Anda di halaman 1dari 22

PENGAYAAN

CARPAL TUNNEL SYNDROME

Oleh:
Mardhiyah Fitri
170070201011071

Pembimbing:
Dr. Widodo Mardi S, Sp.S

LABORATORIUM/SMF NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM Dr. SAIFUL ANWAR
MALANG
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Carpal Tunnel Syndrome (CTS) merupakan salah satu gangguan


ekstremitas atas disebabkan oleh penyempitan pada terowongan karpal
sehingga terjadi penekanan terhadap nervus medianus yang terletak pada
pergelangan tangan. Setiap kondisi yang mengakibatkan penyempitan
terowongan karpal, salah satunya adalah pekerjaan dengan gerakan
mengetuk atau fleksi dan ekstensi pergelangan tangan secara berulang-ulang
sehingga dapat menekan nervus medianus. Terdapat banyak faktor fisik lain
pada tangan yang dapat berpengaruh terhadap kondisi tersebut beberapa
diantaranya seperti, gerakan berulang, kekuatan, postur, getaran, lingkungan,
dan tekanan. Peningkatan faktor risiko untuk terjadinya CTS dapat pula
berhubungan dengan jenis kelamin terutama perempuan, obesitas, dan
jumlah komorbiditas yang terkait (Basuki dkk, 2015).

CTS termasuk dalam sindrom neuropati jebakan atau neuropati


kompresi (entrapment neuropathy) yang paling umum ditemukan dan
termasuk pula dalam Cummulative Trauma Disorders (CTDs). Banyak
penelitian yang melaporkan bahwa CTS termasuk pada CTDs, yaitu suatu
kelainan berkaitan dengan pekerjaan yang paling cepat menimbulkan
gangguan berhubungan dengan tangan seperti menjahit, menusuk, memasak,
kesenian, dan berolahraga (Sardana dan Ojha, 2016).

Gejala awal yang sering didapatkan dari CTS adalah rasa nyeri, rasa
parestesia atau tebal (numbness) dan rasa seperti terkena aliran listrik
(tingling) pada daerah yang dipersarafi oleh nervus medianus. Nyeri yang
terasa dibagian tangan dirasakan lebih berat pada malam hari sehingga dapat

2
membuat penderita terbangun dari tidurnya. Rasa nyeri yang dirasakan
umumnya sedikit berkurang bila penderita memijat atau menggerak-gerakkan
tangannya atau dengan memposisikan tangan ditempat yang lebih tinggi.
Rasa nyeri ini dapat bertambah berat dengan frekuensi serangan yang
semakin sering bahkan menetap. Terkadang rasa nyeri ini dapat menjalar
hingga ke lengan atas maupun leher, sedangkan parestesia umumnya hanya
terdapat di daerah distal pergelangan tangan. (Sardana dan Ojha, 2016).

CTS juga menjadi pusat perhatian dikarenakan termasuk dalam salah


satu jenis CTDs yang paling cepat menimbulkan kelainan pada pekerja, yang
mana selain timbul rasa nyeri, dapat juga membuat fungsi-fungsi pergelangan
tangan dan tangan terbatas sehingga berpengaruh terhadap pekerjaan sehari-
hari. Dengan melihat kegiatan industri yang ada di Indonesia, perkiraan
kemungkinan jumlah angka kejadian CTS di kalangan pekerja lebih besar, dan
banyak data-data yang belum dilaporkan, sehingga tindakan pencegahan
belum mendapat prioritas, sedangkan prognosis CTS lebih baik bila
didiagnosis sedini mungkin (Basuki dkk, 2015).

1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan tugas pengayaan ini adalah untuk mengetahui
dan memahami tentang Carpal Tunnel Syndrome yang meliputi definisi,
penyebab, faktor resiko, diagnosis dan tatalaksana dari Carpal Tunnel
Syndrome.

1.3 Manfaat
Manfaat dari penulisan tugas pengayaan ini adalah sebagai proses

belajar bagi penulis dan memberikan banyak informasi bagi pembaca.

3
BAB II

Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) adalah kumpulan gejala akibat
penyempitan pada terowongan karpal, baik akibat edema fasia pada
terowongan tersebut maupun akibat kelainan pada tulang-tulang kecil tangan
yang menyebabkan penekanan terhadap nervus medianus di pergelangan
tangan (Badrul Munir, 2017)

2.2 Anatomi

Gambar 2.1 Anatomi terowongan karpal (Salawati dan Syahrul, 2014)

Terowongan karpal terdapat di bagian sentral dari pergelangan tangan


di mana tulang dan ligamentum membentuk suatu terowongan sempit yang
dilalui oleh beberapa tendon dan nervus medianus. Tulang-tulang karpalia
membentuk dasar dan sisi-sisi terowongan yang keras dan kaku sedangkan
atapnya dibentuk oleh fleksor retinakulum (transverse carpal ligament dan

4
palmar carpal ligament) yang kuat dan melengkung di atas tulang-tulang
karpalia tersebut. Di dalam terowongan tersebut terdapat saraf medianus yang
berfungsi menyalurkan sensori ke ibu jari, telunjuk dan jari manis serta
mempersarafi fungsi otot-otot dasar sisi dari ibu jari/otot tenar (Salawati dan
Syahrul, 2014).

Terowongan karpal didefinisikan sebagai ruang yang dalam


Ligamentum Carpal Transversus, yang membentang dari jauh hook of hamate
dan triquetrum ke scaphoid dan trapezium secara radial, dan berbatasan
dengan posterior oleh tulang karpal. Terowongan Carpal berisi median saraf
dan sembilan tendon fleksor: Flexor Digitorum Profundus (FDP) dan Flexor
Digitorum Superfisialis (FDS) tendon ke jari telunjuk, tengah, cincin, bersama
dengan Flexor Pollicis Longus (FPL). Ligamentum karpal transversus (TCL)
memiliki variabel kedalaman 10-13 mm dan tekanan normal 2,5 mmHg dalam
terowongan carpal. (Sardana dan Ojha, 2016).

Selain saraf medianus, di dalam terowongan tersebut terdapat pula


tendon-tendon yang berfungsi untuk menggerakkan jari-jari. Proses inflamasi
yang disebabkan stres berulang, cedera fisik atau keadaan lain pada
pergelangan tangan, dapat menyebabkan jaringan di sekeliling saraf
medianus membengkak. Lapisan pelindung tendon di dalam terowongan
karpal dapat meradang dan membengkak. Bentuk ligamen pada bagian atas
terowongan karpal menebal dan membesar. Keadaan tersebut menimbulkan
tekanan pada serat-serat saraf medianus sehingga memperlambat penyaluran
rangsang saraf yang melalui terowongan karpal. Akibatnya timbul rasa sakit,
tidak terasa/kebas, rasa geli di pergelangan tangan, tangan dan jari-jari selain
kelingking (Salawati dan Syahrul, 2014).

5
Gambar 2.2 Anatomi terowongan karpal (Salawati
dan Syahrul, 2014)

2.3 Epidemiologi
Prevalensi dari populasi umum sekitar 3,8% (Badrul Munir, 2017)
National Health Interview Study (NIHS) mencatat bahwa CTS lebih sering
mengenai wanita daripada pria dengan usia berkisar 25 - 64 tahun, prevalensi
tertinggi pada wanita usia > 55 tahun, biasanya antara 40 – 60 tahun.
Prevalensi CTS dalam populasi umum telah diperkirakan 5% untuk wanita dan
0,6% untuk laki-laki. CTS adalah jenis neuropati jebakan yang paling sering
ditemui. Sindroma tersebut unilateral pada 42% kasus (29% kanan,13% kiri)
dan 58% bilateral. (Kurniawan, 2015).

2.4 Etiologi dan Faktor Resiko

Terowongan karpal yang sempit selain dilalui oleh nervus medianus


juga dilalui oleh beberapa tendon fleksor. Setiap kondisi yang mengakibatkan
semakin padatnya terowongan ini dapat menyebabkan terjadinya penekanan
pada nervus medianus sehingga timbullah CTS. (Salawati dan Syahrul, 2014)

Pada sebagian kasus etiologinya tidak diketahui, terutama pada


penderita lanjut usia. Beberapa penulis menghubungkan gerakan yang
berulang-ulang pada pergelangan tangan dengan bertambahnya risiko
menderita gangguan pada pergelangan tangan termasuk CTS. Mekanisme

6
patofisiologis terjebaknya saraf medianus adalah berbeda antara pekerja dan
bukan pekerja.

Faktor intrinsik terjadinya CTS adalah sekunder, karena beberapa


penyakit atau kelainan yang sudah ada. Beberapa penyakit atau kelainan
yang merupakan faktor intrinsik yang dapat menimbulkan CTS adalah:

(a) perubahan hormonal seperti kehamilan, pemakaian hormon estrogen pada


menopause, dapat berakibat retensi cairan dan menyebabkan pembengkakan
pada jaringan di sekeliling terowongan karpal,

(b) penyakit/keadaan tertentu seperti hemodialisis yang berlangsung lama,


penyakit multiple myeloma, Walderstroom’s macroglobulinemia, limphoma non
Hodgkin, acromegali, virus (human parvovirus), pengobatan yang berefek
pada sistem imun (interleukin 2) dan obat anti pembekuan darah (warfarin),

(c) kegemukan (obesitas),

(d) keadaan lain seperti merokok, gizi buruk dan stres,

(e) adanya riwayat keluarga dengan CTS, dan

(f) jenis kelamin,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita mempunyai risiko


mendapat CTS lebih tinggi secara bermakna dibandingkan laki-laki. CTS yang
terjadi oleh karena penggunaan tangan karena hobi atau pekerjaan adalah
sebagai akibat inflamasi/pembengkakan tenosinovial di dalam terowongan
karpal. Penggunaan tangan yang berhubungan dengan hobi, contohnya
adalah pekerjaan rumah tangga (menjahit, merajut, menusuk, memasak),
kesenian dan olah raga. (Basuki dkk, 2015)

7
CTS yang berhubungan dengan pekerjaan meliputi kegiatan yang
membutuhkan kekuatan, penggunaan berulang atau lama pada tangan dan
pergelangan tangan, terutama jika faktor risiko potensial tersebut muncul
secara bersamaan misalnya: 1) Penggunaan tangan yang kuat terutama jika
ada pengulangan, 2) penggunaan tangan berulang dikombinasikan dengan
beberapa unsur kekuatan terutama untuk waktu yang lama, 3) konstan dalam
mencengkeram benda, 4) memindahkan atau menggunakan tangan dan
pergelangan tangan terhadap perlawanan atau dengan kekuatan, 5)
menggunakan tangan dan pergelangan tangan untuk getaran teratur yang
kuat, 6) tekanan biasa atau intermiten pada pergelangan tangan. (Basuki dkk,
2015)

2.5 Patofisiologi

Hipotesa mengenai pathogenesis dari CTS, faktor mekanik dan


vascular memegang peranan penting dalam terjadinya CTS umumnya CTS
terjadi secara kronis dimana terjadi penebalan fleksor retinaculum yang
menyebabkan tekanan terhadap nervus medianus. Tekanan yang berulang-
ulang dan lama akan mengakibatkan peninggian tekanan intrafasikular.
Akibatnya aliran darah vena intrafasikuler melambat.

Kongesti yang terjadi ini akan menganggu nutrisi intrafasikuler lalu


diikuti oleh anoxia yang akan merusak endotel. Kerusakan endotel ini
mengakibatkan kebocoran protein sehingga terjadi edema epineural.

Apabila kondisi ini terus berlanjut akan terjadi fibrosis epineural yang
merusak serabut saraf. Lama kelamaan saraf menjadi atrofi dan digantikan
oleh jaringan ikat yang mengakibatkan fungsi nervus medianus terganggu
secara menyeluruh.

8
Selain akibat adanya penekanan yang melebihi tekanan perfusi kapiler
akan menyebabkan gangguan mikrosirkulasi dan timbul iskemik saraf.
Keadaan iskemik ini diperberat lagi oleh peninggian tekanan intrafasikuler
yang menyebabkan berlanjutnya gangguan aliran darah. Selanjutnya terjadi
vasodilatasi yang menyebabkan edema sehingga sawar darah-saraf
terganggu yang berakibat terjadi kerusakan pada saraf tersebut. (Badrul
Munir, 2017).

2.6 Tanda dan Gejala Klinis

Gejala klinis yang mungkin timbul pada pasien dengan Carpal Tunnel
Syndrome antara lain:

 Mati rasa, rasa terbakar, atau kesemutan di jari-jari dan telapak tangan
terutama malam hari
 Nyeri ditelapak, pergelangan tangan, atau lengan bawah, khususnya
selama penggunaan.
 Penurunan cengkeraman kekuatan.
 Kelemahan dalam ibu jari.
 Sensasi jari bengkak (ada atau terlihat bengkak).
 Kesulitan membedakan antara panas dan dingin.
(Badrul Munir, 2017).

2.7 Diagnosis
2.7.1 Anamnesis
Pada tahap awal gejala umumnya berupa gangguan sensorik
saja. Gangguan motorik hanya terjadi pada keadaan yang berat.
Gejala awal biasanya berupa parestesia, kurang merasa (numbness)
atau rasa seperti terkena aliran listrik (tingling) pada jari 1-3 dan
setengah sisi radial jari 4 sesuai dengan distribusi sensorik nervus

9
medianus walaupun kadang-kadang dirasakan mengenai seluruh jari-
jari.
Keluhan parestesia biasanya lebih menonjol di malam hari.
Gejala lainnya adalah nyeri di tangan yang juga dirasakan lebih berat
pada malam hari sehingga sering membangunkan penderita dari
tidurnya. Rasa nyeri ini umumnya agak berkurang bila penderita
memijat atau menggerak-gerakkan tangannya atau dengan
meletakkan tangannya pada posisi yang lebih tinggi. Nyeri juga akan
berkurang bila penderita lebih banyak mengistirahatkan tangannya.
Apabila tidak segera ditangani dengan baik maka jari-jari menjadi
kurang terampil misalnya saat memungut benda-benda kecil.
Kelemahan pada tangan juga sering dinyatakan dengan keluhan
adanya kesulitan yang penderita sewaktu menggenggam. Pada tahap
lanjut dapat dijumpai atrofi otot-otot thenar (oppones pollicis dan
abductor pollicis brevis) dan otot-otot lainya yang diinervasi oleh
nervus medianus. (Somaiah, 2014).

2.7.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh pada
penderita dengan perhatian khusus pada fungsi, motorik, sensorik dan
otonom tangan. Beberapa pemeriksaan dan tes provokasi yang dapat
membantu menegakkan diagnosa CTS adalah (Katz, 2014):
a) Tes Phalen
Penderita diminta melakukan fleksi tangan secara maksimal.
Bila dalam waktu 60 detik timbul gejala seperti CTS, tes ini
menyokong diagnosa. Beberapa penulis berpendapat bahwa tes
ini sangat sensitif untuk menegakkan diagnosa CTS.

10
Gambar 2.3 Tes Phalen (Katz, 2014)
b) Tinel's Sign
Tes ini mendukung diagnosa bila timbul parestesia atau nyeri
pada daerah distribusi nervus medianus jika dilakukan perkusi
pada terowongan karpal dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi
(Katz, 2014).

Gambar 2.4 Tinel’s Test (Katz, 2014)


c) Flick's Sign
Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau menggerak-
gerakkan jari-jarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang
akan menyokong diagnosa CTS.

11
d) Thenar Wasting
Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi otot-
otot thenar.
e) Menilai kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan otot secara
manual maupun dengan alat dynamometer.
f) Wrist Extension Test
Penderita diminta melakukan ekstensi tangan secara
maksimal, sebaiknya dilakukan serentak pada kedua tangan
sehingga dapat dibandingkan. Bila dalam 60 detik timbul gejala-
gejala seperti CTS, maka tes ini menyokong diagnosa CTS.
g) Pressure Test
Nervus medianus ditekan di terowongan karpal dengan
menggunakan ibu jari. Bila dalam waktu kurang dari 120 detik
timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa.
h) Luthy's Sign (Bottle's sign)
Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari telunjuknya pada
botol atau gelas. Bila kulit tangan penderita tidak dapat menyentuh
dindingnya dengan rapat, tes dinyatakan positif dan mendukung
diagnosa.
i) Pemeriksaan Sensibilitas
Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik (two-point
discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus
medianus, tes dianggap positif dan menyokong diagnosa.

2.8 Pemeriksaan Penunjang


a.) Pemeriksaan Neurofisiologi (Elektrodiagnostik)
Pemeriksaan EMG dapat menunjukkan adanya fibrilasi, polifasik,
gelombang positif dan berkurangnya jumlah motor unit pada otot-

12
otot thenar. Pada beberapa kasus tidak dijumpai kelainan pada
otot-otot lumbrikal. EMG bisa normal pada 31% kasus CTS.
Kecepatan Hantar Saraf (KHS). Pada 15-25% kasus, KHS bisa
normal. Pada yang lainnya KHS akan menurun dan masa laten
distal (distal latency) memanjang, menunjukkan adanya gangguan
pada konduksi saraf di pergelangan tangan. Masa laten sensorik
lebih sensitif dari masa laten motorik (Somaiah, 2014).
b) Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan sinar-X terhadap pergelangan tangan dapat
membantu melihat apakah ada penyebab lain seperti fraktur atau
artritis. Foto polos leher berguna untuk menyingkirkan adanya
penyakit lain pada vertebra. USG, CT-scan dan MRI dilakukan
pada kasus yang selektif terutama yang akan dioperasi. USG
dilakukan untuk mengukur luas penampang dari saraf median di
carpal tunnel proksimal yang sensitif dan spesifik untuk carpal
tunnel syndrome (Somaiah, 2014).
c) Pemeriksaan Laboratorium
Bila etiologi CTS belum jelas, misalnya pada penderita usia muda
tanpa adanya gerakan tangan yang repetitif, dapat dilakukan
beberapa pemeriksaan seperti kadar gula darah, kadar hormon
tiroid ataupun darah lengkap (Somaiah, 2014).

2.9 Penalataksanaan
2.9.1 Medikamentosa
Terdapat beberapa terapi terhadap carpal tunnel syndrome yang
masih dipergunakan hingga saat ini, antara:
a) Injeksi Kortikosteroid Lokal
Injeksi kortikosteroid cukup efektif sebagai penghilang
gejala CTS secara temporer dalam waktu yang singkat.

13
Metilprednisolon atau hidrokortison bisa disuntikkan langsung ke
carpal tunnel untuk menghilangkan nyeri. Injeksi kortikosteroid
dapat mengurangi peradangan, sehingga mengurangi tekanan
pada nervus medianus. Pengobatan ini tidak bersifat untuk
dilakukan dalam jangka waktu yang panjang (George, 2009).
Deksametason 1-4 mg atau hidrokortison 10-25 mg atau
metilprednisolon 20 mg atau 40 mg diinjeksikan ke dalam
terowongan karpal dengan menggunakan jarum no.23 atau 25
pada lokasi 1 cm ke arah proksimal lipat pergelangan tangan di
sebelah medial tendon musculus palmaris longus. Sementara
suntikan dapat diulang dalam 7 sampai 10 hari untuk total tiga
atau empat suntikan. Tindakan operasi dapat dipertimbangkan
bila hasil terapi belum memuaskan setelah diberi 3 kali suntikan.
Suntikan harus digunakan dengan hati-hati untuk pasien di
bawah usia 30 tahun (George, 2009)

b) Vitamin B6 (Piridoksin)
Beberapa penulis berpendapat bahwa salah satu
penyebab CTS adalah defisiensi piridoksin sehingga mereka
menganjurkan pemberian piridoksin 100-300 mg/hari selama 3
bulan. Tetapi beberapa penulis lainnya berpendapat bahwa
pemberian piridoksin tidak bermanfaat bahkan dapat
menimbulkan neuropati bila diberikan dalam dosis besar. Namun
pemberian dapat berfungsi untuk mengurangi rasa nyeri (George,
2009).

c) Obat Antiinflamasi Non-Steroid (NSAID)


Obat-obatan jenis NSAID dapat mengurangi inflamasi dan
membantu menghilangkan nyeri. Pada umumnya digunakan untuk

14
menghilangkan nyeri ringan sampai sedang. Obat pilihan untuk
terapi awal biasanya adalah ibuprofen. Pilihan lainnya yaitu
ketoprofen dan naproxen (George, 2009).

2.9.2 Non-medikamentosa
Kasus ringan selain bisa diobati dengan obat anti inflamasi non-
steroid (NSAID) juga bisa menggunakan penjepit pergelangan tangan
yang mempertahankan tangan dalam posisi netral selama minimal 2
bulan, terutama pada malam hari atau selama ada gerak berulang.
Jika tidak efektif, dan gejala yang cukup mengganggu, operasi sering
dianjurkan untuk meringankan kompresi. Oleh karena itu sebaiknya
terapi CTS dibagi atas 2 kelompok, yaitu:
1) Terapi konservatif
i. Istirahatkan pergelangan tangan.
ii. Pemasangan bidai pada posisi netral pergelangan
tangan. Bidai dapat dipasang terus-menerus atau hanya
pada malam hari selama 2-3 minggu.
iii. Nerve Gliding, yaitu latihan terdiri dari berbagai gerakan
(ROM) latihan dari ekstremitas atas dan leher yang
menghasilkan ketegangan dan gerakan membujur
sepanjang saraf medianus. Latihan-latihan ini didasarkan
pada prinsip bahwa jaringan dari sistem saraf perifer
dirancang untuk gerakan, dan bahwa ketegangan dan
meluncur saraf mungkin memiliki efek pada neurofisiologi
melalui perubahan dalam aliran pembuluh darah dan
axoplasmic. Latihan dilakukan sederhana dan dapat
dilakukan oleh pasien setelah instruksi singkat.

15
Gambar 2.5 Nerve Gliding
iv. Fisioterapi yang ditujukan pada perbaikan vaskularisasi
pergelangan tangan (George, 2009)

2) Hydrodissection
Hydrodissection (Hidrodiseksi) juga dikenal sebagai injeksi
perineural, adalah teknik menyuntikkan sejumlah volume ke scars
atau fascia untuk melepaskan saraf yang terperangkap. Saraf
seharusnya bergerak dengan lancar di atas fasia, tetapi jebakan saraf
ini mirip dengan perlengketan di ruang epidural, menyebabkan rasa
sakit dan disfungsi otonom.
Teknik hidrodiseksi membutuhkan keterampilan identifikasi saraf
di bawah ultrasound (USG) serta manipulasi yang aman dan akurat
dari jarum yang dipandu USG. Tujuannya adalah untuk menempatkan
ujung jarum di setiap sisi saraf (perineural) bukan di dalam saraf
(intraneural).
Saraf yang terperangkap mungkin tampak berbentuk "hour-
glass" (Gambar 2.7), atau “menebal” (Gambar 2.8). Setelah persiapan

16
steril dan infiltrasi anestesi lokal pada subkutan, saraf pertama-tama
diidentifikasi dalam penampang, dan jarum maju ke ruang perineural
(Gambar2.9). Sedikit cairan aliquots dapat membantu mengidentifikasi
bidang fasia yang sesuai, yang divisualisasikan sebagai kumpulan
cairan hypoechoic di sekitar saraf, dalam bentuk "donat". Probe USG
kemudian diputar 90 derajat untuk memperlihatkan saraf dalam
pandangan longitudinal, dan sebagian besar injeksi kemudian
dilengkapi (Gambar 2.10). Cairan disuntikkan secara perlahan,
mengamati diseksi jaringan dengan cermat oleh cairan. Seringkali
"pop" dirasakan dengan jari-jari tangan yang meraba, dan pasien
melaporkan rasa sakit instan.
Beberapa peringatan perlu diperhatikan. Suntikan intraneural
dapat menyebabkan kerusakan saraf yang parah dan harus dihindari.
Perluasan diameter saraf selama injeksi (terlihat pada crosssection)
dapat menjadi indikasi injeksi intraneural. Saraf biasanya terlihat
bergerak menjauh dari jarum selama injeksi, didorong menjauh oleh
cairan; saraf yang bergerak ke arah jarum mungkin mennadakan
injeksi intraneural.
Salah satu pelepasan saraf menggunakan hidrodiseksi yang
telah dideskripsikan adalah saraf median. Malone et al menjelaskan
menggunakan USG untuk mengarahkan penempatan jarum di
pergelangan tangan. Mereka menyuntikkan 11 mL cairan hidrodiseksi
(9 mL saline normal, 1 mL lidokain 1%, dan 1 mL triamcinolone 40 mg
/ mL) ke dalam fleksor retinaculum melalui jarum 20-G, menggunakan
semburan cairan dengan hati-hati memisahkan saraf median dari
permukaan retinakulum yang dalam. Mereka kemudian memasukkan
jarum tegak lurus ke kulit sekitar 150 perforasi fleksor retinaculum,
menggunakan USG untuk mengkonfirmasi bahwa jarum tidak
menyentuh saraf median.

17
Para penulis merasa bahwa teknik ini adalah pengobatan
menengah yang layak antara tindakan konservatif dan pelepasan
terbuka. Dari 44 pergelangan tangan yang dirawat, 19 mencatat hasil
yang sangat baik pada follow-up awal (4 hari) dan pada 24 bulan, 9
pergelangan tangan dengan hasil awal yang sangat baik, bertahan
cukup baik pada follow up lanjutan, 5 pergelangan tangan dengan
penyembuhan jangka pendek dan jangka panjang yang baik, 6
mangkir, dan 5 gagal total.
Hidrodiseksi saraf lain yang telah dilaporkan termasuk radial
superfisial, radial, ulnar, femoral, saphenous, peroneal, tibialis
posterior, plantar, dan saraf ilioinguinal atau iliohypogastric. (Andrea,
Michael, 2015)

Gambar 2.6 Longitudinal USG dengan “hour-glass” shape dan Gambar 2.7 USG cross-sectional
menunjukkan “penebalan saraf”

18
Gambar 2.8 Hydrodissection USG posisi cross-sectional dan Gambar 2.9 posisi longitudinal

3) Operatif
Tindakan operatif diindikasikan pada kondisi: terapi konservatif
dengan semua modalitas terapi gagal, atrofi otot-otot thenar, gangguan
sensorik yang berat. (Badrul Munir, 2017)

2.10. Diagnosis Banding


 Tenosinovitis
 Rheumatoid arthritis
 de Quervain’s syndrome
 Cervical radiculopathy
 Inoracic outlet syndrome
 Pronator teres syndrome

19
2.11. Pencegahan
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya
Carpal Tunnel Syndrome antara lain:
 Mengurangi gerakan repetitif, gerakan kaku, atau getaran peralatan
tangan pada saat bekerja.
 Design peralatan kerja agar tangan dalam posisi natural saat kerja
 Modifikasi tata ruang kerja untuk memudahkan variasi gerakan
 Mengubah metode kerja untuk sesekali istirahat pendek serta
mengupayakan rotasi kerja. (Badrul Munir, 2017)

2.12. Prognosis
Pada kasus CTS ringan, dengan terapi konservatif umumnya prognosa
baik, bila keadaan tidak membaik dengan terapi konservatif maka tindakan
operasi harus dilakukan. Secara umum prognosa operasi juga baik. (Badrul
Munir, 2017)

20
DAFTAR PUSTAKA

Basuki, Rochman; Jenie, M. Naharuddin, dan Fikri, Zimamul. 2015. Faktor


Prediktor Carpal Tunnel Syndrome (CTS) pada Pengrajin Alat Tenun
Bukan Mesin (ATBM). Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Semarang; hal 1-7.

George, Dewanto. Riyanto, Budi. Turana, Yuda, et al. 2009. Panduan Praktis
Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf.

Katz, Jeffrey N., et al. 2014. Carpal Tunnel Syndrome. N Engl J Med. Vol. 346,
No. 23.

Kurniawan Bina, Jayanti Siswi, Setyaningsih Yuliani. Faktor Risiko Kejadian


CTS pada Wanita Pemetik Melati di Desa Karangcengis, Purbalingga.
Kesehatan dan Keselamatan Kerja FKM UNDIP. Jurnal Promosi
Kesehatan Indonesia Vol. 3/No. 1/ Januari. 2015.

Munir, Badrul. 2017 Neurologi Dasar. Jakarta: Sagung Seto.

Salawati, Liza dan Syahrul. 2014. Carpal Tunnel Syndrome. Jurnal


Kedokteran Syiah Kuala, Volume 14: hal 29-37.

Sardana, Vijay dan Ojha, Piyush. 2016. Carpal Tunnel Syndrome: Current
Review. International Journal of Medical Research Professionals; 2(1); 8-
14.

Somaiah A, Spence RAJ. Carpal Tunnel Syndrome; 2014. Ulster Med J; 77(1)
6-17.

21
Trescot, Andrea dan Brown, Michael. 2016. Peripheral nerve entrapment,
hydrodissection, and neural regenerative strategies. Technique in
Regional Anesthesia and Pain Management: Elsevier.

22

Anda mungkin juga menyukai