Anda di halaman 1dari 22

Lesi Nervus medianus

ANGGOTA KELOMPOK :
I Kadek Dirga Yusa putra_20121001003
Tri Nanda Silviani_20121001020
Ida Bagus Acarya Putra_20121001019
Dek Ayu Sukma Ardani_20121001017
Eunike Yolanda Sulo_20121001006
Anatomi Nervus Medianus
Nervus medianus adalah salah satu saraf lengan bawah yang
merupakan saraf utama kompartemen anterior.Nervus ini berasal
dari dua radiks yaitu 11 radiks lateralis dan radiks medialis.Radiks
lateralis adalah lanjutan dari fusciculus lateralis yang menerima
serabut dari C6 dan C7 sedangkan radiks medialis adalah lanjutan
dari fasciculus medialis yang menerima serabut dari C8 dan T1.
Radiks lateralis dan radiks medialis bergabung membentuk nervus
medianus di sebelah lateral arteri axillaris (Salter, 2009).
Nervus medianus mempersarafi otot-otot fleksor di lengan bawah,
kecuali M. Flexor Carpi Ulnaris, bagian ulnar M. Flexor
Digitorum dan lima otot tangan. Nervus medianus memasuki fossa
cubitalis medial dari arteri brachialis, melintas antara caput M.
Pronator Tere, turun antara M. Flexor Digitorum Superficialis dan
M. Flexor Digitorum Profundus dan terletak di dekat retinaculum
flexorum sewaktu melalui canalis carpi untuk sampai di tangan
(Salter, 2009).
Definisi
Carpal Tunnel Syndrome(CTS) merupakan neuropati
tekanan atau cerutan terhadap nervus medianus di dalam
terowongan karpal pada pergelangan tangan, tepatnya di bawah
fleksor retinakulum (Mumenthaler, 2006). Dahulu, sindroma
ini juga disebut dengan namaacroparesthesia, median thenar
neuritis atau partial thenar atrophy. Carpal Tunnel Syndrome
pertama kali dikenali sebagai suatu sindroma klinik oleh Sir
James Paget pada kasus stadium lanjut fraktur radius bagian
distal. Carpal Tunnel Syndrome spontan pertama kali
dilaporkan oleh Pierre Marie dan C. Foix pada tahun 1913
(Rosenbaum, 1997).
Istilah CTS diperkenalkan oleh Moersch pada tahun
1938.Terowongan karpal terdapat di bagian sentral dari
pergelangan tangan dimana tulang dan ligamentum
membentuk suatu terowongan sempit yang dilalui oleh
beberapa tendon dan nervus medianus.Tulang-tulang carpal
membentuk dasar dan sisi-sisi terowongan yang keras dan
kaku sedangkan atapnya dibentuk oleh fleksor retinakulum
(ligamentum carpal transversum dan ligamentum calpar
palmar) yang kuat dan melengkung di atas tulang-tulang
karpalia tersebut. Setiap perubahan yang mempersempit
terowongan ini akan menyebabkan tekanan pada struktur
yang paling rentan di dalamnya yaitu nervus medianus
(Rosenbaum, 1997).
Etiologi dan Predisposisi
Etiologi
Terowongan karpal yang sempit selain dilalui oleh nervus
medianus juga dilalui oleh beberapa tendon fleksor.Setiap
kondisi yang mengakibatkan semakin padatnya terowongan ini
dapat menyebabkan terjadinya penekanan pada nervus
medianus sehingga timbullah CTS. Pada sebagian kasus
etiologinya tidak diketahui, terutama pada penderita lanjut
usia.
Beberapa penulis menghubungkan gerakan yang berulang-
ulang pada pergelangan tangan dengan bertambahnya
resiko menderita gangguan pada pergelangan tangan
termasuk CTS (Rosenbaum, 1997). Pada kasus yang lain
etiologinya adalah (Rosenbaum, 1997):
a. Herediter: neuropati herediter yang cenderung menjadi
pressure palsy, misalnya Hereditary Motor and Sensory
Neuropathies (HMSN) tipe III.
b. Trauma: dislokasi, fraktur atau hematom pada lengan bawah,
pergelangan tangan dan tangan. Sprain pergelangan tangan.
Trauma langsung terhadap pergelangan tangan.
c. Pekerjaan: gerakan mengetuk atau fleksi dan ekstensi
pergelangan tangan yang berulang-ulang.
d. Infeksi: tenosinovitis, tuberkulosis, sarkoidosis.
e. Metabolik: amiloidosis, gout.
f. Endokrin: akromegali, terapi estrogen atau androgen,
diabetes melitus, hipotiroidi, kehamilan.
g. Neoplasma: kista ganglion, lipoma, infiltrasi metastase,
mieloma.
h. Penyakit kolagen vaskular: artritis reumatoid,
polimialgia reumatika, skleroderma, lupus eritematosus
sistemik.
i. Degeneratif: osteoartritis.
j. Iatrogenik: punksi arteri radialis, pemasangan shunt
vaskular untuk dialisis, hematoma, komplikasi dari
terapi anti koagulan.
Predisposisi
Di Indonesia, urutan prevalensi CTS dalam masalah kerja belum diketahui,
karena sampai tahun 2001 masih sangat sedikit diagnosis penyakit akibat kerja
yang dilaporkan karena berbagai hal, antara lain sulitnya diagnosis. Penelitian
pada pekerjaan dengan risiko tinggi pada pergelangan tangan dan tangan
melaporkan prevalensi CTS antara 5,6% sampai dengan 15%. Penelitian
Harsono pada pekerja suatu perusahaan ban di Indonesia melaporkan
prevalensi CTS pada pekerja sebesar 12,7%. Silverstein dan peneliti lain
melaporkan adanya hubungan positif antara keluhan dan gejala CTS dengan
faktor kecepatan menggunakan alat dan faktor kekuatan melakukan gerakan
pada tangan (Rosenbaum, 1997). Carpal Tunnel Syndrome lebih sering
mengenai wanita daripada pria dengan usia berkisar 25 - 64 tahun, prevalensi
tertinggi pada wanita usia > 55 tahun, biasanya antara 40 - 60 tahun. Prevalensi
CTS dalam populasi umum telah diperkirakan 5% untuk wanita dan 0,6%
untuk laki-laki. Carpal Tunnel Syndrome adalah jenis neuropati kompresi yang
paling sering ditemui.Sindroma tersebut unilateral pada 42% kasus ( 29%
kanan,13% kiri ) dan 58% bilateral (Gorsche, 2003).
 Diabetes Melitus sebagai salah satu faktor resiko terjadinya CTS
tercatat memiliki prevalensi antara 4,5% sampai dengan 12% pada
tahun 2000 (Hudaya, 2002). Hubungan CTS dengan DM diperkirakan
dikarenakan oleh penekanan nervus medianus yang disebabkan oleh
perubahan jaringan ikat karena DM. Perubahan-perubahan tersebut
termasuk edema tenosinovial dan akselerasi glikosilasi dengan aktivitas
lisil oksidase yang berujung pada pembentukan kolagen sehingga
terbentuk fibrosis dan pengurangan keregangan jaringan ikat.Hal ini
berlanjut pada kompresi dengan pengurangan volume carpal tunnel
(Thomsen, 2009).
Patofisiologi
Patogenesis CTS masih belum jelas.Beberapa teori telah
diajukan untuk menjelaskan gejala dan gangguan studi
konduksi saraf.Yang paling populer adalah kompresi
mekanik, insufisiensi mikrovaskular, dan teori
getaran.Menurut teori kompresi mekanik, gejala CTS
adalah karena kompresi nervus medianus di terowongan
karpal.Kelemahan utama dari teori ini adalah bahwa
teori ini menjelaskan konsekuensi dari kompresi saraf
tetapi tidak menjelaskan etiologi yang mendasari
kompresi mekanik.Kompresi diyakini dimediasi oleh
beberapa faktor seperti ketegangan, tenaga berlebihan,
hiperfungsi, ekstensi pergelangan tangan
berkepanjangan atau berulang (Bahrudin, 2011).
Teori insufisiensi mikrovaskular mennyatakan bahwa kurangnya pasokan
darah menyebabkan penipisan nutrisi dan oksigen ke saraf yang
menyebabkan saraf secara perlahan kehilangan kemampuan untuk
mengirimkan impuls saraf.Scar atau luka parut dan jaringan fibrotik
akhirnya berkembang dalam saraf. Tergantung pada keparahan cedera,
perubahan saraf dan otot mungkin permanen.Karakteristik gejala CTS
terutama kesemutan, mati rasa, dan nyeri akut, bersama dengan kehilangan
konduksi saraf akut dan reversibel dianggap gejala untuk iskemia.Sebuah
studi oleh Seiler (dengan Doppler laser flow metry) menunjukkan bahwa
normalnya aliran darah berdenyut di dalam saraf median dipulihkan dalam
1 menit dari saat ligamentum karpal transversal dilepaskan.Sejumlah
penelitian eksperimental mendukung teori iskemia akibat kompresi
diterapkan secara eksternal dan karena peningkatan tekanan di carpal
tunnel. Gejala akanbervariasi sesuai dengan integritas suplai darah dari
saraf dan tekanan darah sistolik.Hasil studi Kiernan menemukan bahwa
konduksi melambat pada median saraf dapat dijelaskan oleh kompresi
iskemik saja dan mungkin tidak selalu disebabkan myelinisasi yang
terganggu (Bahrudin, 2011).
Penegakkan Diagnosa
1. Anamnesis
Pada tahap awal gejala umumnya berupa gangguan sensorik
saja.Gangguan motorik hanya terjadi pada keadaan yang
berat. Gejala awal biasanya berupa parestesia, kurang merasa
(numbness) atau rasa seperti terkena aliran listrik (tingling)
pada jari 1-3 dan setengah sisi radial jari 4 sesuai dengan
distribusi sensorik nervus medianus walaupun kadang-
kadang dirasakan mengenai seluruh jari-jari (Salter, 2009).
2. Pemeriksaan Fisik
Ada beberapa pemeriksaan fisik yang perlu di lakukan ,yaitu :
1. Tes Phalen
2. Tes Torniquet
3. Tinel's Sign
4. Flick's Sign
5. Thenar Wasting
6. Menilai Kekuatan dan Ketrampilan Otot
7. Wrist Extension Test
8. Tes Tekanan
9. Luthy's Sign (Bottle's sign)
10. Pemeriksaan Sensibilitas
11. Pemeriksaan Fungsi Otonom
Pemeriksaan Penunjang
Terdapat 3 pemeriksaan penunjang yang harus
dilakukan ,yaitu :
1. Pemeriksaan Neurofisiologi (Elektrodiagnostik)
2. Pemeriksaan Radiologi
3. Pemeriksaan Laboratorium
Penata Laksana
 Penatalaksanaan CTS tergantung pada etiologi, durasi gejala,
dan intensitas kompresisaraf. Jika sindrom adalah suatu
penyakit sekunder untuk penyakit endokrin,hematologi,atau
penyakitsistemiklain, penyakit primer harus diobati (Bahrudin,
2011).
1. Medikamentosa
Terdapat beberapa terapi terhadap CTS yang masih
dipergunakan hingga saat ini, antara lain (George, 2009):
a. Injeksi Kortikosteroid Lokal
b. Vitamin B6 (Piridoksin)
c. Obat Antiinflamasi Non-Steroid (NSAID)
2. Non-medikamentosa
Kasus ringan selain bisa diobati dengan obat anti
inflamasinon-steroid(OAINS) juga bisa menggunakan
penjepit pergelangan tangan yang mempertahankan
tangan dalam posisi netral selama minimal 2 bulan,
terutama pada malam hari atau selama ada gerak
berulang. Jika tidak efektif,dan gejala yang cukup
mengganggu,operasi sering dianjurkan untuk
meringankan kompresi. Oleh karena itu sebaiknya terapi
CTS dibagi atas2 kelompok,yaitu (Bahrudin, 2011):
1) Terapi langsung terhadap CTS
a. Terapi konservatif
b. Terapi operatif
2) Terapi Terhadap Keadaan atau Penyakit yang Mendasari
CTS Keadaan atau penyakit yang mendasari terjadinya
CTS harus ditanggulangi,sebab bila tidak dapat
menimbulkan ke kambuhan CTS kembali. Pada keadaan
dimana CTS terjadi akibat gerakan tangan yang repetitive
harus dilakukan penyesuaian ataupun pencegahan.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya CTS atau mencegah ke kambuhannya antara
lain (Bahrudin, 2011):
a. Mengurangi posisi kaku padapergelangantangan,
gerakan repetitif, getaran peralatan tanganpadasaat
bekerja.
b. Desain peralatan kerja supaya tangan dalam
posisinormalsaat kerja.
c. Modifikasi tata ruangkerja untuk memudahkan variasi
gerakan.
d. Mengubah metode kerja untuk sesekaliistirahatpendek
serta mengupayakanrotasi kerja.
e. Meningkatkan pengetahuan pekerja tentang gejala-
gejala dini CTS sehingga pekerja dapat mengenali
gejala-gejala CTS lebih dini.
Prognosis
Pada kasus CTS ringan,dengan terapi konservatif
umumnya prognosa baik. Bila keadaan tidak membaik engan
terapi konservatif maka tindakan operasi harus dilakukan .
Secara umum prognosa operasi juga baik, tetapi karena
operasi hanya dilakukan pada penderita yang sudah lama
menderita CTS penyembuhan post operatifnya bertahap
(Bahrudin, 2011).
Bila setelah dilakukan tindakan operasi,tidak juga
diperoleh perbaikan maka di pertimbangkan kembali
kemungkinan berikut ini(Bahrudin, 2011):
1. Kesalahan menegakkan diagnosa ,mungkin tekanan
terhadap nervus medianus terletak di tempat yang lebih
proksimal.
2. Telah terjadi kerusakan total pada nervus medianus.
3. Terjadi CTS yang baru sebagai akibat komplikasi operasi
seperti akibat edema,perlengketan,infeksi,hematoma atau
jaringan parut hipertrofik. Sekalipun prognosa CTS
dengan terapi konservatif maupun operatif cukup
baik,tetapi resiko untuk kambuh kembali masih teta
pada.Bila terjadi kekambuhan,prosedur terapi baik
konservatif atau operatif dapat diulangi kembali.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat dijumpai adalahkelemahandan
hilangnya sensibilitas yang persisten di daerahdistribusi
nervus medianus. Komplikasi yang paling berat adalah
reflek sympathetic dystrophy yang ditandai dengan nyeri
hebat, hiperalgesia, disestesia, dan gangguan
trofik.Sekalipun prognosa CTS dengan terapi konservatif
maupun operatif cukup baik, tetapi resiko untuk kambuh
kembali masih tetap ada.Bila terjadi kekambuhan, prosedur
terapi baik konservatif atau operatif dapat diulangi kembali
(Salter, 2009).

Anda mungkin juga menyukai