abdomen

Hemodinamik Stabil Hemodinamik Tidak Stabil

CT scan abdoemen Ultrasonografi (FAST)

Tanpa Cedera Cedera


Intraabdomen Intraabdomen Cairan bebas (+) Cairan bebas (-)

Observasi Embolisasi Laparotomi


Laparotomi Lihat Penyebab
syok yang lain
Gagal Gagal

Laparotomi

Gambar 2. Algoritme manajemen trauma tumpul abdomen menurut Mattox (Mattox


& Ernest Moore & David Feliciano, 2013)

Dari diagram diatas dapat dilihat bahwa pasien trauma tumpul abdomen dengan hemodinamik

stabil, dilakukan pemeriksaan CT scan untuk menilai apakah ada cedera organ intra-abdomen.

Pada protokol ini tidak terlihat bahwa penggunaan CT scan berdasarkan indikasi yang

selektif. Manajemen trauma tumpul seperti ini juga digunakan di RSUP Sanglah

saat ini.
Beberapa senter trauma yang lain menggunakan algoritme yang berbeda dalam manajemen

trauma tumpul abdomen. American collage of surgeon juga mengeluarkan algoritme dalam

manajemen trauma tumpul abdomen. Perbedaanya adalah, penggunaan CT scan untuk

evaluasi pasien trauma tumpul abdoemn dengan hemodinamik stabil, atas dasar

tinggi atau rendahnya risiko terjadinya cedera intra-abdomen.

Gambar 3. Algoritme Manajemen Trauma Tumpul Abdomen Menurut American Collage Of


Surgeon (Feliciano, 2003).

Trauma Tumpul Abdomen

Hemodinamik Tidak Hemodinamik Stabil

Tersedia FAST Tersedia CT scan

Ya Tidak
Ya Tidak

Pos Neg FAST/DPL


Pos Neg/ragu DPL

Pos Neg Laparotomi Obs Pos Neg


Laparotomi
Ketersediaan ultrasonografi atau CT scan di rumah sakit merubah protokol manajemen

trauma tumpul abdomen. manajemen trauma tumpul abdomen berdasarkan alat penunjang

yang ada di rumah sakit digambarkan pada diagram berikut ini :

Gambar 4. Protokol manajemen trauma tumpul abdomen. berdasarkan alat penunjang


diagnostik yang tersedia (Iqbal et al., 2014)

2.6. Gejala Klinis Yang Berhubungan Dengan Lesi Intra-abdomen Pada Trauma
Tumpul

Abdomen

2.6.1. Frekuensi Nadi dan Tekanan Darah Sistolik

Perdarahan merupakan komplikasi terbesar pada pasien trauma. Perdarahan yang

menimbulkan gangguan sirkulasi secara klinis dikenal dengan syok. Perdarahan berat adalah

perdarahan yang mengakibatkan kehilangan darah sebanyak 30% atau lebih dari estimate

blood volume. Tekanan darah merupakan faktor yang amat penting pada sistem sirkulasi.

Peningkatan atau penurunan tekanan darah akan mempengaruhi homeostasis di dalam tubuh.

Tekanan darah selalu diperlukan untuk daya dorong mengalirnya darah di dalam arteri,
arteriola, kapiler dan sistem vena, sehingga terbentuklah suatu aliran darah yang menetap.

Tekanan darah diatur melalui beberapa mekanisme fisiologis untuk menjamin aliran darah ke

jaringan yang memadai. Tekanan darah ditentukan oleh curah jantung (cardiac output) dan

resistensi pembuluh darah terhadap darah. Curah jantung adalah volume darah yang dipompa

melalui jantung per menit, yaitu isi sekuncup (stroke volume) x laju denyut jantung (heart

rate) (Hasler et al., 2011).

Tekanan darah sistolik adalah tekanan yang dihasilkan otot jantung saat mendorong

darah dari ventrikel kiri ke aorta (tekanan pada saat otot ventrikel jantung kontraksi).

Tekanan darah diastolik adalah tekanan pada dinding arteri dan pembuluh darah akibat

mengendurnya otot ventrikel jantung (tekanan pada saat otot atrium jantung kontraksidan

darah menuju ventrikel). Tekanan darah biasanya digambarkan sebagai rasio tekanan

sistolik terhadap tekanan diastolik. Pemeriksaan tekanan darah yang akurat adalah bagian

integral dari perawatan pasien trauma. Tekanan darah awal digunakan dalam menilai skor

trauma dan menilai adanya syok yang tidak terkompensasi. Pengukuran tekanan darah dalam

Advanced Trauma Life Support sebagai bagian dari penilaian awal pasien trauma dan

pengukuran dilakukan berulang-ulang untuk menilai respons terhadap upaya resusitasi.

Tekanan darah sistolik 90 mmHg telah digunakan sebagai cut-off point untuk menentukan

pasien syok. Hipotensi dini (tekanan darah sistolik 90 mmHg atau kurang) akibat perdarahan

yang ditemukan pada evaluasi awal pasien trauma berhubungan dengan morbiditas dan

mortalitas pasien trauma. Dengan demikian, penilaian status hemodinamik pasien sangat

penting dalam survey primer pasien trauma (Prachalias and Kontis, 2014).

Penurunan tekanan darah terjadi pada pasien dengan syok karena perdarahan pada pasien

trauma. Secara patofisiologis, syok merupakan gangguan hemodinamik yang

menyebabkan tidak adekuatnya hantaran oksigen dan perfusi jaringan. Gangguan

hemodinamik tersebut dapat berupa penurunan tahanan vaskuler sitemik terutama di


arteri, berkurangnya darah balik, penurunan pengisian ventrikel dan sangat kecilnya curah

jantung. Gangguan faktor-faktor tersebut disbabkan oleh bermacam-macam proses baik

primer pada sistim kardiovaskuler, neurologis ataupun imunologis. Diantara berbagai

penyebab syok tersebut, penurunan hebat volume plasma intravaskuler merupakan faktor

penyebab utama. Terjadinya penurunan hebat volume intravaskuler dapat terjadi akibat

perdarahan intra-abdomen maupun perdarah di tempat lain seperti, rongga toraks, pelvis, dan

ekstremitas. Kejadian ini menyebabkan darah yang balik ke jantung berkurang dan curah

jantungpun menurun. Penurunan hebat curah jantung menyebabkan hantaran oksigen

dan perfusi jaringan tidak optimal dan akhirnya menyebabkan syok. Pada tahap awal

dengan perdarahan kurang dari 10%, gejala klinis dapat belum terlihat karena adanya

mekanisme kompensasi sisitim kardiovaskuler dan saraf otonom. Baru pada kehilangan darah

mulai 15% gejala dan tanda klinis mulai terlihat berupa peningkatan frekuensi nafas,

jantung atau nadi (takikardi), pengisian nadi yang lemah, penurunan tekanan nadi, kulit

pucat dan dingin, pengisian kapiler yang lambat dan produksi urin berkurang. Berdasarkan

perjalanan klinis syok seiring dengan jumlah kehilangan darah terlihat bahwa penurunan

pengisian kapiler, tekanan nadi dan produksi urin lebih dulu terjadi dari pada penurunan

tekanan darah sistolik. Oleh karena itu, pemeriksaan klinis yang seksama sangat penting

dilakukan, jika hanya berdasarkan perubahan tekanan darah sitolik dan frekuensi nadi dapat

meyebabkan kesalahan atau keterlambatan diagnosa dan penatalaksanaan (Schurink G, 1997).

Frekuensi nadi merupakan indikator lain yang digunakan untuk menilai status hemodinamik

pasien trauma. Frekuensi nadi yang tinggi bisa disebabkan karena adanya perdarahan dan

juga karena nyeri atau pasien dalam keadaan cemas. Perubahan nadi pada pasien trauma

merupakan tanda penting dalam menentukan manajemen pasien. Syok merupakan hal utama

yang harus dipikirkan ketika berhadapan dengan pasien trauma dengan frekuensi nadi yang

tinggi. Disamping itu juga harus menilai tanda tanda syok yang lain.
Berdasarkan klasifikasi syok dari American College of Surgeons Committee on Trauma,

tahun 2008, menyatakan bahwa syok kelas I dengan perkiraan perdarahan kurang dari 750 cc,

frekuensi nadi masih berada dibawah 100 kali per menit. Ini diakibatkan karna beberapa

kompensasi dari tubuh. Sedangkan pada perdarahan lebih dari 750 cc, yaitu syok kelas II,

frekuensi nadi akan mulai mengalami peningkatan lebih dari 100 kali per menit (Brasel et al.,

2007).

Kehilangan darah pada pasien trauma sering disebabkan oleh perdarahan organ intraabdomen.

Sehingga penting untuk mengevaluasi secara klinis apakah ada cedera intraabdomen ketika

menemukan pasien trauma dengan penurunana tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi.

Perdarahan juga bisa disebabkan karena cedera di rongga toraks, cedera pelvis, dan cedera

pada ekstremitas. Dari pemeriksaan nadi dan tekanan darah, bisa memprediksi seberapa

banyak kehilangan darah pasien yang mengalami trauma (Sugrue et al., 2007).

Sebuah penelitian di Inggris menyatakan bahwa frekuensi nadi saja tidak cukup untuk

menentukan kebutuhan resusitasi untuk penanganan pasien pendarahan. Meskipun frekuensi

nadi yang cepat pada pasien paska trauma menunjukan suatu tanda syok yang perlu

intervensi, tetapi jika tidak ditemukan adanya nadi yang cepat, tidak menutup kemungkinan

bahwa pasien juga perlu intervensi berdasarkan tanda klinis yang lain (Brasel et al., 2007).

Penelitian di Switzerland mengidentifikasi sebuah cut off untuk definisi hipotensi yaitu

tekanan darah sistolik 100 mmHg. Tingkat kematian dua kali lipat pada tekanan darah sistolik

< 100 mmHg, tiga kali lipat pada tekanan darah sistolik < 90 mmHg dan meningkat 5 sampai

6 kali lipat pada tekanan sistolik < 70 mmHg. Oleh karena itu direkomendasikan pada semua

pasien trauma tumpul dengan tekanan darah sistolik < 100 mmHg harus dirawat di area

resusitasi dalam pusat trauma untuk pemantauan ketat dan manajemen klinis yang optimal

(Hasler et al., 2011).


2.6.2. Jejas di Regio Abdomen

Adanya perlukaan atau jejas pada regio abdomen dapat memprediksi adanya cedera organ

dibawahnya. Pada trauma abdomen biasanya ditemukan kontusio, abrasi, laserasi dan

ekimosis. Ekimosis merupakan indikasi adanya perdarahan di intra-abdomen. Terdapat

Ekimosis pada daerah umbilikal biasa kita sebut Cullen’s Sign sedangkan ekimosis yang

ditemukan pada salah satu panggul disebut sebagai Turner’s Sign. Jejas atau perlukaan yang

ditemukan pada pasien trauma tumpul abdomen merupakan faktor prediktor yang penting

dalam menilai apakah perlukaan tersebut juga menimbulakan cedera organ dibawahnya.

Pasien dengan trauma tumpul abdomen sering kali kita melihat adanya jejas pada regio

abdomen tersebut, tetapi ada juga yang tanpa adanya jejas. Adanya jejas membuat kita lebih

berfikir untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk membuktikan apakah ada cedera

organ di dalamnya atau tidak. Sedangkan jika tidak ada jejas, tetap juga diperhatikan apakah

pasien mengalami cedera intra-abdomen atau tidak dengan menilai gejala klinis yang lain.

Sebab mekanisme cedera intra-abdomen bisa juga karena proses deselerasi, tidak hanya

karena trauma secara langsung. Penilaian jejas dapat memprediksi organ apa yang terkena

dibawahnya sesuai dengan lokasi anatomi abdomen, dan disesuaikan dengan gejala klinis

yang lain (Neeki et al., 2017).

Salah satu tipe jejas yang sering ditemukan adalah jejas yang menyerupai sabuk pengaman

(Seat Belt Sign). Sebuah penelitian di Amerika menyebutkan bahwa pasien dengan Seat Belt

Sign setelah kecelakaan lalu lintas cenderung terjadi cedera intra-abdomen daripada pasien

tanpa Seat Belt Sign. Pasien dengan SBS tapi tanpa disertai nyeri perut memiliki risiko lebih

rendah untuk terjadinya cedera organ intra-abdomen (Sokolove, 2000). Penelitian lainya juga

mendukung bahwa pasien dengan tanda sabuk pengaman (Seat beat sign) setelah kecelakaan

kendaraan bermotor memiliki risiko cedera intra-abdomen yang lebih besar daripada mereka

yang tidak memiliki tanda Seat Belt Sign. Meskipun demikian, pada beberapa kasus cedera
intra-abdomen sering tidak disertai jejas dan tidak ada keluhan awal nyeri perut pada

pemeriksaan. Risiko cedera intra-abdomen selalu ada sebelum terbukti tidak terjadi, terutama

yang disebabkan oleh proses deselerasi. Evaluasi dengan observasi, pemeriksaan

laboratorium, dan computed tomography umumnya diperlukan (José Gustavo Parreira and

Juliano Mangini Dias Malpaga, 2015).

2.6.3. Nyeri Abdomen

Nyeri abdomen merupakan tanda klinis yang dievaluasi saat palpasi. Nyeri juga dapat bersifat

spontan tanpa dilakukan palpasi. Lokasi nyeri sangat penting untuk mengetahui kemungkinan

organ yang terkena. Nyeri abdomen secara menyeluruh merupakan tanda yang penting

kemungkinan peritonitis akbat iritasi peritoneum, baik oleh darah maupun isi usus.

Kecenderungan untuk menggerakan dinding abdomen (voluntary guarding) dapat

menyulitkan pemeriksaan abdomen. Sebaliknya defans muscular (involuntary guarding)

adalah tanda yang penting dari iritasi peritoneum. Palpasi menentukan adanya nyeri tekan

superfisial, nyeri tekan dalam, atau nyeri lepas. Nyeri lepas terjadi ketika tangan yang

menyentuh perut dilepaskan tiba - tiba, dan biasanya menandakan peritonitis yang timbul

akibat adanya darah atau isi usus yang mengiritasi peritonium (Rostas et al., 2015). Adanya

darah atau cairan usus dalam rongga peritoneum akan memberikan tanda-tanda rangsangan

peritoneum berupa nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding

abdomen. Kekakuan dinding abdomen dapat pula diakibatkan oleh hematomaa pada dinding

abdomen. Adanya darah dalam rongga abdomen dapat ditentukan dengan shifting dullness,

sedangkan udara bebas ditentukan dengan pekak hati yang beranjak atau menghilang. Trauma

abdomen disertai ranggsangan peritoneum dapat memberikan gejala berupa nyeri pada daerah
bahu terutama yang sebelah kiri. Gejala ini dikenal sebagai referred pain yang dapat

membantu menegakkan diagnosis (Gallagher et al., 2004)

Terdapat 4 alat Unidimentional Pain Rating Scale (UPRS) utama yang digunakan dalam

praktek klinis untuk menilai nyeri. Terdiri dari Numeric Rating Scale (NRS), Verbal Rating

Scale (VRS), Faces Pain Scale (FPS) dan Visual Analogue Scale (VAS). Visual Analogue

Scale (VAS) merupakan salah satu cara cepat yang digunakan di unit gawat darurat untuk

menilai derajat nyeri pasien trauma. Syarat utama dari pemeriksaan ini adalah pasien harus

sadar baik. Pemeriksaan bisa langsung dilakukan tanpa melakukan intervensi atau dengan

melakukan palpasi pada abdomen. VAS merupakan teknik sederhana untuk mengukur

pengalaman subjektif pasien terhadap rasa nyeri. VAS telah ditetapkan secara valid dan dapat

diandalkan berbagai aplikasi klinis dan penelitian, walaupun ada juga bukti adanya

peningkatan kesalahan dan penurunan sensitivitas saat digunakan pada beberapa kelompok

subjek. VAS telah digunakan sangat luas dalam beberapa dasawarsa belakangan ini dalam

penelitian terkait dengan nyeri dengan hasil yang handal, valid dan konsisten.VAS adalah

suatu instrumen yang digunakan untuk menilai intensitas nyeri dengan menggunakan sebuah

tabel garis 10 cm dengan interpretasi sebagai berikut : 0 (tidak nyeri), 1-2 (nyeri ringan), 3-6

(nyeri sedang), 7-8 (nyeri berat), 9-10 (nyeri sangat berat). Cara penilaiannya adalah

penderita menandai sendiri dengan pensil pada nilai skala yang sesuai dengan intensitas

nyeri yang dirasakannya setelah diberi penjelasan dari pemeriksa tentang makna dari

setiap skala tersebut. Penentuan skor VAS dilakukan dengan mengukur jarak antara ujung

garis yang menunjukkan tidak nyeri hingga ke titik yang ditunjukkan pasien (Laeseke

and Gayer, 2012).

Nyeri abdomen merupakan tanda yang spesifik untuk menilai adanya cedera intraabdomen

pada pasien trauma, mulai dari nyeri sedang, dengan VAS 3 sampai dengan nyeri yang sangat

berat Sehingga pemeriksaan ini sangat penting dilakukan untuk manajemen pasien lebih
lanjut. Dalam penelitianya Neeki, dkk menyebutkan bahwa nyeri perut yang ringan pada

trauma tumpul abdomen dikaitkan dengan rendahnya angka splenektomi. Pasien trauma

tumpul abdomen dengan nyeri perut yang ringan memerlukan jangka waktu yang lebih

panjang untuk melakukan tindakan diagnosis seperti pemeriksaan ultrasonografi dan CT scan

abdomen untuk menyingkirkan adanya cedera intraabdoemen (Neeki et al., 2017). Penelitian

lainya mengungkapkan bahwa nyeri perut pada trauma tumpul abdomen berhubungan dengan

tindakan laparotomi, dimana tidak adanya nyeri perut pada trauma abdomen mengurangi

angka intervensi bedah yang dilakukan untuk penyelamatan pasien (Zago et al., 2012).

Keterlambatan dalam mengenali tanda adanya cedera intra-abdomen termasuk nyeri abdomen

sangat membahayakan keselamatan pasien dan meningkatkan angka morbiditas dan

mortalitas pasien trauma tumpul abdomen. Secara keseluruhan pasien dengan trauma tumpul

abdomen menunjukan banyak gejala klinis yang sulit untuk mengidentifikasi. Sehingga

diperlukan kecermatan para dokter di unit gawat darurat untuk menilainya. Disamping nyeri

abdomen perlu juga dilihat tanda tanda lain yang berhubungan dengan adanya cedera

intraabdomen sehingga diagnosis dan manajemen pasienya lebih baik (Farrath et al., 2012).

2.6.4. Gross Hematuria

Hematuria didefinisikan sebagai adanya sel darah merah dalam urin. Disebut hematuria

makroskopis (Gross Hematuria) jika dapat terlihat secara kasat mata, sedangkan hematuria

mikroskopik dapat dideteksi menggunakan uji dipstick atau pemeriksaan sedimen urin.

Meskipun masih terdapat kontroversi, American Urological Association (AUA)

mendefinisikan hematuria sebagai ditemukannya sel darah merah = 3/LPB pada spesimen

sedimen urin yang diambil dari dua sampel urin tengah (midstream) (Dalton, Dehmer and

Shah, 2015).
Hematuria memainkan peran penting dalam mengambil keputusan apakah pasien dengan

trauma abdomen tumpul perlu tindakan diagnostik lain seperti CT scan abdomen atau tidak.

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa tidak adanya hematuria, hemodinamik yang stabil,

dan kecurigaan rendah adanya cedera intra-abdomen mayor, pemeriksaan radiologi seperti

CT scan mungkin tidak perlu. Sebaliknya, disarankan agar pemeriksaan radiologi seperti CT

scan pada pasien diperlukan jika ditemukan adanya hematuria makroskopis dengan

ketidakstabilan hemodinamik, indeks kecurigaan yang tinggi untuk cedera perut, atau adanya

cedera deselerasi yang signifikan (Dalton, Dehmer and Shah, 2015).

Gross hematuria pada trauma berhubungan dengan cedera organ urogenital, termasuk ginjal,

ureter, kandung kemih, dan uretra. Biasanya sering disertai dengan fraktur pelvis. Tanda

kardinal dari trauma ginjal adalah hematuria, yang dapat bersifat massif atau sedikit, tetapi

besarnya trauma tidak dapat diukur dengan volume hematuria. Sebagian besar trauma (ruptur)

ginjal muncul dengan gejala hematuria (95%), yang dapat menjadi besar pada beberapa

trauma ginjal yang berat. Akan tetapi, trauma vaskuler ureteropelvic (UPJ), hematuria

kemungkinan tidak tampak (Lynch, Martı and Tu, 2005).

Hematuria baik mikroskopik maupun gross/makroskopik sering ditemukan pada kondisi

trauma ginjal, namun tidak sensitif ataupun spesifik untuk membedakan trauma minor atau

mayor. Trauma renal mayor seperti trauma pedikel ginjal, trombosis arteri segmental dapat

muncul tanpa hematuria. Derajat hematuria tidak berbanding dengan tingkat kerusakan ginjal.

Perlu diperhatikan bila tidak ada hematutia, kemungkinan cedera berat seperti putusnya

pedikel dari ginjal atau ureter dari pelvis ginjal (Brewer et al., 2007).

Hematuria bisa mengindikasikan adanya cedera uretra tetapi tidak spesifik. Jumlah

perdarahan dari uretra tidak berhubungan dengan tingkat keparahan cedera, dan total

transeksi uretra dapat menyebabkan sedikit perdarahan atau tidak ada hematuria sama sekali..

Selain itu, rasa sakit saat buang air kecil atau ketidakmampuan untuk berkemih menunjukkan
gangguan pada uretra. Prostat letak tinggi merupakan temuan yang relatif tidak dapat

diandalkan pada fase akut, karena hematomaa pelvis yang terkait dengan fraktur panggul

sering menghalangi palpasi prostat yang kecil, terutama pada pria yang lebih muda. Pada

wanita, didapatkan lebih dari 80% pasien dengan fraktur pelvis disertai cedera uretra, dengan

gejala klinis gross hematuria (Lynch, Martı and Tu, 2005).

Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa pasien trauma tumpul abdomen dengan gross

hematuria tanpa disertai dengan syok hipovolemik, setelah dilihat dengan pemeriksaaan

radiografi sebagian besar ditemukan adanya kontusio pada ginjal, dan sebagian kecil

ditemukan cedera ginjal yang lebih berat. Keadaan ini akan tidak terdeteksi jika pasien

trauma tumpul abdomen dengan gross hematuria tidak dilakukan pemeriksaan radiografi

seperti CT scan (Smith, 1986).

2.6.5. Fraktur Pelvis

Fraktur pelvis merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan cedera intraabdomen.

Tile mengklasifikasikan fraktur pelvis berdasarkan stabil dan tidaknya cincin pelvis.

Fraktur pelvis yang tidak stabil biasanya terjadi akibat cedera dengan energi yang tinggi.

Biasanya disertai dengan cedera organ lainya, seperti : cedera kepala, toraks, dan abdomen.

6080% pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan tinggi memiliki hubungan lain dengan

cedera abdomen dan muskuloskeletal, 12% berhubungan dengan cedera urogenital dan 8%

berhubungan dengan cedera pleksus lumbosacralis. Kejadian keseluruhan cedera

genitourinaria yang berhubungan dengan patah tulang pelvis adalah sebesar 12%, yang paling

sering adalah cedera kandung kemih (Demetriades et al., 2002).

Fraktur pelvis dapat menimbulkan cedera yang berat dan sering terjadi terkait dengan cedera

intraabdominal mayor dan pendarahan dari lokasi fraktur. Pasien dengan fraktur pelvis

memiliki insidensi yang tinggi terjadinya cedera abdomen. Cedera organ intra-abdomen
berbanding lurus dengan tingkat keparahan fraktur pelvis. Cedera kandung kemih dan uretra

sering terjadi sesuai tingkat keparahan fraktur pelvis (Demetriades et al., 2002).

Pria dan wanita sama-sama cenderung mengalami cedera pada kandung kemih tapi kerusakan

pada uretra pria lebih sering terjadi dibandingkan wanita. Patah tulang ekstremitas dan tulang

belakang juga bisa terjadi pada pasien dengan fraktur pelvis. Perdarahan dapat menyertai

fraktur pelvis terutama akibat patah tulang terbuka, cedera pada jaringan lunak, dan

perdarahan vena lokal. Gangguan cincin pelvis yang tidak stabil akibat translasi dan rotasi

menyebabkan deformitas, nyeri, dan kecacatan yang signifikan. Perdarahan merupakan

penyebab utama kematian pada pasien dengan fraktur pelvis, dengan keseluruhan angka

kematian antara 6-35% pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi. Evaluasi pasien secara

lengkap sangat penting pada pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan tinggi karena sering

berhubungan dengan cedera yang lain (Corwin et al., 2014).

Fraktur pelvis yang disertai dengan gross hematuria pada pasien trauma merupakan indikasi

untuk dilakukan sistografi, untuk menilai adanya cedera kandung kemih atau uretra. Adanya

fraktur pelvis dan tanda klinis yang lain seperti jejas suprapubis, nyeri, dan gross hematuria,

merupakan faktor risiko yang sangat tinggi terjadinya cedera kandung kemih. Sedangkan

fraktur pelvis yang stabil dan tidak adanya gross hematuria berhubungan dengan rendahnya

angka cedera saluran kemih. Penelitian lainya menyebutkan bahwa pasien dengan fraktur

pelvis meningkatkan risiko terjadinya cedera organ urogenital. Cedera urogenital tersendiri

bukan merupakan prediktor utama terjadinya mortalitas pasien, tetapi fraktur pelvis dengan

cedera urogenital sering disertai dengan cedera multipel lainya, sehingga terjadi peningkatan

angka kematian secara menyeluruh akibat multitrauma yang dialami pasien (White, Hsu and

Holcomb, 2009).

2.7. CT scan Abdomen Pada Trauma Tumpul Abdomen.


CT scan merupakan prosudur diagnostik pasien trauma tumpul abdomen dengan

hemodinamik stabil. Untuk melakukanya perlu memindahkan pasien ke tempat scanner,

pemberian kotras intravena, dan pemeriksaan CT harus mengenai regio abdomen secara

keseluruhan termasuk daerah pelvis. Diperlukan banyak waktu, sehingga dilakukan pada

pasien trauma abdomen dengan hemodinamik stabil dan tanpa tanda peritonitis. Dengan CT

scan, dapat memperoleh keterangan mengenai organ yang mengalami kerusakan serta tingkat

dari kerusakan organ tersebut. CT juga dapat mendiagnosis kerusakan organ retroperitoneal

maupun daerah pelvis yang kadang kadang sulit diperiksa secara fisik, pemeriksaan FAST

maupun DPL. Pemeriksaan fisik yang akurat dan laboratorium sederhana bisa memprediksi

adanya cedera intra-abdomen tanpa segera melakukan tindakan CT scan, sehingga

penggunaanya bisa lebih minimal dan mengurangi biaya dan paparan radiasi (Mohamed El

Wakeel, 2015).

CT scan abdomen memiliki akurasi yang tinggi, sensitivitasnya antara 92% sampai 97,6%

dan spesifisitas setinggi 98,7%, dan memiliki negative predictive value yang sangat tinggi

yaitu hampir 97%. Beberapa penelitian mengatakan bahwa pasien dengan kecurigaan trauma

tumpul abdomen harus dirawat di rumah sakit selama paling sedikit 24 jam untuk observasi

meskipun hasil CT abdomen negatif. Walaupun ada penelitian yang menjelaskan bahwa CT

scan negatif dapat menjadi patokan untuk memulangkan pasien dan selanjutnya rawat jalan

(Garber et al., 2000).

Pemeriksaan CT abdomen juga memiliki keterbatasan lainya yaitu diperlukan petugas yang

ahli untuk melakukannya, dan diperlukan dokter spesialis radiologi untuk membaca

interpretasi hasil. Pemeriksaan CT abdomen walaupun sangat sensitif terhadap organ padat,

tetapi tidak menunjukkan adanya robekan pada mesenterium, cedera pada usus terutama

robekan yang kecil, cedera diafragma bila rekonstruksi sagital dan coronal tidak dilakukan,

dan cedera pankreas bila dilakukan segera setelah trauma. Adanya cairan bebas
intraperitoneal pada keadaan tidak adanya cedera pada organ padat dapat menyebabkan

keraguan dimana terdapat 25% lesi pada usus tidak terdeteksi. Sehingga disarankan untuk

dilakukan pemeriksaan Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) bila disepakati untuk tatalaksana

konservatif. Kerugian CT abdomen lainya yaitu perlunya mentransfer pasien ke unit CT scan,

bahaya radiasi yang didaptkan, pasien dapat tidak koperatif atau mengambil posisi yang baik

bila kesakitan atau dengan penurunan kesadaran (Vadodariya, Hathila and Doshi, 2014).

Meski keunggulan CT dibandingkan dengan radiologi konvensional telah terbukti untuk

diagnosis cedera intra-abdomen, namun penggunaan CT scan masih kontroversi. Banyak

penelitian menganalisa apakah CT scan dilakukan secara rutin pada setiap trauma tumpul atau

selektif digunakan sesuai temuan klinis yang signifikan. CT scan menjadi modalitas utama

pemeriksaan penunjang untuk diagnosis cedera intra-abdomen pada pasien dengan

hemodinamik yang stabil. Tetapi karena mahalnya biaya yang diperlukan dan banyaknya

hasil CT scan yang negatif serta paparan radiasi menyebabkan strategi lain dalam diagnostik

mulai dikembangkan (Brenner and Hall, 2007).

Salah satu masalah yang paling menarik tentang evaluasi obyektif trauma tumpul abdomen

dengan CT scan adalah ketika ditemukan adanya cairan bebas tanpa tanda-tanda cedera organ

padat atau cedera mesenterika. Observasi secara ketat dan pengulangan pemeriksaan CT scan

sering dilakukan pada beberpa senter trauma, untuk menilai adanya cedera. Sensitivitas yang

relatif kurang untuk mendiagnosa cedera viskus berongga, sering menimbulkan kesalahan

diagnostik (Salimi et al., 2009).

Indikasi CT scan abdomen adalah : gejala cedera intra-abdomen muncul lebih dari 24 jam

setelah trauma, hasil DPL yang meragukan, adanya kontraindikasi relative untuk DPL,

kecurigaan trauma retroperitoneal seperti adanya hematuria. Sedangkan kontraindikasi mutlak

dari CT scan adalah : adanya indikasi untuk laparotomi, kehamilan. Sedangkan kontraindikasi

relative penggunaan CT scan antara lain : pasien yang tidak kooperatif dan alergi terhadap
bahan kontras. Gagal ginjal atau riwayat syok anafilaktik sebelumnya dapat menghalangi

penggunaan CT abdomen. Pemeriksaan tanpa menggunakan kontras dapat menurunkan

sensitifitas CT abdomen dalam mendiagnosis cedera organ padat (Vadodariya, Hathila and

Doshi, 2014).

Anda mungkin juga menyukai