ILEUS OBSTRUKTIF
Oleh :
DAFTAR ISI............................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................2
2.1 Anatomi.....................................................................................................................2
2.2 Fisiologi.....................................................................................................................6
2.3 Definisi Ileus Obstruktif............................................................................................8
2.4 Etiologi Ileus Obstruktif............................................................................................8
2.5 Klasifikasi Ileus Obstruktif......................................................................................11
2.6 Patofisiologi.............................................................................................................12
2.7 Manifestasi Klinis....................................................................................................18
2.8 Diagnosis.................................................................................................................19
2.9 Tatalaksana..............................................................................................................29
2.10 Komplikasi.............................................................................................................32
2.11 Prognosis...............................................................................................................32
BAB III KESIMPULAN.......................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................34
i
BAB I
PENDAHULAN
Ileus diklasifikasikan menjadi dua yaitu ileus obstruktif dan ileus paralitik.
Baik ileus obstruktif maupun ileus paralitik mempunyai gambaran khas yang
berbeda. Mengingat penanganan ileus dibedakan menjadi operatif dan konservatif.
Operasi juga sangat ditentukan oleh beberapa faktor yaitu, ketersediaan sarana dan
prasarana yang sesuai, keterampilan dokter, dan kemampuan ekonomi pasien.
Faktor-faktor tersebut juga akan mempengaruhi pola manajemen pasien ileus yang
akhirnya berpengaruh pada mortalitas ileus.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
a. Usus Halus
Usus halus berbentuk tubuler, dengan panjang 6 meter pada orang
dewasa, yang terbagi atas tiga segmen yaitu duodenum, jejunum, dan
ileum. Duodenum merupakan segmen yang paling proksimal, terletak
retroperitoneal berbatasan dengan kaput dan batas inferior dari korpus
pancreas. Duodenum dipisahkan dari dari gaster oleh adanya pylorus dari
jejunum oleh batas ligamentum Treitz. Jejunum dan ileum terletak di
intraperitoneal dan bertambat ke retroperitoneal melalui mesenterium. Tak
ada batas anatomi yang jelas untuk membedakan antara jejunum dan
ileum; 40% panjang dari jejunoileal di yakini sebagai jejunum dan 60%
sisanya sebagai ileum. Ileum berbatasan dengan sekum dikatup ileosekal.5
Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter,
1-2 meter adalah bagian usus kosong atau disebut juga jejunum. Usus
penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada sistem
pencernaan manusia, ini memiliki panjang sekitar 2-4 meter dan terletak
setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu atau
appendiks. Ileum memiliki pH atara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan
berfungsi menyerap vitamin B12 dan dan garam-garam empedu.5
Usus halus terdiri atas lipatan mukosa yang disebut plika sirkularis
atau valvula conniventes yang dapat terlihat dengan mata telanjang.
Lipatan ini juga terlihat secara radiografi dan membantu membedakan
usus halus dan kolon. Lipatan ini akan terlihat lebih jelas pada bagian
proksimal usus halus daripada distal. Hal lain yang juga dapat digunakan
untuk membedakan bagian proksimal dan distal usus halus ialah
sirkumferensial yang lebih besar, dinding yang lebih tebal, lemak
mesentrial yang lebih sedikit dan vasa rekta yang lebih panjang.
2
Pemeriksaan makroskopis dari usus halus juga didapatkan adanya folikel
limfoid. Folikel tersebut, berlokasi di ileum, juga disebut Peyer Patches. 5
b. Usus Besar
Usus besar terdapat diantara anus dan ujung terminal ileum, dimulai
dair ileocecal ke anus dan rata-rata panjangnya 1,5m dan lebarnya 5-6cm.
Usus besar terdiri atas segmen awal (sekum), dan kolon asendens,
tranversum, desenden, sigmoid, rectum, dan anus. Sisa makanan dan yang
tidak tercerna dan tidak diabsorpsi di dalam usus halus didorong ke dalam
usus besar oleh gerak peristaltik kuat muskularis eksternus usus halus.
Residu yang memasuki usus besar itu berbentuk semi cair; saat mencapai
bagian akhir usus besar, residu ini telah menjadi semi solid sebagaimana
feses umumnya. Meskipun terdapat usus halus, sel-sel goblet pada epitel
usus besar jauh lebih banyak dibandingkan dengan usus halus. Sel goblet
ini juga bertambah dari dari bagian sekum ke kolon sigmoid. Usus besar
ini tidak memiliki plika sirkularis maupun vili intestinales, dan kelenjar
intestinalterletak lebih dalam dari pada usus halus.6
3
Gambar 2. Anatomi usus besar.6
c. Suplai Vaskuler
Usus halus diperdarahi oleh arteri mesenterika superior yang
merupakan cabang dari aorta tepat dibawah arteri soelika. Arteri ini
memperdarahi seluruh usus halus kecuali duodenum yang sebagian
atasnya diperdarahi oleh arteri pankreotikoduodenalis superior, suatu
cabang dari arteri gastroduodenalis. Sedangkan separuh bawah duodenum
diperdarahi oleh arteri pankreotikoduodenalis inferior, suatu cabang
cabang arteri mesenterika superior. Pembuluh-pembuluh darah yang
memperdarahi jejunum dan ileum ini beranastomosis satu sama lain untuk
membentuk serangkaian arcade. Bagian ileum yang terbawah juga
diperdarahi oleh arteri ileocolica. Darah dikembalikan lewat vena
mesentericus superior yang menyatu dengan vena lienalis membentuk
vena porta.7
Pada usus besar ateri mesenterika superior memperdarahi belahan
bagian kanan (sekum, kolon ascenden, deua pertiga proksimal kolon
tranversum) : (1) Ileokolika, (2) kolika dekstra, (3) kolika media, dan arteri
mesenterika inferior memperdarahi bagian kiri (sepertiga distal kolon
tranversum, kolon desenden, dan sigmoid, dan bagian proksimal rectum) :
(1) kolika sinistra, (2) sigmoidalis, (3) rektalis superior.5
4
d. Pembuluh limfe
Pembuluh limfe duodenum mengikuti arteri dan mengalirkan cairan
limfe; (1) ke atas melalui nodi lymphatici pancreoticoduodenalis ke nodi
lympahatici gastroduodenalis dan kemudian ke nodi limpatici coeliacus
dan (2) kebawah melalui nodi lymphatici pancreoticoduodenalis ke nodi
lymphatici mesenteries superior sekitar pangkal aterteri mesenterika
superior.7
Pembuluh limfe jejunum dan ileum berjalan melalui banyak nodi
lymphatici mesentricus dan akhirnya mencapai nodi lymphatici
mesentericus superior, yang terletak sekitar pangkal arteri mesenterikus
superior. Pembuluh limfe sekum berjalan melewati banyak nodi
lymphatici mesentericus dan akhirnya mencapai nodi lymphatici
mesenterikus superior. Pembuluh limfe untuk kolon mengalirkan cairan
limfe ke kelenjar limfe yang terletak di sepanjang perjalanan vena kolika.
Untuk kolon ascendens dan dua pertiga dari kolon tranversum cairan
limfenya akan masuk ke nodi limphatici mesenterikus superior, sedangkan
yang berasal dari sepertiga distal kolon tranversum dan kolon desenden
akan masuk ke nodi limphatici mesenterikus inferior.7
e. Persarafan
Saraf-saraf duodenum berasl dari saraf simpatis dan parasimpatis
(vagus) dari pleksus mesenterikus superior dan pleksus coelicus. Saraf
untuk jejunum dan ileum berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis
(nervus vagus) dari pleksus mesenterikus superior.7 Rangsangan
parasimpatis merangsang aktivitas sekresi dan pergerakan, sedangkan
rangsang simpatis menghambat nyeri, sedangkan serabut-
serabutparasimpatis mengatur refleks usus. Suplai saraf intrinsic, yang
menimbulkan fungsi motorik, berjalan melalui pleksus Auerbach yang
terletak dalam lapisan muskularis, dan pleksus Meisener di lapisan
submukosa.8
5
Persarafan usus besra dilakukan oleh system saraf otonom dengan
pengecualian pada sfingter eksterna yang berada di bawah control
volunteer.8 Sekum, appendiks dan kolon ascendens dipersarafi oleh serabut
saraf simpatis dan parasimpatis nervus vagus dari pleksus saraf
mesenterika superior. Pada kolon tranversum dipersarafi oleh saraf
simpatis nervus vagusdan saraf parasimpatis nervus pelvikus. Serabut
simpatis berjalan dari pleksus mesenterikus superior dan inferior. Serabut-
serabut nervus vagus hanya mempersarfi dua pertiga proksimal kolon
tranversum; sepertiga distal dipersarafi oleh saraf parasimpatis nervus
pelvikus. Sedangkan pada kolon desenden dipersarafi serabut-serabut
simpatis dari pleksus saraf mesenterikus inferior dan saraf parasimpatis
sekresi dan kontraksi, serta perangsangan sfingter rectum, sedangkan
perangsangan parasimpatis mempunyai efek berlawanan.8
2.2 Fisiologi
Usus halus mempunyai dua fungsi utama yaitu pencernaan dan absorbsi
nutrisi, air, elektrolit dan mineral. Proses pencernaan dimulai dari dalam mulut
dan lambung oleh kerja ptyalin, asam klorida dan pepsin terhadap makana
yang masuk. Proses dilanjutkan di dalam duodenum terutama oleh kerja
enzim-enzim pancreas yang menghidrolisis karbohidrat, lemak dan protein
menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Adanya bikarbonat dalam sekret
pancreas membantu menetralkan asam daDen memberikan pH optimal untuk
kerja enzim-enzim. Sekresi empedu dari hati membantu proses pencernaan
dengan mengemulsikan lemak sehingga memberikan permukaan yang lebih
luas untuk kerja lipase pancreas.9
Proses pencernaan disempurnakan oleh sejumlah enzim dalam getah usus
(sukus enterikus). Banyak di antara enzim-enzim ini terdapat pada brush
border vili dan mencernakan zat-zat makanan sambil di absorbsi. Pergerakan
segmental usus halus akan mencampur zat-zat yang dimakan dengan secret
pancreas, hepatobiliar dan sekresi usus dan pergerakan peristaltic mendorong
isi dari salah satu ujung ke ujung lainya dengan kecepatan yang sesuai untuk
6
absorbsi optimal dan suplai kontinyu isi lambung. Absorbsi adalah
pemindahan hasil akhir pencernaan karbohidrat, lemak dan protein melalui
dinding usus ke sirkulasi darah dan limfe untuk digunakan oleh sel-sel tubuh.
Selain itu, air, elektrolit dan vitamin juga diabsorbsi. Pergererakan usus halus
berfungsi agar proses digesti dan absorbs bahan-bahan makanan dapat
berlangsung secara maksimal. Pergerakan usus halus terdiri dari; pergerakan
mencampur (mixing) atau pergerakan segmentasi yang mencampur makanan
dengan enzim-enzim pencernaan agar mudah untuk dicerna dan diabsorbsi.
Pergerakan polpusif atau gerak peristaltic yang mendorong makanan kea rah
usus besar.10
Kontraksi usus halus disebabkan oleh aktivitas otot polos usus halus yang
terdiri dari 2 lapis, yaitu lapisan otot longitudinal dan otot sirkuler. Otot yang
terutama berperan pada kontraksi segmentasi untuk mencampur makanan
adalah otot longitudinal. Bila bagian mengalami distensi oleh makanan akan
kembali ke posisinya semula. Gerakan ini berulang terus menerus sehingga
makanan akan bercampur dengan enzim pencernaan dan mengadakan
hubungan dengan mukosa usus halus dan selanjutnya di absorbs.9
Kontraksi segmentasi berlangsung oleh karena adanya gelombang lambat
yang merupakan basic electric rhytm (BER) dari otot polos saluran cerna.
Proses kontraksi segmentasi berlangsung 8 sampai 12 kali/menit pada
duodenum dan sekitar 7 kali/menit pada ileum. Gerakan peristaltic pada usus
halus mendorong makanan menuju kearah kolon dengan kecepatan 0,5 sampai
2 cm/detik, dimana pada bagian proksimal lebih cepat daripada bagian distal.
Gerakan peristaltic ini sangat lemah dan biasanya menghilang setelah
berlangsung sekitar 3 sampai 5 cm.9
Pengaturan frekuensi dan kekuatan gerakan segmentasi terutama diatur
oleh adanya gelombang lambat yang menghasilkan potensial aksi yang
disebabkan oleh adanya sel-sel pace maker yang terdapat pada dinding usus
halus, diamana aktivitas dari sel-sel ini dipengaruhi oleh sitem saraf dan
hormonal. Aktivitas gerakan peristaltic akan meningkat setelah makan. Hal ini
sebagian besar disebabkan oleh masuknya makanan ke duodenum sehingga
7
menimbulkan reflex peristaltic yang akan menyebar ke dinding usus halus.
Sebaliknya sekretindan glucagon menghambat pergerakan usus halus. Setelah
makanan mencapai katup ileocecal, makan kadang-kadang terhambat selama
beberapa jam sampai seorang makan lagi. Pada saat tersebut, reflex gastrial
meningkatkan peristaltik dan mendorong makanan melewati katup ileocaecal
menuju kolon. Makan yang menetap untuk beberapa lama pada daerah ileum
oleh sfingter ileocaecal berfungsi agar makanan dapat diabsorbi pada daerah
ini. Katup ileocaecal berfungsi untuk mencegah makanan kembali ke caecum
masuk ke ileum.10
Fungsi sfingter ileocaecal diatur oleh mekanisme umpan balik. Bila
tekanan di dalam caecum meningkat sehingga terjadi dilatasi, maka kontraksi
sfingter ileocaecal akan meningkat dan gerakan peristaltic ileum akan
berkurang sehingga memperlambat pengosongan ileum. Bila terjadi
peradangan pada caecum atau pada appendiks makan sfingter ileocaecal akan
mengalami spasme, dan ileum akan mengalami paralisis sehingga
pengosongan ileum terhambat.10
11
Untuk keperluan klinis dan berdasarkan letak sumbatan, ileus obstruktif
dibagi dua:16
1. Ileus obstruktif usus halus, yaitu obstruksi letak tinggi dimana
mengenai duodenum, jejunum dan ileum
2. Ileus obstruktif usus besar, yaitu obstruksi letak rendah yang mengenai
kolon, sigmoid dan rectum.
2.6 Patofisiologi
Respon Usus Halus Terhadap Obstruksi
Normalnya, sekitar 2 L asupan cairan dan 8 L sekresi dari gaster,
intestinal dan pankreaticobilier ditansfer ke intestinal setiap harinya.
Meskipun aliran cairan menuju ke intestinal bagian proksimal, sebagian
besar cairan ini akan diabsorbsi di intestinal bagian distal dan kolon. Ileus
obstruktif terjadi akibat akumulasi cairan intestinal di proksimal daerah
obstruksi disebabkan karena adanya gangguan mekanisme absorbsi normal
proksimal daerah obstruksi serta kegagalan isi lumen untuk mencapai
daerah distal dari obstruksi. Akumulasi cairan intralumen proksimal
daerah obstruksi terjadi dalam beberapa jam dan akibat beberapa faktor.
Asupan cairan dan sekresi lumen yang terus bertambah terkumpul dalam
intestinal. Aliran darah meningkat ke daerah intestinal segera setelah
terjadinya obstruksi, terutama di daerah proksimal lesi, yang akhirnya akan
meningkatkan sekresi intestinal. Hal ini bertujuan untuk menurunkan
kepekaan vasa splanknik pada daerah obstruksi terhadap mediator
vasoaktif. Pengguyuran cairan intravena juga meningkatkan volume cairan
intralumen. Sekresi cairan ke dalam lumen terjadi karena kerusakan
mekanisme absorpsi dan sekresi normal. Ileus obstruktif menyebabkan
dilatasi proksimal usus akibat akumulasi sekresi GI dan udara yang
tertelan. Dilatasi usus ini merangsang aktivitas sekretori sel, menyebabkan
akumulasi lebih cair. Hal ini menyebabkan peningkatan peristaltik atas dan
di bawah obstruksi, dengan diare dan flatus awal perjalanan penyakit.
12
Distensi lumen menyebabkan terjadinya kongestif vena, edema
intralumen, dan iskemia.
Gas intestinal juga mengalami akumulasi saat terjadinya ileus
obstruktif. Sebagian kecil dihasilkan melalui netralisasi bikarbonat atau
dari metabolisme bakteri. Gas di Intestinal terdiri atas Nitrogen (70%),
Oksigen (12%), dan Karbon Dioksida (8%), yang komposisinya mirip
dengan udara bebas. Hanya karbon dioksida yang memiliki cukup tekanan
parsial untuk berdifusi dari lumen.
Intestinal, normalnya, berusaha untuk membebaskan obstruksi
mekanik dengan cara meningkatkan peristaltik. Periode yang terjadi ialah
berturut-turut: terjadinya hiperperistaltik, intermittent quiescent interval,
dan pada tingkat akhir terjadi ileus. Bagian distal obstruksi segera menjadi
kurang aktif. Obstruksi mekanik yang berkepanjangan menyebabkan
penurunan dari frekuensi gelombang - lambat dan kerusakan aktivitas
gelombang spike, namun intestinal masih memberikan respon terhadap
rangsangan. Ileus dapat terus menetap bahkan setelah obstruksi mekanik
terbebaskan.
Tekanan intralumen meningkat sekitar 20 cmH2O, sehingga
menyebabkan aliran cairan dari lumen ke pembuluh darah berkurang dan
sebaliknya aliran dari pembuluh darah ke lumen meningkat. Perubahan
yang serupa juga terjadi pada absorbsi dan sekresi dari Natrium dan
Khlorida. Namun, peningkatan tekanan intralumen tidak selalu terjadi dan
mungkin terdapat mekanisme lain yang menyebabkan perubahan pada
mekanisme sekresi. Peningkatan sekresi juga dipengarui oleh hormon
gastrointestinal, seperti peningkatan sirkulasi vasoaktif intestinal
polipeptida, prostaglandin, atau endotoksin.
Peningkatan volume intralumen menyebabkan terjadinya distensi
intestinal di bagian proksimal obstruksi, yang bermanifestasi pada mual
dan muntah. Proses obstruksi yang berlanjut, kerusakan progresif dari
proses absorbsi dan sekresi semakin ke proksimal. Selanjutnya, obstruksi
mekanik ini mengarah pada peningkatan defisit cairan intravaskular yang
13
disebabkan oleh terjadinya muntah, akumulasi cairan intralumen, edema
intramural, dan transudasi cairan intraperitoneal. Selain itu dapat
menyebabkan kompresi limfatik mukosa, menyebabkan dinding usus
lymphedema. Muntah terjadi jika tingkat obstruksi proksimal. Hilangnya
cairan dan dehidrasi berat dan berkontribusi terhadap peningkatan
morbiditas dan mortalitasPemasangan nasogastric tube malah
memperparah terjadinya defisit cairan melalui external loss. Hipokalemia,
hipokhloremia, alkalosis metabolik merupakan komplikasi yang sering
dari obstruksi letak tinggi. Hipovolemia yang tak dikoreksi dapat
mengakibatkan terjadinya insufisiensi renal, syok, dan kematian.
14
Strangulasi
Obstruksi strangulasi adalah hilangnya aliran darah di segmen
obtruksi dari intestinal. Hal ini dapat terjadi karena adanya penekanan
langsung dari vasa mesenteric atau sebagai akibat perubahan lokal pada
dinding intestinal. Komplikasi ini sering berhubungan dengan obstruksi
yang disebabkan oleh hernia dan volvulus. Obstruksi strangulasi pada
kolon paling sering disebabkan oleh volvulus. Iskemia intramural dapat
terjadi karena berbagai sebab. Distensi dan peningkatan tekanan pada
intramural dapat menyebabkan kongesti dari vena, kebocoran kapiler,
edema dinding usus besar dan perdarahan serta thrombosis dari arteri dan
vena. Peningkatan pertumbuhan bakteri terjadi dalam beberapa jam setelah
strangulasi. Hal ini menyebabkan produksi toksin intralumen dan dapat
merangsang pelepasan mediator vasoaktif seperti prostaglandin. Mukosa
dari intestinal lebih peka terhadap iskemia dan beberapa faktor tampaknya
memainkan peranan penting untuk mendukung terjadinya iskemia,
termasuk hipoksia, protease pankreas dan radikal bebas. Mukosa pada
intestinal lebih peka terhadap terjadinya iskemia dibandingkan mukosa
pada kolon. Saat terjadi nekrosis mukosa, bakteri dan toksin dapat dengan
segera berpindah tempat dari dinding intestinal menuju ke cavum
peritoneal, limfe pada mesenterikum, dan sirkulasi sistemik. Hal ini dapat
menyebabkan iskemia, sepsis, perforasi frank yang dapat disertai dengan
peritonitis dan kematian akibat syok sepsis. Gut iskemia dan terjadinya
reperfusion juga mendukung terjadinya gagal organ, seperti paru.
15
Tabel 2. Perbedaan ileus obstruktif simple dan strangulate.1
Volvulus
Terjadi saat obstruksi terdapat di dua tempat. Volvulus merupakan
sebab yang paling sering dan dapat juga menyebabkan terjadinya
perputaran mesenterium. Obstruksi di bagian distal dari usus besar juga
dapat menyebabkan terjadinya closed loop obstruction jika katup ileocekal
masih tersisa. Saat tekanan intralumen di segmen obstruksi meningkat,
sekresi cairan ke dalam lumen meningkat sementara absorbsinya menurun.
Kepentingan klinis yang mungkin terjadi akibat fenomena ini ialah
meningkatnya resiko kejadian strangulasi. Distensi pada obstruksi gelung
tertutup terjadi sangat cepat sehingga biasanya strangulasi terjadi lebih
dahulu bahkan sebelum gejala klinis dari obstruksi tampak jelas.
Obstruksi kolon
Patofisiologi terjadinya obstruksi pada kolon berbeda dengan
intestinal. Kolon khususnya yang bagian distal memiliki kemampuan yang
terbatas pada absorbsi. Akumulasi Cairan dan gas di kolon terjadi lebih
lambat karena posisinya yang berada paling distal dari saluran pencernaan
dan karena sebagian besar cairan telah diabsorbsi di usus halus. Distensi
yang terjadi secara perlahan ini memungkinkan kolon untuk beradaptasi
dan dekompresi dapat terjadi karena katup ileocecal yang inkompeten.
Seperti disebutkan sebelumnya, katup ileocecal yang kompeten dapat
menyebabkan terjadinya closed loop obstruction. Dilatasi cecal dan
penipisan dinding cecum akibat penambahan diameter dapat meningkatkan
resiko terjadinya rupture. Rupture dapat disebabkan oleh iskemia yang
terjadi pada dinding kolon, diastasis dari lapisan otot, ataupun karena
invasi bakteri di dinding kolon. Obstruksi kolon berakibat pada motilitas
abnormal namun tidak hiperperistaltik.
17
2.7 Manifestasi Klinis
Obstruksi dapat diklasifikasikan parsial atau totalis, sederhana atau
strangulasi. Tidak ada gambaran klinis khas untuk mendeteksi awal obstruksi
strangulasi. Nyeri perut sering digambarkan sebagai kram perut dan sifatnya
intermiten (berkala/ hilang timbul) merupakan gejala yang paling menonjol
pada obstruksi sederhana. Seringkali presentasi dapat menunjukan lokasi
perkiraan dan sifat obstruksi. Biasanya rasa sakit yang terjadi dalam jangka
waktu yang lebih singkat dan nyeri kolik disertai dengan muntah menandakan
obstruksi ileus bagian proksimal. Sedangkan pada nyeri yang lama (beberapa
hari), bersifat progresif, dan disertai dengan distensi abdomen merupakan
gejala khas pada obstruksi letaknya lebih distal. Perubahan karakter nyeri
dapat menunjukan perkembangan komplikasi yang lebih serius misalnya nyeri
yang menetap pada abdomen yang menandakan adaya strangulasi atau tanda
iskemik.19
Gejala utama dari obstruksi ialah nyeri kolik, mual dan muntah dan
obstipasi. Adanya flatus atau feses selama 6-12 jam setelah gejala merupakan
ciri khas dari obstruksi parsial. Nyeri kram abdomen bisa merupakan gejala
penyerta yang berhubungan dengan hipermotilitas intestinal proksimal daerah
obstruksi. Nyerinya menyebar dan jarang terlokalisir, namun sering
dikeluhkan nyeri pada bagian tengah abdomen. Saat peristaltik menjadi
intermiten, nyeri kolik juga menyertai. Saat nyeri menetap dan terus menerus
kita harus mencurigai telah terjadi strangulasi dan infark.5
Tanda-tanda obstruksi usus halus juga termasuk distensi abdomen yang
akan sangat terlihat pada obstruksi usus halus bagian distal ileum, atau distensi
bisa tak terjadi bila obstruksi terjadi di bagian proksimal usus halus, dan
peningkatan bising usus. Hasil laboratorium terlihat penurunan volume
intravaskuler, adanya hemokonsentrasi dan abnormalitas elektrolit. Mungkin
didapatkan leukositosis ringan.12
Muntah terjadi setelah terjadi obstruksi lumen intestinal dan menjadi lebih
sering saat telah terjadi akumulasi cairan di lumen intestinal. Derajat muntah
linear dengan tingkat obstruksi, menjadi tanda yang lebih sering ditemukan
18
pada obstruksi letak tinggi. Obstruksi letak tinggi juga ditandai dengan bilios
vomiting dan letak rendah muntah lebih bersifat malodorus.12
Kegagalan untuk defekasi dan flatus merupakan tanda yang penting
untuk membedakan terjadinya obstruksi komplit atau parsial. Defekasi masih
terjadi pada obstruksi letak tinggi karena perjalan isi lumen di bawah daerah
obstruksi. Diare yang terus menerus dapat juga menjadi tanda adanya
obstruksi partial.19
Tanda-tanda pada pemeriksaan fisik dapat saja normal pada awalnya,
namun distensi akan segera terjadi, terutama pada obstruksi letak rendah.
Tanda awal yang muncul ialah penderita segera mengalami dehidrasi. Massa
yang teraba dapat di diagnosis banding dengan keganasan, abses, ataupun
strangulasi. Auskultasi digunakan untuk membedakan pasien menjadi tiga
kategori : loud, high pitch dengan burst ataupun rushes yang merupakan tanda
awal terjadinya obstruksi mekanik. Saat bising usus tak terdengar dapat
diartikan bahwa obstruksi telah berlangsung lama, ileus paralitik atau
terjadinya infark. Seiring waktu, dehidrasi menjadi lebih berat dan tanda-tanda
strangulasi mulai tampak. Pemeriksaan lipat paha untuk mengetahui adanya
hernia serta rectal toucher untuk mengetahui adanya darah atau massa di
rectum harus selalu dilakukan.19
Tanda-tanda terjadinya strangulasi seperi nyeri terus menerus, demam,
takikardia, dan nyeri tekan bisa tak terdeteksi pada 10-15% pasien sehingga
menyebabkan diagnosis strangulasi menjadi sulit untuk ditegakkan. Pada
obstruksi karena strangulasi bisa terdapat takikardia, nyeri tekan lokal,
demam, leukositosis dan asidosis. Level serum dari amylase, lipase, lactate
dehidrogenase, fosfat, dan potassium mungkin meningkat. Penting dicatat
bahwa parameter ini tak dapat digunakan untuk membedakan antara obstruksi
sederhana dan strangulasi sebelum terjadinya iskemia irreversible.19
2.8 Diagnosis
Diagnosis ileus obstruktif tidak sulit; salah satu yang hampir selalu harus
ditegakkan atas dasar klinik dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta
19
pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan laboratorium harus dilihat sebagai
konfirmasi dan bukan menunda mulainya terapi yang seharusnya dilakukan
segera. Diagnosa ileus obstruktif diperoleh dari :
1. Anamnesis
Pada anamnesis ileus obstruktif usus halus biasanya sering dapat
ditemukan penyebabnya, misalnya berupa adhesi dalam perut karena
pernah dioperasi sebelumnya atau terdapat hernia.10 Pada ileus obstruktif
usus halus, kolik dirasakan di sekitar umbilkus, sedangkan pada ileus
obstruktif usus besar, kolik dirasakan di sekitar suprapubik. Muntah pada
ileus obstruktif usus halus berwarna kehijaun dan pada ileus obstruktif
usus besar onset muntah lama.10
Gejala lain yang mengikuti antara lain:
a. Mual dan muntah, berhubungan dengan adanya obstruksi di bagian
proksimal
b. Nyeri perut yang intermitan meningkat saat hiperperistaltik
c. Perut kembung
d. Diare, pada temuan awal
e. Konstipasi, temuan akhir berupa afflatus dan adefekasi
f. Demam dan takikardi, terjadi terlambat dan mungkin terkait dengan
adanya strangulasi
g. Riwayat operasi panggul, terapi radiasi sebelumnya atau keduanya
h. Riwayat keganasan, terutama carcinoma colon dan carcinoma ovarium
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Dapat ditemukan tanda-tanda generalisata dehidrasi, yang
mencakup kehilangan turgor kulit maupun mulut dan lidah kering.
Pada abdomen harus dilihat adanya distensi, parut abdomen, hernia
dan massa abdomen. Inspeksi pada penderita yang kurus/sedang juga
dapat ditemukan “darm contour” (gambaran kontur usus) maupun
“darm steifung” (gambaran gerakan usus), biasanya nampak jelas
20
pada saat penderita mendapat serangan kolik yang disertai mual dan
muntah dan juga pada ileus obstruksi yang berat. Penderita tampak
gelisah dan menggeliat sewaktu serangan kolik.
21
Pada ileus obstruktif pada auskultasi terdengar kehadiran
episodik gemerincing logam bernada tinggi dan gelora
(rush’)/borborygmi (suara seperti air dalam botol yang di kocok /
seperti suara ombak. Tetapi setelah beberapa hari dalam perjalanan
penyakit dan usus di atas telah berdilatasi, maka aktivitas peristaltik
(sehingga juga bising usus) bisa tidak ada atau menurun parah. Tidak
adanya nyeri usus bisa juga ditemukan dalam ileus paralitikus atau
ileus obstruktif strangulata.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada pasien yang diduga mengalami
obstruksi intestinal terutama ialah darah lengkap dan elektrolit, Blood
Urea Nitrogen, kreatinin dan serum amylase. Pemeriksaan elektrolit
diperlukan karena pasien mual muntah tujuannya untuk mengevaluasi
elektrolitnya. Berikut adalah tes laboratorium yang penting dan diperlukan
sebagai berikut: 22
A. Kimia serum : hasilnya biasanya normal atau sedikit meningkat.
B. BUN (Blood Ure Nitrogen) : Jika BUN meningkat, hal ini dapat
menunjukan penurunan volume cairan tubuh (dehidrasi).
C. Kreatinin : peningkatan kreatinin mengindikasikan adanya dehidrasi.
D. CBC (Complete Blood Count): Sel darah putih (WBC) mungkin
meningkat dengan pergeseran ke kiri biasanya terjadi pada ileus
obstruktif sederhana atau strangulasi, peningkatan hematokrit adalah
indikator kondisi cairan dalam tubuh berkurang (misalnya; dehidasi).
E. World Society of Emergency Surgery memperbaharui pedoman untuk
diagnosis dan manajemen dari ileus obstruksi adhesif, meliputi hal-hal
sebagai berikut: dengan tidak adanya strangulasi dan riwayat muntah
terus menerus atau gabungan tanda-tanda pada CT scan, pasien dengan
ileus obstruksi parsial dapat dengan aman dikelola dengan manajemen
non-operativ yaitu penggunaan tabung dekompresi atau dikenal
dengan WSCM (Water Soluble Contrast Medium) adalaha
rekomendasi kedua untuk tujuan diagnostic dan terapetik pada pasien
yang menjalani manajemen non-operativ. Manajemen non-operative
dapat diperpanjang hingga 72 jam tanpa adanya tanda-tanda
strangulasi atau peritonitis. Pemebdahan dianjurkan setelah 72 jam
manajemen nonoperativ tanpa ada perbaikan. Eksplorasi laparotomi
yang sering digunakan untuk pasien dengan ileus obstruktif strangulasi
23
dan setelah manajemen konservatif gagal, pendekatan laproskopi
terbuka sangat di anjurkan.
24
3) Posisi tegak atau dekubitus: Air-fluid levels
4) Posisi supine dapat ditemukan :
a) distensi usus
b) step-ladder sign
5) String of pearls sign, gambaran beberapa kantung gas kecil
yang berderet.
6) Coffee-bean sign, gambaran gelung usus yang distensi dan
terisi udara dan gelung usus yang berbentuk U yang dibedakan
dari dinding usus yang oedem.
7) Pseudotumor Sign, gelung usus terisi oleh cairan.
Ileus paralitik dan obstruksi kolon dapat memberikan
gambaran serupa dengan obstruksi usus halus. Temuan negatif
palsu dapat ditemukan pada pemeriksaan radiologis ketika letak
obstruksi berada di proksimal usus halus dan ketika lumen usus
dipenuhi oleh cairan saja dengan tidak ada udara. Dengan demikian
menghalangi tampaknya air-fluid level atau distensi usus. Keadaan
selanjutnya berhubungan dengan obstruksi gelung tertutup.
Meskipun terdapat kekurangan tersebut, foto abdomen tetap
merupakan pemeriksaan yang penting pada pasien dengan
obstruksi usus halus karena kegunaannya yang luas namun
memakan biaya yang sedikit.20
25
Gambar 6. Dilatasi usus.20
26
Gambar 10. Step ledder sign.20
b. Enteroclysis
Enteroclysis berfungsi untuk mendeteksi adanya obstruksi
dan juga untuk membedakan obstruksi parsial dan total. Cara ini
berguna jika pada foto polos abdomen memperlihatkan gambaran
normal namun dengan klinis menunjukkan adanya obstruksi atau
jika penemuan foto polos abdomen tidak spesifik. Pada
pemeriksaan ini juga dapat membedakan adhesi oleh karena
metastase, tumor rekuren dan kerusakan akibat radiasi.
Enteroclysis memberikan nilai prediksi negative yang tinggi dan
dapat dilakukan dengan dua kontras. Barium merupakan kontras
yang sering digunakan. Barium sangat berguna dan aman untuk
mendiagnosa obstruksi dimana tidak terjadi iskemia usus maupun
perforasi. Namun, penggunaan barium berhubungan dengan
terjadinya peritonitis dan penggunaannya harus dihindari bila
dicurigai terjadi perforasi.20
27
Gambar 11. Intususepsi (coiled-spring appearance).26
28
KGB para aorta, ataupun infiltrasi langsung ke organ sekitar.
- MRI
2.9 Tatalaksana
Pasien dengan obstruksi intestinal biasanya mengalami dehidrasi dan
kekurangan Natrium, Khlorida dan Kalium yang membutuhkan penggantian
cairan intravena dengan cairan salin isotonic seperti Ringer Laktat. Urin harus
di monitor dengan pemasangan Foley Kateter. Setelah urin adekuat, KCl
harus ditambahkan pada cairan intravena bila diperlukan. Pemeriksaan
elektrolit serial, seperti halnya hematokrit dan leukosit, dilakukan untuk
menilai kekurangan cairan. Antibiotik spektrum luas diberikan untuk
profilaksis atas dasar temuan adanya translokasi bakteri pada ostruksi
intestinal.21
29
Dekompresi
Pada pemberian resusitasi cairan intravena, hal lain yang juga
penting untuk dilakukan ialah pemasangan nasogastric tube.
Pemasangan tube ini bertujuan untuk mengosongkan lambung,
mengurangi resiko terjadinya aspirasi pulmonal karena muntah dan
meminimalkan terjadinya distensi abdomen. Pasien dengan obstruksi
parsial dapat diterapi secara konservatif dengan resusitasi dan
dekompresi saja. Penyembuhan gejala tanpa terapi operatif dilaporkan
sebesar 60 – 85% pada obstruksi parsial.21
Terapi Operatif
Secara umum, pasien dengan obstruksi intestinal komplit
membutuhkan terapi operatif. Pendekatan non – operatif pada
beberapa pasien dengan obstruksi intestinal komplit telah diusulkan,
dengan alasan bahwa pemasangan tube intubasi yang lama tak akan
menimbulkan masalah yang didukung oleh tidak adanya tanda-tanda
demam, takikardia, nyeri tekan atau leukositosis. Namun harus
disadari bahwa terapi non operatif ini dilakulkan dengan berbagai
resikonya seperti resiko terjadinya strangulasi pada daerah obstruksi
dan penundaan terapi pada strangulasi hingga setelah terjadinya injury
akan menyebabkan intestinal menjadi ireversibel. Penelitian
retrospektif melaporkan bahwa penundaan operasi 12 – 24 jam masih
dalam batas aman namun meningkatkan resiko terjadinya strangulasi.
Pasien dengan obstruksi intestinal sekunder karena adanya
adhesi dapat diterapi dengan melepaskan adhesi tersebut.
Penatalaksanaan secara hati hati dalam pelepasan adhesi tresebut untuk
mencegah terjadinya trauma pada serosa dan untuk menghindari
enterotomi yang tidak perlu. Hernia incarcerata dapat dilakukan secara
manual dari segmen hernia dan dilakukan penutupan defek.
30
Penatalaksanaan pasien dengan obstruksi intestinal dan adanya
riwayat keganasan akan lebih rumit. Pada keadaan terminal dimana
metastase telah menyebar, terapi non-operatif, bila berhasil,
merupakan jalan yang terbaik; walaupun hanya sebagian kecil kasus
obstruksi komplit dapat berhasil di terapi dengan non-operatif. Pada
kasus ini, by pass sederhana dapat memberikan hasil yang lebih baik
baik daripada by pass yang panjang dengan operasi yang rumit yang
mungkin membutuhkan reseksi usus.
Pada saat dilakukan eksplorasi, terkadang susah untuk menilai
viabilitas dari segmen usus setelah strangulasi dilepaskan. Bila
viabilitas usus masih meragukan, segmen tersebut harus dilepaskan
dan ditempatkan pada kondisi hangat, salin moistened sponge selama
15-20 menit dan kemudian dilakukan penilaian kembali. Bila warna
normalnya telah kembali dan didapatkan adanya peristaltik, berarti
segmen usus tersebut aman untuk dikembalikan. Ke depannya dapat
digunakan Doppler atau kontras intraoperatif untuk menilai viabilitas
usus.
Pada umumnya dikenal 4 macam (cara) tindakan bedah yang
dikerjakan pada obstruksi ileus.
1. Koreksi sederhana (simple correction). Hal ini merupakan
tindakan bedah sederhana untuk membebaskan usus dari jepitan,
misalnya pada hernia incarcerata non-strangulasi, jepitan oleh
streng/adhesi atau pada volvulus ringan.
2. Tindakan operatif by-pass. Membuat saluran usus baru yang
"melewati" bagian usus yang tersumbat, misalnya pada tumor
intralurninal, Crohn disease, dan sebagainya.
3. Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat
obstruksi, misalnya pada Ca stadium lanjut.
4. Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis
ujung-ujung usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus,
31
misalnya pada carcinomacolon, invaginasi strangulata, dan
sebagainya.
Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang dilakukan
tindakan operatif bertahap, baik oleh karena penyakitnya sendiri
maupun karena keadaan penderitanya, misalnya pada Ca sigmoid
obstruktif, mula-mula dilakukan kolostomi saja, kemudian hari
dilakukan reseksi usus dan anastomosis.16
Suatu problematik yang sulit pada keadaan pasca bedah adalah
distensi usus yang masih ada. Pada tindakan operatif dekompressi
usus, gas dan cairan yang terkumpul dalam lumen usus tidak boleh
dibersihkan sama sekali oleh karena catatan tersebut mengandung
banyak bahan-bahan digestif yang sangat diperlukan. Pasca bedah
tidak dapat diharapkan fisiologi usus kembali normal, walaupun
terdengar bising usus. Hal tersebut bukan berarti peristaltik usus telah
berfungsi dengan efisien, sementara ekskresi meninggi dan absorpsi
sama sekali belum baik.
Sering didapati penderita dalam keadaan masih distensi dan
disertai diare pasca bedah. Tindakan dekompressi usus dan koreksi air
dan elektrolit serta menjaga keseimbangan asam basa darah dalam
batas normal tetap dilaksanakan pada pasca bedahnya. Pada obstruksi
yang lanjut, apalagi bila telah terjadi strangulasi, monitoring pasca
bedah yang teliti diperlukan sampai selama 6 - 7 hari pasca bedah.
Bahaya lain pada masa pasca bedah adalah toksinemia dan sepsis.
Gambaran kliniknya biasanya mulai nampak pada hari ke 4-5 pasca
bedah. Pemberian antibiotika dengan spektrum luas dan disesuaikan
dengan hasil kultur kuman sangatlah penting.
2.10 Komplikasi
Komplikasi pada pasien ileus obstruktif dapat meliputi gangguan
keseimbangan elektrolit dan cairan, serta iskemia dan perforasi usus yang
dapat menyebabkan peritonitis, sepsis, dan kematian.16
32
2.11 Prognosis
Mortalitas obstruksi tanpa strangulata adalah 5% sampai 8% asalkan
operasi dapat segera dilakukan. Keterlambatan dalam melakukan
pembedahan atau jika terjadi strangulasi atau komplikasi lainnya akan
meningkatkan mortalitas sampai sekitar 35% atau 40%. Prognosisnya baik
bila diagnosis dan tindakan dilakukan dengan cepat. 20
33
BAB III
KESIMPULAN
34
DAFTAR PUSTAKA
35
(Eds.), Digestive Tract Surgery (Vol. 2, p. 1119). Philadelphia: Lippincott-
Raven Publisher
13. Simatupang O N. 2010. Ileus Obstruktif. Samarinda: UNMUL Retrieved
October 15th, 2021, Available at:
http://www.scribd.com/doc/28090500/ileus-obstruksi
14. van der Wal JB, Iordens GI, Vrijland WW, van Veen RN, Lange J, Jeekel
J. Adhesion prevention during laparotomy: long-term follow-up of a
randomized clinical trial. Ann Surg. Jun 2011;253(6):1118-21. [Medline].
15. Yates K. 2004. Bowel obstruction. In: Cameron P, Jelinek G, Kelly AM,
Murray L, Brown AFT, Heyworth T, editors. Textbook of adult
emergency medicine. 2nd ed. New York: Churchill Livingstone. p.306-9
16. Ullah S, Khan M, Mumtaz N, Naseer A. 2009. Intestinal Obstruction : A
Spectrum of causes. JPMI 2009 Volume 23 No 2 page 188-92
17. Sheedy SP, Earnest F 4th, Fletcher JG, Fidler JL, Hoskin TL. CT of small-
bowel ischemia associated with obstruction in emergency department
patients: diagnostic performance evaluation. Radiology. Dec
2006;241(3):729-36. [Medline].
18. Bickle IC, Kelly B. 2002. Abdominal X Rays Made Easy: Normal
Radiographs. studentBMJ April 2002;10:102-3
19. Sheedy SP, Earnest F 4th, Fletcher JG, Fidler JL, Hoskin TL. CT of small-
bowel ischemia associated with obstruction in emergency department
patients: diagnostic performance evaluation. Radiology. Dec
2006;241(3):729-36. [Medline].
20. Nobie, B. A. (2009, November 12). Obstruction, Small Bowel. Retrieved
October 15th, 2021, from emedicine:
http://emedicine.medscape.com/article/774140-overview
21. Evers, B. M. 2004. Small Intestine. In T. c. al, Sabiston Textbook Of
Surgery (17 ed., pp. 1339-1340). Philadelphia: Elseviers Saunders
23. Thompson WM, Kilani RK, Smith BB, Thomas J, Jaffe TA, Delong DM,
et al. Accuracy of abdominal radiography in acute small-bowel
obstruction: does reviewer experience matter?. AJR Am J Roentgenol. Mar
2007;188(3):W233-8. [Medline].
24. Lappas JC, Reyes BL, Maglinte DD. Abdominal radiography findings in
small-bowel obstruction: relevance to triage for additional diagnostic
imaging. AJR Am J Roentgenol. Jan 2001;176(1):167-74. [Medline].
25. Moses, S. 2008. Mechanical Ileus. Retrieved Agustus 24, 2014, Available
at : http://www.fpnotebook.com/Surgery/GI/MchnclIls.htm
26. Khan, A. N. (2009, September 11). Small Bowel Obstruction. Retrieved
October 15th, 2021, Available at emedicine:
http://emedicine.medscape.com/article/374962-overview
27. Manuaba. M, Tjakra. 2010. Panduan Penatalaksanaan Kanker Solid
Peraboi 2010. Denpasar : Sagung Seto
37
38