Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

ANESTESI PADA PASIEN DENGAN KOMORBID GINJAL

Pembimbing :

dr. Harry Kurniawan, Sp.An

dr. Eka Santoso, Sp.An

Penyusun :

Ginanjar Putri Sari 102120014

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANASTESI

RUMAH SAKIT HAJI BUNDA HALIMAH

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BATAM

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Referat Anestesi yang berjudul “Anestesi pada pasien dengan komorbid
Ginjal”
Referat ini disusun untuk memenuhi tugas dan syarat dalam menempuh
kepaniteraan klinik dibagian Ilmu Anestesi di RS Hj. Bunda Halimah Batam.
Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada dr. Harry
Kurniawan , Sp.An dan dr. Eka Santoso, Sp.An selaku pembimbing dalam
menuyusun referat ini.
Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam referat ini,
maka saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Saya
berharap agar referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Batam, Juni 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Ginjal............................................................................................... 3
B. Pengaruh Anestesia dan Operasi terhadap Fungsi Ginjal................. 7
C. Penatalaksanaan Farmakologi Pasien Gangguan Ginjal
Dalam Operatif.................................................................................. 8
BAB III KESIMPULAN
A. Kesimpulan....................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ginjal merupakan salah satu organ vital tubuh. Ginjal memiliki fungsi
bermacam-macam termasuk filtrasi glomerulus, reabsorbsi dan sekresi dari
tubulus, pengenceran dan pemekatan urin, pengasaman urin, serta
memproduksi dan memetabolisme hormon. Adanya gangguan fungsi
ginjal merupakan spektrum luas dari suatu penyakit Dari semua fungsi
tersebut, parameter untuk mengetahui fungsi dan progesi penyakit ginjal
adalah laju filtrasi glomerulus dan kemampuan eksresi.1
Dengan adanya gangguan fungsi ginjal tentu saja akan berdampak
pada kemampuan eksresi seperti eksresi dari eliminasi obat. Banyak obat-
obatan yang biasanya digunakan selama anestesia yang setidaknya
sebagian tergantung pada ekskresi ginjal untuk eliminasi. Dengan adanya
kerusakan ginjal, modifikasi dosis harus dilakukan untuk mencegah
akumulasi obat atau metabolit aktif. Semua obat anestetik baik volatil atau
suntikan berpotensi mengganggu fungsi ginjal baik secara langsung atau
tidak langsung akibat perubahan tekanan darah sistemik, curah jantung,
lepasan hormon anti diuretik (ADH), jenis cairan infus yang sedang
digunakan, gangguan sistem renin-angiotensin-aldosteron.1,2,3
Menurut data World Health Organization (WHO), penyakit gagal
ginjal kronis telah menyebabkan kematian pada 850.000 orang setiap
tahunnya. Angka tersebut menunjukkan bahwa penyakit gagal ginjal
kronis menduduki peringkat ke-12 tertinggi. Prevalensi gagal ginjal di
dunia menurut ESRD Patients (End-Stage Renal Disease) pada tahun 2011
sebanyak 2.786.000 orang, tahun 2012 sebanyak 3.018.860 orang dan
tahun 2013 sebanyak 3.200.000 orang. Dari data tersebut disimpulkan
adanya peningkatan angka kesakitan pasien gagal ginjal tiap tahunnya
sebesar sebesar 6 %. Sekitar 78,8% .4
Oleh karena itu, pengelolaan pasien dengan penyakit ginjal selama

1
periode perioperative, intraoperative, dan posoperative cukup penting.
Referat ini akan mendiskusikan tentang pendekatan dan perhatian terhadap
penatalaksanaan anestesi pada pasien dengan komorbid ginjal.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. GINJAL
1. Definisi
Ginjal merupakan salah satu organ vital tubuh. Ginjal memiliki fungsi
bermacam-macam termasuk filtrasi glomerulus, reabsorbsi dan sekresi dari
tubulus, pengenceran dan pemekatan urin, pengasaman urin, serta
memproduksi dan memetabolisme hormon. Adanya gangguan fungsi ginjal
merupakan spektrum luas dari suatu penyakit Dari semua fungsi tersebut,
parameter untuk mengetahui fungsi dan progesi penyakit ginjal adalah laju
filtrasi glomerulus dan kemampuan eksresi.1
2. Klasifikasi Gangguan Ginjal
 Gangguan Ginjal Akut
Penurunan fungsi ginjal tiba-tiba yang mengakibatkan retensi nitrogen
(urea dan kreatinin) dan produk limbah nonnitrogenous. Dengan
kenaikan kreatinin serum (Scr)>0,3 mg/dL dalam 48 jam, atau kenaikan
Scr >1,5x nilai dasar terjadi dalam 7 hari, atau turunnya produksi urin
<0,5 cc/kgBB/jam selama > 6 jam. Laju filtrasi glomelurus (LFG)
mengalami penurunan mulai dari 25% - 75%.1,5
 Penyakit Ginjal Kronis
Adanya kelainan structural atau fungsional ginjal yang berlangsung
minimal 3 bulan, dapat berupa kelainan struktural yang dapat dideteksi
melalui pemeriksaan laboratorium (albuminuria, sedimen urin, kelainan
elektrolit akibat ginjal), serta gangguan fungsi ginjal dengan LFG <60
mL/menit/1.73 m2.5
 Sindrom Nefritik Akut
Dapat ditantai dengan adanya hipertensi, hematuria, gangguan fungsi
ginjal seperti adanya silinder eritrosit dan proteinuria ringan sampai
sedang dapat disertai edema. Biasanya disebabkan oleh
Glomerulonefritis Akut.5

3
 Sindrom Nefrotik
Sindrom yang terdiri dari kumpulan dari tanda dan gejala proteinuria
massif >3,5g/24 jam, hiperlipidemia, edema anasarka, dan
hipoalbuminemia <3,5 g/dL.5
3. Manifestasi Gangguan Ginjal
a) Metabolik1
 Pasien dengan gagal ginjal dapat berkembang dengan abnormalitas dari
metabolik yang multipel termasuk hiperkalemia, hiperphospatemia,
hipokalsemia, hipermagnesemia, hiperuricemia, dan hipoalbuminemia.
 Retensi air dan natrium akan mengakibatkan pemburukan dari
hiponatremia dan cairan ekstra seluler yang berlebihan.
 Kegagalan untuk mengekskresikan produksi asam yang non folatil
mengakibatkan asidosis metabolik dengan anion gap yang tinggi.
 Hiperkalemia adalah abnormalitas yang paling mematikan karena
memiliki efek pada jantung. Hal ini biasanya ditemukan pada pasien
dengan kreatinin klirens < 5 mL/menit, namun dapat berkembang
secara cepat pada pasien dengan klirens yang lebih tinggi oleh karena
dengan masukan kalium yang besar (trauma, hemolisis, infeksi atau
konsumsi kalium).
 Hipermagnesia biasanya ringan kecuali masukan magnesium meningkat
(umumnya dari antasida yang mengandung magnesium).
 Hipokalsemia terjadi dengan sebab yang tidak diketahui. Mekanisme
yang diakibatkan oleh deposit kalsium ke tulang secara sekunder oleh
karena hiperphospatemia, resistensi dari hormon paratiroid dan
penurunan absorbsi usus halus secara sekunder menurunkan sintesa
renal dari 1,25-dihidroksi kolekalsiferol.Gejala dari hipokalsemia
jarang berkembang kecuali pasien dalam kondisi alkalosis.
 Pasien dengan gagal ginjal juga secara cepat kehilangan protein
jaringan sehingga menyebabkan hipoalbuminemia. Anoreksia, restriksi
protein dan dialisis (terutama dialisis peritonium) juga berperan.1

4
b) Hematologik3
 Anemia biasanya muncul jika kreatinin klirens dibawah 30 ml/menit.
Konsentrasi hemoglobin umumnya 6-8 gram/dl. Penurunan produksi
eritropoetin menurunkan produksi sel darah merah, dan menurunkan
pertahanan sel. Walaupun dengan transfusi, konsentrasi hemoglobin
meningkat sampai 9 gram/dl sangat sulit untuk dipertahankan.
Pemberian eritropoetin biasanya dapat mengoreksi anemia. Peningkatan
dari 2,3-difosfogliserat bertanggung jawab dalam penurunan kapasitas
pembawa oksigen. 2,3-DPG memfasilitasi pelepasan oksigen dari
hemoglobin. Asidosis metabolik juga mengakibatkan pergeseran ke
kanan pada kurva oksigen-hemoglobin dissosiasi.
 Fungsi platelet dan sel darah putih terganggu pada pasien dengan gagal
ginjal. Secara klinis, hal ini dimanifestasikan sebagai pemanjangan
waktu perdarahan dan gampang terkena infeksi. Pada pasien dengan
penurunan aktivitas platelet faktor III, dan juga penurunan ikatan dan
agregrasi platelet. Pasien yang dihemodialisa juga memiliki efek sisa
antikoagulan dari heparin.3
c) Kardiovaskuler3
 Cardiac Output dapat meningkat pada gagal ginjal untuk menjaga
oksigen delivery pada penurunan kapasitas pembawa oksigen.
 Retensi natrium dan abnormalitas pada sistem renin angiotensin
berakibat pada hipertensi sistemik arteri. Left ventrikuler hipertropi
umum dijumpai pada gagal ginjal kronis. Cairan ekstraseluler yang
berlebihan oleh karena retensi natrium bersamaan dengan peningkatan
kebutuhan yang terganggu oleh karena anemia dan hipertensi
mengakibatkan pasien gagal jantung dan edema pulmonum.
Peningkatan permeabilitas dari membran kapiler alveoli dapat menjadi
faktor predisposisi.
 Aritmia sering ditemukan dan mungkin berhubungan pada kelainan
metabolik.3

5
d) Pulmonary
 Tanpa dialisis atau terapi bikarbonat, pasien bergantung pada
peningkatan ventilasi permenit untuk mengkompensasikan asidosis
metabolik.
 Cairan ekstravaskular pulmonum biasanya meningkat dalam bentuk
interstitial edema, mengakibatkan perluasan gradien alveolar ke arterial
oksigen yang menyebabkan terjadinya hipoksemia. Peningkatan
permeabilitas dari kapiler alveolar pada beberapa pasien menyebabkan
edema paru walaupun dengan tekanan kapiler paru yang normal,
karakteristik pada foto toraks menyerupai ”butterfly wings”.1,3
e) Endokrin
 Toleransi glukosa yang abnormal ditandai dengan adanya gagal ginjal
akut dari resistensi perifer pada insulin, pasien mempunyai glukosa
dalam darah dengan jumlah besar dan jarang menggunakannya.
 Hiperparatiroidisme yang sekunder pada pasien dengan gagal ginjal
kronis dapat mengakibatkan penyakit tulang metabolik, yang dapat
menyebabkan fraktur.3
f) Gastrointestinal
 Anoreksia, nausea, vomiting dan ileus adinamik umumnya
berhubungan dengan azotemia.
 Penundaan pengosongan lambung secara sekunder pada neuropati
autonom dapat mencetuskan adanya aspirasi perioperatif.3
g) Neurologis
 Tubuh kurus, letargi, confussion, kejang, dan koma adalah manifestasi
dari uremik encephalopathy. Gejala pada umumnya berhubungan
dengan derajat azotemia.
 Neuropati autonom dan perifer umumnya dijumpai pada pasien dengan
gagal ginjal kronis. Neuropati perifer bersifat sensoris dan melibatkan
ekstremitas distal bagian bawah.3

6
B. PENGARUH ANESTESIA DAN OPERASI TERHADAP FUNGSI
GINJAL
1) Obat-obat anastesi inhalasi
 Agen-agen volatile
Agen anastetik volatile hampir ideal untuk pasien-pasien dengan
disfungsi renal karena tidak tergantungnya pada eliminasi ginjal, kemampuan
untuk mengkontrol tekanan darah dan biasanya mempunyai efek langsung
minimal pada aliran darah ginjal. Walaupun pasien dengan gangguan ginjal
ringan dan sedang tidak menunjukkan perubahan cepat atau distribusi,
percepatan induksi dan timbulnya bisa dilihat pada anemis berat (Hb <5 g/dL)
dengan GGK dan turunnya blood gas portion coefficient atau kurangnya
MAC (Minimum Alveolar Consentration). Enflurane dan sevoflurane
(dengan <2 L/min aliran gas) disarankan tidak baik untuk pasien-pasien
dengan penyakit ginjal yang terjadi pada prosedur panjang karena potensi
akumulasi fluoride. Anestesi general inhalasi volatile dapat menyebabkan
penurunan GFR kemungkinan disebabkan oleh penurunan tekanan perfusi
ginjal baik dengan penurunan resistensi pembuluh darah sistemik (misalnya,
isofluran atau sevofluran) atau curah jantung (misalnya, halotan). Penurunan
GFR ini diperburuk oleh hipovolemia dan pelepasan katekolamin dan hormon
antidiuretik sebagai respons terhadap stimulasi yang menyakitkan selama
operasi.3
 Nitrous Oxide
Banyak klinisi tidak menggunakan atau membatasi penggunaan NO2
sampai 50% pada pasien-pasien dengan gagal ginjal dalam tujuan untuk
meningkatkan penggunaan O2 arteri pada keadaan anemia. Rasionalisasi ini
bisa dilihat hanya pada pasien anemia berat (Hb <7 gr/dL), bahkan pada
peningkatan O2 dissolved mungkin terlihat persentasi yang signifikan dari
O2 arteri terhadap perbedaan O2 vena.3
2) Obat-obat anastesi intravena
 Propofol & Etomidate
Farmakokinetik baik propofol dan etomidate tidak mempunyai efeknya

7
secara signifikan pada gangguan fungsi ginjal. Penurunan ikatan protein dari
etomidate pada pasien hipoalbuminemia bisa mempercepat efek–efek
farmakologi.3
 Barbiturat
Pasien-pasien dengan penyakit ginjal sering terjadi peningkatan
sensitivitas terhadap barbiturat selama induksi walaupun profil
farmakokinetik tidak berubah. Mekanismenya dengan peningkatan barbiturat
bebas yang bersirkulasi karena ikatan dengan protein yang berkurang.
Asidosis bisa menyebabkan agen-agen ini lebih cepat masuknya ke otak
dengan meningkatkan fraksi non ion pada obat.3
 Ketamin
Farmakokinetik ketamin berubah sedikit karena penyakit ginjal.
Beberapa metabolit yang aktif di hati tergantung pada ekskresi ginjal dan bisa
terjadi potensial akumulasi pada gagal ginjal. Hipertensi sekunder akibat efek
ketamin bisa tidak diinginkan pada pasien-pasien hipertensi ginjal.2
 Benzodiazepin
Benzodiazepin menyebabkan metabolisme hati dan konjugasi karena
eliminasi di urin. Karena banyak yang terikat kuat dengan protein,
peningkatan sensitivitas bisa terlihat pada pasien-pasien hipoalbuminemia.
Diazepam seharusnya digunakan berhati-hati pada gangguan ginjal karena
potensi akumulasi metabolit aktifnya.3
 Opioid
Banyak opioid yang biasanya digunakan pada manajemen anestesi
(morfin, meperidin, fentanil, sufentanil dan alfentanil) di inaktifasi oleh hati,
beberapa metabolitnya nantinya diekskresi di urin. Farmakokinetik
remifentanil tidak terpengaruh oleh fungsi ginjal karena hidrolisis ester yang
cepat di dalam darah, kecuali morfin dan meferidin, akumulasi metabolit
biasanya tidak terjadi pada agen-agen ini. Akumulasi morfin (morfin-6-
glucuronide) dan metabolit meperidine pernah dilaporkan memperpanjang
depresi pernafasan pada beberapa pasien dengan gagal ginjal. Peningkatan
level normeperidine, metabolit meperidine, dihubungkan dengan kejang-

8
kejang. Farmakokinetik yang sering digunakan dari agonis-antagonis opioid
(butorphanol nalbuphine dan buprenorphine) tidak terpengaruh oleh gagal
ginjal.3
 Obat pelumpuh otot dan antogonisnya
Anastesi umum dengan pelumpuh otot biasa digunakan pada
pembedahan ginjal terbuka atau laparaskopi.
 Succinyl choline
SC bisa digunakan secara aman pada gagal ginjal, dengan konsentrasi
serum kalium kurang dari 5 mEq/L pada saat induksi. Bila K serum lebih
tinggi, pelumpuh otot nondepol sebaiknya digunakan .Walaupun penurunan
level pseudocholinesterase pernah dilaporkan pada beberapa pasien uremik
yang mengikuti dialisis, perlamaan signifikan dari blokade neuromuscular
jarang terlihat.3
 Cisatracurium, Atracurium, dan Mivacurium
Mivacurium tergantung secara minimal pada ginjal untuk eliminasi. Efek
yang sedikit memanjang dapat dilihat karena menurunnya
pseudokolinesterase plasma. Cisatracurium dan atracurium didegradasi di
plasma oleh eliminasi enzim hidrolisis ester dan nonenzim Hofmann. Agen-
agen tersebut mungkin merupakan obat pilihan untuk pelumpuh otot pada
pasien-pasien dengan gagal ginjal.3
 Vecuronium dan Rucoronium
Eliminasi dari vecuronium secara primer ada di hati, tapi lebih dari 20%
dari obat dieliminasi di urine. Efek dari dosis besar vecuronium (> 0,1 mg/kg)
hanya di perpanjang sedikit pada pasien-pasien renal insufisiensi.
Rocuronium secara primer dieliminasi di hati, tapi perpanjangan kerja pada
penyakit ginjal berat pernah dilaporkan.3
 Curare
Eliminasi dari curare tergantung baik pada ginjal maupun ekskresi
empedu; 40-60% dosis curare secara normal dieksresi di dalam urin.
Peningkatan efek pemanjangan dilihat pada dosis berulang pada pasien-
pasien dengan gangguan renal yang signifikan. Dosis lebih rendah dan

9
perpanjangan interval pemberian dosis diperlukan untuk rumatan agar
pelumpuh otot optimal.3
 Pancuronium, Pipecuronium, Alcuronium, dan Doxacurium
Obat-obat ini tergantung terutama pada ekskresi renal (60-90%).
Walaupun pancuronium di metabolisme di hati menjadi metabolit
intermediate yang kurang aktif, eliminasi paruh waktunya masih tergantung
pada ekskresi ginjal (60-80%). Fungsi neuromuscular harus dimonitor ketat
jika obat-obat ini digunakan pada fungsi ginjal abnormal.3
 Metocurine, Gallamine & Decamethonium
Obat-obat ini hampir sepenuhnya tergantung pada ekskresi ginjal untuk
eliminasi dan harus dihindari penggunaannya dari pasien dengan gangguan
fungsi ginjal.3
 Obat Vasopressor dan Antihipertensi
Pasien dengan penyakit ginjal biasanya hipertensi dan beresiko terjadi
ketidak stabilan kardiovaskular selama operasi. Hipertensi dapat menjadi
masalah terutama pada nephrektomi bilateral yang dapat menyebabkan
hipertensi yang tidak terkontrol. Lebih dari 90% thiazid dan 70 % furosemid
dieksresi oleh ginjal dan durasinya diperpanjang pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal. Propranolol hampir seluruhnya dimetabolisme
dihepar dan esmolol di biodegradasi oleh estarase di sitosil sel darah merah,
sehingga efeknya tidak diperpanjang pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal. Obat-obatan kalsium antagonis seperti nifedipin, verapamil dan
diltiazem dimetabolisme dihepar dan menghasilkan produk inert, dapat
diberikan pada pasien dengan insufisiensi ginjal.6
Jika diperlukan pemberian vasopressor dapat diberikan, obat yang
menstimulasi langsung alpha adrenergik seperti phenylephrin efektif. Namun,
pemberian vasopressor ini menyebabkan pengaruh terhadap sirkulasi ginjal.
Meskipun obat-obat beta adrenergik seperti isoproterenol mempertahankan
perfusi ginjal dan otak tanpa mengakibatkan vasokontriksi ginjal, tetapi juga
meningkatkan irratabilitas myocardial. Sehingga jika memungkinkan adalah
dengan mengganti dengan volume darah. Jika tidak adekuat obat stimulasi

10
alpha adrenergik atau dopamin dapat digunakan.7

Perawatan praoperasi,intraoperasi, dan posoperasi harus dilakukan untuk


mempertahankan normovolemia dan normotensi untuk menghindari penurunan
perfusi ginjal. Ventilasi tekanan positif yang digunakan selama anestesi umum
dapat menurunkan curah jantung output, aliran darah ginjal, dan GFR. Penurunan
curah jantung menyebabkan pelepasan katekolamin, renin, dan angiotensin II
dengan aktivasi simpatoadrenal sistem dan mengakibatkan penurunan aliran darah
ginjal.8
Penggunaan teknik anestesi regional yang mencapai blok simpatis mungkin
bermanfaat bagi pasien dengan penyakit ginjal atau mereka yang risiko AKI pasca
operasi, karena blok simpatis melemahkan vasokonstriksi ginjal yang diinduksi
katekolamin dan menekan pelepasan kortisol dan epinefrin. Anestesi epidural
tidak berpengaruh pada aliran darah ginjal selama normotensi dan isovolemia
dipertahankan.8

C. PENATALAKSANAAN PASIEN GANGGUAN GINJAL DALAM


OPERATIF
Banyak obat yang biasa digunakan selama anestesi tergantung pada
kebutuhan tertentu. Ekskresi ginjal untuk eliminasi obat harus dipertimbangkan
ketika merencanakan anestesi untuk pasien dengan disfungsi ginjal. Pasien
dengan penyakit ginjal sensitif terhadap barbiturat dan benzodiazepin sekunder
karena penurunan protein pengikat. Beberapa agen narkotika termasuk morfin
dan meperidin harus digunakan dengan bijaksana karena memiliki metabolit
aktif dan memiliki aktivitas yang berkepanjangan dalam pengaturan disfungsi
ginjal. Fentanil dan hidromorfon lebih baik untuk pasien disfungsi ginjal.
Suksinilkolin dapat digunakan jika kadar kalium serum pasien normal, tetapi
sebaiknya dihindari jika kadar kalium tidak diketahui. Cisatracurium dan
atracurium adalah relaksan otot nondepolarisasi yang tidak bergantung pada
fungsi ginjal untuk eliminasi, tetapi dimetabolisme oleh hidrolisis ester dan
eliminasi Hoffmann. Agen pembalikan neuromuskular bergantung pada

11
ekskresi ginjal dan, oleh karena itu, efeknya akan menjadi berkepanjangan.
Banyak agen antimikroba harus diberi dosis sesuai dengan fungsi ginjal. Agen
antiinflamasi nonsteroid harus dihindari pada insufisiensi ginjal atau AKI
karena dapat memperburuk cedera ginjal.8
a) Evaluasi Preoperatif
 Gagal ginjal akut berhubungan dengan komplikasi post operatif atau
trauma. Pasien dengan gagal ginjal akut juga mempercepat pemecahan
protein. Manajemen perioperatif yang optimal tergantung dari dialisis
preoperatif. Hemodialisis lebih efektif dari pada peritoneal dialisis dan
dapat dilakukan melalui internal jugular yang temporer, dialisis dengan
kateter subklavia atau femoral. Kebutuhan dialisis pada pasien
nonoligurik dapat disesuaikan dengan kebutuhan individual.
 Pasien dengan gagal ginjal kronis semua manifestasi yang reversibel dari
uremia harus dikontrol. Dialisis pre operatif pada hari pembedahan atau
hari sebelumnya dibutuhkan. Pasien dengan gagal ginjal kronis yang
menjalani operasi elektif harus menerima perawatan dialisis sehari
sebelum operasi yang direncanakan untuk mengoptimalkan elektrolit,
metabolisme, dan status volume. Anemia sering terjadi pada pasien
dengan gagal ginjal kronis dan sebagian disebabkan oleh penurunan
produksi eritropoietin. Pasien dengan disfungsi ginjal berada pada posisi
peningkatan risiko perdarahan karena mereka telah mengubah fungsi
trombosit dan penurunan kadar dari faktor von Willebrand. Dialisis pra
operasi dapat diindikasikan jika dicurigai uremia.
 Evaluasi fisik dan laboratorium harus di fokuskan pada fungsi jantung
dan pernafasan. Tanda–tanda kelebihan cairan atau hipovolemia harus
dapat diketahui. Kekurangan volume intravaskuler sering disebabkan
oleh dialisis yang berlebihan. Perbandingan berat pasien sebelum dan
sesudah dialisis mungkin membantu.
 Analisa gas darah juga berguna dalam mendeteksi hipoksemia dan
mengevaluasi status asam-basa pada pasien dengan keluhan sesak nafas.
 Transfusi pre operatif sel darah merah harusnya diberikan pada pasien

12
dengan anemia berat (hemoglobin <6-7 g/dL) atau ketika kehilangan
darah sewaktu operasi diperkirakan. Transfusi cepat beberapa unit sel
darah merah yang dikemas dapat meningkatkan kadar kalium secara
signifikan. Asidosis metabolik, yang sering terjadi pada gagal ginjal,
memperburuk hiperkalemia yang diinduksi transfusi dan dapat memicu
aritmia.
 Waktu perdarahan dan pembekuan dianjurkan, khususnya jika ada
pertimbangan regional anestesi. Serum elektrolit, BUN, dan pengukuran
kreatinin dapat menentukan keadekuatan dialisis.
 Pengukuran glukosa dibutuhkan dalam mengevaluasi kebutuhan
potensial untuk terapi insulin perioperatif.
 Perlambatan pengosongan lambung akibat sekunder dari neuropati
otonom pada beberapa pasien bisa mempengaruhi pasien-pasien GGK
untuk terjadinya aspirasi pada perioperative
 Terapi obat preoperatif diberikan secara hati-hati pada obat yang
dieliminasi di ginjal. Penyesuaian dosis dan pengukuran kadar darah (jika
memungkinkan) dibutuhkan untuk mencegah toksisitas obat.7

Obat yang berpotensial berakumulasi secara signifikan pada pada pasien


dengan gangguan ginjal :
 Muscle relaxants : Metocurine, Gallamine, Decamethonium,
Pancuronium, Pipecurium, Doxacurium, Alcuronium
 Anticholinergics : Atropine, Glycopyrrolate
 Metoclopramide
 H2 reseptor antagonists : Cimetidine, Ranitidine
 Digitalis
 Diuretics
 Calcium Channel antagonis : Nifedipine, Diltiazem
 β – Adrenergic blockers : Propanolol, Nadolol, Pindolol, Atenolol
 Anti Hipertensi : Clonidine, Methyldopa, Captporil, Enalapril,

13
Lisinopril, Hydralazine, Nitroprusside (Thiocyanate)
 Antiarrhytmics : Procainamide, Disopyramide, Bretylium, Tocainide,
Encainide (Genetically determined)
 Bronchodilators : Terbutalline
 Psychiatric : Lithium
 Antibiotics : Penicillins, Cephalosporin, Aminoglycosid, Tetracycline,
Vancomycin
 Anticonvulsants : Carbamazepine, Ethosuximide, Primidone3

b) Evaluasi Premedikasi
 Pada pasien yang relatif stabil dan sadar dapat diberikan pengurangan
dosis dari opioid atau benzodiazepin.
 Profilaksis untuk aspirasi diberikan H2 blocker diindikasikan pada
pasien mual, muntah atau perdarahan saluran cerna.
 Pengobatan preoperatif terutama obat anti hipertensi harus dilanjutkan
sampai pada saat pembedahan.9
c) Evaluasi Intraoperatif

Monitoring

 Intra-arterial, vena sentral, dan arteri paru membutuhkan perhatian,


terutama pada pasien dibawah prosedur dengan pergeseran cairan yang
luas, volume intravaskuler sering sulit disesuaikan hanya dari tanda
klinis.
 Monitoring tekanan darah intra-arteri secara langsung diindikasikan
pada pasien yang hipertensinya tidak terkontrol.
 Monitoring invasif yang agresif diindikasikan khususnya pada pasien
diabetes dengan penyakit ginjal berat yang sedang menjalani
pembedahan mayor, pasien jenis ini mungkin memiliki tingkat
morbiditas 10 kali lebih banyak pada pasien diabetes tanpa penyakit

14
ginjal. Yang terakhir ini menunjukkan insiden yang tinggi pada
komplikasi kardiovaskular.
 Pemantauan elektrokardiogram sangat penting untuk gelombang T
memuncak atau pelebaran kompleks QRS. Hiperkalemia dapat
memburuk dengan penggunaan relaksan otot depolarisasi, yaitu
suksinilkolin, kecuali kadar kalium serum normal selama preoperasi.
 Hiperventilasi pada pasien dengan ventilasi mekanis membantu
menormalkan pH tetapi pasien yang bernapas spontan sering tidak
dapat mempertahankan ventilasi yang memadai untuk mengembalikan
pH normal. Penting untuk dikenali kegagalan pernapasan yang akan
datang yang disebabkan oleh peningkatan pernapasan dini dan
pentingnya tindakan intubasi terjadi kolaps kardiorespirasi.3,11,12

Induksi

 Pasien dengan mual, muntah atau perdarahan saluran cerna harus


menjalani induksi cepat dengan tekanan krikoid.
 Dosis dari zat induksi harus dikurangi untuk pasien dengan gangguan
fungsi ginjal. Thiopental 2-3 mg/kg atau propofol 1-2 mg/kg sering
digunakan. Etomidate, 0,2-0,4 mg/kg dapat dipertimbangkan pada
pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil.
 Opioid, beta-bloker (esmolol), atau lidokain bisa digunakan untuk
mengurangi respon hipertensi pada intubasi.
 Succinylcholine, 1,5 mg/kg, bisa digunakan untuk intubasi endotrakeal
jika kadar kalium darah kurang dari 5 meq/L. Rocuronium
(0,6mg/kg),cisatracurium (0,15 mg/kg), atracurium (0,4 mg/kg) atau
mivacurium (0,15 mg/kg) dapat digunakan untuk mengintubasi pasien
dengan hiperkalemia. Atracurium pada dosis ini umumnya
mengakibatkan pelepasan histamin. Vecuronium, 0,1 mg/kg tepat
digunakan sebagai alternatif, namun efeknya harus diperhatikan.3,11

15
Pemeliharaan

 Tehnik pemeliharaan yang ideal harus dapat mengkontrol hipertensi


dengan efek minimal pada cardiac output, karena peningkatan cardiac
output merupakan kompensasi yang prinsipil dalam mekanisme anemia.
 Anestesi volatil, nitrous oxide, fentanyl, sufentanil, alfentanil, dan
morfin dianggap sebagai agen pemeliharaan yang memuaskan.
 Isoflurane dan desflurane merupakan zat yang mudah menguap pilihan
karena mereka memiliki efek yang sedikit pada cardiac output.
 Nitrous oxide harus digunakan secara hati-hati pada pasien dengan
fungsi ventrikel yang lemah dan jangan digunakan pada pasien dengan
konsentrasi hemoglobin yang sangat rendah (< 7g/dL) untuk pemberian
100% oksigen.
 Meperidine bukan pilihan yang bagus oleh karena akumulasi dari
normeperidine. Morfin boleh digunakan, namun efek kelanjutannya
perlu diperhatikan.
 Ventilasi terkontrol adalah metode teraman pada pasien dengan gagal
ginjal. Ventilasi spontan dibawah pengaruh anestesi yang tidak
mencukupi  dapat menyebabkan asidosis respiratorik yang mungkin
mengeksaserbasi acidemia yang telah ada, yang dapat menyebabkan
depresi pernafasan yang berat dan peningkatan konsentrasi kalium di
darah yang berbahaya. Alkalosis respiratorik dapat merusak karena
mengeser kurva disosiasi hemoglobin ke kiri, dan mengeksaserbasi
hipokalemia yang telah ada, dan menurunkan aliran darah otak.3,11

Terapi Cairan

16
 Operasi superfisial melibatkan trauma jaringan yang minimal
memerlukan penggantian cairan dengan 5 % dekstrosa dalam air.
Prosedur ini berhubungan dengan kehilangan cairan yang banyak atau
pergeseran yang membutuhkan kristalloid yang isotonik, koloid, atau
keduanya.
 Ringer laktat sebaiknya dihindari pada pasien hiperkalemia yang
membutuhkan banyak cairan, karena kandungan kalium (4 meq/L),
normal saline dapat digunakan. Cairan bebas glukosa digunakan karena
intoleransi glukosa yang berhubungan dengan uremia.
 Kehilangan darah diganti dengan packed red blood cells. Penggunaan
perangkat penghemat sel untuk pra-cuci sel darah merah atau
hemodialisis venovenosa intraoperatif (CVVHD) harus
dipertimbangkan pada pasien dengan fungsi ginjal terbatas yang
memerlukan transfusi darah untuk mencegah komplikasi dari
hiperkalemia.8,11
d) Postoperatif
Tujuan management postoperative adalah pemeliharaan
normovolemia, kestabilan sistem kardiovaskular, oksigen tambahan untuk
mengimbangi kadar hemoglobin yang rendah, dan analgesik yang tepat.
Operasi terbuka biasanya berhubungan secara signifikan dengan nyeri
postoperatif. Nyeri postoperatif biasanya ringan sampai sedang.Analgesi
yang bagus penting untuk mobilisasi awal dan mengurangi insidensi
komplikasi respirasi sesudah operasi. Infus dengan campuran dosis rendah
anastesi lokal dan opioid memberikan pengurangan nyeri yang terbaik,
meskipun pemberian secara bolus dapat juga dilakukan. Fentanyl
merupakan obat yang cocok untuk pasien dengan gagal ginjal dimana
fentanyl dimetabolisme di hepar. Morfin dapat dipakai dengan hati-hari,
pengurangan pada dosis dan interval waktu diantara dua dosis harus dibuat
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (biasanya 0,5 mg bolus dengan
interval waktu 10 menit). NSAIDs harus dihindari pada pasien ini
disebabkan potensial renal toxicity dan erosi traktus gastrointestinal.10,11,12

17
Kesimpulan

 Ginjal memiliki fungsi bermacam-macam termasuk filtrasi glomerulus,


reabsorbsi dan sekresi dari tubulus, pengenceran dan pemekatan urin,
pengasaman urin, serta memproduksi dan memetabolisme hormon.
Adanya gangguan fungsi ginjal merupakan spektrum luas dari suatu
penyakit Dari semua fungsi tersebut, parameter untuk mengetahui fungsi
dan progesi penyakit ginjal adalah laju filtrasi glomerulus dan kemampuan
eksresi.
 Ekskresi ginjal untuk eliminasi obat harus dipertimbangkan ketika
merencanakan anestesi untuk pasien disfungsi ginjal. Obat dengan
toksisitas ginjal, metabolism aktif, dan berikatan dengan protein harus
dalam pengawasan karena penurunan ikatan protein pada pasien disfungsi
ginjal bisa mempercepat efek–efek farmakologi. Praoperasi, intraoperasi,
dan posoperasi harus dilakukan untuk mempertahankan normovolemia
dan normotensi untuk menghindari penurunan perfusi ginjal.

18
19
Daftar Pustaka

1. Setiati. Siti, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 2015. Jakarta :
Penerbitu Buku EGC
2. Latief. Said, et al. Buku Anestesiologi. Edisi Kedua. 2012. Jakarta :
Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.

3. GE Morgan, MS Mikail. Anesthesia for Patien with Renal Disease,.


Clinical Anesthesiology. Lange Medical Books / Mc Graw-Hill, 4th ed.
New York; 2013. p: 742-754
4. Luyckx, A. et al. The global burden of kidney disease and the sustainable
development goals. 2014. availablefrom:
https://www.who.int/volumes/96/6/17-206441.pdf
5. Soemasto, A. et al. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid II. Edisi IV. 2016.
Jakarta: Penerbit Media Aesculapius

6. Hart, E. M. 2006. Anaesthesia for Renal Surgery. Available at:


http://www.anaesthesiauk.com/. Accessed on September 7th, 2014

7. Roizen MF, Foss JF, Fischer SP. Preoperative evaluation. In: Miller
RD, editor. Anesthesia. 5th Edition. Philadelphia: Churchill-
Livingstone; 2000.

8. Wegener, G. et al. Anesthetic Concerns in Patients Presenting with Renal


Failure. 2010. New York. Available at:
https://www.researchgate.net/publication/43182611_Anesthetic_Concerns
_in_Patients_Presenting_with_Renal_Failure
9. Mahon Padraig, Shorten George D. Renal Disease. Preoperative
Assesment and Management. The Lippincot Williams and Wilkins, 2nd
Edition. 2007.p : 197 - 219
10. Kohl JL. Anesthesia for Patient with Renal Failure. Available at:
http://www.aana.com/newsandjournal/Documents/renal_failure_1085_p43
1.pdf. Accessed on September 7th, 2014.
11. Rehata, M. et al. Anestesiologi dan Terapi Intensif Buku Teks KATI-
PERDATIN. Edisi Pertama. 2018. Jakarta : Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama
12. House, A. et al. Pharmacological management of cardiorenal syndromes.
Int J Nephrol 2011;2011:630.

Anda mungkin juga menyukai